Berjiwa Besar, Karakter Pemimpin Berkarakter oleh: Supriyanto Widyaiswara Muda Pusdiklat PSDM
Dalam sebuah acara Knowledge Sharing dengan topik Leading and Managing People yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia khususnya Bidang Pengelolaan Bea Siswa, Sekretaris Ditjen Pajak, Bapak Dedi Rudaedi, mengatakan bahwa setiap orang pada levelnya masingmasing adalah pemimpin. Dalam skala kewenangan kita, kita dapat mulai membangun jati diri. Kita ciptakan pimpinan yang berkarakter. Penekanan ini dilakukan beberapa kali di depan peserta yang merupakan Eselon IV dan Eselon III dari berbagai unit Eselon I di Kementerian Keuangan.
Dalam kesempatan itu juga berbicara Bapak Bhimantara Widyajala, Sekretaris Ditjen Pengelolaan Utang. Penekanan beliau adalah pada pentingnya human influence. Kepemimpinan pada hakikatnya adalah seni untuk mempengaruhi orang lain. Cara mempengaruhi ini dilakukan dengan mengubah persepsi orang lain tentang kita.
Dalam perjalanan hidup manusia, tentu terdapat saat-saat
yang menentukan dalam hidup yang diistilahkan dengan lifeline oleh Bapak Bhimantara. Untuk dapat berkembang lebih baik lagi kita dapat menggunakan lifeline tersebut untuk mengingat kembali dan melakukan penguatan di beberapa hal penting mengenai nilai tertentu.
Inti dari penekanan dari kedua pejabat tersebut, menurut penulis, siapapun dari kita merupakan pemimpin. Baik pemimpin bagi keluarga, kantor atau bagi diri sendiri. Sebelum menjadi pemimpin yang hebat bagi orang lain, setiap orang perlu menjadi pemimpin yang hebat bagi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dalam falsafah Ki Hajar Dewantara, terdapat Ing Ngarso Sung Tulodho, pemimpin perlu menjadi contoh/teladan yang baik bagi pengikutnya. Apabila seorang pemimpin tidak dapat menerapkan apa yang diajarkan atau ditularkan kepada pengikutnya maka dalam istilah Jawa dikenal dengan akronim yang disebut JARKONI. Pengertiannya adalah kita dapat mengajar, mengajari orang lain, tetapi tidak mampu mengimplementasikan pada diri sendiri.
Sumber : http://bocahkemojing.wordpress.com
Contoh sederhana adalah ketika di setiap kesempatan kita mengatakan kepada staf kita untuk disiplin. Datang ke kantor sebelum pukul 07.30 dan pulang setelah pukul 17.00. Ajaran itu kita ulang di setiap kesempatan. Namun dalam keseharian, kita datang ke kantor pukul 08.00, pulang pukul 16.00. Followers jadi bingung dengan ajaran yang telah diberikan. Apakah perlu ditaati atau tidak. Sementara, mungkin mereka telah belajar dari Benjamin Franklin bahwa “He Who Cannot Obey Cannot Command”. Orang yang tidak bisa taat pada
aturan tidak dapat memimpin. Idiom ini menjadi dasar perlunya orang merasakan menjadi pegawai di level bawah untuk dapat menjadi jenderal besar yang bijaksana. Kementerian
Keuangan
telah
mempunyai
konsensus
tentang
Nilai-Nilai
Kementerian Keuangan. Berbagai kegiatan dalam rangka internalisasi Nilai-Nilai
tersebut telah dilakukan. Pemahaman pegawai Kementerian Keuangan tentang Nilai-Nilai tersebut sudah semakin baik. Praktek dari nilai yang terkandung di dalamnya apakah sudah seperti indicator perilaku di dalam Nilai-Nilai Kementerian Keuangan? Masih sering ditemui kurangnya koordinasi dalam sebuah kantor. Masyarakat bahkan masih memiliki pandangan integritas pegawai belum seperti yang diharapkan. Kualitas pelayanan yang dijadikan penilaian bagi sebuah organisasi juga belum merata di antara Unit eselon I. Di kantor masih saja ditemukan pihak yang merasa terdzolimi dengan perilaku dari pegawai. Dinamika dalam rapatpun masih dapat ditemui penggunaan kata-kata yang tidak pada tempatnya, menyinggung perasaan pihak lain.
Kalau menurut kita, pegawai Kementerian Keuangan, semua proses bisnis berjalan dengan sempurna, bagaimana menurut orang lain? Bagaimana apabila terdapat komplain dari pihak lain? Manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk menjawab setiap kritikan atau komplain orang lain, apalagi kritikan itu bersifat memojokkan. Naluri manusia untuk membela diri, membuat klarifikasi atau bahkan menciptakan citra diri. Menurut Gede Prama, kritikan atau komplain dapat disikapi sebagai “vitamin pertumbuhan” dan selalu menjawab kritikan atau penilaian negatif menurut Hingndranata Nikoley dengan kata “Bagus itu”. Pelajaran tersebut perlu diajarkan ke semua orang. Sorakan “cetar membahana” terdengar ketika kita mengangkat jempol dan mengatakan “Bagus itu”. Coba kita lihat respon kita ketika mendapat kritikan, apakah kita mengangkat jempol dan mengatakan “Bagus itu” atau sibuk membela diri dan menyalahkan orang lain?
Contoh lain yang dekat dengan keseharian perkantoran adalah adanya komplain dari bidang atau seksi lain. Begitu kerasnya usaha untuk membela diri atau membela unit organisasi sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam kantor. Apakah sudah dipastikan maksud baik orang lain terhadap seksi atau bidang yang dikomplain? Inilah pentingnya selalu berpikir positif. Namun dalam keseharian penolakan demi penolakan itu terjadi. Apa yang diperjuangkan? Ego sektoral!! Ada yang mengatakan “Wah saya tidak tahu menahu itu, anak buah
saya tidak melaporkannya pada saya jadi ya dari mana saya tahu?”. Kalau hanya seperti itu masih lumayan, bagaimana kalau kemudian terdapat upaya untuk menyerang seksi atau bidang lain, melaporkan pada pucuk pimpinan? Harapannya pucuk pimpinan menegur pihak lain itu. Setelah itu hati merasa puas. Lantas, bagaimana dengan teamwork yang telah diajarkan sejak dahulu kala? Dalam TEAMWORK tidak ada huruf “I”. Artinya dalam teamwork tidak lagi melihat kepentingan “saya”, “bidang saya”, “pihak saya”. Namanya teamwork sehingga harus mengelaborasi semua kepentingan.
Pemimpin di level manapun perlu melakukan sebuah role model. Jika orang belum selesai dengan dirinya sendiri, ia belum layak memimpin orang lain. Ada sebuah ilustrasi yang baik untuk kita simak yaitu kisah cerita mengenai jiwa besar seorang pembesar di negeri Cina. Pada zaman perang antar negeri di Cina, terdapat dua pejabat besar negeri Zhao bernama Lian Po dan Lin Xiangru. Lian Po adalah jenderal besar yang ahli dalam berperang. Lin Xiangru adalah ahli negosiasi kenegaraan yang berjasa dalam mempertahankan harga diri Raja Zhao. Lian Po merasa lebih hebat dari Lin Xiangru
dan meremehkan Lin
Xiangru. Beberapa kesempatan Lian Po mengatakan akan mempermalukan Lin Xiangru dan biar rakyat mengetahui siapa yang lebih hebat. Kabar ini terdengar sampai telinga Lin Xiangru.
Suatu ketika Lin Xiangru bersama anak buahnya keluar dari istana dan secara tidak sengaja melihat Lian Po menunggang kuda ke arahnya. Lin Xiangru bersembunyi
di
gang
agar
Lian
Po
tidak
memergokinya
dan
mempermalukannya. Akibatnya adalah kepercayaan dari anak buah Lin Xiangru mulai berkurang. Mereka mempertanyakan mengapa Lin Xiangru tidak berani menghadapi Lian Po? Dengan bijak Lin Xiangru menjelaskan bahwa letak kekuatan negeri Zhao adalah pada hebatnya Lian Po dan cerdiknya Lin Xiangru. Karena keduanyalah negeri-negeri lain segan terhadap negeri Zhao dan tidak berani menyerang. Coba jika negeri lain tahu bahwa kedua ‘harimau’ negeri
Zhao ternyata bersaing dan saling ingin menjatuhkan, tentu dengan mudah negeri Zhao dikalahkan.
Sumber : http://chineseproverbstories.com
Alasan ini sampai juga ke telinga Lian Po. Ia merasa terharu karena Lin Xiangru mengutamakan kepentingan negeri Zhao dan mengalahkan ego diri sendiri. Tersadarlah Lian Po dan dengan membawa cambuk serta melepas jubahnya ia mendatangi Lin Xiangru untuk meminta hukuman atas niat jahatnya. Lian Po berlutut di depan Lin Xiangru meminta hukuman. Seorang jenderal besar berlutut dan meminta hukuman. Apa yang dilakukan oleh Lin Xiangru? Ia membimbing Lian Po bangkit berdiri dan memeluknya. Seorang berjiwa besar tidak mempermalukan
orang
lain,
tidak
peduli
orang
tersebut
pernah
mempermalukannya atau tidak.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa banyak dari kita yang memiliki jiwa besar selayaknya Lin Xiangru? Atau seberapa banyak dari kita yang ketika menyadari telah berbuat salah bukan mencari pembenaran diri, tetapi meminta maaf sebagaimana Jenderal Besar Lian Po? Kunci kekuatan negeri Zhao adalah jiwa besar kedua pembesar itu.
Dari kisah tersebut di atas dapat diambil pelajaran bahwa seorang pemimpin yang berkarakter adalah pemimpin yang berjiwa besar. Lin Xiangru merupakan contoh pemimpin yang berjiwa besar. Kepentingan negerinya yang menjadi prioritas, bukan kepentingan pribadinya.
Pemimpin yang berkarakter dibutuhkan oleh organisasi tempat kita bekerja. Salah satu karakter pemimpin berkarakter adalah jiwa besar. Kembali kepada rumus awal, kita adalah pemimpin di level masing-masing. Untuk menciptakan karkter pemimpin, kita bisa memulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil dan mulai dari sekarang menurut Aa Gym. Mari kita luangkan waktu untuk menyadari akan hal-hal yang perlu kerelaan kita untuk merendahkan diri agar kinerja organisasi dapat lebih meningkat. Stakeholder membutuhkan pelayanan yang terbaik dari kerja sinergis kita. Buang jauh-jauh penyulut perpecahan, friksi atau apapun bentuknya. Mari bergandengan tangan, bahu-membahu melakukan yang terbaik buat organisasi tempat kita ditempatkan.
Andrie Wongso sebagaimana ditulis oleh Vanny Chrisma W mengatakan pentingnya menjadi pribadi yang lebih menyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain. Setiap orang bisa menjadi guru bagi orang lain. Namun, apalah artinya pintar jika hanya menyakiti orang lain, bahkan teman sendiri? Karena sesungguhnya pintar adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebuah kesuksesan bukan berasal karena kuat dan gagah seseorang, bukan karena cerdasnya, dan juga bukan karena elok parasnya. Tetapi karena doa dari orang-orang di sekitarnya yang membuat Tuhan mengijinkan itu terjadi. Berjiwa besar terhadap lingkungan yang membuat diri seseorang besar merupakan perwujudan diri yang siap memimpin orang lain tentunya setelah berhasil memimpin diri sendiri.
Referensi: 1. Chrisma W, Vanny, Kisah Keluarga Tikus, Yogyakarta : Penerbit Buku Biru, 2010. 2. Man, Din, 200 Kisah Terindah Sepanjang Masa Dari China, Jakarta : Gramedia, 2011. 3. Ridwansyah, Ardhi, Leadership 3.0, Seni Kepemimpinan Horizontal untuk Semua Orang, Jakarta : Gramedia, 2012.