Membahas Diskursus HAM di Indonesia
Pembela
UNAIR NEWS – Pusat Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga kembali menggelar diskusi publik. Kini, topik yang diangkat dan dibahas dalam diskusi publik bertajuk “Scholars and Activists at Risk: Research on Human Rights Defenders in Indonesia”, Rabu (14/9) di Gedung C Pusat Studi FH. Dalam kesempatan ini, sebanyak lima pembicara berbagi pandangan mengenai pembela HAM di Indonesia. Kelima pembicara itu adalah Dr. Alice M. Nah (Center for Applied Human Right, Universitas York, UK), Dr. Herlambang P. Wiratraman (Center for Human Right Law Studies FH UNAIR), Andy Irfan (KontraS Surabaya), Abd. Wachid Habibullah, M.H (Lembaga Bantuan Hukum Surabaya), dan Dwi Rahayu, M.A. (Serikat Pengajar HAM Indonesia). Alice mengawali acara dengan memaparkan aktivitas risetnya mengenai HAM di Indonesia dan Malaysia. Ia bercerita, aktivis, pengajar, dan peneliti HAM cenderung mendapat perlakuan kurang baik di masyarakat. Contohnya, peristiwa pengajar UIN ArRaniry Aceh Rosnida Sari yang membawa mahasiswanya ke Gereja dengan tujuan pembelajaran, namun disalahartikan oleh pihak setempat. Herlambang memaparkan secara spesifik mengenai kebebasan akademik terkait berbicara, beropini dan berpendapat kritis di perguruan tinggi. Ia menilai, beberapa sekolah dan perguruan tinggi masih tunduk pada pemilik modal. Sehingga, kampus tidaklah berbeda seperti sebuah industri akademik yang diperjualbelikan. “Proses liberalisasi kampus secara tidak langsung membawa perguruan tinggi pada sistem korporatisme yang rapi,” ujar
Herlambang. “Permasalahan yang dihadapi mahasiswa hukum juga kesulitan dalam mengeksaminasi suatu kasus,” imbuh Herlambang. Di Indonesia sendiri, publik masih belum menyadari peran yang dimainkan para pembela HAM. Hal itu diakui oleh pembicara asal KontraS Surabaya. “Masih banyak masyarakat yang tidak tahu menahu mengenai pentingnya peran pembela HAM,” kata Andy. Dalam diskusi ini juga disinggung berbagai macam pelanggaran HAM seperti kasus Munir, Salim Kancil, Rosnida Sari, dan masih banyak lagi. (*) Penulis : M. Ahalla Tsauro Editor: Defrina Sukma S.
Upayakan Solusi Perlindungan Minoritas Syiah Sampang UNAIR NEWS – Perlindungan minoritas di Indonesia masih menjadi persoalan yang patut diperhatikan. Pasalnya, masih banyak kekerasan terhadap minoritas yang mana negara tidak sigap dan tanggap melakukan upaya perlindungan. Seperti halnya kasus Syiah Sampang yang saat ini masih belum menemukan titik terang. Untuk membahas persoalan tersebut, Human Right Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga bersama dengan Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Yakkum Emergency Unit (YEU), dan Kontras Surabaya mengadakan seminar “Perlindungan Minoritas di Indonesia: Menemukan Solusi Kasus Syiah Sampang”. Sejumlah tokoh dan ahli hadir dalam workshop yang diadakan
pada 6-7 September 2016 ini. Diantaranya Prof Azyumardi Azra (Presiden the Asian Muslim Action Network), Dr. Zainal Abidin Bagir (Center of Religion and Cultural Studies UGM), Muhammad Afdillah, MA, M.Si (UIN Sunan Ampel), Dr. Ihsan (PUSHAM Paramadina), Riri Khoiriyah (KOMNAS Perempuan) dan banyak tokoh lain. Workshop tersebut dibagi dalam tiga panel dan tiga diskusi kelompok. Tiga panel tersebut membahas mengenai hak-hak minoritas dalam konteks Indonesia dan Islam, kilas balik perjalanan advokasi Syiah, dan konsep perlindungan minoritas pemerintahan Jokowi-JK. Sedangkan tiga diskusi kelompok mengulas mengenai pemetaan kapasitas perdamaian untuk perlindungan minoritas bersumber dari konstitusi, budaya dan ajaran islam; penataan strategi baru untuk rekonsiliasi SunniSyiah Sampang; dan Jalur penyelesaian konflik. Kondisi kelompok Syiah di Sampang saat ini dianggap sebagai minoritas yang tertindas dan tidak punya tempat di kampung halaman mereka. Hal tersebut dimulai dari tragedi pembakaran rumah warga dan pengusiran warga Desa Karang Gayam, Sampang. Sebanyak 165 orang terusir sejak September 2012 lalu, kemudian dipindahkan di rumah susun sederhana di Sidoarjo. Warga Syiah pernah memprotes rencana pemindahan pengungsi Syiah Sampang dengan mendatangi gedung DPR. Keinginan mereka untuk kembali ke kampung halaman selalu ditolak pemerintah daerah dan otoritas keamanan setempat karena alasan keamanan. “Pengasingan ini secara tidak langsung menyalahi hak konstitusional mereka sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya dilindungi oleh negara yang mempunyai kewajiban konstitusional pula,” ujar Haidar Adam. Menurut Prof Azyumardi Azra, negara harus hadir dalam menjamin keamanan warganya. Pemerintah propinsi maupun pusat harus tegas terhadap mereka yang masih menghalangi upaya perlindungan tersebut. Pun, kelompok Syiah Sampang tersebut
memiliki hak untuk kembalikan ke kampung halaman. Tidak dibenarkan kelompok mainstream melakukan kekerasan atas dasar perbedaan. “Kekerasan atas nama apapun harus ditindak. Aparat keamanan dan hukum harus bertanggung jawab. Negara harus berdiri di atas semua golongan” ujar Prof Azyumardi. Rubi Khalifah berpendapat bahwa di balik kasus Syiah Sampang, terdapat kelompok yang harus diperhatikan dan diberdayakan, yakni gerakan perempuan. Selama ini upaya pemberdayaan perempuan yang dilakukan kelompok ini tidak berhasil seperti kelompok lain. Aktivis AMAN Surabaya tersebut melihat perlunya program kepemimpinan perempuan untuk lebih bermafaat pada masyarakat. Tugas utama workshop ini adalah melakukan pemetaan tentang resolusi konflik Syiah Sampang. Selain itu, ini juga merupakan bentuk empati dan upaya perguruan tinggi untuk memfasilitasi perlindungan terhadap minoritas. Hal utama yang menjadi sorotan adalah hak hidup mereka terancam sehingga perlu dibuat pemetaan yang akan menjadi solusi kebijakan untuk kemaslahatan bersama. (*) Penulis: Ahalla Tsauro Editor: Binti Q. Masruroh
Diskusi Terhadap
Kasus Kekerasan Perempuan dalam
Kondisi Difabilitas UNAIR NEWS –HRLS (Human Right Law Studies) Fakultas Hukum UNAIR mengadakan diskusi mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kondisi difabilitas di Indonesia. Kali ini, Selasa (23/8), diskusi yang dihadiri oleh beberapa ahli dari konsen hukum yang berbeda tersebut membahas kasus Maria Ulfa, perempuan dengan keterbelakangan mental yang disetubuhi hingga hamil. Beberapa yang hadir diantaranya Dr. R. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A. selaku Ketua HRLS, Haidar Adam, S.H., LL.M. dengan latar belakang Hukum Konstitusi, serta Sapta Aprilianto, S.H., M.H. dari Departemen Hukum Pidana. Diskusi tersebut juga dihadiri oleh PUSBAKUM Mojokerto beserta staff legal. Kedatangan mereka dimaksudkan untuk mencari upaya perlindungan hukum bagi korban. Dalam diskusi tersebut, Adi Yosef selaku ketua PUSBAKUM menjelaskan awal terjadinya kasus hingga penanganan yang tak kunjung selesai. Adi merasa bahwa polisi tidak benar-benar mengusut kasus ini. Hal ini membuat Adi ingin melakukan upaya perlindungan hukum berdasarkan pendapat dari para akademisi FH UNAIR. “Tidak ada tindak lanjut, tetapi polisi datang ke TKP. Aduan pertama bulan September. Berkas dikembalikan karena dianggap belum lengkap. Apabila kasus ini tidak bisa diputus, maka dapat dikatakan bahwa anak keterbelakangan mental tidak punya perlindungan hukum,” tegasnya. Adi membawa kasus ini dengan menjerat pelaku menggunakan Pasal 286 KUHP. Tetapi menurut saksi ahli, Pasal 286 KUHP tidak dibenarkan untuk menjerat pelaku. “Pelaku memang melakukan perbuatan melawan hukum. Tetapi Pasal 286 KUHP tidak memenuhi unsur karena, pertama, Maria Ulfa tidak dikatakan tidak berdaya, kedua, Maria Ulfa setuju untuk melakukan,” ungkap
saksi ahli. Perbedaan pendapat tersebut membuat Adi bertanya-tanya. Dari sisi mana Maria ulfa dikatakan tidak berdaya. “Di dalam pasal 286 KUHP kan tidak dijelaskan tidak berdaya, itu hanya secara fisik. Jika seperti itu, berarti tidak berdaya secara psikis juga termasuk dong. Karena posisinya disini korban adalah difabel, jadi dia tidak tahu apa dampak dari perbuatannya. Oleh karena itu korban menyetujui,” sambung Adi. Sampai saat ini, kasus masih berlanjut, dan sidang masih belum dijadwalkan. Hal ini membuat para dosen ahli FH UNAIR berpendapat kalau kasus ini harus sampai dulu ke Kejaksaan. “Targetnya sampai ke pengadilan dulu, karena pengadilan kan terbuka untuk umum. Sehingga nanti bisa dilihat dan kasus lebih terbuka,” tandas Sapta. Diskusi kemudian diakhiri dengan kesepakatan bersama, yakni dalam kasus ini, HRLS benar-benar ingin mengawal kasus tersebut. Cara pertama yang ditempuh adalah dengan mengirim surat tembusan ke Kejaksaan, agar Kejaksaan lebih memerhatikan kasus tersebut. (*) Penulis : Pradita Desyanti Editor : Dilan Salsabila
Proxy War Harus Dihadapi dengan Strategi Berbeda UNAIR NEWS – Isu keamanan nasional tak hanya berkutat masalah bela negara, tetapi juga ideologis. Merespon masalah itu, tema ‘National Security and Assymetric War’ diangkat dalam Diskusi Reboan, Rabu (8/6). Sejumlah mahasiswa, dosen, dan tamu
undangan antusias untuk hadir dan memenuhi Ruang Adi Sukadana, Gedung A, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Diskusi reboan ini dihadiri oleh tiga pembicara, yakni Triyoga Budi Prasetyo dari Universitas Pertahanan Indonesia, Joko Susanto, MSc, selaku staf pengajar pada Departemen Hubungan Internasional FISIP UNAIR, dan Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies. Diskusi dimoderatori oleh Bustomi yang merupakan alumnus FISIP UNAIR. Menurut Triyoga, isu keamanan nasional kini tak hanya berkutat pada kekuatan ekonomi, militer, dan politik. Ada elemen-elemen lainnya yang tak kalah penting, yaitu keamanan informasi, energi, perbatasan, geostrategis, cyber, lingkungan, etnis, pangan, kesehatan, dan sumber daya. “Saat ini keamanan nasional tidak hanya seputar territorial dan militer semata, namun terkait pula keamanan masyarakat, pengembangan manusia dan keamanan sosial ekonomi dan politik,” tandas Triyoga. Sementara itu, Joko memaparkan dinamika perang yang pernah terjadi di berbagai kawasan. Kini, perang tak lagi bersifat destruktif, tetapi merambah ke ranah ideologis. Perang ini merujuk pada konflik antara dua negara yang melibatkan proxy alias kaki tangan. Perang proxy perlu disikapi dengan strategi yang berbeda, dan perlu diperhatikan serta diwaspadai karena mengganggu integrasi nasional. “Waspada ancaman perang proxy, perlu adanya justifikasi rasional dan kuat. Ketika menerima informasi jangan hanya berdasarkan kata siapa dan sumber yang tidak jelas,” ujar pengajar HI FISIP UNAIR. Selama ini, ancaman-ancaman skala besar direspon melalui caracara militer. Begitu pula dengan sekuritisasi yang sangat dimaknai sebagai suatu terminologi ala militer, seperti isu bela negara. Sekuritisasi seharusnya dapat dikuatkan dari
sektor masyarakat. Maraknya paham radikalisme yang masuk ke Indonesia seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian yang membidangi urusan pendidikan. Selanjutnya, kementerian informasi berperan dalam mengawasi paham radikalisme yang bertebaran di media. (*) Penulis: Ahalla Tsauro Editor: Defrina Sukma S.
Mahasiswa HI Ajak Diskusikan Pembangunan Kota dan Dampaknya UNAIR NEWS – Pembangunan merupakan tantangan yang dihadapi negara di era global seperti yang terjadi saat ini. Pembangunan infrastruktur yang maju, akan membawa negara dapat bersaing dengan negara-negara dari berbagai belahan dunia. Namun, pembangunan infrastruktur yang banyak dilakukan justru seringkali berdampak bagi masyarakat marjinal. Berangkat dari latar belakang tersebut, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menyelenggarakan forum diskusi bertajuk “Diskusi Musikal Balada Kota”, Sabtu, (28/5). Diskusi ini menghadirkan pembicara Wawan Windarto selaku Kepala Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Paulista Bunga Suryadi dan Sita dari komunitas Kota Kita. Kharis Junandharu serta Eki Tresnowening, musisi dari grup musik beraliran folk bernama Silampukau, juga turut diundang pada acara ini.
Citra Hennida, S.IP,. MA, selaku dosen pada Departemen Hubungan Internasional UNAIR dalam sambutannya mengatakan, pembangunan infrastruktur dan masyarakat bukan hanya tugas pemerintah saja. Pembangunan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, tak terkecuali masyarakat. “Pembangunan bukan hanya berbicara pemerintah, dalam hal ini Bappeko, tapi juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat, juga musisi. Karena melalui musik, musisi dapat mengkritik tentang pembangunan,” ujar Citra. Paulista mengatakan, Kota Kita merupakan komunitas yang berangkat dengan misi ingin memfasilitasi kaum inklusi dan marjinal, diantaranya perempuan, difabel, serta orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perencanaan dan pembangunan kota atas dasar Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kota yang salah sasaran. Pada diskusi ini, Paulista dan Sita berbagi pengalaman seperti pemetaan kota berbasis komunitas yang pernah diterapkan di Solo, dan kegiatan pelatihan kewargaan untuk aktivis muda.
Grup musik folk Silampukau membawakan lagu seusai diskusi
“Balada Kota” oleh HIMAHI UNAIR. (Foto: Binti Q. Masruroh) “Pembangunan yang terjadi saat ini cenderung menggunakan parameter global atau internasional, sehingga meninggalkan masyarakatnya,” ujar Paulista. Silampukau sebagai grup musik asal Surabaya, menyajikan lagulagu dengan lirik yang jujur, memotret keseharian masyarakat Surabaya. Lagu yang diciptakan seperti Malam Jatuh di Surabaya, bercerita betapa kemacetan di Jl Ahmad Yani sudah tak terhindarkan lagi saban hari. Lagu-lagunya yang lain seperti Si Pelanggan yang bercerita tentang lokalisasi Dolly, Puan Kelana, Lagu Rantau (Sambat Omah), Bianglala, dan masih banyak lagu lain yang terangkum dalam album “Dosa, Kota, dan Kenangan”. Teddi Bagus Prasetyo selaku penanggungjawab acara berharap, apa yang menjadi kreatifitas anak-anak muda saat ini bisa tersampaikan kepada pemerintah, sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dan perbaikan pembangunan menjadi yang lebih adil untuk masyarakat marjinal. “Diskusi ilmiah ini baru pertama kali diadakan, tetapi inginnnya menjadi acara tahunan. Kita ingin ngasih jembatan antara mahasiswa atau orang-orang kreatif ke pemerintahan, medianya kita pilih musik. Supaya kreatifitas anak muda bisa sampai ke pemerintah,” ujar Teddi. Setelah acara diskusi selesai, para peserta berkelompok untuk membuat gambar campaign yang kemudian diunggah di media sosial supaya kampanye mereka dapat dilihat juga oleh masyarakat. Peserta kemudian diajak untuk menikmati sajian musik dari Silampukau. “Melalui acara ini, harapannya anak-anak muda makin kritis, aspirasi bisa disampaikan lewat jalur-jalur kreatif. Aspirasi yang kreatif bisa menjadi masukan kebijakan untuk pemerintah dan menjadi bahan evaluasi mereka,” ujar Teddi. (*)
Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Dilan Salsabila
Butuh Ide dari Mahasiswa Guna Tingkatkan Pembangunan Infrastruktur Indonesia UNAIR NEWS – Mahasiswa berperan besar dalam pembangunan Indonesia dengan penyampaian sumbangsihnya melalui sebuah ide. Hal tersebut tersiratkan dalam sebuah diskusi nasional bertajuk “Percepatan Pembangunan Infrastruktur dalam Meningkatkan Daya Saing dan Menurunkan Disparitas” di Aula Fadjar Notonegoro. Diskusi tersebut merupakan rangkaian dari acara “9 Eccents : Economic Event 2016” yang diadakan oleh Hima Ekonomi Pembangunan FEB UNAIR. Diskusi nasional yang diadakan Kamis (2/6), tersebut diikuti oleh perwakilan dari 15 peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang lolos seleksi penulisan karya ilmiah. Beberapa diantaranya seperti Universitas Airlangga sebagai penyelenggara, lalu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Brawijaya, hingga Universitas Hassanuddin Makassar. “Saya ucapkan selamat kepada 15 peserta yang telah lolos seleksi penulisan karya ilmiah, dari sinilah ide-ide dari mahasiswa yang cemerlang diharapkan dapat membantu dalam pembangunan Indonesia,” ujar Prof. Dr.Hj. Dian Agustia, SE.,M.Si.,Ak., Dekan FEB UNAIR, saat memberi sambutan. Sebagai Keynote Speaker dalam diskusi tersebut, Andie Megantara, Ph.D, mengatakan bahwa penyelesaian infrastruktur
tidak hanya butuh waktu satu atau dua tahun. Ketika Infrasruktur di Indonesia sudah bagus, hal tersebut akan mengundang FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “FDI berhak memilih, kalau infrastruktur Indonesia belum membaik, tidak mungkin mereka lebih milih Indonesia daripada negara lain yang menarik minat mereka,”ujarnya. “Karena modal itu tidak mengenal warga negara,” imbuh Asisten Deputi Fiskal Kementrian Koordinasi Bidang Perekonomian Republik Indonesia tersebut. Andie mengandaikan jika Indonesia dapat menurunkan disparitas (kesenjangan, -red) dan memiliki daya saing ekonomi yang lebih kompetitif maka dapat dipastikan ekspor dari Indonesia akan meningkat, selain itu, akan ditemukan pengganti untuk produk impor yang sebelumnya telah dilakukan oleh Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Andie juga mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan ide-ide cemerlang dari para mahasiswa untuk mendorong dalam penurunan disparitas di Indonesia. “Diskusi
ini
juga
sekalian
untuk
mengajak
temen-temen
mahasiswa untuk menyumbang ide-ide cemerlangnya,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan UNAIR NEWS – Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah strategis, bila ada konflik dari negara yang bersengketa tentu dampaknya akan merugikan negara-negara ASEAN. Pandangan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Makarim Wibisono dalam diskusi reboan yang bertajuk “Posisi Indonesia dan Peran ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan” di Aula Adi Sukadana FISIP UNAIR, Rabu (1/6). “Wilayah konflik bisa dimanfaatkan kekayaan lautnya, berupa perikanan maupun kandungan tambangnya oleh pihak-pihak yang mengklaim. Negara Asia Tenggara umumnya menginginkan LCS tetap menjadi wilayah perdamaian,” ujar Guru Internasional (HI) UNAIR tersebut.
Besar
Hubungan
Prof Makarim juga menyayangkan ketiadaannya kejelasan mengenai koordinat lokasi yang akurat dari nine dash line (Sembilan titik lokasi yang menunjukkan klaim China atas wilayah Laut Cina Selatan). Padahal, menurut hukum internasional setiap klaim atas suatu wilayah harus ada kejelasan lokasinya. “Tidak ada kepastian berapa lintang utaranya, berapa bujur timurnya,”serunya. Dalam diskusi tersebut, orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tersebut mengingatkan konsekuensi konflik LCS bagi ASEAN. Selain menurunkan minat FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modal di kawasan ASEAN, konflik LCS juga berkonsekuensi menimbulkan persaingan kekuatan militer, sehingga mengalihkan daya ekonomi serta mengundang masuknya negara besar untuk saling mencari pengaruh. “Hal ini akan menjadikan negara-negara yang kurang daya dalam militer untuk melakukan aliansi dengan negara-negara kuat,” ujar Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 tersebut.
Dalam sengketa LCS, Prof. Makarim mengungkapkan bahwa masingmasing pihak bersengketa menginginkan agar negara-negara ASEAN berada dipihak negara bersengketa. Prof Makarim mencontohkan dalam KTT ASEAN, Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok, Wang Yi, bertemu dengan Menlu Laos, Kamboja, dan Myanmar untuk membicarakan sengketa tersebut, sedangkan Amerika Serikat melobi ke negara Filipina. Dampak Konflik dan Peran Indonesia Prof Makarim menjelaskan, walaupun konflik tersebut masih dikategorikan sebagai konflik Ide, Indonesia diharapkan tetap mengusahakan agar konflik tersebut dapat diselesaikan secara damai oleh pihak terkait. Hal tersebut untuk menciptakan iklim kondusif dalam mencapai kesepakatan. Jika hal tersebut gagal, maka akan berakibat fatal. Pertama akan berdampak pada lalu lintas perdagangan dan ekonomi Indonesia dengan negara partner, seperti tujuan ekspor maupun negara asal dari penanaman modal. Kedua, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan menjadi wilayah yang tidak stabil. Ketiga, Jika LCS sudah berkembang menjadi konflik secara fisik, maka akan ada campur tangan dari negara-negara besar. “Karena diwilayah konflik, negara besar itu ingin memiliki jaminan untuk bebas melewati LCS. Misalnya saja kapal tangker atau kapal ekspor dari AS gak boleh lewat situ kan berarti dia harus lewat Afrika, secara ongkos memang lebih mahal, itu akan membuat mereka untuk mengusahakan agar jangan sampai terjadi situasi yang menghalangi lalulintas mereka,”tandasnya. Menurut Prof. Makarim, Indonesia bisa menjadi pemimpin Ideal bagi ASEAN yang masih berpotensi untuk mendorong terjadinya penyelesaian sengketa secara damai. Ada tiga alasan yang mendasarinya, pertama, Indonesia yang masih memiliki posisi kondisif bukan merupakan negara Claimant State layaknya negara Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Kedua, Indonesia merupakan negara terbesar se-ASEAN.
“Indonesia itu terbesar di ASEAN, baik penduduknya, wilayahnya bahkan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia saja terbesar di ASEAN,” ujar Profesor kelahiran 8 Mei 1947 tersebut. Sedangkan Alasan yang ketiga, dalam sejarah di masa lampau, Indonesia bukan merupakan negara yang dikelompokkan bipolar sistem zaman dahulu. Menurut Prof. Makarim, Negara Indonesia hendaknya menghimbau kepada negara yang ikut mengklaim supaya ikut aktif dalam penyelesaian perumusan Code of Conduct. “Kalau sudah ada Code of Conduct, maka sudah ada rujukan untuk mendamaikan, karena code of conduct itu berisi apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga kita ada pegangan secara hukum untuk menciptakan perdamaian di wilayah laut cina selatan,”serunya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Banyak Istilah Yang Melecehkan Masyarakat Adat UNAIR NEWS – Indonesia adalah negara yang paling kaya dengan ragam kebudayaan. Pernyataan itu dilontarkan oleh Abdun Nababan selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada diskusi publik bertema “Tantangan Eksistensi Masyarakat Adat dalam Pusaran Industrialisasi”, pada Selasa (24/5). Abdun menyatakan, walaupun Indonesia punya beragam budaya, namun ada saja makna miring terhadap masyarakat adat. “Di kongres masyarakat adat nusantara pada tahun 1999, masih banyak pelecehan bagi masyarakat adat dalam bentuk istilah,
misalnya istilah “Rehabilitasi Budaya”. Nah, masyarakat adat dianggap belum berbudaya sehingga perlu direhabilitasi,” ujar Sekjen AMAN dalam diskusi yang dihelat di Aula B. Soesetijo Fakultas Hukum Universitas Airlangga tersebut. Abdun juga menyayangkan maraknya kasus pelanggaran hak asasi manusia masyarakat adat di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. “Kalau ada aktivis dari masyarakat adat, tidak lama pasti hilang, entah kemana orangnya,” terang Abdun. Selain Abdun, anggota komunitas tradisional Sedulur Sikep atau Samin dari Pati, Gunritno, juga hadir dalam diskusi yang sama. Menurutnya, masyarakat adat merupakan tonggak perlawanan dalam menghadapi perdagangan bebas. Ia menyayangkan sikap banyak pihak yang menganggap tindakan masyarakat adat merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negara. “Alasan kami (Suku Samin) untuk tidak membayar pajak adalah karena kami yang memiliki, lalu kenapa harus ada yang mengatur. Sedangkan, semua orang yang tidak mengikuti peraturan pemerintah di-PKI- kan (dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia). Kami Sedulur Sikep tidak seperti itu, kami Gunritno.
hanyalah
menjunjung
tinggi
kejujuran,”
jelas
Dalam kesempatan yang sama, Gunritno juga bercerita tentang perlawanan Suku Samin terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Gunritno menjelaskan, secara legal formal terdapat kesalahan dalam rencana pembangunan itu. Pasalnya, sebagian besar lokasi pendirian pabrik sebagaimana yang tertera pada surat perijinan, merupakan daerah khusus industri pertanian. “Kami sudah mengadakan evaluasi bersama Gubernur Jateng untuk mendiskusikan, mana yang dianggap dapat mensejahterakan masyarakat, apakah itu dari sektor pertambangan atau dari sektor pertanian,” terang Gunritno. Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A., selaku Ketua Pusat Studi
Pluralisme Hukum FH UNAIR mengungkapkan, masyarakat adat dianggap memiliki sifat autochthonous, yaitu tatanan asli. Masyarakat adat dianggap sebagai identitas dari Bhineka Tunggal Ika dan salah satu sumber filosofi bangsa. “Jadi, bisa saya tekankan bahwa sebuah suku itu memiliki hukum sendiri, namun mereka menamai hukum tersebut sesuai dengan adat mereka sendiri,” terang Joeni. Dengan dihelatnya diskusi itu, Joenie berharap agar mahasiswa sebagai penerus bangsa dapat mendekatkan diri dengan masyarakat adat. “Mereka kelak akan jadi hakim, jaksa, lawyer dan para penegak hukum. Di mana hak-hak masyarakat adat kan bagaimanapun juga dilindungi oleh hukum. Nah, penegakkannya itu tergantung pada para penegak hukum,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Defrina Sukma S
Prof. Ramlan: Ideologi Penentu Arah Kebijakan UNAIR NEWS – Kebijakan publik merupakan cermin ideologi. Setiap kebijakan yang diterapkan hendaknya berlandaskan ideologi yang seirama dengan cita-cita bangsa yang telah dibentuk oleh pendiri negara. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Ramlan Surbakti, M.A., Ph.D, dalam acara ‘Diskusi Reboan: Ideologi dan Kebijakan’ yang dilaksanakan di ruangan Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Rabu (6/4). Diskusi reboan kali ini dihadiri oleh mahasiswa jenjang sarjana hingga doktoral, serta para dosen FISIP UNAIR.
Menurut Prof. Ramlan, pada negara yang paling makmur sekalipun, tuntutan publik memang lebih besar daripada penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat prioritas kebijakan yang akan dijalankan demi kesejahteraan rakyat. Prioritas kebijakan yang dijalankan oleh presiden dan bawahannya mencerminkan ideologi yang dianut. Pada awal Februari 2016, Presiden RI Joko Widodo mengingatkan para menterinya untuk mengendalikan penggunaan anggaran dengan berpedoman pada tugas, pokok, dan fungsi masing-masing kementerian. Menanggapi kebijakan itu, Prof. Ramlan mengatakan bahwa Jokowi sebagai kepala pemerintahan seharusnya mengingatkan bawahannya untuk mengendalikan penggunaan anggaran agar sesuai dengan Nawacita sebagaimana janji semasa kampanye. Agar kebijakan bisa diimplementasikan dengan baik kepada masyarakat, maka kepala pemerintahan seharusnya menempatkan menteri berdasarkan pertimbangan ideologis, dan keahlian yang sesuai dengan pos kementerian yang diampu. Landasan
ideologi
wajib
pula
tercermin
dalam
perumusan
kebijakan. Prof. Ramlan mengambil contoh kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Pada masa pemerintahan SBY, masyarakat yang tergolong miskin mendapatkan bantuan langsung tunai setiap bulannya. Sedangkan, pada masa Jokowi, ia berkampanye tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Kebijakan-kebijakan itu tidak dituntun oleh ideologi yang jelas. Apa dasar mereka ketika membuat kebijakan seperti itu? Poin-poin seperti itulah yang harus diperjelas oleh partai politik (selaku partai pengusung). Memang ini kelemahan parpol kita. Parpol cenderung power-oriented daripada policyoriented,” tutur Guru Besar bidang Perbandingan Politik, FISIP UNAIR.
Selain itu, implementasi kebijakan juga harus disertai dengan perencanaan operasional (operational planning) yang jelas. Prof. Ramlan menilai, seringkali pelaksana kebijakan melakukan implementasi dengan gaya srimulat. Artinya, pelaksanaan kebijakan terlalu banyak dibumbui improvisasi. “Ambil saja contoh kebijakan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik). Begitu pemerintah mulai memberlakukan e-KTP, banyak daerah dan peralatan yang belum siap. Implementasi kebijakan publik ini diterapkan dengan menggunakan gaya srimulat karena operational planning belum jelas. Kenapa srimulat? Karena terlalu banyak improvisasi,” tegas Prof. Ramlan yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis: Defrina Sukma S.
Gandeng Semua Elemen, UNAIR Gelar Diskusi Lintas Lapisan Masyarakat UNAIR NEWS – Pada Rabu 30 Maret 2016, UNAIR akan menggelar diskusi dan silaturahmi dengan tokoh masyarakat. Termasuk, dengan Camat, Kapolsek, dan semua elemen yang selama ini sudah bekerjasama dengan kampus tersebut. Kegiatan itu sedianya dilaksanakan di Kampus C, lantai 4, pukul 09.00 sampai 12.00. “Banyak pihak yang selama ini sudah membantu UNAIR di bidang keamanan, ketertiban, sosialisasi, dan lain-lain. Silaturahmi kali ini pasti akan mengakrabkan hubungan yang sudah terjalin baik. Insya Allah Pak Rektor (Prof Moh. Nasih, Red) beserta jajaran akan hadir,” kata Drs Suko Widodo MSi, ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH).
Yang menarik, akan hadir pula Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR), pejabat pemerintah, ketua serta anggota DPRD Surabaya, para awak media, dan eksponen lainnya. Diharapkan, hasil dari pertemuan ini akan berdampak positif bagi kampus. Bakal ada banyak masukan, saran, dan kritik yang sifatnya membangun untuk UNAIR. “Seperti yang sudah sering kami dengungkan selama ini, kami sedang berupaya mengejar mimpi menjadi 500 kampus terbaik di dunia. Menjadi World Class University,” urai Suko. Tak hanya itu, yang tak kalah penting adalah menjadikan pertemuan ini solusi dari segala problem baik di tingkat kota maupun nasional. Harapannya, akan dilangsungkan diskusi rutin semacam ini. Dengan tujuan, mencari penyelesaian masalahmasalah lintas bidang. Nantinya, akan diambil topik atau tema yang sesuai dengan isu terkini. Pihak eksekutif, legislatif, akademisi, dan lainlain, akan diminta hadir dan urun rembug. Selanjutnya, dapat dihasilkan rekomendasi yang bisa dibuat sebagai pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan.
bahan
Sementara itu, Ketua Komunitas RAR Herman Rifa’I mengatakan, pihaknya selama ini sangat bangga dengan UNAIR. ”Kampus ini bisa menjadi contoh baik dalam membangun sikap egaliter dan peduli lingkungan sekitar. Terbukti, dalam acara dialog yang digelar kali ini, Pak Rektor UNAIR akan menghadirkan seluruh jajarannya untuk bisa bertemu dan berdialog dengan masyarakat,” kata dia. RAR sendiri berisi orang-orang dari ragam latar belakang. Mulai tokoh masyarakat, tokoh agama, pengusaha, pecinta lingkungan, pengamat pendidikan, dan lain sebagainya. Moch Machmud, anggota DPRD dari fraksi Demokrat mengungkapkan, apa yang dilakukan UNAIR nantinya pasti menjadi modal penting bagi pembangunan. Sebab, ada upaya menyatukan akademisi, kalangan bisnis, dan pemerintah. “Silaturahmi dan diskusi
semacam ini mesti selalu dilangsungkan dengan istikomah,” ungkap dia. (*) Penulis: Rio F. Rachman