1
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Desakan pertumbuhan penduduk selalu beriring dengan resiko tercemar dan menurunnya kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan antara lain sebagai akibat pembuangan sampah dan limbah yang menjadi hasil sampingan dari pertumbuhan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya. Constanza et al., (1997) menyatakan bahwa sekitar 60 % penduduk dunia berada di wilayah pesisir. Jumlah tersebut terus meningkat dan berdampak pada peningkatan kebutuhan manusia, produksi sampah dan limbah hasil aktivitas manusia. Semakin besar populasi penduduk maka semakin banyak pula tekanan pada lingkungan pantai, termasuk permukaan perairan akibat polusi pembuangan limbah cair (Putnam et al., 2010). Pencemaran terhadap sumber daya air terjadi sejak lama baik di laut, danau maupun sungai. Situasi tersebut memberikan tekanan yang sangat besar terhadap lingkungan pesisir khususnya dalam penurunan kualitas lingkungan, keanekaragaman hayati, hilangnya suatu habitat, dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup penduduk yang mendiaminya (Herrera-Silveira dan Morales-Ojeda, 2009). Terdapat beberapa sumber pencemaran bagi lingkungan perairan yaitu limbah industri dan limbah rumah tangga. Limbah rumah tangga ini akan terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk di suatu wilayah. Air limbah domestik dapat meningkatkan organisme patogen, nutrien, dan beban organik pada ekosistem pesisir sehingga mengurangi kualitas air dan sedimen (Putnam et al., 2010). Pengelolaan limbah rumah tangga sangat membutuhkan perhatian khusus demi keberlanjutaan ekosistem dan upaya menjaga kualitas lingkungan. Terlebih pengelolaan limbah tersebut apabila dilakukan di pulau kecil. Hal tersebut dikarenakan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang memiliki luas sangat terbatas sehingga sangat terbatas pula dalam menerima limbah. Dalam upaya pengelolaan limbah rumah tangga, ekosistem mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap limbah organik baik yang dilakukan oleh individu mangrove maupun oleh ekosistemnya (Wu et al., 2008).
2 Ekosistem mangrove Pulau Sepanjang memiliki luas + 3.000 ha dengan lebar kawasan bervariasi (250 – 1.500) m yang terdiri dari 36 jenis tumbuhan mangrove yang tergolong dalam 22 suku dan 27 marga (Suhardjono dan Rugayah, 2007) (Lampiran 1). Dengan potensi tersebut, maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar peran dan efektifitas ekosistem mangrove dalam mengendalikan pencemaran terhadap lingkungan, dalam artian seberapa besar kapasitas asimilasi ekosistem mangrove dalam menerima beban pencemar di pesisir Pulau Sepanjang. 1.2 Perumusan Masalah Pulau Sepanjang merupakan salah satu pulau yang terletak di gugus Pulau Sapeken dengan luas wilayah 72,11 km2. Pulau dengan kepadatan penduduk sebanyak
109
orang/km2
ini
memproduksi
limbah
sebanyak
203,61
liter/orang/hari (Data BTKL tahun 2005 in Mukhtasor, 2007). Seperti telah diketahui bahwa pulau kecil memiliki karakteristik yang khas secara ekologis berupa keterpisahan dengan pulau induk (mainland island) sehingga memiliki batas fisik yang jelas terpisah dengan pulau induk dan bersifat insuler. Keterpisahan tersebut mengakibatkan pulau kecil memiliki kemampuan yang sangat kecil dalam menerima tekanan baik dari darat maupun dari laut. Ekosistem mangrove dikenal memiliki fungsi dan peran dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
ekosistem
mangrove
memberikan
kontribusi
signifikan
dalam
mengendalikan nutrien dan bahan organik dari air limbah serta untuk menjaga kualitas air di daerah estuaria. Fungsi tersebut terpenuhi melalui proses sedimentasi, filtrasi, aktivitas mikroba, penyerapan tanaman, dan lain sebagainya. Proses tersebut terjadi ketika air limbah tersebut melewati ekosistem mangrove. Namun demikian, ekosistem mangrove memiliki batas dalam menerima beban pencemar sehingga perlu dilakukan kajian kapasitas asimilasinya. Kajian kapasitas asimilasi merupakan kajian terhadap kemampuan suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima beban pencemar tanpa menyebabkan gangguan maupun kerusakan bagi lingkungan dan ekosistem tersebut. Kajian tersebut membutuhkan hubungan antara komponen ekosistem mangrove dan
3 polutan yang berpotensi dalam mencemari lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam upaya mengetahui hubungan ekostruktur mangrove dengan kualitas lingkungan dan kapasitas asimilasi pesisir Pulau Sepanjang dibutuhkan kajian yang mendalam mengenai: 1. Ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang 2. Hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan pesisir Pulau Sepanjang 3. Jumlah beban limbah organik dan analisis kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang b. Mengetahui hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan c. Mengkuantifikasi beban limbah organik dan menganalisi kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan vegetasi
mangrove
dan
kualitas
lingkungannya
serta
diharapkan
pula
mendapatkan informasi yang tepat mengenai kapasitas asimilasi pesisir Pulau Sepanjang dalam upaya mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Selain itu sebagai bahan pertimbangan dalam membuat rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya Pulau Sepanjang Kecamatan Sapeken Madura. 1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu permasalahan kompleks yang ada di wilayah pesisir pulaupulau kecil berpenduduk adalah limbah yang dapat menyebabkan pencemaran. Suatu wilayah dapat dikatakan tercemar apabila beban pencemar melebihi kapasitas asimilasi di wilayah tersebut. Permasalahan di pesisir pulau-pulau kecil tersebut dikarenakan sifat insuler dan wilayah yang relatif sempit dan memiliki ekosistem pesisir yang sensitif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
4 positif bagi keberlangsungan hidup penduduk yang mendiaminya. Namun dilain pihak apabila pemanfaatan tersebut berlebihan, maka akan menimbulkan pencemaran dan jika dibiarkan akan berpotensi untuk melebihi kapasitas asimilasi yang dimiliki dan berakibat fatal bagi sistem kehidupan. Pada dasarnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ekosistem pesisir yang khas (salah satunya adalah ekosistem mangrove) memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan pencemaran. Kemampuan tersebut dimiliki baik oleh tegakan mangrove maupun ekosostemnya. Oleh karena itu perlu diketahui secara kuantitatif berapa sebenarnya kapasitas asimilasi yang dimiliki ekosistem mangrove. Menurut Anna (1999), pada suatu penelitian untuk dapat mengukur beban limbah pencemaran dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Pertama adalah dengan melakukan penilaian secara cepat melalui pemanfaatan data yang dapat mendukung perhitungan tersebut (meliputi jumlah penduduk, sumber pencemar, dan lain-lain) yang kemudian dihitung total beban pencemar yang dihasilkan. Yang kedua adalah dengan melakukan pengukuran secara langsung terhadap beban pencemaran pada lokasi penelitian dan dilakukan perhitungan dan pendekatan antara beban pencemar dengan keberadaan ekosistem mangrove. Adapun kerangka pemikiran secara lengkap disajikan pada Gambar 1.
5 a
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
b
Jenis Bahan Pencemar
Antropogenik ▪ Industri ▪ Domestik ▪ Transportasi ▪ Pertanian
Alamiah ▪ Letusan Gunung Berapi ▪ Pelapukan Batuan
Ekosistem Mangrove
Fungsi Ekosistem mangrove - Jasa Lingkungan - Pengendali Pencemaran Beban Pencemar
c Nilai Baku Mutu Kualitas Lingkungan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
Kapasitas Asimilasi Ekosistem Mangrove
Status Pencemaran
KBP < KBM Tidak tercemar
KBP > KBM Tercemar
Keterangan : a) tujuan 1; b) tujuan 2; c) tujuan 3; KBP = konsentrasi bahan pencemar; KBM = konsentrasi baku mutu Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran