PENDAHULUAN
Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan air susu ibu sifatnya terbatas sehingga di saat bayi masih membutuhkan air susu ibu untuk pertumbuhannya, maka pemberian makanan tambahan lainnya juga sangat diperlukan untuk pemenuhan gizinya. Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI), dimana komposisi gizi dari makanan ini hampir mirip dengan air susu ibu. Berdasarkan rekomendasi Resolusi World Health Assembly (WHA) Tahun 2001 dengan ketentuan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK Menkes No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif pada bayi di Indonesia, menyatakan bahwa bayi perlu diberi ASI ekslusif sampai usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai untuk bayi. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut diatas maka ditetapkan bahwa MP-ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan. Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun makanan campuran untuk dapat memenuhi kecukupan gizi anak. (Hartoyo et al., 2000). Produk makanan tambahan untuk bayi biasanya dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak Produk ini sangat disukai oleh ibu dan bayi karena rasanya yang enak serta sangat mudah untuk disajikan. Salah satu bentuk makanan yang memenuhi kriteria tersebut, selain susu formula lanjutan adalah MP-ASI bubuk instan seperti SUN, Promina, Milna, Goodmil, dan Cerelac yang pada proses pengolahan
2
biasanya ditambahkan bahan dasar susu bubuk. Susu bubuk merupakan bahan pangan yang tidak steril, karena beberapa bakteri mampu bertahan hidup khususnya bakteri pembentuk spora yaitu kelompok Bacillus terutama Bacillus cereus (Dadhicd, 2006). Makanan pendamping ASI yang formulasinya ditambahkan susu bubuk, dapat dikategorikan ke dalam pangan beresiko tinggi, sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam hal penyajian dan penyimpanannya. Susu bubuk terbuat dari susu murni yang telah mengalami proses pemanasan menjadi bubuk kering yang padat
atau tepung susu yang dibuat
sebagai kelanjutan dari proses penguapan. Perlakuan pengolahan susu bubuk seperti pemanasan dan pengeringan belum mampu membunuh seluruh mikroba yang pada awalnya sudah ada didalam susu mentahnya, terutama bakteri pembentuk spora. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp yang ditemukan dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena sporanya tahan terhadap proses pemanasan (Muir, 2000). Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif, membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Enterotoksin terdiri atas protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Toksin Bacillus cereus pada umumnya diproduksi atau terbentuk sebelum Bacillus cereus dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 107 sel/ml (Granum et al., 1993). Aas et al., (1992), menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus sebanyak > 104 sel/gram atau spora Bacillus cereus, menjadi sumber utama keracunan makanan di Norwegia. Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 12-24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada bayi dapat mengganggu pertambahan berat badannya dan apabila terkonsumsi dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi sebesar 105-107 sel/ml, tetapi untuk anak-anak dosisnya lebih rendah yaitu 103-105
3
sel/ml (Gianella dan Brasile., 1997; McClane, 2001). Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan level 0,3-600 sel/g. Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang waspada dalam tata cara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari menyebabkan spora bakteri mampu bergerminasi dan tumbuh. Produk susu kering dan makanan bayi diketahui sering terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus. Bacillus cereus enterotoksigenik terdistribusi secara luas dilingkungan (Labbe, 1989). Kontaminasi pada makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus biasanya dapat mengakibatkan derajat tingkat kesakitan sedang, tetapi jika mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus ≥ 105 sel atau spora dapat menyebabkan terjadinya diare akut dan dapat menyebakan kematian. Pada bayi dan balita dosis infeksinya dapat lebih rendah hal ini dikarenakan belum sempurnanya sistem imun pada bayi dan balita, sehingga kelompok ini menjadi lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang usianya lebih dari 24 bulan (FSANZ, 2003). Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow, 2006; Raju et al., 2007). Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan
(Setlow,
2003).
Bakteri
ini
merupakan
bakteri
yang
sering
mengkontaminasi berbagai macam makanan, termasuk produk-produk susu dan susu, sereal (terutama beras), dan food aditif (Kramer dan Gilbert, 1989; Becker et al, 1994.).
4
Rumusan Permasalahan Bacillus cereus telah diketahui sebagai penyebab keracunan pangan di Eropa sejak tahun 1906, KLB yang disebabkan oleh Bacillus cereus didokumentasikan pertama kali di Amerika pada tahun 1969 dan di Inggris pertama kali pada tahun 1971 (Jay et al., 2005). Di Indonesia, data mengenai kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh kontaminasi Bacillus cereus terutama pada produk pangan yang berbahan dasar susu dan sereal masih sangat sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih lanjut. Keberadaan Bacillus cereus pada produk olahan berbahan dasar susu dilaporkan oleh Bean dan Griffin (1990), menyatakan bahwa 94% penyakit keracunan disebabkan oleh Bacillus cereus yang pada umumnya berasal dari produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. Suhu penyimpanan dan kelembaban lingkungan yang tepat untuk susu bubuk maupun produk makanan berbahan dasar susu adalah ± 25⁰C dan RH≤ 50%. Becker et al., (1994) menemukan adanya kontaminasi dan pertumbuhan Bacillus cereus pada makanan bayi dan produk-produk susu bubuk dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan kisaran 0,3-600 sel/g. Penelitian terhadap kontaminasi Bacillus cereus pada makanan bayi dimulai pada tahun 1982/1983 yang menyatakan bahwa 31% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman positif Bacillus cereus. Rowan dan Anderson (1997) menemukan bahwa B. cereus tumbuh di 63 sampel dari 100 sampel susu formula bayi yang diuji setelah proses perlarutan dengan lama waktu 4 jam pada suhu 250C. Beberapa strain B. cereus yang berasal dari makanan bayi di temukan sebagai produsen cereulide (Andersson et al., 2004;. Ehling-Schulz et al., 2005). Di Chile, lebih dari 1,3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah oleh School Feeding Program mengandung Bacillus cereus. Produk-produk makanan kering, seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur susu), yang dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada
5
temperatur ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi (Kain et al., 2002). Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu. Makanan bayi yang mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk produksi Bacillus cereus cereulide. Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002).
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji ketahanan spora dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan. 2. Menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan tumbuh spora Bacillus cereus. 3. Mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan setelah preparasi melalui pengujian total mikroba 4. Mendeteksi keberadaan Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.
Hipotesis 1. Spora Bacillus cereus tahan panas mampu bertahan dan tumbuh di dalam MPASI bubuk instan selama penyimpanan. 2. Spora dan sel vegetatif Bacillus cereus mampu bertahan terhadap suhu preparasi.
6
3. Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada MP-ASI meningkat setelah preparasi yang disimpan pada suhu ruang.
Manfaat Penelitian 1. Sebagai penyedia data bagi penentu kebijakan di bidang kesehatan masyarakat dan industri pengolahan pangan sehingga dapat menjamin bahwa produk MPASI bubuk instan tersebut aman untuk dikonsumi. 2. Membantu industri pangan untuk menyikapi dan mengambil langkah pencegahan yang diperlukan. 3. Sebagai landasan untuk memperbaiki tatacara penyajian dan kondisi penyimpanan produk berbahan dasar beras dan susu.