1
1. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor
dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun secara bersama membentuk suatu klaster. Klaster dapat berupa klaster pertanian atau klaster industri, tergantung dari kegiatan ekonomi yang dominan dalam kawasan itu (Bappenas, 2004). Konsep inilah yang menjadi batasan perencanaan kawasan dalam penelitian ini. Perkembangan kawasan menjadi sebuah kota yang maju dan berkembang merupakan salah satu tujuan dalam perencanaan kawasan. Irawanto (2004) menyatakan bahwa kota dengan segala pertumbuhan dan perkembangannya telah menjadi pusat daya tarik masyarakat dan disinilah sebagian besar roda ekonomi, kegiatan sosial dan budaya berputar. Tingginya peluang berusaha di kota menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk hidup dan bekerja di kota. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi ini adalah akibat dari pelaksanaan pembangunan yang mengarah kepada bias kota, sehingga alokasi pembangunan lebih diprioritaskan ke kota dibanding dengan kawasan pedesaan. Secara alami, sebuah kota terbentuk dari perkembangan suatu wilayah desa. Pengertian desa dalam kawasan transmigrasi dapat berupa Satuan Pemukiman (SP). Manuwiyoto (2007) menyatakan bahwa kawasan transmigrasi (Kota Terpadu Mandiri atau KTM) dibangun berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan wilayah yang penerapannya diwujudkan dalam kerangka struktur tata ruang kawasan transmigrasi. Pembangunan KTM merupakan bagian atau hasil dari pengembangan Wilayah Permukiman Transmigrasi (WPT), yakni wilayah yang di dalamnya terdapat sejumlah Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Setiap SKP merupakan kumpulan dari Satuan Pemukiman (SP) dan desadesa sekitar serta memiliki desa utama sebagai pusat kegiatan. Sementara itu, menurut PP No. 2 Tahun 1999, pada pasal 17 disebutkan bahwa WPT dilengkapi dengan sarana antara lain pusat kegiatan ekonomi wilayah, pusat kegiatan industri pengolahan hasil, pusat pelayanan jasa dan perdagangan, pusat pelayanan kesehatan, pusat pendidikan tingkat menengah, dan pusat pemerintahan.
2
Hamdi (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada pertengahan 1980-an, kegiatan transmigrasi telah menggunakan 6% dari anggaran nasional dengan biaya memindahkan satu keluarga lebih dari 7.000 dolar. Dana tersebut berasal dari Bank Dunia. Selain itu, pada kurun waktu tahun 1966-1998 telah dilakukan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok ke wilayah-wilayah lain di Indonesia sebanyak 3 juta jiwa. Widiatmaka et al. (2009) menyatakan bahwa kegiatan perencanaan kota, arah dan proses perkembangan suatu tempat dari desa (rural) menjadi kota (urban/city) perlu dirancang secara komprehensif sehingga dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat secara seimbang tetapi tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Perencanaan ini umumnya bersifat mengikat masyarakat untuk menjalankan program-program yang telah direncanakan. Hal ini juga berlaku bagi pengembangan kawasan transmigrasi di Indonesia. Dasar kebijakan transmigrasi menurut Brian (2003) adalah pemukiman transmigrasi yang direncanakan sebagai salah satu program prioritas Pemerintah Republik Indonesia. Konsep dasar dari Pemerintah terkait pembangunan kawasan transmigrasi adalah membangun sebuah komunitas yang terstruktur dan layak, di dalam sebuah bangsa yang bersatu. Selain itu, pemerintah memfasilitasi transmigran untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara serta dapat hidup secara mandiri dalam suatu komunitas. Selaras dengan uraian diatas, kebijakan transmigrasi yang dicanangkan pemerintah memiliki arti penting bagi kesetaraan kesejahteraan bagi individu-individu di masyarakat. Secara teknis, pengembangan kawasan transmigrasi melibatkan berbagai aspek, diantaranya adalah kebutuhan sumberdaya lahan. Oleh karena itu, kondisi daerah yang padat penduduknya tetapi memiliki daya dukung yang terbatas menghadapi berbagai permasalahan, antara lain penguasaan lahan pertanian per rumah tangga petani menjadi sempit, kesempatan kerja sangat terbatas, dan cepatnya proses urbanisasi dengan disertai tumbuhnya pemukiman yang kurang memenuhi syarat kehidupan yang layak. Sebaliknya, daerah yang jarang penduduknya, tetapi masih memiliki daya dukung yang cukup tersedia, memerlukan tambahan tenaga kerja dan investasi. Dengan terbangunnya kawasan transmigrasi
di
suatu
wilayah
diharapkan
nantinya
mampu
menopang
3
kebutuhannya sendiri, memecahkan masalah-masalah pengembangan daerah, dan dapat mengembangkan sektor-sektor non pertanian. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang menjadi tujuan program transmigrasi. Salah satu lokasi yang menjadi kawasan transmigrasi sejak tahun 1990 adalah Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang. Setelah 20 tahun sejak ditempatkannya transmigran di Kecamatan Rawa Pitu, telah terjadi perubahan yang signifikan di wilayah ini. Sebelumnya, daerah ini merupakan wilayah yang terisolir, hal ini terlihat dari sulitnya menuju lokasi ini. Kabupaten Tulang Bawang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara pada tahun 1997 yang memiliki luas ± 344.632 hektar. Kabupaten ini mempunyai ketersediaan lahan yang bisa dikembangkan sebagai daerah pembangunan kawasan transmigrasi. Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Batasan penelitian ini adalah diarahkan untuk menggali potensi wilayah di dalam kawasan (inward), sehingga bahasan terkait interaksi antar wilayah (outward) tidak banyak diuraikan. 1.2.
Perumusan Masalah Pengembangan kawasan transmigrasi Rawa Pitu memerlukan strategi
pengembangan wilayah yang komprehensif. Penelitian ini dibatasi cakupannya dengan hanya mengkaji potensi di dalam kawasan terutama aspek pengembangan komoditas unggulan, aspek perencanaan penggunaan lahan serta aspek pengembangan kelembagaan. Lokasi penelitian Kecamatan Rawa Pitu merupakan salah satu kawasan transmigrasi di Provinsi Lampung yang masih perlu dikembangkan. BPS (2010b) menyebutkan bahwa luas Kecamatan Rawa Pitu adalah 169,18 km2 (3.466, 32 km2 luas Kab. Tulang Bawang), dengan kepadatan penduduknya 89 jiwa/km2 (105 jiwa/km2 kepadatan Kabupaten Tulang Bawang). Kepadatan penduduk yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Kabupaten Tulang Bawang menunjukkan kawasan ini masih ideal untuk dikembangkan.. Kecamatan Rawa Pitu adalah salah satu penghasil tanaman pangan (beras) di Provinsi Lampung. Data BPS (2009c) menunjukkan bahwa Kecamatan Rawa Pitu memiliki luas panen terbesar di Kabupaten Tulang Bawang, yaitu 10.186
4
hektar. Namun demikian, jumlah produksi di Kecamatan Rawa Pitu masih lebih sedikit dibandingkan dengan Kecamatan Rawajitu Selatan. Produksi di Kecamatan Rawa Pitu dengan luas panen sekitar 10.000 hektar sebanyak 48.058 ton, sedangkan Kecamatan Rawajitu Selatan dengan luas panen 8.641 hektar, produksinya bisa mencapai 49.945 ton. Potensi sumberdaya yang cukup menjanjikan disertai dengan dukungan pemerintah diharapkan wilayah ini dapat menjadi pusat pertumbuhan yang lebih maju. Oleh karenanya, salah satu tantangan yang dihadapi wilayah ini adalah menentukan komoditas pertanian mana yang paling tepat, yaitu secara teknis dapat diterapkan, secara ekonomis menguntungkan, secara sosial dapat diterima, dan secara ekologis berkelanjutan. Sisi sumberdaya fisik, wilayah ini cukup ideal untuk pengembangan beberapa komoditas pertanian. Kondisi alam, topografi, ketinggian tempat, geologi, dan jenis tanah yang mendukung tersebut salah satunya adalah kemiringan lereng di dominasi kelas lereng 0-3 %, yaitu seluas 20.682,05 hektar atau setara dengan 99,80 % dari luas wilayah penelitian. Minimnya infrastruktur wilayah seperti kondisi jalan, alat transportasi, penerangan dan air bersih menjadi penyebab kurang berkembangnya wilayah, seperti di lokasi penelitian ini yang masih terbatas dan bahkan belum tersedia. Wilayah penelitian memiliki keunggulan dalam menghasilkan produk pertanian dan non pertanian. Terbatasnya infrastruktur yang ada dan minimnya pengolahan pasca panen menyebabkan nilai tambah produk tersebut rendah. Kondisi kelembagaan pertanian juga merupakan faktor penting dalam pengembangan kawasan. Sejalan dengan peningkatan produksi sebagai dampak positif penerapan teknologi dan input lainnya muncul berbagai permasalahan yang berkaitan dengan proses produksi, pascapanen (pengeringan, sortasi, dan lainlain), penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran. Sejauh ini proses produksi dan penanganan hasil panen komoditas lebih banyak menekankan pada kemampuan dan keterampilan individu. Proses yang melibatkan kelembagaan, baik dalam bentuk lembaga organisasi maupun kelembagaan norma dan tata pengaturan, pada umumnya masih terpusat pada proses pengumpulan dan pemasaran dalam skala tertentu. Sebagian besar wilayah, eksistensi kelembagaan pertanian dan petani
5
belum terlihat perannya. Fungsi kelembagaan pertanian sangat beragam, antara lain adalah sebagai penggerak, penghimpun, penyalur sarana produksi, pembangkit minat dan sikap, dan lain-lain. Hal ini menjadi permasalahan sekaligus tantangan untuk menemukan model pemberdayaan masyarakat di sektor pertanian. Penelitian ini dikhususkan untuk mengkaji potensi dan kondisi saat ini di dalam kawasan (lokasi penelitian), sehingga berdasarkan permasalahan dan batasan diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, diantaranya: 1. Apa komoditas pertanian yang menjadi komoditas unggulan dan dimana arealnya? 2. Bagaimana rekomendasi penggunaan lahannya? 3. Bagaimana dinamika kelembagaan desa dan model kelembagaan pertanian seperti apa yang dibutuhkan oleh petani setempat? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk melakukan analisis potensi
kewilayahan di kawasan transmigrasi Rawa Pitu. Tujuan khususnya adalah: 1.
Mengidentifikasi
komoditas
unggulan
masing-masing
desa
dan
menentukan pewilayahan komoditas unggulan. 2.
Menyusun rekomendasi penggunaan lahan.
3.
Menganalisis dinamika kelembagaan desa dan model kelembagaan yang efektif bagi petani.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah (1) pengembangan komoditas unggulan,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) rekomendasi penggunaan lahan, dan (3) pengembangan kelembagaan efektif yang dapat mendorong pemanfaatan ruang dan optimalisasi sumberdaya lokal. 1.5.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini difokuskan pada aspek penentuan komoditas unggulan
berikut pewilayahannya, rekomendasi penggunaan lahan dan kelembagaan pertanian yang efektif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
6
dalam perencanaan pengembangan kawasan transmigrasi Rawa Pitu khususnya terkait ketiga aspek tersebut. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
7