PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan, terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal. Program ini sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitarnya. Hal ini tertuang dalam Undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, yang menyebutkan bahwa tujuan pembangunan transmigrasi adalah (a) meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, (b) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah, dan (c) memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk
meningkatkan
kemampuan
dan produktivitas
masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integritas di pemukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan Transmigrasi sebagai salah satu program pembangunan terutama diarahkan kepada pembangunan pertanian, yaitu peningkatan produktivitas pertanian.
Peningkatan produktivitas pertanian diharapkan
akan dapat
mendukung peningkatan pendapatan, kesejahteraan dan pemerataan hasil pembangunan. Menurut Utomo (2005), untuk mewujudkan hal tersebut maka di wilayah-wilayah transmigrasi perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustri pedesaan yang dapat menyerap tenaga kerja
di pedesaan dan akan memacu
pertumbuhan wilayah. Untuk itu perlu dibangun infrastruktur dan akses pasar, sehingga akan terjadi harmonisasi pembangunan wilayah. Sumardjo
(2004)
menyatakan
bahwa
daerah-daerah
transmigrasi
merupakan wilayah dimana produk transmigran tersedia dan masyarakat di sekitarnya memiliki keunggulan komparatif. Daerah tersebut berpotensi menjadi kawasan agrobase development, yaitu pengembangan sektor pertanian berbasis pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu, kawasan transmigrasi potensial menjadi
2
wilayah pengembangan kawasan agropolitan, yaitu terintegrasinya kota pertanian dan desa-desa sentra produksi yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha-usaha agribisnis-agroindustri. Kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi diharapkan terus meningkat sehingga mampu menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan secara mandiri dan terpadu dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten (Direktorat Jendral Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, 2006). Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi merupakan usaha menumbuh kembangkan wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program transmigrasi. Salah satu komponen penting yang berkaitan dengan keberhasilan pengembangan
kawasan transmigrasi adalah seberapa besar masyarakat ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Seringkali dalam pelaksanaan program,
keterlibatan masyarakat kurang diperhatikan karena pihak pemerintah masih merasa yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Anwar (2005) menyatakan kebijakan yang sering menseragamkan keadaan wilayah pedesaan akan mengarah kepada kegagalan. Pengembangan kawasan transmigrasi pada dasarnya harus dilandaskan pada pembangunan kapasitas sumber daya manusia di dalam kawasan tersebut. Hal ini tidak akan pernah terwujud jika masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan.
Oleh karena itu konsep pendekatan pembangunan partisipatif
menjadi penting untuk diperhatikan dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Selain hal itu perlu diperhatikan juga adanya penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan.
Menurut Rustiadi dan Setiahadi (2006), dengan
penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan dapat dihindari adanya peluang mengalirnya nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan.
Dengan
demikian penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan
menjadi
persyaratan utama yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan agropolitan (dalam hal ini kawasan transmigrasi).
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan, terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal. Program ini sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitarnya. Hal ini tertuang dalam Undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, yang menyebutkan bahwa tujuan pembangunan transmigrasi adalah (a) meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, (b) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah, dan (c) memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk
meningkatkan
kemampuan
dan produktivitas
masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integritas di pemukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan Transmigrasi sebagai salah satu program pembangunan terutama diarahkan kepada pembangunan pertanian, yaitu peningkatan produktivitas pertanian.
Peningkatan produktivitas pertanian diharapkan
akan dapat
mendukung peningkatan pendapatan, kesejahteraan dan pemerataan hasil pembangunan. Menurut Utomo (2005), untuk mewujudkan hal tersebut maka di wilayah-wilayah transmigrasi perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustri pedesaan yang dapat menyerap tenaga kerja
di pedesaan dan akan memacu
pertumbuhan wilayah. Untuk itu perlu dibangun infrastruktur dan akses pasar, sehingga akan terjadi harmonisasi pembangunan wilayah. Sumardjo
(2004)
menyatakan
bahwa
daerah-daerah
transmigrasi
merupakan wilayah dimana produk transmigran tersedia dan masyarakat di sekitarnya memiliki keunggulan komparatif. Daerah tersebut berpotensi menjadi kawasan agrobase development, yaitu pengembangan sektor pertanian berbasis pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu, kawasan transmigrasi potensial menjadi
2
wilayah pengembangan kawasan agropolitan, yaitu terintegrasinya kota pertanian dan desa-desa sentra produksi yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha-usaha agribisnis-agroindustri. Kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi diharapkan terus meningkat sehingga mampu menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan secara mandiri dan terpadu dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten (Direktorat Jendral Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, 2006). Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi merupakan usaha menumbuh kembangkan wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program transmigrasi. Salah satu komponen penting yang berkaitan dengan keberhasilan pengembangan
kawasan transmigrasi adalah seberapa besar masyarakat ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Seringkali dalam pelaksanaan program,
keterlibatan masyarakat kurang diperhatikan karena pihak pemerintah masih merasa yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Anwar (2005) menyatakan kebijakan yang sering menseragamkan keadaan wilayah pedesaan akan mengarah kepada kegagalan. Pengembangan kawasan transmigrasi pada dasarnya harus dilandaskan pada pembangunan kapasitas sumber daya manusia di dalam kawasan tersebut. Hal ini tidak akan pernah terwujud jika masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan.
Oleh karena itu konsep pendekatan pembangunan partisipatif
menjadi penting untuk diperhatikan dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Selain hal itu perlu diperhatikan juga adanya penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan.
Menurut Rustiadi dan Setiahadi (2006), dengan
penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan dapat dihindari adanya peluang mengalirnya nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan.
Dengan
demikian penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan
menjadi
persyaratan utama yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan agropolitan (dalam hal ini kawasan transmigrasi).
3
Sejalan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengembangan kawasan transmigrasi hendaknya terintegrasi dengan kepentingan pembangunan daerah yang tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota, kepentingan serta aspirasi masyarakat setempat, ketersediaan sumberdaya alam, yang berpengaruh pada kemampuan daerah untuk menerima dan mendukung program pengembangan kawasan. Tujuan dasar pengembangan wilayah dan penyusunan tata ruang transmigrasi adalah untuk membentuk suatu sistem pemukiman yang secara fungsional merupakan suatu wadah yang dapat meramu berbagai masukan (input) dan teknologi yang tepat sehingga memungkinkan terwujudnya kehidupan transmigrasi yang mandiri. Sistem pemukiman tersebut diharapkan sejak awal mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan selanjutnya mampu berkembang untuk mencapai tingkat kesejahteraan sekurang-kurangnya di atas subsisten.
Sesuai konsep tata ruang, pemukiman transmigrasi haruslah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan wilayah (Muchdie, 1986). Lebih lanjut dikatakan, dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, upaya untuk mempercepat pengembangan wilayah transmigrasi dapat dilakukan melalui pengembangan pertanian yang diikuti dengan pengembangan industri pengolahan hasil pertanian. Pengembangan transmigrasi pada masa mendatang perlu memperhatikan dua hal. Pertama, persoalan proses mencapai kemandirian, dan kedua mengutamakan pemberdayaan masyarakat yang bermula dalam satuan komunitas. Dalam pengembangan kawasan transmigrasi yang bersandar pada kemandirian, prosesnya tidak hanya didasarkan pada perundangan dan pendekatan administrasi birokrasi dalam satuan kerja satu atau lebih departemen terpusat, tetapi perlu dilakukan melalui pembaharuan tata kelola pengembangan transmigrasi melalui kemitraan (partnerships)
dengan
pemangku-pemangku
kepentingan yang
berkaitan dengan pembangunan daerah yang berbasis komunitas (Kolopaking, 2006). Untuk mewujudkan tujuan tersebut
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pada tahun 2006 mengembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di kawasan-kawasan transmigrasi. Definisi KTM adalah kawasan transmigrasi
4
yang pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang mempunyai fungsi sebagai berikut (1) Pusat kegiatan pertanian berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agribisnis; (2) Pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services), dan pemuliaan tanaman unggul; (3) Pusat pendidikan, pelatihan di sektor pertanian, industri dan jasa; (4) Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas sejenis.
KTM
dibangun dengan konsep agropolitan (Depnakertrans, 2006). Menurut Anwar (2006) Pembangunan kota kecil dilingkungan pertanian merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan pada kota-kota kecil mencakup pula perlengkapan infrastruktur fasilitas publik perkotaan. Menurut Suparno (2006) KTM akan dikembangkan di delapan kawasan transmigrasi yang ditunjuk sebagai pilot proyek Kota Terpadu Mandiri (KTM). Adapun kedelapan kawasab tersebut yaitu Pulau Rupat di Provinsi Riau, Mesuji (Kabupaten Tulang Bawang, Lampung), Kaliorang dan Rantau Pulung (Kalimantan Timur), Mandastana (Kalimantan Selatan), Rasau Jaya dan Terentang (Kalimantan Barat), dan Pulau Morotai (Maluku Utara). Menurut Depnakertrans (2006) Kawasan Transmigrasi Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung dipilih sebagai pilot proyek pengembangan KTM
dengan pertimbangan karena letaknya yang setrategis.
Kawasan Transmigrasi Mesuji
berada di antara
Jalan Lintas Timur Trans
Sumatera yang menghubungkan Kota Bandar Lampung dan Kota Palembang. Kawasan itu memiliki 50 satuan pemukiman dan telah dihuni sekitar 25 ribu kepala keluarga transmigran dari Jawa serta transmigran lokal dari sejumlah wilayah di Provinsi Lampung sejak awal 1980-an. Berdasarkan Masterplan Pengembangan KTM Mesuji secara garis besar program pengembangan KTM Mesuji terdiri dari (1) Program Pengembangan Usaha Ekonomi Berbasis Komoditi Unggulan,
(2) Program Pemberdayaan
Masyarakat,(3) Program Pengembangan Infrastruktur Kawasan, dan (4) Program Pembangunan Kawasan dan Pengembangan Pusat KTM, yang meliputi desa-desa utama dan pusat KTM.
5
Di wilayah KTM Mesuji, sektor perkebunan dan pertanian tanaman pangan merupakan sektor prioritas yang akan dikembangkan, dengan komoditi unggulan kelapa sawit, karet, padi irigasi, jagung dan singkong. Selanjutnya dalam pengembangan industri, indutri yang perlu dikembangkan adalah industri pengolahan komoditi unggulan tersebut, dengan arahan agar dapat memberikan nilai tambah (Dirjen P2MKT Depnakertrans, 2006). Namun demikian, permasalahan produksi, pascapanen, distribusi, dan pemasaran masih sering terjadi. Hal ini sebagai akibat lemahnya dukungan sarana dan prasarana pertanian, sehingga kurang berhasil mewujudkan sistem agribisnis yang baik - yang pada gilirannya gagal menaikkan pendapatan petani sebagai pelaku utama proses produksi pertanian. Oleh karena itu, dukungan sarana dan prasarana pertanian perlu untuk dikembangkan dalam suatu rancang bangun pengembangan yang komprehensif. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberi dampak kepada penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi defisit perdagangan, serta meningkatkan keunggulan kompetitif produk-produk pertanian. Disamping itu untuk memposisikan sektor pertanian melalui pendekatan agribisnis sebagai basis pengembangan kawasan transmigrasi akan dapat berhasil apabila permasalahan kegagalan kelembagaan yang dihadapi sektor pertanian selama ini dapat segera diatasi. Langkah awal yang diperlukan antara lain adalah dengan mempelajari jenis dan dinamika berbagai kelembagaan, faktor-faktor penentu
kemajuan/kekagalan
suatu
kelembagaan
yang
terkait
dengan
pengembangan agribisnis dan kawasan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana strategi pengembangan KTM di Kawasan Transmigrasi Mesuji yang berbasis potensi agribisnis masyarakat dan kawasan. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai masukan bagi penentu kebijaksanaan dalam hal ini Pemerintah Daerah dalam pengambangan KTM, baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan mengacu kepada masterplan pengembangan KTM yang telah ditetapkan oleh Departeman Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang.
6
Perumusan Masalah Transmigrasi merupakan salah satu program pembangunan yang terutama diarahkan kepada pembangunan sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian diharapkan akan dapat mendukung peningkatan pendapatan, kesejahteraan dan pemerataan
hasil
pembangunan
di
kawasan
transmigrasi.
Keberhasilan
Pembangunan Kawasan Transmigrasi akan sangat ditentukan oleh kemampuan strategi kebijaksanaan
pertanian dalam meningkatkan keunggulan kompetitif
produk-produk pertanian melalui pengembangan pusat-pusat agroindustri perdesaan. Program pengembangan KTM diharapkan dapat memacu pertumbuhan wilayah di dalam maupun di sekitar kawasan transmigrasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan sebuah strategi pengembangan kewilayahan yang berbasis potensi agribisnis masyarakat dan kawasan. Pembukaan kawasan transmigrasi pada awalnya ditujukan untuk menghasilkan produk pertanian. Peningkatan produksi pertanian diharapkan dari waktu ke waktu semakin meningkat dan dapat meningkatkan perekonomian desadesa dan masyarakat di kawasan transmigrasi. Untuk mewujudkannya maka pengembangan kawasan transmigrasi hendaknya dilakukan dengan berbasis pada potensi agribisnis. Pengembangan KTM yang berbasis agribisnis perlu didukung oleh sumberdaya lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditi pertanian pilihan, selain peningkatan efisiensi kegiatan budidaya pertanian, pemasaran hasil produksi, peningkatan nilai tambah kepada petani, maupun peningkatan daya saing komoditas pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi potensi pengembangan komoditas pilihan berupa sumberdaya fisik lahan dalam hal kesesuaiannya, potensi pasar maupun keunggulan komoditas pilihan. Pada
program
transmigrasi
yang
telah
dilaksanakan
terdahulu,
perencanaan pembangunan kawasan transmigrasi umumnya belum dilakukan dengan suatu perencanaan integral kawasan. Akibatnya, perkembangan wilayahwilayah
transmigrasi
yang
dibangun
sering
tidak
terintegrasi
dengan
perkembangan wilayah pemukiman yang telah ada. Hal ini antara lain berimplikasi pada tidak meratanya penyediaan fasilitas pelayanan. Kawasan transmigrasi pada umumnya hanya didukung dengan sarana prasarana pelayanan
7
dengan
aksesbilitas yang rendah, serta berada di wilayah-wilayah yang sulit
dijangkau. Melalui paradigma baru pembangunan ketransmigrasian yang diimplementasikan dalam bentuk KTM, diharapkan akan dapat diwujudkan pembangunan kawasan transmigrasi yang lebih terintegrasi dengan kawasan sekitarnya. Selain pertimbangan fisik, pengembangan sarana dan prasarana pelayanan hendaknya memperhatikan pertimbangan sosiologis yang disesuaikan dengan aspirasi masyarakat yang didukung oleh sistem kelembagaan yang memadai. Oleh karena itu pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas KTM perlu diidentifikasi, baik berdasarkan jumlah dan jenis infrastrukturnya maupun aspirasi masyarakat dan dukungan kelembagaan. Salah
satu
kunci
penentu
keberhasilan
pengembangan
kawasan
transmigrasi yang berbasis potensi agribisnis masyarakat dan kawasan adalah peran kelembagaan. Menurut Coase (1960) dalam Aunuddin (2002), kelembagaan memainkan peranan yang vital dalam perekonomian. Dalam perspektif Coase, kelembagaan berfungsi sebagai instrumen untuk meminimumkan ongkos transaksi dalam perekonomian, sehingga perekonomian dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Semantara itu, North dan Thomas (1973) menunjukkan bahwa kelembagaan dapat direkayasa, dan membuktikan bahwa rekayasa kelembagaan yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan perekonomian yang cepat dan berkelanjutan. Dengan mengacu pada penemuan para pakar kelembagaan tersebut, maka pengembangan kawasan transmigrasi dengan basis agribisnis akan dapat berhasil hanya bila terlebih dahulu permasalahan kegagalan kelembagan yang diperkirakan dihadapi dapat diatasi. Oleh karena itu sebagai langkah awal perlu diketahui jenis dan dinamika berbagai kelembagaan yang terkait
dengan pengembangan agribisnis dan kawasan, faktor-faktor penentu
kemajuan dan kegagalan suatu kelembagaan.
8
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah (1)
Mengidentifikasi potensi pengembangan
komoditas pilihan di kawasan
transmigrasi. (2)
Mengidentifikasi pusat petumbuhan dan aktivitas pelayanan kawasan transmigrasi berdasarkan jumlah dan jenis infrastrukturnya serta aspirasi masyarakat dan kelembagaan yang mendukung.
(3)
Mengidentifikasi tipologi
kelembagaan agribisnis
yang berkembang di
kawasan transmigrasi (4)
Menyusun arahan strategi pengembangan KTM melalui pengembangan pusat
aktivitas
wilayah,
pengembangan
komoditas
pertanian
dan
kelembagaan agribisnis di kawasan pengembangan KTM pada kawasan transmigrasi Mesuji. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah perencanaan pengembangan KTM Mesuji di Kawasan Transmigrasi Mesuji yang meliputi Kecamatan Mesuji Timur dan Mesuji. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang cukup menarik untuk dijadikan studi pengembangan KTM. Penelitian ini dilakukan dengan merujuk kepada kerangka Masterplan Pengembangan KTM Mesuji yang telah disusun oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diberikan masukan dari sisi ilmiah kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam pelaksanaan pengembangan KTM Mesuji.