PENGADILAM HAM DI INDONESIA1 Oleh: M. Abdul Kholiq,SH.MHum.2
Ada 3 (Tiga) Aspek Kajian (Sub Sillaby) sesuai TOR Panitia: 1.
Selintas tentang Hubungan Hukum HAM dan Hukum Pidana Internasional
2.
Masalah Pelanggaran Berat HAM dan Pengadilan HAM menurut Statuta Roma 1998 dan UU No. 26/2000
3. Perkembangan Regulasi dan Implementasi Pengadilan HAM di Indonesia
CATATAN: 1
). Disampaikan dalam forum Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-Dosen Hukum HAM, diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo Norway, di Sanur Paradise Plaza Hotel, Jl. Hang Tuah No. 46, Sanur, Bali, tanggal 16-17 Maret 2009 2
). Staf Pengajar Fakultas Hukum UII Yogyakarta
1
(-) Keharusan mengkaji 3 Sub Bahasan di atas adalah sangat logis. Karena Regulasi Pengadilan HAM Indonesia dalam Hukum Pidana Nasional yang termaktub dalam UU No.26/2000 terkait erat dengan Instrumen HAM Internasional berupa ICC-RS 1998 sebagai Hukum Pidana Internasional (HPI). (-) HPI yang merupakan legitimate basic bagi pembentukan Pengadilan-Pengadilan HAM, sesungguhnya berorientasi pada penghormatan dan perlindungan prinsipprinsip HAM yang terrumuskan dalam Hukum HAM (-)
Selanjutnya, conten / isi Hukum Pidana Internasional (HPI) selain berasal dari Hukum Pidana Nasional, juga tidak lepas keterkaitannya dengan prinsip-prinsip dalam Hukum Hak Asasi Manusia yang hendak ditegakknya melalui mekanisme yudisial.
2
I.
SELINTAS tentang HUBUNGAN antara HUKUM HAM dan HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 1. Sebenarnya, Hukum HAM dan Hukum Pidana Internasional (termasuk juga Hukum Humaniter) secara prinsip bertujuan dan berparadigma sama dalam konteks HAM, yaitu untuk melindungi dan menjaga martabat manusia melalui: • • • •
Penghormatan HAM (to respect) Perlindungan HAM (to protect) Pemenuhan HAM (to fulfil) dan Peningkatan HAM (to promote)
yang secara kodrati dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia (baca: warga) dan harus diwujudkan oleh Negara. => HAM bukan pemberian Negara melalui Undang-Undang atau Konstitusi sekalipun. => Pelanggaran terhadap HAM dipandang sebagai: 3
• Mala Perse, bukan Mala Pro Hibita • Crime against Consience • Extra Ordinary Crime => Extra Ordinary
Way
2. Hal yang membedakan ialah lebih terletak pada isi (norma), administrasi dan mekanisme peradilan serta pihak yang harus bertanggung jawab saat terjadi pelanggaran terhadap norma kedua / ketiga bidang hukum yang semuanya bermuara pada upaya perlindungan hak asasi dan martabat manusia tersebut.
3. Hukum HAM, prinsipnya lebih memberikan pertanggung jawaban pada NEGARA untuk menghormati dan menjamin hak-hak dari individu-individu dalam wilayah yurisdiksinya, termasuk memastikan: • Legislasi nasional sudah sesuai dengan standar minimum HAM • Aparatur negara telah bertindak maksimal dalam upaya perlindungan 4
dan pemenuhan HAM (Sipol maupun Ekosob), dll
4. Hukum Humaniter, sebagai hukum HAM yang bersifat spesifik terkait prinsipprinsip hukum perang (Hukum untuk memanusiawikan perang), pada dasarnya juga memberikan pertanggung jawaban pada NEGARA untuk terwujudnya jaminan penghormatan terhadap konvensi-konvensi internasional terkait (seperti Konvensi Jenewa). =>
Negara bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan konvensi yang dilakukan oleh angkatan bersenjatanya => Ada tanggung jawab individu. 5. Hukum Pidana Internasional, prinsipnya lebih meletakkan tanggung jawab INDIVIDUAL atas suatu kasus kriminal dalam perspektif hukum pidana
5
internasional (c.q pelanggaran berat HAM dan Hukum Humaniter) => Berdasarkan ketentuan ICC-RS 1998 ada 4 jenis kejahatan, yaitu: • • • • •
Genocide Crime Crime against Humanity War Crime Crime of Agression Obstruction of Justice (?)
6. Ada gagasan yang terus berkembang dan ingin menuntut pula adanya tanggung jawab NEGARA dalam kasus-kasus kejahatan/pelanggaran berat HAM (State Kontruksi Criminal Responsibility). yuridisnya ialah analog pada kasus Corporate Criminal Responsibility, di mana secara yuridis, doktrin hukum pidana membebankan pertanggung jawaban secara opsional kepada: • Pengurus Korporasi • Korporasi
6
• Pengurus dan Korporasinya sekali gus (secara bersamaan) CATATAN: Bandingkan pula dengan diskursus tentang State Terrorisme dan Konsep Pertanggung jawabannya (Ezzat Fattah)
7. Ada perbedaan-perbedaan lain yang dapat dikemukakan (namun justru menggambarkan adanya hubungan) antara Hukum HAM dan HPI ialah: • Optimalisasi ketaatan pada Hukum HAM, biasanya melalui institutional organizing. Seperti: Komisi, Dewan, Regulasi Hukum Internasional, Regional maupun Nasional. Sedang Optimalisasi ketaatan pada HPI prinsipnya melalui respon yudisial (in court system seperti Pengadilan HAM Nasional maupun Internasional baik ad hoc atau permanen) Ö Institusi Yudisial maupun Non Yudisial di atas secara prinsip 7
mengarah pada paradigma yang sama (penghormatan dan perlindungan HAM).
• Isi
Hukum HAM lebih normaisasi standar-standar
bersifat
minimum
dalam rangka penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan peningkatan HAM. Sedang isi HPI lebih bersifat hasil kebijakan kriminalisasi dan penalisasi terhadap perbuatanperbuatan tertentu yang dipandang sebagai serius crimes / pelanggaran berat HAM. Ö Kedua isi bidang hukum tersebut juga mengarah pada paradigma yang sama yaitu dalam rangka pemberian perlindungan HAM dan Penghormatan martabat manusia.
8
II.
MASALAH PELANGGARAN HAM dan PENGADILAN HAM menurut ICC-RS 1998 dan UU No. 26/2000
1. Perlu dipahami dengan tepat tentang perbedaan konsep/istilah antara “Pelanggaran HAM” dengan “Pelanggaran HAM Berat/Pelanggaran Berat HAM “ (?) 2. Sepanjang
terkait
dengan eksistensi Pengadilan HAM (baik yang dibentuk secara ad hoc maupun permanen, baik pembentukannya berdasarkan UU No. 26/2000 atau SK-SK Presiden nomor tertentu maupun instrument internasional seperti ICC-RS 1998), maka kasus pelanggaran HAM yang dimaksud ialah Pelanggaran Berat HAM. Karena yurisdiksi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM (Biasa) sebagai kejahatan / tindak pidana umum (seperti yang diatur dalam KUHP), mekanisme penyelesaiannya ialah melalui Pengadilan Umum (PN => PT => MA).
9
3. Pengadilan HAM Internasional/ Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Ad Hoc (yang menggambarkan penerapan Asas Retro Aktif sebagai penyimpangan terhadap Asas Legalitas), antara lain dapat dilihat beberapa tribunal sebagai berikut: • Tribunal Internasional di Nuremberg • Tribunal Internasional di Tokyo • International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY), berkedudukan di Den Haag, Belanda. • International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), berkedudukan di Arusha, Tanzania Sedangkan Pengadilan HAM Internasional yang bersifat permanen ialah berupa
Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang
pembentukannya berdasarkan Statuta Roma (SR) 1998. Statuta ini berlaku sejak diratifikasi oleh 60 negara yang terjadi pada tanggal 1 Juli 2002.
10
CATATAN: Indonesia sendiri hingga saat
sekarang belum meratifikasi statuta ini, walau telah diagendakan paling akhir pada tahun 2008 (Lihat RANHAM).
Pengadilan HAM Internasional permanen (ICC) ini berkedudukan di Den Haag, Belanda. Eksistensi dan kinerja ICC didasarkan pada asas Komplementer (Complementarity Principle). Artinya ICC hanya dapat mengadili suatu perkara pelanggaran berat HAM jika negara locus delicti tidak mau (un willing) atau tidak mengadili dan mampu (unable) menyelesaikan sendiri kasus itu berdasarkan UU dan Pengadilan HAM Nasional negara tersebut. Untuk memperkuat keberadaan dan menopang optimalisasi kinerja ICC, SR telah dilengkapi dengan dua aturan terpisah namun merupakan satu kesatuan regulasi, yaitu: • Rules of Procedure and Evidence terkait Hukum Acara 11
• Element of Crime terkait penjelasan terhadap unsur-unsur delik dari tindak pidana pelanggaran Berat HAM yang bisa diadili ICC, yaitu: Kejahatan Genocida; Kejahatan Kemanusiaan; Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi)
CATATAN:
Apakah dengan ditemukannya beberapa kelemahan pada UU Pengadilan HAM No. 26/2000, UU tersebut harus dilengkapi dengan peraturan tersendiri seperti ICC di atas ? => Diskusikan ! 4. Pengadilan HAM Nasional (Indonesia) bersifat Ad Hoc yang mengadili kasuskasus pelanggaran berat HAM sebelum lahirnya UU No. 26/2000 (berarti ada penerapan Asas Retro Aktif sebagai penyimpangan terhadap Asas Legalitas berdasar ketentuan Pasal 43 UU No.26/2000), ialah sebagai berikut: • Pengadilan HAM Ad Hoc pada Kasus Timor Timur yang terjadi tahun 1999 • Pengadilan HAM Ad Hoc pada Kasus Tanjung Priok yang terjadi tahun 1984 12
=> Dua Pengadilan HAM Ad Hoc di atas dibentuk berdasarkan SK Presiden RI No. 53/2001 tertanggal 23 April 2001
CATATAN:
Selain dua kasus di atas, sebelum UU No. 26/2000 lahir, sebenarnya ada beberapa kasus lain yang secara yuridis cukup layak untuk diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, yaitu: • Kasus Kerusuhan Mei tahun 1998 terutama aspek Kekerasan Seksual terhadap Perempuan etnis tertentu • Kasus Tri Sakti tahun 1998 • Kasus Semanggi I tahun 1998 dan • Kasus Semanggi II tahun 1999 => Kasus-kasus di atas tidak/ belum diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, karena pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc-nya “terganjal” oleh politisasi hukum pidana yang dipraktekkan anggota DPR berdasar legitimasi pasal 43 UU No. 26/2000 sendiri => Benarkah ? Diskusikan ! 13
Pengadilan HAM Reguler yang menangani kasus-kasus pelanggaran Berat HAM pasca lahirnya UU No. 26/2000, sebenarnya telah terbentuk. Ada 4 (empat) Pengadilan HAM, yaitu:
a.Pengadilan
HAM
Jakarta
Pusat
(mencakup wilayah DKI, Jabar, Banten, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng) b. Pengadilan HAM Surabaya (mencakup wilayah Jatim, Jateng, DIY, Bali, Kalsel, Kaltim, NTB dan NTT) c.Pengadilan HAM Makassar (mencakup wilayah Sulsel, Sultengg, Sulteng, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya) d.Pengadilan HAM Medan (mencakup wilayah Sumut, DI Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar)
CATATAN:
Dari ke empat Pengadilan HAM Reguler di atas, baru ada satu Pengadilan HAM 14
yang fungsional yakni Pengadilan HAM Makassar yang mengadili kasus Pelanggaran HAM Abepura di Papua (Irian Jaya) yang terjadi tahun 2000. Bagaimana dengan kasus-kasus lain seperti Penyerangan aparat ke UMI (2003) atau ke Unas (2008) ? Diskusikan ! 5. Beberapa Hal Penting Lain terkait Pengadilan HAM menurut Statuta Roma 1998 dan Perbandingannya Menurut UU No. 26/2000: a. Tentang Spirit Pembentukan Pengadilan HAM (ICC), ada 2 spirit pokok, yaitu:
a. General Spirit
Untuk menjamin penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar
b. Special Spirit
- Menciptakan keadilan bagi semua phak - Mengakhiri praktek impunity - Mengakhiri konflik dan menimbulkan deterrent effect 15
- Memperbaiki pengadilan Ad Hoc yang menimbulkan Selective
Justice
- Mengambil alih Pengadilan HAM Nasional yang unwilling and
unable CATATAN:
Bandingkan dengan Spirit Pembentukan Pengadilan HAM Indonesia berdasar UU No.26/2000 yang berbunyi: menciptakan perdamaian “Untuk
dunia, menjamin pelaksanaan HAM dan memberikan perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman perorangan dan masyarakat”.
¾ Rumusan di atas hanya menggambarkan adanya General Spirit sehingga kurang kongkrit dan ’menggigit’ ¾ Seharusnya ada penegasan bahwa kelahiran UU sebagai wujud political will untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM 16
berat => Indonesia dipandang Able and Willing
dapat
b. Tentang Jenis-jenis Tindak Pidana: 1. Genocide Crime 2. Crime Against Humanity 3. War Crime 4. Crime of Agression 5. Obstruction of Justice (offenses against the administration of justice and misconduct before the court). => Article : 6, 7, 8, 5, 70 dan 71 ICC
CATATAN:
Bandingkan dengan Kriminalisasi Pelanggaran Berat HAM dalam UU No. 26/2000 yang hanya mencakup 2 jenis tindak pidana, yaitu Kejahatan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan. Perkembangan regulasi dalam RUU KUHP 2006/2007 sudah diperluas menjadi 3 jenis yakni selain 2 jenis kejahatan
17
tersebut
di
ats, Kejahatan Perang.
juga
mencakup
c. Ttg Pertanggung jawaban Pidana: 1. Prinsipnya tetap berdasarkan konsep Individual Criminal Responsibility => Article 27 ICC 2. Namun SR 1998 menerapkan pula konsep Respon of Commanders and
Other Superiors / The Command Responsibility (Structural Responsibility / Vicarious Liability)
=> Article 28 ICC. Dalam perspektif Hukum Pidana, justifikasi konsep ini dapat dikaitkan dengan teori Delik Penyertaan (mede plichtigen) atau teori Delik Omissionis. Oleh karena itu implementasi konsep ini mensyaratkan delik yang dilakukan oleh bawahannya tersebut harus diketahui atasannya (komandan) dan atasan tadi tidak melakukan tindakan pencegahan atau pengendalian secara patut). CATATAN: 18
Konsep Respon of Commanders and
Other Superiors / The Command Responsibility secara prinsip juga
diterapkan dalam UU No. 26/2000 meskipun ada sedikit perbedaan redaksional, yang terkadang mengundang perdebatan kecil. Seperti kata ”dapat dipertanggung jawabkan” (Selengkapnya lihat ketentuan pasal 42 UU No. 26/2000).
d. Tentang Pidana dan Pemidanaan: 1. Jenis Pidana Ancaman Pidana Penjara Maximum 30 tahun/seumur hidup (sebagai sanksi pidana pokok) Denda, perampasan hasil kejahatan/kekayaan lain pelaku yang langsung/tidak langsung berhubungan dengan kejahatan => Article 77 ICC
2. Pola Pemidanaan
19
-
Minimum Khusus
Umum
s/d
Maximum
CATATAN:
Bandingkan dengan ketentuan mengenai hal yang sama dalam UU No. 26/2000 yang mencantumkan: - salah satu jenis pidana pokoknya berupa Pidana Mati maksimum pidana penjara 25 tahun/seumur hidup minimum khusus antara 5-10 tahun penjara (?)
e. Asas Retro Aktif: Menolak secara tegas/ tidak memberlakukan Asas Retro Aktif => Article: 22, 23 dan 24. Terhadap kasus silam, diserahkan penyelesiannya kepada hukum dan pengadilan nasional
CATATAN:
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 43 UU No. 26/2000 yang menerima / 20
memberlakukan penerapan asas Retro Aktif dengan syarat-syarat tertentu, yakni bahwa Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ialah harus atas usul DPR dan disetujui Presiden. Dalam praktek sering terjadi perdebatan: 1.
Apakah DPR memiliki wewenang absolut dalam pengusulan tentang pembentukan suatu Pengadilan HAM Ad Hoc dengan bisa mengesampingkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan Kejaksaan Agung ?
2.
Ataukah DPR secara otomatis berkewajiban mengajukan usul pembentukan suatu Pengadilan HAM ad hoc jika hasil Penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Kejaksaan Agung jelas-jelas mengindikasikan adanya suatu Pelanggaran Berat HAM ? Diskusikan dengan mencermati risalah historis lahirnya pasal 43 UU 21
No. 26/2000 dan eksistensi DPR sebagai lembaga legislatif (bukan yudikatif) !!!
III. BEBERAPA CATATAN tentang PRAKTEK PENGADILAN HAM di INDONESIA 1. Jika makna Praktek Pengadilan adalah penanganan kasus kejahatan (c.q Pelanggaran Berat HAM yang sampai pada gelar persidangan di pengadilan), maka sorotan mengenai praktek Pengadilan HAM di Indonesia, setidaknya dapat diarahkan pada: a. Dua Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah diselenggarakan untuk Kasus Timor Timur dan Kasus Tanjung Priok b. Satu Pengadilan HAM Reguler yang diselenggarakan untuk Kasus Abepura
22
2. Namun jika makna praktek pengadilan sebagai tahap penegakan hukum aplikatif adalah mencakup pula penanganan kasuskasus oleh aparat terkait meskipun tidak/belum sampai di persidangan pengadilan, maka hal itu akan mencakup realitas praktek peradilan HAM yang demikian luasnya. Karena selain terkait pada 3 kasus yang telah disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc maupun reguler di atas, juga mencakup kasus-kasus yang “macet” atau “sengaja dimacetkan” pada tahap penyelidikan ataupun penuntutan. Seperti Kasus Talangsari (GPK Lampung pimpinan Warsidi 1989), Kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1998, Kasus Tri Sakti 1998, Semanggi I dan II (1998-1999), Kasus Munir 2004, dan sejumlah kasus lain yang banyak ditengara sebagai kasus pelanggaran berat HAM. 3. Meskipun penanganan untuk sebagian kasus masih dalam proses, dan sebagian lainnya sudah “tuntas” peradilan HAM-nya, 23
namun secara keseluruhan dapat dikemukakan elaborasi penilaian bahwa praktek peradilan kasus-kasus HAM di Indonesia masih kurang menggembirakan (baca: memprihatinkan). 4. Pada kasus Timor Timur misalnya, sejak awal telah memperlihatkan fenomena selective justice bahkan discriminative law enforcement (baca: hidden impunity). Karena hasil penyelidikan Komnas HAM menjaring 32 calon tersangka, hasil penyidikan Kejaksaan Agung menegaskan 22 calon terdakwa, namun saat diajukan ke persidangan Pengadilan HAM hanya tinggal 18 terdakwa. Selain itu, putusan pengadilan atas kasus ini juga menimbulkan tanda tanya publik. Karena dari18 terdakwa hanya satu yang “dikorbankan” untuk dikenai putusan pemidanaan yaitu Eurico Guteres dengan pidana yang kontroversial, 10 tahun penjara pada tingkat Judex Facti, 5 tahun penjara pada tingkat Banding dan 10 tahun penjara pada tingkat Kasasi). Selebihnya 24
(17 terdakwa putusan bebas.
lain)
berakhir
dengan
5. Potret peradilan di atas juga terjadi pada penanganan kasus Tanjung Priok (14 terdakwa pada akhirnya diputus bebas semua). Demikian pula pada praktek Pengadilan HAM Reguler dalam penanganan kasus Abepura (Selengkapnya lihat juga tabel perkembangan pengadilan kasus HAM di Indonesia dalam buku Hukum HAM). 6. Bagaimana analisis yang dapat dikemukakan terkait realitas praktek Pengadilan HAM di atas ? Ada beberapa “pisau” analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan tersebut, yaitu: a.
Analisis dari segi plus minus isi UU Pengadilan HAM No. 26/2000 (substansi hukum) => Misalnya terkait dengan rumusan deliknya,
25
ketentuan hukum formil/acaranya, dan sebagainya b.
Analisis dari segi SDM Aparat Penegak Hukum dan Komitmennya terhadap persoalan HAM (struktur hukum)
c.
Analisis dari segi persepsi masyarakat dan aparat khususnya kalangan militer terhadap masalah HAM dan penghormatan serta perlindungannya (kultur hukum)
=>Selamat mendiskusikan mendialogkan hal di atas !!!
atau
Yogyakarta, 15 Maret 2009
26