I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Abu terbang batubara merupakan produk samping pembakaran batubara yang jumlahnya melimpah dan akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsumsi batubara sebagai sumber energi. Laju daur-ulang global produk samping pembakaran batubara, termasuk abu terbang batubara sekitar 50% dan sisanya ditimbun pada lahan urug (landfill), yang justru berpotensi untuk mencemari lingkungan di sekitarnya (Heidrich et al., 2013). Apabila dilihat dari potensi pencemaran tersebut, maka salah satu alternatif penanganannya adalah menggunakan abu terbang batubara dalam bidang pertanian, misalnya sebagai bahan amelioran/tambahan pada tanah. Abu terbang batubara mempunyai kandungan Ca dan Mg silikat, aluminosilikat, serta oksida Ca dan Mg; sehingga potensial digunakan sebagai bahan pengganti kapur untuk menurunkan kemasaman tanah. Abu terbang batubara diketahui dapat meningkatkan pH pada tanah masam karena kaya akan silikat, aluminosilikat dan oksida tersebut. Karakteristik mineralogi abu terbang batubara lebih kompleks dibanding bahan kapur dimana reaksi netralisasinya juga melibatkan mineral lain, seperti Ca dan Mg silikat dan aluminosilikat, disamping oksida Ca dan Mg. Reaksi hidrolisis senyawa oksida dan aluminosilikat pada abu terbang batubara yang menghasilkan muatan negatif (Brouwers dan Van Eijk, 2003; Yunusa et al., 2006; Murugan dan Vijayarangam, 2013 cit Hermawan et al., 2014). Alfisol yang memiliki pH masam digunakan sebagai media tanam. Menurut Hardjowigeno (1993) cit Wijanarko et al. (2007), Alfisol merupakan tanah yang relatif muda, masih banyak mengandung mineral primer yang mudah lapuk, mineral lempung kristalin dan kaya unsur hara. Tanah ini mempunyai kejenuhan basa tinggi, KTK dan cadangan unsur hara tinggi. Alfisol merupakan tanah-tanah dimana terdapat penimbunan lempung di horison bawah, lempung yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison diatasnya dan tercuci ke bawah bersama gerakan air perkolasi. Selain menggunakan abu terbang batubara sebagai bahan baku, perlakuan lain yang diberikan adalah pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi digunakan sebagai penyeimbang hara yang dibutuhkan oleh tanaman serta mengurangi dampak 1
negatif dari abu terbang batubara. Pupuk kandang sapi merupakan salah satu alternatif pemberian bahan organik ke dalam tanah. Pupuk kandang dapat memberikan asupan hara yang besar untuk membantu pertumbuhan vegetatif tanaman padi. Ketika pupuk kandang dikombinasikan dengan abu terbang batubara, diharapkan mampu mengurangi ketersediaan Cr total di dalam tanah dan mengurangi ketersediaan Cr yang diserap oleh tanaman. Tanaman padi gogo varietas Situ Bagendit digunakan sebagai bahan tanaman karena tanaman padi ini memiliki umur yang cukup singkat. Padi gogo merupakan tanaman semusim, yang akan mati sesudah siklusnya habis. Apabila dibandingkan dengan penggunaan tanaman tahunan yang memiliki umur lebih panjang, maka efek yang ditimbulkan pada tanaman padi akan lebih cepat terlihat. Penggunaan abu terbang batubara sebagai bahan amelioran pada tanah alfisol yang ditambahkan dengan pupuk kandang sapi diharapkan mampu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh abu terbang batubara terhadap sifat kimia tanah dan pertumbuhan tanaman padi gogo.
1.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh pemberian abu terbang batubara dan pupuk kandang sapi terhadap sifat kimia tanah. 2. Mengetahui pengaruh pemberian pupuk kandang sapi (bahan organik) terhadap kandungan dan ketersediaan Cr di dalam tanah. 3. Mengetahui pengaruh pemberian abu terbang batubara dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan padi gogo.
2
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa limbah abu terbang (abu terbang) batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan/amelioran tanah pada tanaman padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ Bagendit dan pemberian abu terbang batubara yang dikombinasikan dengan pupuk kandang (organik) dapat mengurangi kandungan logam berat (Cr).
1.4 Hipotesis Pemberian pupuk kandang sapi dengan dosis 20 ton/ha mampu mengurangi kandungan logam berat kromium secara signifikan di dalam tanah dan tanaman, sehingga tidak menurunkan sifat kimia tanah dan tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alfisol Menurut Soil Survey Staff/USDA (1975), Alfisols adalah tanah yang tidak mempunyai epipedon plagen dan yang memiliki salah satu dari berikut : 1) horizon argilik, kandik, atau natrik; 2) fragipan yang mempunyai lapisan lempung tipis setebal 1 mm atau lebih di beberapa bagiannya. Sedangkan Munir (1996) mengemukakan bahwa Alfisols adalah tanah-tanah dengan horison argilik atau natrik dengan kejenuhan basa lebih dari 35%. Tanah ini tidak memiliki epipedon molik, oksik, ataupun horison spodik, juga termasuk pada Alfisols adalah tanah-tanah yang kejenuhan basanya kurang dari 35% tetapi pada horizon argilik didapatkan horison albik dan kejenuhan basa makin ke horizon bawah makin bertambah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan lempung tinggi di horison B (Horison argilik) dibedakan menjadi Afisol dan Ultisol. Alfisol kebanyakan ditemukan di daerah beriklim sedang, tetapi dapat pula ditemukan di daerah tropika dan subtropika terutama di tempat-tempat dengan tingkat pelapukan sedang. Alfisol ditemukan di daerah-daerah datar sampai berbukit. Proses pembentukan Alfisol di Iowa memerlukan waktu 5000 tahun karena lambatnya proses akumulasi lempung untuk membentuk horison argilik. Alfisol terbentuk di bawah tegakan hutan berdaun lebar (Wijanarko et al., 2007). Menurut Radjagukguk (1983), kemasaman yang tinggi, kekahatan kation basa, dan KPK yang rendah tersebut merupakan pembatas utama bagi pengelolaan Alfisol. Permasalahan tanah merah terletak pada ketersediaan unsur hara yang relatif rendah. Masalah kesuburan Alfisol yang utama adalah kekurangan N, P, keracunan Al dan Mn serta kekurangan Ca, Mg, K, dan Mo. Alfisol merupakan tanah yang telah berkembang dengan karakteristik profil tanah membentuk sekuen horison A/E/Bt/C, yang terbentuk melalui proses kombinasi antara podsolisasi dan laterisasi pada daerah iklim basah dan biasanya terbentuk dibawah tegakan hutan berkayu keras (Tan, 2000 cit Wijanarko et al., 2007). Alfisol adalah tanah-tanah di daerah yang mempunyai curah hujan cukup tinggi untukmenggerakkan lempung turun ke bawah dan membentuk horison argilik. Horison argilik merupakan horison atau lapisan tanah yang terbentuk akibat terjadi 4
akumulasi lempung. Alfisol mempunyai kejenuhan basa tinggi (Miller dan Donahue, 1990 cit Wijanarko et al., 2007). Ada dua syarat yang diperlukan dalam pembentukan Alfisol, yaitu ditemukan mineral lempung kristalin yang sedang jumlahnya dan terjadi akumulasi lempung kristalin tersebut di horison B yang jumlahnya memenuhi syarat horison argilik, atau kandik. Translokasi lempung tersebut terjadi dalam lingkungan agak masam atau dalam lingkungan “sodik alkaline”. Keadaan lingkungan yang memungkinkan terbentuknya horison spodik, mollik atau horison lain yang bukan argilik tidak terdapat. Alfisol ditemukan di banyak zone iklim, tetapi yang utama adalah di daerah beriklim sedang yang bersifat humid atau subhumid, dengan bahan induk relatif muda dan stabil paling sedikit selama beberapa ribu tahun (Munir, 1996). Faktor-faktor pembentuk tanah terdiri dari bahan induk dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perubahan bahan induk menjadi tanah. Faktor pembentuk tanah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang terpenting menurut Jenny (1941) cit Munir (1996) adalah iklim, organisme, relief, bahan induk, dan waktu. Alfisol terbentuk dari bahan induk yang mengandung karbonat dan tidak lebih tua dari pleistosin. Alfisol pada daerah dingin hampir semuanya berasal dari bahan induk berkapur yang masih muda. Alfisol terbentuk pada iklim Koppen Aw, Am dengan bulan kering lebih dari tiga bulan. Sebagian ditemukan di daerah beriklim kering dan sebagian kecil di daerah beriklim basah (Munir, 1996). Hubungan antara permukaan geomorfologik dengan jenis tanah ditunjukkan oleh asosiasi tanah sesuai dengan keadaan iklim, bahan induk dan sebagainya. Daerah beriklim humid (udic) yang merupakan daerah dengan bahan induk yang terlalu muda untuk pembentukan oxisol ditemukan asosiasi Ultisol, Alfisol, dan Entisol (Tyler, 1975 cit Munir, 1996). Menurut Nielsen dan Hole (1964) cit Munir (1996), peranan organisme dalam pembentukan Alfisol ditunjukkan pada tanah yang tertutup hutan. Cacing tanah dan hewan-hewan lainnya berperan dalam proses pencampuran bahan organik (seresah dan humus) dengan bahan mineral pada kedalaman 2-10 cm. Pembentukan Alfisol di Iowa Timur memerlukan waktu sekitar 5000 tahun karena lambatnya proses akumulasi lempung untuk membentuk horison argilik. Sedangkan di Indonesia
5
berkisar antara 2000 hingga 7500 tahun berdasarkan tingkat perkembangan horisonnya.
2.2 Abu Terbang Batubara Abu batubara adalah bagian dari sisa pembakaran batubara yang berbentuk partikel halus amorf. Abu tersebut merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan bahan mineral (mineral matter) karena proses pembakaran. Proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler) dapat membentuk dua jenis abu, yaitu abu terbang batubara dan abu dasar batubara. Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10-20% abu dasar, sedang sisanya sekitar 80-90% berupa abu terbang. Abu terbang ditangkap dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong (Edy, 2007). Menurut Djejen (1994), abu terbang batubara digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu : Kelas F : abu terbang batubara yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis antrasit dan bituminous. Kelas C : abu terbang batubara yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis lignite dan subbituminous. Kelas N : Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale, tufa, abu gunung berapi atau pumice. Sebenarnya abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen, namun dengan kehadiran air dan ukurannya yang halus, oksida silika yang dikandung di dalam abu terbang batubara akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan akan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat (Djiwantoro, 2001). Menurut Helmut (1978), abu terbang batubara mempunyai butiran yang cukup halus, yaitu lolos ayakan no. 325 (45 mili mikron) 5-27% dengan spesific gravity antara 2,15-2,6 dan berwarna abu-abu kehitaman. Abu batubara mengandung silika dan alumina sekitar 80% dengan sebagian silika berbentuk amorf. Sifat-sifat fisik abu batubara antara lain densitasnya 2,23 gr/cm3, kadar air sekitar 4% dan komposisi mineral yang dominan adalah α-kuarsa dan mullite. Selain itu, abu
6
batubara mengandung SiO2 = 58,75%; Al2O3 = 25,82%; Fe2O3 = 5,30%; CaO = 4,66%; alkali = 1,36%; MgO = 3,30% dan bahan lainnya = 0,81%. Beberapa senyawa penyusun abu batubara, seperti : Na2O, K2O, dan CaO merupakan senyawa yang larut di dalam air membentuk senyawa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2. Pencampuran 10 g abu terbang batubara dalam 200 ml air setelah pengadukan 10 menit menghasilkan suspensi dengan nilai pH 11,47. Komponen Ca2+, K+, dan Na+ merupakan konstituen terlarut yang ditemukan dalam suspensi abu terbang batubara di air yang memberikan pH ke arah kondisi basa (Landman, 2003). Komposisi campuran abu terbang batubara dari PLTU Wisconsin Electric Coal Combustion menunjukkan kadar amorphous silika 20-60 % sedangkan crystalline silika 0-10 % (Bruce et al., 2004). Silika dalam bentuk amorphous dapat diubah menjadi bentuk kristal dengan cara pemanasan. Sebagai contoh, silika di abu sekam padi pada awalnya berbentuk porous dan amorphous tetapi bisa berubah menjadi bentuk kristal jika pembakaran dilakukan pada suhu lebih dari 650 °C dengan waktu lama atau hanya beberapa menit jika dipanaskan pada 1.100 °C. Silika dalam bentuk amorphous mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi dibandingkan bentuk kristalnya. Kereaktifan kimia yang tinggi akan memudahkan terjadinya reaksi komponen dalam abu seperti silika dengan senyawa alkali (Ramezanianpour et al., 2009). Kelarutan abu batubara dalam larutan alkali tergantung dari jenis mineral di abu batubara. Shcherban et al. (1996) menyebutkan kelarutan mullite dan quartz di larutan alkali relatif kecil. Sementara mineral glassy phase mempunyai kelarutan cukup tinggi yaitu dalam 5 jam proses pengolahan sebanyak 50% lebih silika di cairan produk (Shcherban, 1995).
2.3 Pupuk Kandang Sapi Pemberian bahan organik berpengaruh besar terhadap sifat–sifat tanah, diantaranya mengikat unsur kimia yang baik sehingga menyebabkan unsur tersebut tidak tercuci dan membuat keadaan hara tetap tersedia di dalam tanah. Selanjutnya, tanaman akan mendapatkan suplai hara untuk pertumbuhan dan dapat meningkatkan produksi tanaman (Murbandono, 2003).
7
Sumber primer bahan organik di dalam tanah adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, daun, ranting, bunga dan buah. Jaringan tanaman ini akan mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah, serta bercampur dengan tanah. Tanaman tidak saja menjadi sumber bahan organik tanah, tetapi juga sumber bahan organik bagi makhluk hidup (Hakim et al., 1986 cit Khairani, 2008). Pemberian
pupuk
kandang
dapat
memperbaiki
kondisi
lingkungan
pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya mampu meningkatkan hasil produksi suatu tanaman. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah juga dapat meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroorganisme tanah (Hsieh dan Hsieh, 1990 cit Sevindrajuta, 2012). Hasil penelitian Noor dan Ningsih (1998) menunjukkan pupuk kandang kotoran sapi mempunyai kadar N 0,92%; P 0,23%; K 1,03%; Ca 0,38%; Mg 0,38%; yang akan dapat dimanfaatkan oleh tanaman kalau sudah terurai. Peningkatan hasil produksi tanaman dengan pemberian pupuk kandang bukan saja karena pupuk kandang merupakan sumber hara N dan juga unsur hara lainnya untuk pertumbuhan tanaman, namun pupuk kandang juga berfungsi dalam meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Pemberian bahan organik pupuk kandang selain meningkatkan kapasitas tukar kation juga dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air, sehingga unsur hara yang ada dalam tanah maupun yang ditambahkan dari luar tidak mudah larut dan hilang, dan unsur hara tersebut tersedia bagi tanaman. Tanah yang kandungan pasirnya lebih dari 30% dan kandungan bahan organiknya tergolong rendah, sangat memerlukan bahan organik untuk meningkatkan produksi dan mengefisiensikan pemupukan (Karama, 1990 cit Sevindrajuta, 2012). Pupuk kandang mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Pupuk kandang dapat menambah ketersediaan bahan makanan (unsur hara) bagi tanaman, yang dapat diserapnya dari dalam tanah, dengan perkataan lain pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah menjadi faktor–faktor yang dapat menjamin kesuburan tanah (Sutanto, 2006 cit Khairani, 2008).
8
Pupuk kandang dari kotoran sapi memiliki kandungan serat yang tinggi. Serat atau selulosa merupakan senyawa rantai karbon yang akan mengalami proses dekomposisi lebih lanjut. Proses dekomposisi senyawa tersebut memerlukan unsur N yang terdapat dalam kotoran, sehingga kotoran sapi tidak dianjurkan untuk diaplikasikan dalam bentuk segar, perlu pematangan atau pengomposan terlebih dahulu. Apabila pupuk diaplikasikan tanpa pengomposan, akan terjadi perebutan unsur N antara tanaman dengan proses dekomposisi kotoran. Pupuk kandang yang dapat digunakan adalah pupuk kandang yang sudah matang. Artinya, dalam pupuk tersebut tidak terjadi lagi proses dekomposisi atau penguraian oleh jasad renik. Tanda-tanda pupuk kandang sudah matang adalah tidak berbau tajam (bau amoniak), berwarna coklat tua, tampak kering, tidak terasa panas bila dipegang, dan gembur bila diremas (Prihmantoro, 2001). Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun, apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, maka akan menyebabkan peningkatan pH tanah karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Diketahui bahwa penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain Inseptisol, Ultisol dan Andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah. Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa (Suntoro, 2001; Cahyani, 1996; dan Dewi, 1996). Senyawa organik dalam tanah sering dikelompokkan menjadi senyawa terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Senyawa tak terhumifikasi adalah senyawasenyawa dalam tanaman dan organisme lain seperti karbohidrat, asam amino, protein, lipid, asam nukleat, dan lignin. Fraksi terhumifikasi dikenal sebagai humus,
9
atau sekarang disebut senyawa humat, dan dianggap sebagai hasil akhir dekomposisi bahan tanaman dalam tanah (Tan, 1991 cit Santosa et al., 2013). Menurut Schinitzer (1986) cit Santosa et al. (2013), senyawa humat menempati 70-80% dari bahan organik dalam hampir semua tanah mineral. Salah satu karakteristik yang paling khusus dari senyawa humat ialah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidrokarbon, mineral, dan senyawa organik, termasuk pencemar beracun, dengan membentuk asosiasi, baik yang larut dalam air maupun yang tidak larut dalam air. Asam humat merupakan komponen dengan konsentrasi yang lebih besar secara signifikan daripada konsentrasi asam fulvat pada berbagai tanah. Gugus fungsional utama yang terdapat pada asam humat ialah asam karboksilat, alkohol, fenol, karbonil, fosfat, sulfat, amida, dan sulfida. Semua gugus ini mungkin berinteraksi dengan spesies logam dalam larutan (Senesi, 1992 cit Santosa et al., 2013). Pengikatan logam oleh senyawa humat dapat terjadi melalui (i) jembatan air, (ii) interaksi elektrostatik dengan muatan negatif gugus –COO-, (iii) pembentukan ikatan koordinasi dengan satu gugus donor, dan (iv) pembentukan struktur kelat atau cincin yang dapat terbentuk melalui kombinasi dua gugus –COOH atau kombinasi gugus –COO- dan -OH fenolat. Pengikatan kation logam akan terjadi pertama kali melalui interaksi yang menghasilkan kompleks stabil, yaitu membentuk ikatan koordinasi dan struktur cincin. Pembentukan ikatan melalui interaksi yang lebih lemah terjadi apabila sisi aktif yang mengikat logam secara kuat telah jenuh (Stevenson, 1994 cit Santosa et al., 2013). Menurut Spark et al. (1997) cit Santosa et al. (2013), pada umumnya interaksi antara asam humat dan ion logam bertambah dengan meningkatnya pH larutan, konsentrasi asam humat, dan dan konsentrasi ion logam. Kerndorf dan Schnitzer (1980) cit Santosa et al. (2013) mempelajari interaksi dari beberapa kation logam dengan asam humat, pada pH 2,4; urutan adsorpsinya adalah sebagai berikut : Hg > Fe > Pb > Cu = Al > Ni > Cr = Zn = Cd = Co = Mn. Pada pH 4,7; urutan adsorpsinya Hg = Fe = Pb = Al = Cr > Cd > Ni = Zn > Co > Mn. Pada pH 5,8; urutan adsorpsinya Hg = Fe = Pb = Al = Cr = Cu > Cd > Zn > Ni > Co > Mn. Mekanisme
10
adsorpsi kemungkinan melibatkan pertukaran ion, kopresipitasi dan pembentukan kompleks. Sudiono (2001) cit Santosa et al. (2013), melaporkan adsorpsi kation-kation logam mencapai maksimum pada pH sekitar 4 dengan kondisi optimum padatan elektrolit asam humat yang masih mungkin ditemukan dan faktor muatan permukaan serta faktor ikatan hidrogen sangat kecil. Sementara itu, pada pH di atas 4, interaksi kation-kation logam dengan asam humat merupakan interaksi antara asam humat terlarut dan kation-kation logam.
2.4 Logam Berat Kromium (Cr) Logam berat adalah unsur logam yang memiliki berat molekul yang tinggi, umumnya bersifat racun, baik bagi tanaman maupun hewan, contohnya seperti Hg, Pb, Ni, Cd, Cr, As dan masih banyak lagi. Karakteristik logam berat yaitu memiliki berat jenis > 4, bernomor atom 22-34 dan 40-50. Logam berat memilki respon biokimia spesifik pada makhluk hidup. Logam berat yang telah diketahui berjumlah lebih dari 70 unsur dan yang perlu diperhatikan adalah Hg, Pb, Cd, Cu, Cr, Co dan Mo, karena unsur-unsur ini yang lebih sering terkandung pada tanah yang tercemar (Am. Geol. Inst., 1976). Tanah secara alami telah mengandung logam berat meskipun hanya sedikit. Berdasarkan analisis Notohadiprawiro (1991) jenis tanah Vertisol Sragen, Ferrassol Karanganyar (Solo), dan Regosol kuningan Yogyakarta mengandung logam berat 20.9-49.8 (Zn), 18.7- 35.4 (Cu), 5.6- 15.1 (Pb), dan 6.4-28.8 ppm (Ni). Kadarnya pun tergantung dari bahan induk pembentuk tanah itu sendiri. Tanah pun memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat yang berbeda untuk tiap jenis tanah berdasarkan bahan induk penyusun tanah tersebut. Menurut standar umum, kadar Pb dan Cd yang boleh ada pada tanah adalah masing-masing sebesar 150 ppm dan 2 ppm untuk jenis tanah yang berasal dari batuan beku (Charlena, 2004). Perkembangan dunia industri banyak memberikan dampak terhadap kehidupan manusia, baik yang positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah dihasilkannya bahan-bahan pencemar yang mengganggu lingkungan. Bahan pencemar yang sering menjadi perhatian adalah ion-ion logam berat. Hal ini disebabkan ion-ion ini bersifat toksik meskipun pada konsentrasi yang rendah (ppm)
11
dan umumnya sebagai polutan utama bagi lingkungan. Ion-ion logam berat seperti ion-ion kromium (III) atau Cr3+ dapat menyebabkan kanker paru-paru, kerusakan hati dan ginjal serta dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Imamkhasani, 2001) dan mempunyai sifat mudah terakumulasi, yaitu apabila ion-ion ini ada dalam tubuh mahkluk hidup akan mengalami penumpukan dan pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan keracunan. Menurut Kepmenkes Republik Indonesia (2002), nilai ambang ion Cr3+ dalam air adalah 0,05 ppm, dengan demikian, keberadaan ion Cr3+ dalam air harus diupayakan agar tidak melebihi nilai ambang yang diperbolehkan. Beberapa studi kasus mengenai spesiasi Cr pada batubara dan abu terbang batubara telah banyak dilakukan. Adanya perbedaan tingkat oksidasi pada kandungan kromium tersebut menimbulkan ancaman yang berbeda-beda terhadap lingkungan. Kandungan kromium pada fase oksidasi hexavalen, meliputi kromat maupun dikromat secara luas diakui sebagai potensi karsinogenik dan sangat larut pada media air, sedangkan kromium pada tingkat trivalen/Cr (III) memiliki sifat kurang larut dalam air, sehingga dampak bagi kesehatan manusia perlu diperhatikan (Huggins dan Huffman, 2004 cit Izquerdo & Querol, 2011). Kromium paling banyak terkandung pada batubara jenis bituminous sebagai Cr3+ dalam illit, sedangkan dalam bentuk Cr6+ hanya sedikit terkandung pada illit. Munculnya kation-kation tersebut menimbulkan terjadinya asosiasi aluminosilikat terutama di dalam abu terbang batubara, yang tersisa dalam bentuk Cr3+ (Goodarzi et al., 2008; Huggins et al., 1999; Huggins et al., 2000; Huggins and Huffman, 2004; Spears, 2004; Spears and Martinez-Tarrazona, 2004 cit Izquerdo & Querol, 2011). Kondisi yang demikian menyebabkan Cr bersifat seperti kation logam berat lainnya dan menjadi mudah terlindi akibat nilai pH yang rendah. Beberapa cekungan batubara yang terletak di dekat badan ultramafic diketahui mempunyai kandungan Cr3+ yang tinggi. Senyawa kromit mempunyai sifat tahan terhadap api serta mudah larut karena mengandung banyak mineral (Foscolos et al., 1989; Ruppert et al., 1996 cit Izquerdo & Querol, 2011). Selain itu, kandungan Cr6+ pada batubara mudah direduksi dalam gas buang melalui SO2, dengan begitu spesiasi yang dominan di dalam abu terbang batubara berupa Cr3+. Beberapa peneliti telah memperkirakan fraksi oksidasi dari Cr6+ pada abu terbang batubara mempunyai nilai sebesar 5% (Goodarzi et al., 2008; Huggins et al., 1999 cit Izquerdo & Querol, 2011).
12
Sebagian besar data pada literatur menyebutkan bahwa spesiasi Cr3+ bersifat dominan di dalam abu terbang batubara. Pengujian leaching pada abu terbang batubara yang bersifat asam dari Australia, mengemukakan bahwa kandungan Cr sulit untuk termobilisasi, hanya sebesar 0,03%. Selain itu, dapat diketahui bahwa pada abu terbang batubara alkalis memiliki mobilitas yang sedikit lebih tinggi, serta Cr dapat meningkat seiring dengan kenaikan nilai pH. Pola leaching pada Cr dilihat dari ketergantungan nilai pH nya. Ketika nilai pH nya rendah, maka Cr mengalami leaching sebesar 0,02 mg/kg dan pada pH 8-12 biasanya Cr mengalami leaching sebesar 5 mg/kg. Mengenai mobilitas, percobaan tersebut mengindikasikan bahwa 14% dari proporsi air yang terekstrak, meningkat pada nilai pH yang lebih tinggi (Dubikova et al., 2006 cit Izquerdo & Querol, 2011). Soco dan Kalembkiewicz (2009) cit Izquerdo & Querol (2011), menyimpulkan bahwa 8,2% dari total Cr pada abu terbang batubara dari Polandia dapat terlindi dalam kondisi lingkungan. Ketika suasana basa dan kondisi teroksidasi, larutan Cr dapat berubah dalam bentuk kromat. Konsentrasi sulfat yang tinggi berhubungan dengan pH alkalis dan mempengaruhi proses adsorpsi. Beberapa jenis abu terbang batubara menunjukkan pelindian logam Cr oleh air mencapai 20 mg/kg. Sampel abu terbang batubara menunjukkan peningkatan nilai pelindian Cr mencapai 20% dalam bentuk Cr6+ (Huggins et al., 1999 cit Izquerdo & Querol, 2011). Keberadaan bahan organik yang kaya oksigen pada batubara dapat menyebabkan persentase terbentuknya kromat lebih tinggi selama pembakaran. Selain itu, tingkat pelindian yang berbeda dapat disebabkan oleh endapan dari gambut pada lingkungan. Cr3+ terlindi keluar dari badan ultramafic menuju ke lignit dalam bentuk cair, seperti yang terjadi pada Ni2+. Komponen material organik berfungsi untuk meningkatkan Cr melalui penguapan selama proses pembakaran, oksidasi, dan pengendapan kromat terlarut pada abu terbang batubara (Foscolos et al., 1989; Ruppert et al., 1996 cit Izquerdo & Querol, 2011).
2.5 Padi Gogo (Situ Bagendit) Pertumbuhan dan perkembangan dalam budidaya tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang paling penting adalah tanah dan iklim serta interaksi kedua faktor tersebut. Tanaman padi gogo
13
dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah, sedangkan persyaratan utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya padi gogo. Hal ini disebabkan karena kebutuhan air untuk padi gogo hanya mengandalkan curah hujan (Mutakin, 2005). Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya. Tanaman padi dapat tumbuh pada daerah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi. Padi gogo tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 450 LU sampai 450 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Produksi padi dapat meningkat pada musim kemarau asalkan air irigasi selalu tersedia. Tanaman padi di dataran rendah memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27 ºC sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperature 19-23 0C (Teguh, 2000). Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan. Wilayah di Indonesia memiliki panjang radiasi matahari ± 12 jam sehari dengan intensitas radiasi 350 cal/cm2/hari pada musim penghujan. Intensitas radiasi ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah sub tropis yang dapat mencapai 550 cal/cm2/hari. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman (Makarim, 2008). Defisit cahaya pada tanaman padi gogo, yang tergolong tanaman perlu cahaya dapat berakibat fatal, yaitu terganggunya metabolisme yang berimplikasi kepada turunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Oleh karena itu, sifat yang dicari ialah kemampuan yang tinggi untuk melakukan fotosintesis secara efisien dalarn kondisi defisit cahaya. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat morfologi, anatomi, fisiologi dan biokimia tanaman yang berhubungan dengan segala hal yang terkait dengan fotosintesis (Murty et al., 1992; Jiao et al., 1993; Watanabe et al., 1993 cit Soverda, 2002). Tanaman yang tumbuh di bawah naungan memperlihatkan karakter tumbuh yang berbeda dengan tanaman tanpa naungan. Tanaman beradaptasi terhadap cekaman naungan dengan cara meningkatkan efisiensi penangkapan radiasi, mengurangi radiasi yang ditransmisikan dan yang direfleksikan serta mengurangi
14
laju penggunaan metabolit (Hale dan Orcutt, 1987; Hidema et al., 1992 cit Soverda, 2002). Tanaman toleran radiasi rendah pada keadaan ternaungi memiliki daun yang lebih panjang, lebih luas dan tipis daripada daun tanaman yang tumbuh pada daerah terbuka. Hal ini disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil daun (Mohr dan Schoopfer, 1995; Purwanto, 1998 cit Soverda, 2002). Padi gogo pada umumnya dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Hal-hal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo adalah sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau dengan kata lain faktor kesuburan tanahnya. Pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu 45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara pada lapisan tanah setebal 0-30 cm (Noor, 1996). Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok bervariasi mulai dari yang berlempung, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya, tanah tidak berbatu, jika terdapat lapisan berbatu, maksimal kurang dari 50%. Keasaman (pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. pH tanah yang lebih rendah pada umumnya dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan Al, sedangkan pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn (Hantoro, 2007).
15
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 - Februari 2015 di Rumah Kaca dan Laboratorium Tanah Umum dan Fisika Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Polybag ukuran 10 kg 2. Kertas label 3. Cangkul 4. Meteran/penggaris 5. Timbangan 6. Ayakan 7. Plastik 8. Alat tulis 9. Peralatan laboratorium untuk analisis fisika dan kimia Bahan–bahan yang digunakan antara lain : 1. Bahan tanah Alfisol 2. Benih padi gogo (Situ Bagendit) 3. Abu terbang batubara dari PLTU Tanjung Jati B Jepara 4. Pupuk kandang sapi 5. Pupuk NPK sebagai pupuk dasar 6. Bahan kimia (khemikalia) untuk analisis
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Survey awal Survey awal penelitian dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan sifat fisik tanah yang akan digunakan sebagai media tanam. Survey awal yang pertama kali dilakukan adalah menentukan jenis tanah dan tempat pengambilannya, kemudian menentukan tempat dilakukan penanaman padi gogo, seperti Laboratorium Rumah 16
Kaca. Selain itu, dilakukan survey mengenai jenis abu terbang batubara yang berasal dari PLTU Tanjung Jati B Jepara, meliputi input dan output dari pembakaran batubara. Langkah berikutnya adalah menentukan tempat analisis fisika dan kimia terkait dengan penelitian, seperti Laboratorium DIT, Fisika Tanah, FMIPA, serta Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) DIY.
3.3.2 Rancangan percobaan Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Percobaan yang akan dilakukan adalah kombinasi antar pupuk kandang sapi dengan abu terbang batubara pada tanaman padi gogo varietas Situ Bagendit. Perlakuan faktorial aras pertama pada percobaan yang dilakukan adalah pemberian abu terbang batubara dengan dosis per hektar sebesar 0 ton/ha, 30 ton/ha, 60 ton/ha, dan 90 ton/ha; yang kemudian dikonversi menjadi sebesar 0 gram/polybag, 117 gram/polybag, 234 gram/polybag, dan 350 gram/polybag. Perlakuan faktorial aras kedua adalah pemberian pupuk kandang sapi dengan dosis per hektar sebesar 0 ton/ha, 10 ton/ha, 20 ton/ha, dan 30 ton/ha; kemudian dikonversi menjadi 0 gram/polybag, 39 gram/polybag, 78 gram/polybag, dan 117 gram/polybag. Masingmasing perlakuan dilakukan secara acak dengan ulangan sebanyak 3 kali. Percobaan yang digunakan adalah (4 x 4) perlakuan x 3 ulangan = 48 unit percobaan. Tabel 3.1 Rancangan percobaan kombinasi abu terbang batubara dengan pupuk kandang Abu terbang batubara Pupuk kandang
0 gram
117 gram
234 gram
350 gram
sapi
/polybag
/polybag
/polybag
/polybag
(F0)
(F1)
(F2)
(F3)
P0F0
P0F1
P0F2
P0F3
P1F0
P1F1
P1F2
P1F3
P2F0
P2F1
P2F2
P2F3
P3F0
P3F1
P3F2
P3F3
0 gram/polybag (P0) 39 gram/polybag (P1) 78 gram/polybag (P2) 117 gram/polybag (P3)
17
3.4 Pelaksanaan Kegiatan 3.4.1 Penyiapan benih dan media tanam Penyiapan benih tanaman padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ Bagendit dilakukan sesuai dengan kebutuhan pertanaman pada media tanam (tanah) yang dikombinasikan dengan abu terbang batubara. Pertama-tama, benih padi gogo tersebut direndam dengan air selama 24 jam untuk memecah dormansi, kemudian benih ditanam langsung ke dalam polybag yang akan digunakan untuk penelitian. Persiapan media tanam menggunakan polybag berukuran 10 kg untuk tanaman padi. Jenis tanah yang digunakan untuk penelitian ini adalah Alfisol yang berasal dari daerah Kaliwedi, Banyumas, Jawa Tengah. Tahap awal persiapan media tanam dilakukan dengan mengeringanginkan tanah terlebih dahulu sebelum dilakukan pengayakan dengan ukuran 2 mm. Selanjutnya, tanah ditempatkan dalam suatu wadah dan ditambahkan dengan abu terbang batubara dan pupuk kandang sesuai dengan masing-masing perlakuan. Campuran tanah dengan abu terbang batubara dan pupuk kandang sapi tersebut kemudian dikompositkan secara bersamaan, kemudian dipindahkan ke dalam polybag berukuran 10 kg. Setiap perlakuan aplikasi pupuk kandang dengan abu terbang batubara dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, kemudian tanah siap untuk diinkubasi selama 2 minggu sebelum penanaman. Setelah inkubasi, tanah selesai, kemudian diberi pupuk dasar NPK dengan dosis 1 gram/polybag. Setelah diberikan pupuk dasar, benih padi gogo ditanam ke dalam tanah dengan cara tugal atau diberi lubang tanam dengan kedalaman kurang lebih 5-10 cm.
3.4.2 Analisis tanah awal dan setelah inkubasi Analisis tanah awal (Alfisol) dilakukan untuk mengetahui karakter tanah sebelum diberikan perlakuan, kemudian analisis tanah setelah inkubasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap sifat tanah. Parameter tanah awal dan inkubasi adalah sebagai berikut : 1.
Kadar lengas dengan oven (Balittan, 2009).
2.
Tekstur (tanah awal).
3.
Berat volume (tanah awal).
18
4.
pH (H2O) dan pH (KCl) dengan metode pH meter (Hanudin, 2000).
5.
KPK dengan metode destilasi (Hanudin, 2000).
6.
C-Organik (BO) dengan metode Walkey and Black (Hanudin, 2000).
7.
N total dengan metode Kjedahl/destruksi (tanah awal) (Hanudin, 2000).
8.
P tersedia metode Olsen/spektrofotometer (tanah awal) (Hanudin, 2000).
9.
Na tersedia (tanah awal) dengan flame photometer (Balittan, 2009).
10. Ca dan Mg tersedia dengan AAS (Balittan, 2009). 11. K tersedia dengan flame photometer (Balittan, 2009). 12. Logam berat dengan metode destruksi (Balittan, 2009).
3.4.3 Analisis abu terbang batubara Karakterisasi abu terbang batubara diperlukan untuk mengetahui kandungan unsur makro dan mikro, serta logam berat yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk penentuan dosis perlakuan. Analisis kimia abu terbang batubara yang dilakukan diantaranya adalah pengukuran kadar air, pH, unsur makro, unsur mikro, serta logam-logam berat yang terkandung di dalamnya. Pengukuran sifat kimia pada abu terbang batubara dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM. Khusus pembacaan beberapa unsur makro dan mikro seperti logam berat dilakukan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy).
3.4.4 Analisis pupuk kandang sapi Analisis kimia pupuk kandang sapi dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur hara yang terdapat di dalamnya. Pengujian yang dilakukan adalah 1. pH pupuk dengan pH meter. 2. Kadar lengas dengan oven. 3. Asam humat dan fulvat dengan metode destruksi. 4. N, P, K pupuk dengan metode destruksi. 5. Ca dan Mg tersedia pupuk dengan AAS. 6. C-organik dengan metode muffle furnace. 7. Nisbah C/N pupuk. 8. Kandungan Si dan logam berat (Cr, Pb) dengan metode destruksi. (Balittan, 2009).
19
3.4.5 Pengamatan tanaman padi gogo Pengamatan agronomi pada tanaman bertujuan untuk mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman padi gogo yang digunakan. Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat perubahan tanaman pada tiap perlakuan dan ulangan pada intensitas mingguan (MST). Pengamatan pertama dapat dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam (MST), selain itu penyiraman dilakukan pada tanaman secara teratur sejak awal penanaman. Pengamatan agronomi tanaman padi gogo tersebut dilakukan sampai fase vegetatif maksimumnya, kemudian dipanen pada fase tersebut. Masa panen untuk tanaman padi gogo varietas Situ Bagendit dilakukan pada fase vegetatif maksimum kurang lebih 70 hari (70 HST/10 MST). Pengamatan parameter pertumbuhan tanaman yang dilakukan, diantaranya adalah 1. Tinggi tanaman. 2. Jumlah anakan tanaman. 3. Jumlah malai. 4. Berat segar (BS) tajuk dan akar tanaman. 5. Berat kering (BK) tajuk dan akar tanaman. 6. Panjang akar tanaman. 7. Luasan akar tanaman menggunakan Leaf Area Meter.
3.4.6 Analisis logam Cr dalam jaringan tanaman Sampel jaringan tanaman dipisahkan antara bagian tajuk dan akar. Bagian tajuk dan akar tanaman tersebut dihaluskan dengan grinder/pencacah, kemudian didestruksi/dipanaskan dengan suhu yang sudah ditentukan. Setelah proses destruksi selesai, maka akan didapatkan hasil berupa padatan dan filtrat. Padatan dapat dianalisis menggunakan XRD dan IR, sedangkan filtrat hasil saringan dapat dianalisis dengan menggunakan AAS. Keduanya untuk mengukur kadar logam berat yang terkandung di dalam jaringan tanaman, terutama logam Cr (Kromium). Pembacaan dan analisis unsur logam Cr yang akurat dapat dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM atau di BBTKLPP Jalan Wonosari, Yogyakarta.
20