I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton (sekitar 54,4 % dari seluruh total produksi batubara di Indonesia), dengan temuan cadangan yang dapat dieksploitasi mencapai 2,4 miliar ton. Perkembangan produksi batubara di Kalimantan Timur sejak tahun 2003 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 produksi batubara mencapai 118.853.758 ton. Salah satu daerah penghasil batubara di Provinsi Kalimantan Timur adalah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahun 2006 produksi batubara di kabupaten ini mencapai 13,21 juta metrik ton dan 15,59 juta metrik ton pada tahun 2007. Angka ini memberikan kontribusi sekitar 12% dari total produksi batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki tersebut tentunya membawa dampak bagi perkembangan perekonomian, baik perekonomian regional maupun perekonomian nasional. Berdasarkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2006 memberikan share sebesar 80,49% bagi perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara, sedangkan share pada tahun 2007 mencapai 78,35%. Kondisi perekonomian ini tidak hanya memberikan sumber devisa bagi negara tetapi juga memberikan dampak sosial bagi penyerapan tenaga kerja. Perusahaan pertambangan dan penggalian yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2007 sebanyak 208 perusahaan atau mencapai 29,3% dari total perusahaan yang ada. Dari sejumlah perusahaan pertambangan dan penggalian tersebut pada tahun yang sama mampu menyerap 24.358 orang tenaga kerja atau 37,68% dari total tenaga kerja (BPS, Kab. Kutai Kartanegara, 2008). Dilihat dari pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara maka potensi sumberdaya alam batubara memberikan peluang kepada daerah untuk
percepatan
pertumbuhan
ekonomi,
serta
hak
dan
kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah. Hal ini didukung adanya kebijakan
2
desentralisasi fiskal ke daerah dengan diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan antara Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2004 bagian dana perimbangan yang diterima Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar 1,93 triliun rupiah atau sekitar 97,54% dari total penerimaan. Peluang ini bagi Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan momentum penting karena dengan sumberdaya alam yang berlimpah, uang yang diperoleh dari sumber perimbangan mampu untuk menyusun APBD dengan leluasa (BPS dan BAPEDA Kutai Kartanegara, 2005). Meskipun demikian, banyak kasus menunjukkan dampak negatif pasca penambangan batubara setelah potensi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut habis. Potret nyata yang terjadi diantaranya adalah rusaknya lingkungan alam, rusaknya sarana dan prasarana, serta bertambahnya angka pengangguran sebagai dampak kehilangan pekerjaan, masyarakat menjadi pihak yang banyak mendapatkan dampak kerugian. Menurut Pemerintah daerah, kebijakan investasi nasional di daerah lebih dominan ditentukan pemerintah pusat, sementara investor asing atau investor dalam negeri dipastikan menghindar bila diminta sebagai pihak yang bertanggung jawab dengan alasan bahwa secara hukum investor telah memenuhi kewajiban dengan memberikan gaji bagi karyawan, memberi dana rehabilitasi kerusakan lingkungan dan community development. Kawasan pasca tambang batubara merupakan kawasan yang telah mengalami degradasi lingkungan dari fungsi lingkungan sebelumnya. Salah satu cara yang dilakukan dalam pemulihan menurunnya kemampuan lahan adalah melalui reklamasi. Tujuan akhir dari reklamasi adalah untuk menstabilkan permukaan tanah sambil menyediakan kondisi fisik yang menunjang agar terbentuknya kembali suatu komunitas spesies tumbuhan asli yang beragam dan sama dengan lingkungan hutan primer (Soeprapto dan Chairot, 2003). Secara legal formal, aturan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan telah terdapat dalam beberapa peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Undang-
3
Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambangan, pasal 30 menyebutkan bahwa apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya. Kepmenpertamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang
pencegahan dan penanggulangan
perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum tersarikan pula dalam pasal 29 bahwa walaupun dengan adanya jaminan dana reklamasi, pengusaha juga harus melakukan penataan (reklamasi) lahan bekas tambang. Kegiatan konservasi perlu dilakukan sebagai upaya memacu pelaksanaan reklamasi agar sebanding dengan laju aktifitas penambangan serta untuk mengoptimalkan upaya pemulihan lingkungan bekas tambang. Kegiatan konservasi diantaranya meliputi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, dan konservasi air. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Model-model reklamasi pasca tambang batubara yang bisa ditawarkan kepada stakeholder, sampai saat ini diduga belum ada yang berpihak pada pembangunan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan dengan menganut prinsip memanfaatkan, melindungi dan melestarikan lingkungan. Sementara itu, pelaksanaan reklamasi yang dilakukan sampai saat ini sifatnya sekedar memenuhi tuntutan prosedur yaitu hanya menjadikan reklamasi sebagai bagian dari persyaratan pelaksanaan pertambangan batubara yang kebanyakan belum memadai. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak pasca penambangan terhadap ekologi-fisik lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perlu diukur tingkat indeks keberlanjutan faktor ekologi, ekonomi dan sosial, menganalisis berbagai kebijakan yang ada, serta kendala implementasinya di lapangan. Selain itu, perlu diteliti juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengendalian kawasan pasca tambang batubara,
4
sehingga dapat disusun rumusan arahan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya bagi pengelolaan kawasan pasca tambang yang berkelanjutan.
1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan (pasca tambang batubara) meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks. Tidak hanya meliputi aspek lingkungan hidup, namun mencakup pula aspek ekonomi dan sosial. Proses penambangan batubara dengan membongkar bagian atas tanah (over burden) dan memindahkan batuan. Pada penambangan secara terbuka, bahan non tambang atau sisa hasil penambangan berupa batu liat, batu pasir, dan bahan tanah lapisan atas ditimbun di suatu tempat sehingga membentuk bukitbukit yang cukup besar dan tinggi menyerupai stupa, dengan lereng/tebing cukup terjal (antara 15-20%). Timbunan ini kelak digunakan untuk menimbun kembali lubang-lubang galian bekas tambang. Luas areal penimbunan ini bisa mencapai ratusan hektar (Soekardi dan Mulyani, 1997). Tanah bekas tambang berbeda dengan tanah yang terbentuk dan berkembang secara alami.
Perbedaan ini ditandai dengan adanya sifat-sifat
negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan pada saat reklamasi. Karakteristik tanah bekas tambang antara lain: kualitas fisik jelek karena berupa batuan sehingga menjadi media tumbuh yang jelek; sifat kimia yang kurang baik, termasuk di antaranya adalah kesuburan yang sangat rendah, toksisitas, dan kemasaman tinggi, kualitas hidrologi yang jelek dicirikan oleh rendahnya daya pegang air (water holding capacity), percepatan aliran permukaan (run off) dan erosi serta rendahnya kualitas biologi tanah (Haigh, 2000). Kondisi tanah yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan revegetasi lahan pasca penambangan. Index properties tanah seperti densitas, porositas, permeabilitas, kadar air, kesuburan, dan ukuran butir merupakan parameter yang mempengaruhi perbandingan setiap kandidat material, sehingga diperoleh material baru (artificial substrate) yang mempunyai karakteristik optimal untuk media tumbuh tanaman. Diperlukan waktu yang lama jika tanah pasca tambang batubara diharapkan kembali pada keadaan semula, maka
5
intervensi melalui kebijakan reklamasi menjadi alternatif agar degradasi kualitas lahan dapat diminimalkan. Sudut pandang ekonomi masih memerlukan analisis manfaat-biaya untuk membandingkan antara dana yang diperoleh jika dilakukan penambangan dibandingkan keuntungan dengan melestarikan kawasan tambang. Sedangkan dari sudut pandang sosial, masyarakat setempat perlu dipertanyakan manfaat keberadaan pertambangan batubara di lokasi tempat tinggal, dan apakah lebih besar manfaatnya atau dampak negatif yang ditimbulkannya. Hasil evaluasi lingkungan yang dilakukan oleh PT. Tanito Harum pada tahun 2005 menjelaskan bahwa terdapat dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan pertambangan. Dampak positif adalah pada aspek kesempatan kerja dan berusaha serta peningkatan pendapatan sepanjang operasi penambangan berlangsung. Dampak positif ini diikuti pula dengan dampak negatif yaitu kegiatan pelepasan tenaga kerja sementara masyarakat yang belum berdaya mengembangkan usaha lainnya. Permasalahan ini menjadi berlangsung dari waktu ke waktu, dengan kondisi yang demikian para pekerja tambang batubara lebih memilih menunggu menjadi buruh kembali pada lokasi penambangan yang lain dan pada saat yang demikian angka beban tanggungan keluarga meningkat. Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dirumuskan empat permasalahan penelitian yaitu: 1. Terjadi kerusakan lingkungan pada kawasan pasca tambang batubara seperti: menurunnya kemampuan lahan, dan air menjadi bersifat asam. 2. Dimensi ekonomi dan sosial juga pada akhirnya berdampak negatif pasca tambang batubara. 3. Implementasi terhadap aturan dan kebijakan pengelolaan kawasan lahan pasca tambang batubara belum optimal dilaksanakan, atau aturan dan kebijakan yang ada sesungguhnya belum mengakomodir kebutuhan stakeholder. 4. Belum tersedianya disain kebijakan dan strategi untuk pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder dengan mengakomodir dimensi ekologi, ekonomi dan sosial.
6
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah tersusunnya sebuah disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan untuk untuk meningkatkan kualitas lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun secara terinci tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui kondisi saat ini faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi. 2. Mengetahui indeks keberlanjutan kondisi saat ini pasca tambang batubara, berdasarkan dimensi ekologi (fisik lingkungan), ekonomi dan sosial. 3. Mengetahui faktor kunci pengelolan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan. 4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pendekatan sistem pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, agar dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengelolaan kawasan khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara. 2. Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat memberikan alternatif dalam mengambil keputusan dengan memberi hasil yang lebih baik. 3. Pemerintah pusat maupun daerah, sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan dengan strategi baru berbasis kebutuhan semua pihak. 1.5. Kerangka Pemikiran Terdapat dua sektor yang sangat dominan dan memegang peranan penting dalam perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu sektor pertambangan atau penggalian (dengan sub sektor pertambangan migas) dan sektor pertanian dengan sub sektor kehutanan. Kawasan pasca tambang batubara yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi diharapkan
7
mampu mengembalikan fungsi penggunaan kawasan pasca tambang batubara untuk tujuan produktif seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri, dan juga untuk tujuan perbaikan lingkungan lainnya. Kondisi saat ini (existing condition), penebangan liar dan pertambangan batubara merupakan kegiatan yang paling dominan memberikan dampak bagi kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang bisa dilihat dari indikasi umum yaitu terjadinya pencemaran, perubahan iklim, dan rusaknya sistem tata air. Kerusakan lingkungan ini akan diperparah adanya penambang legal yang tidak melakukan reklamasi. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan dari suatu kebijakan yaitu: (1) produknya/substansinya, (2) implementasinya, dan (3) pengendaliannya. Dalam tataran operasionalnya, produk peraturan dan kebijakan yang ada mulai dari Undang-Undang, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini dapat disebabkan lemahnya substansi, atau substansi sudah memadai namun lemah dalam implementasi dan pengendaliaannya. Fakta kondisi saat ini dari dimensi ekologi melalui uji laboratorium dan pengamatan vegetasi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial melalui wawancara dengan stakeholder dijadikan indikator ada kelemahan dalam kebijakan (substansi, implementasi atau pengendalian) dan merupakan gambaran kondisi saat ini kawasan pasca tambang batubara. Akhirnya ditetapkan skenario keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan serta rumusan alternatif
kebijakan
bermuatan
strategi
dan
implementasi
yang
dapat
direkomendasikan ke semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sesuai disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. Kerangka pemikiran tertera pada Gambar 1.
8 KAWASAN TAMBANG KAWASAN Kawasan PASCA PascaPASCA Tambang TAMBANGBATUBARA Batubara BATUBARA
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan di masa lalu Lalu Kawasan di Masa
- Melakukan Melakukanreklamasi reklamasi -- Tidak reklamasi Tidakmelakukan melakukan reklamasi
Kondisi saat Kondisi saatiniini (Existing Condition)
(Existing Condition) Ekologi Ekologi Sosial Ekonomi Sosial Ekonomi
Analisis Kebijakan : UU, PP, KEPMEN, PERDA, SK.Bupati (Memadai/Tidak Memadai) - Substansi - Implementasi - Pengendalian
Status Keberlanjutan Saat ini
Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Skenario dan Arahan Alternatif Kebijakan
Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian ini adalah pengembangan dari beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah : Membangun disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder dan faktor kunci utama (erosi, banjir, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara) dengan mempertimbangkan nilai hasil Appraisal Post Coal Mining Sustainable (APCMS).