1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan curah hujan di wilayah maritim tropis seperti Indonesia. Hal ini disebabkan karena dinamika atmosfer di atas wilayah Indonesia sangat kompleks, peristiwa konventif yang aktif, dan pengaruh topografi dengan relief pegunungan serta pergerakan muson Asia serta Australia (Tjasyono 2008; Aldrian & Susanto 2003). Selain itu, keragaman hujan di Indonesia juga dipengaruhi anomali suhu permukaan laut di kawasan laut Indonesia, kawasan Pasifik dan Samudera Hindia. Di wilayah Ambon, kondisi anomali Suhu Permukaan Laut (SST) Indonesia berperan terhadap sangat berperan terhadap maju-mundur awal musim hujan dan panjang-pendek musim (Swarinoto et al. 2009). Demikian halnya dengan anomali SST Nino 3.4 menunjukkan hal yang signifikan terhadap awal musim hujan di Ambon (Swarinoto et al. 2009). Hal-hal tersebut menyebabkan pendugaan dan prediksi hujan di Indonesia mempunyai kesulitan yang cukup tinggi. Di Indonesia, hujan merupakan parameter iklim yang sangat berpengaruh terhadap berbagai sektor. Sektor pertanian misalnya, curah hujan mempengaruhi sistem pertanian karena produktivitas pertanian sangat bergantung pada ketersediaan air yang cukup. Ketersediaan air menjadi faktor yang menyebabkan sawah menjadi sangat rentan mengalami gagal panen terutama untuk lahan sawah tadah hujan yang sistem pengairannya hanya menggantungkan pada hujan secara alamiah. Selain itu, pendugaan hujan pada skala musim, terutama musim hujan juga menjadi informasi sangat penting untuk kebutuhan perencanaan pertanian seperti penentuan masa tanam dan kalender tanam, serta penentuan pola tanam (Moron 2009). Pada sektor sumber daya air/hidrologi, curah hujan merupakan input utama dalam ketersediaan air di alam yang disimpan dalam waduk, danau, sungai, maupun air tanah. Sehingga input curah hujan yang akurat menjadi sangat penting dalam pemodelan hidrologi (Su 2008).
2
Fenomena iklim seperti intensitas hujan yang ekstrim juga dapat menjadi pemicu terjadinya bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Bencana tersebut menimbulkan kerusakan dan kerugian cukup besar, ditambah daya dukung lingkungan yang buruk dan sistem alam yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, hujan menjadi salah satu parameter iklim yang sangat penting dalam antisipasi bencana alam di wilayah Indonesia. Sehingga, kebutuhan ketepatan analisis dan pendugaan hujan atau prediksi di wilayah Indonesia menjadi tinggi. Hal ini memerlukan berbagai penelitian dengan beragam metode analisis untuk mendapatkan hasil analisa dan pendugaan hujan dengan tepat. Di Indonesia, kajian tentang pengembangan teknologi peramalan cuaca/iklim (dalam hal ini curah hujan) telah banyak dilakukan, terutama model yang bersifat stokastik (Boer 2005). Teknik analisis yang digunakan antara lain analisis time series, Fourier regression, fractal analysis dan neural network. Dalam kaitan dengan analisis iklim terutama curah hujan, kendala dan permasalahan yang masih sering dihadapi adalah minimnya ketersediaan data hujan observasi di permukaan baik cakupan spasial maupun temporal. Kendala dan permasalahan tersebut antara lain yaitu time series data hujan kurang panjang dan tidak lengkap/kosong, jumlah stasiun hujan masih kurang tersebar merata (Su 2008), kurang tenaga pengamat di stasiun hujan, sistem pengamatan dan pemasukan data masih manual, pengumpulan data dari lokal/daerah tertentu ke tingkat pusat yang masih terhambat dan berjalan lambat, dan format data yang belum standar. Kendala dan permasalahan tersebut menyebabkan data pengamatan hujan di permukaan masih sulit diperoleh dengan cepat dan membutuhkan pemeriksaan kualitas data sebelum dapat digunakan secara langsung untuk analisa lebih lanjut. Terkait dengan kendala dan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan metode alternatif dalam pendugaan hujan untuk mengatasi keterbatasan data hujan observasi. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah pemanfaatan data satelit hujan yang saat ini semakin mengalami perkembangan guna menghasilkan keluaran informasi hujan yang lebih akurat terutama di wilayah dimana pengamatan hujan permukaan sangat jarang (Su 2008).
3
Penggunaan satelit hujan dalam mengukur intensitas hujan untuk monitoring hujan terus mengalami perkembangan, bahkan juga digunakan untuk mengetahui hujan ekstrim (Curtis et al. 2007) dan monitoring kejadian siklon tropis (Kubota 2010). Sejak tahun 1980-an, teknologi pendugaan curah hujan dari satelit mulai mengembangkan radiometer gelombang mikro pasif (Passive microwave radiometer) yang mampu mengukur pantulan dari air hujan dan hamburan oleh salju dan awan es. Hingga saat ini, teknologi satelit dikembangkan dengan menggunakan metode kombinasi (blended method) yang menggabungkan data-data dari satelit yang membawa sensor infra merah dan sensor gelombang mikro. Kelebihan satelit dalam mengukur intensitas hujan dibandingkan dengan stasiun hujan observasi di permukaan antara lain memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan mencakup wilayah yang luas ± 770 Km2 (Su 2008; Huffman 2007), data near realtime (Huffman 2011), akses cepat, dan ekonomis karena data dapat diunduh secara gratis. Hal tersebut dapat mengatasi permasalahan data observasi hujan yang tidak lengkap, data kosong dan tidak akurat akibat kesalahan pengukuran atau kesalahan waktu memasukkan data, serta mengatasi permasalahan tidak ada data pengamatan, terutama di wilayah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan hujan. Namun demikian, ketersediaan data satelit mulai tersedia antara tahun 1996 hingga tahun 1998 (Huffman 2007; Ozawa 2011). Selain itu, penggunaan data satelit tersebut juga perlu dilakukan validasi dan koreksi dengan data observasi permukaan agar dapat dievaluasi sejauh mana keakuratan keluaran data satelit terhadap data observasi di permukaan (Vernimmen et al. 2012; As-syakur et al. 2011; Rozante 2010). Sehingga, pada tahap analisis lanjutan galat pada data satelit dapat dikurangi dan data dapat lebih diandalkan.. Studi validasi dan koreksi data satelit telah dilakukan untuk studi typhoon Morakot taun 2009 menggunakan data hujan GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) di daerah aliran sungai Kaoping, Taiwan (Ozawa 2011). Dalam studi tersebut, dihasilkan formula koreksi data GSMaP dan digunakan untuk daerah aliran sungai Kaoping yang mempunyai tipe hujan sama namun tidak dapat diaplikasikan untuk seluruh wilayah Taiwan. Evaluasi keluaran data hujan
4
CMORPH (Climate Prediction Center Morphing Method) untuk interpolasi data hujan permukaan telah dilakukan di wilayah Indonesia (Oktaviani 2008). Pada studi tersebut juga dihasilkan model yang mampu mengisi data hilang 2-3 bulan dengan cukup baik. Pengembangan pemanfaatan data satelit dilakukan dengan membangun algoritma perhitungan curah hujan berbasis satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) yang disebut PERSIANN/ Precipitation Estimation from
Remotely
Sensed
Information
Using
Artifical
Neural
Networks
(Hong et al. 2005). PERSIANN didasarkan pada sensor Inframerah dan di-adjust dengan TRMM Microwave Imager. Studi validasi PERSIANN telah dilakukan menggunakan data stasiun hujan untuk skala harian dan bulanan menggunakan analisis statistik, korelasi, root mean square error (RMSE), bias, skill score, deteksi peluang (POD) dan False Alarm Ratio (FAR) (Hong et al. 2005). Kalibrasi data satelit TRMM (Tropical Rainfal Measuring Mission) telah dilakukan di wilayah Arab Saudi dimana ketepatan luaran data hujan satelit skala bulanan terhadap data hujan observasi lebih tinggi dibandingkan dengan skala harian (Almazroui 2011). Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model penduga curah hujan bulanan dari data satelit TRMM di wilayah Indonesia. TRMM merupakan satelit polar orbiting milik JAXA-NASA yang pertama kali diluncurkan pada bulan November tahun 1997 (Kummerow et al. 2000). Data satelit TRMM digunakan dalam penelitian ini karena mampu memonitor curah hujan di wilayah dimana data pengamatan curah hujan observasi kurang lengkap dan stasiun pengamatan hujan observasi cukup jarang (Kummerow et al. 2000; Su 2008). Selain itu, data hujan keluaran satelit TRMM menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan data hujan CMORPH dan PERSIANN untuk wilayah Indonesia (Vernimmen et al. 2012). Satelit TRMM mempunyai resolusi cukup tinggi, yaitu resolusi temporal hingga 3 jam-an, dan resolusi spasial 0.25o x 0.25o. Pada penelitian ini, digunakan data hujan keluaran satelit TRMM yang bersifat near realtime (mendekati waktu sebenarnya), sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk menduga curah hujan permukaan dengan lebih cepat dan tepat, terutama di wilayah di mana jumlah stasiun hujan sedikit.
5
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: -
Melakukan evaluasi dan validasi keluaran data TRMM dengan data hujan observasi permukaan pada tiga pola hujan berbeda di Indonesia
-
Menyusun model pendugaan curah hujan bulanan dari data TRMM pada tiga pola hujan di wilayah Indonesia.
1.3. Manfaat Pengembangan model pendugaan curah hujan yang dihasilkan dari data satelit TRMM dan divalidasi dengan data hujan observasi permukaan diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Mampu mengisi deret data hujan yang hilang atau kosong. 2. Mampu menduga curah hujan di wilayah yang tidak mempunyai stasiun hujan atau di stasiun hujan yang tidak mempunyai informasi hujan, sehingga data yang diduga dari model dapat digunakan untuk mendukung tujuan aplikasi lainnya seperti penyusunan strategi pertanian, monitoring bencana banjir serta kekeringan.
1.4. Asumsi Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa setiap stasiun hujan di wilayah dengan pola hujan sama, mempunyai bulan-bulan musim kemarau dan musim hujan yang sama.