MENEROPONG LEGITIMASI PEMILU
OLEH Adi Sulistiyono Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Sepekan setelah pemilu legislatif digelar, kecaman terhadap pelaksanaan pesta demokrasi itu mulai menukik tajam. Sejumlah tokoh partai politik—entah secara kelembagaan partai atau perseorangan—dimotori oleh Megwati Soekarnoputri dan Wiranto menyebut pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis. Banyaknya masalah, terutama daftar pemilih tetap (DPT), mengakibatkan banyak warga kehilangan hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat. Pelaksanaan pemilu dituding diwarnai pula kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitasnya buruk. Lebih tegas, pemilu legislatif terancam tergerus legitimasnya karena buruknya pelaksaaan pemilu tersebut. Tulisan ini mencoba meraba dan meneropong masalah legitimasi dalam optik politik dan hukum dengan harapan secara minimal akan menambah cakrawala pemahaman. Siapa mengecam? Jika dicermati pernyataan buruknya pelaksanaan pemilu justru mengemuka di kalangan elit politik, yang pastinya partai politik mereka terbukti tergunting jumlah kursinya di parlemen. Secara jelas juga, kalangan partai politik yang menikmati gemilangnya pemilu legislatif seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera belum terlihat pernyataan formalnya, kecuali satu dua ucapan pengurus teras yang belum dikonfirmasi kapasitas representasi mereka terhadap organisasinya. Oleh karena itu, penilaian dan kecaman terhadap buruknya manajemen pemilu kali ini tidak bisa dipandang merupakan cermin pasti untuk mengukur hasil secara keseluruhan. Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu juga belum bersuara tegas mengenai hal itu.
Saya sependapat bahwa sejumlah persoalan seperti DPT yang carut marut dan banyaknya pelanggaran pemilu yang terdokumentasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) meurpakan persoalan yang nyata dan harus cepat diatasi agar tidak terulang lagi, paling tidak untuk pemilu presiden yang akan datang. Namun, operasionalisasi yang buruk tidaklah harus senafas dengan asumsi yang melahirkan anggapan bahwa legitimasi pemilu sudah tergerus. Bagi saya, pemilu 2009 tetaplah harus dianggap sebagai mosi tidak percaya rakyat kepada partai politik dan parlemen, sehingga kecerdasan pemilih—entah emosional maupun rasional—sanggup menekuk kemapanan partai politik dan melahirkan fenomena politik, yang bagi akademisi sekalipun, sulit untuk diprediksi sebelumnya. Dan kenyataan inilah cermin kedaulatan rakyat telah mengejawantah dalam bentuknya yang paling minimalis. Jadi, kecaman partai dan elit politik, yang kebetulan dirugikan perolehan suaranya, amat dipertanyakan basis legitimasinya, meskipun cukup menyentak membangun kelengahan KPU dan pemerintah karena teledor dalam melaksanakan sejumlah tahapan pemilu. Kelembagaan Buruk Sudah pasti KPU dengan cepat menerima penilaian jelek dengan adanya sejumlah fakta tercecernya beberapa tahapan pemilu. Namun bagi saya, kelembagaan pemilu tidaklah an sich KPU saja, tetapi juga mencakup sistem regulasi dan mekanisme resolusi konflik. Dalam amatan saya, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah menempatkan KPU kepada kedudukan yang lebih kuat dan independen dibandingkan KPU sebelumnya. Bahkan, undang-undang itu mengalihkan pengadaan infrastruktur pemilu dari komisi ke jajaran birokrasi (baca: Sekretariat Jenderal) dengan satu tujuan: agar komisioner dapat bekerja lebih fokus. Tetapi semua itu tampaknya menjadi pemanis belaka ketika kepemimpinan dan manajerial lemah, kinerja tidak fokus dan tanpa prioritas, serta para anggota komisi gagal mengontrol tanggung jawab masing-masing. Komisi juga terjebak ke dalam amaterisme hukum, ketika secara gegabah menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan sprit undang-undang, seperti penafsiran ambang batas sumbangan kepada partai politik dan eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara terbanyak dalam penentuan calon legislator.
Keburukan kinerja KPU sudah tampak dari jadwal dan tahapan pemilu yang tidak konsisten dan berubah-ubah. Lebih dari itu KPU juga gagal mengontrol kinerja KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Dan atas semua itu DPR—yang notabene terdiri dari partai politik—harus juga dituntut pertanggungjawabannya, karena selekasi komisioner melibatkan mereka, termasuk KPU daerah. Terkait dengan resolusi konflik, di luar pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK tampaknya perlu dicermati. Pemilu kali ini makin banyak pihak yang berkepentingan langsung dengan hasil pemilu. Tidak hanya partai politik, tetapi juga para calon legislator. Dengan sistem suara terbanyak, satu perbedaan suara saja sudah sangat berarti dalam merebut kursi. Kompetisi tidak sekadar antarparpol atau antarcalon legislator dari partai politik yang berbeda, tetapi juga diantara calon di dalam sebuah partai politik. Sesuai sekat formal dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya partai politik dan perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bisa mengajukan perkara. Artinya, jika mematuhi ketentuan itu maka perseorangan calon legislator tidak boleh mengajukan sengketa ke MK.
Padahal dengan ketentuan suara terbanyak,
keberatan berpotensi datang dari tiap calon legilsator, tidak peduli berapa nomor urutnya. Secara sosiologis, jika ketentuan itu dituruti, maka akan banyak calon legislator yang tidak bisa menyalurkan aspirasinya untuk memperoleh keadilan melalui MK. Namun, jika ketentuan itu diubah, paling tidak dengan ijtihad para hakim konstitusi, giliran MK yang akan terkena beban, karena akan terjadi ribuan perkara yang mengalir ke benteng penjaga konstitusi itu. Padahal, di seluruh Nusantara diperebutkan 18.960 kursi, yang meliputi 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD Propinsi, dan 16.270 DPRD Kabupaten/Kota. Kisruh DPT Dalam paham saya kisruh DPT bukanlah persoalan yang muncul secara tiba-tiba. Masalah DPT bukanlah sumber masalah tetapi implikasi lebih lanjut dari carut marutnya administrasi kependudukan di republik ini. Kita memiliki UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di dalamnya ada instruksi agar setiap penduduk melaporkan setiap peristiwa kependudukan (pindah, datang, perubahan alamat dan tempat tinggal, serta perubahan status kependudukan). Ketentuan ini melahirkan sistem
de jure dalam bentuk penerbitan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan lain-lain. Masalahnya mobilitas penduduk yang tinggi tidak disertai dengan kesadaran melaporkan peristiwa kependudukan. Penduduk tidak mau mengganti KTP di tempat tinggal asal dengan sejumlah asal dan belum terdaftar di tempat tinggal baru. Di sini dapat ditunjuk penduduk yang tidak tergolong dalam sistem de jure itu, seperti pekerja musiman, pemilik rumah yang dikontrakkan dan tinggal di daerah lain, serta mahasiswa yang belajar di tempat lain bukan tempat tinggal asal. Padahal daftar pemilih ditetapkan menurut sistem de jure ini, jadi berbeda dengan Pemilu 2004 yang menggabungkan sistem de jure dengan sistem de facto. Dalam sistem terakhir diawali dengan daftar pemilih potensial, lalu menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan ditetapkan menjadi DPT. Perlu ditunjuk di sini, walaupun DPS sudah diumumkan sejak pertengahan 2008, tetapi masih ada keengganan penduduk untuk aktif memperjuangkan hak pilihnya. Bahkan, partai politik pun amat jarang yang mendorong terutama konstituennya untuk semenjak awal mencermati DPS dan memperjuangkannya agar terdaftar dalam DPT. Pada tataran makro, tak ada satupun dari 4 presiden yang berkuasa di era reformasi berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Akibatnya, 3 pemilu legislatif (1999, 2004, dan 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 400 pilkada selama 10 tahun terakhir dikotori dengan rendahnya kredibilitas data pemilih. Keteledoran KPU untuk memutakhirkan data pemilih menyebabkan banyak penduduk yang dipaksa menjadi golput pada pemilu 2009 ini. Dengan uraian itu, saya menolak asumsi sejumlah partai politik bahwa kekacauan DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, amat sulit untuk mengaitkan kekacauan tadi dengan perolehan suara setiap partai politik. Secara akademik tidak pernah ada penjelasan yang pasti bahwa kekacauan itu menguntungkan partai politik tertentu dan merugikan partai politik lain. Kekacauan itu—yang sampai sekarang tidak pernah dijelaskan dan diakui oleh pemerintah dan KPU—akhirnya menjadi bumbu penyedap guna menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai politik untuk menjadi pecundang dalam pemilu. Bahkan tidak menutup kemungkinan bagi public yang amat awam dengan seluk beluk hokum, akan menganggap bahwa kritik terhadap kevalidan DPT merupakan sasaran antara belaka untuk menggerus legalisasi kemenangan partai politik tertentu,
bahkan menyerang popularitas calon presiden tertentu karena kemenangan yang bersangkutan sudah terasa digenggam walau pemilu presiden belum dilaksanakan. Teropong Legitimasi Terlalu sulit bagi saya untuk bisa menjelaskan detail demi detail kekisruhan yang terjadi dalam Pemilu 2009 dan sama sulitnya bagi saya untuk tergesa-gesa menunjuk keburuhkan sejumlah tahapan mencederai legitimasi pemilu itu. Masalah kekisruhan pemilu harus dibenahi dan supaya legitimasi pemilu dapat terpelihara ada solusi jangka panjang dan jangka pendek yang dapat dilakukan. Untuk jangka panjang kiranya perlu dipertimbangkan strategi guna memperbaiki kelembagaan pemilu dan sistem administrasi kependudukan. Sedangkan dalam jangka pendek, dan inipun saya anggap paling sulit, adalah membangun keikhlasan menerima pemilu legislatif walau sarat masalah. Tanpa keikhlasan itu, nasib bangsa yang akan dipertaruhkan dan kepercayaan rakyat yang akan tercoreng.