MEMBANGUN INDONESIA YANG BERMARTABAT:
Oleh: IG. Krisnadi∗
Abstrak Kertas kerja ini membahas isu keterpurukan bangsa Indonesia sebagai akibat krisis moral yang dapat menurunkan martabat bangsa, dan upaya membangun Indonesia yang bermartabat dalam konteks pemikiran budaya Jawa. Cakupan pembahasan meliputi: menemukenali kearifan lokal etnik Jawa di masa lampau, jebolnya tatanan masyarakat oleh penetrasi budaya Barat, dan strategi budaya membangun Indonesia yang bermartabat. Keberhasilan menemu-kenali kearifan lokal etnik Jawa dan faktor-faktor penyebab jebolnya tatanan masyarakat Jawa, dapat digunakan sebagai referensi penyusunan strategi budaya dalam membangun Indonesia yang bermartabat. Strategi budaya tersebut meliputi: perlunya tobat nasional (Rekonsiliasi Nasional), penegakan supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa, gerakan kultural pemberantasan korupsi, menanamkan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia dan cinta produk bangsanya, menanamkan budaya malu untuk perbuatan yang tidak terpuji, pengembangan Ipteks berlandaskan norma sopan santun, hukum dan kemanusiaan, membangun etos sosial berlandaskan agama. Kata Kunci: Krisis moral, Indonesia bermartabat, kearifan lokal, penetrasi budaya Barat, strategi budaya, tobat nasional, rekonsiliasi nasional, korupsi, norma sopan santun, supremasi hukum, budaya malu, Ipteks, etos sosial.
∗
IG. Krisnadi adalah staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember.
1. Pendahuluan Istilah masa krisis muncul ke permukaan pada masa akhir pemerintahan Soeharto (awal 1998) yang tidak mampu menanggulangi gelombang krisis moneter (krismon) internasional. Ketidakberdayaan
menanggulangi
gelombang
krismon,
berdampak
buruk
terhadap
perekonomian rakyat, sehingga menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahaan Soeharto. Akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser dari tampuk pemerintahan yang telah digenggamnya lebih dari 30 tahun. Sejak berakhir masa pemerintahan Soeharto yang represif, kran reformasi yang mengusung isu keterbukaan mampu menyingkap “tempat persembunyian” para koruptor yang telah merambah ke segala aspek kehidupan, sehingga tampak kepermukaan bahwa negeri ini sedang dilanda krisis moral yang menurunkan martabat bangsa. Pekerjaan berat sedang diemban pemerintah dan segenap rakyat Indonesia sekarang adalah mengakhiri
krisis moral dan membangun Indonesia yang
bermartabat. Untuk
mewujudkan amanah tersebut semestinya jajaran pemerintah, para penegak hukum, para wakil rakyat, para ulama maupun segenap rakyat Indonesia dituntut saling bekerja keras, dan bahumembahu yang dilandasi niat suci dan tulus. Namun menunjukkan
pihak pemerintah belum
keserius-annya dalam mewujudkan amanat penderitaan rakyat.
1
tampak
Di jajaran
pemerintah yang semestinya bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, malah melakukan perselingkuhan kekuasaan dengan para penegak hukum, legislator,
atau para
pengusaha demi kepentingan pribadi, kelompok atau partainya. Korupsi merebak di segala sektor kehidupan, hukum diperjual-belikan. Walaupun upaya pemberantasan korupsi telah diupayakan, namun hasil yang dicapai belum optimal, 2 karena pelaksanaannya masih tebang-pilih dan KPKpun dibikin tidak berdaya. 3 1
Mantan Kabareskrim Susno Duaji dan Gayus Tambunan dijebloskan ke dalam penjara, karena keduanya akan membongkar korupsi di jajaran Polri dan perpajakan. Dibebaskannya koruptor kelas kakap Artalita (Ayin), kasus Bank Century dibiarkan mengambang, kasus pelanggaran kode etik hakim dalam penanganan perkara mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. 2 Berdasarkan survey yang dilakukan badan independen (April 2011), dari 146 negara, menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-5 negara terkorup di dunia. Untuk kawasan Asia Pasifik, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup (peringkat satu). http:serba-sepuluh.blogspot.com/20…#ixzz1Jb3NOY87 3
Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dijebloskan penjara 18 tahun melalui rekayasa sidang pengadilan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. dalam Kompas, Kamis 21 April 2011.
Menurut falsafah cakramanggilingan, sejarah kehidupan manusia bergerak bagaikan roda berputar (mubenge jagad), artinya peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau akan terjadi lagi pada masa kini atau pada masa mendatang. Peritiwa sejarah di masa kini sebenarnya perulangan peritiwa sejarah di masa lampau, atau peritiwa sejarah di masa kini akan berulang pada masa mendatang. Berdasarkan falsafah tersebut, masa krisis yang menimpa bangsa Indonesia pada saat ini, sebagai perulangan masa krisis di masa lampau. Istilah masa krisis di dalam wacana budaya Jawa dikenal sebagai kalabendu, artinya sebagai masa datangnya prahara atau musibah (pageblug) karena kutukan
Tuhan melalui
Bethara Kala. Kalabendu memiliki tanda-tanda seperti terjadi kemerosotan moral di kalangan para pejabat maupun masyarakat luas. Hal ini tampak semakin merebak korupsi, menjamur praktik pelacuran, dan tindak kriminalitas lainnya serta semakin banyak musibah bencana alam. Menurut Soemarsaid Moertono,
kalabendu
terjadi karena raja atau para birokrat yang
semestinya memberi keteladanan, perlindungan, ketentraman, kesejahteraan kepada rakyat, justru menyengsarakan rakyatnya. 4 Istilah
kalabendu
muncul
berkenaan
dengan
pihak
penguasa
tidak
dapat
menyelenggarakan pemerintahan. Raja sebagai penguasa tidak melaksanakan kewajiban sebagai mediator antara rakyat dan Tuhan, karena wahyu-keprabon sebagai legitimasi kekuasaan telah ke luar dari wadahnya yaitu di dalam diri raja mencari wadah baru ke dalam Ratu Adil yang akan memberantas segala bentuk kejahatan, akan mendatangkan kemakmuran maupun kedamaian bagi rakyat.5 Artikel ini yang mencoba menggagas Indonesia bermartabat dalam konteks pemikiran budaya Jawa dengan membahas upaya menemu-kenali kearifan lokal Jawa dan jebolnya tatanan masyarakat sebagai akibat penetrasi budaya Barat, dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi budaya dalam membangun Indonesia yang bermartabat.
4
Soemarsaid Moertono. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI-XIX (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 56. 5
Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1986), hlm.88-89.
2. Menemu-kenali Kearifan Lokal Menurut Benedict Anderson, 6 kekuasaan Jawa memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Kekuasaan itu bukan suatu gambaran teoritik, melainkan ada dan nyata. Kekuasaan itu energi Illahi. (2) Kekuasaan bersifat homogen yang memiliki jenis dan sumber yang sama; (3) Besarnya kekuasaan di alam semesta bersifat konstan, dan secara substansial bersifat tetap, artinya tidak pernah bertambah dan tidak pernah berkurang. Namun demikian, bagi setiap orang yang berupaya menghimpun (mewadahi) kekuasaan, maka kekuasaan itu bisa bertambah atau berkurang atau akan hilang bagi yang “wadahnya” telah rusak. Persyaratan yang diperlukan di dalam menghimpun kekuasaan adalah menyediakan “wadah” yang baik dengan cara bermatiraga. Misal melalui bertapa di dalam gua atau di dalam hutan, berpuasa (suda dhahar klawan guling), meditasi di dalam kamar tanpa penerangan (patigeni), hanya makan sayur (ngrowot), berendam di dalam air sungai (kungkum), bertapa mengubur diri (pasa mendhem), puasa bicara (tapa ngrame), pantang seks dan sebagainya. 7 Menurut tradisi Jawa, mereka yang berhasil menghimpun kekuasaan (energi Illahi) akan menerima wahyu keprabon sebagai legitimasi kepemimpinan berupa cahaya terang berwarna biru, atau hijau, atau putih yang bernama wahyu, pulung atau ndaru. 8 Mereka yang telah menerima wahyu-keprabon menganggap bahwa kekuasaan (jabatan) itu amanah dari Tuhan, dan merupakan tugas suci yang dipercayakan
Tuhan untuk mensejahterakan rakyat, sehingga
menunjukkan pemerintahan yang jujur, adil dan berwibawa di mata rakyat dan dicintai rakyat. 9 Berkenaan dengan itu, Ki Hajar Dewantara memberikan petuah kepada para pemimpin dalam melaksanakan tugasnya dengan semboyan ing ngarsa sun tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani, artinya seorang pemimpin (guru) jika di depan memberikan keteladanan yang baik kepada bawahannya, jika berada di tengah memberi motivasi atau membangkitkan kinerja 6
Anderson Benedict R.O.G; Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan badan penerbit, 1972), hlm. 3-4. 7
Jawa (Tanpa kota dan
Krisnadi, IG., “Wahyu Kraton Miturut Kabudayan Jawa,” dalam Jaya Baya No. 32, 12 April 1998.
8
Soemarsaid Moertono, op. cit., hlm. 59. Benedic Anderson, op. cit., hlm. 5. Lihat IG. Krisnadi, Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa (Makalah Proceeding), Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, Jawa Tengah. 10-14 September 2006. 9
Profesor I.C. Sudjarwadi, Seimbang Unsur Yin dan Yang, dalam Jawa Pos, Radar Jember, Minggu 21 November 2010.
kepada bawahannya agar memiliki kreativitas kerja, dan jika berada di belakang harus memberikan dukungan dan kesempatan kepada bawahannya untuk mandiri. 10 Pangeran Samber Nyawa (Mangkunegara I) memberikan petuah tentang Tri Dharma yang harus diemban seorang pemimpin maupun bawahannya dalam melaksanakan tugas sebagai berikut: (1) rumongso melu handarbeni
(merasa
ikut
memiliki),
rumongso
melu
hangrungkebi
(merasa
ikut
bertanggungjawab) dan mulat sariro hangaroso wani (mawas diri dan berani). 11 Menurut konsep Dewa-Raja, para raja Jawa memiliki kesaktian yang identik dengan kesaktian para dewa, sehingga mereka mendapat sebutan Gusti kang mangejawantah, artinya Tuhan yang berkuasa atas bumi yang bersatu dengan rakyat (Manunggaling kawula-Gusti). 12 Raja yang demikian memiliki sifat-sifat Tuhan, sehingga kekuasaan raja tan-winates (absolut). Apa yang diucapkan raja adalah titah atau perintah yang tidak terbantahkan dan harus dilaksanakan oleh rakyatnya. Hal ini karena titah raja identik dengan kehendak Tuhan (titah Gusti), sehingga mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat.
13
Barang siapa tidak
melaksanakaan titah Gusti, dianggap mbalelo (subversif), dan dipapag perang. 14 Menmurut Kyai Yasadipura I, raja Jawa yang ideal memiliki sifat Asta Brata (delapan kebijaksanaan) yang meliputi: (1) Memiliki sifat dermawan yang tidak terbatas seperti yang dimiliki Dewa Endra; (2) Mampu memberantas segala kejahatan seperti yang dimiliki Dewa Yama; (3) Mampu memerintah bijaksana dan mengajak rakyatnya hidup suci seperti yang dimiliki Dewa Surya; (4) Memiliki rasa cinta kasih baik terhadap rakyat maupun para musuhnya seperti Dewa Candra; (5) Mampu berpikir cerdas dan teliti seperti yang dimiliki Dewa Bayu; (6) Senang memberi pakaian, makanan, tempat tinggal dan hiburan bagi rakyat seperti yang
10
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 246. 11
Hardiyanti Rukmana, Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatining Becik (Tanpa kota, badan penerbit, 1987), hlm. 203. 12
Wawancara dengan I.C. Sudjarwadi, Jember 25 April 2011.
13
Soenarto Timoer, 1989. “Kajian Literer Unsur Keterbukaan Nilai Budaya Tradisional Jawa.” Makalah Seminar Nasional Keterbukaan Budaya di Universitas Jember, 15-16 Nopember 1989. 14
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 64.
dilakukan Dewa Kuwera; (7) Bisa menyelesaikan segala permasalahan sesulit apapun seperti dilakukan Dewa Baruna; (8) Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta memiliki semangat membara untuk memberantas segala kejahatan seperti Dewa Brama. 15 Tujuan hidup menurut falsafah Timur adalah perjuangan untuk mencari pelepasan dari segala napsu duniawi yang membelenggu jiwa dalam perjalanan menuju kehidupan kekal di surga. Mereka berpaling dari dunia ini dan memfokuskan diri kepada kehidupan kekal di akherat. 16 Falsafah tersebut memandang dunia bukan sebagai obyek penelitian atau sebagai sumber eksplorasi guna meningkatkan kesejahteraan manusia, melainkan sebagai sesuatu yang membelenggu jiwa dalam melakukan ziarah kehidupan menuju sangkan paraning urip, 17 sehingga tidak silau terhadap cumloroting kencana (harta duniawi), gemerincinge ringgit (uang) maupun sumilaking jarit (napsu birahi). 18 Mereka memaknai hidup di dunia hanyalah sebentar (mampir ngombe), dan dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan sebagai bekal hidup kekal di surga. Mereka beranggapan, bahwa kesejahteraan hidup manusia bukan terletak pada tingkat penguasaan materi (kekayaan duniawi), melainkan ditentukan oleh seberapa jauh kemam-puan seseorang dalam membebaskan diri dari ikatan duniawi. Orang-orang Jawa di masa lalu menjaga kehidupannya dengan konsep keseimbangan (harmoni) antara jagad gede (makro kosmos) dan jagad cilik (mikro kosmos). Berkenaan dengan itu, mereka berkewajiban untuk memayu-hayuning bawana langgeng, artinya
mereka
mempercantik kehidupan dunia dengan senantiasa menjaga kelestarian alam dan hidup ramah lingkungan. 19 Hal ini karena alam adalah sumber kehidupan, sehingga sudah selayaknya untuk dilestarikan termasuk menjaga keberlangsungan hidup ekosistem dan aneka ragam kekayaan hayati. Jika manusia merusak lingkungan alam, irama kosmos terganggu, sehingga tidak tercipta
15
Soemarsaid Moertono, op. cit., hlm. 52. C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat. Diterjemahkan Dick Hartoko. (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1978), hlm. 105-113. 16
17
Sangkan paraning urip, artinya manusia itu berasal dari Tuhan dan kembali ke Tuhan. Wawancara dengan I.C. Sudjarwadi, Jember 25 April 2011. 18
IG. Krisnadi, Mbok Randha Kenapa ing Wengi Iki Sliramu Nlilir, dalam majalah Dharma Wanita XV, 1993, Universitas Jember. 19
Wawancara dengan Spiritualis, I.C. Sudjarwadi, 25 April 2011.
keharmonisan hubungan makro kosmos dan mikro kosmos,
maka akan menimbulkan bencana
alam. 3. Penetrasi Budaya Barat Menjebol Tatanan Masyarakat Falsafah Barat menganggap dunia sebagai obyek penelitian, dunia sebagai obyek eksplorasi demi kesejahteraan hidup manusia. Tampaknya falsafah Barat memindahkan standar kesejahteraan manusia dari kesejahteraan rohani (falsafah Timur) ke dalam kesejahteraan jasmani melalui ekploitasi dunia (penguasaan harta duniawi). Hal ini membuka peluang bagi manusia untuk merusak kelestarian alam, serakah terhadap lingkungan, sehingga irama kosmos terganggu, selanjutnya menimbulkan bencana alam. Demi penguasaan harta duniawi, membuka ruang tergerusnya moralitas bangsa yang membuka kesempatan bagi “jabang bayi” korupsi tumbuh dan berkembang dalam stadium membudaya di setiap aspek kehidupan. Sejarah telah mencatat, perjumpaan kebudayaan satu dengan kebudayaan lain menghasilkan perkembangan kebudayaan yang gemilang. Perkembangan kebudayaan di Eropa Barat misalnya, merupakan hasil pertemuan dengan kebudayaan Islam di dalam rangka Perang Salib. Timbulnya Renaissance di Italia Utara lantaran penemuan kembali kebudayaan Yunani klasik. Di Indonesia perjumpaan kebudayaan asli Indonesia dengan kebudayaan Hindu, Budha dari India menghasilkan bangunan monumental seperti Candi Borobudur, Prambanan. Hal ini menunjukkan betapa besar manfaat serta kemajuan yang dimungkinkan oleh pertemuan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Menurut Soedjatmoko, vitalitas kebudayaan suatu bangsa dalam menjalin dialog dengan kebudayaan lain dibuktikan oleh kemampuannya untuk dirangsang oleh pengaruh-pengaruh luar, kearah suatu kreativitas yang lebih besar. Vitalitas suatu bangsa juga dicerminkan dari keberaniannya untuk menjalankan eksperimen-eksperimen dan mencoba jalan baru yang belum terdapat dalam kebudayaan asli. 20 Lantas
bagaimana
budaya nusantara berdialog dengan budaya Barat? Penguasaan Portugis atas Malaka (1511) membuka kesempatan bangsa ini untuk menguasai jalur pelayaran nusantara dengan menguasai pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527. 21
20
Soedjatmoko, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, Cetakan Ketiga, 1988), hlm. 46-47). 21
Parakitri T. Simbolon, Akar-akar Kebangsaan Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1995), hlm. 31.
Namun Kerajaan Demak yang diharapkan dapat membendung kolonialisme Barat di nusantara malah semakin lemah, lalu pudar akibat suksesi diantara raja-rajanya. Kekuatan Eropa yang datang berikutnya yaitu Belanda jauh lebih kuat daripada Portugis dan Spanyol. VOC (Belanda) datang pertama kali di nusantara (Ujung Kulon, Banten) pada 22 Juni 1596 dengan tujuan berdagang, namun selanjutnya menguasai kota-kota pelabuhan penting di jalur perdagangan di nusantara seperti: Malaka (1641), Batavia (1642), Maluku (1655), Minahasa (1658), Gorontalo (1677), Mataram (1667), Makasar (1669), Palembang (1662). 22 Selanjutnya Belanda tidak puas hanya berdagang di nusantara akhirnya nusantara dijadikan daerah jajahannya hingga kedatangan balatentara Jepang pada tahun 1942. Masa kolonial Belanda di nusantara merupakan masa penetrasi budaya Barat terhadap budaya nusantara. Di dalam perjumpaan dengan budaya Barat, budaya nusantara yang bersifat profan kehilangan vitalitas adaptif dan kreatif dalam berdialog dengan budaya Barat yang sekuleristik. Sistem nilai budaya nusantara maupun
pranata sosial yang telah ada jebol
menghadapi gelombang budaya Barat. 23 Bersamaan dengan kehadiran Belanda di nusantara, terjadi kesibukan internal raja-raja lokal dalam perang suksesi, menunjukkan kekuasaan tradisional
sedang dipertanyakan.
24
legitimasi
Para pesaing tahta kerajaan (usurpator)
mengklaim bahwa dirinya sebagai Ratu Adil yang telah memperoleh restu Illahi yang akan menyelamatkan rakyat dari ketidakadilan dan kejahatan dunia, dan akan mendirikan pemerintahan yang damai, adil dan makmur. Sejarah pemberontakan-pemberontakan setempat di Jawa tidak hanya zaman kolonial tetapi juga pasca-kemerdekaan, menampilkan pemimpinpemimpin yang di-lambangkan oleh rasa kekecewaan dan keputusasaan menghasut para pengikutnya untuk berontak atas nama Ratu Adil.
25
elite politik
lalu
Tampaknya para elite politik
tidak lagi menghimpun kekuasaan Illahi dengan bermatiraga atau mensucikan diri, namun mereka saling mengklaim bahwa wahyu keprabon atau restu Illahi sudah “dikantonginya.”
22
23
Ibid., hlm. 47-48. Sartono Kartodirdjo, Ibid., hlm. 66-67.
24
Fachry Ali, Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 44-45. 25
Soedjatmoko, op. cit., hlm.81.
Kondisi semacam ini diperparah dengan
penetrasi budaya Barat yang sekuleristik
menawarkan “kenikmatan duniawi” dan keserakahan kaum kapitalis dalam mengeksploitasi dunia, meluluh-lantakkan tatanan masyarakat, sehingga menyebabkan krisis moral melanda bangsa ini dan masyarakatnya memasuki zaman kegelapan (kalatidha). Hal ini terjadi ketika kekuasaan politik dan ekonomi Belanda semakin kuat tertanam di bumi nusantara khususnya di Jawa pada tahun 1870-an. Berkenaan dengan itu, Raden Ngabehi Ronggowarsito bernada sangat putusasa menggambarkan kalatidha yang terjadi pada zamannya dengan rangkaian syair dalam Serat Kalatidha berikut ini: “Mangkya darajating praja/ Kawuryan wus sunya ruri/ Rurah pangrehing ngukara/ Karana tanpa palupi/ Ponang parameng kawi/ Kawelwiting tyas maladhung/ Kungas kassudranira/ Tidem tandaning dumadi/ Ardayeng rat dening karoban rubeda.//Ratuneratu utama/ Patihe patih linuwih/ Pranayaka tyas raharja/ Panekare becik-becik/ Parandene tan dadi/ Paliasing kala bendu.//Amenangi zaman edan/ Ewuh ayahing pambudi/ Melu edan nora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Boya kaduman melik/ Kaliren wekasanipun.… 26 Anderson menterjemahkan syair ini secara bebas sebagai berikut: “Adapun derajat negara/ tampak sudah sunyi senyap/ penguasaan kalimat (sudah) mundur/ karena tiadanya teladan/ adapun sang pujangga utama/ terbelit oleh hati yang penuh cinta (duniawi)/ tersiar kerendahan derajatnya/ padam segala tanda kehidupaan/ terasakan dunia banjir kemalangan.// Rajanya raja utama/ patihnya patih yang cakap/ para pengawal berhati tenteram /penjaga keamanannya baik-baik/meskipun demikiaan (mereka) tidak menjadi/penolak akan kemurkaan sang Kala….// Mengalami zaman gila/ sulit berusaha untuk menggunakan akal budi/ mau ikut gila tak tahan/ (tetapi) jika tidak ikut menjalani/ apakah akan mendapat bagian pemilikan/ akhirnya jadi kelaparan…//” 27 Menurut Anderson, syair tersebut menggambarkan keruntuhan raja-raja Jawa. Ia berpendapat, menurut “jalan pemikiran” Jawa tradisional, apabila rajanya raja utama (Ratuneratu utama), patihnya mencintai kebenaran (Patihe patih linuwih), maka kosmos dan masyarakat semestinya dalam keadaan damai/tentram. Tetapi sebagaimana yang diperlihatkan dalam syair itu justru menggambarkan hal yang sebaliknya. Satu kata dahsyat parandene (meskipun demikian) mengekspresikan keputusasaan mendalam Ronggowarsito terhadap tradisi, ke-sadaran bahwa alam pemikiran yang lama tentang dunia tidak lagi dianggap sah, irama kosmos telah
26 27
Ibid., hlm. 41. Ibid., hlm. 42.
menjadi tidak karuan, dan “kuasa” orang Jawa melemah.
28
Menurut Anderson, penyair tua yang
tahun 1873 tinggal menanti kematiannya berbicara tentang kengeriannya bahwa masa ini adalah masa kegelapan yang mungkin tiada berakhir. 29 Namun ada ruang terbuka untuk mengkritik syair tersebut secara kontekstual. Ronggowarsito sebagai penyair istana sudah sewajarnya “ngelus-elus tungkake raja” 30 dengan memuja-muja “kebaikan” raja dan para pejabat kerajaan. (Ratune-ratu utama/ Patihe patih linuwih/ Pranayaka tyas raharja/ Panekare becik-becik), karena segala kebutuhan hidupnya dipenuhi raja. 31 Bukankah kemerosotan moral rakyatnya sebagai pertanda kegagalan raja beserta para pemimpinnya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Namun sejarawan Sartono Kartodirdjo lebih bernada optimis dalam memandang kalatidha. Ia berpendapat bahwa kalabendu sebagai pertanda datangnya Ratu Adil yang “diutus” Tuhan untuk menyelamatkan dunia 32 yang telah rusak karena dosa-dosa manusia. Tawaran kenikmatan duniawi dari budaya Barat yang sekuleristik termasuk keserakahan kaum kapitalis dalam mengekploitasi dunia sebagai penyebab datangnya kalabendu. Menurut Michael Addas, kalabendu sebagai masa yang menunjukkan alam semesta semakin bertambah tua, masyarakat Jawa berharap datangnya Ratu Adil untuk meremajakan alam semesta beserta isinya. 33 4. Strategi Budaya Membangun Indonesia Bermartabat 4.1 Tobat Nasional (Rekonsiliasi Nasional) Dasar pemikiran budaya Jawa membenarkan masa krisis yang menimpa bangsa Indonesia pada saat ini, karena “dosa-dosa” sejarah di masa lampau. Menurut Permadi SH, 28
Ibid., hlm. 43. Ibid. 30 Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: Catatan-catatan dari Pulau Buru (Kuala Lumpur: Wira Karya, 1995), hlm. 39. 29
31
IG. Krisnadi, Historiografi Indonesia Tradisional (Buku Ajar) (Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Jember, 2007), hlm. 33. 32
Sartono Kartodirdjo, “Lembaran Sedjarah Indonesia No. 7; Messianisme dan Millenarisme dalam Sejarah Indonesia.” (Jogjakarta, Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan UGM, 1971), hlm. 14. 33
Addas Michael, Ratu Adil, Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa (Jakarta, Rajawali, 1988), hlm. 56.
tradisi Jawa
mewariskan ajaran ruwatan massal (pertobatan nasional). 34 Melalui pertobatan
nasional, Tuhan memberi pengampunan atas dosa-dosa warisan sejarah seperti penghilangan nyawa, penganiayaan maupun pembunuhan karakter terkait dengan Peristiwa Madiun 1948, Tragedi G.30.S 1965, Peristiwa Tanjung Priok, atau peristiwa-peristiwa berdarah lainnya. Sebagai tindakan nyata atas pertobatan, dituntut keberaniannya untuk menyelesaikan secara tuntas persoalan warisan sejarah. Jika terbukti PKI terlibat dalam Peritiwa Madiun 1948 atau Tragedi G.30.S 1965, semestinya diselesaikan dulu secara hukum. Demikian juga jika Soeharto bersama kliknya terbukti sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana dalam Tragedi G.30.S 1965 hingga menjalar ke daerah-daerah?, dan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuangan 9.957 tapol ke Kamp Konsentrasi Buru selama 10 tahun (1969-1979) tanpa melalui proses peradilan, 35 harus diselesaikan secara hukum. Presiden RI, Abdurahman Wahid pernah mengatakan agar reformasi dan demokratisasi berjalan sebagaimana mestinya, maka Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan terhadap PKI dan ormas-ormasnya beserta ajaran Marxis-Leninis, harus dihapus. Bukankah melarang pikiran orang (Marxis-Leninis) itu selain melanggar HAM juga bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi. Kalau tap tersebut masih dipertahankan, berarti penyelenggaraan demokrasi di Indonesia minus-PKI, pada hal demokrasi tidak mengenal minus-minusan. Demokrasi mengakui setiap warga negara memiliki hak yang sama. Jika mereka yang anti-PKI diberi kebebasan berpolitik, maka yang PKI juga harus menerima hak yang sama. Ini diskriminatif, padahal demokrasi tidak mengenal diskriminatif. Orang-orang PKI juga warga negara RI, di masa revolusi, saling bahu-membahu melawan kolonial Belanda, dan pada pasca-revolusi mereka berjuang membela kaum tani dan buruh yang tertindas. Setelah semua persoalan diselesaikan secara hukum, selanjutnya dibawa ke Rekonsiliasi Nasional dengan memaafkan bagi mereka yang bersalah. Bukankah sikap saling memaafkan itu sebagai tindakan terpuji? Setelah itu, bangsa ini tanpa beban lagi (beban dosa) menatapkan ke depan untuk membangun Indonesia yang bermartabat dengan menyelenggarakan sistem pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa.
34
Jawa Pos, 22 Desember 1997.
35
IG. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979) (Jakarta: LP3ES, 2001), hlm.185.
4.2 Menyelenggarakan Pemerintahan yang Bersih, Jujur, Adil, dan Berwibawa Pelaksanaan tobat nasional (Rekonsiliasi nasional) yang tulus dan ikhlas, membuka kesucian batiniah sebagai modal untuk membangun Indonesia yang bermartabat dengan niat suci menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa. Melalui penegakan supremasi hukum dan pengawasan dari rakyat, proses
pelaksanaan recruitment pegawai,
promosi jabatan atau job-discription dilakukan secara profesional, jujur, adil, dan harus bersih dari KKN. Para pemimpin (pejabat) maupun karyawan selain menjunjung tinggi semangat profesionalisme dan menunjukkan kinerja secara optimal, mereka juga harus dekat dengan wahyu Illahi. Pemimpin (pejabat) atau karyawan yang dekat dengan wahyu Illahi, bukan hanya menjadi pemimpin karena uang dan menggunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Melainkan mereka bekerja dalam bimbingan ayat-ayat Tuhan demi kepentingan kesejahteraan rakyatnya, sehingga penyelenggaraan pemerintahannya berwibawa di mata rakyat, karena dicintai rakyat, maka jadilah negeri ini sebagai wahyawibawa graha. 36 4.3 Menegakkan Supremasi Hukum Supremasi hukum di negeri ini sangat lemah dan memprihatinkan. Hukum telah diperjual-belikan, sehingga rakyat yang mencari keadilan dan kebenaran di negeri ini sulit untuk mendapatkannya. Para penegak hukum telah membela mereka yang membayar daripada melaksanakan tugas utamanya sebagai pembela keadilan dan kebenaran. Seakan-akan hukum di negeri ini tumpul ketika menghadapi para koruptor, namun akan menampakkan ketajamannya “setajam silet” ketika menghadapi janda tua pencuri coklat, dan rakyat lainnya yang tidak mempunyai kekuasaan dan uang atau terhadap siapa saja yang akan membongkar para koruptor. Kasus Bank Century yang dianggap akan membahayakan pemerintah yang sedang berkuasa dibiarkan ngambang. Untuk menghadapi para penegak hukum yang bersekutu dengan “setan” (koruptor), dipersilahkan rakyat berjihad fi sabilillah terhadap musuh Tuhan dan musuh rakyat. Misal melakukan pengawalan dan pressure berat terhadap para hakim di setiap persidangan. Bukankah rakyat pernah berhasil membebaskan Prita?, mengapa jihad semacam ini tidak diteruskan?
36
IC. Sudjarwadi., lockcit.
4.4 Gerakan Kultural Pemberantasan Korupsi Penyakit korupsi yang telah melanda bangsa Indonesia masuk dalam stadium “membudaya,” dengan penyebaran ke seluruh jaringan kehidupan. Untuk menyembuhkan penyakit korupsi yang sudah kronis, selain diperlukan penegakan supremasi hukum dengan menghukum seberat-beratnya para koruptor, dan “menghadiahkan” hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap, pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui gerakan kultural di dalam lingkungan keluarga, tetangga maupun lingkungan kerja (kantor). Misal jabatan RT atau RW yang tidak digaji, membuka peluang praktik korupsi melalui berbagai praktik pungutan liar dalam pengurusan kerja administrasi. Cara penyelesaiannya pihak pemerintah segera mencarikan dana untuk pemberian gaji/honornya. Walaupun digaji, namun berlangsung, bisa dicegah
praktik korupsi masih
dengan tidak mengikuti arus memenuhi pungutan itu meski
jumlahnya kecil. Keluarga atau ibu rumah tangga juga bisa melawan korupsi dengan mendidik anaknya supaya selalu jujur, berkata benar dan bertindak apa adanya. Istri jangan memaksakan gaya hidup mewah apabila tidak sepadan dengan penghasilan suami. Pendidikan keluarga dan budaya di dalam rumah menjadi salah satu kunci penting untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi. 37 Budaya pemakluman atau membiarkan penyimpangan, membuat praktik itu kian tumbuh di masyarakat. Kecurangan dalam hal-hal kecil perlahan-lahan mengental menjadi perilaku korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Dalam dunia pendidikan misalnya gejala itu terlihat dari kecurangan, nyontek atau membocorkan soal ujian nasional (Unas). Misal aparat menghimbau para pengawas Unas jangan galak atau jangan terlalu ketat mengawasi para peserta Unas. Atau guru, murid maupun orangtua seakan memaklumi perilaku menyimpang agar anaknya memperoleh prestasi formal. Pada hal semua itu menjadi bibit korupsi di kemudian hari. Sebagian kalangan pendidik mengejar prestasi instan yang lebih mementingkan hasil daripada proses, sehingga mengorbankan nilai etika penting seperti kejujuran atau kebenaran. Itu sebagai benih korupsi. Ketika korupsi sudah demikian berurat di tengah masyarakat dan birokrasi, gerakan politik dan hukum tidak cukup untuk memeranginya, sehingga diperlukan gerakan lebih sistematik yaitu lewat pendidikan. Kaum perempuan, keluarga dan lembaga pendidikan dari
37
Perangi Lewat Keluarga, dalam Kompas, Minggu 24 April 2011.
tingkat Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi harus turut menanamkan nilai-nilai budaya anti korupsi sejak dini, seperti pendidikan budi pekerti, kedisiplinan, kepatuhan. 38 Peran Media cetak maupun elektro sangat membantu dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Melalui penayangan di media elektro maupun cetak tentaang ajakan kepada masyarakaat luas untuk berjihat fi sabilillah melawan korupsi sebagai musuh Tuhan dan musuh rakyat dilakukan secara terus-menerus. Tema aakan berjihad fi sabilillah melawan korupsi dapat dikemas dalam berbagai acara. Misalnya melalui sinetron, iklan,, dialog interaktif, acara hiburan maupun pementasan seni dan sebagainya. Hal ini harus dilakukan terus-menerus sampai tercipta image anti-korupsi di kalangan masyarakat luas. Masyarakat semakin sadar bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme itu sebagai tindakan tercela, haram, musuh rakyat dan dimurkai Tuhan. Images semacam ini melekat dalam hati sanubari rakyat dan menyatu dalam kepribadiannya, sehingga dapat dijadikan sebagai senjata ampuh dalam memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. 4.4 Membudayakan Rasa Malu Terhadap Perbuatan Tidak Terpuji Bangsa Indonesia pada zaman ultramodern yang ditandai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah kehilangan “harta pusaka” yang tercabut dari kalbu yaitu rasa malu. Seiring hilangnya rasa malu, manusia tidak malu melakukan perbuatan yang semestinya sangat memalukan bagi mereka yang berakal sehat dan berjiwa bersih. Pemudapemudi tidak malu bercumbu mesra di depan orang banyak. Suami-istri tidak malu berselingkuh dengan PIL atau WIL-nya. Mahasiswa atau pelajar tidak malu melakukan hubungan seksual pranikah. Para pemimpin tidak malu mempertahankan jabatannya sekalipun telah banyak berbuat salah bahkan menjadi narapidana. Para anggota dewan di tingkat kabupaten, propinsi atau pusat tidak malu bancakan uang negara. Demikian juga para pejabat eksekutif dari tingkat kelurahan sampai pusat tidak malu menjarah uang subsidi kas daerah, bantuan operasional daerah, bantuan operasional sekolah, APBD, APBN, dan subsidi-subsidi lainnya. Mereka tidak merasa bersalah atau berdosa pada saat melakukan pelanggaran tersebut. Berkenaan dengan itu, Ebiet G.A.D dalam lagunya berjudul Berita kepada Kawan telah menyindir perbuatan tidak terpuji para pejabat maupun masyarakat dalam syairnya “selalu salah dan bangga dengan dosa-
38
Ibid.
dosa.”Akibatnya, kata Ebiet dalam syair tersebut “Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.”39 Jika para pejabat atau pemimpinnya dan bahkan rakyatnya sudah tidak memiliki rasa malu, kehancuran atau kebinasaan negeri itu pun tinggal menunggu waktu. Senyampang kehancuran belum terjadi, seluruh elemen negeri ini terutama yang waras harus terpanggil untuk segera berjihad fi sabilillah untuk menggalakkan kegiatan pembelajaran, pemahaman, penyadaran dan penghayatan bahwa rasa malu berbuat tidak terpuji merupakan modal yang sangat berharga untuk membangun Indonesia bermartabat. Sebaliknya dalam hal-hal baik/positip, manusia tidak boleh malu melakukannya. 4.5 Membudayakan Rasa Cinta Produk Dalam Negeri dan Bangga menjadi Bangsa Indonesia. Era globalisasi yang ditandai kemajuan pesat di bidang teknologi, komunikasi dan informasi, telah menggerus kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini tampak semakin terkikisnya perasaan
bangga menjadi bangsa Indonesia dan semakin menipisnya kebanggaan terhadap
produk-produk bangsanya. Para pemuda-pemudi kita lebih menyukai musik Barat yang dianggap modern daripada musik-musik tradisional milik bangsanya yang dianggap kuna. Anak-anak Indonesia merasa bangga (senang) bermain robot, senapan, mobil-mobilan bikinan luar negeri, dan merasa betah berlama-lama bermain game di depan komputer daripada
bermain
gobaksodor, egrang, benthik, gasing, dan mainan tradisional lainnya milik bangsanya yang dianggap ketinggalan zaman. Kita lebih bangga mengunjungi restaurant-restaurant asing yang dianggap dapat menaikkan gengsi (prestise) daripada makan di rumah makan tradisional yang dianggap kurang prestise. Dalam hal pakaian, sepatu, atau barang-barang kosmetik, orang-orang Indonesia lebih senang (bangga) produk luar negeri daripada produksi dalam negeri yang selalu dianggapnya kurang modis atau berkualitas rendah. Di bidang otomotif, produk Jepang telah membanjiri Indonesia dan memonopoli pemasaran di negeri ini. Demikian juga perfilman asing telah membanjiri negara Indonesia dan keberadaan industri perfilman kita merasa asing di negeri sendiri. Fenomena semacam ini menunjukkan bangsa Indonesia secara kultural dan ekonomi terjajah oleh kapitalisme asing. Kondisi semacam ini menunjukkan keprihatinan yang amat 39
Sugiono, Teologi Malu, dalam Jawa Pos Minggu 24 April 2011.
mendalam, dan tidak boleh dibiarkan terus-menerus, segera kita membangun Indonesia yang bermartabat dengan mengembangkan rasa cinta terhadap produk-produk bangsa Indonesia yang pada akhirnya akan bangga menjadi bangsa Indonesia. Jangan biarkan produk-produk kapitalis asing menguasai negeri ini, dan harus ditolak dengan menggelorakan gerakan kultural melawan untuk menanamkan rasa cinta produk-produk bangsanya (swadeshi), 40 maupun bangga menjadi bangsa Indonesia melalui aksi-aksi nyata. Gerakan kultural tersebut dapat dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat maupun lingkungan kerja. Peran orang tua, guru, ulama, dan para pemimpin formal maupun non formal sangat penting dalam menanamkan kesadaran terhadap anak-didik maupun bawahannya untuk melakukan aksi nyata mencintai produk bangsanya dan bangga menjadi bangsa Indonesia yang bermartabat. 4.6 Pengembangan Ipteks Berwawasan Kemanusiaan Peran Ipteks dalam masyarakat bersifat ambigo, di satu sisi membawa perbaikan kualitas hidup, di sisi lain menghancurkan martabat manusia. Menurut Mohandas K. Gandhy, perkembangan Ipteks akhir-akhir ini telah menimbulkan persoalan etik terkait dengan penyalahgunaan kewenangan Ipteks yang merugikan masyarakat, sehingga perlunya dibentuk sikap etik yang jelas dan tegas dalam pengembangan Ipteks. 41 Berkenaan dengan itu, H.A.R. Tilaar menawarkan delapan pengembangan Ipteks berdasarkan nilai moral sopan-santun, hukum dan kemanusiaan seperti pada kolom berikut ini:
40
41
Syed Abid Husain, Gandhi Sebuah Otobiografi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1978), hlm. 437.
Soerjanto Poespowardojo, Etika Keilmuan, (Makalah). Dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa yang diselenggarakan Kementerian dan Pariwisata di Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat pada 16-18 Desember 2003., hlm.1.
Delapan Asas Pengembangan Ipteks Menuju Bangsa yang Bermartabat 42 Asas-asas Pengembang an
Nilai-nilai Moral
Langkah Pengembangan
Sopan-santun
Hukum
Kebebasan dan kewajiban akademik
- Menghargai silang pendapat
- Dijamin hukum selama tidak menghasut, menyerang pribadi, tidak susila.
Dijadikan budaya lembagalembaga riset dan perguruan tinggi.
Cinta originalitas
- Memberantas plagiatisme dalam penemuan Ipteks.
Memberantas penggunaan gelar akademik palsu.
Adanya hukum dan peraturan melarang jual-beli gelar akademik dengan sanksi berat.
- Kebebasan menyatakan pendapat
Mengabdi kepada harkat dan martabat manusia serta kelangsungan hidup manusia berdasarkan Pancasila.
- Memberantas pemalsuan gelar akademik. Tugas mentor dalam proses pengembang an Ipteks
- Menuntun mahasiswa/peneliti muda. -Menghargai kredibilitas sejawat
Kemanusiaan
Adanya kerjasama antara guru besar maupun para peneliti dalam pengembangan Ipteks.
teman
Kewajiban mengajar/me neliti/pengab dian kepada masyarakat
-Tugas utama dosen/peneliti adalah mengajar, meneliti dan bukan dalam birokrasi pemerintahan atau kegiatan lainnya.
Meningkatkan an/status dosen
Menemukan hal-hal baru (Riset)
-Menghargai tenagatenaga peneliti yang kreatif dan inovatif.
Meningkatkan penghargaan dan status tenaga peneliti.
Mencari dan menemukan kebenaran
-Tidak memanipulasi data untuk kepentingan pribadi atau politik.
Publikasi ilmiah
- Kejujuran ilmiah. Bukan sekedar menyebarkan informasi, tetapi untuk pengembangan Ipteks
Mengabdi kepada kemajuan masyarakat dan kema-
Ipteks yang memajukan masyarakat luas dan kemanusiaan.
pengharga-
- Pengakuan atas HAKI/Paten
Depolitisasi dan dekorporatisasi pendidikan tinggi
- Hukuman setimpal bagi para pembajak Ipteks.
- Penghargaan setimpal terhadap publikasi ilmiah, penulis dan para penemu Ipteks. - Perbanyak jurnal ilmiah dan buku-buku ilmiah.
Melarang penelitian yang tidak manusia-wi seperti clo-ning, weapons of mass
- Menghindari proses McDonaldisasi pendidikan tinggi - Bahaya “corporate cultu-re”
42 H.A.R. Tilaar, Etika Keilmuan: Pengembangannya dalam Dunia Akademik di Indonesia (Makalah), dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa, oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, di Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat pada 16-18 Desember 2003., hlm. 4-7.
nusiaan
destruction.
memasuki pendidikan tinggi
4.7 Membangun Etika Sosial yang Berlandaskan Agama Undang-undang antikorupsi, pembentukan KPK, dan pranata hukum serta kebijakan politik dirasa tidak mampu mencabut akar budaya korupsi yang telah mendarah daging. Rendahnya etika, hilangnya komitmen terhadap budaya tanpa kekerasan dan penghormatan terhadap hidup, menyebabkan korupsi, suap, kolusi, nepotisme di kalangan pejabat negara, dan di kalangan bawah banyak praktik demoralisasi dan dehumanisasi. Agama yang kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial, kerap kali menampakkan wajah fundamentalistiknya. Dengan kata lain, kesulitan dalam mengatasi perubahan sosial dapat menyebabkan agama kehilangan pengaruh dan relevansinya. Pada saat yang sama muncul kesadaran kuat bahwa kehidupan tidak mungkin dibiarkan berkembang liar tanpa bimbingan agama. Oleh karena agama-agama akan memainkan peran lebih efektif dan luas serta harus memiliki sumber-sumber spiritual, intelektual dan etika untuk menyediakan jawaban, solusi dan respons yang cocok dengan isu-isu masa kini. Andaikan agama-agama gagal dalam mengemban misi baru yang bersifat profit untuk memberikan proper gidence (panduan yang tepat) sekaligus rancangan aksi holistik, maka kevakuman spiritual dan moral akan diisi oleh “agama-agama baru” yang berwajah sangar seperti gerakan mistisisme, terorisme, pengkultusan sekte, SARA. Kesadaran moral-spiritual yang menstransendensikan loyalitas personal, rasial dan etika kebangsaan diyakini lebih efektif dibanding pranata hukum dalam menekan korupsi atau berbagai bentuk ketidakadilan. Agama tidak hanya menjadi wilayah elite tertentu yang membicarakan masalah-masalah “langit,” melainkan menjadi milik rakyat yang mengangkat tema-tema “bumi” sebagai tempat kita berpijak. 43 Oleh karena itu, hendaknya negara membuka ruang bagi ekspansi etika berbasis agama dan nilai-nilai spiritual ke dalam dunia bisnis, profesi, industri, institusi pendidikan, media, politik dan hubungan internasional. Untuk itu, pihak pemerintah memfasilitasi pertemuan para
43
Muhammad Luthfi, Agama dan Etika Sosial (Makalah), dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, di Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat pada 16-18 Desember 2003., hlm. 2.
tokoh lintas agama untuk menanggulangi bahaya globalisasi dengan membangun etika sosial yang berbasis agama. Etika ini memberikan dasar moral bagi tatanan individu dan global yang lebih baik. Etika sosial yang akan dibentuk tersebut bukanlah agama baru atau tandingan atas agama yang sudah ada selama berabad-abad. Etika sosial tersebut bukan ideologi, sinkritisme atau penyatuan dari semua agama, dan bukan pula dominasi satu agama atas yang lainnya. Etika sosial tersebut akan menjadikan agama dan kepercayaan sebagai sumber nilai untuk dijadikan standar etika yang mengikat. Hal ini didasarkan pertimbangan adanya kesamaan pandangan agama tentang cinta kasih, kebajikan, keadilan, dan menentang setiap bentuk kekerasan. 5. Simpulan Falsafah cakra manggilingan memandang gerak sejarah berulang. Peristiwa di masa lalu akan terjadi lagi di masa kini, peristiwa masa kini akan berulang pada masa mendatang. Dalam tradisi Jawa, masa krisis yang terjadi pada saat ini sebagai perulangan masa krisis (kalabendu) di masa lampau. Menemu-kenali kearifan lokal etnik Jawa dan mencari faktor penyebab kalabendu di masa lampau dapat dijadikan referensial menyusun strategi budaya dalam membangun Indonesia yang bermartabat. Kearifan lokal Jawa mengisyaratkan munculnya kalabendu sebagai masa kutukan Tuhan karena dosa-dosa umatnya, dan tradisi Jawa mengisyaratkan ruwatan massal sebagai bentuk permohonan pengampunan atas dosa-dosa manusia kepada Tuhan agar diperoleh batin yang suci untuk mengakhiri kala bendu. Tobat nasional/rekonsiliasi nasional menjadi pilihan utama dalam penyusunan strategi budaya. Penyelenggaraan pemerintahan yang jujur, bersih, adil, transparan dan berwibawa, dibarengi penegakan supremasi hukum, gerakan kultural pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, dan pengembangan budaya malu terhadap perbuatan tidak terpuji di kalangan keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengembangkan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia dan mencintai produk bangsanya, pengembangan Ipteks berwawasan kemanusiaan, dan membangun etos sosial yang berlandaskan agama diyakini dapat mengakhiri masa krisis dan mampu membangun Indonesia yang bermartabat.
6. Daftar Pustaka Ali Fachry, 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Anderson Benedict R.O.G; 1972. Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Tanpa kota dan badan penerbit.
Jawa.
http:serba-sepuluh.blogspot.com/20…#ixzz1Jb3NOY87 Husain, Syed Abid. 1978. Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksperimen-eksperimenku dalam Mencarai Kebenaran. Jakarta: Sinar Harapan. Jawa Pos, Minggu 24 April 2011, Sudiono, Teologi Malu. Jawa Pos, Radar Jember, Minggu 21 November. Profesor I.C. Sudjarwadi, Seimbang Unsur Yin dan Yang. Kartodirdjo Sartono, 1971. “Lembaran Sedjarah Indonesia No. 7; Messianisme dan Millenarisme dalam Sejarah Indonesia.” Jogjakarta, Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan UGM. Kartodirdjo, Sartono1986. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Kompas, Kamis 21 April 2011, Bukti Baru Antasari: Antasari Sedang Tangani Laporan Dugaan Kasus-kasus Besar. Kompas, Minggu 24 April 2011. Perangi Lewat Keluarga. Krisnadi, IG.,, 1993. Mbok Randha Kenapa ing Wengi Iki Sliramu Nlilir, dalam majalah Dharma Wanita XV, Universitas Jember. Krisnadi, IG.1998.“Wahyu Kraton Miturut Kabudayan Jawa,” dalam Jaya Baya No. 32, 12 April 1998. Krisnadi, IG., 2001. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES. Krisnadi, IG., 2006. Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa (Makalah Proceeding), Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, Jawa Tengah. 10-14 September 2006. Krisnadi, IG., 2007. Historiografi Indonesia Tradisional (Buku Ajar). Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Jember. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia V . Jakarta: PN Balai Pustaka. Michael Addas, 1988. Ratu Adil, Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta, Rajawali. Moedjanto, G., 1987. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Moertono, Soemarsaid 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Muhammad Luthfi, 2003. Agama dan Etika Sosial (makalah), dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat,16-18 Desember. Parakitri T. Simbolon, 1995. Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Peursen Van, C.A., 1978. Orientasi di Alam Filsafat. Diterjemahkan Dick Hartoko. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Poespowardojo, Soerjanto. 2003. Etika Keilmuan (makalah), dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat pada 16-18 Desember. Rukmana Hardiyanti, 1987. Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatining Becik . Tanpa kota, badan penerbit. Soedjatmoko, 1988. Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, Cetakan III. Suradi, HP.1988. Pengungkapan Isi dan latar Belakang Serat Wulang Reh. Jakarta: Depdikbud. Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Tilaar, H.A.R., Etika Keilmuan: Pengembangannya dalam Dunia Akademik di Indonesia (makalah), dipresentasikan dalam Semiloka Etika Kehidupan Berbangsa, oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Hotel Mega Anggrek Jl. Arjuna Selatan No.4, Palmerah, Jakarta Barat pada 16-18 Desember 2003. Toer, Pramoedya Ananta, 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: Catatan-catatan dari Pulau Buru. Kuala Lumpur: Wira Karya. Wawancara dengan I.C. Sudjarwadi, 25 April 2011. -----o0o---