DAMPAK PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH, KHUSUSNYA TENTANG INFORMASI
Oleh: KARMEN TARIGAN NIM : 55408110012
Dosen : DR. Ir Iwan Krisnadi MBA Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Hukum dan Regulasi Telekomunikasi Semester Genap Tahun Akademik 2008 – 2009.
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN TELEKOMUNIKASI JURUSAN TEKNIK ELEKTRO UNIVERSITAS MERCUBUANA JAKARTA 2009
Dampak penerapan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH, khususnya tentang informasi 1. Visi dan Misi. Pada dasarnya Undang Undang dibuat untuk mewujudkan hak azasi manusia sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan bertanggung jawab, adil dan sejalan dengan UUD 45 sperti tertuang dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mernperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa; c. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi; 2. Dasar Hukum dan Regulasi. Tulisan ini mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH Pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI yang menjadi pembahasan adalah : Pasal 40 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41 Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 42 (1). Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya. (2). Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. (3). Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa te!ekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40. Ketentuan pada Pasal 42 ayat 3 didukung oleh PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH, khususnya yang dimuat pada pasal 18 ayat 3c, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 41 dan pasal 42 Pasal 18 (1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
(2) Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut: a. kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah; b. kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko; c. kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah; d. kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis; e. prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan f. kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan. (3) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; b. pembinaan sumber daya manusia; c. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; d. pengendalian fisik atas aset; e. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; f. pemisahan fungsi; g. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; h. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; i. pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; j. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan k. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Pasal 21 (1) Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf c dilakukan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. (2) Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengendalian umum; dan b. pengendalian aplikasi. Pasal 22 Pengendalian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. pengamanan sistem informasi; b. pengendalian atas akses; c. pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi; d. pengendalian atas perangkat lunak sistem; e. pemisahan tugas; dan f. kontinuitas pelayanan. Pasal 23 Pengamanan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a sekurangkurangnya mencakup: a. pelaksanaan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif;
b. pengembangan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya; c. penetapan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program pengamanan; d. penguraian tanggung jawab pengamanan secara jelas; e. implementasi kebijakan yang efektif atas sumber daya manusia terkait dengan program pengamanan; dan f. pemantauan efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan. Pasal 24 Pengendalian atas akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b sekurang-kurangnya mencakup: a. klasifikasi sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya; b. identifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara formal; c. pengendalian fisik dan pengendalian logik untuk mencegah dan menditeksi akses yang tidak diotorisasi; dan d. pemantauan atas akses ke sistem informasi, investigasi atas pelanggaran, serta tindakan perbaikan dan penegakan disiplin. Pasal 25 Pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c sekurang-kurangnya mencakup: a. otorisasi atas fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program; b. pengujian dan persetujuan atas seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan; dan c. penetapan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak. Pasal 41 Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Pasal 42 (1) Komunikasi atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 wajib diselenggarakan secara efektif. (2) Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya: a. menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan b. mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
3. Pokok permasalahan. 3.1. Penyadapan Telepon oleh KPK Penyadapan telepon yang dilakukan KPK menjadi membumi belakangan ini, bahkan kredibilitas KPK menjadi taruhannya. Hal ini dilatarbelakangi pengakuan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang kini berstatus sebagai tersangka atas pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Bahwa, isteri Antasari, Ida Laksmiwati sering menerima telepon teror, disebut-sebut teror itu dilakukan oleh Nasruddin Zulkarnaen dan Rani Juliani. Atas perintah Antasari, tim KPK menyadap beberapa nomor telepon dan sudah sesuai dengan prosedur, berdasarkan surat perintah pimpinan KPK. Perintah ini dibenarkan oleh Pelaksana Harian Ketua KPK, Bibit Samad Rianto bahwa KPK menyadap telepon Rani Juliani, istri Nasrudin Zulkarnaen yang tewas ditembak. Namun, dalam penyadapan ini terjadi keganjalan. Atas kasus ini, maka Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, M Iriawan melakukan penelurusan lebih lanjut untuk mengetahui alasan pengeluaran surat perintah penyadapan yang dilakukan sejak 6 Januari 2009 hingga 12 Maret 2009. Polda Metro Jaya ternyata tidak menemukan bukti ancaman dari nomor yang disadap oleh tim IT KPK, yang merupakan nomor Rani dan Nasrudin Zulkarnaen. Hal ini dibenarkan pula oleh Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah. Chandra menjelaskan, setelah dilakukan pemantauan selama dua kali dalam dua bulan, nomor-nomor tersebut, ternyata pemiliknya bukan Nasruddin dan Rani. "Karena tidak ditemukan adanya indikasi yang terkait dengan kasus dugaan korupsi, maka pada awal Maret 2009, pemantauan pembicaraan telepon tersebut dihentikan dan hasilnya sudah disampaikan pada Antasari," katanya. Namun begitu, perintah penyadapan telepon tadi menjadi bumerang bagi Antasari. Pasalnya, keterlibatan Antasari terhadap pembunuhan Nasrudin semakin kuat, manakala polisi menemukan bukti baru dari penyadapan telepon Rani Juliani dan Nasrudin yang dilakukan oleh tim IT KPK. Selain bukti penyadapan, polisi juga telah mengumpulkan bukti lain, di antaranya rekaman pertemuan yang terekam di CCTV milik tersangka Sigid Haryo Wibisono dan sejumlah keterangan tersangka lainnya yang mengarah keterlibatan Antasari.
"Keterangan sejumlah saksi dari tim IT KPK menunjukkan keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin, karena penyadapan yang dilakukan tidak ada kaitannya dengan kasus korupsi. Yang jelas, isterinya diteror," kata Iriawan. 3.2. Penyadapan telepon oleh KPK tidak langgar Kode Etik Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengatakan, penyadapan pembicaraan telepon seluler yang dilakukan tim penyidik KPK dalam mengungkap kasus korupsi tidak melanggar kode etik, karena sudah sesuai dengan standar operasional prosedural (SOP) KPK. "Penyadapan pembicaraan telepon oleh KPK dilakukan dengan sangat ketat dan hasil diaudit dari tim audit Departemen Komunikasi Informatika dan Telematika (Depkominfo). Pada 2007, tidak ada satupun penyadapan yang melanggar kode etik," tandas Abdullah. Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot Dewa Broto menjelaskan, aturan penyadapan dilarang menurut UU Telekomunikasi (Pasal 40), tetapi dikecualikan atau dibolehkan untuk keperluan penyidikan (Pasal 42 ayat 2). "Dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi menyebutkan setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun," katanya kepada media Pasal ini, ujar Gatot, perlu dijelaskan untuk meniadakan kecemasan pengguna telekomunikasi atau media komunikasi elektronik apapun, bahwa komunikasi elektronik apapun yang masyarakat lakukan, misalnya dengan menggunakan email ataupun layanan SMS, tetap dapat dilakukan secara leluasa dan tidak perlu ada kekhawatiran untuk diambil substansi isinya ataupun disadap oleh pihak lain yang merasa tidak convenient. Oleh karena itu, Gatot menegaskan, tidak mudah bagi seseorang atau sekelompok orang atau suatu institusi untuk mengadukan pihak lain, sebagai akibat adanya isi dari suatu komunikasi elektronik sejauh tidak ada pihak lain yang mempublikasikan isi dari suatu komunikasi elektronik tersebut, karena persyaratan untuk merekam informasi atau isi dari suatu komunikasi dalam layanan telekomunikasi atau komunikasi elektronik sangat ketat. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yang menyatakan, untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
"Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Dan penyidik tidak perlu konsultasi dengan Depkominfo," tutur Gatot Dewa kepada media. 4. Contoh Kasus Penyadapan Telepon Mantan Jaksa Urip Tri Gunawan. KPK membongkar keterlibatan mantan Jaksa Urip Tri Gunawan terkait kasus BLBI, yang melakukan pembicaraan dengan Artalyta Suryani alias Ayin. Rekaman pembicaraan itu merupakan hasil penyadapan KPK terhadap telepon Urip. Menurut saksi Juliawan Suprani, penyadapan terhadap Urip dimulai sejak 4 Desember 2007. "Penyadapan dimulai sejak keluarnya surat perintah penyadapan," ujar Juliawan, yang juga pegawai KPK. Mantan Anggota DPR Bulyan Royan. Mantan anggota DPR RI Komisi V 2004-2009, Bulyan Royan diancam penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun kurungan karena diduga menerima uang suap dari ke lima perusahaan rekanan Direktorat Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (Hubla Dephub). Bulyan didakwa dengan dua pasal sekaligus, yaitu pasal 12 huruf e (dakwaan primer) dan pasal 12 huruf a (dakwaan subsider) Undang Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus pengadaan 20 unit kapal patroli di Dirjen Hubla Dephub pada 2007-2008. "Terdakwa mengatur lima perusahaan untuk menjadi rekanan Dephub dengan imbalan sejumlah uang. Untuk melancarkan rencana tersebut, terdakwa memaksa meminta fee delapan persen dari nilai kontrak ," ujar Agus Salim, Ketua Penuntut Umum KPK. Mantan Anggota DPR Al Amin Nur Nasution. Dia menerima uang suap sekitar Rp2 miliar dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan, atas upaya alih fungsi hutan lindung di Bintan, Kepulauan Riau. Hal itu diungkap oleh penyelidik KPK, Sagita Haryadi, yang bertugas melakukan penyelidikan, termasuk penyadapan pembicaraan melalui telepon yang dilakukan oleh Azirwan dengan sejumlah pihak. Pembicaraan telepon itu sebagian berisi tentang pemberian uang kepada anggota DPR dan pejabat di eksekutif. Mantan Anggota DPR Abdul Hadi. KPK membongkar kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan dermaga di Indonesia bagian timur, yang melibatkan anggota DPR Abdul Hadi Djamal, pegawai Departemen Perhubungan Darmawati Dareho, dan Direktur PT Kurniajaya Wirabakti Hontjo Kurniawan. Abdul Hadi bersama Darmawati dan pengusaha Hontjo
Kurniawan ditangkap oleh petugas KPK dengan menemukan uang sebesar Rp54,5 juta dan US$90 rib. Mantan Anggota KPPU Mohammad Iqbal. Dia menerima uang Rp500 juta dari mantan eksekutif Grup Lippo, Billy Sindoro. Pemberian uang itu diduga untuk memenangkan PT Direct Vision, perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo, dalam sengketa hak siar Liga Utama Inggris yang ditangani oleh KPPU. 5. Teori penalaran atau dasar hukum dan peraturan yang dipergunakan Pasal 42 ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disebutkan: Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Dalam penjelasan lain disebutkan bahwa ponsel yang digunakan di Indonesia memang boleh disadap. Tentunya, ada syarat yang mengatur agar penyadapan itu tidak dilakukan sembarangan. Apa syaratnya? Kepala Bagian Umum dan Humas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Gatot S. Dewa Broto mengatakan penyadapan terhadap ponsel di Indonesia memang dibolehkan. "Penyadapan memang dibolehkan, asalkan ada surat perintah dari salah satu, apakah Jaksa Agung, Kapolri, atau menteri terkait," ujarnya kepada wartawan, Selasa (18/9/2007). Selain itu, Gatot menambahkan, dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diizinkan melakukan penyidikan maka KPK pun bisa meminta penyadapan. Namun, Gatot menegaskan, semua bentuk penyadapan itu harus dilakukan dalam kerangka hukum yang benar. Sedangkan penyadapan di luar konteks hukum, ia menambahkan, jelas-jelas tidak diperbolehkan. "Tidak ada pihak lain yang berhak membuka data atau menyadap pelanggannya kecuali atas perintah dari salah satu dari pihak-pihak itu untuk tujuan penyidikan yang sudah masuk ke domain hukum," Gatot menjelaskan. Gatot mengatakan Postel merasa perlu meluruskan polemik soal sadap-menyadap ponsel yang berkembang di masyarakat. "Kami perlu meluruskan ini, bahwa tidak semudah itu menyadap ponsel orang. Begitu juga dengan data kartu prabayar. Tujuannya untuk apa? harus ada kasusnya dulu," tukas Gatot
6. Analisa singkat tentang kasus. Penyadapan telepon yang dilakukan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sebagai salah satu kekuatan lembaga tersebut dalam membongkar pelaku kasus korupsi. KPK adalah satu-satunya lembaga hukum di Indonesia yang mendapat penghargaan dari lembaga internasional. Sebab, penyadapan telepon yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur dan kode etik, yakni tidak bisa dipublikasi. Ini menunjukkan KPK sudah bekerja dengan baik sesuai standar internasional. Pengamat Hukum Tata Negara, Saldi Irsa mengatakan, penyadapan yang dilakukan KPK terbukti efektif dan telah berhasil menjerat sejumlah pelaku kasus korupsi. Salah satu bukti yang baru dilakukan KPK adalah tertangkapnya tersangka kasus korupsi Hengky Samuel Daud yang buron sekitar dua tahun. Kalau penyadapan yang dilakukan KPK dipersoalkan. Ini bukan karena kerja KPK yang kurang baik, tapi ada upaya-upaya dari pihak tertentu untuk melemahkan KPK. Upaya tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak suka terhadap keberhasilan KPK dalam memberantas kasus korupsi. "Bahkan, kalau alat penyadap KPK dipersoalkan, mungkin karena alat penyadap KPK sudah bekerja efektif mengendus pelaku kasus korupsi, sedangkan alat penyadap di lembaga hukum lainnya belum bekerja efektif. Kondisi ini jelas menyinggung lembaga hukum lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian yang memiliki alat serupa," kata Saldi. Anggota Komisi III DPR, Nursyahbani Katjasungkana menilai penyadapan yang dilakukan KPK dilakukan secara ketat sesuai dengan sistem operasional prosedur (SOP) dan ada perintah tertulis. "Penyadapan yang dilakukan KPK setiap tahun diaudit oleh tim audit dari Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan hasilnya tidak pernah melanggar kode etik," kata Nursyahbani. Oleh sebab itu, sangat aneh dan salah bila ada pihak yang beranggapan bahwa KPK merupakan sebuah lembaga yang berwujud superbody. Anggapan itu salah, karena sesuai dengan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 30/2002, tugas KPK sebenarnya hanya ada lima, yakni koordinasi, supervisi, penyelidikan hingga penuntutan, tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan monitor penyelenggaraan pemerintahan negara. KPK merupakan lembaga penting yang dibentuk pada masa reformasi mengingat parahnya tingkat kasus korupsi di Tanah Air. Sangat disayangkan bila ada pihak yang meminta KPK,
sebaiknya dibubarkan kalau Kepolisian dan Kejaksaaan sudah bisa efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sebab, tak ada jaminan dalam waktu 20 tahun atau 100 tahun mendatang, korupsi akan bisa benar-benar diberantas sehingga KPK harus menjadi lembaga permanen. 7. Kesimpulan. Walaupun penyadapan telepon ini diakui sebagai sarana paling ampuh untuk menyelamatkan uang negara namun masih banyak pihak-pihak yang merasa keberatan atas sikap KPK tersebut. Terutama dikalangan DPR dan yang paling hangat saat ini ialah dikalangan Kepolisian. Hal ini memerluka proses yang tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Perlu pembenahan dari hal-hal kecil dan dari tingkatan paling rendah untuk menghilangkan atau memperkecil budaya korupsi. Dari tingkat rumah tangga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Nasional, budaya korupsi sudah terkontaminasi. Sebagai contoh, untuk urusan berlalu-lintas saja yang setiap hari kita lakukan harus selalu siap-siap menyediakan uang pecahan 20 ribu rupiah diatas mobil. Belum lagi untuk urusan melamar pekerjaan di instansi pemerintah, melamar jadi Polisi, ABRI, meminta izin pendirian perusahaan, semuanya memerlukan uang tunai tanpa kwitansi dan tanpa transfer rekening. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi khususnya pasal yang dibahas ini agar tetap dipertahankan walau Undang-undang ini akan berubah kelak. Semoga orang yang bersih di negara kita ini masih bisa bertahan tidak ikut terbawa arus korupsi dan mengembangkan terus budaya bersih