Perjanjian-Perjanjian
283
PeIjanjian-PeIjanjian Interuasional Indonesia Mengenai Perlindungan Penanaman Modal Oleh : Prof. Dr. Mr. S. Gautama Berbagai peljaojian Internasional yang dibual Indonesia dengan negara-negara temnlu teJab turut memperkaya ketentuan perundang-undangan yang menyangkut investasi di Indonesia, karena tujuan darl peljaojian tersebut dan termasuk juga UU PMA no_ 1/1967 unluk memberi perlindungan kepada para Inveslor dan memupuk iklim yang .ehat untuk perkembangan dan bertumhahnya investasi di Indone- sia Beberapa prlnsip darl peljaojian-peljaojian internasional tersebut menyiralkan akan adanya perlindungan yang kbusus diberikan kepada pihak Inveslor. Semua Ini tidak lain bertujuan menciplakan iklim yang sebal demi pertumhuban dan perkembangan penanaman modal asing di negara kila_ Hal inilab yang diungkapkan oleb penulis mengenai peljaojian- peljaojian Internasional yang telab dilakukan Indonesia tenlang perllndungan penanaman modal. Republik Indonesia sebagai Negara yng merdeka dan herdaulat telah .membuat berbagai Perjanjian Intemasional dengan tujuan untuk membina iklim yang sehat demi tumbuhnya Penanaman Modal Asing di negara kiLa. Bukan saja Indonesia turut serta dalam perjanjian-perjanjian multilateral teLapi juga dalam perjanjian-perjanjian bilateral dengan herbagai negara tertentu. Perjaojian Multilateral Dari perjanjian-perjanjian multilateral ini dapat disebut anLaranya: a. Konvensi ICSID (Convention on the Settlement of Inveslment Dispules between Slales and Nationals of olher Slates), yang dengan UndangUndang 1968 No. 5 telah menjadi Hukum Positif untuk negara kiLa. "Washington Convention" yang diprakarsai oleh Bank Dunia Ini dimaksudkan untuk membantu· arus Penanaman Modal di negara-negars berkembsng. Caranya dengan memberikan perlindungan kepada Penanam
Juni1991
284
HuJa.m dan Pembangunan
Modal di Indonesia. Babwi sebagai negara yang herdaulal, Indonesia bersedia untuk atas tuduban dari pibak Penanam Modal swasta menjalankan arbitrase melalui Pusat Arbitrase tentang Penanaman Modal yang berpusat di World Bank Wasbington. Sebagai contob konkrit dari kemungkinan digugatnya Negara Rep. Indonesia karen. adany. sengketa Penanaman Modal dengan swasta asing, dapat disebut arbitrase ICSID mengenai Hotel Kartika Plaza. Gugatan ini, yang sudab diajukan sejak Pebmari 1981, bingga kini masib berlangsung, jadi sudab berjalan lebib dari 11 tabun. Jelaslab Rep. Indonesia memberi kesempatan dan tidak mengbalangi investnr asing yang merasa dirugikan, karena dicabut Iisensi Penanaman Modalnya, untuk mengajukan persoalannya di muka forum Bank Dunia ini. b. Perjanjian Multilateral lain adalab MIGA, ·Convention Establishing the Multilateral Invesment Guarantee Agency". Republik Indonesia juga telab ikut seTta dalam konvensi ini dengan Keputusan Presiden tabun 1986 No. 31. Konvensi MIGA ini memberikan kesempatan pada invenstor asing untuk menutup asuransi dengan mana diberikan jaminan (Guarantee) kepada pihak Penanam Modal terhadap apa yang dinamakan ·political risk". Yang mencolok sebagai resiko politis dari Penanaman Modal di negara berkembang ini dapat disebut antara lain, tindakan-tindakan pencabutan hak milik atau nasionalisasi oleh negara dimana modal ditanam. Adanya revolusi dan lain-lain kejadian politik yang mengakibatkan investasi modal yang dilakukan oleh pihak asing menjadi musnah. Terhadap resiko yang bersifat non-komersial ini, investor asing dapat melakukan asuransi. Juga jika investasi ini dilakukannya di dalam wilayah Rep. Indonesia. Satu dan lain karena Indonesia turut pula ' dalam konvensi MIGA, yang juga diprakarsai oleb World Bank Group ini. c. Sebagai Konvensi Internasionallain yang bertujuan untuk memupuk iklim yang sehat bagi investasi modal, dapat disebut pula Konvensi PBB yang terkenal sebagai "New York Convention" berkenaan dengan pengakuan dan pelaksanaan dari keputusan arbitrase luar negeri (Convention on the Recognition and EnCorcement oC Foreign Arbitral Awards New York 1958). Konvensi ini telah diratiflkasi oleb Rep. Indonesia dengan Keppres 1981 No. 34. d. Perjanjian multilateral diantara Negara-negara ASEAN (Agreement Cor the Promotion and Protection ofinvesment). Perjat\iian-peljat\iian Bilateral Disamping itu dapat disebut pula berbagai perjanjian bilateral antara Indonesia dengan lain-lain negara. Dalam hubungan ini dapat disebut perjanjian-perjanjian yang diadakan oleb Rep. Indonesia dengan Negeri Belanda, United Kingdom,
Perjanjian-Perjanjian
285
Perancis, Norwegia, Belgia, Swiss, U.S.A., Canada, Republik (waktu itu masih Federal) Jerman, lepang dan Korea. Ada beberapa ciri umum yang dapat disaksikan dari pada perjaojian-perjanjian Internasional dengan berbagai negara ini. Prinsip Resiprositas Salah satu asas dalam pelJanJlan-pelJanJ13n bersangkutan itu adalah prinsip resiprositas dan manfaat bagi kedua pihak. Diberikan jaminan untuk perlakuak adil dan patut berkenaan dengan investasi- investasi, haria benda, hak dan kepentingan warga dari kedua negara dalam negara masing-masing. luga dijamin bahwI tidak akan diadakan tindakan-tindakan yang bersifat diskriminasi berken.an dengan penguasaan management dan penikmatan serta pemakaian investasi bersangkutao, maupun atas benda-benda dan hak-hak masing-masing warga kedua negara inL 'Natinal Treatment' atau 'Most Favored Nation Clause' Disamping itu menarik perhatian pula adanya prinsip yang dinamakan 'most favored nation caluse'. Berkenaan dengan investasi, benda, hak dan kepentingan, akan diberikan perlindungan yang sarna seperti yang diberikan oleh negara masing-masing kepada warga negaranya sendiri atau kepada warganegara dari Negara ketiga. Tergantung yang manaadalah lebih bermaofaat bagi pihak investor bersangkutan ini : Perlakuan sama dengan warga negara dari negara bersangkutan sendiri atau perlakuan yang sama dengan warga negara dari negaraketiga. Oleh Pemerintah Indonesia teJah dijunjung asa bahwa perlakuan terhadap investasi warga negara Belanda, tidak akan kurang dilindungi dari pada terhadap warga negara sendiri. Ini yang dinamakan prinsip 'national treatment', perlakuan seperti diberikan kepada warga negara sendiri. Akan tetapi ada pengecualian atas asas perlakuan terhadap warga negara sendiri atau natinal treatment ini berkenaan dengan investasi Belanda ini, ialah bahwa perlu diadakan pengecualian karena harus diperhatikan keadaan dan taraf dari pada Ekonomi Nasinal Indonesia. Pembatasan dalam Bidang Perdagangan Dalam raogb ini kiranya perlu diperhatiksn ketentuao-ketentuan yang masib mengenal berbagai pembatasan dari pada usaha orang asing di bidang perdagangan di Indonesia. Tetapi berkenaan dengan investasi yang didasarkan Undang-Undang 1967 No. 1 tentang Penanaman Modal Asing, dijelaskan, bahwa berkenaan dengan perusahaan-perusahaan PMA tidak aksn ada perlakuan yang kurang baik terhadap warga negara Belanda. Keterituan yang serupa kita saksikan pula dalam Perjanjian- perjanjian Indonesia dengan Inggris, Peraneis, Belgia, Norwegia, Denmark, Swiss. Republik Federasi Jerman, Korea serta dalam perjanjian multilateral negara-negara ASEAN. Setiap pihak yang membuat perjanjian ini akan menganjurkan untuk
Juni1991
H ukum dan Pembangunan
286
melakubn investasi mo
Kriteria Hukum Internasional Dalam perjanjian dengan Belgi. ada pula ciri yang menarik, yaitu babwa perlindungan yang diberibn kepada warga negara masing-masing negara ini tidak okao kurang dari pada perlakuan yang telab diakui oleb Hukum Internasional atau Hukum Antar Negara (law of nations). Political Risks Menarik perbatian pual babwa dalam perjaojiao ben;angkutao diberikan jaminan babwi kerugian yang mungkin abn dialami oleb para pibak berkenaan dengan investasi mereka yang telab disetujui, sebagai akiba! dari pada peperangan, revolusi, oleb keadaan darura! nasional, misalnya huru-hara atau revolusi di wilayab satu negara, dijamin tidak akan mendapat perlakuan yang kurang baik jib dibandingkan dengan perlakuao yang diberikan kepada warga negara dari negara ketiga. Hal ini berkenaan dengao soal penggantiao kerugian dan lain-lain restitusi yang diberikan. Jika ditinjau seea", mendalam perjanjian bilateral ini, mab dapa! dilihat babwa perjanjian yang diadakan anta", Rep. Indonesia dengan Amerika Serikat, Canada dan Jepang telab diperlakukan secar. khusus. Dalam perjanjian ini telab diadakan penukaran-penukaran surat- surat resmi (excbange oflellen;). Juga kiranya dapat diperbatikan bahwa dalam Konvensi MIGA dari World Bank, yang juga telab diratiflkasi oleb Nega", kita sejak 1986 (Keppres No.31), maka telab dibub kemungkinan seeara khusus untuk memberikan perlindungan terbadap resiko politis yang tidak bersifat komen;ial ini dengan menutup asuransi seeara ten;endiri dalam rangka MIGA. Bahkan telab dibuat standar kontrak ten;endiri yang mengatur ditutupnya perjanjian-perjanjian asuransi ben;angkutan ini berkenaan dengan investasi di antara negara-negara onggota MIGA ini. Nasionalisasl Dalam perjanjian-perjanjian bilateral itu menarik pula adanya ketentuan khusus jika diadakan nasionalisasi. Ditegaskan bahwa oleb para pibak yang
Perjanjian-Perjanjiiln
287
membuat PeIjanjian-peljanjian Intemasional ini, tidak akan dilakukan tindakan-lindakan nasionalisasi yang merugikan warga negara dati negara pihak lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan investasi, hak-hak atau kepentingan mereka ini. Satn- satnnya alasan yang dapat dibenarkan ialah apabila diadakan nasionalisasi "demi kepentingan umum" dan sesuai dengan jaminan- jaminan yang dianggap sesuai dengan ..as-asas Hukum lnternasional. Dijelaskan bahwa kompensasi yang diberikan harus berdasarkan apa yang dinamakan teoti klasik sejak jaman Cordel Hull bahwa uang ganti rugi harus dilakukan secara "prompt, adequate and etTectlve". Berkenlln dengan besamya jumlah kompenasai ini menaOk perhatian pula apa yang dikemukakan dalam PeIjanjian dengan Republik Federal Jerman. Dinyatakan bahwa dalam hal telah dilakukan pencabutan hak milik atau nasionalisasi (expropriation) maka keabsahan dati pada tindakan itn dan juga besamya jumlah kompensasi dapat ditinjau kembali sesuai dengan asas "due procesa of law". Di dalam PeIjanjian- peljanjian Negara-negara ASEAN dicantnmkan bahwa apabila dilakukan nasionalisasi, maka pihak yang terkena oleh lindakan ini dapat meminJa peninjauan kembali oleh ·suatn badan peradilan yang mempunyai kedudukan bebas dalam negara pihak bersangkutan. Jumlah besamya penggantian kerugian yang harus diberikan, ditegaskan pula dalam PeIjanjian dengan Peraneis dimana dibicarakan tentang "etTective and adequate compensation". Juga di dalam PeIjanjian dengan negara Swiss dan Norwegia kita saksikan adanya persyaratan bersangkutan itn. Di dalam peIjanjian dengan Denmark bahkan istilah tersebut secara lebih tegas lagi dirumuskan sebagai keharusan untnk melakukan "prompt payment or etTective and adequate compensation". Syarat Serupa Dalam UU PMA Asas penggantian secara 'prompt, etTective and adequate" ini juga dapat kita saksikan menjadi pegangan dati padl pemerintah Indonesia di dalam Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (pasal 21 dan 22). Disini juga telah ditegaskan lagi prinsip klasik itn. Jika dilihat perkemhangan sekilar ptinsip ini sesungguhnya dalam Hukum Internasional publik Modern, ketentnan tersebut sudah ketinggalln jaman. Hal ini dapat kita saksikan dalam perkembangan di Indonesia sendiri beberapa waktn berselang berkenaan dengan Nasionalisasi dati Perusahaan milik Belanda tahun 1958. Disini justru dipakai sebagai asa bahwa penggantian kerugian yang akan diberikan itn tidak akan dibayar secar. "prompt", tetapi akan dipastikan lebih jauh dalam suatn Peratnran Pemerintah. Seperti biasanya, menurut praktek yang berlangsung dalam Idministrasi yang dialami kila, peratnran · yang mengatnr ganti rugi bersangkutan ini tidak pernah menyusul Undang- undang tentang Nasionalisasi milik Belanda bersangkutan. Akan tetapi penyelesaian yang telah dilakukan, bukan berdasarkan pembayaran ganti rugi sceara
JIlni1991
HuJaun dan Pembangunan
288
individuil kepada scmua pemilik perusahaao-perusahaan yang telah dinasionalisiir. luga tidak dilakukan seara "adequate and effective". Teapi jumlah kerugian inidigantungkan kepada penentuan seara "lump sum" yang telah dinegosiaswn antara negara yang melakukan nasion.lisasi, dalam hal ini Indonesia dengan negara yang mewakili para korban, penyelesaian darl pada "outstanding financial problems", dalam rangka permasalahan bubungan kedua negara ini, Idah kita sakswo betjalao sesuai dengan apl yang telab diBout pula oIeil satjana-satjana Hukum Intemasional Modem, yaitu babwa kompeosasi haruA dibaylr steara "lump sum" dan diatur antarl Pemerintahpemerintab bersangkutan. Hal ini juga yang telab tetjadi berkenaan dcngan penyelesaian pemberian kompensasi kepada para pemilik perusaha.n Belanda yang din3lliooaliair olell Indonesia. ladi prinsip yang waktu itu dianut adalab lain sckali darl pada apa yang sckarang kita .abikao dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967 No.1 dan petjanjian-petjanjian bilateral tersebut diatas dengan negara-negara bersangkutao. Hal ini tida" mengberaokan. Bukaukah tujuao darl pad. Undang-Uodang Penanaman Modal Asing tahun 1967 No.1 ini dao juga petjanjian-petjanjian bilateral dengan negara- negara lain, justru adalah untuk memberi perlindungan kepada para investor dao memupuk iklim yang sehat untuk perkembangan dan bertambahnya investasi di negara kita ini ? Dengan demikian, malta kita saksikan bahwa bandulan lonceng sejarah telah bergeser kembali pada keadaan semula, kembali ke jaman teorl k1asik tentang kompensasi ini.
•••••
Sum•• n4an
lIarah IInd9•
....nol.... ,Iwa. sesa.- manusi.
IIIUN PEUYANAN "HU.VIII_ PDOANGlJNAN" _
PMI