HARMONISASI HUKUM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA Dr. Sigit Irianto, SH, M.Hum Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Abstract Harmonization of law in investment field, is very important in order getforeign investors for doing business in Indonesia. That’s way the harmonization of investment law is needed for making all interests are living in harmony, particularly in legislation’s products, like positive law, international conventions in investment fields that could be considered by government to make a policy. The main objective for taking the harmonization is how to give law protection and now discrimination and not to do nationalization to the foreign investors. All of these have already implemented in the Act No.25 in the year 2007. Keywords:
Harmony, law, nationalization.
investment,
business,
interest,
government,
protection,
A. PENDAHULUAN Potensi sumber daya alam Indonesia yang melimpah belum sepenuhnya dapat diberdayakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karena masih terbatasnya modal, teknologi dan sumber daya manusia. Untuk menggali segenap potensi yang dimiliki tersebut, maka diperlukan adanya penanaman modal asing. Kebutuhan penanaman modal asing tersebut harus disertai dengan seperangkat peraturan yang mampu memberikan jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum bagi penanam modal tanpa harus memngorbankan kepentingan nasional. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UUPM) merupakan perwujudan untuk lebih mengakomodir berbagai kepentingan baik kepentingan dalam negeri maupun kepentingan asing, khususnya yang menyangkut kepastian dan perlindungan hukum bagi para penanam modal (investor), baik investor asing maupun investor dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Penanaman modal sangatlah signifikan dengan kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dan segi manfaat ada dua akibat utama dari penanaman modal yang menguntungkan Indonesia. Pertama, meningkatnya pendapatan riil (seperti tercermin pada peningkatan tingkat upah, konsumen atau peningkatan penerimaan pemerintah). Kedua, adanya manfaat-manfaat tidak langsung seperti misalnya diperkenalkannya teknologi dan pengetahuan baru (Ilmar Aminuddin, 2004: 185-186). Di lain pihak penanaman modal juga diharapkan peranannya dalam memperbesar devisa Indonesia lewat ekspor produksinya ke luar negeri (Aminuddin Ilmar, 2004:186). Secara umum Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mencerahkan iklim investasi di masa datang, baik secara internal di dalam negeri sendiri maupun secara eksternal dari negara lain. Di dalam negeri, tantangan itu antara lain masih belum memadainya ketersediaan sarana dan prasarana, perumusan kebijakan pemerintah dan koordinasi kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tantangan lain adalah rendahnya
produktivitas pekerja dan efisiensi produksi, kelangkaan tenaga kerja terampil, stabilitas politik dan keamanan serta kurang terjaminnya kepastian hukum bagi investor, khususnya investor asing. Tantangan ekstemalnya antara lain berupa persaingan iklim investasi dengan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik, terutama Cina, Vietnam, Thailand dan India (Dumairy, 1994: 134) serta negara-negara Asia lainnya. Berpijak pada persaingan iklim investasi dengan negara-negara lain dan juga memperhatikan laporan UNCTAD tersebut, maka diperlukan langkah-langkah terobosan untuk menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia berupa informasi-informasi tentang keadaan dan pengaturan yang baru di bidang investasi. Informasi-informasi tersebut antara lain menyangkut kebijakan negara, khususnya di bidang pengaturan hukum yang menyangkut perlindungan dan kepastian hukum serta mekanisme birokrasinya. Penanganan tentang pemberian informasi pada para investor asing, dapat dilakukan antara lain melalui diplomasi maupun antar pelaku bisnis itu sendiri. Mengenai kebijakan negara di bidang penanaman modal, Pasal 4 UUPM menyebutkan bahwa: (1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk : a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b. mempercepat peningkatan penanaman modal. (2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud ayat (1), Pemerintah: a. memberikan perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampan dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. memberi kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Perlindungan kepentingan penanam modal asing di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada seperangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur tentang penanaman modal. Untuk itu diperlukan adanya harmonisasi hukum di bidang penanaman modal. Harmonisasi ini terutama menyangkut ketentuan-ketentuan internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga akan dapat diketahui bagaimana harmonisasi ketentuanketentuan internasional di bidang penanaman modal yang berlaku di Indonesia. Fokus tulisan ini adalah mengkaji harmonisasi UUPM dengan ketentuanketentuan internasional yang menyangkut penanaman modal asing. Ketentuan-ketentuan internasional yang dimaksud adalah IMF, IBRD dan WTO serta deklarasi Bali 1994. B. PEMBAHASAN 1. Harmonisasi Hukum Penanaman Modal Harmonisasi hukum penanaman modal berarti menyelaraskan berbagai peraturan hukum di bidang penanaman modal, yang berarti adanya satu kesatuan berbagai peraturan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun ketentuan-ketentuan internasional di bidang penanaman modal. Satu kesatuan berarti adanya sistem yang dipergunakan. Menurut Jan Michiel Ott: When unnecessary incongruities occur between different elements of legal system which pertain to the same subject, an effort for harmonization can be made. This is such
adaption of those elements that the incongruities are removed, that a better result is obtained, while the respective identities of those elements are kept in fact... Harmonisasi hukum menurut L.M. Gandhi: ialah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hukum, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum (L.M. Gandhi, 2006:30). Usaha untuk melakukan harmonisasi sistem hukum berkenaan dengan terjadinya ketidakseimbangan antara perbedaan unsur-unsur sistem hukum, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan keseimbangan dan melakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum yang berbeda itu. Harmonisasi hukum penanaman modal tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum, dan hal ini merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan oleh negara manapun di dunia. Kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi hukum. Hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi harus juga melindungi kepentingan lintas negara. Pengertian perlindungan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan nasional disamakan dengan kepentingan global. Kepentingan nasional tetap menjadi tanggung jawab masing-masing negara oleh sebab itu kepentingan nasional harus tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi hukum-hukum asing secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan norma-norma asing, regional atau internasional yang mana yang dapat diterima dan yang mana hendaknya tidak diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau bahkan harus ditolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Sunaryati Hartono, 1991: 74-75). Hukum yang bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam sistem hukum yang diterapkan dalam menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing. Sistem hukum yang demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan sistem hukum internasional sebagai karakter hukum modern (L.M. Gandhi, 2006:30). Penanaman modal di Indonesia merupakan satu kesatuan, yang didalamnya terdapat hubungan hukum para pihak, pendirian perseroan terbatas, bidang usaha, badan hukum (perseroan terbatas), lembaga yang memberi izin, kewenangan, pengelolaan, sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme dari penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal merupakan satu kesatuan yang dapat diterapkan secara keseluruhan, tanpa memperhatikan perbedaan antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, yang memperoleh kesempatan, perlindungan, keamanan, kepastian hukum dan bidang-bidang usaha yang sama. Hal ini selam menunjukkan adanya sikap non diskriminasi, juga merupakan sifat transparansi yang melekat dalam UUPM. Penanam modal asing berarti penanam modal yang berasal dari atau bukan berkewarganegaraan Indonesia, sehingga dalam pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan hukum negara penanam modal asing yang bersangkutan maupun ketentuanketentuan hukum internasional. Unsur asing ini menempatkan harmonisasi hukum penanaman modal Indonesia tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari luar hukum Indonesia, dan/atau ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang timbul dari peraturan perundang-undangan penanaman modal Indonesia dengan hukum internasional akan memberikan keselarasan dalam pengaturan
penanaman modal di Indonesia dan merupakan satu kesatuan untuk mengatur penanaman modal di Indonesia. Satu kesatuan ini tidak berarti mengaburkan kewenangan negara Indonesia untuk mengatur penanaman modal, karena sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tetap berkewajiban untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara dan masyarakatnya. Pengaturan dan penanganan yang baik dalam satu kesatuan sistem, akan memberikan arah dan perhitungan besar kecilnya penanganan penanaman modal, sehingga dapat diprediksi penanaman modal yang masuk ke Indonesia. Harmonsasi hukum dapat dilakukan terhadap sistem maupun substansinya. Harmonisasi hukum ini didasarkan pada keselarasan asas, nilai, kaidah/ norma-norma yang diterapkan dalam bidang yang diatur. Pembentukan, perubahan, penambahan dan/ atau penggantian peraturan perundang-undangan yang baru, dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan norma penunjuk pada norma dalam undang-undang yang telah ada, dengan menyesuaikan perkembangan di masyarakat maupun dalam tata pergaulan internasional. Peraturan perundangundangan yang baru hendaknya memberikan perubahan/ penambahan/ penggantian dalam mengatur sesuatu hal yang sebelumnya memang belum diatur dalam peraturan perundangundangan. Disamping itu juga dimungkinkan pemanfaatan hukum internasional sesuai dengan materi yang diaturnya. Pemanfaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional tidak boleh bertentangan atau menghilangkan dasar, falsafah dan nilai-nilai yang dimiliki oleh negara, artinya peraturan perundang-undangan yang baru harus tetap mengakomodasi kebutuhan hukum nasional. Hal ini karena globalisasi tidak mungkin dihindarkan oleh negara manapun dan akan memberikan pengaruh pada hukum nasional negara. Negara berkembang termasuk Indonesia tidak mungkin melawan arus globalisasi. Langkah yang harus ditempuh adalah melakukan harmonisasi hukum nasional yang diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum interasional, yaitu melakukan harmonisasi hukum antara peraturan perundang-undangan nasional dengan instrumen-instrumen internasional. Di era globalisasi, hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi harus juga melindungi kepentingan lintas negara. Suatu hal yang menjadi perhatian adalah menentukan ukuran masalah global tersebut benar-benar merupakan suatu tuntutan global. Suatu perhatian yang menyangkut ukuran tuntutan global tersebut tidak akan menyentuh dasar atau paradigma yang menjadi sendi bangunan negara seperti tertuang dalam staatsidee dan rechtsidee negara (Bagir Manan, 1999: 237). Kepentingan nasional harus tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi hukum-hukum asing secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan norma-norma asing, regional atau internasional yang mana yang dapat diterima dan yang mana hendaknya tidak diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau bahkan harus ditolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Sunaryati Hartono, 1991: 74-75). Hukum yang bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam hukum yang diterapkan dalam menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing. Kerangka hukum yang demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan hukum internasional sebagai karakter hukum modern. Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai “suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum yang salmg berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang remit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan”, dengan tolok ukur Pancasila dan titik tolak UUD 1945 sebagai konsep dasar sistem hukum nasional. Sila-sila Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan, kebulatan dan keseluruhan (entity), nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menentukan sistem nilai di dalam sistem hukum nasional (M. Solly Lubis, 1992: 9). Pancasila sebagai konsep dasar sistem hukum nasional berarti bahwa Pancasila merupakan tuntunan nilai yang menunjukkan arah dan tujuan yang akan dicapai, dan semua sebagai muara untuk menyelesaikan segala pertentangan yang mungkin timbul dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertentangan yang mungkin timbul dapat di mulai sejak saat penyusunan peraturan perundangundangan dan juga pada saat pemberlakuan perundangundangan. Sistem hukum nasional menganut sistem yuridis yang dinamakan sistem yuridis-idealis. Sistem hukum nasional berdasar dan berjiwa Pancasila dan UUD 1945, menentukan suatu bentuk tatanan segenap peraturan dan keputusan yang dapat dinamakan hukum yang sesuai dengan cita-rasa yang dibimbing oleh filsafat hukum Pancasila sebagai sistem yuridis yang idealistis (M. Solly Lubis, 1992: 9). Sistem hukum nasional mengenal adanya hierarki perundang-undangan, oleh sebab itu dengan adanya perubahan UUD 1945, maka harus pula ada perubahan terhadap perundangundangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Peraturan perundang-undangan yang ada sebelum adanya perubahan UUD 1945, harus ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945. Salah satu perubahan dan/atau pembaharuan di bidang hukum, adalah di bidang ekonomi dan dunia usaha (Jimly Asshidigie, 2006: 16). Bidang ekonomi dan dunia usaha, khususnya di bidang penanaman modal sudah banyak dilakukan, khususnya untuk penanaman modal langsung. Penanaman modal langsung, baik untuk penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan perseroan terbatas, bidang bidang usaha yang diperbolehkan dan hukum perjanjian yang menyangkut kepentingan para pihak. Perubahan dan/atau pembaharuan hukum di bidang penanaman modal juga tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan internasional, terutama untuk konvensikonvensi atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia. Hal ini berarti harus ada harmonisasi antara hukum nasional di bidang penanaman modal dengan konvensi-konvensi internasional. Harmomsasi hukum, merupakan upaya pengharmonisan atau penyesuaian yang harmonis hukum tertentu, menjadi hukum yang bersifat global yang dapat diakui dan diterima oleh berbagai negara dalam melaksanakan transaksi-transaksi perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Harmonisasi hukum nasional dilakukan dengan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dengan berbagai konvensi atau perjanjian internasional, yang disusun oleh lembaga-lembaga internasional, seperti ICC, UNCITRAL, UNCTAD, UNIDROIT, WTO tentang uniform laws dan model laws dan lainnya. Harmonisasi hukum internasional, ialah pengharmonisan hukum yang sangat pluralitas untuk membentuk uniformitas hukum yang dapat disetujui dan diterima oleh semua negara dalam bidang tertentu, misalnya bidang penanaman modal. Harmonisasi hukum di bidang penanaman modal, berarti upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan oleh negara manapun di dunia. Berkenaan dengan hal itu, dalam melakukan upaya harmonisasi hukum yang bersifat nasional harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang bersifat global dengan tidak mengabaikan prinsip kedaulatan negara. Harmonisasi hukum nasional di bidang penanaman modal merupakan suatu pengaturan di bidang penanaman modal yang didasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan dijabarkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Keberadaan UUPM untuk menggantikan undang-undang yang lama di bidang penanaman modal merupakan bentuk akomodatif terhadap kebutuhan-kebutuhan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal yang selaras dengan konvensi-konvensi internasional, tanpa meninggalkan kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Dalam perspektif demikian masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi sistem hukum. 2. Harmonisasi Hukum Nasional dan Hukum Internasional di Bidang Penanaman Modal. Sebagai bagian dari satu sistem hukum nasional, maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) bukanlah satu peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri atau sebagai Undang-Undang yang mampu untuk mengatur segala hal yang menyangkut pengaturan penanaman modal di Indonesia. UUPM tidak dapat dapat diberlakukan, apabila dipisahkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, demikian juga sebaliknya. Misalnya: UUPM. dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), kedua UU tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam pengaturan penanaman modal di Indonesia. Demikian juga hubungannya dengan ketentuanketentuan internasional yang menyangkut penanaman modal, merupakan hal yang harus diperhatikan. Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penyusunan dan pemberlakuan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini selain Indonesia lidak dapat memisahkan din dari globalisasi, juga karena dalam perdagangan dan mvestasi, Indonesia tidak dapat membuat peraturan yang lepas dan kepentingan negara-negara lain, utamanya yang berhubungan dengan Indonesia dan dunia internasional. Pengkajian hukum dalam kaitan dengan pembaruan hukum yang diharmonisasikan dengan era globalisasi tersebut sesuai dengan prinsip globalisasi. Prinsip globalisasi menuntut negara-negara melakukan harmonisasi hukumnya sesuai dengan tuntutan era globalisasi dengan cara melakukan berbagai structural adjustment placies yang berupa serangkaian deregulasi, liberalisasi, debirokratisasi dan swastanisasi. Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan penanaman modal asing untuk mengolah potensi ekonomi dan sumber daya yang dimilikinya, dan Indonesia tidak mungkin menolak pengaruh dan ketentuan-ketentuan internasional, terutama di bidang perdagangan dan penanaman modal asing, namun pada sisi lain harus mampu membuat aturanaturan yang tetap melindungi kepentingan nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “....dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. kalimat yang sebagian dikutip dari Pembukaan HUD 1945, merupakan pegangan negara Indonesia untuk tetap tegak dalam melindungi kepentingan nasional yang selaras dengan ketentuan-ketentuan internasional. Menurut Kindleberger, bahwa aspek yang paling sensitif dalam perekonomian internasional adalah aspek investasi langsung. Negara-negara Industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan negara-negara Eropa lainnya pada dasamya berusaha membatasi investasi asing langsung. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menekan neraca pembayaran, pengawasan terhadap sumber-sumber daya dalam negeri agar tidak sirna karena pemilikan asing dan lain-lain (Ilmar Aminuddin, 2004: 63). Di Amerika, masih ada pandangan yang menyatakan bahwa penanaman modal yang dilakukan ke Amerika dianggap sebagai perusak kesempatan
kerja dan meningkatkan tekanan atas penanaman modal di dalam negeri. Sementara itu, jika tindakan-tindakan proteksionis meningkat, maka Jepang akan terdesak, untuk menanam modal di negara-negara industri seperti Amerika dan untuk mempertahankan bagiannya dalam pasar di negara-negara industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran adanya investasi asing tidak saja dialami oleh negara-negara berkembang, tetapi negara-negara majupun juga mengkhawatirkannya. Amerika Serikat melakukan proteksi untuk melindungi produk-produk dalam negerinya. Indonesia pernah merasakan imbas proteksi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990 an, khususnya di bidang tekstil. Harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional di bidang penanaman modal tidak dapat dilepaskan dari peran tiga organisasi ekonomi dunia yaitu World Trade organization (WTO), Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Tujuan World Trade Organization (WTO), adalah seperti termuat dalam Annex la) adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia. Tujuan-tujuan tersebut kemudian memperkenalkan pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan mengupayakan pembagian yang lebih merata bagi negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional. Peningkatan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas, memperluas produksi dan perdagangan ini selaras dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUPM. Konsiderans UUPM menyebutkan adanya pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dan mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan penanaman modal yang kemudian dijabarkan dalam tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja; c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 3 ayat (2) UUPM). Sebagian harmonisasi hukum nasional (dalam hal ini UUPM) dengan WTO belum sepenuhnya terpenuhi, karena pemanfaatan secara optimal sumber daya alam dan pemikiran pembangunan berkelanjutan berkelanjutan (sustainable development) tidak ditemukan pengaturannya dalam UUPM. Untuk itu perlu dipikirkan Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana UUPM untuk mengatur aspek pembangunan berkelanjutan dan pemanfaatan secara optimal sumber daya alam tersebut. Peranan Bank Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan internasional mengenai penanaman modal juga cukup besar. Bank Dunia membantu penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal dan di dalam memberikan jaminan bagi penanaman modal. Perjanjian multilateral pertama (Adolf Huala, 2004: 36) yang berhasil dibuat adalah the Convention on the Establishment of an International Centre for Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID). Konvensi mil berlangsung tanggal 14 Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian sengketa penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu
daftar nama-nama orang yang berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia adalah the Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini berlangsung pada tanggal 12 April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini adalah untuk memberikan jamman kepada investor terhadap risiko non ekonomis khususnya di Negara sedang berkembang. Disamping itu, MIGA berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-tujuan produktif ke Negara-negara sedang berkembang, bantuan teknik terutama untuk pembangunan infrastruktur. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian multilateral yang dibuat oleh Bank Dunia tentang penyelesaian sengketa penanaman modal dan memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis sudah selaras dengan UUPM karena sudah diatur didalamnya. Pasal 32 UUPM mengatur tentang penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal, baik antara Pemerintah dengan penanam modal asing terlebih dahulu dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka dapat dilakukan melalui arbitrase internasional. Jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis telah diatur Pasal 7 UUPM, yang pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal. apabila tindakan nasionalisasi dilakukan, Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Harga pasar adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk para pihak. Sejak tahun 1990-an, IMF telah memprioritaskan usahanya pertumbuhan ekonomi kepada negara-negara berkembang. Prioritas ini sudah selaras dengan UUPM, karena salah satu tujuan UUPM adalah pertumbuhan ekonomi. Deklarasi Bogor sebagai basil pertemuan APEC bulan Nopember 1994, para pemimpin Negara anggota APEC menyepakati sejumlah asas yang tidak mengikat dalam bidang penanaman modal (non binding investment principles), antara lain: a. transperancy (keterbukaan); b. nondiscriminacy between source economics (non diskriminasi antar sumber-sumber ekonomi); c. national treatment (perlakuan nasional); d. investment intensives (rangsangan penanaman modal); e. performance requirement (persyaratan kinerja) ; f. dispute settlement (penyelesaian sengketa); g. avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda); h. investor behaviour (perilaku penanam modal); i. removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing); j. penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui arbitrase; (Sembiring, Sentosa, 2007: 47) Prinsip-prinsip ini pada dasarnya tidak mengikat, namun apabila prinsipprinsip ini telah diadopsi oleh suatu Negara, maka prinsip-prinsip mi mempunyai kekuatan mengikat. Prinsipprinsip ini tidak jauh berbeda dengan asas-asas yang diatur dalam UUPM. Pasal 3 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional. Harmonisasi antara hukum nasional dan hukum internasional, dapat diselaraskan sebagai berikut: a. Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum; b. keterbukaan; c. non diskriminasi; d. kebersamaan; e. fasilitas/insentif penanaman modal; f. Pemberlakuan Nasional (National Treatment); g. persyaratan kinerja; dan h. penyelesaian sengketa persyaratan kinerja. 3. Prinsip-prinsip yang mendasari harmonisasi sistem hukum Indonesia dan sistem hukum internasional. a. Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum. Jaminan terhadap perlindungan hukum dan kepastian hukum menjadi persyaratan pokok bagi para penanam modal yang akan menanamkan modalnya di negara lain dan hal ini menjadi salah satu pilar utama yang diatur dalam UUPM. Pengertian perlindungan hukum tidak dapat diketemukan pengertiannya dalam UUPM, namun maksud dan tujuannya baik secara eksplisit maupun implisit diatur didalamnya. Prinsip perlindungan hukum adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila (M. Philippus Hadjon, 1987: 20). Kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanaman modal. dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam penanaman modal (Penjelasan Pasal 14 huruf a UUPM). UUPM menyebutkan adanya kepastian hak dan kepastian perlindungan. Kepastian hak adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Pengertian kepastian perlindungan adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal. Jaminan terhadap perlindungan dan kepastian hukum akan menghindari penanam modal dari risiko, baik risiko komersial maupun non komersial, dalam melakukan penanaman modalnya di negara lain, terutama risiko politik yang dapat membawa kerugian besar bagi penanam modal. Risiko non komersial (risiko politik) dapat terjadi karena adanya ketidakpastian peraturan perundangundangan untuk melindungi kepentingannya, perubahan-perubahan drastis di bidang usaha, tekanan politik yang besar, perubahan kebijakan yang cukup mendasar, dan faktor keamanan dalam melakukan usahanya yang tidak optimal. UUPM menjamm untuk adanya risiko non komersial (risiko politik) yang mungkin timbul di bidang usaha. Jaminan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, dan apabila tindakan nansionalisasi
dilakukan, maka Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UUPM). Perlindungan terhadap penanam modal asing secara konkrit dapat diberikan apabila penanaman modal asing tersebut dalam bentuk perseroan terbatas, yaitu apabila dilakukan tindakan nasionalisasi, maka perhitungan kompensasi terhadap hak kepemilikan penanaman modal akan mudah dilakukan, karena antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan terpisah. Dengan demikian bentuk perseroan terbatas bagi penanaman modal asing dapat diartikan pula untuk menghindari risiko penanaman modal (termasuk risiko politik) akibat adanya tmdakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah. b. Keterbukaan (Transperancy). Keterbukaan (transperancy) merupakan salah satu asas yang diatur dalam UUPM dan juga menjadi pegangan/kesepakatan masyarakat internasional, khususnya di bidang penanaman modal. Asas ketemukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. Asas ini tidak hanya diperuntukan untuk warga Negara Indonesia, tetapi juga untuk warga Negara asing yang menginginkan informasi tentang penanaman modal di Indonesia. Untuk kegiatan penanaman modal, khususnya bidang-bidang usaha yang dapat dilakukan penanaman modal, maka UUPM telah mengatumya dalam Pasal 12 UUPM dan dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Bidang-bidang usaha yang tidak dicantumkan dalam peraturan tersebut kepemilikan modalnya dapat dimiliki oleh penanam modal asing, penanam modal dalam negeri sebesar 100 %. Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: 1) penyederhanaan; 2) kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional; 3) transparansi; 4) kepastian hukum; 5) kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal. Prinsip penyederhanaan adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor ekonomi. Pengertian sederhana ini masih kurang jelas, karena pengertian sederhana adalah sesuatu yang tidak terlalu rumit. Namun apabila dikaitkan dengan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, sebenarnya merupakan sesuatu yang prinsip untuk melindungi kepentingan nasional.
Prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi. Prinsip transparansi adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu. Prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Bidang-bidang usaha yang tertutup menurut Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 : Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/ budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Pasal 8 ini secara tegas tidak membedakan antara penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri untuk dapat melakukan usahanya di bidang-bidang yang dinyatakan tertutup. Kepentingan nasional tetap lebih diutamakan, sehingga bidang-bidang usaha yang menyangkut K3LM tetap ditangani oleh Pemerintah. c. Non Diskriminasi Non diskriminasi penanaman modal di Indonesia tidak lagi diberlakukan. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, seperti yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antra penanam modal dari satu negara asmg dan penanam modal dan negara asing lainnya. Kedudukan/posisi, bidang usaha, permodalan, penentuan lokasi, pelayanan, tanggung jawab dan kewajiban antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing tidak lagi dibedakan, artinya akan memperoleh perlakuan yang sama dalam pelayanan di bidang penanaman modal di Indonesia. d. Kebersamaan Asas kebersamaan ini tidak dapat dilepaskan dari asas-asas efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan kemandirian sebagai perujudan untuk menuju kesejahteraan rakyat. Asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing. Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.
Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. e. Fasilitas/Insentif Penanaman Modal. Untuk menarik minat para penanam modal agar mau menanamkan modalnya di Indonesia, selain aspek keterbukaan, non diskriminasi dan perlakuan nasional, maka aspek lain yang sangat diperhitungkan oleh penanam modal adalah adanya fasilitas-fasilitas yang diberikan. Fasilitas-fasilitas yang diberikan dalam rangka penanaman modal adalah sebagai berikut. 1) Fasilitas Perpajakan dan Pungutan Lain. (Fasilitas fiskal). Fasilitas perpajakan yang diberikan kepada penanam modal yang melakukan perluasan usaha dan penanam modal yang melakukan penanaman modal baru serta yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM. Penanam modal akan memperoleh fasilitas perpajakan yang diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang pengaturannya lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional (Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang No. 25 tahun 2007). Fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk juga diberikan kepada penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya (Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007). 2) Fasilitas Perizinan Sesuai dengan standar-standar penanaman modal, yaitu admission, ditentukan bahwa harus ada pelayanan perizinan yang pasti dan jelas yang aspek prosedur dan persyaratan, biaya, dan waktu yang dikelola secara terpadu oleh suatu institusi dalam suatu penanaman modal di suatu negara. Fasilitas yang diberikan selain fasilitas perpajakan, pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh fasilitas sebagai berikut: a) Hak Atas tanah b) Fasilitas Pelayanan Keimigrasian; c) Fasilitas Perizinan Impor; d) Hak Transfer dan Repatriasi. e) Fasilitas Ketenagakerjaan. f) Perlakuan Nasional (National Treatment ) UUPM diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, oleh sebab itu Penanam modal yang melakukan penanaman modalnya di Indonesia akan memperoleh perlakuan yang sama di Indonesia. Secara hierarki dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka peraturan-peraturan yang ada dibawah UUPM tidak boleh bertentangan dengan UUPM. Peraturan-peraturan daerah yang menyangkut penanaman modal, yang dibuat oleh daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/ Kota harus selaras dengan UUPM. Asas ini merupakan asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional dan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. g. Persyaratan Kinerja (Performance Requirement)
Performance requirement (persyaratan kinerja) dalam UUPM diwujudkan dalam beberapa asas yaitu asas akuntabilitas, asas kebersamaan, asas efisiensi berkeadilan, asas berkelanjutan, dan asas kemandirian. Disamping itu juga menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan perseroan terbatas. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas performance requirement (persyaratan kinerja) menyangkut berbagai aspek, terutama untuk kepentingan bersama antara penanam modal, masyarakat dan Negara. Penanam modal tidak semata-mata mementingkan kepentingannya sendiri yaitu untuk memperoleh keuntungan sebagai bagian dari kegiatan usaha, tetapi juga harus memikirkan kepentingan masyarakat dan pertuimbuhan ekonomi dan aspek sosial lainnya. Penanaman modal asmg wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 5 ayat (2) UUPM) . Hal ini dimaksud tidak hanya untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia semata tetapi juga untuk kepentingan penanam modal asing sendiri. h. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement) UUPM menegaskan bahwa untuk penyelesaian sengketa, maka pertamatama harus dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai (Pasal 32 UUPM). Penyelesaian melalui lembaga arbitrase dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase interasional yang disepakati bersama. UUPM tidak menentukan lembaga mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa, semua diserahkan pada kesepakatan para pihak. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi Washington yang merupakan prakarsa Bank Dunia yaitu Convention on The Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Others States dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968. Sebagai tindak lanjutnya, kemudian dibentuk The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang tujuannya untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal antara negara penerima dengan penanam modal asing melalui lembaga arbitrase. Konvensi lain yang diratifikasi Pemerintah Indonesia adalah Konvensi New York 1958 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan Arbitrase Asing) berdasarkan Kepihisan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Indonesia juga telah mempunyai Undang-Undang untuk menyelesaikan sengketa yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa. Adanya undang-undang ini, selain sebagai lembaga yang dapat dipilih untuk menyelesaikan sengketa, juga dimaksudkan untuk menepis atau meminimalisir keraguan tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Harmonisasi hukum antara harmonisasi hukum penanaman modal antara hukum penanaman modal Indonesia dengan ketentuan-ketentuan internasional tetap memberikan keseimbangan antara kepentingan nasional maupun kepentingan penanam modal. Prinsip-prinsip
yang mendasari ketentuan-ketentuan internasional di bidang penanaman modal telah diatur dalam UUPM. Pengaturan dalam UUPM bahkan dapat dikatakan sangat terbuka, karena aspek pembangunan berkelanjutan dan penggunaan sumber daya alam yang optimal namun tetap harus terkendali yang menjadi tujuan WTO dalam UUPM, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010. Ketentuan ini secara hati-hati diatur lebih lanjut, karena pemanfaatan (eksploitasi) yang berlebihan terhadap sumber daya alam dan pemikiran untuk tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat saja terjadi, harus manjadi asas/ prinsip dalam pembangunan suatu negara. 2. Saran a. Kebijakan penanaman modal tetap mengandung pembatasan-pembatasan untuk melindungi kepentingan negara, namun tetap terbuka, non diskriminasi dan perlakuan yang sama bagi modal dalam negara dan modal asing diterima sebagai salah satu asas penting dalam kebijakan penanaman modal. b. Fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mengharuskan pengaturan yang lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi dan fasilitas perizinan impor. Pemberian fasilitas tersebut setidaknya merupakan upaya untuk mendorong penyerapan tenaga kerja. D. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004. Bagir Manan, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999. B. Arief Sidharta, dkk., Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1994. Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. ______________, Perjanjian Penanaman Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. _____________, Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization (WTO), Mandar Maju, Bandung, 2005. Jan Michiel Ott, “Implementation of Environmental Law: Harmonization, Enviromental Management and Enforcement by The Courts, With References to Indonesia and The Netherlands. Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Kusnu S. Gusniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), JP Books, Surabaya, 2006. M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987. M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1992. Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Pembahasan Dilengkapi Dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Nuansa Aulia, Jakarta, 2007 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. 2. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen. ____________, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on The Settlement of Investment Disputes between States and national of Other States) ____________, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN). ____________, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing ____________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 ____________, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (LN Tahun 2007 Nomor 67 dan TLN Nomor 1724) 3. Surat Kabar Harian Kompas, Laporan Investasi Dunia, Posisi Indonesia Meredup, Sabtu, 12 Januari 2008.