28
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau dan garis pantai lebih dari 81.000 km dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (75% dari total Wilayah Indonesia). Kondisi alam dan iklim yang tidak fluktuatif, menjadikan Indonesia mempunyai potensi sumber daya laut dengan
keanekaragaman
hayati
yang
sangat
besar,
walaupun
belum
terdayagunakan (Reina 2004). Bioteknologi kelautan yang berkembang pesat bertujuan memanfaatkan biota laut, salah satunya dengan ekstraksi senyawa bioaktif sebagai obat-obatan dan bahan farmasi. Mengingat prospek ekonomi yang besar dari sumber-sumber hayati di laut sebagai bahan obat-obatan itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan bioteknologi kelautan sebagai program unggulan sejak tahun 2002 (Dahuri 2005). Salah satu hasil laut yang mempunyai nilai penting adalah teripang dengan nama lain teat fish, sea cucumber dan ginseng laut. Secara ekonomi teripang mempunyai nilai penting karena dua hal, yakni sebagai sumber biofarmaka potensial dari hasil laut dan sebagai makanan kesehatan (Kerr 2000). Kandungan kimia teripang basah, terdiri dari 44-55% protein, 3-5% karbohidrat dan 1,5% lemak (Anonim 2004a). Teripang mengandung asam amino esensial, kolagen dan vitamin E.
Menurut Fredalina (1998), kandungan asam lemak
penting pada teripang seperti EPA (asam eikosapentaenoat ) dan DHA ( asam dekosaheksaenoat ) berperan dalam perkembangan syaraf otak, agen penyembuh luka dan antithrombotik.
Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif
antihipertensi (Zhao et al. 2007), antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000; Ridzwan et al. 1995), antifungi (Anonim 2003; Murray et al. 2002 dan Aryantina 2002), antikanker (Murwani dan Agus 2003), antikoagulan (Mulloy et al. 2000), sebagai penghasil protease (Xue-Yuan Fu et al. 2005a) dan arginine kinase (Xue-Yuan Fu et al. 2005b ), T-antigen lectin (Gowda et al. 2008), triterpen glikosida ( Yuan et al. 2007; Kovalchuk et al. 2006; Ismail 2008)
29
Penyebaran teripang di Indonesia terdapat pada perairan Pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan Barat/Timur/Selatan, Sulawesi, Maluku dan Kepulauan Seribu. Total hasil tangkapan teripang di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 184.631 ton (DKP 2006). Di beberapa tempat, antara lain di La Ende, Barangka Sulawesi, bahkan telah dilakukan budidaya pembesaran teripang.
Saat ini teripang
Indonesia diekspor sebesar 2600 ton/tahun dalam bentuk kering (beche-de-mer), konoko (gonad kering) dan konowata (usus asin). Produk ini banyak diminati sebagai makanan kesehatan karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki, oleh karena itu diduga teripang mengandung steroid Kustiariah (2006) berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang, dimana testosteron pada hasil ekstrak teripang segar lebih tinggi daripada teripang kering dan mengaplikasikan ekstrak steroidnya pada ayam. Seleksi bahan baku dan bagian tubuh teripang menunjukkan steroid pada teripang pasir lebih tinggi dari pada teripang gamat dan teripang hitam. Bagian tubuh yang mengandung steroid tertinggi adalah bagian daging teripang, dan telah dilakukan bioassay pada mencit terhadap penggunaannya sebagai aprodisiaka (Nurjanah 2008). Selain dimanfaatkan sebagai aprodisiaka, ekstrak steroid teripang yang mengandung testosteron juga dapat digunakan untuk keperluan sex reversal pada hewan air yang jenis jantannya lebih bernilai ekonomis daripada jenis kelamin betina, seperti pada udang galah, ikan gapi dan ikan hias lainnya (Riani et al. 2008). Ekstrak teripang berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber testosteron alami, namun belum didapat metode ekstraksi untuk keperluan produksi massal. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang berpengaruh pada berbagai metode ekstraksi dan penggandaan skala, sehingga dapat menjadi pedoman untuk ekstraksi ke skala industri. Teknik ekstraksi dalam industri farmasi umumnya adalah ekstraksi dengan pelarut (maserasi, soxhlet dan reflux) yang selanjutnya didestilasi.
Kondisi
ekstraksi konvensional yang tidak tepat dapat menimbulkan kehilangan dan degradasi senyawa target yang diinginkan. Oleh karena itu perlu dikaji faktorfaktor yang berpengaruh, seperti metode ekstraksi (maserasi, soxhlet dan reflux), jenis pelarut, rasio bahan pelarut, suhu dan lama ekstraksi (Goat et al. 1997).
30
Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji penggunaan pelarut (metanol, aseton, metanol kloroform dan kloroform), diduga aseton merupakan pelarut terbaik bagi testosteron pada ekstraksi secara maserasi karena adanya kesesuaian polaritas dengan testosteron. Selain itu, rasio bahan dan pelarut diduga
mempengaruhi
hasil ekstrak (bervariasi) tergantung dengan metode yang digunakan, serta diduga terdapat kombinasi suhu dan lama ekstraksi yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi. Metode ekstraksi lain yang berkembang dewasa ini adalah ekstraksi dengan fluida superkritis, dikenal sebagai Supercritical Fluids Extraction (SFE). Teknik ekstraksi ini disukai karena produk hasil bebas dari residu pelarut organik dan resiko oksidasi termal dapat diminimalkan seperti dalam mengekstrak vitamin E dan lemak (Xu et al. 2007). Teknik SFE dapat secara efektif memurnikan campuran yang dikehendaki, tanpa menghasilkan produk yang tak layak untuk aplikasi lebih lanjut dan memerlukan waktu ekstraksi yang lebih singkat, serta menggunakan gas CO2 sebagai pelarut.
Keunggulan penggunaan pelarut ini
adalah karena CO2 berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut tinggi terhadap berbagai komponen, relatif inert, tidak polar, relatif tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, mudah sekali didaur ulang dan tersedia di pasaran dengan kemurnian tinggi (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi et al. 1999; Sun 2002). Akan tetapi, metode ini memerlukan biaya investasi yang tinggi atau merupakan teknologi padat modal. Kapasitas pelarut SFE bergantung pada densitas, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan tekanan. Nilai tekanan dan temperatur suatu bahan menggambarkan tingkat keadaan bahan tersebut pada kondisi tertentu. Fluida dalam kondisi superkritis memiliki sekaligus sifat gas dan cairan. Kapasitas maksimum pelarut dan variasi luas sifat pelarut dapat dicapai dalam kondisi ini dengan perubahan kecil temperatur dan tekanan.
Hal ini menawarkan
karakteristik ekstraksi yang menarik, karena berkaitan dengan difusifitas, viskositas, tegangan permukaan serta sifat fisik lainnya. Banyak penelitian menggunakan metode SFE dalam berbagai bidang, seperti yang dilakukan pada bidang farmasi (Dean dan Khundker 1997), bahan aktif pada mikroalga (Mendes et al. 2003), steroid pada tablet (Yamini et al.
31
2002); steroid pada tes urine (Stolker et al. 1999 dan Cawley et al. 2005); mikrokapsul (Steckel et al. 1997), minyak ikan (Catchpole et al. 2000), minyak kacang mete (Patel et al. 2005), minyak berbagai hasil pertanian (King et al. 2004), berbagai minyak tak tersabunkan (Lesellier 2001) dan makanan (Ong et al. 1990). Sedangkan penelitian menggunakan SFE untuk mengekstrak steroid pada teripang belum pernah dilakukan. Pada ekstraksi teripang secara SFE, diduga terdapat kombinasi suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya pengaruh kombinasi densitas, viskositas dan volatilitas dari sistim yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi. Selain dengan variabilitas kepadatan pada berbagai suhu dan tekanan, hasil ekstrak dapat ditingkatkan dengan penambahan co-solvent, yakni suatu zat organik yang mempunyai volatilitas sedang terhadap CO2 sebagai pelarut dan senyawa yang akan diekstrak. Penggunaan co-solvent bertujuan meningkatkan polaritas dan kekuatan pelarut (CO2 dan co-solvent) dan interaksi spesifiknya dengan senyawa yang diekstrak (Rizvi 1999). Peranan lain co-solvent adalah dapat meningkatkan selektivitas separasi (Hugh dan Krukonis 1993). Dengan keunggulan penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE, maka semakin banyak co-solvent yang digunakan testosteron yang diperoleh semakin meningkat serta waktu ekatraksi yang diperlukan semakin singkat. Jumlah co-solvent yang digunakan ditentukan dari rasio laju alir CO2 dan co-solvent. Oleh karena itu, diduga terdapat rasio laju alir CO2 dan co-solvent tertentu yang dapat memberikan testosteron tertinggi. Kajian perbandingan ekstraksi teripang sebagai sumber testosteron secara konvensional dan SFE perlu dilakukan untuk dasar pertimbangan pemilihan metode ekstraksi yang akan diterapkan, sesuai dengan kondisi setempat. Hasil ekstrak teripang yang diduga mengandung testosteron yang dapat dibuktikan pada analisis kualitatif (uji warna dan KLT) dan analisis kuantitatif (spektrofotometer UV-Vis dan HPLC) serta terdapat gugus-gugus penciri testosteron pada hasil ekstrak. Maka perlu dibuktikan bahwa pada hasil ekstraksi secara SFE mengandung testosteron.
32
Perumusan Masalah Testosteron yang beredar merupakan testosteron sintetik yang mempunyai efek samping dalam penggunaannya. Di beberapa negara maju hormon ini sudah dilarang peredarannya, sehingga sangat sulit memperolehnya.
Efek samping
testosteron sintetik yang membahayakan adalah bersifat karsinogenik. Riani et al. (2008) melaporkan bahwa penggunaan 17 α-metil testosteron pada hewan uji menyebabkan timbulnya benjolan-benjolan yang abnormal, sebagai gejala awal karsinogenik.
Kesadaran penggunaan produk alami memicu dan memacu
pencarian sumber-sumber testosteron alami, diantaranya adalah teripang. Penelitian testosteron pada teripang baru sampai tahap identifikasi dan bioassay sebagai aprodisiaka pada manusia dan keperluan sex reversal pada hewan, belum sampai pada tahap bagaimana mengekstraksi testosteron teripang dengan rendemen yang tinggi dan produksi massal.
Kajian ini perlu untuk
menjadikan steroid teripang sebagai komoditi hasil laut yang potensial dikembangkan pada skala komersil di masa datang, baik dengan teknologi konvensional maupun dengan teknologi modern.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan pelarut, rasio bahan dengan pelarut, metode ekstraksi serta kondisi ekstraksi (suhu dan lama ekstraksi) yang menghasilkan testosteron tertinggi baik pada pada ekstraksi konvensional maupun pada ekstraksi non konvensional (SFE). Lebih rinci tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan jenis pelarut, rasio bahan dan pelarut serta metode ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara konvensional skala 300 ml. 2. Mendapatkan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang skala 3000 ml dengan metode konvensional terpilih. 3. Mendapatkan suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara SFE.
33
4. Mendapatkan rasio laju alir CO2 dengan co-solvent dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara SFE. 5. Membuktikan terdapat testosteron pada hasil ekstrak teripang secara kualitatif dan kuantitatif.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1.
Menjadi dasar perancangan proses produksi testosteron dari teripang.
2.
Menjadi referensi bagi pihak-pihak terkait, seperti investor dalam dan luar negeri, peneliti, industri kecil dan menengah dan pihak pemerintah (pemda) dalam perancangan industri steroid teripang, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah teripang.
3.
Menjadi masukan dalam pengembangan industri kelautan di Indonesia untuk komoditas selain ikan, khususnya teripang.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan karakterisasi dan identifikasi teripang berdasarkan bobot dan ukuran sebagai bahan baku untuk ekstraksi. 2. Ekstraksi teripang pada skala 300 ml secara konvensional (maserasi, soxhlet dan reflux) dengan berbagai pelarut dan rasio bahan pelarut pada skala 300 ml. 3. Ekstraksi teripang pada skala 3000 ml dengan metode, pelarut dan rasio terpilih untuk mendapatakan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan tetsosteron tertinggi. 4. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada berbagai suhu dan tekanan. 5. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada kondisi ekstraksi (suhu dan tekanan) terpilih, menggunakan berbagai rasio laju alir CO2 dan co-solvent. 6. Menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstraksi dengan uji warna, kromatografi lapis tipis/KLT, spertrofotometer UV-Vis, HPLC dan FT-IR.
34
Kerangka Pemikiran Penelitian Penambahan nilai suatu produk dapat dilakukan melalui penemuan bahan baku baru, penemuan proses baru ataupun produk baru. Salah satu hasil laut yang potensial dikembangkan adalah teripang pasir (Holothuria scabra J) yang merupakan bahan baku baru sumber steroid. Produksi testosteron dari teripang pasir dapat memberikan nilai tambah suatu bahan menjadi produk yang bernilai tinggi, yakni dari teripang yang hanya diekspor dalam bentuk beku/kering menjadi produk testosteron. Untuk menjembatani hasil temuan testosteron dalam teripang dan pemanfaatan testosteron dengan permintaan testosteron alami, diperlukan kajian ekstraksi teripang pasir sebagai sumber testosteron alami.
Kajian ini akan
membahas faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi testosteron pada hasil ekstraksi teripang, baik pada ekstraksi secara konvensional maupun secara SFE, untuk mendapatkan hasil yang tinggi.
Hal ini sangat penting sebagai
pedoman pengembangan proses ekstraksi testosteron dari ekstrak teripang sehingga dapat dikembangkan ke skala industri. Kajian perbandingan ekstraksi konvensional dan SFE dalam mengekstrak testosteron pada hasil ekstrak teripang sangat perlu dilakukan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penerapan metode ekstraksi sesuai dengan kondisi setempat (ketersediaan modal, sarana dan prasarana, tenaga kerja dan lain-lain) dalam pengembangan industri testosteron dari ekstrak teripang. Kebutuhan konsumen akan testosteron alami, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan nelayan melalui keterjaminan harga teripang, sehingga secara simultan industri ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
TINJAUAN PUSTAKA Metode Ekstraksi Konvensional Metode berasal dari kata “meta” (=melalui) dan “hodos” (=jalan), artinya metode adalah cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan,
35
sedangkan
ilmu
yang
mempelajari
cara
tersebut
disebut
metodologi
(wikipedia.org). Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa aktif (penarikan sari) dari simplisia untuk memperoleh keseluruhan senyawa-senyawa yang terkandung pada simplisia bersangkutan (ekstraksi total) ataupun golongan senyawa tertentu saja (Ansel 1989).
Sudut pandang kimia mendefinisikan ekstraksi sebagai
pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut, dan pemisahannya terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran (Coulson dan Richardson 1999). Metode ekstraksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara memisahkan yang harus ditempuh atau dijalankan untuk mendapatkan senyawa target (testosteron) yang diinginkan.
Efektivitas ekstraksi dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain kondisi alamiah simplisia (jaringan lunak/keras, bahan segar atau dikeringkan), ukuran partikel simplisia, suhu proses, tekanan udara dalam proses, jenis pelarut dan metode ekstraksi (peralatan ekstraksi). Pelarut yang digunakan berupa pelarut non polar (heksan, sikloheksan dan toluene), pelarut semi polar (kloroform, diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan pelarut polar (metanol, etanol dan air). Menurut Ansel (1989) metode dasar dari ekstraksi bahan obat adalah maserasi (proses”M”) dan perkolasi (proses “P”). Maserasi berasal dari bahasa latin macerare yang artinya merendam, merupakan proses bahan yang akan diekstrak direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakan sel-sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Perkolasi berasal dari kata “per” artinya melalui dan “colare” artinya merembes. Perkolasi merupakan proses ekstraksi dimana bahan yang akan diekstrak diletakkan di dalam alat (perkolator) dengan pelarut yang dialirkan merembes melalui kolom. Ada banyak metode ekstraksi yang dapat digunakan dalam mengekstrak bahan aktif, diantaranya adalah :
Maserasi
: Metode ekstraksi melalui perendaman simplisia dalam cairan penyari (solvent) yang sesuai disertai pengadukan atau penggojogan sehingga senyawa aktif tersari sempurna (Ansel 1989)
36
Perkolasi
: Metode ekstraksi senyawa aktif dari simpisia menggunakan penambahan cairan penyari (pelarut) secara berkesinambungan (continuous extraction process) sehingga senyawa aktif tersari sempurna (Ansel 1989)
Soxhlet
: Metode ekstraksi dengan menggunakan peralatan soxhlet, pelarut dan simplisia berada pada tempat terpisah, penyarian terjadi secara berulang akibat pergerakan pelarut melalui proses pemanasan dan kondensasi (Ruiz-Jimenez et al. 2004) : Metode ekstraksi dengan mereflux simplisia bersama dengan
Reflux
pelarut pada tempat yang sama, menggunakan pemanasan dan kondensor balik sehingga pelarut akan masuk kembali dalam tempat proses ekstraksi berlangsung (Garcia-Ayuso et al. 1998) Menurut Coulson dan Richardson (1999), ada empat faktor penting yang berpengaruh pada proses ekstraksi, yakni ukuran partikel, pelarut, suhu dan pengadukan.
Ukuran partikel berpengaruh terhadap luas permukaan yang
menentukan kontak bahan dan pelarut, pelarut berpengaruh terhadap kesesuaian komponen yang akan diekstrak, suhu dan pengadukan berpengaruh terhadap kelarutan komponen yang akan diekstrak. Selanjutnya dijelaskan bahwa, secara umum suatu proses ekstraksi biasanya terdiri atas tiga tahap, yakni :
Pertama, perubahan fase padat menjadi campuran dalam pelarut (mencampurkan bahan ekstrak dengan pelarut) dan membiarkannya saling kontak.
Kedua, proses difusi pelarut melalui pori-pori ataupun secara langsung membawa hasil ekstrak keluar dari partikel.
Ketiga, perpindahan solute (komponen yang diekstrak) dari larutan ekstrak (campuran), berkaitan patikel utama dari campuran. Goad dan Toshihiro (1997) membagi proses rangkaian ekstraksi meliputi
persiapan bahan yang akan diekstrak, kontak bahan dengan pelarut, pemisahan residu dengan filtrat dan proses penghilangan pelarut dari ekstrak. Perlakuan Pendahuluan
37
Salah satu perlakuan pendahuluan pada proses ekstraksi adalah pengecilan ukuran, dilakukan dengan menggunakan peralatan yang bekerja secara pemotongan, penekanan dan/atau kombinasinya.
Persiapan sample mengikuti
beberapa metode untuk proses ekstraksi sterol, yaitu : (1) material segar yang akan diekstraksi digiling atau dijadikan tepung, (b) material segar dihomogenisasi menggunakan pelarut menjadi pasta, (c) material segar pertama dibekukan kemudian dihomogenisasi dengan pelarut, (d) material dikeringkan di oven atau udara kering, dilakukan penepungan dan ekstraksi, selanjutnya dihomogenisasi dengan pelarut (e) jaringan diliopilisis dan ditepungkan sebelum diekstrasi dengan pelarut (Goad dan Toshihiro 1997) Bahan Pelarut Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung pada sifat komponen yang akan diisolasi, yakni polaritas suatu senyawa. Senyawa polar diekstrak menggunakan pelarut polar, demikian juga dengan senyawa semi polar dan non polar.
Oleh karena itu penentuan polaritas bahan yang akan diekstrak dan
polaritas bahan pelarut sangatlah perlu dalam pemilihan bahan pelarut. Menurut Tzia dan Liadakis (2003) dasar pemilihan pelarut adalah kelarutan, pemisahan, tegangan permukaan dan viskositas serta ideal (tidak bersifat racun, stabil, tidak reaktif, ramah lingkungan dan murah). Metode yang ideal digunakan untuk mengekstrak lipid dari suatu jaringan yakni dengan memindahkan semua campuran lipophilik yang diperlukan secara efisien tanpa perubahaan formasi asli atau kehilangan akibat hidrolisis, autoksidasi atau degradasi (Goad dan Toshihiro 1997). Pelarut yang sering digunakan untuk mengektrasi jaringan hewan dan tanaman tingkat rendah adalah kloroform, aseton, metanol, campuran kloroformmetanol, etanol, propanol dan heksan atau petroleum eter. Fredalina, et al. (1998) mendapatkan komposisi asam lemak dari Stichopus chloronotus segar dengan menggunakan bahan pelarut metanol, etanol, PBS (Phosphat Buffer Saline) dan air destilasi dengan hasil EPA tertinggi diperoleh menggunakan PBS sebesar 25,69% dan DHA tertinggi menggunakan air 57,55%. Panomarenko et al. (2000) berhasil mengekstrak fraksi free sterol dari kelas Holothuriodea (Synapta
38
maculate, Cladolabes bifurcates dan Cucuraria sp) menggunakan kloroform secara reflux pada suhu 60oC. Ibrahim (2001) berhasil mengisolasi senyawa steroid dari lintah laut (Discodoris sp) menggunakan pelarut aseton dingin yang dilanjutkan dengan partisi menggunakan campuran asetil asetat dan air. Dengan teknik ekstraksi yang sama, Alwir (2001) mengisolasi steroid dari cacing laut (Eunice siciliensis). Beberapa pelarut dengan sifat-sifatnya perlu menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan pelarut seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat beberapa pelarut organik (Adam dan Dyson 2004). Pelarut
Konst Dielektrik (Debye) Sikloheksan 2,0 Dioksan 2,2 Karbon Tetraclorida 2,2 Benzen 2,3 Toluen 2,4 Karbon disulfide 2,6 Diisopropil Eter 3,9 Dietil Eter 4,3 Kloroform 4,8 Etil Asetat 6,0 As.Asetat Glasial 6,2 Tetrahidroform 7,6 Metanol Kloroform (1:2)* 14,1 Isopropanol 18,3 Aseton 20,7 Etanol 24,3 Metanol 32,6 NN-Dimetilformamida 34,8 Dietilenaglikol 37,7 Air 78,5 *)Hasil perhitungan pencampuran pelarut
Titik Didih 81 102 76 80 111 76 68 35 61 77 78 66 61-65 68 56 78 65 154 245 100
Metode Ekstraksi Secara umum ekstraksi lemak mengikuti satu atau kombinasi beberapa metode, yakni: (a) Perlakuan material dengan perendaman pada pelarut dengan pemanasan 40oC, dengan atau tanpa pengadukan/goncangan dalam waktu pendek atau periode yang panjang, (b) Pemanasan material dengan pelarut ekstraksi secara reflux selama 2 – 12 jam atau reflux secara seri dengan penambahan pelarut atau penurunan polaritas, (c) Ekstraksi dengan soxhlet menggunakan satu pelarut
39
atau menggunakan pelarut dengan peningkatan polaritas secara seri, (d) Homogenisasi pada pelarut ekstraksi dan (e) ultrasonik pada material kecil dalam cairan ekstraksi atau dalam satu seri pelarut (Goad dan Toshihiro 1997). Aspek Fundamental dalam Ekstraksi Ekstraksi sebagai proses difusi, adalah proses dimana molekul diangkut dari satu bagian ke bagian lain dalam sistem karena pergerakan acak yang disebabkan oleh gradien konsentrasi.
Ekstraksi dengan pelarut dapat dianggap sebagai proses
difusi dalam keadaan cair karena transfer larutan, bahkan dalam padatan. Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.
Pori-pori kapiler
Padatan Difusi internal
Cairan Eksternal Difusi
Kelarutan Degradasi Bahan terlarut Pelarut
Gambar 1 Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003) Sistem Ekstraksi Secara Konvensional Perancangan sistem ekstraksi dan rincian pemilihan peralatan yang sesuai tergantung pada tujuan proses dan sifat fisis material yang akan diekstraksi. Kemampuan melarut dan pemilihan bahan pelarut cairan yang sebagian besar didasarkan pada air, hidrokarbon seperti heksan atau alkohol digunakan untuk mengekstrak komponen tertentu yang diinginkan. Model Operasi (Cox dan Rydberg 2004)
40
Model operasi dalam ekstraksi dibedakan atas ekstraksi batch, quasicontinuous dan continuous, sedangkan berdasarkan tahapan prinsip kerja dibedakan atas ekstraksi satu tahap dan ekstraksi banyak tahap dan hubungan antar tahap dibedakan atas yakni co-current, cross-current dan counter-current Model operasi ekstraksi batch. Ekstraksi dilakukan dalam vessel yang telah diisi dengan bahan padat yang akan diekstrak. Bahan pelarut selanjutnya disaring melalui bed solid atau ditambahkan ke vessel sampai padatan sepenuhnya terbenam. Kadang campuran pelarut bahan padat digerakkan untuk meningkatkan terjadinya perpindahan massa.
Setelah waktu tahan tertentu (holding time),
campuran pelarut-ekstrak, disebut miscella, ditarik dari vessel dan bahan padat dibuang. Proses ini hampir ditinggalkan, kecuali pada beberapa aplikasi khusus, karena gangguan yang diperlukan operasi untuk bongkar-muat dan diperlukan jumlah bahan pelarut yang besar. Model operasi ekstraksi quasi-continuous, bertujuan meningkatkan efisiensi ekstraktor, beberapa batch ektraktors dapat dioperasikan secara urut menggunakan bahan pelarut yang terisi dalam satu ekstraktor dan dilewatkan melalui bed solid yang masih berisi sejumlah unsur ekstraksi.
Peningkatan
konsentrasi larutan akan terjadi pada cara ini, secara berangsur-angsur mendekati total kapasitas bahan pelarut. Setelah suatu interval tertentu, masukan dan keluaran diubah sedemikian sehingga bed solid yang diekstrak sampai hasil tertinggi ditutup untuk pembuangan hingga giliran ekstraktor selanjutnya. Model operasi continuous, pada operasi kontinu lengkap, bahan solid harus diambil dan dibuang secara kontinu dari dan ke ekstraktor. Prinsip Kerja Prinsip kerja pada ekstraksi dibedakan atas ekstraksi satu tahap dan ekstraksi banyak tahap. Ekstraksi satu tahap (single stage), peralatan sederhana ekstraksi pelarut cair adalah single stage vessel yang digunakan untuk ekstraksi pencelupan (immersion). Untuk menjaga periode ekstraksi, vessel digerakkan, sehingga campuran pelarut-bahan padat akan berbentuk slury yang dapat mengalir.
Ekstraksi banyak tahap (multi stage),operasi ini bertujuan
meningkatkan nilai maksimal beban larutan dari pelarut untuk pemisahan produk
41
dan pemulihan pelarut yang seekonomis mungkin. Tahap-tahap dan prinsip kerja ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 2.
Refinat 1
Umpan
Refinat 2
Refinat 3
Tahap 1
Tahap 2
Pelarut
Pelarut
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Ekstrak 1
Ekstrak 2
Ekstrak 3
Tahap 1
Tahap 2
Tahap Tahap 33
Tahap 3
Pelarut Pelarut
Umpan
Umpan
Pelarut
Gambar 2 Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003) Tiga cara yang berbeda digunakan untuk menghubungkan berbagai tahap, yakni co-current, cross-current dan counter-current (Gambar 2). Dalam ekstraksi co-current, dua phasa mengalir pada arah yang sama diantara berbagai pemberi kontak/kontaktor. Pada diagram dalam Gambar 4 diperlihatkan
bahwa
dengan
konfigurasi ini tidak ada kelebihan dari kontak tunggal karena keseimbangan dicapai pada kontaktor pertama, aliran terpisah telah dalam keseimbangan juga ketika memasuki kontaktor kedua, maka relatif tidak terjadi perubahan konsentrasi. Pada konfigurasi kedua, (b) cross-current, hasil yang dimurnikan berhubungan dengan sampel pelarut segar. Hal ini merupakan cara ekstraksi klasik dalam laboratorium jika menggunakan corong separator dan akan meningkatkan recovery larutan. Dalam skala industri, hal ini jarang digunakan karena konsentrasi larutan yang diinginkan berkurang pada produksi massa phasa produk.
Bentuk ketiga (c) adalah counter current, yang biasanya digunakan
dalam industri. Volume phasa tetap, dan dengan feeding kedua phasa pada ujung yang berlawanan dari kontaktor, gaya penggerak ekstraksi, yaitu perbedaan konsentrasi larutan kedua phasa, akan maksimal.
42
Metode Ekstraksi Fluida Superkritis (Supercritical Fluid Extraction) Supercritical Fluid Extraction (SFE) adalah suatu metode ekstraksi dengan prinsip memisahkan komponen di atas titik kritis tekanan dan suhu suatu fluida, yaitu suatu keadaan dimana fluida berada dalam keadaan seimbang antara bentuk gas dan bentuk cair (Hugh dan Krukonis 1993). Pada kondisi SFE, daya larut mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih selektif daripada bentuk cair atau bentuk gas (Rizvi 1999). Pada kondisi tersebut, daya larut dari pelarut yang digunakan sangat besar, sehingga dapat melarutkan zat lain dalam jumlah yang besar pula. Fluida superkritis ditandai oleh kerapatannya yang tinggi, kekentalan yang relatif rendah dan koeffisien diffusinya berada di antara fase gas dan fase cair. Sifat ini menyebabkan fluida superkritis berpotensi tinggi dan lebih unggul dibandingkan jenis pelarut lain. Diagram antara suhu dan tekanan CO2 dilihat pada Gambar 3.
Area Fluida Superkritis
Densitas : 0,6 – 1,6 Viskositas :0,0- 0,002 Koeff.difusi : 0,000002
Titik Kritis
Pc Tekanan
Densitas : 0,2 – 0,5 Viskositas : 0,0001-0,0003 Koeff.difusi : 0,0007
Padat
Cair Densitas : 0,0006-0,1 Viskositas : 0,003-0,0001 Koeff.difusi : 0,1
Gas
Temperatur
Tc
Gambar 3 Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, viskositas, koeffisien difusi (Hugh dan Krukonis 1993) Rizvi (1999) menyebutkan bahwa karakteristik fluida superkritis sangat tergantung pada kondisi fisiknya, terutama suhu dan tekanan.
Pemilihan
parameter ini akan berperan pada perubahan-perubahan densitas, viskositas dan difusivitas. Perubahan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi dalam SFE, misalnya kelarutan suatu zat tergantung pada besarnya
43
densitas, suhu dan tekanan pelarut.
Sedangkan kelarutan zat bervariasi,
tergantung pada bobot molekul yang dilarutkan dan struktur zat yang berlainan. Penerapan fluida superkritis didasarkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa banyak gas memperlihatkan peningkatan kekuatan, bila tekanan sampai kondisi di atas titik kritisnya. Kemampuan inilah yang dapat melarutkan bahan padat pada tekanan dan suhu kritis. Suhu maksimum dimana gas dapat cair disebut suhu kritis dan tekanan yang diperlukan untuk menyebabkan pencairan pada suhu tersebut disebut tekanan kritis. Beberapa pelarut dengan kondisi suhu dan tekanan kritisnya terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi kritis berbagai pelarut superkritis (Hugh dan Krukonis 1993) Pelarut Karbondioksida Etana Etilen Propana Propilen Isopropanol Benzen Toluena Air
Suhu Kritis (oC) 31,1 32,3 9,3 96,7 91,9 235,2 289,0 318,6 374,2
Tekanan Kritis (atm) 72,8 48,2 49,7 41,9 45,6 47,0 48,3 40,6 217,6
Pelarut yang banyak digunakan dalam SFE adalah CO2 karena berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut terhadap berbagai komponen sangat tinggi, relatif inert, tidak polar, tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, tetapi mudah sekali didaur ulang dan tersedia dipasaran dengan kemurnian tinggi sehingga dijamin tidak meninggalkan residu dalam hasil akhir (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi 1999; Sun 2002). Teknik ekstraksi dalam industri farmasi umumnya menggunakan ekstraksi secara destilasi dan ekstraksi dengan pelarut (perkolasi, maserasi dan soxhlet). Teknik konvensional ini membutuhkan waktu, peralatan operasi, penanganan, volume serta biaya bahan pelarut yang tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang tinggi dapat menimbulkan kehilangan dan degradasi senyawa target yang diinginkan. Penggunaan SFE terdapat pada banyak bidang, seperti lingkungan (PAHs, PCBs, pestisida, hidrokarbon alifatik), medis (obat, ekstraksi jaringan rambut,
44
kuku, darah, urine), makanan, tanaman dan hewan. Umumnya SFE mengekstrak komponen tidak mudah larut seperti minyak, lemak, asam lemak, kolesterol, steroid, limbah.
Ekstraksi minyak dari hasil pertanian seperti pada kedelai,
kacang, biji kapuk, jagung (King 2004), minyak biji jambu mete (Patel 2005), minyak dari kayu Eucalyptus globulus (Gonzalez-Vila et al. 2000), asam lemak tak tersabunkan pada minyak Callophylum calaba ( Crane et al. 2005), lemak tak tersabunkan (Lesellier 2001), ekstraksi asam lemak pada biji anggur (Cao dan Yoichiro 2003), asam lemak pada minyak biji kachnar (Ramadhan et al. 2005), kolesterol dari lemak hewan (Russo 2004) dan komposisi asam lemak pada produk ikan yang digaramkan (Ikura, Tarako, Tobiko dan Kazunoko).
Pada
bidang medis, SFE digunakan dalam ekstraksi komponen pharmaceutical penting dari mikroalga (Mendes 2003; Dean dan Khudker 1996), steroid pada sampel biologi (Kureckova et al. 2002), Secosteroid dari hasil laut (Scalia dan Domenica 2004), metiltestosteron, nortestosteron dan testosteron pada urine (Stolker et al. 1999). Catchpole
(2000)
berhasil
mengfraksinasi
minyak
ikan
dengan
menggunakan SFE, menghasilkan ekstrak tertinggi 135 bar dan suhu 40oC (perlakuan
90, 100, 130, 135 bar dengan suhu 40 dan 60oC).
Sedangkan
Vederaman et al. (2004) mengekstrak kolesterol dari otak sapi, menghasilkan ekstrak tertinggi pada 270 bar ≈ 27 MPa pada suhu 60oC dan 70oC. Kane (1992) menunjukkan peningkatan suhu (40, 60 dan 80oC) memberikan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 60oC terhadap steroid murni. Demikian juga dengan hasil penelitian Kurechova et al. (2002), menunjukkan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 40oC dari perlakuan suhu 20, 30, 40, 50, 60 dan 70oC dalam mengekstrak corticosteroid (deoksicorticosteron, corticosteron dan cortisol).
Akan tetapi
Ghaseni (2006) menunjukkan hasil ekstrak tertinggi adalah pada 45oC dari 35, 40 dan 45oC dalam mengekstrak Artemisia sieberi dan Mendes (2003) menunjukkan hasil ekstrak tertinggi 328.11 K (≈ 55oC) dari 313,1 K (≈ 40oC) dalam mengekstrak mikroalga. Petel et al. (2005) mendapatkan suhu optimum 60oC dalam mengekstrak biji jambu mete dan Vederaman et al (2004) mendapatkan suhu 60oC dan 70oC tidak berbeda nyata dalam mengekstrak kolesterol pada otak sapi.
45
Variasi temperatur pada SFE mempengaruhi densitas pelarut, sifat volatilitas dan desorpsi komponen pada matrik/jaringan. Pada temperatur tinggi volatilitas meningkat, tetapi densitas CO2 menurun.
Indikasi ini menyatakan
bahwa peningkatan efisiensi ekstraksi dengan menaikkan suhu tergantung pada bobot molekul. Peningkatan suhu dari 308 ke 348 K meningkatkan efisiensi ekstraksi medroxyprogesteron asetat (med) disebabkan peningkatan suhu mendekati sifat gas mengakibatkan densitas menurun, volatilitas meningkat, desorpsi komponen pada matrik meningkat. Pengaruh penurunan densitas lebih kecil daripada efek peningkatan volatilitas sehingga peningkatan suhu akan meningkatkan hasil med.
Sebaliknya, peningkatan suhu 308 ke 348 K
menurunkan efisiensi ekstraksi cyproteron acetat (cyp) sebab rendahnya densitas menurunkan hasil ekstraksi (Yamini et al. 2002). Sedangkan pengaruh tekanan terlihat bahwa peningkatan tekanan (100, 200 dan 300) pada suhu 308 K meningkatkan efisiensi pengekstrakan med, tetapi menurunkan efisiensi cyp. Pengaruh suhu dan tekanan diteliti oleh Ghasemi et al. (2006) dalam mengekstrak Artemisia sieberi.
Peningkatan suhu dari 308
ke 318 K
meningkatkan hasil ekstrak, tetapi peningkatan suhu 318 ke 328 K menurunkan hasil ekstrak. Hal ini disebabkan peningkatan suhu akan meningkatkan volatilitas, tetapi juga mengakibatkan turunnya densitas. Pada peningkatan suhu 308 ke 318 K, peningkatan volatilitas lebih dominan dari penurunan densitas, maka hasil meningkat, sedangkan peningkatan suhu 318 ke 328 K, penurunan densitas lebih dominan daripada peningkatan volatilitas, maka hasil menurun. Pengaruh tekanan (10,2, 20,2 dan 30,4 MPa) menunjukkan peningkatan hasil karena peningkatan tekanan akan meningkatkan densitas, sehingga kelarutan meningkat. Peningkatan volatilitas akan mengakibatkan pelarut mendekati sifat gas di mana densitas akan berkurang maka kemampuan mengekstrak akan menurun.
Di sisi lain,
peningkatan volatilitas akan mengakibatkan viskositas berkurang, difusifitas meningkat sehingga kemampuan mengekstrak meningkat, maka hasil ekstraksi meningkat. Pengaruh mana yang lebih dominan akan menentukan hasil ekstrak meningkat atau menurun. Pengaruh tekanan pada teknik SFE juga dilaporkan oleh penelitian-peneliti lain, yakni Mendes (2003), Vederaman, et al. (2004), Petel et al. (2005), Ghaseni
46
et al. (2006) yang mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi tekanan, maka ekstrak yang diperoleh semakin tinggi.
Penelitian Mendes (2003) menyatakan hasil
ekstrak pada tekanan 35 MPa > 27,5 MPa > 20 MPa, Vederaman (2004) menghasilkan ekstrak tertinggi 270 bar (≈27 MPa) dari 230 bar dan 250 bar. Sedangkan Petel (2005) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 300 bar > 250 bar > 225 bar > 200 bar dan Gahseni (2006) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 30,4 MPa tertinggi dari tekanan 20,2 MPa dan 10,1 MPa. Secara ringkas penelitian tentang pengaruh suhu dan tekanan pada berbagai komoditi terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perlakuan suhu, tekanan,aliran CO2 dan co-solvent pada SFE Suhu
Perlakuan Tekanan
333 K(60oC) 323 K(50oC) 313 K(40oC)
200 Bar* 225 Bar 250 Bar 300 Bar 230 Bar 70oC 250 Bar 60oC 270 Bar 50oC 313 K(40oC) 12,5 MPa** 333 K(60oC) 20,0 M Pa 30,0 M Pa 70oC 15,0 M Pa
Aliran CO2
Pustaka
1,2 kg/jam 1 kg/jam
Patel at al. 2005
2 kg/jam 3 kg/jam 4 kg/jam Tidak dilaporkan
Vedaraman et al. 2004 Mendes et al. 2003
B.Baku dan Pengamatan Anarcadium occidentale: Yield minyak Komposisi minyak Otak Sapi : Total Kolesterol Free sterol MikroAlgae: Yield minyak Lemak tak tersabunkan : Sterol dan Free Sterol Eucalyptus globules : Komposisi lemak Minyak Ikan kasar : Komposisi minyak
Tidak dilaporkan o 75 C 10 M Pa Tidak 25 M Pa dilaporkan CO2 + 313 K(40oC) 95 Bar 333 K(60oC) 100, 130, Etanol 135 Bar 0-12% o 40 C, 200 atm perbandingan dengan soxhlet, destilasi uap dan maserasi
Lesellier et al. 2001
Scalia et al. 1999
Chamamole Flower : Komposisi minyak
Perbandingan Soxhlet (pelarut toluen, sikloheksan, diklorometan) dengan SFE
Miege et al. 1998
Limbah pertanian
Gonzalez-Vila et al. 2000 Catchpole et al. 2000
Teripang Pasir (Holothuria scabra J) Klasifikasi Teripang Teripang yang juga sering disebut ketimun laut (sea cucumber) termasuk Kelas Holothuroidea dari Filum/Bangsa Echinodermata yang merupakan hewan
47
tidak bertulang belakang yang bertubuh lunak atau berduri. Klasifikasi teripang menurut Wibowo et al. (1997) adalah sebagai berikut : Filum Sub Filum Kelas Sub Kelas Ordo
: : : : :
Famili Genus
: :
Species
:
Echinodermata Echinozoa Holothuroidea Aspichitotecea 1. Aspidoochirota 2. Dendrochirota Aspidochirotae 1. Holothuria 2. Stichopus 3. Theolonata 1. 2. 3. 4.
Holothuria : a. Holothuria nobilis J b. Holothuria scabra J. Stichopus : Stichopus variegatus J Thelonata : Thelonata ananas J Actinopyga : a. Actinopyga lecanora J b. Actinopyga miliaris c. Actinopyga echinitis
Morfologi Teripang Pasir (Holothuria scabra) Warna teripang bervariasi tergantung jenisnya, mulai dari berwarna hitam, coklat atau kehijauan bahkan ada beberapa jenis yang mempunyai warna terang seperti merah muda, oranye, ungu, bergaris atau belang (Young 1997). Tubuh teripang umumnya lunak atau licin, berotot tebal atau tipis dengan kulit halus atau berbintik-bintik. Teripang pasir (Holothuria scabra J), seperti ditunjukkan pada Gambar 1 mempunyai tubuh bulat panjang, dengan punggung abu-abu atau kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti lapisan kapur yang tebal tipisnya tergantung umur.
Teripang umumnya
menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas polusi, air relatif tenang, mutu air dengan salinitas 29-33 ppt (Wibowo et al. 1997). Teripang adalah hewan detritus yang melakukan kegiatan makan dengan cara menyapu pasir ke dalam mulutnya.
Pergerakan teripang yang lambat
menyebabkan ia perlu mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang efisien, yaitu mengeluarkan holothurin yang toksik dan dapat melumpuhkan. Holothurin dikeluarkan oleh kelenjar khusus yang disebut kuvier (Anonim 2004 a). Teripang
48
yang memenuhi syarat komersial adalah yang telah mencapai bobot 400-500 gram/ekor, minimal mencapai 300 gram/ekor.
Gambar 4 Teripang pasir (Holothuria scabra J) (http://www/.Enchanted Learning.com). Di Indonesia ditemukan tiga genus teripang, yaitu Holothuria, Muelleria dan Stichopus. Ketiga genus tersebut yang banyak dieksplotasi adalah H.scabra, H. edulis, H. argus, H. marmorata, H. vacubanda, M. lecanora, S. ananas, S. chloromatus dan S. variegatus, yang berprospek dibudidayakan adalah H. scabra (Rustam 2006). Wibowo et al. (1997) mengelompokkan teripang berdasarkan harga di pasar Internasional, yakni kelompok teripang harga tinggi (H. fuscogilva, H. nobilis dan Thelonata ananas), kelompok harga sedang (H. scabra, A. miliaris, A. lecanora, A. mauriatana, S. chloronatus) dan kelompok teripang harga rendah (H. edulis, A. echinetes, B. asgus, H. atra, H. fuscopunctata). Hasil penelitian Nurjanah (2008) menunjukkan Holothuria scabra mempunyai kandungan steroid lebih tinggi dibandingkan teripang gamat (S. variegatus) dan teripang hitam (H. nobilis). Kandungan Kimia Teripang
49
Teripang kering mempunyai kandungan nutrisi yang terdiri atas kadar air (8,90%), protein (82,00%), lemak (1,70%), abu (8,60%), karbohidrat (4,80%), vitamin A (455 ug), vitamin B (thiamine 0,04 %, riboflavin 0,07 %, niacin 0,4 %) dan total kalori (385 cal/100g). Kadar protein yang cukup besar memberikan nilai gizi yang cukup baik, disamping itu protein teripang mempunyai asam amino yang lengkap. Kandungan lemaknya mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat diperlukan bagi kesehatan jantung dan otak (Fredalina et al. 1998). Dari hasil analisis terhadap tubuh teripang diketahui bahwa teripang mengandung protein ±44%, karbohidrat antara 3-5% dan lemak 1,5% (Anonim 2004). Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000), antifungi (Aryantina 2002), antikoagulan (Mulloy et al. 2000), sebagai penghasil protease (Fu et al. 2005a) dan arginine kinase (Fu et al. 2005b), bahan aktif antihipertensi (Zhao et al. 2007), antikanker (Murwani dan Agus 2003), T-antigen lectin (Gowda et al.
2008), triterpen
glikosida (Kovalchuk et al. 2006; Yuan et al. 2007; Ismail 2008) dan sterol bebas (Stonik et al. 1997; Ponomarenko et al. 2000). Ridzwan et al. (1995) menemukan bahan aktif antibakteria dari ekstraksi pelarut metanol dan Phosphat Buffered Saline (PBS).pada tiga spesies teripang di Sabah, yakni H. atra, H. scabra dan B. argus. Hasil ekstrak diujikan terhadap tujuh bakteria S. faecalis, S. viridens, S. pneumonieae, S. auriens, E. coli, Shigella sinnei dan Proteus mirabilis.
Bahan aktif antibakteria juga terdeteksi pada
jaringan tubuh, telur dan organ dalam (A. rubens), kulit (S. droebachiensis) dan telur (C. frendosa) yang diamati terhadap E. coli, C. glutamicum, V. anguillarum dan S. aureus (Haug et al. 2002). Pada jaringan tubuh Parastichopus parvimensis ditemukan antibakteria yang diamati terhadap B. substilis dan E. coli (Villasin dan Christopher 2000). Antifungi pada teripang (Actinocopyga lecanora) yang diekstrak menggunakan metanol, etil acetat, n-butanol, menunjukkan aktivitas antifungi terhadap 21 fungi (Kumar et al. 2006). Ekstrak senyawa bioaktif antifungi juga dapat diekstrak menggunakan pelarut etanol, etil asetat dan kloroform dari Holothuria vacabunda terhadap E. coli, S. auriens, P. flourescens, V. damsela, V. harveyi, V. parahaemolycitus dan V. charcarie (Aryantina 2002).
50
Gowda (2008) melakukan purifikasi dan karakterisasi T-antigen spesifik lektin pada cairan coelomic Holothuria scabra (HSL) yang memberikan respon tahan terhadap aglutinasi bakteria. Gelatin dari teripang (Acaudina molpadioides) dihidrolisa menggunakan bromelin dan alcalase menghasilkan bahan bioaktif sebagai antihipertensi ( Zhao et al. 2007) dari teripang (Acaudina molpadioides) Stonik et al. (1998) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi komposisi 78 sterol bebas dari ekstrak teripang (P. trachus, H. nobilis, H. scabra, T. orientale dan B. natans) dengan menggunakan HPLC, GLC, GLC-MS dan NMR. Spesies yang mengandung sterol bebas terbanyak adalah H. scabra sebanyak 60 sterol bebas, diikuti H. nobilis sebanyak 42 sterol bebas, B.natans sebanyak 39 sterol bebas, T. orientale sebanyak 37 sterol bebas dan P. Trachus sebanyak 34 sterol bebas.
Sedangkan pada Synapta maculata terdapat 32 sterol bebas,
Cladolabes bifurcatus terdapat 7 sterol bebas dan Cucumaria sp terdapat sterol bebas sebanyak 30 macam. Teripang dikenal sebagai makanan kesehatan bagi Masyarakat China dan pesisir karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki.
Hal ini berkaitan
dengan kandungan steroid pada teripang, yakni testosteron (atau senyawa antaranya), sebagaimana telah diteliti lebih lanjut oleh Kustiariah (2006), Riani et al. (2008) dan Nurjanah (2008). Ekstrak steroid dari teripang pasir segar lebih tinggi dibandingkan ekstrak steroid teripang kering (Kustiariah 2006). Teripang pasir (Holothuria scabra) juga mengandung steroid yang lebih tinggi (58.46 ±2,94 x10-4 g/g, bk) dibandingkan teripang hitam (H.nobilis) dan teripang gamat (S. variegatus). Steroid teripang tertinggi terdapat pada daging, (58,46 x10-4±2,94 g/g, bk) pada gonad (30,79 ±2,94 x10-4g/g, bk) dan pada jeroan (28,13 ±1,89 x104
g/g, bk) (Nurjanah 2008).
Hormon Steroid Testosteron Steroid merupakan derivat sistem cincin perhidroksiklopentanofenantren yakni empat cincin A sampai D dan 19 atom C. Salah satu steroid yang dikenal adalah testosteron yang merupakan hormon, maka untuk dapat memahami steroid testosteron mestilah dimulai dari pemahaman tentang hormon.
Turner dan
Baghara (1976) mendefinisikan bahwa hormon merupakan suatu zat kimia yang
51
dihasilkan oleh bagian tertentu berupa kelenjar dan langsung berdifusi ke dalam peredaran darah menuju organ tubuh tertentu. Dilain pihak, Schunack et al. (1990) mendefinisikan hormon sebagai senyawa aktif biologis, bekerja dalam konsentrasi yang kecil, yang dibentuk dalam jaringan atau organ tertentu dari organisme hewan dan manusia, melalui aliran darah mencapai organ sasaran dan memperlihatkan kerja spesifik. Sterol merupakan kelompok steroid yang mengandung gugus hidroksil pada C3 dan rantai alifatik tersusun paling sedikit 8 atom C tertempel pada C17. Sterol utama pada bahan hewani adalah kolesterol, sedangkan sterol utama pada bahan nabati adalah fitosterol (terdapat 10 atom C pada C17).
Kolesterol
merupakan senyawa penting (senyawa antara) dalam pembentukan hormon steroid, salah satunya adalah hormon kelamin jantan yaitu testosteron dan androstedion.
Pengenalan hormon steroid (hormon kelamin) estrogen dan
androgen pada tahap awal dilakukan dengan melihat C17 dimana hanya mempunyai gugus hidroksil atau keto. Selanjutnya terlihat estradiol (esterogen) pada cincin A merupakan fenolik sedangkan androgen (testosteron dan progesteron) hanya mempunyai satu ikatan rangkap (Gambar 2).
Dengan
demikian akan terdeteksi dengan jelas perbedaan testosteron dan estrogen (Montgomery 1993). Testosteron Testosteron merupakan hormon androgen terpenting, hormon steroid C-19 yang diproduksi oleh testis. Kerja genetalis bersifat androgenik dan anabolik. Kerja androgenik adalah memelihara ciri-ciri kelamin pria sekunder yakni pembentukan organ kelamin pria, penegakan fungsi kelamin bantu, pematangan sperma dan pemelihara libido. Sedangkan kerja anabolik adalah massa otot pria yang besar, kekar, pematangan tulang dan pertumbuhan tinggi serta pengaruh psike (Schunak 1990). Rumus bangun testosteron dilihatkan pada Gambar 5.
52
Kotrisol D
C A
D
C A
Estradiol
B
Progesteron
B
18 12 19 2 3
1
13 14
11 10
5
9 6
8 7
17
16 15
Testosteron
4
Gambar 5 Rumus bangun steroid testosteron (Schunak 1990)
Testosteron sebagai aprodisiaka Berdasarkan kerja genitalis hormon steroid, cukup banyak produk yang dapat dikembangkan dari steroid teripang. Berdasarkan kerja hormon estrogen, steroid dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pada wanita, sedangkan hormon androgen dapat digunakan untuk peningkatan vitalitas laki-laki (aprodisiaka) dan pembentukan otot. Produk steroid yang telah dikomersilkan banyak ditemui dalam berbagai bentuk, diantaranya steroid berbentuk tablet, steroid berbentuk kapsul keras, steroid berbentuk kapsul lunak dan steroid berbentuk ampul (cair). Steroid banyak digunakan baik secara langsung maupun melalui oral, tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Produk steroid yang segmen pasarnya wanita, umumnya menonjolkan fungsinya untuk menghaluskan kulit dan
53
awet muda, sedangkan untuk segmen pria, lebih menekankan fungsi pembentukan otot perkasa dan peningkatan vitalitas. Produk lain yang ada di pasar komersial adalah steroid kompleks alami (Natural Sterol Compex) dengan merk dagang relacore, zantrex dan estrin D. Keinginan untuk tampil lebih prima, baik secara stamina maupun bentuk badan yang ideal menjadikan produk aprodisiaka berkembang pesat, bahkan berupa obat-obatan konvensional, seperti jamu.
Produk yang mengandung
aprodisiaka dalam negeri keluaran Sido Muncul adalah Kuku Bima TL, menggunakan aprodisiaka dari kuda laut yang berguna untuk meningkatkan libido (Anonim 2004 b).
Produk aprodisiaka luar negeri penggunaannya lebih
bervariasi, tidak hanya berupa oral tablet (Anabol tab, Sustanon 250), tetapi juga berupa krim atau gel dengan merk dagang orgasmus cream, erotisin cream, libimex cream.
Bioassay Aktivitas Biologis Ekstrak Steroid Teripang Pasir Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai sex reversal Tingkat keberhasilan dan dosis pemberian hormon steroid untuk keperluan sex reversal sangat dipengaruhi oleh jenis steroid yang digunakan, jenis spesies dan tahapan perkembangan organisme. Umumnya aplikasi dilakukan pada fase embrio karena akan memberikan efek perubahan yang bersifat permanen (organisation effects), sementara pemberian pada fase dewasa umumnya bersifat temporer (activational effets) (Riani et al. 2008). Pengujian aktivitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada udang galah (Riani et al. 2006) Pengujian aktivitas steroid sebagai sex reversal pada udang dilakukan dengan dua metode yaitu perendaman juvenil dan penyuntikan pada induk. Perendaman pada juvenil terdiri atas lima perlakuan : juvenil direndam dalam cairan tanpa ekstrak steroid, juvenil direndam dengan larutan ekstrak kosentrasi 1 mg/l, 2 mg/l, 3 ml/l dan kontrol positif (hormon 17 α-metil testosteron). Parameter pengamatan nisbah kelamin jantan, derajat hidup, pertumbuhan juvenil. Pada metode perendaman nisbah kelamin jantan menunjukkan pemberian ekstrak teripang memberi respon positif dibandingkan kontrol (21,01%), yakni
54
44,15%, 49,65%, 49,72% dan 50,45% pada kontrol positif. Pertumbuhan juvenil dengan pemberian ekstrak steroid menunjukkan tidak berpengaruh terhadap ratarata pertumbuhan harian. Pemberian esktrak teripang dengan cara penyuntikan pada induk udang galah dilakukan dengan perlakuan yakni kontrol negatif 0,5 ml minyak jagung/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 5 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 10 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 15 mg/1 kg induk dan hormon 17 α Metil testosteron 15 mg/1 kg induk. Parameter yang diamati adalah nisbah kelamin jantan, fekunditas, derajat pengeraman, derajat pembuahan, derajat penetasan, derajat hidup, ukuran telur, konsentrasi testosteron. Hasil yang diperoleh dengan cara penyuntikan terhadap nisbah kelamin jantan 35,56% pada tanpa pemberian, 42,22% pada pemberian 5 mg/1 kg induk, 63,33% pada pemberian 10 mg/1 gr induk, 48,89% pada pemberian 15 mg/1 kg induk dan kontrol positif. Fekunditas tertinggi pada pemberian 15 mg/ 1 kg induk yakni 686 butir telur/1 gr induk.
Derajat pengeraman menunjukkan hasil
pengaruh dosis tidak berbeda nyata (99%, 99,15%, 98,98%) dengan kontrol negatif (99,22%), tetapi berbeda nyata dengan kontrol positif (96,68%). Derajat penetasan menunjukkan hal yang sama (98,34%, 98,14%, 97,96%, 98,28%) dengan kontrol positif sebesar 79,92%. Derajat hidup pada kontrol negatif dan pemberian teripang tidak berbeda nyata, sedangkan kontrol positif menunjukkan pengaruh nyata terhadap tingginya jumlah larva yang hidup.
Ukuran telur
menunjukkan kontrol negatif lebih kecil dari perlakuan lain. Pertumbuhan larva kontrol negatif dan semua dosis pemberian adalah 5,80, sedangkan pada kontrol positif 5,98. Pertumbuhan juvenil menunjukkan hasil tertinggi pada pemberian 15 mg/l (57,14). Konsentrasi testosteron tertinggi terdapat pada pemberian 10 mg/l. Kesimpulan dari penelitian mengenai efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah pemberian hormon ekstrak steroid dari teripang melalui metode injeksi secara efektif dapat mempengaruhi zigot dan larva berkembang menjadi jantan secara fenotipe sehingga jumlah udang galah jantan lebih besar dari udang galah betina. Metode perendaman dengan dosis ekstrak teripang 3 ml/l selama 24 dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi 49,72%. Metode injeksi dengan dosis ekstrak steroid teripang 10
55
mg/kg dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi yaitu 63,33% dan merupakan perlakuan terbaik. Pengujian aktifitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada ikan gapi (Riani et al. 2008) Pengujian aktifitas steroid teripang sebagai sex reversal dilakukan dengan pemberian secara oral dan secara perendaman dengan perlakuan pemberian ekstrak teripang 200 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 400 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 600 mg/kg pakan, kontrol negatif (tanpa steroid testosteron) dan kontrol positif dengan steroid 17α metiltestosteron. Pemberian perlakuan teknik oral adalah dengan memasukkan ke dalam mulut, sedangkan teknik perendaman dilakukan dengan merendam induk ikan gapi yang sedang bunting di dalam larutan yang mengandung hormon selama 24 jam. Dengan teknik perendaman ini diharapkan hormon akan larut dalam air kemudian masuk ke dalam tubuh ikan secara difusi atau melalui insang.
Kemudian hormon
tersebut akan menuju organ target. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah waktu melahirkan, jumlah anak, nisbah kelamin jantan dan persentase kelangsungan hidup. Teknik pemberian dengan oral menunjukkan perlakuan 200 mg/kg dan kontrol positif terjadi variasi waktu melahirkan yang cukup tinggi. Sedangkan pemberian hormon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Persentase tertinggi anak berkelamin jantan dari perlakuan steroid dengan dosis 400 mg/kg pakan yaitu sebesar 61,11% dan 58,33% pada kontrol positif serta persentase terkecil sebesar 34,21% diperoleh dari ikan yang pakannya tidak diberi hormon. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup masih di atas nilai 90%. Nilai yang terendah adalah pada kontrol positif yaitu 91,86%, sedangkan yang tertinggi yaitu 98,41% pada perlakuan pemberian ekstrak teripang sebesar 400 mg/kg. Teknik pemberian dengan perendaman menunjukkan bahwa hasil perendaman dalam hormon alami yang berasal dari ekstrak teripang tidak berpengaruh terhadap kecepatan waktu melahirkan, sedangkan perendaman induk ikan gapi dalam larutan hormon 17α metiltestosteron bisa mempercepat kelahiran anak ikan gapi. Pemberian ekstrak steroid teripang pada berbagai dosis dan lama
56
perendaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap variasi jumlah anak yang dilahirkan. Nisbah kelamin jantan diperoleh bahwa rata-rata persentase jantan yang tertinggi diperoleh dari kontrol positif yaitu sebesar 88,89%. Berikutnya adalah perlakuan dengan dosis 400 mg/l yaitu sebesar 78,23% dan rata-rata persentase terkecil diperoleh dari kontrol negatif yaitu sebesar 48%. Tingkat kelangsungan hidup berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup ikan gapi, secara umum keseluruhan perlakuan masih memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata di atas 90%. Tingkat abnormalitas, terlihat pada pemberian hormon 17α metiltestosteron, berpengaruh terhadap anak ikan gapi yang dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya kematian total pada anak ikan yang dilahirkan dari induk yang diberi pakan mengandung hormon 17α metiltestosteron. Sedangkan induk yang diberi perlakuan ekstrak steroid dan kontrol negatif tidak memperlihatkan kondisi yang abnormal. Begitu pula pada teknik perendaman. Sebagian induk ikan yang direndam dalam larutan hormon 17α metiltestosteron hanya melahirkan anak dalam jumlah sedikit. Sementara pada perlakuan lain dan kontrol negatif rata-rata anak yang dilahirkan berjumlah besar. Hasil bioassay memperlihatkan bahwa steroid dari ekstrak teripang berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan, baik pada udang maupun pada ikan gapi. Hal ini menunjukkan steroid dari ekstrak teripang dapat dijadikan sumber testosteron alami yang digunakan sebagai sex reversal, sehingga efek negatif penggunaan testosteron sintetik dapat dihindari. Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai aprodisiaka Potensi kegunaan produk teripang sebagai aprodisiaka salah satunya ditentukan oleh dosis pemberian.
Perlakuan dosis pemberian ekstrak steroid
adalah 10, 30 dan 50 μg/ 100 g bb, sebagai kontrol dilakukan tanpa pemberian hormon dan pemberian metil testosteron. Parameter pengamatan adalah kissing vagina, mounting dan kadar testosteron dalam darah. Hormon steroid, terutama testosteron, berpengaruh terhadap libido pada laki-laki, sesuai dengan penelitian Robbins (1996) dalam Nurjanah (2008) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi hormon steroid dalam tubuh, semakin tinggi libido sampai batas tertentu. Secara lengkap pengaruh ekstrak steroid teripang dapat dilihat pada Tabel 4.
57
Tabel 4 Hasil bioassay ekstrak steroid teripang sebagai aprodisiaka (Nurjanah 2008) Parameter Pengamatan Libido - kissing vagina (30 menit) - mounting Kadar Testosteron (ppm) Kualitas spermatozoa - Kosentrasi spermatozoa - Morfologi spermatozoa - Normalitas spermatozoa - Motilitas
Kontrol 0
Pemberian ekstrak teripang (μg/ 100 g bb) 15 30 50
3 1
6 1
8 2
4 0
139 ± 14,51
643,46 ± 37,98
1458,74 ± 15,44
95,56 ± 5,56
117 jt/ml normal 62,69 50 Lambat
175 jt/ml normal 57,12 22 Sedang
158 jt/ml normal 59,17 18 sedang
192 jt/ml normal 62,76 27 sedang