1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Namun pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade 1980 - 1990 antara lain karena tersedianya teknologi pembenihan, berumur pendek dan merupakan komoditi ekspor bernilai jual tinggi. Namun pada tahun 1990-an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh merebahnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan diversifikasi usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah budidaya rumput laut (Aderhold, et al. 1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006). Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatanobatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan) Wang dan Chiang (1994). Namun bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia yang semakin tinggi, ekspor rumput laut Indonesia rendah dan tahun 1995 – 1998 cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton dengan nilai ekspor 21.307.593 U$ pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Sementara itu produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton basah (Ditjenkanbud, 2005). Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah karena belum dimanfaatkan semua potensi laut. Tercatat areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900 ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005). Demikian juga sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi
2
Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000). Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005). Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.
1.2. Perumusan masalah Usaha budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima mengalami ekspansi yang pesat namun produksinya justru malah menurun.
3
Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada meliputi : 1. Penataaan ruang; regulasi pemerintah khususnya ketetapan lokasi dan pengaturan ruang yang belum jelas, karena belum adanya aturan/aspek hukum yang pasti dan jelas dalam pemanfaatan kawasan teluk Waworada sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya berdampak kepada kinerja dan kontinuitas produksi budidaya rumput laut di teluk Waworada tersebut. Ketidaksesuaian lokasi yang dilakukan petani/nelayan diduga berdampak pada menurunnya produksi dan rendahnya kualitas rumput laut. 2. Teknologi pengelolaan budidaya khususnya aspek penyediaan bibit, metode budidaya, umur panen dan pasca panen yang tidak sesuai teknis, hal ini sangat penting karena merupakan salah satu input penting dalam kegiatan budidaya rumput laut. 3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi baik biomas maupun kandungan karaginan rumput laut. Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan dan pengembangan budidaya rumput laut yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam rangka meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di wilayah tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima".
1.3. Tujuan dan sasaran penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir teluk Waworada Kabupaten Bima untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (dua) langkah penelitian yaitu : 1. Model hubungan antara faktor lingkungan (biofisik) dengan pengembangan usaha budidaya rumput laut ditinjau dari produksi dan kandungan karaginan.
4
2. Pengelompokan kawasan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima berdasarkan karakteristik biofisik dengan pendekatan indek tumpang susun (model SIG).
1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam perencanaan pemanfaatan kawasan untuk budidaya rumput laut khususnya di teluk Waworada Kabupaten Bima, sehingga proses aplikasinya dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
1.5. Kerangka Pendekatan Masalah Berdasarkan potensi dan permasalahan teluk Waworada tersebut, maka dalam proses untuk memenuhi target produksi dan tujuan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan yang meliputi : persyaratan kondisi lingkungan perairan (aspek fisika, kimia dan biologi), persyaratan kualitas akhir (karaginan) untuk kesesuaian lokasi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya rumput laut. Untuk mencapai tujuan dan sasaran untuk pengembangan budidaya rumput laut maka dilakukan pendekatan diantaranya penentuan parameter utama pertumbuhan budidaya rumput laut dengan menggunakan analisa Principle Component Analysis (PCA), analisis keruangan dengan menggunakan Geografis Information System (GIS). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima. Setelah berhasil
menempatkan kegiatan budidaya rumput laut
pada
kawasan yang sesuai dengan parameter lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi). Hasilnya kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan kondisi perairan teluk Waworada itu sendiri. Secara sederhana kerangka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
5
Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir Teluk Waworada Kabupaten Bima
Studi Pustaka
Kondisi Lingkungan perairan
Survey lapangan
Produksi biomas dan Kandungan Karaginan
Penentuan Parameter Utama Lingkungan Perairan (Analisis PCA) Kriteria Kesesuaian Perairan
Analisis Spasial (Analisis GIS)
Pemanfaatan Lokasi Saat ini
Evaluasi Pemanfaatan
Pemanfaatan Tahun Sebelumnya
Pengelompokan Zona Budidaya Rumput Laut
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima