9
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, serta (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar pada kondisi psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan,
keamanan,
sosial,
serta
kurang
berfungsinya
pemerintahan disebabkan oleh hancurnya sarana dan prasarana dasar dan berkurangnya sumberdaya manusia aparatur. Kegiatan produksi termasuk perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan memerlukan pemulihan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi bencana dapat segera
diakses.
Sistem
sosial
ekonomi
dan
kelembagaan
masyarakat
memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian mencapai 44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial (perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama) sebesar $1.657 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi, saluran irigasi) $877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan pertambangan) $1.182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai sektor diperkirakan sebesar US$ 4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun. Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi pasti jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002) dan 1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya
10
gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65% dari penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa. Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama: tahap tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan restorasi fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan dalam 6-20 bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan dalam 1.5-2 tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sasaran dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a) pembangunan dapur umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan korban meninggal, dan (d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c) pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan hukum dan ketertiban umum, dan (e) pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan ekonomi melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan kembali sistem ekonomi, (c) pembangunan kembali sistem infrastruktur regional dan lokal, (d) revitalisasi sistem sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali sistem kelembagaan, dan (f) pembangunan sistem peringatan dini untuk meminimalisir dampak bencana. (BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009). Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap budaya masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan keyakinan agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah tamah, kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya ditinggalkan. Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah kemajuan menjadi indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki ketinggalan budaya yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari masyarakat lain (Kurdi, 2005). Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian
11
yang penting, bahkan terpenting dalam pembangunan masyarakat dan keluarga (Hikmat, 2001).
Masalah Penelitian Tingginya angka kemiskinan di Aceh mempunyai korelasi positif terhadap angka pengangguran. BKKBN Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 mencatat 300.000 jiwa menganggur, tahun 2002 sekitar 48.8 persen (1.073.600 jiwa) dari 2,2 juta angkatan kerja menganggur. Tentunya angka pengangguran di Aceh akan bertambah pasca tsunami mengingat banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian terutama yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang yang tempat tinggalnya dekat dengan pantai (coastal zone). Kehilangan pekerjaan berarti tidak memiliki pendapatan dan akan berdampak langsung terhadap kehidupan keluarga dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Kehilangan pekerjaan seperti nelayan dan petani tambak merupakan masalah besar, nelayan tidak dapat ke laut karena perahu dan peralatan melaut hancur dan hilang tanpa bekas, petani tambak juga merasakan bahwa tambaknya rata seperti laut tanpa ada pembatas satu dengan lainnya. Hal yang sama juga dirasakan oleh orang-orang yang profesinya sebagai pedagang, toko dan barang dagangannya hancur berantakan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari pemerintah dan LSM memberikan bantuan berupa bahan makanan, pakaian, sarana kesehatan dan lain sebagainya serta uang yang jumlahnya Rp 90.000/orang/bulan. Selain itu pemerintah dan LSM juga membantu menata kembali perekonomian masyarakat Aceh, mulai dari memberikan bantuan perahu, menata kembali tambak yang berantakan dan memberikan pinjaman modal usaha dengan tujuan supaya masyarakat dapat bekerja kembali sehingga perekonomian mayarakat Aceh secara keseluruhan cepat stabil. Dalam bidang pendidikan kerusakan yang terjadi adalah untuk tingkat SD/MI 27 persen, SLTP/MTs 31 persen, dan SLTA/MA 38 persen. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal/hilang sebanyak 1.400 orang, peserta didik dan mahasiswa yang meninggal/hilang sebanyak 40.900 orang. Rusak/hilangnya berbagai sarana dan prasarana tersebut membuat pendidikan di Aceh pasca tsunami menjadi menurun. Jumlah guru yang minim, kurangnya fasilitas prasarana dan sarana pendidikan, menjadi faktor penyebab turunnya kualitas pendidikan di Aceh. Tidak dipungkiri kalau hilang/meninggalnya guru-guru
12
yang merupakan asset human resource di sekolah atau perguruan tinggi tertentu juga menjadi pemicu semakin turunnya pendidikan di Aceh. Pemerintah telah mengirimkan beberapa tenaga pendidik dari luar daerah untuk Aceh mengisi kekosongan guru sehingga tidak ada alasan adanya proses pembelajaran yang terhenti. Untuk saat ini, Aceh membutuhkan 12.000 guru tambahan yang akan ditempatkan di seluruh kabupaten/kota. Kekurangan ini diharapkan bisa teratasi apabila adanya perekrutan yang baru sekitar 5.000 orang. Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), ketika terjadi gempa dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, rumah sakit yang rusak dan hancur 8 buah dan puskesmas 232 buah dan banyaknya tenaga medis yang meninggal dan hilang yang menyebabkan pelayanan kesehatan menurun. Untuk membantu pelayanan kesehatan masyarakat Menteri Kesehatan telah mengirim 761 tenaga kesehatan (110 orang dokter PTT, 79 bidan desa, 110 sarjana kesehatan masyarakat, 48 ahli gizi, 55 ahli kesehatan lingkungan, 330 perawat dan 29 tenaga farmasi. Semua petugas kesehatan ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan masyarakat pasca gempa dan tsunami. Masalah perumahan/tempat tinggal menjadi persoalan tersendiri yang penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk sementara seluruh pengungsi ditempatkan di barak-barak yang disediakan oleh pemerintah walaupun dengan kondisi yang tidak memadai. Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa dan tsunami
ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, di tiap
kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar, posko-posko tersebut menampung sebanyak 300-500 orang, ada juga yang menampung 1000 - 4000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka akan pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang menumpang di rumah-rumah penduduk yang masih utuh. Banyaknya permasalahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami seperti yang telah disebutkan di atas akan berdampak terhadap kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang semula berjalan normal tiba-tiba terganggu dengan berbagai persoalan seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah, kehilangan aset dan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai. Semua permasalah ini terjadi
13
secara tiba-tiba dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat keluarga menjadi kebingungan dan stres. Untuk mengatasi stres yang dialami keluarga pasca gempa dan tsunami, setiap keluarga dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dengan demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai yang disebut strategi “coping”. Hal tersebut didukung oleh Friedman (1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga diharapkan mampu berperan dalam menyelesaikan masalah melalui strategi coping yang efektif. Apabila keluarga mampu melakukan “coping” dengan baik, akan berdampak positif terhadap keberfungsian keluarga.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga, kita harus kembali pada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan, walaupun fungsi-fungsi tersebut sangat beragam. Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah : (1) Masalah-masalah apa saja yang dihadapi keluarga pasca gempa tsunami ? (2) Bagaimanakah tingkat stres yang dialami keluarga ? (3) Sumberdaya coping apa saja yang dimiliki oleh keluarga ? (4) Bagaimanakah strategi coping keluarga ? (5) Bagaimanakah keberfungsian keluarga ? (6) Apakah ada perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga ? (7) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi coping ? (8) Bagaimana pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga ? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi coping keluarga yang terkena musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
14
Tujuan Khusus (1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga (2) Mengidentifikasi tingkat stres yang dialami keluarga (3) Mengidentifikasi sumberdaya coping keluarga (4) Mengidentifikasi strategi coping keluarga (5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga (6) Untuk menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga (7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga (8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga Manfaat Penelitian Hasil penelian diharapkan dapat : (1) Menyediakan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah baik ditingkat daerah maupun ditingkat pusat dalam hal penanggulangan korban bencana (2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara lebih mandiri, dengan cara melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan bencana (3) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang teori dan konsep ilmu keluarga, terutama dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana alam. (4) Sebagai bahan masukan bagi penelitian berikut yang relevan.