MEMAHAMI UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) DAN PENERAPANNYA PADA DOKUMEN ELEKTRONIK SEPERTI E-TICKETING DI INDONESIA
Dibuat Oleh
AFIYATI NIM 5540180013
Dosen DR. Ir Iwan Krisnadi MBA
Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Hukum dan Regulasi Telekomunikasi Semester Genap Tahun Akademik 2008 – 2009.
2008/2009 ***
Memahami UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Dan Penerapannya Pada Dokumen Elektronik Seperti E-Ticketing di Indonesia
I. Latar Belakang Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia sudah meluas pada bidang Pemerintahan, Kesehatan, Perbankan, Pendidikan dan Bisnis. Sebelum adanya UU ITE, tidak ada regulasi di Indonesia yang mengatur tentang kejahatan maupun perlindungan dari kejahatan yang ditimbulkan akibat dari penggunaan Teknologi Informasi, Internet atau yang lazim disebut CyberCrime. Dengan semakin banyaknya permintaan dan kebutuhan perlindungan mengenai Teknologi Informasi, maka Pemerintah menyusun RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). RUU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE). Setelah melalui proses yang sangat panjang, pada tanggal 25 Maret 2008, RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR RI. Dan pada tanggal 21 April 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU ITE dan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada tulisan ini akan diberikan sedikit penjelasan mengenai cakupan materi UU ITE agar pembaca dapat memahami UU ITE sehingga dapat melihat bagaimana penerapannya pada salah satu contoh sistem yang menggunakan transaksi elektronik yang akan dibahas pada tulisan ini.
II. Cakupan Materi UU ITE Pada Bab I mengenai Ketentuan Umum, terdapat beberapa hal penting yang menjadi garis besar pada Undang-Undang ITE antara lain yaitu : -
Teknologi Informasi
-
Komputer
-
Informasi Elektronik
-
Tanda Tangan Elektronik
-
Dokumen Elektronik
-
Sertifikasi Elektronik
-
Lembaga Sertifikasi Keandalan
-
Dan lain-lain
Pada Bab II mengenai Asas dan Tujuan, disebutkan bahwa asas dari Undang-Undang ini adalah sebagai Kepastian Hukum, Manfaat, Kehati-hatian, Iktikad baik, Netral Teknologi. Sedangkan tujuan dari dikeluarkannya UU ini adalah untuk : -
Mencerdaskan kehidupan bangsa
-
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
-
Efektifitas dan efisiensi pelayanan publik
-
Membuka kesempatan kepada setiap orang untuk memajukan TI seoptimal mungkin dan bertanggungjawab
-
Memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara TI Pada Bab III, mengenai Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik. Yang
dimaksud dengan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik adalah informasi atau dokumen yang menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Pada Bab IV disebutkan mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik yang harus menyelenggarakan sistem secara andal, aman dan bertanggungjawab. Wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum, antara lain dapat ditampilkan kembali secara utuh, dapat beroperasi sesuai prosedur dan memiliki mekanisme berkelanjutan. Sedangkan pada Bab V dan merupakan bagian penting dari Undang-Undang ini adalah mengenai Transaksi Elektronik. Transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik dan privat. Transaksi elektronik dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik. Para Pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.
III. Alat Bukti yang Sah Dari isi Undang-Undang yang sudah kita baca diatas, terdapat sebuah pertanyaan, apakah berarti sebuah Dokumen Elektronik dapat menjadi alat bukti yang sah ? Dokumen elektronik disebut oleh UU ITE pada Pasal 5 yaitu sebagai berikut : 1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
Dokumen
Elektronik
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Menurut UU ITE, yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE.
IV. Persyaratan Khusus Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE Pasal 16, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut : 1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; 3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; 4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Persyaratan minimum di atas dapat menjadi bahan perdebatan hebat di pengadilan apabila salah satu pihak mengajukan informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti. Sebagai contoh, dapat saja muncul pertanyaan apakah suatu pihak telah melakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut. Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk itu, meski ukuran ”upaya yang patut” itu sendiri belum tentu disepakati oleh semua pihak. Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan 2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dalam penjelasan UU ITE, hanya disebutkan bahwa yang surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan administrasi negara. Dari penjelasan tersebut dapat muncul beberapa pertanyaan, yaitu apakah yang dimaksud dengan ”surat yang berharga”? Bagaimana dengan tiket yang dikeluarkan oleh komputer, apakah merupakan alat bukti yang sah ?
V. Contoh Kasus - E-ticketing Sekarang mari kita lihat sistem e-ticketing yang sudah digunakan di Indonesia. Sistem e-ticketing sudah digunakan pada Perusahaan Penerbangan dan Perusahaan Pertunjukan Musik. Kita akan mengambil contoh e-ticketing pada Pertunjukan Musik. Pertunjukan musik di Indonesia sudah semakin sering diadakan oleh beberapa event organizer, baik dengan skala nasional maupun internasional. Salah satu penyelenggara konser
musik jazz sudah menerapkan sistem penjualan tiket yang disebut dengan e-ticket. E-ticket adalah tiket yang dibeli dengan menggunakan sistem komputerisasi dan internet. Calon penonton akan memperoleh tiket melalui komputernya. Berikut ini adalah diagram proses pembelian tiket :
Pada tiket (terlampir) terdapat tulisan : Tiket ini tidak berlaku bila digandakan. Namun tidak disertakan penjelasan apa yang terjadi jika digandakan. Hukum apa yang akan diberlakukan. Pada tiket juga terdapat keterangan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku yang dikeluarkan oleh Penyelenggara sebagai berikut :
SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN: a. Tiket yang sah adalah tiket yang dibeli dengan tata cara yang telah ditentukan yaitu pembelian secara online melalui transaksi elektronik pada website www.festivalmusik.com atau pada tiket box online yang ditunjuk oleh Penyelenggara; b. Pembeli hanya berhak secara hukum untuk mencetak tiket satu kali untuk setiap tiket yang dibelinya, pencetakan ulang tiket tidak diperkenankan dan merupakan tindakan yang melanggar hukum; c. Tiket berlaku sebagai tanda masuk tempat pertunjukan untuk satu orang; d. Tiket menggunakan barcode dan berlaku untuk satu kali penggunaan untuk satu orang; e. Tiket dengan barcode yang telah dipergunakan sebelumnya tidak berlaku; f. Penyelenggara berhak mengambil tindakan untuk melarang masuk ke tempat Pertunjukan terhadap pembawa tiket dengan barcode yang telah digunakan sebelumnya oleh orang lain; g. Penyelenggara berhak untuk memproses dan menuntut secara hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku baik secara perdata maupun secara pidana terhadap orang-orang yang memperoleh tiket dengan cara yang tidak sah termasuk tapi tidak terbatas dengan cara melakukan pemalsuan atau menggandakan tiket yang sah atau memperoleh tiket dengan cara yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Penyelenggara sebagaimana dalam butir (a) Ketentuan ini; h. Penyelenggara tidak bertanggung jawab atas kelalaian pembeli tiket yang mengakibatkan tiket jatuh ketangan orang lain (dalam penguasaan orang lain) untuk dipergunakan sebagai tanda masuk tempat pertunjukan yang menghilangkan hak dari pembeli tiket; i. Tiket tidak dapat ditukar dan tidak dapat diuangkan kembali; ...... ... ... q. Penyelenggara berhak melarang penonton masuk ke dalam tempat Pertunjukan apabila penonton tidak membawa tiket; SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN PEMBELIAN DAN PENGGUNAAN TIKET KONSER DIATAS TELAH SAYA BACA, PAHAMI, MENGERTI DAN SAYA MENYETUJUI UNTUK TERIKAT SECARA HUKUM DENGAN SYARAT & KETENTUAN SEBAGAIMANA TERSEBUT DALAM BUTIR (a) SAMPAI DENGAN ( r). Penasehat hukum: MR & PARTNERS
Pada syarat dan ketentuan yang tertulis disemua tiket, tidak tercantum dengan jelas hukum yang akan dikenakan kepada Penyelenggara maupun kepada Pemegang tiket. Hal ini merupakan salah satu kelemahan pada sistem e-ticketing yang ada saat ini. Sehingga tidak adanya jaminan hukum yang pasti bagi kedua Pihak. Berikut ini adalah flow proses pembelian e-ticket :
Jika sistem e-ticketing ini mempunyai kelebihan antara lain adalah penghematan biaya pembuatan tiket pada Perusahaan Penyelenggara dan kemudahan proses pembelian bagi Customer, tentu sistem e-ticketing ini juga mempunyai celah kelemahan. Jika e-ticket ini jatuh ketangan orang lain, maka si pemilik tiket sudah tidak mempunyai kekuatan hukumhukum apa-apa untuk menuntut Penyelenggara. Hal ini dikarenakan dokumen yang dikeluarkan dapat dibuat copynya. Namun hal ini untuk sementara diatasi dengan menambahkan identitas pemilik tiket pada saat menggunakan tiket tersebut. Kasus fraud semacam ini pernah terjadi pada sistem e-ticketing pada salah satu Perusahaan Penerbangan, yang beritanya dapat kita lihat pada : http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/24/time/110840/ idnews/580811/idkanal/283 VI. Kesimpulan Sistem e-ticketing di Indonesia memang belum digunakan secara luas. Sehingga jika masih terdapat beberapa kelemahan dari sisi hukum, tentunya hal ini memerlukan perhatian khusus dari berbagai Pihak. Saat ini, sistem e-ticketing belum terdapat jaminan keamanan yang pasti dari segi hukum baik bagi Penyelenggara tiket maupun bagi Pemegang tiket. Hal ini perlu diantisipasi sejalan dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi di Indonesia. UU ITE merupakan UU Cyber pertama yang akan diberlakukan di Indonesia. Undang-undang tersebut diharapkan akan menjadi dasar penegakan hukum untuk transaksi online di wilayah Indonesia meski dilakukan di dunia maya. Salah satu pasal UU tersebut di Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 31 ayat (1) dan (2) menyebutkan, “mereka yang secara sengaja dan tanpa hak melakukan penyadapan atas informasi dan/atau dokumen elektronik pada komputer atau alat elektronik milik orang lain akan dikenakan hukuman berupa penjara dan/atau denda.” Perbuatan terlarang tersebut akan mendapatkan sanksi yang diatur di dalam Bab XI tentang Ketentuan Pidana Pasal 47 yang berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Semoga UU ITE benar-benar menjamin kenyamanan pengguna layanan transaksi elektronik yang rentan terkena sasaran kejahatan cyber. UU ITE memang mengamanatkan adanya sejumlah peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan yang ada dalam UU ITE tersebut. Mudah-mudahan saja beberapa peraturan pemerintah yang akan terbit tersebut benar-benar dapat membuat lebih jelas ketentuan dalam UU ITE, sehingga UU ITE dapat lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
****