1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan
berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang sebagian besar disebabkan karena kegiatan manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global (IPCC 2007). Total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 ke 2001-2005 adalah 0.76 ± 0.19 0C (IPCC 2007). Jika konsentrasi GRK terus meningkat, pemanasan global akan berdampak luas pada ekosistem dan manusia. Dampak perubahan iklim berbeda secara temporal dan spasial (IPCC 2001). Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan perkiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Salah satunya menggunakan model sirkulasi umum atau Global Circulation Models (GCMs). Berdasarkan hasil GCMs, terlihat bahwa perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan, antara lain: sektor sumber daya air (Rozari et al. 1991; Susetyo et al. 1994; Kaimuddin 2000), sektor kehutanan (Lourdes & Irma 1997; Lee et al. 2009; Lasco et al. 2009), sektor pertanian (O’Brien et al. 2004) dan sektor kehidupan lainnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS kritis di Indonesia. Degradasi DAS Ciliwung terlihat dari kuantitas dan kualitas air di DAS Ciliwung yang semakin buruk. Kuantitas air di DAS Ciliwung terlihat pada fluktuasi debit yang tinggi antara musim hujan dan kemarau, serta erosi dan sedimentasi di sepanjang sungai yang makin tinggi (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Kondisi ini menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Kualitas air di DAS Ciliwung semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain itu, semakin ke hilir semakin rendah kualitas airnya. Kondisi air di DAS Ciliwung yang mengalir ke hilir atau DKI Jakarta sudah sangat tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan perikanan (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Degradasi DAS Ciliwung, terutama terkait dengan kuantitas air, disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air yang cenderung diperparah oleh gejala
2
perubahan iklim (KNLH 2007). Rusaknya daerah tangkapan air disebabkan karena kegiatan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan, terutama di DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah konservasi, sangat berpengaruh pada kuantitas air di DAS Ciliwung (Singgih 2000; Fakhruddin 2003; Pawitan 2006; Lisnawati 2006). Waggoner et al. (1990) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada karakteristik hidrologi, terutama kuantitas air dalam suatu DAS. Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menunjukkan bahwa curah hujan ratarata bulanan di daerah sekitar DAS Ciliwung mengalami peningkatan dari 310 mm/bulan pada tahun 1990 menjadi 360 mm/bulan pada tahun 2000. Peningkatan curah hujan ini berpengaruh pada peningkatan debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS CiliwungCitarum 2007). Pawitan (1999) menyatakan bahwa di Pulau Jawa terjadi gejala penurunan curah hujan yang terlihat dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1000 mm antara dua periode pangamatan tersebut. Tobing (2007) mengamati perubahan curah hujan selama 15 tahun dan dibagi menjadi 3 periode atau 5 tahunan. Hasilnya menunjukkan bahwa Di DAS Ciliwung terjadi gejala penurunan curah hujan dan sangat berpengaruh pada indeks kekeringan walaupun masih tergolong agak basah. KNLH (1998) mencoba memproyeksikan perubahan iklim pada DAS Ciliwung dengan menggunakan model GCMs jenis CCCM (Canadian Climate Centre Model). Hasil keluaran CCCM menunjukkan bahwa di DAS Ciliwung terjadi kenaikan suhu dan penurunan curah hujan. Selain itu, hasilnya juga menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan adanya perubahan iklim, sehingga memicu terjadinya degradasi DAS Ciliwung yang semakin tinggi. Degradasi DAS Ciliwung menyebabkan ekosistem tidak dapat optimal menyediakan fungsi dan jasa yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kondisi ini menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan tingkat kerentanan masyarakat (Alcamo et al. 2003). Kerentanan masyarakat merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan
3
dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan merupakan fungsi dari tiga komponen, yaitu exposure (singkapan), sensitivity (kepekaan), dan adaptive capacity (kemampuan adaptasi) (IPCC 2001; Forner 2006). Banyak penelitian di DAS Ciliwung yang hanya fokus pada sistem alam atau degradasi DAS Ciliwung. Masih jarang penelitian yang melibatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk menilai tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. 1.2 Perumusan Masalah Kegiatan manusia telah menyebabkan terjadinya peningkatan emisi GRK yang menimbulkan terjadinya fenomena pemanasan global dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi secara perlahan-lahan namun pasti. Selain itu, perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan. Perubahan iklim, terutama unsur suhu dan curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis. Nilai curah hujan sangat berpengaruh pada respon hidrologi atau debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Intensitas hujan yang sangat tinggi di musim hujan dan tidak adanya hujan pada musim kemarau menyebabkan fluktuasi debit di DAS Ciliwung sangat tinggi. Kondisi ini akan berpengaruh pada ketersediaan air di DAS Ciliwung (KNLH 1998) dan meningkatkan degradasi DAS Ciliwung. Degradasi DAS Ciliwung yang semakin kritis menyebabkan DAS Ciliwung tidak optimal menyediakan fungsi dan jasanya bagi masyarakat. Masyarakat yang peka akan makin rentan, sedangkan masyarakat yang bisa beradaptasi akan bertahan. Degradasi DAS Ciliwung juga dipengaruhi oleh kondisi alam atau penggunaan lahan. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung, terutama pada DAS Ciliwung Hulu yang merupakan daerah konservasi atau perlindungan, telah banyak menyimpang dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ditandai makin berkurangnya lahan resapan, terutama ekosistem hutan. Apabila ekosistem
4
hutan di DAS Ciliwung dijaga dengan baik, maka akan mengurangi masalah ketersediaan air di DAS Ciliwung karena ekosistem hutan mampu menjaga tata air di DAS Ciliwung. Berdasarkan informasi di atas, maka dalam penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1 Kriteria dan indikator apakah yang berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung? 2 Bagaimana tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial? 3 Bagaimana peranan ekosistem hutan dalam meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung? 1.3
Tujuan Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menilai kerentanan masyarakat
terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dengan menerapkan fungsi dari singkapan, kepekaan,dan kemampuan adaptasi. Sedangkan sub tujuannya adalah : a
Mengidentifikasikan kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung.
b
Menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial.
c 1.4
Menganalisis adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis ekosistem hutan. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat kerentanan
masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dan menjadi masukan dalam perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif-investigatif. Perubahan iklim
tidak dibahas secara detil dan merupakan penelitian payung dari penelitian sebelumnya. Indikator yang dipilih adalah faktor yang paling dominan dan diasumsikan seragam di seluruh DAS Ciliwung sesuai dengan dampak perubahan iklim seragam di seluruh DAS Ciliwung.
5
1.6
Kerangka Pemikiran Pertambahan penduduk dan kegiatan ekonomi pembangunan di DAS
Ciliwung yang sangat pesat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil yang sangat tinggi. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber emisi GRK terbesar di DAS Ciliwung. Peningkatan emisi GRK yang terus menerus menyebabkan terjadinya pemanasan global yang berimplikasi terjadinya perubahan iklim di DAS Ciliwung. Perubahan iklim, terutama suhu dan curah hujan, akan meng-exposure atau menyingkap terjadinya perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung. Berdasarkan hasil proyeksi perubahan iklim dan dampaknya pada DAS Ciliwung, menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan perubahan iklim (KNLH 1998). Fluktuasi debit di DAS Ciliwung berbanding lurus dengan nilai curah hujan (Pawitan et al. 2000; Pawitan 2002; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Semakin tinggi curah hujan maka debit juga makin tinggi, dan apabila curah hujannya makin rendah maka debit juga makin rendah. Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang makin tinggi menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan juga kemarau pada musim kemarau. Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang semakin tinggi sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat di DAS Ciliwung. Masyarakat yang peka akan merespon kondisi ini dan menyebabkan terjadinya peningkatan kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Namun demikian, masyarakat yang mempunyai kemampuan adaptasi akan bertahan dengan perubahan atau kondisi hidrologis di DAS Ciliwung ini. Kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat dapat
dinilai
dari
lima
aspek
kehidupan,
yaitu:
fisik/teknologi,
sosial/kelembagaan, ekonomi, sumber daya manusia (SDM) dan juga alam. Besarnya tingkat kerentanan masyarakat dipengaruhi oleh besarnya singkapan, kepekaan masyarakat serta kemampuan adaptasi masyarakat tersebut. Semakin tinggi singkapan dan kepekaan masyarakat, maka tingkat kerentanan masyarakat akan semakin tinggi. Sedangkan semakin tinggi kemampuan adaptasi maka makin rendah tingkat kerentanan masyarakat. Dengan kata lain, tingkat kerentanan merupakan fungsi positif dari singkapan dan kepekaan masyarakat, dan fungsi negatif dari kemampuan adaptasi masyarakat.
6
Perubahan iklim akan terjadi secara perlahan dan terus menerus. Oleh karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting. Salah satunya adalah menggunakan alam, terutama ekosistem hutan sebagai salah satu strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Ekosistem hutan disini adalah suatu lahan yang yang didominasi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan, yang tidak dibatasi akan luasnya lahan tersebut. Ekosistem hutan ini dapat berupa hutan kota, hutan alam maupun hutan produksi. Ekosistem hutan memberikan jasa yang sangat penting, terutama pengatur tata air sehingga fluktuasi debit dapat dikurangi. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian