1 MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan
ABSTRAKSI Pemberian hadiah adalah sesuatu yang terbiasa dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia. Tapi dengan berkembangannya perekonomian dan dinamika hubungan masyarakat dan pemerintah, maka terjadilah perubahan makna pemberian hadiah dari suatu perhargaan dan persaudaraan menjadi bisnis “jual beli”. Rakyat menyerahkan hadiah dengan maksud “membeli” dan aparat pemerintah menerima hadiah dengan maksud “menjual”. Disinilah sudah terjadi perubahan bentuk dari gratifikasi menjadi suap. Keduanya sama berbahayanya, dan KPK berkewajiban mencegahnya sebelum menjadi budaya yang buruk yang melekat di masyarakat. Tulisan ini bermaksud menjelaskan tentang gratifikasi, hubungannya dengan suap, dan dasar-dasar hukum yang mendasarinya, termasuk sanksi hukum apabila terjadi gratifikasi dan tidak dilaporkan ke KPK.
PENDAHULUAN Definisi Gratifikasi yang diperoleh dari Wikipedia bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan (fee), uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Definisi gratifikasi tersebut sudah lengkap untuk mengartikan apa yang dimaksud dengan gratifikasi. LANDASAN HUKUM Selanjutnya perlu dibahas apa yang menjadi landasan hukum bahwa gratifikasi dapat diartikan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Tindak pidana gratifikasi diatur dalam UU 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001. Dalam UU 20 tahun 2001 diatur sanksi pidana tindak pidana gratifikasi, yaitu pada pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Pada UU 20/2001 ini setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
2 Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Lantas siapa saja yang dimaksud dalam aturan hukum ini, sebagai pihak penerima gratifikasi : 1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. 2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan pegawai negeri sudah jelas adalah PNS baik pusat maupun daerah. Sedangkan penyelenggara negara adalah setiap orang yang bertugas dalam kaitan proses kegiatan bernegara, baik secara langsung atau tidak, yang dalam melaksanakan kegiatan pekerjaannya dibiayai oleh APBN atau oleh BUMN. Dapat disimpulkan subjek yang dapat berperan sebagai penerima gratifikasi ini demikian luas. PENGECUALIAN Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. CARA MENILAI PEMBERIAN ITU GRATIFIKASI ATAU BUKAN? Untuk menilai apakah pemberian itu gratifikasi atau bukan mari diujicoba dengan dua pertanyaan berikut (1) tentang motif dan (2) tentang dampak pemberian. Pertanyaan pertama tentang motif pemberian. Apakah motif dari pemberian hadiah yang diberikan oleh pihak pemberi? Jawaban dari pertanyaan ini sebetulnya sederhana saja yaitu ada di dalam hati nurani si penerima. Walaupun demikian perlu dijabarkan lebih lanjut dengan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut ini. Apakah pemberian itu bernilai (berjumlah) di atas kewajaran? Jawabannya bisa dengan pertanyaan lanjutan lagi. Berapa batas kewajaran itu? Jawaban untuk batas kewajaran adalah kembali ke diri sendiri masing-masing penerima. Apabila terasa pemberian tersebut di atas kewajaran maka bila dimungkinkan perlu bertanya langsung kepada si pemberi, apakah motif pemberian ini? Yang sangat perlu diutamakan adalah tata adat dan sopan santun, jangan sampai pertanyaan itu tidak terjawab dan justru membuat si pemberi tersinggung, dan mengganggu hubungan (relationship) yang telah terbina dengan baik selama ini. Hasilnya mungkin akan terjawab atau dapat juga pertanyaan ini tidak terjawab bahkan membuat tanda tanya lebih besar lagi di hati si penerima. Dalam keraguan ini segera ambil langkah paling aman, yaitu melaporkan pemberian gratifikasi ini ke KPK. Biarlah KPK yang menilai apakah pemberian ini akan menjadi hak yang halal bagi si penerima, atau justru sebaliknya pemberian ini mengandung hal-hal yang dilarang bagi aparatur negara, dan mengandung unsur suap. Apabila si penerima faham ada maksud terselubung dalam pemberian itu, maka ada dua tindakan yang dapat dilakukan oleh si penerima yaitu (1) mengembalikan pemberian tersebut ke si pelaku pemberian. Apabila tidak memungkinkan pemberian tersebut dapat saja tetap diterima walaupun dengan hati terpaksa. (2) Lalu melaporkannya ke KPK. Format laporan tersebut terdiri dari beberapa informasi penting antara lain identitas minimal nama dan jabatan si-pemberi, identitas minimal
3 nama dan jabatan si penerima, Apakah gratifikasi itu dikembalikan atau diterima? Jenisnya apa? Tempat dan waktu terjadinya? Berapa jumlahnya? Laporan harus lengkap agar KPK dapat segera men-justifikasi siapakah sebetulnya yang paling berhak atas pemberian ini? Apakah hak si penerima atau hak negara? Dengan melaporkan ke KPK maka si penerima sudah bebas dari tuduhan gratifikasi yang mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Semua pengaduan gratifikasi yang diterima KPK akan diproses dengan seksama, dan segera ditentukan hak kepemilikannya. Pertanyaan kedua, tentang dampak pemberian. Apakah pemberian tersebut memiliki potensi menimbulkan konflik kepentingan sekarang atau di masa yang akan datang? Jika jawabannya cenderung memang demikian, maka pemberian tersebut harus ditolak, tentunya dengan cara yang baik, santun agar tidak menyinggung perasaan si pemberi. Jika pemberian tersebut tidak dapat ditolak maka sebaiknya dilaporkan ke KPK untuk menghindari fitnah atau memberikan kepastian hak atas pemberian tersebut. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN GRATIFIKASI DENGAN SUAP Dimulai dari persamaan gratifikasi dengan suap terlebih dahulu. Dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang gratifikasi, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan embrio dari terjadinya tindak pidana suap. Ini berarti antara gratifikasi dan suap itu ada kecenderungan (kesamaan) dan memiliki perbedaan yang tipis. Keduanya sama-sama menjadikan jabatan, kekuasaan, dan wewenang sebagai motif dari suatu pemberian/ hadiah. Kemudian perbedaannya adalah gratifikasi masih merupakan zaakwarneming (sesuatu yang boleh) asalkan tidak bertentangan dengan kewajiban dan wewenangnya serta melaporkannya ke KPK. Sedangkan suap adalah perbuatan onrechtmatigedaad (sesuatu yang bertentangan dengan hukum), karena pemberian itu mengakibatkan kontrak/konsekuensi kepada si penerima untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cara menyalahgunakan jabatan, kekuasaan, dan wewenang yang dimilikinya. Perbedaan itu akan hilang manakala gratifikasi tidak dilaporkan kepada KPK. Lalu bagaimana hubungan gratifikasi dan suap dengan korupsi. Hubungannya adalah jika gratifikasi merupakan embrio dari suap, lalu suap merupakan janin dari korupsi. Artinya, bila gratifikasi gagal dicegah kehidupannya, maka akan muncul benih korupsi, yang nantinya akan terus membesar, membesar dan membesar. KPK berkepentingan mencegahnya sejak dari embrio yaitu gratifikasi. Seseorang yang sudah terbiasa memberi dan menerima gratifikasi, maka dia juga akan terbiasa dengan menyuap dan disuap. Jika seorang sudah biasa disuap dan menyuap, maka dia juga tidak akan ragu untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi hati-hati dengan gratifikasi, sumbangan, dan pemberian lainnya, karena bisa berujung pada penjara. CARA MELAPORKAN GRATIFIKASI KE KPK Tata cara pelaporan penerimaan gratifikasi yang diatur dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap laporan harus diformalkan dalam formulir gratifikasi, adapun formulir gratifikasi bisa diperoleh dengan cara mendapatkannya secara langsung dari kantor KPK, mengunduh (download) dari situs resmi KPK yaitu www.kpk.go.id, memfotokopi formulir gratifikasi
4 asli atau cara-cara lain sepanjang formulir tersebut merupakan formulir gratifikasi; sedangkan pada huruf b pasal yang sama menyebutkan bahwa formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat: (a) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi (b) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara (c) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi (d) uraian jenis gratifikasi yang diterima dan (e) nilai gratifikasi yang diterima. TINDAK LANJUT KPK ATAS LAPORAN GRATIFIKASI YANG DITERIMA KPK akan memproses laporan gratifikasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2002 dengan langkah dan cara sebagai berikut: (1) KPK dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi KPK dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi, guna menunjang obyektivitas dan keakuratan dalam penetapan status gratifikasi, serta sebagai media klarifikasi dan verifikasi kebenaran laporan gratifikasi. (2) KPK wajib melakukan pertimbangan, yaitu melakukan analisa terhadap motif dari gratifikasi tersebut, serta hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi. Ini dilakukan untuk menjaga agar penetapan dapat seobyektif mungkin. (3) KPK sesuai kewenangannya memutusan berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara. Batas waktu maksimal keputusan KPK ini adalah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima. Dan batas waktu penyampaian keputusan ini kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan. CONTOH KASUS YANG DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI GRATIFIKASI Kelompok pemberian upeti, cindera mata, dan parsel. Kasusnya dapat beragam tapi berikut ini adalah beberapa contoh kongkrit gratifikasi itu terjadi, yaitu (a) hadiah kepada guru sebelum atau setelah pembagian rapor/kelulusan. (b) parsel ketika hari raya besar keagamaan, hari ulang tahun, atau kapanpun. (c) paket perjalanan wisata pada saat awal masa jabatan atau menjelang akhir masa jabatan (d) pembiayaan kunjungan kerja baik bagi SDM di lembaga ekskutif maupun lembaga legislatif (e) hadiah pernikahan yang melewati batas kewajaran (f) uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dispenda, serta (g) pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian, Dispenda, dan LLAJR. Kelompok pembayaran melebihi tarif pelayanan, maksudnya mempercepat proses pelayanan. Kasus dalam kelompok ini antara lain (a) biaya tambahan 10-20 persen dari nilai proyek untuk diserahkan kepada yang mempunyai proyek (b) Pengurusan KTP/SIM/Paspor dengan uang tambahan dengan harapan urusan selesai lebih cepat, dan (c) pengurusan izin yang sangat dipersulit. KESIMPULAN Gratifikasi hampir selalu terjadi di sekeliling dinamika proses berbisnis dan bernegara. Peran kita bisa sebagai pemberi atau kadang sebagai penerima. Dengan masyarakat yang semakin memahami arti tentang gratifikasi yang kadang terkandung maksud suap di dalamnya, maka sudah waktunya seluruh masyarakat mulai meniadakan budaya pemberian gratifikasi ini. Ingatlah sangat susah membedakan gratifikasi yang memang luhur dan gratifikasi yang terkandung maksud terselubung di dalamnya.
5 DAFTAR BACAAN 1. KPK, Buku Gratifikasi, Penjelasan Pasal 12B, ayat 1, UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 2. www.wikipedia.com 3. www.kpk.go.id