1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang dianugerahi sumberdaya alam yang melimpah. Posisi wilayahnya strategis, yakni sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.504 pulau dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Selain itu Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Indonesia memiliki biodiversitas yang sangat beragam dan tanah subur makmur. Wilayah strategis ini berimplikasi pada kebhinekaan yang tercermin dari kemajemukan budaya pada berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia (Simamora 2010). Menurut survei mengenai jumlah suku di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa. Indahnya keberagaman budaya ini lambat laun terkikis di tengah globalisasi yang menjunjung modernisasi di segala bidang. Nilai-nilai mulai bergeser seiring dengan masuknya budaya asing yang menggantikan kearifan lokal yang sedari dulu dijunjung tinggi oleh nenek moyang (Budiyanta 2008). Suku Sunda merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia yang telah terkikis originalitasnya. Derasnya pengaruh budaya luar dan banyaknya pendatang menjadi faktor pudarnya budaya di Suku Sunda. Di tengah arus modernisasi pada Suku Sunda tersebut, ternyata masih terdapat salah satu kampung yang tetap mempertahankan kebudayaan asli Suku Sunda yaitu Kampung Adat Urug yang berada di daerah Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kampung adat yang berada di lereng Pegunungan Halimun ini memegang teguh budaya Suku Sunda hingga saat ini. Identitas diri masih melekat tercermin dari berbagai unsur kebudayaan seperti kekerabatan, kemasyarakatan, bangunan, bahasa, pekerjaan dan lain-lain (Hakim 2010). Kampung Adat Urug yang terus menjaga warisan leluhur ini menjadikannya sebagai sisa peradaban masa silam berdirinya Kota Bogor. Hal ini tercermin dari nilai-nilai tradisi masih dipertahankan masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi. Keyakinan di Kampung Adat Urug ini tidak hanya dipertahankan oleh
2
orang dewasa, tapi juga ditanamkan sejak dini pada anak-anak melalui interaksi antara orang tua dan anaknya. Menurut Brooks (2001), budaya membentuk perilaku orang tua, dari nilainilai universal yang orang tua ajarkan pada aspek konkrit di kehidupan seharihari. Identitas terhadap etnik ditanamkan sejak anak balita (bawah lima tahun) yaitu saat anak belajar pertama kalinya untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari suatu suku. Hajar (2007) menuturkan bahwa pengasuhan anak merupakan bagian dari sosialisasi nilai dan norma dalam keluarga agar pola-pola budaya tetap melekat dalam kehidupan sosial kelompoknya. Budaya yang terus dipertahankan ini akan membentuk suatu pola yang khas dari generasi ke generasi seperti pola ikatan antara anak dengan orang tua atau tokoh khusus seperti ibu. Ikatan emosi yang terbentuk antara anak dan orang tua sebagai figur pengasuh oleh Bowlby (1951) disebut sebagai kelekatan atau attachment (Yunita 2009). Demulder et al. (2000); Fadilla (2004); Gribble (2006); memaparkan bahwa pengalaman awal kelekatan dari pengasuh utama, dipercaya menjadi bentuk prototype atau internal working model yang berpengaruh pada pola perilaku dan perkembangan anak kelak. Apabila pola kelekatan ini telah terbentuk sejak awal pada suatu budaya tertentu maka akan mempengaruhi kelekatan pada generasi berikutnya sehingga membentuk internal working model masyarakat secara keseluruhan. Menurut Ainsworth (1978) diacu dalam Santrock (1997), pada tahun pertama dalam kehidupan, kelekatan yang aman menjadi pondasi penting perkembangan anak selanjutnya. Brooks (2001); Ijzendoorn et al. (2004); Kinasih (2010) menyatakan bahwa manfaat positif dari kelekatan yang aman pada anak balita yaitu meningkatkannya kemandirian, kompetensi sosial, dan self esteem. Kelekatan yang aman ini tidak hanya terbentuk dengan sendirinya melainkan melalui proses yang panjang dari mulai masa kehamilan. Menurut Neuman (1990) diacu dalam Hastuti (2006), kedekatan emosi ibu anak ini dimulai pada masa prenatal yaitu pada saat anak mulai dikandung ibu dalam rahimnya hingga anak berusia 24 bulan, suatu masa yang disebutnya sebagai primal relationship. Masa kehamilan merupakan masa yang penting, mengingat bahwa masa ini merupakan masa yang esensial untuk memahami pola perkembangan manusia
3
pada tahapan selanjutnya. Periode ini adalah periode yang terpenting dari semua periode dalam rentang kehidupan manusia karena pada masa ini sifat-sifat bawaan seorang manusia diturunkan. Oleh karena itu kondisi yang baik di dalam tubuh ibu akan menunjang perkembangan sifat-sifat bawaannya (Papalia et al. 2009). Setelah janin berkembang sempurna dan akhirnya mampu bertahan di luar kandungan maka masuklah pada masa kelahiran. Peristiwa kelahiran ini berhubungan erat dengan keberhasilan anak dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungannya (Papalia et al. 2009). Vasta et al. (1999); Illingworth (1974) menyatakan bahwa lebih dari 90 persen bayi lahir dengan sehat dan normal sedangkan sisanya mengalami permasalahan dalam kelahiran yang berdampak pada berkurangnya prestasi anak, kesulitan membaca, berkurangnya konsentrasi, emosi labil, dan perilaku yang berubah-ubah. Setelah melalui proses kelahiran anak memasuki masa bayi neonatal (Papalia et al. 2009). Pada masa ini hal yang paling penting dilakukan adalah melakukan inisiasi pemberian ASI. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama setelah melahirkan akan memberikan pengalaman mendasar pada anak. Ibu yang segera didekatkan pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian yang lebih besar dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya dan membentuk kelekatan dengan bayinya (Ervika 2005). Interaksi ibu dengan anaknya pada masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI sangat berkaitan erat dengan budaya setempat. Kepercayaan tradisional yang dapat mempengaruhi perlakuan orang tua kepada anak dimulai dari masa kehamilan. Selain itu masyarakat tradisional yang masih memegang teguh budaya memiliki keunikan persalinan. Praktek pemberian ASI juga tidak terlepas dari pengaruh budaya yang membentuk perilaku ibu dalam menyusui (Small 1998); (Vasta et al. 1999). Interaksi ibu dan anak terus berlanjut melalui pengasuhan yang dibentuk oleh budaya. Pengasuhan yang menentukan terbentuknya kelekatan ibu dan anak adalah sensitivitas (Brook 2001). Kemppinen (2007) menunjukkan bahwa sikap orang tua dalam mengasuh anak, dilihat dari cara orang tua yang sensitif dalam memenuhi kebutuhan anak, sehingga membentuk suatu kelekatan antara anak
4
dengan orang tua sebagai figur pengasuh. Ibu yang sensitif membantu anak untuk mengatur keadaan positif, meningkatkan kemampuan kognitif dan bahasa. Ibu yang tidak sensitif terhadap kebutuhan anak akan menyebabkan berbagai permasalahan yang berdampak pada keadaan anak di masa yang akan datang seperti masalah perilaku dan kemampuan kerjasama yang rendah. Hasil penelitian Mills (2007) dan Ijzendoorn et al. (2004) menunjukkan bahwa ibu yang sensitif akan membentuk kelekatan yang aman sedangkan ibu yang tidak sensitif memiliki anak dengan kelekatan yang tidak aman. Berbagai hal dipaparkan di atas berkaitan dengan kelekatan, riwayat perkembangan anak mulai dari kehamilan, persalinan dan pemberian ASI serta sensitivitas ibu dengan latarbekakang budaya yang khas. Maka penelitian ini mencoba untuk mengkaji kembali hubungan antara sensitivitas ibu dengan kelekatan berdasarkan penelitian terdahulu serta menambahkan variabel riwayat perkembangan anak sebagai faktor pembentuk kelekatan antara ibu dan anak. Secara khusus penelitian ini mengangkat permasalahan tersebut dengan latar belakang budaya yang khas dan unik di Kampung Adat Urug.
Perumusan Masalah Usia 3-5 tahun merupakan masa-masa Golden Age, dimana anak mencapai kondisi puncak dalam perkembangannya dan intervensi yang diberikan pada usia ini akan melekat dengan kuat. Masa ini sering juga disebut masa kritis karena pertumbuhan dan perkembangan memerlukan perhatian khusus (Megawangi 2007). Pengalaman yang diterima anak pada periode ini merupakan aspek dasar dalam pembentukan kelekatan antara anak dengan pengasuh utamanya. Orang tua memiliki tugas untuk membangun kelekatan yang aman dan kompetensi sosial anak. Tujuan utama dalam pengasuhan adalah membentuk kelekatan yang aman (Brook 2001). Kelekatan sangat penting, bukan hanya untuk bertahan hidup tapi juga karena sebagai perkembangan adaptasi pribadi di sepanjang kehidupan (Greenberg et al. 1990). Menurut Santrock (1997), kelekatan awal pada anak sangat penting karena berhubungan dengan perilaku sosial anak dalam perkembangannya kemudian hari. Anak dengan kelekatan yang aman akan mengalami sedikit masalah, melakukan
5
interaksi yang baik dan melakukan koping terhadap stres. Menurut Aline (2008), sebaliknya kelekatan yang tidak aman dapat mempengaruhi perkembangan otak yang berdampak negatif pada interaksi dengan orang lain, rasa percaya diri, pengendalian diri, kemampuan untuk belajar, mencapai kesehatan mental dan fisik yang optimal. Permasalahan kelekatan ini berkaitan dengan internal working model terbentuk pada kelekatan awal masa kanak-kanak yang berpengaruh pada pola perilaku dan perkembangan anak kelak. Sayangnya masih banyak anak yang tidak dapat membentuk kelekatan yang aman, sesuai dengan penelitian Latifah et al. (2009) di Bogor menunjukkan hasil bahwa anak yang memiliki kelekatan yang aman sebanyak 36,04 persen sedangkan anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman yaitu 63,96 persen. Kelekatan antara ibu dan anak terjalin melalui proses yang panjang dimulai sejak periode kehamilan. Menurut Papalia et al. (2009), banyak sekali bahaya yang terjadi pada periode prenatal ini yaitu bahaya fisik dan bahaya psikologi seperti kepercayaan tradisional. Kepercayaan dapat mempengaruhi perlakuan orang tua kepada anak selama kehamilan. Selanjutnya masa kritis dalam kehidupan manusia adalah proses kelahiran. Proses kelahiran juga memberikan dampak pada ikatan yang dialami oleh ibu dan anak. Menurut Suririnah (2007), terdapat 5-10 persen ibu yang mengalami kehamilan dan persalinan dengan resiko tinggi sehingga diperlukan persiapan diri dengan memperhatikan perawatan selama periode kritis tersebut. Menurut Papalia et al. (2009), pengalaman dari kehamilan dan persalinan yang kurang baik dapat menentukan penyesuaian anak dalam berinteraksi dengan dunia luar khususnya ibu dan berdampak negatif pada kelekatannya dengan ibu. Masa-masa penting setelah kelahiran adalah masa bayi dimana anak masih memiliki ketergantungan dengan ibu karena tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri (Papalia et al. 2009). Oleh karena itu ibu berkewajiban untuk memberikan makanan kepada bayi melalui proses menyusui. Pemberian ASI merupakan proses interaksi antara ibu dan anak yang dapat mengembangkan tingkah laku lekat karena dalam proses ini terjadi kontak fisik yang disertai upaya untuk me mbangun hubungan psikologis antara ibu dan anak (Ervika 2005).
6
Sayangnya berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan pada tahun 2007, hanya 18 persen ibu di Indonesia memberi air susu ibu (ASI) eksklusif selama empat hingga lima bulan. Persentase itu jauh dari target nasional yaitu 80 persen. Kelekatan juga terbentuk dari pengasuhan yang sensitif. Ibu yang sensitif, responsif, hangat, dan menerima akan membentuk dasar rasa aman bagi anak. Pengalaman yang membentuk kelekatan yang aman akan membuat anak memiliki kerangka pikir positif untuk mengetahui dunia. Sayangnya banyak ibu yang kurang sensitif merespon kebutuhan anak (Brooks 2001). Berbagai permasalahan di atas mengenai riwayat perkembangan anak, sensitivitas ibu dan kelekatan ini diwarnai dengan kekhasan budaya yang terjadi pada beberapa daerah tertentu. Salah satunya yaitu di Kampung Adat Urug yang memiliki masyarakat yang terus berpegang teguh kepada adat istiadat dan memegang keteladanan kesundaan. Pengaruh budaya ini akan membentuk suatu keunikan khas pada hubungan antara ibu dan anak di Kampung Adat Urug. Sesuai dengan pemaparan permasalahan di atas, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana riwayat perkembangan anak, sensitivitas dan kelekatan ibu dan anak di Kampung Adat Urug? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dengan riwayat perkembangan anak di Kampung Adat Urug? 3. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik anak dengan sensitivitas ibu di Kampung Adat Urug? 4. Bagaimana hubungan riwayat perkembangan anak dengan sensitivitas ibu dan kelekatan di Kampung Adat Urug? 5. Bagaimana hubungan antara sensitivitas ibu dengan kelekatan ibu dan anak di Kampung Adat Urug?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengidentifikasi riwayat perkembangan anak (riwayat kehamilan, riwayat persalinan dan riwayat pemberian ASI) sensitivitas ibu dan kelekatan anak usia dini (3-5 tahun) di Kampung Adat Urug
7
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi riwayat perkembangan anak, sensitivitas ibu dan kelekatan ibu dan anak 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan riwayat perkembangan anak 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik anak dengan sensitivitas ibu 4. Menganalisis hubungan riwayat perkembangan anak dengan sensitivitas ibu dan kelekatan 5. Menganalisis hubungan antara sensitivitas ibu dan kelekatan ibu dan anak
Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk peneliti agar mengasah kepekaan untuk mencari tahu kebenaran dari suatu realita yang ada di masyarakat serta melatih peneliti untuk dapat menganalisis secara logis dan empiris. Bagi institusi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan berguna untuk mengembangkan teori khususnya di bidang pengasuhan dan kelekatan pada anak. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk masyarakat dalam menyajikan informasi yang berharga tentang pentingnya persiapan kehamilan, persalinan dan pemberian ASI serta pengasuhan yang sensitif untuk menghasilkan kelekatan yang memberikan rasa aman kepada anak. Selanjutnya bagi lembaga non pemerintah atau pemerintah, informasi yang diperoleh dapat bermanfaat dalam sosialisasi tentang pentingnya menjaga kehamilan, inisiasi ASI dan pemberian ASI eksklusif serta pengasuhan anak.