TITIK FRUSTASI PEMILU 2009 OLEH Adi Sulistiyono Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
Sebentar lagi hajatan besar berupa pesta demokrasi akan digelar di repulik ini: pemilu legislatif dan pemilu presiden. Isu tersebut tampil seiring sejalan dari obrolan warung kopi, berbagai perjamuan ilmiah, hingga warta media silih berganti dengan bencana alam dan efek krisis finansial global yang amat mengancam bangun ekonomi kita. Tapi pemilu adalah festival, yang kehadirannya selalu dinanti, entah sebagai agenda rutin lima tahunan atau sekedar selingan bernegara tanpa makna, sehingga tetap saja menjadi isu yang tidak pernah kehilangan harga untuk digunjingkan, didiskusikan, dan diperbincangkan dengan aneka tafsir dan kepentingan. Lewat konteks seperti itulah Pemilu 2009 layak untuk dicermati. Dalam rekam memori saya percakapan soal pemilu hari-hari ini minimal fokus kepada 4 hal: penentuan sistem pemilu yang paling cocok diterapkan, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), sumber dan penggunaan dana kampanye, dan masalah “golongan putih” (golput). Tulisan ini saya fokuskan kepada hal yang terakhir. Bejana Pemahaman Ahli bahasa sering berujar bahwa di dalam bahasa, semakin ringkas sebuah bahasa, artinya semakin sedikit jumlah huruf dan karakter yang digunakan dalam merangkai kata, dan sebaliknya semakin terbuka variasi penyusunannya, maka semakin tinggi entropinya, yaitu semakin kecil keterdugaan makna kata itu, dan sebaliknya, semakin tinggi terbuka berbagai kemungkinan tafsirnya. Dalam bejana demikian istilah golput harus dipahami. Ia merupakan contoh bahasa yang dimampatkan dan diacak sehingga keterdugaan maknanya amat rendah. Awalnya, golput merupakan sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, kurang lebih sebulan menjelang pemilu. Menurut Arief Budiman, salah satu motor gerakan ini, golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat
2 bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangunkan oleh penguasa waktu itu. Pada titik ini saya menyebut golput sebagai “fenomena ideologis.” Pada pemilu-pemilu berikutnya, golput tetap menjadi isu, tetapi tidak sampai menjadi isu politik yang mempengaruhi partisipasi rakyat dalam pemilu.Mulai Pemilu 1992 dan Pemilu 1997, isu golput kemudian diikuti dengan tumbuh dan lahirnya organ-organ non pemerintah yang mencoba mengawasi jalannya pemilu, meski kinerjanya disingkirkan oleh penguasa. Pemilu 1999, yang lahir sebagai anak emas reformasi politik, berjalan nyaris tanpa keluhan yang berarti terkait dengan golput ini, karena gegap gempita publik yang terlampau percaya kepada partai politik yang dianggap mampu menuntun ke jalan yang lurus yaitu reformasi dengan satu harapan: kesejahteraan rakyat meningkat. Namun pada pemilu 2004, yang diikuti dengan sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005, isu golput kembali menghangat dan diartikan ke dalam satu makna: partisipasi rakyat beringsut menurun. Pada titik ini, istilah golput harus diperluas, bukan hanya sebagai protes kepada struktur politik tetapi juga kepada banyak faktor: tidak dapat “mencoblos dengan baik”, tidak dapat datang ke bilik suara, dan tidak terdaftar ke dalam pemilih. Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pemilu 2009: Titik Frustasi Untuk pemilu 2009, saya masih amat percaya bahwa golput masih bermuara kepada satu hal: protes rakyat kepada partai politik yang tidak dapat membawa kemajuan kehidupan. Pasti faktor lain juga ada tetapi lebih bersifat teknis, yang di sini dapat dituding kepada kinerja KPU sebagai faktornya. Jadi, golput adalah titik frustasi rakyat kepada partai politik yang ada. Mengapa demikian? Dalam bentuk apapun, masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang sudah mempunyai cara berpikir dan mentalitas tersendiri bagaimana mengukur kemanfaatan pemilu berkaitan dengan kebutuhan hidup mereka. Masyarakat sudah mampu menciptakan persepsi mengenai makna dan tujuan hidup. Mereka telah tertempa untuk menerima kenyataan bahwa hidup tidak sebagai sesuatu yang a taken for granted, sebagai sesuatu yang diterima begitu saja, akan tetapi melihatnya dengan sikap kritis. Pada sisi lain, partai politik masih memandang keadaan masyarakat as usual, di mana eksistensinya lebih didasarkan kepada sekedar untuk keuntungan, materi, citra, dan kompetisi tanpa ada nilai-nilai paradigmatik yang dapat ditularkan kepada konstituennya. Bukan saja kerangka makro peran partai politik yang gagal seperti di atas, tetapi sejumlah kenyataan telah mempertebal frustasi masyarakat terhadap partai politik. Saya mencatat ada 4 hal mengapa hal itu terjadi.
3 Pertama, kenyataan banyaknya anggota DPR sekarang (yang notabene diusung oleh partai politik) mengkhianati kepercayaan rakyat. Gambaran seperti ini misalnya kursi-kursi kosong saat sidang pleno DPR sedang berlangsung. Kunjungan kerja ke luar negeri yang disangsikan kesungguhannya. Lihat juga kasus terakhir, seperti saat berlangsung sidang DPR dengan jajaran direksi Pertamina. Tanya jawab dan komentar seorang anggota DPR dengan direktur baru disertai pilihan kata, ungkapan, dan gaya berkesan merendahkan pejabat baru itu. Deretan fakta ini saja baru secuil dari pengkhianatan yang sempat terekam dalam memori publik. Kedua, anggota DPR banyak terlibat korupsi. Keberhasilan KPK menyeret sejumlah anggota DPR mulai dari Abdul Hadi Djamal (PAN), Saleh Dajsit dan Hamka Yandhu (Partai Golkar), Sarjan Thahir (Partai Demokrat), Al Amin Nasution (PPP), dan Bulyan Royan (Partai Bintang Reformasi) menunjukkan perilaku buruk para wakil rakyat. Tidak bisa tidak, hal demikian karena mereka mempunyai nalar dan perilaku narsisitis yang berlebihan karena hilangnya rasa malu dan budaya rasa salah. Sedemikian besar keburukan semacam itu menjadi bagian dari kehidupan DPR, sedemikian parah dan sulitnya menegakkan hukum. Padahal, hukum tidak punya arti tanpa moralitas. Dalam setiap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selalu muncul petunjuk bahwa praktik suap/korupsi itu selalu melibatkan anggota DPR lainnya. Namun, hanya karena problem pembuktian hukumlah, mereka yang disebut “terlibat” itu tidak bisa disentuh karena minimnya alat bukti. Ketiga, peran DPR dalam menetapkan anggaran negara. Kasus korupsi dan suap yang selama ini terungkap disinyalir memang diberi ruang oleh sistem yang berlaku sekarang. Sebenarnya lazim di mana-mana negara wakil rakyat ikut membahas anggaran, namun apakah sistem sekarang di mana DPR terlibat hingga menentukan jenis proyek dan besarnya anggaran masih relevan untuk dipertahankan? Kuasa sewenang-wenang yang digunakan oleh para anggota legislatif ini tidak lain dari kuasa lebih yang ditarik dari konstitusi hasil amandemen atas UUD 1945. pada “kuasa lebih konstitusional” inilah segenap motif dan perilaku buruk, termasuk kebejatan seksual anggota DPR, memperoleh praksis yang tanpa batas. “Kuasa lebih konstitusional” yang sebenarnya amat rawan dengan penyalahgunaan itu de facto telah dimagnifikasikan pula mencakup “kewenangan rekrutmen” dalam posisi kunci di lingkungan eksekutif, termasuk dalam seleksi keanggotaan dan/atau kepemimpinan komisi-komisi negara. Jadilah, DPR masih terpenjara dalam perilaku dan motif-motif perilaku buruk para cetakan Orde Baru, kalangan yang terus mengangkangi kekuasaan dan bekerja ke arah kehancuran republik ini. Keempat, profil calon legislatif. Berbeda dengan capres, calon legislatif paling tidak ada 11.000 yang mewakili tidak kurang 38 partai politik nasional. Masyarakat memang sudah melihat foto calon yang berserakan di sepanjang jalan. Jika dilihat khusus, sosok lahiriahnya saja tidak jelas, apalagi profilnya
4 sebagai pribadi serta kandidat parlemen. Padahal, jelas steriotip masyarakat terhadap DPR sudah demikian buruknya. Golput Yes, Golput No Saya tidak ingin berdebat apakah golput itu haram atau tidak, karena saya tidak menyukai perdebatan yang mengarah dan menyalahkan etik individual belaka, tetapi saya lebih menghargai kreasi intelektual dan potensi kecerdasan untuk membangun moralitas politik publik. Bagi saya, golput untuk pemilu legislatif, dan dikaitkan dengan minimal 4 hal di muka, jelas tidak bisa disalahkan. Ketika masyarakat semakin muak dengan perilaku anggota DPR yang mengkhianati kehormatannya sebagai wakil rakyat dan menyebabkan tidak mau memilih, maka sikap itu saya nilai rasional dan demokratis. Apakah semua anggota DPR buruk? Jelas tidak, tetapi hanya segelintir anggota DPR yang tidak terjebak menjadi legislator hitam. Tetapi yang segelintir itu pun boleh dikata tidak bisa berkutik di depan kedaulatan partai dan/atau kekuasaan fraksi-fraksi yang memang sengaja dikukuhkan di DPR untuk melanggengkan perampasan kedaulatan rakyat. Dengan keta lain, kerusakan citra DPR diperparah oleh sikap tak pduli, pura-pura tak tahu, atau lumpuhnya koreksi dari mayoritas anggota lainnya di lembaga itu. Sulit dibantah bahwa ketidakpedulian itu karena terlena menikmati ajegnya pertambahan jenis-jenis serta kenaikan porsi-porsi pendapatan istimewa yang sama sekali tidak terkait dengan kinerja, integritas, maupun kompetensi. Tapi, konstitusi sejak awal memang mendesain bahwa pemilu legislatif dan pemilu pilpres tidak bersamaan dan waktu. Legalitas konstitusi dan praksis politik minimal selama 5 tahun terakhir amat memungkinkan divided goverment di mana partai sang presiden tidaklah harus satu tarikan nafas dengan komposisi parlemen. Sekali lagi, pada titik ini, saya berpandangan “salah pilih” rakyat terhadap presiden menjadi amat minimal karena dengan calon yang lebih sedikit tentu rakyat akan lebih ada waktu untuk mengenal calon. Bukan berarti bahwa dengan ini dijamin seketika pilpres seketika kesejahteraan rakyat terwujud, hanya saya menegaskan bahwa pengalaman selama ini rakyat begitu fanatik dengan lembaga kepresidenan dan menerapkan kriteria dan harapan begitu jauh terhadap sosok sang presiden. Oleh karena itu, begitu tiba waktu memilih, sudah pasti kesadaran rakyat untuk berpartisipasi dalam pilpres amat tinggi. Pemilihan presiden lebih dekat kepada pilihan emosional dibandingkan ideologis. Kita bisa melihat semenjak pemilu presiden 1979, saat Ronald Reagen pertama kali terpilih di AS, jumlah pemilih terus menerus menurun. Tetapi begitu pemilu 2008 yang mengantar Barack Obama menjadi presiden, maka partisipasi pemilih berubah menjadi tertinggi dalam sejarah pemilu di AS. Menyadari amat pentingnya posisi konstitusional presiden dan menariknya daya psiokologis politik terhadapnya, maka saya sampai kepada
5 harapan agar tidak terjadi golput dalam pemilu pilpres ini. Tentu ini bukan harapan emosional, tetapi rasional. Butuh Keseimbangan Jelas, suatu pemilu yang fair dan jujur akan selalu disertai dengan partisipasi pemilih yang tinggi, meskipun legitimasi pemilu tidak melulu ditentukan oleh kuantitas jumlah pemilih. Ke depan kita berharap partai politik lebih mampu mengaktualisasi dirinya. Sekrang amat sedikit partai yang lengkap sosoknya, kepribadiannya, falsafahnya, program, dan kinerjanya. Lemahnya sosok, pengorgonasasian, dan kinerja partai politik harus diperbaiki. Jaringan organisasi partai yang lengkap misalnya, disertai sistem pengaderan. Semakin jelas tuntutan agar partai politik membuktikan komitmen antikorupsi yang selama ini hanya menjadi wacana dan jargon tanpa makna. Partai politik harus mengambil langkah signifikan untuk membersihkan partai politik dari pedagang politik yang telah mengkhianati rakyat yang telah memilihnya. Dengan demikian, akan ada keseimbangan baru agar golput, walaupun tidak bisa disalahkan dan tidak harus dilarang, senantiasa menurun. Konon demokrasi diukur pula dari kegairahan sukarela warganya untuk mendukung tegaknya negara. Surakarta, 9 Maret 2009