PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversity jenis hayati dan mega center keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman ekosistem di
Indonesia juga sangat mengagumkan, ditunjukkan dengan adanya kurang lebih 50 tipe ekosistem alam dan termasuk salah satu dari tiga negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia (Ramade, 1987).
Indonesia juga dikenal memiliki wilayah
terumbu karang terluas di kawasan Indo-Malaya dan bersama Philipina, Papua Nugini dan Australia dijuluki segitiga terumbu karang, dengan keanekaragaman jenis ikan hias laut terbesar dibanding Negara lain (Herminto, 1996). Kondisi sumberdaya alam seperti diungkapkan di atas, dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami kerusakan yang semakin meluas. Antara tahun 1976 dan 1980, kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan seluas 550.000 ha. Angka ini berkembang menjadi rata-rata 1,6 juta hingga tahun 2000, bahkan data yang dikemukakan Alikodra dan Syaukani (2004), sudah mencapai 3,8 juta ha per tahun. Mekipun data pada 2007 terjadi penurunan menjadi 2,8 juta partahun, namun total kerusakan telah mencapai 59 juta hektar dari luas hutan Indonesia sebesar 120,3 juta hektar (Purnama, 2009).
Butler
(Mahmuddin, 2009)
menyebutkan antara tahun 1990–2005, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan hujan tropis, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Di sektor kelautan, saat ini terdapat 5,30 % terumbu karang di Indonesia yang masih dalam keadaan sangat baik ; 21,70 % dalam keadaan baik ; 33,50 % sedang dan 39, 50 % rusak. Padahal setiap tahun diperoleh 9 juta ton hasil laut dari terumbu karang dan angka ini merupakan 23 % perolehan hasil laut dunia (Herminto, 1996). Kerusakan sumberdaya hutan selain berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem sekitar hutan juga terhadap ekosistem laut. Kerusakan ekosistem hutan dan laut secara langsung akan mengancam kehidupan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.
Berbagai bencana yang
menimpa bangsa Indonesia akhir-akhir ini merupakan bukti dampak langsung
2
maupun tidak langsung dari kerusakan tersebut. Bila hal ini tidak segera disadari dan ditangani secara serius, akan menjadi malapetaka dimudian hari. Salah satu upaya mencegah terjadinya kerusakan adalah dengan menetapkan kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu, Taman Nasional berfungsi: (1) sebagai kawasan perlindungan, (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah,
telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK.
No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha terdiri dari hutan dan perairan. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah status Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990. Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai keragaman hayati yang sangat besar, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan berbagai jenis Flora dan Fauna Endemik Sulawesi yang perlu dilestarikan. Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII, 2005). Daya tarik ini menjadi lebih besar lagi dengan kekayaan kemajemukan budaya penduduk dan pola hidup, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai
kegiatan ekonomi berskala besar maupun kecil terutama dengan memanfaatkan teknologi destruktif yang merusak sumberdaya alam. Namun, penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian merasa pesimis atas pembentukan TNKT karena hanya akan
3
menimbulkan konflik, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan. Hal ini berdasarkan pengalaman pada beberapa taman nasional di Indonesia, termasuk yang terdekat Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang juga terletak di Sulawesi Tengah. Oleh karenanya, sikap penolakan sempat muncul sebagai reaksi atas kekhawatiran tersebut. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal dilakukan secara bersama dan partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia. Taman Nasional Kepulauan Togean dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa antara lain, Suku Bobongko, Togean, Saluan dan Suku Bajau. Selain itu, juga terdapat suku-suku yang relatif baru seperti Ta’a-Ampana, Gorontalo, Bugis, Makasar, Jawa, Kaili-Palu.
Kehadiran berbagai etnik
tersebut telah
menambah kaya khasanah kebudayaan dan tradisi di Kepulauan Togean dan mempengaruhi pola interaksi baik interen masyarakat maupun antara masyarakat dengan lingkungan (SDA). Interaksi tersebut pada beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan meningkatnya
perkembangan
yang
mengkuatirkan,
ditandai
dengan
ekploitasi SDA dengan cara yang bertentangan dengan prinsip
konservasi akibat desakan kebutuhan. Berdasarkan pengalaman dari banyak taman nasional di indonesia, terdapat berbagai cara ekploitasi SDA di antaranya penyerobotan kawasan, perambahan dan pendudukan seperti yang terjadi di TNLL. Sejak Juli 2001 ada sekitar 2060 ha Kawasan TNLL dirambah dan diduduki oleh 1030 KK yang berasal dari beberapa desa yang ada di sekitarnya (Laban, 2002). Penyerobotan kawasan taman nasional seperti yang dilansir Mappatoba (2004), diakibatkan oleh: (1) kurang perhatian pada proses melibatkan masyarakat (partisipasi) dalam manajemen dan pengambilan keputusan berkait taman nasional, (2) desakan kebutuhan bagi terutama masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional, menyangkut
lahan pertanian, kayu bakar, bahan
4
bangunan, tanaman obat, dan areal perburuan. Tentang kebutuhan lahan, Sangadji (1997) mengungkapkan bahwa tradisi berladang masyarakat lokal yang mensyaratkan luasan lahan dan jumlah populasi
tertentu untuk siklus rotasi,
berbentur dengan konsesi lahan oleh berbagai pihak untuk tujuan ekonomi maupun konservasi. Guna
menjembatani hal ini,
pengelolaan taman nasional sebaiknya
melibatkan secara aktif masyarakat lokal agar kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Namun, kesuksesan pengelolaan ini akan sangat dipengaruhi oleh partisipasi dan kemitraan semua pihak yang dalam penelitian ini difokuskan pada masyarakat. Konsep partisipasi dan kemitraan sesungguhnya sudah banyak dikaji namun dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi masih relatif baru. Sejak pemerintah berupaya merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, belum ada kawasan konservasi yang dapat dijadikan contoh. Penelitian tentang partisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi pasca perubahan paradigma ini pun relatif belum banyak.
Pola pengelolaan ini diharapkan dapat mendukung tujuan
konservasi yang berintikan perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan SDA baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat terutama di sekitar kawasan TNKT. Masalah Penelitian Secara khusus masalah yang ditelaah sebagai pertanyaan penelitian (question research) ialah: (1)
Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat saat ini dalam pengelolaan TNKT?
(2)
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT?
(3)
Bagaimana hubungan antara faktor-faktor
yang berpengaruh pada
partisipasi?, dan (4)
Bagaimana alternatif desain strategi
penyuluhan yang efektif
mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT ?
untuk
5
Tujuan Penelitian (1)
Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(2)
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(3)
Menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan
(4)
Merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara prktis sebagai berikut : (1)
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di kawasan konservasi (taman nasional).
(2)
Secara praktis, penelitian pemikiran
bagi
ini
pengambil
diharapkan
kebijakan
dalam
memberikan kontribusi merumuskan
strategi
penyuluhan yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari terutama yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pengertian Baberapa Konsep dan Istilah Beberapa pengertian dari sejumlah kata kunci dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; •
Partisipasi memiliki konotasi yang beda-beda dalam pandangan para ahli. Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri sendiri.
Slamet (2003) memaknai partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikamati hasil-hasil pembangunan.
6
•
Kemitraan memiliki kata dasar ”mitra” yang dapat diartikan sebagai “teman” atau “kawan.” Padanan kata kemitraan dalam bahasa Inggeris adalah “friendship” atau “partnership.” Dalam kaitan dengan pengelolaan Taman Nasional, kemitraan dapat dimaknai sebagai Pengelolaan bersama atau Co-management, berintikan partisipasi, komitmen dan kerja sama dari seluruh stakeholders (Aliadi, et al, 2002).
•
Individu berasal dari bahasa latin yaitu individum yang berarti satuan terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Merujuk pada Siti Amanah (2006), Individu merupakan unit terkecil dari masyarakat dan dalam konsep sosiologi merupakan akumulasi pengalaman, pandangan, tindakan seseorang dan membentuk ciri-ciri pribadi. Ketika berhadapan dengan suatu persoalan, individu akan melewati tiga fase yaitu ; fase persepsi, fase penafsiran dan fase pengambilan keputusan.
•
Masyarakat manurut Cristenson dkk. (Siti Amanah, 2006), orang-orang yang hidup dalam batas geografis, integrasi sosial, memiliki ikatan psikologis dan ikatan dengan tempat tinggal.
Soekanto (1983)
mengemukakan bahwa masyarakat memiliki ciri hidup bersama, berintegrasi dan bekerja sama untuk waktu yang lama dan sadar sebagai suatu kesatuan dan satu sistem hidup bersama. Waren dan Cottrel (Ndraha, 1990) membedakan masyarakat (society) dan komunitas (community). Komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami wilayah tertentu dan anggotanya saling berinteraksi namun bisa juga tidak saling mengenal, masing-masing anggotanya menduduki status dan peranan tertentu yang sudah disediakan. •
Stakeholder adalah pihak-pihak yang terkait dengan suatu. Bessete (2004) mendefinisikan stekeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Individu dan institusi yang diidentifikasi sebagai stakeholder yang pro dan kontra dengan suatu program/Proyek
7
dikelompokkan
kedalam
stakeholder
utama
(primer),
stakeholder
pendukung (sekunder), dan stakeholder kunci (Ramirez, 1999). •
Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, didefinisikan berdasarkan
Laporan World Commission on Environment and
Development (WCED) tahun 1987, UN (PBB) berjudul “Our Common Future” (Moffat et al, 2001) adalah pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. •
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu taman nasional berfungsi: (1) sebagai
kawasan
perlindungan,
(2)
sebagai
kawasan
untuk
mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).