1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Dari
enam jenis penyu, lima jenis diantaranya yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eremochelys imbricate), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) telah diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang lain (Salm & Halim 1984; Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007). Jenis keenam, penyu pipih (Natator epresus) diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan di perairan Indonesia (Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007). Dari kelima jenis penyu tersebut yang mengarah pada kepunahan adalah penyu belimbing. Penyu belimbing memiliki peran penting dalam sistem ekologi rantai makanan, karena berfungsi sebagai predator utama ubur ubur dari kelas shyphozoa terutama ordo rhizostomae. Ubur ubur merupakan organisme lunak, bertentakel dan merupakan predator dari juvenil ikan. Apabila populasi ubur ubur meningkat maka semakin banyak juvenil ikan yang dimangsa, sehingga mempengaruhi produksi perikanan. Pada kondisi ini peran dari penyu belimbing dibutuhkan sebagai penyeimbang populasi ubur ubur. Fakta ini menegaskan bahwa penyu belimbing merupakan spesies kunci ataupun spesies indikator. Selain sebagai spesies indikator, penyu belimbing juga merupakan penciri kealamian habitat. Hal ini disebabkan karena penyu belimbing menyukai habitat alamiah untuk melakukan proses persarangan, perkawinan dan makan. Apabila terjadi degradasi habitat maka penyu belimbing tidak lagi dijumpai di habitat tersebut. Populasi penyu belimbing secara global mengalami penurunan mencapai 97% dalam periode 22 tahun terakhir. Laporan Conservation International (CI) pada simposium tahunan ke 24 di Costa Rica menyatakan penurunan populasi dari 115.000 ekor betina dewasa menjadi 2.300 ekor sejak tahun 1982. Lima spesies penyu lainnya juga beresiko punah, walaupun dengan rentang waktu relatif lama dibandingkan dengan penyu belimbing sebagaimana dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) dengan status Appendix 1 yang artinya melarang untuk diperdagangkan (Hitipeuw et al. 2007)
Penyu belimbing diperkirakan hanya terdapat 2.300 ekor penyu betina dewasa yang tersisa di kawasan Pasifik Utara dan kawasan Pasifik Barat. Kawasan Pasifik Utara meliputi pantai Meksiko, Nikaragua, Costa Rica dan Kawasan Pasifik Barat meliputi pantai di Kepulauan Solomon,Vanuatu, Malaysia, Papua NNG dan Papua (Hitipeuw et al 2007). Di Indonesia tepatnya di pesisir utara Kepala Burung Papua diketahui menjadi tempat peneluran dengan stok populasi terbesar yang memberikan kontribusi terhadap populasi di Pasifik Barat (Dutton et al. 2007). Mengacu pada fakta ini, maka pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon Papua perlu dipertahankan sehingga keberlangsungan populasi tetap ada (Hitipeuw et al. 2007). Pantai Jamursba Medi dan Wermon adalah lokasi peneluran yang terletak di Kepala Burung Papua dan menjadi lokasi peneluran yang selalu dikunjungi oleh penyu belimbing. Saat ini kedua pantai ini merupakan penyumbang stok populasi terbanyak untuk populasi penyu belimbing di Pasifik Barat selain PNG dan Kepulauan Salomon. Uniknya kedua pantai ini memiliki musim peneluran yang berbeda, Tapilatu et al. (2002) menyatakan bahwa pantai Jamursba Medi memiliki musim peneluran pada bulan April sampai Agustus ditandai dengan musim monsun timur atau musim teduh, sementara Pantai Wermon biasanya musim dari bulan Desember sampai Februari ditandai dengan musim ombak atau monsun barat. Perbedaan musim peneluran ini tidak menyebabkan perbedaan spesies penyu yang bertelur tetapi spesies penyu belimbing yang sama berpeluang bertelur di kedua pantai tersebut. Kondisi kedua pantai dengan ciri karakterik habitat bertelur yang cenderung sama menjadi alasan adanya spesies yang sama bertelur dipantai berbeda dengan musim berbeda. Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan hidup dan populasi penyu. Ackerman (1997); Wallace et al. (2004) menyatakan faktor biologi dan fisik lingkungan pantai, pesisir dan laut memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dan proses ekologi penyu belimbing yaitu proses peneluran dan proses penetasan. Selain faktor lingkungan, indikasi lainnya adalah faktor sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tak langsung. Pemanfaatan langsung seperti perburuan penyu dan pengambilan telur, sedangkan pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan
skala besar (Hitipeuw et al. 2007).Semua indikasi faktor lingkungan dan sosial antropogenik secara langsung dan tidak langsung memberi tekanan kematian individu dewasa dan penurunan populasi penyu belimbing. Solusi dalam meminimalkan dampak faktor lingkungan dan sosial antropogenik adalah pengelolaan secara efektif dan terpadu. Pengelolaan secara terpadu meliputi tiga pilar utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan. Pengelolaan dari aspek ekologi mengacu pada pendekatan spesies dan habitat. Pendekatan habitat meliputi perlindungan habitat peneluran, habitat makan dan habitat migrasi. Sementara pendekatan spesies adalah perlindungan penyu agar tidak dimanfaatkan baik telur maupun induk dewasa. Pengelolaan dari aspek ekonomi merujuk pada penyadaran masyarakat dari kebiasaan memanfaatkan sumberdaya penyu secara berlebihan dengan memberikan alternatif pemanfaatan sumberdaya lain. Pendekatan sosial kelembagaan diarahkan untuk mengefektifkan peranan semua stakehoder untuk berpatisipasi dalam pengelolaan. Pendekatan pengelolaan yang telah dilakukan adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun untuk mengefektifkan perlindungan terhadap penyu belimbing tidak hanya di pantai peneluran tetapi juga di pesisir laut. Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun ditetapkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Sorong No.142 tahun 2005 dengan luasan 26.795,53 Ha. Penetapan KKLD Abun bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati di kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua dengan melindungi penyu belimbing yang melakukan peneluran dipantai Jamursba Medi dan Warmon. 1.2
Perumusan Masalah Tiwari et al. (2005) menyatakan bahwa kemungkinan penurunan populasi
penyu belimbing disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Lebih lanjut, Wallace et al. (2009) menyatakan bahwa faktor lingkungan dan antropogenik mempengaruhi keberadaan penyu belimbing di alam, tetapi sampai saat ini belum dapat dijelaskan faktor perbedaan dan interaksi secara geografi yang berimplikasi adanya variasi siklus hidup dan dinamika populasi yang terdistribusi dalam skala global. Faktor lingkungan berpengaruh secara langsung dan tak langsung terhadap individu dewasa, juvenil dan telur penyu dalam sarang. Pengaruh faktor
lingkungan terhadap individu dewasa dan juvenil terkait pola migrasi dan ketersediaan pakan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap telur penyu belimbing adalah adanya perubahan suhu pasir sebagai akibat dari perubahan suhu global, kelembaban udara pasir, intensitas curah hujan, kenaikan muka air laut dan perubahan monsun. Adanya pengaruh lingkungan ini ditandai dengan penurunan sukses penetasan pada sarang alami di Pantai Jamusba Medi dan Wermon. Pada tahun 2006 sukses penetasan di Jamursba Medi untuk tiga pantai adalah Wembrak 44,7%, Batu Rumah 31,4% dan Warmamedi 41,6% dimana keseluruhan dari sukses penetasan di Jamursba Medi 35,2%. Nilai ini kemudian mengalami penurunan mencapai 25% dan 47% (Tapilatu et al. 2007 & Tiwari et al. 2005). Kondisi ini semakin diperparah dengan dampak perubahan iklim global sebagaimana dijelaskan Ackerman (1997), bahwa perubahan suhu global akan mempengaruhi seksualitas tukik penyu belimbing. Ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perubahan suhu maka produksi seks tukik penyu belimbing betina dan jantan tidak seimbang karena toleransi suhu sarang penyu belimbing berkisar antara 28 - 29 ºC dimana suhu diatas 29 0C akan menghasilkan banyak tukik penyu betina dan suhu dibawah 28 0C akan menghasilkan banyak tukik penyu jantan. Pengaruh faktor sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing ditandai dengan jumlah populasi induk betina yang bertelur semakin berkurang akibat perburuan penyu belimbing oleh masyarakat Kei. Lawalata et al. (2004) menyatakan rata-rata tangkapan penyu belimbing sekitar 29 ekor pada musim 2004/2005. Kasus lainnya adalah tingginya tingkat pemburuan terhadap induk penyu dan pengambilan telur penyu di Taman Nasional Meru Betini Sukamadu Jember. Industri perikanan juga menjadi salah satu ancaman penurunan populasi akibat tingginya tangkapan sampingan. Sebagai contoh perikanan rawai tuna dalam satu trip mendapatkan by catch khususnya penyu belimbing sebanyak 3 ekor (Zainudin et al. 2007). Berbeda dengan aktivitas perikanan, penurunan habitat peneluran juga berdampak pada penurunan populasi. Salah satu contoh pada populasi penyu belimbing di Terengganu Malaysia, dimana penurunan populasi disebabkan faktor sosial antropogenik sebagai akibat tingginya aktivitas perikanan mengakibatkan
kematian 500 ekor penyu belimbing karena terjaring dalam pukat harimau (trawl) dan jaring lingkar (drifnet) oleh kapal perikanan Jepang (Chan and Liew 1996). Penyebab lain adalah pengambilan telur penyu belimbing dalam jumlah banyak dengan frekuensi pengambilan telur oleh masyarakat lokal, adanya degradasi habitat sebagai akibat pengalihan fungsi kawasan peneluran penyu belimbing menjadi tempat wisata dan tingginya polusi dan sampah sebagai akibat dari aktivitas wisata (Chan and Liew 1996). Kondisi serupa dinyatakan oleh Mast el al. (2006) in Hitipeuw et al. (2007) bahwa penurunan populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik seperti Malaysia, Meksiko, Costa Rica dan Indonesia disebabkan faktor kompleks tetapi perikanan skala besar dan perburuan masyarakat menjadi faktor utama penurunan populasi penyu belimbing (Chan and Liew 1996). Kondisi lingkungan dan kegiatan manusia diprediksi memberi tekanan tinggi terhadap rentannya suatu populasi untuk tetap bertahan di alam. Faktor dan kondisi ini berpeluang terjadi di Jamursba Medi dan Warmon apabila setiap aktivitas antropogenik tidak bisa dikontrol secara efektif. Sebagaimana diketahui bahwa pantai Jamursba Medi dan Warmon termasuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daeran Abun yang seharusnya dilindungi dan dikontrol oleh pihak teknis dan pemerintah, tetapi kondisi yang terjadi adalah tidak adanya pengawasan dan kontrol menyebabkan penurunan kondisi ekologi. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dari pemerintah dan pihak swasta menyebabkan banyak permasalahan tidak terselesaikan. Beberapa permasalahan antropogenik yang sudah teridentifikasi didalam KKLD Abun adalah
Adanya perijinan perusahaan (PT. HPH Multi Wijaya dan PT. Akram) dalam yang beroperasi di pesisir KKLD Abun. PT HPH Wijaya adalah perusahaan kayu yang menjadi produsen kayu logging yang diekspor kebeberapa negara Eropa. Resiko yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah sampah dari potongan kayu yang terdampar di pantai peneluran dan menjadi penghalang bagi penyu yang bertelur. Aktivitas kapal dengan frekuensi yang tinggi di daerah ini menimbulkan kebisingan yang perkirakan mempengaruhi insting dari penyu belimbing yang diketahui sangat sensitif terhadap bunyi dan cahaya.
Izin lainnya adalah PT Akram yang merupakan perusahaan emas yang masih proses tahap eksplorasi, tetapi beresiko menyebabkan penurunan habitat peneluran.
Jarak Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun yang relatif dekat dengan kabupaten Sorong sebagai pusat perikanan beresiko terhadap tingginya tangkapan sampingan (bycatch) dari perikanan tradisional maupun perikanan dalam skala besar.
Pemekaran wilayah dan daerah administrasi kabupaten Tambrauw memicu pertumbuhan jumlah penduduk dan pembukaan lahan yang nantinya berpotensi menyebabkan penurunan sistem ekologis di daerah pesisir.
Pembangunan jalan trans Papua Barat yang memanfaatkan pesisir KKLD Abun
menyebabkan
adanya
fragmentasi
habitat
yang
diprediksi
mempengaruhi kealamian dan fisik pantai peneluran.
Pemanfaatan masyarakat terhadap sumberdaya penyu seperti konsumsi daging dan telur penyu belimbing di pesisir KKLD Abun. Isu dan fakta ini tentunya memberikan resiko dan kerentanan yang cukup
berat terhadap populasi penyu belimbing. Dengan semakin banyaknya aktivitas manusia yang merugikan lingkungan pesisir maka akan berdampak pada penurunan dan kerentanan populasi penyu belimbing apalagi habitat peneluran berada didalam KKLD Abun. Potensi dampak yang timbul oleh ancaman ini sangat tergantung pada tingkat bahaya serta tingkat kerentanan pada wilayah tersebut dan sangat terkait dengan kondisi pemanfaatan wilayah pesisir, fisiografi, morfologi, demografi dan sosial ekonomi, termasuk kemampuan manusia untuk beradaptasi terhadap bahaya tersebut. Berkaitan dengan pengaruh faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik dalam kawasan, terdapat sejumlah pertanyaan yang menjadi perumusan masalah kajian ini, yaitu: 1. Seberapa besar faktor lingkungan dan sosial antropogenik akan memberikan dampak yang mengancam populasi penyu belimbing? 2. Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan, bagaimana kerentanan dan risiko yang dihadapi penyu belimbing? 3. Strategi adaptasi seperti apa yang dibutuhkan guna meminimalkan dampak terhadap populasi penyu belimbing dalam KKLD Abun.
Penelitian ini menjadi penting dilakukan seiring dengan meningkatnya efektivitas lingkungan dalam merespon kerentanan populasi penyu belimbing sebagai indikasi KKLD Abun. Diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang kerentanan populasi sehingga menjadi rekomendasi dalam perencanaan pengelolaan pesisir dan laut dengan mengedepankan konservasi baik spesies penyu belimbing dan habitat peneluran. 1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing berdasarkan penilaian non detrimental finding,
2.
Mengestimasi nilai indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun,
3.
Merekomendasikan skenario berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun.
1.4
Manfaat Manfaat penelitian diharapkan sebagai instrumen dalam pengelolaan
konservasi melalui pendekatan spesies maupun habitat dalam mempertahankan populasi penyu belimbing di Papua maupun di Pasifik Barat. 1.5
Ruang Lingkup Populasi penyu belimbing yang bertelur di semenanjung Kepala Burung
Papua, secara agregasi merupakan stok populasi terbesar di Pasifik Barat dan telah menjadi perhatian konservasi pada beberapa waktu terakhir. Status populasi penyu belimbing dinyatakan secara global mengalami penurunan pada pantai peneluran Jamursba Medi semenjak tahun 1980 sampai 2004 (Tapilatu et al. 2012), meskipun ada penemuan daerah bersarang lainnya dengan persentasi bertelur yang tinggi di pantai Wermon. Akan tetapi populasi peneluran di pantai ini dalam 6 tahun terakhir (setelah 2004) mengindikasikan adanya penurunan baik jumlah sarang dan jumlah induk betina mencapai 80% (Hitipeuw et al. 2007). Berdasarkan uraian tersebut maka penetapan status konservasi penyu belimbing adalah bagian penting untuk menjaga keberlangsungan spesies tersebut. IUCN menetapkan penyu belimbing termasuk dalam daftar buku merah dan termasuk dalam kategori spesies yang rentan populasinya di alam. Selain IUCN, CITES
juga menetapkan Apendix I bagi penyu belimbing yang artinya dilarang melakukan penangkapan atau diperjualbelikan Status penyu belimbing ini menggambarkan bahwa populasi di alam saat ini rentan terhadap kepunahan. Status ini mengharuskan untuk dilakukan penelitian kerentanan populasi sehingga diketahui seberapa rentan populasi penyu belimbing pada kondisi sekarang dan masa mendatang. Kajian penelitian kerentanan populasi perlu dilakukan pembatasan, mengingat bahwa kerentanan memiliki ruang lingkup pengertian yang relatif luas, sehingga perlu dilakukan pelingkupan. Dalam aspek kerentanan populasi penyu belimbing dibedakan berdasakan fungsi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dengan menggunakan variabel ekologi, sosial dan ekonomi. Pada masing masing kerentanan ini memiliki atribut yang berbeda dalam melihat kerentanan populasi penyu belimbing. Penelitian kerentanan populasi penyu belimbing diarahkan pada kerentanan karena faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Faktor lingkungan diartikan faktor alam atau proses alami yang mempengaruhi populasi penyu belimbing. Variabel lingkungan yang dikaji adalah pengaruh suhu pasir, perubahan morfologi pantai, kenaikan muka air laut, monsun, karakteristik pasir, kedalaman sarang dan predasi terhadap populasi penyu belimbing. Sementara faktor sosial antropogenik adalah semua interaksi dan aktivitas manusia baik personal maupun kelompok yang berpengaruh terhadap populasi penyu belimbing. Variabel tersebut meliputi perburuan induk penyu, pengambilan telur penyu, konsumsi telur dan daging, aktivitas perikanan dan pencemaran dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun. Kajian kerentanan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang akan digunakan. Konsep untuk kerentanan populasi sendiri belum terdeskripsi dengan jelas, tetapi untuk beberapa pendekatan dalam memprediksi pengaruh suhu pasir, kenaikan muka air laut dan pengaruh manusia terhadap populasi penyu telah dilakukan Fuentes et al. (2010). Konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Variabel dan indikator kerentanan populasi penyu belimbing yang tergambarkan
dalam kategori keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif, yang masing masing variabel dideterminasi dengan pendekatan vulnerability scoping diagram atau diagram pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan status populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik. Seberapa besar pengaruhnya sangat ditentukan oleh tingkat keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dari populasi penyu belimbing tersebut. Berdasarkan konsep kerentanan tersebut diatas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian analisis kerentanan populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi dan Pantai Warmon sebagai indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun seperti pada Gambar 1. .
Ruang lingkup penelitian kerentanan populasi PB
Global
Region al Lokal Tekanan sosial antropogenik
Peningkatan ekonomi masyarakat Peningkatan tangkapan sampingan
Keterpaparan
Kepekaan
Faktor sosial antropogenik
Penurunan populasi penyu belimbing
Kapasitas adaptif Pengaturan
Respon
Keterpaparan
Faktor lingkungan
Resiko/ dampak
Adaptif Pengaturan
Tekanan dan perubahan alam Perubahan lingkungan secara global
Gambar 1. Lingkup penelitian (Adopsi dari Tunner et al. 2003) 1.6
Kerangka Pikir Tingginya perubahan lingkungan berkontribusi terhadap ekosistem pesisir
termasuk biota yang terjadi secara bersamaan dalam skala global, regional dan lokal seperti tergambar pada Gambar 1. Penyu belimbing merupakan salah satu
biota yang juga mendapat tekanan dari perubahan lingkungan dan sosial antropogenik. Pantai peneluran Jamursba Medi dan Warmon adalah pantai peneluran yang masih menyimpan stok penyu belimbing di kawasan Pasifik Barat (Hitipeuw et al. 2007). Dalam 10 tahun terakhir terjadi penurunan populasi penyu belimbing secara drastis yang diduga disebabkan oleh perubahan faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Kedua faktor ini memberikan pengaruh negatif terhadap populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik yang beresiko mengalami kepunahan. Berdasarkan fakta ini maka diperlukan kajian untuk mengetahui status populasi dan seberapa populasi tersebut di pantai Jamusrba Medi dan Wermon Dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan non detriment finding yang diperkenalkan oleh CITES dan kerentanan (vurnerability indeks) (Gambar 2). Metode Non Detrimental Finding yang diperkenalkan oleh CITES dan IUCN bertujuan mengetahui status populasi penyu belimbing secara ekologis dengan menganalisis keterancaman secara ekologi dan kelestariannya di alam. Metode ini mengacu pada lima faktor penting yaitu faktor ekologi yang meliputi biologi, distribusi, migrasi dan karakteristik spesies, faktor trend populasi dan status konservasi, faktor ancaman populasi, faktor perdagangan dan pemanfaatan serta kontrol regulasi. Kelima faktor ini kemudian dijabarkan kedalam 25 unsur utama penyusun penilaian non detrimental finding. Hasil keluaran dari penilaian ini adalah mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing saat ini dan menentukan arahan kebijakan pengelolaan konservasi baik konservasi habitat maupun spesies. Kajian kerentanan populasi penyu belimbing mengacu pada pendekatan kerentanan berdasarkan konsep Fussel and Klein (2006) dan Tunner et al. (2003) yang dimodifikasi untuk kerentanan populasi oleh Fuentes (2010). Dalam kajian tersebut dijelaskan fungsi kerentanan berdasarkan tiga dimensi yaitu keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif. Ketiga dimensi ini akan menghasilkan nilai indeks kerentanan dari faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik dan selanjutnya mendapatkan nilai komposit indeks kerentanan populasi penyu belimbing. Selanjutnya untuk mengetahui keberlanjutan KKLD maka ditetapkan skenario pengelolaan yang dianalisis dengan metode tradeoff. Hasil tradeoff akan
menghasilkan skenario terbaik sebagai implementasi keberlanjutan KKLD Abun. Adapun kerangka pikir dalam melakukan penelitian ini seperti pada Gambar 2. Ancaman
Pantai Jamursba Medi dan Warmon
Proses Output
Populasi Penyu Belimbing
Stress & Decreasing
Gangguan Lingkungan
Gangguan sosial antropogenik
Kerentanan
Variabel n
Sistem lingkungan
1.Biologi,distribusi,migrasi, karakteristik 2.Trend populasi dan status konservasi 3. Ancaman populasi 4.Perdagangan pemanfaatan 5. Pengawasan dan regulasi
Composite indeks keterpaparan
Sistem sosial antropogenik
Composite indeks kepekaan
Variabel n
Composite indeks Kapasitas Adaptif
Composite Vurnerability Indeks Penilaian Non detrimental finding
Status pemanfaatan penyu belimbing
Status Populasi di Jamursba Medi & Wermon
Keberlanjutan KKLD Abun dengan Tradeoff analisis
Gambar 2. Kerangka analisis kerentanan populasi penyu belimbing di pantai Jamursba Medi dan Wermon KKLD Abun.