PENDAHULUAN
Latar Belakang Krisis moneter yang melanda Indonesia pada Tahun 1997 meningkatkan angka kemiskinan dan angka pengangguran. Jumlah penduduk miskin selama periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun, yaitu 34.01 juta jiwa pada Tahun 1996 menjadi 39.05 juta jiwa pada Tahun 2006 (BPS 2006). Begitu pula angka pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4.280 orang pada Tahun 1997 menjadi 10,93 juta orang pada Tahun 2006 (Antara 2007). Salah
satu
penanggulangan
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
menangani masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan memfasilitasi permintaan tenaga kerja ke luar negeri. Program pemerintah tersebut tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, yang isinya bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaanya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari hampir 700.000 orang pada Tahun 2006 menjadi 1 juta orang per tahun hingga Tahun 2009. Demikian pula target negara tujuan akan diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara (Subkhan 2007). Kebijakan penempatan tenaga kerja ke luar negeri tersebut memberikan dampak positif antara lain menambah devisa negara terutama daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI (2008), pemasukan devisa dari TKI (remitansi) sepanjang Tahun 2008 naik sebesar 37,3 persen bila dibanding Tahun 2007 yaitu mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp 80,24 trilyun). Devisa dari TKI ini merupakan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Selain dampak positif, pekerjaan sebagai TKI juga memiliki berbagai resiko. Saat ini terdapat 3,8 juta TKI yang bekerja di 27 negara penempatan. Sekitar 70 persen dari jumlah TKI itu adalah perempuan yang rentan terhadap
2 masalah (Subkhan 2007). Menurut data Depnakertrans, sepanjang Tahun 2006 kumulatif kasus TKI-TKW mencapai 1.091 kasus dengan rincian kasus: gaji tak dibayar 371 kasus, pelecehan seksual 29 kasus, penganiayaan 88 kasus, kecelakaan kerja 29 kasus, PHK 140 kasus, sakit 124 kasus, putus komunikasi 253 kasus, kriminal 12 kasus, dan gagal berangkat 45 kasus (Fereshti 2007). Dampak negatif lain akibat dari kepergian Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang relatif lama menyebabkan adanya perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Sistem keluarga Indonesia menganut sistem patriarki yang menganggap laki-laki atau suami sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Namun demikian dengan adanya kepergian istri menyebabkan terjadinya pergeseran peran dalam keluarga dengan kondisi peran istri sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Blood (1972) diacu dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi dari keterpisahan anggota keluarga dan perubahan keberfungsian keluarga antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya
ikatan
kekerabatan,
goyahnya
stabilitas
keluarga
serta
melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat. Pengamatan yang dilakukan oleh Pratama dkk Tahun 2003 di Desa Paciran, Lamongan, Jawa Timur melaporkan bahwa berdasarkan data dari KUA setempat antara Tahun 2000 sampai 2003 angka perceraian rata-rata bertambah dua kali lipat dibanding kurun waktu sebelumnya. Data ini menunjukkan, hampir 60 persen kasus perceraian diakibatkan pengaruh TKI yang bekerja di luar negeri. Faktor penyebab, antara lain persoalan ekonomi, perselingkuhan, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah tangan. Dari penelitian ini terungkap, hampir 75 persen penyebab perceraian pada keluarga TKI/TKW adalah perselingkuhan, suami menikah lagi dengan perempuan lain, dan hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya (Republika 2004). Selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan ibu dan keluarga juga berdampak kepada kondisi anak. Perpisahan antara ibu dan anak dalam jangka waktu yang relatif lama dapat merenggangkan bonding antara anak dan ibu sehingga menyebabkan tidak terbangunnya basic trust dan menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya (Gunarsa 2003). Basic trust dan kepribadian anak merupakan
3 landasan dalam perkembangan sosial anak untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain. Kasus jumlah anak terlantar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdata di Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) NTB hingga Tahun 2008 mencapai 227.633 jiwa. Dalam kurun yang sama tercatat sebanyak 24.705 anak berusia di bawah lima Tahun (Balita) dan anak usia 5-18 tahun terkategori terlantar. Tingginya jumlah anak terlantar di NTB tidak lepas dari masalah kemiskinan dan animo masyarakat NTB menjadi TKI di luar negeri yang sangat tinggi, sebab biasanya para TKI menitipkan anak–anaknya ke kerabat atau tetangga ketika kedua orangtuanya bekerja di luar negeri (BKKBN NTB 2009). Kasus di SMPN 1 Panceng Gresik terdapat sekitar 20 persen siswanya merupakan anak TKI yang menunjukkan adanya kegiatan belajar siswa di rumah yang terabaikan dan peningkatan kenakalan siswa karena kurang kasih sayang dari orangtuanya (Jawa Pos 2008). Keuntungan ekonomi dari TKI berupa pendapatan yang tinggi tidak sebanding dengan social cost yang harus dibayar selama kepergian dan setelah kepulangan TKW. Keutuhan keluarga yang dipertaruhkan serta generasi penerus bangsa yang harus dikorbankan merupakan hal yang harus ditanggung keluarga serta negara. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai siapa pengganti pengasuhan anak selama ibu menjadi TKW dan bagaimana cara mengasuhnya serta resiko apa yang ditanggung oleh keluarga TKW berkaitan dengan kualitas perkawinan dan kondisi anak.
Perumusan Masalah Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas se-Jawa dan Bali, yaitu dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008) memiliki jumlah penduduk yang relatif banyak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi untuk meminimalkan tingkat pengangguran yang kian meningkat dengan makin bertambahnya penduduk. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
4 Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 Tahun 2005 2006 2007
Indikator Ketenagakerjaan TPAK TPT Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 76.59 9.55 31.9 11.04 75.83 8.04 30.54 6.99 85.45 10.94 42.34 10.66
Total Laki-laki 54.31 53.99 64.77
Perempuan 10.3 7.54 10.85
Sumber: Susenas 2005-2007 dalam BPS Kabupaten Sukabumi 2007 Terbatasnya kesempatan kerja di bidang formal, mendorong banyaknya penduduk Kabupaten Sukabumi untuk bekerja sebagai TKI. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 13 Tahun 2005 tentang pengerahan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri asal Kabupaten Sukabumi menyebutkan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Sepanjang Tahun 2007, terdapat 2.601 orang yang menjadi TKW di Kabupaten Sukabumi (BPS 2008). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi, dari 15.847 TKI asal Kabupaten Sukabumi, yang tercatat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi hanya 100 orang (Tempointeraktif 2004). Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara data dengan fakta di lapangan artinya bahwa TKI illegal jauh lebih banyak bila dibanding dengan TKI legal. Acep Basnasah mengatakan bahwa jumlah TKI asal Kabupaten Sukabumi yang bekerja di luar negeri hingga awal Tahun 2008 mencapai 26.000 orang lebih (Antara 2008). Remitansi TKI Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 mencapai 501 milyar rupiah. Namun disisi lain akibat kepergian istri menjadi TKW banyak ditemukan suami yang harus memegang peran ganda dalam keluarga dan banyak anakanak yang tumbuh dan berkembang dibawah pengawasan nenek atau keluarga besar lainnya, sedangkan nenek atau keluarga besar lainnya mungkin mempunyai gaya pengasuhan yang berbeda dengan ibu. Berdasarkan identifikasi dan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik keluarga TKW; (2) Seberapa besar dukungan sosial yang diterima keluarga TKW, fungsi pengasuhan terhadap anak, interaksi yang terjadi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak selama istri/ibu bekerja di luar negeri?; (3) Apakah terdapat perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu
5 saat ini, dan ayah saat ini; (4) Apakah terdapat perbedaan antara interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak; (5) Apakah terdapat hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak?; (6) Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW?.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik keluarga TKW. 2. Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak. 3. Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini 4. Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi antara ayah dan anak 5. Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak. 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat mengenai dampak positif dan negatif terhadap keluarga akibat kepergian istri/ibu menjadi TKW sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam mengambil keputusan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keluarga dan menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga terkait seperti lembaga perencana dan pengembangan program pembangunan keluarga. Selain itu juga menjadi sumber informasi dan referensi
6 dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dengan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan social cost yang harus dibayar sehingga dapat menetapkan kebijakan yang bersifat holistik dan solutif. Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh suami (husband’s perceived). Dalam melakukan penelitian, metode seperti ini memang diperbolehkan namun ada kelemahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan responden TKW untuk mengukur variabel kualitas perkawinan dan responden anak TKW untuk mengukur variabel interaksi anak dengan orangtua, keterampilan sosial, dan stres yang dialami anak.