RELASI BISNIS & HAM UNTUK INDONESIA BERMARTABAT 1
Majda El Muhtaj
Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed). Email:
[email protected]/
[email protected]
Pendahuluan Peran dan tanggung jawab negara sangat dominan dalam upaya menjalankan kewajiban konstitusional mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Negara dapat dan mesti menggunakan seluruh potensinya untuk mengembangkan diri dan mengambil beragam kebijakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks inilah, negara dan masyarakat membutuhkan kolaborasi yang saling menguntungkan demi keutuhan dan kemajuan negara. Lahirnya korporasi tidak terlepas dari buah kolaborasi dan resiprokalitas yang dinamis itu. Dalam perkembangan selanjutnya, korporasi menjelma menjadi salah satu aktor pembangunan yang genuine. Sekalipun dalam capaiannya diakui lebih menitikberatkan aspek kepentingan para pemilik modal, namun disadari terdapat relasi yang kuat antara kepentingan korporasi dengan taraf kemajuan kualitas kehidupan masyarakat. Dibutuhkan kesadaran bersama untuk memunculkan kekuatan baru yang diperankan, baik secara nasional2maupun internasional, 3khususnya dalam
1Disampaikan pada Konferensi INFID, Jakarta, 14-16 Oktober 2014. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan penulis yang dimuat dalam Jurnal HUMANITAS, Pusham Unimed, edisi Vol. II, No. 1, Juni 2011. Lebih lanjut dapat dilihat pada www.pusham.unimed.ac.id. 2Pembahasan menarik dapat dibaca Komnas HAM RI, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM; Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia (Jakarta: Komnas HAM, 2006). 3Masyarakat internasional menaruh perhatian serius tentang hal tersebut. Lebih lanjut dapat dilihat pada Annual Report, khususnya edisi 10 tahun the United Nations Global Compact (UNGC) yang diterbitkan pada Juni 2010. Pada bentuk lainnya dapat dilihat dengan hadirnya Wakil Khusus Sekjen PBB untuk HAM dan TNCs dan Kegiatan-kegiatan Bisnis (Special Representative of the Secretary General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises) berdasarkan mandat Dewan HAM PBB melalui Resolusi 7/8 pada 18 Juni 2008. Ada dua tugas pokok Wakil Khusus Sekjen PBB ini, yaitu pertama “operationalizing” the framework, i.e., providing concrete guidance and recommendations to States, businesses and other actors on the practical meaning and
Majda-1
penerapan norma-norma dan standar-standar HAM dalam segala aktivitas bisnis. transnational corporations (TNCs) dan multinational corporations (MNCs) 4 harus disikapi dengan cerdas sebagai realitas global yang pada gilirannya juga beriringan dengan percepatan dan pemantapan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Addressing poverty is still the greatest social challenge of our time. It requires that governments, business and civil society each contribute a reasonable share of their resources, skills and know-how to jointly achieve sustainable solutions, demikian tegas Leisinger. 5 Kemunculan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) menunjukkan keinginan yang kuat untuk memosisikan sekaligus memastikan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai kewajiban dan tanggung jawab utama perusahaan. Begitupun, CSR masih problematik. Kecuali pada taraf generik dan aksentuasinya, masalah lainnya yang pokok adalah pada implementasi dengan pendekatan HAM. Disadari bahwa CSR memberikan penekanan yang serius pada dampak dari tindakan perusahaan kepada masyarakat (a company’s action on society). Aktivitas sosial perusahaan sejatinya bertujuan untuk mengafirmasi eksistensi dan kesinambungan kehidupan masyarakat dengan meminimalisasi dampakdampak negatif dan memaksimalisasi upaya-upaya positif dari setiap operasionalisasi perusahaan. Generasi HAM 6
implications of the three pillars and their interrelationships; dan kedua “promoting” the framework, coordinating with relevant international and regional organizations and other stakeholders. Untuk laporan tahun 2010 berjudul “Business and Human Rights: Further Steps Toward the Operationalization of the “Protect, Respect and Remedy” Framework.” Kerangka kerja ini secara luas diakui sebagai the United Nations Framework dengan tujuan untuk better managing business and human rights challenges. Lihat www.ohchr.org. Diakses 30 Desember 2009. 4Lebih lanjut dapat dibaca penelitian Komnas HAM tentang eksistensi dan peran MNCs dalam perspektif HAM di empat kabupaten, yakni Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Bojonegoro. Lihat Komnas HAM RI, Multinational Corporations (MNCs) dan Masyarakat dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Jakarta: Komnas HAM RI, 2007). 5Klause M. Leisinger, “Capitalisme with a Human Face; The UN Global Compact,” dalam Journal of Corporate Citizenship, Issue No. 28 (Juni 2007), halaman 1. 6Istilah “generasi” tidaklah bermakna tahapan pemenuhan HAM, namun lebih dalam konteks pemikiran terhadap dimensi-dimensi HAM. Pandangan seputar “generasi” HAM pertama sekali ditegaskan oleh Karel Vasak dalam tulisannya “A 30-Year Struggle; the Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of Human Rights,” dalam UNESCO Courier, edisi November 1977. Berkaitan dengan istilah “generasi” HAM versi Vasak, Watson menegaskan, “Vasak’s model is of course a simplified expression of an extremely complex historical record; it is not intended as a literal representation of life in
Majda-2
Perkembangan pemikiran HAM menunjukkan adanya kesinambungan gagasan terhadap pentingnya perlindungan dan pemenuhan HAM. Setidaknya dikenal tiga bahkan empat generasi HAM. Elemen dasar dari konsepsi generasi HAM pertama mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia dan kebebasan sipil dan politik. 7 Generasi HAM pertama adalah hak-hak sipil dan politik yang berasal dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang sangat tajam menyoroti revolusi-revolusi di Inggris, Amerika dan Perancis. Pada HAM generasi pertama ideologi politik individualisme liberal dan doktrin ekonomi dan sosial laissez-faire amat menonjol. HAM pada generasi pertama lebih diartikan sebagai yang bersifat negatif (freedom from) ketimbang bersifat positif (right to). Itu artinya, HAM dipahami sebagai pola abstensi negara dalam pencarian martabat manusia. 8 Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 lahirlah dua buah kovenan, yakni pertama International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik/Kovenan Sipol). 9 Kovenan ini terdiri atas 6 bagian dan 53 pasal. Kovenan kedua adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/Kovenan Ekosob). 10 Kovenan ini terdiri atas 5 bagian dan 31 pasal. 11
which one generation gives birth to the next and then dies away.” Lihat Burns H. Watson, “Human Rights,” dalam Robert P. Gwinn, et.al., (ed.), The New Encyclopaedia Britannica, edisi kelima belas, vol. 20 (Chicago: the University of Chicago, 1986), halaman 716. 7Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), halaman 221. 8Burns H. Watson, loc.cit. 9Kovenan Sipol telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 28 Oktober 2005 melalui UU No. 12 Tahun 2005 (LNRI Tahun 2005 No. 119, TLNRI No. 4558). 10Kovenan Ekosob telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 28 Oktober 2005 melalui UU No. 11 Tahun 2005 (LNRI Tahun 2005 No. 118, TLNRI No. 4557). 11Berbeda dengan advokasi terhadap hak-hak sipil dan politik, advokasi terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya belum terartikulasi dengan baik dan lantang. Kurang lebih dari empat dekade gerakan advokasi HAM lebih menekankan advokasi mereka pada isu-isu di sekitar hak-hak sipil dan politik (civil liberties). Sementara advokasi terhadap isuisu hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapat perhatian yang memadai; ia menjadi seperti anak tiri dari gerakan advokasi hak asasi manusia. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, melainkan sudah merupakan fenomena global. Pembahasan lebih lanjut lihat Ifdhal Kasim, “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Menegaskan Kembali Arti Pentingnya,” makalah disampaikan pada Training Hukum HAM, kerjasama PUSHAM UII dengan NCHR (Lombok: 2-7 April 2006).
Majda-3
Kedua kovenan ini memberikan artikulasi DUHAM secara substansial dan revolusioner. Kedua kovenan, secara tegas, berhasil menyatukan dua pespektif perlindungan HAM, yakni hak-hak individu sebagaimana terangkum dalam kovenan pertama, dan hak-hak sosial yang berimplikasi kepada kewajibankewajiban negara yang terangkum pada kovenan kedua. M.H. Syed menegaskan sebagai berikut:
The two covenants recognize the difference in character of rights in various subtle ways. For example, the Covenant on Civil and Political Rights is drafted in terms of the individual’s rights: e.g., “Every human being has the inherent rights to life”; “No one shall be held in slavery;” “All persons shall be equal before the courts and tribunals.” The Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, on the other hand, speaks only to the state, not the individual: “The States Parties to the present Covenant recognize the right to work;” “The States Parties …undertake to ensure … the right of everyone to form trade unions;” “The States Parties …recognize the right for everyone to education.” There was wide agreement and clear recognition that the means required for civilpolitical rights. But the Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights is law, not merely exhortation and aspiration. 12
Hal yang sama juga ditegaskan dengan amat baik oleh Gavison. Menurutnya, HAM merupakan sub kategori dari hak. Maka, pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai satu kesatuan HAM sesungguhnya upaya nyata menuju kemartabatan manusia. Selengkapnya Gavison mengatakan sebagai berikut: Human rights are a sub-class of rights. Rights have moral, political, and legal functions. Basic interest required for human dignity and flourishing should be the subject of rights, and these interests include both CP (Pen, civil and political rights) and SE (Pen. social, economic and cultural rights) concerns. In this sense, CP and SE concerns reinforce each other as ingredients for basic human dignity. The satisfaction of both is required by the unifying concept of human dignity. There is no historical, logical, political, or moral reason for thinking that only CP concerns can and should be the subject of rights. 13
Generasi HAM kedua berasal dari tradisi sosialis yang terdapat di antara kaum Saint-Simon di Perancis pada awal abad kesembilan belas kemudian dicanangkan dengan berbacai cara oleh perjuangan revolusioner dan kesejahteraan. Berbeda dengan HAM generasi pertama, penekanan pada intervensi negara terbuka lebar. Hal ini dipandang strategis karena dengan
M.H. Syed, M.H. Syed, Human Rights; the Global Perspective (New Delhi: Reference Press, 2003), halaman 11. 13Ruth Gavison, “On the Relationship Between Civil and Political Rights, and Social and Cultural Rights, dalam Jeand-Mare Coicaud, et.al (Ed.), the Globalization of Human Rights (Tokyo: United Nations University Press, 2003), halaman 24. 12Lihat
Majda-4
kontribusi negara partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi dimungkinkan terpenuhi. HAM generasi kedua lebih dalam konteks tuntutan untuk persamaan sosial (claims to social equality) 14 Perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk pembangunan (the right to development). Inilah generasi HAM ketiga. Hak untuk pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sekaligus menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut. 15 Fenomena lahirnya nasionalisme dunia ketiga oleh Watson merupakan realitas tuntutan pemerataan alokasi kekuasaan dalam kehidupan global. Pasal 28 DUHAM memberikan inspirasi penting lahirnya generasi HAM ketiga. Selengkapnya beliau menegaskan sebagai berikut:
For shadowed in Article 28 of the Universal Declaration of Human Rights, which proclaims that “everyone is entitled to a social and international order in which the rights set forth in this Declaration can be fully realized,” it appears so far to embrace six claimed rights. There of these reflect the emergence of Third World nationalism and its demand for a global redistribution of power, wealth, and other important values; the right to political, economic, social, and cultural self-determination; the right to economic and social development; and the right to participate in and benefit from “the common heritage of mankind” (shared Earth-spaced resources; scientific, technical, and other information and progress; and cultural traditions, sites, and monuments). The other three third-generation rights – the right to peace, the right to a healthy and balanced environment, and the right to humanitarian disaster relief – suggest the impotence or inefficiency of the nation-state in certain critical respects. … Reflecting evolving perceptions of which values, at different times, stand most in need of encouragement and protection, the history of the content of human rights also reflects humankind’s recurring demands for continuity and stability. 16
Bisnis & HAM Deklarasi Hak untuk Pembangunan (Declaration on the Rights to Development) Tahun 1986 yang diadopsi Majelis Umum PBB melalui Resolusi 41/128 tanggal 4 Desember 1986 merupakan momentum kesadaran universal terhadap relasi pembangunan dan HAM. 17 Deklarasi ini menjadi cikal bakal yang amat penting dalam mengekalkan hadirnya HAM untuk pembangunan yang H. Watson, op.cit., halaman 716-717. Asshiddiqie, op.cit., halaman 221. 16Burns H. Watson, loc.cit. 17Lihat United Nations, Human Rights; A Compilation of International Instruments, vol I (First Part) (New York: United Nations, 2002), halaman 454. Garis bawah dari penulis. 14Burns 15Jimly
Majda-5
diakui sebagai hak-hak yang tidak bisa dipisahkan dengan manusia itu sendiri (an inalienable rights). Pembangunan pada intinya adalah proses peningkatan atau pemberdayaan kehidupan manusia secara bermartabat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Relasi HAM dengan pembangunan menjadi krusial karena pembangunan merupakan usaha sadar untuk menempatkan manusia sebagai poros dari pembangunan. Alienasi proses dan produk pembangunan dengan manusia adalah bentuk pelanggaran HAM. Pasal 1 Deklarasi Hak untuk Pembangunan menyatakan sebagai berikut: The right to development is an inalienable human rights by virtue of which every human person and all peoples are entitled to participate in, contribute to, and enjoy economic, social, cultural and political development, in which all human rights and fundamental freedoms can be fully realized. 18
Menurut catatan Jimly Asshiddiqie, ketiga generasi HAM pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Padahal, persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi juga mencakup hubunganhubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antara kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain. 19 Sebagai sebuah proses dialektika, konsepsi HAM akhirnya memasuki babakan baru dengan munculnya generasi HAM keempat. Jimly Asshiddiqie menyebutkan ada empat faktor yang fenomenal sekaligus memengaruhi lahirnya konsepsi generasi HAM keempat, yaitu: (1) konglomerasi raksasa dalam bentuk MNCs atau disebut juga dengan TNCs; (2) fenomena nations without states; (3) global citizen yang berimplikasi lahirnya kelas sosial tersendiri; dan (4) pengaturan entitas baru yang bersifat otonom dalam bentuk corporate federalism. 20 18Ibid.,
halaman 455. Asshiddiqie, op.cit., halaman 222. 20Ibid., halaman 223-225. Menurut Jimly, keempat fenomena itu berimplikasi terhadap perlindungan HAM. Dengan demikian maka pelanggaran HAM tidak bisa dipahami secara konvensional saja, melainkan sangat memungkinkan dilakukan oleh aktoraktor lainnya selain negara (non-state actor). Penny Green dan Tony Ward menegaskan bahwa jika tidak hati-hati negara dan korporasi justru memiliki andil yang besar dalam pelanggaran HAM yang masif, sebagaimana dikatakannya, “States, the perpetrators of the most serious and widespread crimes, do not always work alone. Very frequently, deviant state actions intersect with the criminal actions of corporations to produce massive human rights and environmental violations.” Lihat lebih lanjut Penny Green dan Tony Ward, State Crime; Governments, Violence and Corruption (London: Pluto Press, 2004), halaman 28. 19Jimly
Majda-6
Fenomena ini merupakan realitas yang tidak sederhana. Keempat fenomena di atas sangat memengaruhi iklim sosial politik sebuah negara. Ironisnya, pilihan mewujudkan kemandirian sebuah bangsa harus berhadapan dengan peta ketidakadilan global yang justru diperankan secara nyata dan sistematis oleh agen-agen internasional berkedok pembangunan kemanusiaan. Akibatnya, ruang keadilan dari pembangunan menjadi semu karena manusia hanya ditempatkan sebagai mesin-mesin pembangunan semata. John Perkins menegaskan hal itu sebagai berikut: In their drive to advance the global empire, corporations, banks and governments (collectively the corporatocracy) use their financial and political muscle to ensure that our schools, businesses, and media support both the fallacious concept and its corollary. They have brought us to a point where our global culture is a monstrous machine that requires exponentially increasing amounts of fuel and maintenance, so much so that in the end it will have consumed everything in sight and will be left with no choice but to devour itself. 21
Sejalan dengan nuktah HAM atas pembangunan, sejatinya kebijakan pembangunan secara bersungguh-sungguh mesti dimaknai sebagai proses mewujudkan kemerdekaan-kemerdekaan nyata yang memungkinkan masyarakat menikmatinya. Patut direnungkan ungkapan Amartya Sen, peraih Nobel Prize Bidang Ilmu Ekonomi tahun 1998, berikut ini: Development can be seen, it is argued here, as a process of expanding the real freedoms that people enjoy. Focusing on human freedoms contrasts with narrower view of development, such as identifying development with the growth of gross national product, or with the rise in personal incomes, or with industrialization, or with technological advance, or with social modernization. 22
Globalisasi 23memberikan pengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Lahirnya selengkapnya John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man (USA: A Plume Book, 2006), halaman xv. 22Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), halaman 3 (garis bawah dari penulis). Dengan ungkapan lain, Olivier de Schutter menegaskan, “TNCs may be made to become agents for the transformation of economic globalization into process genuinely oriented towards human development.” Lihat Olivier de Schutter, “Transnational Corporations as Instruments of Human Development,” dalam Philip Alston dan Mary Robinson (Ed.), Human Rights and Development; Towards Mutual Reinforcement (Oxford: Oxford University Press, 2009), halaman 443 23Pembahasan menarik tentang globalisasi lebih lanjut baca David Held dan Anthony McGrew (ed.), the Global Transformations Readers (Cambridge: Polity Press, 2000). 21Baca
Majda-7
gerakan privatisasi, 24MNCs yang kemudian berbentuk TNCs 25yang oleh Lydia Morris disebut third country nationals, 26merupakan fenomena abad 21 yang berimplikasi langsung pada upaya-upaya penghormatan dan perlindungan HAM. Sekalipun demikian, negara tetap bertanggungjawab penuh menghormati, melindungi dan memenuhi HAM (the duty bearer). Menjadi realitas kekinian bahwa dalam ranah kehidupan publik, sebagian peran-peran strategis negara juga diperankan korporasi. 27Regulasi negara merupakan alat untuk ”menekan” dan memastikan agar korporasi benar-benar melakukan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dalam aktivitas bisnisnya. In the end, however, the enforcement of standards – and the working out of sensible compromises between different national practices – depend on the construction of stable, responsible governments, demikian tegas Mayall dan Lyons. 28
24Kaitan antara privatisasi dan HAM lebih lanjut baca Koen de Feyter dan Felipe Gomez Isa (ed.), Privatisation and Human Rights in the Age of Globalisation (Oxford: Intersentia, 2005). 25Ada juga yang menyebutnya transnational enterprises (TNEs), yakni “own or control production or service facilities outside the country in which they are based.” Lihat Krishna Kumar, Social and Cultural Impact of Transnational Enterprises; An Overview,” dalam Krishna Kumar, (Ed.), Transnational Enterprises; Their Impact on Third World Societies and Cultures (Colorado: Westview Press, 1980), halaman 2. Kedua istilah (MNCs dan TNCs) acapkali dipergunakan secara bergantian. Paul Hirst dan Grahame Thompson menegaskan sebagai berikut: “This distinction between MNCs and TNCs is not usual. There is a tendency to use them interchangeably, increasingly with the use of TNCs as a generally accepted term for both types. Where we use the term TNCs it should be clear that we are referring to a true TNCs in the context of discussing the strong globalizers’ view.” Lihat Paul Hirst dan Grahame Thompson, “Globalization – a Necessary Myth?” dalam David Held dan Anthony McGrew (ed.), op.cit., halaman 75, khususnya “catatan kaki” nomor 1. 26Lihat Lydia Morris, “Social Rights, Trans-National Rights and Civis Stratification,” dalam Lydia Morris (ed.), Rights; Sociological Perspectives (New York: Routledge, 2006), halaman 90. 27“While governments have the primary responsibility to promote, protect and fulfill human rights, the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) calls on ‘every individual and every organ of society’ to strive to promote and respect the rights and freedoms it contains and to secure their effective recognition and observance. The concept of ‘every organ of society’ covers private entities such as companies.” Lihat UNGC dan OHCHR, Embedding Human Rights into Business Practice (Geneva: 2006), halaman 15. David Bilchizt menegaskan, “Corporations have a strong impact on the realization of human rights.” Lihat David Bilchizt, Business and Human Rights; the Responsibilities of Corporations for the Protection and Promotion of Human Rights (South Africa: SAIFAC, tt), halaman 1. Dapat diakses pada http://www.saifac.org.za/docs/2008/Business_Human_Rights.pdf 28Lihat James Mayall dan Gene M. Lyons, “Human Rights and International Politics,” dalam Gene M. Lyons dan James Mayall (ed.), International Human Rights in the 21st Century; Protecting the Rights of Groups (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2003), halaman 212.
Majda-8
Dalam perspektif hukum HAM Internasional, fenomena TNCs memberikan pengaruh besar dalam reformulasi sistem hukum HAM internasional. David P. Forsythe menegaskan ada tiga hal penting yang harus dipikirkan tentang TNCs dan kaitannya dengan regulasi HAM internasional, yakni sebagai berikut:
(1) the weakness of current international law, especially as developed through the United Nations system, in regulating the social effects of international business; (2) the growing importance of consumer and other social movements, including the communications media, in providing non-profit critiques of for-profit behavior; and (3) the facilitative actions of some states, especially the USA during the Clinton Administration, but not Japan, in trying to close the gap between much TNC practice and human rights standards. 29
Negara tetap memikul kewajiban utamanya (primary responsibility) untuk menentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh korporasi. Manakala ada pelanggaran HAM, maka negara dan korporasi berkewajiban menyediakan akses yang lebih efektif bagi upaya-upaya perbaikan (more effective access to remedy) terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Inilah yang dipertegas dalam protect, respect and remedy framework. 30Jernej Letnar Cernic menyebutkan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi. Dengan gamblang disebutkan: Violations leveled against corporations include allegations of crimes against humanity, torture, racial discrimination, genocide, forced and child labor, slavery, environmental degradation and a broad array of human rights violations in relation to local communities, especially indigenous people. The extractive sector: oil, gas, and mining (cobalt, diamonds), account for most allegations of the human rights violations, by or involving corporations. In this regard, claims brought under the auspices of the Alien Torts Statute in the United States offers another illustration. The food and beverage industries have also noted some violations, followed by the clothing and footwear industry, and the information and communication technology sector. 31
P. Forsythe, Human Rights in International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), halaman 201. 30Lihat catatan kaki No. 4. Ungkapan lain menyatakan, “the right to compensation of investors must be also ‘clearly and precisely defined.’ Lihat Jernej Letnar Cernic, “Corporate Human Rights Obligation under Stabilization Clauses,” dalam German Law Journal, Vol. 11, No. 02 (2010), halaman 228. 31Lihat Jernej Letnar Cernic, “Corporate Responsibility for Human Rights; A Critical Analysis of the OECD Guidelines for Multinational Enterprises,” dalam Hanse Law Review, (edisi vol. 4, No. 1 2008), halaman 76. 29David
Majda-9
Aktivitas bisnis sejatinya menyatu dengan prinsip-prinsip HAM atau disebut juga dengan istilah embedded human rights in business practice. 32 Pada 31 Januari 1999, sekumpulan perusahaan dunia menggelar pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos-Klosters, Switzerland, yang diinisiasi Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Pertemuan yang membuahkan kesepahaman untuk melahirkan United Nations Global Compact (UNGC) 33 menjadi momentum untuk mengafirmasi eksistensi dan kontribusi korporasi dalam bingkai kehidupan global. Di pertemuan itu Kofi Annan menegaskan, I propose that you, the business leaders gathered in Davos, and we, the United Nations, initiate a global compact of shared values and principles, which will give a human face to the global market. 34 Pemikiran ini kemudian membuahkan perkembangan yang signifikan dalam proses perumusan sepuluh prinsip UNGC yang menjadi konsensus masyarakat internasional. Sepuluh prinsip HAM dalam bisnis diderivasi dari DUHAM PBB 1948, Deklarasi tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Fundamental dalam Bekerja (International Labour Organization's Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work), 35Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan
32UNGC dan OHCHR, Embedding Human Rights into Business Practice II (Geneva: UN Global Compact dan OHCHR, 2007). “Economic growth is a means, not the goal, of development. It can also be instrumental for the realization of human rights. However, economic growth must be achieved in a manner consistent with human rights principles.” Lihat juga OHCHR, Frequently Asked Questions on a Human Rights-Based Approach to Development Cooperation United Nations (Geneva: OHCHR, 2006), halaman 10. 33Secara resmi UNGC berdiri sejak 26 Juli 2000. UNGC adalah sebuah jejaring kerja dunia yang melibatkan berbagai kelembagaan internasional, tidak terkecuali lembagalembaga HAM internasional seperti OHCHR yang berpusat di Geneva. Selengkapnya UNGC digambarkan sebagai berikut: “the Global Compact is a network. At its core is the Global Compact Office and six UN agencies: the Office of the UN High Commissioner for Human Rights; the United Nations Environment Programme; the International Labor Organization; the United Nations Development Programme; the United Nations Industrial Development Organization; and the United Nations Office on Drugs and Crime. The Global Compact involves all the relevant social actors: governments, who defined the principles on which the initiative is based; companies, whose actions it seeks to influence; labor, in whose hands the concrete process of global production takes place; civil society organizations, representing the wider community of stakeholders; and the United Nations, the world’s only true global political forum, as an authoritative convener and facilitator.”Lihat lebih lanjut www.unglobalcompact.org. Diakses pada 30 Desember 2009. 34Kalimat ini kemudian menjadi judul ulasan tahunan (annual review) untuk terbitan edisi 10 tahun UNGC 2000-2010. Lihat juga catatan kaki no. 43. 35Deklarasi ini diadopsi pada tahun 1998. Ada empat prinsip fundamental yang dianut dalam deklarasi ini, yaitu “(1) freedom of association and the effective recognition of the right to collective bargaining; (2) the elimination of all forms of forced or compulsory labor; (3) the effective abolition of child labor; dan (4) the elimination of discrimination in respect of employment and occupation.”
Majda-10
Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development), 36dan Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption). 37 Tujuannya tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa terdapat relasi yang kuat antara prinsip dan standar HAM dengan aktivitas-aktivitas bisnis. 38David Bilchitz, peneliti senior pada South African Institute for Advanced Constitutional, Public, Human Rights and International Law (SAIFAC) menyatakan sebagai berikut: The human rights principles provide that: ‘business should support and respect the protection of internationally proclaimed human rights’ and ‘make sure that they are not complicit in human rights abuses.’ The objectives of the Compact are to place the ten principles at the centre of business activities around the world whilst also providing support for broader UN goals such as the Millennium Development Goals. 39
Dalam perkembangannya, jejaring kerja UNGC yang mendapat respons yang luas dari seluruh dunia. Prinsip-prinsip HAM yang dirumuskan UNGC kemudian dikenal sebagai the Ten Principles of the United Nations Global Compact. Sepuluh prinsip ini dibagi dalam empat kategori, yakni dua prinsip terkait HAM (human rights), 40empat prinsip terkait standar tenaga kerja (labour), tiga prinsip terkait lingkungan hidup (environment) dan satu prinsip 36Deklarasi Rio berawal dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development) yang dilaksanakan di Rio de Jeneiro, Brasil, pada tanggal 3-14 Juni 1992. Deklarasi ini berisikan 26 prinsip yang mendasari perlindungan dan pemenuhan HAM atas lingkungan yang sehat dan bersih. 37Konvensi PBB Antikorupsi lahir pada tahun 2003. Konvensi yang terdiri atas 7 bab dan 71 pasal ini telah telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 pada 18 April 2006 (LNRI Tahun 2006 No. 32, TLNRI No. 4620). 38Untuk menerapkan standardisasi HAM dalam aktivitas bisnis, the Danish Institute meluncurkan Human Rights Compliance Assessment (HRCA) sebagai “a diagnostic tool designed to help companies detect potential human rights violations caused by the effect of their operations on employees, local residents and all other stakeholders.” HRCA berisikan 350 pertanyaan dan 1000 indikator berkaitan dengan HAM. Lihat lebih lanjut Danish Institute for Human Rights, Human Rights Compliance Assessment (HRCA); Quick Check (Denmark: Danish Institute for Human Rights, 2004). Dapat diakses pada www.humanrightsbusiness.org. Diakses pada 30 Desember 2009. 39David Bilchitz, op.cit., halaman 5. 40Khusus tentang dua prinsip HAM tersebut, Andrew Clapham memberikan komentarnya sebagai berikut, “The compact principles cover both the commission of human rights abuses and complicity in human rights abuses. On the one hand, companies are to make sure they do not themselves commit human rights abuses; on the other hand, companies are to support appropriate public policies and ensure they are not complicit in other people’s human rights abuses.” Lihat Andrew Clapham, Human Rights Obligations of Non-State Actors (Oxford: Oxford University Press, 2006), halaman 214.
Majda-11
berhubungan dengan antikorupsi (anti-corruption). Selengkapnya dinyatakan sebagai berikut: 41
(1) Businesses should support and respect the protection of internationally proclaimed human rights; (2) make sure that they are not complicit in human rights abuses; (3) businesses should uphold the freedom of association and the effective recognition of the right to collective bargaining; (4) the elimination of all forms of forced and compulsory labor; (5) the effective abolition of child labor; (6) the elimination of discrimination in respect of employment and occupation; (7) businesses should support a precautionary approach to environmental challenges; (8) undertake initiatives to promote greater environmental responsibility; (9) encourage the development and diffusion of environmentally friendly technologies; dan (10) businesses should work against all forms of corruption, including extortion and bribery. 42
Dorongan kuat untuk mendorong hadirnya komitmen korporasi pada prinsip-prinsip HAM juga dilakukan Organisasi Ekonomi, Kerjasama dan Pembangunan (OECD). Tiga puluh Negara OECD 43 dan 9 bukan negara anggota 44 menyepakati lahirnya OECD Guidelines for Multinational Enterprises pada Oktober 2001. 45Ketentuan pada Bagian II General Policies ditegaskan sebagai berikut: Enterprises should take fully into account established policies in the countries in which they operate, and consider the views of other stakeholders. In this regard, enterprises should: … 2. Respect the human rights of those affected by their activities consistent with the host government’s international obligations and commitments. 46 41Lihat
lebih lanjut www.unglobalcompact.org. Diakses 5 Januari 2011. laporan satu dekade UNGC, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon menyatakan bahwa dengan kekuatan hampir mencapai 6000 praktisi bisnis dari 130 negara maka diyakini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam difusi nilai-nilai PBB di seluruh dunia. Georg Kell, Direktur Eksekutif Kantor UNGC dengan tegas menyatakan, “Today, there is growing recognition from all corners – the private sector, investors, employees, consumers, Governments, non-profits and educators – that when companies embed human rights, labor standards, environmental stewardship and anti-corruption measures throughout their organizations, it is good for both business and society.” Lihat lebih lanjut UNGC, Annual Review 10 Years 2000-2010 – Anniversary Edition (USA: UNGC, 2010). 43Australia, Austria, Belgia, Kanada, Czechnia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxemburg, Meksiko, Belanda, New Zealand, Norwegia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Polandia, Portugal, Inggris dan Amerika Serikat. 44Argentina, Brazil, Chili, Estonia, Israel, Latvia, Lithuania dan Slovenia. 45Lihat lebih lanjut www.oecd.org. Diakses pada 11 Januari 2011. 46Komentar Angka 4 menjabarkan sebagai berikut, “On a related issue, while promoting and upholding human rights is primarily the responsibility of governments, where corporate conduct and human rights intersect enterprises do play a role, and thus MNEs are encouraged to respect human rights, not only in their dealings with employees, 42Dalam
Majda-12
Selanjutnya, pada 13 Agustus 2003 juga telah diadopsi The UN Norms on the Responsibilities of TNCs and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights yang dirancang oleh Kelompok Kerja UN-Sub Commission on the Promotion and Protection of Human Rights di bawah pimpinan David Weissbrodt. 47 Pada ketentuan Bagian A General Obigations dinyatakan sebagai berikut: States have the primary responsibility to promote, secure the fulfillment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including ensuring that transnational corporations and other business enterprises respect human rights. Within their respective spheres of activity and influence, transnational corporations and other business enterprises have the obligation to promote, secure the fulfillment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including the rights and interests of indigenous peoples and other vulnerable groups. 48
Dalam kinerjanya, upaya menjembatani praktik dan operasi bisnis dengan HAM tidaklah mudah. Pandangan satu pihak bahwa semata-mata negara bertanggung jawab dalam HAM dirasakan tidak cukup kuat menolak realitas bahwa tidak sedikit praktik bisnis mengabaikan prinsip dan standar HAM, apalagi dilakukan dalam spektrum bisnis yang amat luas dan melewati batas demarkasi negara, menjadi alasan utama munculnya desakan dari pandangan pihak lain. 49 Untuk mengisi kekosongan pandangan itu, inisiatif internasional dibutuhkan dan kemudian diarahkan agar lebih otoritatif. Kerja-kerja ekspansif pun dilakukan, baik dalam berbagai bentuk dialog, telaah dokumen internasional maupun penelitian ilmiah yang memungkinkan menjadi dasar faktual dalam menjembatani perdebatan kolosal, relasi bisnis dan HAM.
but also with respect to others affected by their activities, in a manner that is consistent with host governments’ international obligations and commitments. The Universal Declaration of Human Rights and other human rights obligations of the government concerned are of particular relevance in this regard.” 47U.N.Doc.E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2 (2003). Selengkapnya lihat Henry J. Steiner, et.al., International Human Rights in Context; Law, Politics, Moral (Oxford: Oxford University Press, 2007), halaman 1398-1402. Lihat juga Ans Kolk, et.al., “International Codes of Conduct and Corporate Social Responsibility: Can Transnational Corporations Regulate Themselves?,” dalam Transnational Corporations (edisi vol. 8 No. 1, April 1999). 48Ibid. Begitupun, mengutip pandangan Jones dan Kinley, Tom Sorell memberikan komentar yang tajam terkait hal tersebut. Selengkapnya dikatakan, “It remains to be seen whether the standards remain mere ideals for everyone outside the avant-garde, or whether they can be observed in mainstream international business.” Lihat Tom Sorell, “The UN Norms,” dalam Janet Dine dan Andrew Fagan (Ed.), Human Rights and Capitalism; A Multidisciplinary Perspective on Globalisation (USA: Edward Elgar, 2006), halaman 299. 49Lihat dokumen A/HRC/11/13, 22 April 2009.
Majda-13
Semangat dan kerja keras John Ruggie membuahkan hasil dan menjadi sejarah baru dalam bukan saja dalam upaya meletakkan kerangka kerja bisnis dan HAM dalam payung kebijakan internasional yang didukung secara luas dan menjadi acuan internasional, tetapi juga membuatnya lebih operasional dan komprehensif melalui rekomendasi-rekomendasi praktis dan pedoman yang konkrit bagi negara, aktor-aktor bisnis dan sosial. 50 Kerangka kerja bisnis dan HAM ini mendapat dukungan luas dan menjadi pijakan internasional dalam mengimplementasikan relasi bisnis dan HAM secara benar dan bertanggungjawab. PBB kemudian mengadopsi kerangka kerja dan menyebutnya sebagai Prinsip-prinsip Panduan Untuk Bisnis dan HAM (the Guiding Principles on Business and Human Rights; Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework). 51 Komitmen dan aksi bermunculan sekaligus menjadi ruang terbuka bagi seluruh komponen (negara, bisnis dan aktor sosial) untuk mengejawantahkannya ke dalam praktik-praktik yang konstruktif. Forum bisnis dan HAM tahunan digelar sejak 2012 untuk memperkuat komitmen dan aksi serta terobosan-terobosan yang lebih implementatif dan bernilai. 52 This annual forum offers a unique opportunity for the international community to bring together all relevant stakeholders to the business and human rights debate to exchange information, challenges, good practices and lessons learned with regard to implementing the Guiding Principles, demikian tegas Laura Dupuy Lasserre, Presiden Dewan HAM PBB, saat pembukaan Forum Tahunan Bisnis dan HAM, 4 Desember 2012. 53 50Selengkapnya
baca Report of the Special Representative of the Secretary-General on the issue of human rights and transnational corporations and other business enterprises, John Ruggie, A/HRC/17/31, 6 Juli 2011 51Lihat Resolusi 17/4 pada 16 Juni 2011. 52Lihat angka 12 Resolusi 17/4 pada 16 Juni 2011, “Decides to establish a Forum on Business and Human Rights under the guidance of the Working Group to discuss trends and challenges in the implementation of the Guiding Principles and promote dialogue and cooperation on issues linked to business and human rights, including challenges faced in particular sectors, operational environments or in relation to specific rights or groups, as well as identifying good practices.” 53John Ruggie, pada kesempatan pidato pembukaan, juga menegaskan sebagai berikut (huruf tebal dari penulis): “For states, the focus is on the legal obligations they have under the international human rights regime to protect human rights abuses by third parties, including business, as well as policy rationales that are consistent with, and supportive of, meeting those obligations; For businesses, beyond compliance with legal obligations that vary across countries in their applicability and enforcement, the Guiding Principles focus on the need to manage the risk of involvement in human rights abuses, which requires acting with due diligence to avoid infringing on the rights of others, and to address harm where it does occur; For affected individuals and groups, the Guiding Principles serve as a basis for further empowerment through prescribed engagement with them by business enterprises, as
Majda-14
Tiga pilar kerangka kerja dihasilkan, yakni pertama, kewajiban negara untuk melindungi dari pelanggaran HAM oleh pihak-pihak ketiga, termasuk oleh kalangan bisnis, melalui kebijakan-kebijakan, peraturan dan pengadilan yang memadai; kedua, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM yang berarti bertindak dengan uji tuntas untuk menghindari pelanggaran terhadap hak pihak lain; dan ketiga, memperluas akses untuk pemulihan yang efektif, baik melalui proses hukum atau non-hukum, bagi para korban. 54
Bagaimana Indonesia? Merespon perkembangan signifikan bisnis dan HAM, di Indonesia, beragama aktivitas diseminasi dalam bentuk sosialisasi, pelatihan dan penelitian telah dan akan terus dilakukan oleh berbagai lembaga, baik kalangan kampus maupun masyarakat sipil lainnya serta Komnas HAM. Pada Catatan Akhir Tahun 2012, Komnas HAM mencatat operasi perusahaan besar (baik BUMN maupun swasta) yang bergerak di sektor perkebunan dan eksploitasi sumber daya alam (pertambangan) kerap melahirkan kerusakan lingkungan, buruknya kualitas kesehatan warga, ketimpangan kepemilikan sumber daya, mendalamnya kemiskinan, dan tergusurnya masyarakat hukum adat—yang akhirnya bermuara pada maraknya konflik dan kekerasan sosial antara warga dan perusahaan. 55 Beberapa kegiatan penelitian juga di antaranya dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) di Medan, melalui dukungan Raoul Wallenberg Institute (RWI) bersama dengan Komnas HAM RI, melakukan penelitian di Propinsi Sumatera Utara tahun 2012 tentang the Role of Local Government in Business and Human Rights. 56 well as greater access to effective remedy, both judicial and non-judicial. Simply put: states must protect; companies must respect; and those who are harmed must have redress. The Guiding Principles stipulate how. 54Lebih lanjut baca UNOHCR, Guiding Principles on Business and Human Rights; Implementing the United Nations “Protect, Respect Remedy” Framework, 2011. Baca juga, Global Compact Network Netherlands, How to do Business with Respect for Human Rights; A Guidance Tool for Companies. Kedua buku ini diterjemahkan dengan baik ke dalam Bahasa Indonesia oleh ELSAM tahun 2013 dan 2014. 55Pada Januari—November 2012, Komnas HAM menerima pengaduan terkait perusahaan sebanyak 1.009 berkas dari 5.422 berkas yang masuk. Perusahaan adalah aktor kedua—setelah Polri (1.635 berkas)—yang paling banyak diadukan sebagai pelaku pelanggar HAM. Dari pengaduan sebanyak ini, tiga isu terbanyak yang diadukan terkait sengketa lahan (399 berkas), ketenagakerjaan (276 berkas), dan lingkungan (72 berkas). 56Hasil penelitian ini telah dimuat pada Jurnal HUMANITAS, Pusham Unimed, edisi Vol III, No. 1, Juni 2012. Lebih lanjut dapat dilihat pada www.pusham.unimed.ac.id. Pada 11-12 Oktober 2014 di Kampus Unimed di Medan, Pusham Unimed bekerjasama dengan Panranham Propinsi Sumut dan Serikat Pengajar HAM se-Indonesia (SEPAHAM) menggelar
Majda-15
Human Rights Resource Centre for Asean (HRRCA), Jakarta melakukan penelitian dalam bentuk garis dasar (baseline) dengan judul Business and Human Rights in ASEAN; A Baseline Study. Kajian tentang Indonesia dilakukan oleh Patricia Rinwigati Waagstein. 57 Hasil penelitian ini menjadi acuan umum yang kaya khazanah, khususnya dalam memotret regulasi bisnis di kawasan regional sepuluh negara anggota Asean. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, secara sangat aktif menggelontorkan gagasan brilian penguatan komunitas bisnis dan HAM. Pertemuan-pertemuan reguler dengan pelibatan unsur akademisi dan LSM dilaksanakan sejak 2013 dan terus membulatkan tekad untuk menggelar penelitian di beberapa daerah di Indonesia serta konferensi bisnis dan HAM di Indonesia pada 2015 mendatang. 58 Selanjutnya, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), Yogyakarta, bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NHCR) University of Oslo, Norwegia, juga tengah merampungkan analisisnya dalam riset tentang Audit Legal terhadap Hukum Bisnis dan Kebijakan Bisnis di Indonesia. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah kampanye yang intensif dilakukan oleh Global Compact Network Indonesia (GCNI). Peningkatan pemahaman dan kesadaran serta komitmen HAM di lingkungan GCNI tentu sangat berimplikasi positif bagi dukungan perjuangan mengimplementasikan UN Guiding Principles on Business and Human Rights di Indonesia. Penerbitan buku edisi Indonesia Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi Manusia yang dilakukan atas kerjasama ELSAM dan GCNI patut diapresiasi dengan baik. Saat ini, INFID pun menggelar konferensi dan menginisiasi sebuah panel yang mengangkat tema HAM dan pembangunan dengan menyentuh pembahasan HAM dan bisnis. Ini adalah rekayasa cerdas dan beradab dalam memahami dan menyadari eksistensi relasi bisnis dan HAM. Perlu dipahami bahwa kesemua upaya dan capaian sederhana ini diharapkan mampu memaksimalkan langkah-langkah konkrit dalam menginkorporasi prinsip dan standar HAM dalam aktivitas bisnis, khususnya di Indonesia. Aktivitas bisnis tidaklah berada dalam ruang hampa. Nuktah kemanusian yang melekat di dalamnya kemartabatan adalah kata kunci bagi suksesnya pembangunan nasional Indonesia, sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea
Konferensi Nasional HAM Kedua dan mengangkat tema HAM dan bisnis dalam salah satu panel. 57Buku ini diterbitkan tahun 2013. 58ELSAM juga melaksanakan pelatihan bisnis dan HAM di kalangan praktisi bisnis. Bahkan, materi muatan bisnis dan HAM digunakan dalam Program Pelatihan HAM Bagi Pengacara pada tahun 2014 ini.
Majda-16
Keempat Pembukaan UUDNRI Tahun 1945. Bahkan, wujud kewajiban konstitusional negara juga diperkuat dengan norma hukum tertinggi melalui ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUDNRI Tahun 1945. Sekali lagi, UN Guiding Principles menuntut implementasi yang konkrit. Di sinilah arti penting konferensi ini. Penguatan dan penajaman komitmenkomitmen aksi patut dirumuskan, tidak saja pada lingkup pemerintahan pusat, pemerintahan daerah dan aktor-aktor keamanan negara, TNI dan Polri, tetapi juga pada lingkup kita, masyarakat sipil Indonesia. 59 Advokasi pada konteks bisnis dan HAM akan menuai lonjakan hebat ketika kemelekan kita tentang UN Guiding Principles mampu dibarengi dengan keluhuran visi dan misi dalam menegakkan kemartabat kemanusiaan di tengah republik yang tengah menata-ulang format-format konstitusionalismenya. Soliditas kelembagaan dan perjuangan luhur itu lagi-lagi menuntut keterampilan dan jejaring kerja yang kuat dalam orkestrasi yang efektif dan proliferatif dalam mengawal dan mengreasi penataan sistem HAM Indonesia. 60 Tantangan selanjutnya adalah mentransformasikan ide besar itu ke dalam wajah ke-Indonesia-an kita karena dengan jernih harus diakui bahwa alih kekuasaan adalah prosesi biasa dan hanyalah awal – semoga saja mampu memberikan perubahan positif - dalam menapaki babak baru bagi arah dan masa depan pembangunan Indonesia yang berbasis HAM.© Semoga Bermanfaat
lanjut baca Mariëtte van Huijstee, et.al., How to use the UN Guiding Principles on Business and Human Rights in Company Research and Advocacy; A Guide for Civil Society Organisations (2012). 60Lebih lanjut baca Tara J. Melish dan Errol Meidinger, “Protect, Respect, Remedy and Participate; Governance’s Lessons for the Ruggie Framework,”dalam Radu Mares (Ed.), The UN Guiding Principles on Business and Human Rights; Foundations and Implementation (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2012). 59Lebih
Majda-17