HAM dan Pembangunan Inklusif di Indonesia: Masalah dan peluangnya Indriaswati Dyah S. 1
Ham dan Kebijakan Pembangunan di Indonesia : Seperti berbagai negara lain, diskursus pembangunan dan politik pembangunan di Indonesia juga merefleksikan perkembangan umum mengenai pembangunan di tingkat global. Diawali dengan berkembangnya teknokrasi pembangunan di awal tujuhpuluhan yang merepresentasikan fase awal politik modernisasi, dimana pembangunan didominasi oleh paradigma pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan akan validitas gagasan menetes ke bawah. Dalam perspektif tersebut, tingginya pertumbuhan ekonomi dipercaya membawa efek tetesan ke bawah yang mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat di tingkat terbawah. Di tangan sistem yang otoritarian dan represif, paradigma ini menemukan wajahnya dalam berbagai kekerasan dan pengabaian hak-‐hak warga negara atas nama pembangunan. Era ini berlangsung selama hampir empat puluh tahun sebelum proses transisi politik membuka lanskap baru penataan kembali sistem ketata negaraan dan serangkaian proyek reformasi dimulai. Wajah politik pembangunan tersebut tercermin dalam berbagai laporan mengenai praktek perampasan tanah, kekerasan dan represi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki gagasan lain dalam memaknai pembangunan merupakan deretan panjang sejarah Orde Baru yang sampai saat ini belum pernah dipertanggungjawabkan. Dalam laporan yang dilansirnya beberapa waktu yang lalu, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran, menguraikan enam bentuk pola kekerasan yang dilakukan rejim atas nama politik pembangunan, yang mencakup pemusnahan, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, kekerasan antar warga, kekerasan terhadap perempuan, dan penggunaan hukum sebagai instrumen legal untuk merepresi dan menjustifikasi kepentingan rejim atas nama pembangunan. 2 Laporan yang disusun berdasarkan pembacaan dari 1015 peristiwa di seluruh Indonesia semenjak tahun 1965 sampai tahun 2005 tersebut, 140 kasus diantara berhasil dinarasikan dan menghasilkan enam bentuk pelanggaran ham tersebut di atas. Perubahan fundamental sebagai kritik atas kegagalan model pembangunan tersebut muncul dengan masuknya gagasan pembangunan berbasis hak, yang 1 Disampaikan dalam konferensi INFID 15 Oktober 2014, Direktur Eksekutif ELSAM, dapat
dikontak melalui
[email protected] 2 KKPK, 2014, Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas. Laporan yang dianalisis dari sebanyal 1015 peristiwa dan menyarikan dari 4123 korban baik laki-‐laki dan perempuan ini, mengafirmasi dan mengkonsolidasi pembacaan yang sama dari berbagai laporan-‐laporan yang lain yang lebih berbasis pada satu perisitiwa seperti dalam konteks perampasan sumber daya alam, seperti dalam Pembangunan tanpa perasaan (Revrisond Baswir,ELSAM, 2003), Abih Tandeh (Yando Zakaria, ELSAM 2000), Kedung Ombo ( ELSAM, 2000), dan berbagai publikasi lainnya.
1
mewujud dalam deklarasi hak atas pembangunan di paruh delapanpuluhan.3 Deklarasi ini setidaknya memiliki tiga hal penting yakni, meletakkan dasar bagi perubahan paradigma kebijakan pembangunan yang berkembang kemudian. Ketiga hal tersebut, adalah, pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai subyek dan bukan objek pembangunan (people-‐centred development) dan pembangunan sebagai hak asasi manusia, dimana semua orang berhak berpartisipasi, berkontribusi dan menikmati kemanfaatan dari pembangunan sebagai jalan memenuhi hak asasi dan kebebasan dasar (right-‐based approach to development) dan partisipasi sebagai landasan utama dalam pembangunan.4 Sebagai konsekuensi dari perubahan ini, deklarasi tersebut menjadi dasar bagi lahirnya kewajiban pemerintah untuk menyusun kebijakan pembangunan yang dapat memastikan realisasi dari hak atas pembanguna tersebut. Perubahan ini mendasari lahirnya berbagai inisiatif pengembangan inisiatif multilateral di bidang pembangunan, mulai dari gagasan pembangunan yang berkelanjutan, perumusan tujuan pembangunan milenium sampai ke perumusan pembangunan paska 2015. Meskipun demikian seluruh perkembangan tersebut baru mulai diintegrasikan dalam kebijakan dan diskursus pembangunan di Indonesia setelah transisi politik bergulir di tahun 1998. Secara perlahan, beberapa landasan perubahan diwujudkan dengan pelembagaan hak asasi manusia sebagai bagian dari dokumen rencana pembangunan, dan pelembagaan musyarawah perencanaan pembangunan (musrenbang) dalam proses perencanaan kebijakan pembangunan melalui UU no 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Masuknya hak asasi manusia dalam dokumen perencanaan pembangunan mengikuti kecenderungan umum institusionalisasi hak asasi manusia paska 1998 yang sangat didominasi oleh institusionalisasi yang bersifat legal formal. Dengan demikian dapat dipahami mengapa dalam dokumen perencanaan pembangunan hak asasi manusia dirumuskan sebagai komponen dari elemen kebijakan (baca hukum). Secara khusus elemen ini merupakan bagian dari perwujudan demokrasi yang di dalam berbagai dokumen perencanaan jangka menengah diakui merupakan prasyarat penting bagi kebijakan pembangunan. Sebagai contoh, dalam perencanaan pembangunan yang tengah berjalan (periode 2010-‐2014), integrasi hak asasi sebagai bagian dari rencana pembangunan dituangkan sebagai elemen yang memperkuat arah kebijakan umum untuk memperkuat pilar demokrasi.5 Secara terpisah, integrasi HAM dalam kebijakan pembangunan dilakukan melalui pengembangan rencana aksi nasional Ham (RANHAM). Penyusunan rencana aksi ini merupakan bentuk integrasi pertama yang justru dilakukan segera setelah 3 Resolusi Majelis Umum PBB no 41/128 tahun 1986, dapat diakses pada
http://www.un.org/documents/ga/res/41/a41r128.htm 4 lihat, pasal 1, dan pasal 2 Deklarasi Hak atas Pembangunan , A/Res/41/128 5 Lihat, perpres 5 tahun 2010 mengenai Rencanan pembangunan Jangka menengah Nasional 2010-‐2014, lampiran bab IV, hal 49-‐50
2
transisi politik bergulir.6 Rencana aksi yang secara langsung berada di bawah kontrol eksekutif (Presiden) ini dikembangkan secara terpisah dengan dokumen perencanaan pembangunan yang disusun dengan lebih komprehensif di bawah Bapennas. Dokumen ini menjabarkan mengenai prioritas institusionalisasi ham yang ditetapkan selama lima tahun, baik mencakup langkah-‐langkah pembentukan hukum (ratifikasi atau harmonisasi undang-‐undang), promosi HAM maupun implementasi dan penegakan HAM. Sampai saat ini, meskipun dianggap tidak sepenuhnya efektif mendorong institusionalisasi HAM, Rencana Aksi nasional Ham terus menjadi kebijakan yang secara reguler di hasilkan mengikuti siklus perencanaan pembangunan menengah lima tahunan. Dengan demikian, RanHam dapat di lihat sebagai satu bentuk perencanaan mini pembangunan yang lebih detail mengenai hak asasi manusia sebagai bagian tidak terpisahkan dari rencana umum pembangunan. Ranham memiliki beberapa kelemahan mendasar yang mencakup efektifitas implementator (Panitia Ranham), minimnya koordinasi intra departmen pemerintah terkait, kurangnya alokasi anggaran dimasing-‐masing departemen terkait, maupun minimnya kualitas perencanaan dimana hak asasi lebih dilihat sebagai isu normatif7 Institusionalisasi Hak Asasi dan permasalahannya Di tingkat domestik, hak asasi manusia awalnya muncul sebagai bahasa advokasi dan perlawanan dalam berbagai inisiatif perlawanan atas kesewenangan pemerintah di bawah rejim Orde Baru. Diskursus mengenai urgensi institusionalisasi standar dan prinsip hak asasi manusia memperoleh ruang yang memadai seiring dengan proses transisi politik 1998. Hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi Kolusi dan nepotisme merupakan dua tuntutan utama dalam transisi politik yang berakhir dengan lengsernya Soeharto dan melahirkan suatu pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai order reformasi. Transisi politik ini, telah membuka ruang yang cukup besar untuk merealisasikan institusionalisasi standar dan norma HAM ke dalam ranah hukum nasional. Gagasan institusionalisasi HAM, berkembang bersamaan dengan gagasan menegakkan kembali supremasi hukum untuk menghentikan kesewenangan (baca-‐kekuasaan eksekutif) dimasa Soeharto. Hukum (baca Undang-‐undang) muncul sebagai instrumen yang dapat menghindarkan kesewangan . Hak asasi dan perwujudan tata baru negara hukum yang demokratis kemudian memperoleh artikulasi sebagai salah satu agenda politik nasional di masa transisi seperti tercermin dalam TAP MPR no V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional . 8 6 Inisiatif RAN HAM pertama dikeluarkan dibawah pemerintahan Habiebie melalui Keppres
129/1998. 7 Lihat, Task Force Pemantauan RanHam, Evaluasi RanHam 2004-‐2009 dan Rencana Ratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (CAT) dalam Ranham 2004-‐2009 serta Perencanaan Ranham 2010-‐2014, Kemitraan 2010. 8 Melalui TAP ini diakui adanya praktek penyalahgunaan kekuasaan pada masa Orde Baru yang mengakibatkan ketidakadilan dan konflik sosial bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam langkah tindak pelaksanaannya, TAP ini memandatkan dibentuknya komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
3
Oleh karenanya tak dapat dipungkiri bila gagasan institusionalisasi norma Ham secara cepat bergerak dan didominasi gagasan untuk membadankannya dalam hukum-‐hukum positif yang berlaku efektif. Upaya ini dapat berupa adopsi berbagai instrumen hukum HAM internasional ke dalam ranah domestik melalui ratifikasi, pengadopsian standar HAM dalam penyusunan undang-‐undang, atau pembentukan berbagai lembaga-‐lembaga yang memiliki mandat khusus dalam penghormatan dan perlindungan HAM. Meskipun proses pengadopsian instrumen internasional HAM ke dalam hukum nasional juga dilakukan dimasa Orde Baru, namun pada umumnya instrumen-‐ instrumen ini adalah standar HAM yang dipersepsikan ‘tidak berbahaya’ dan tidak terkait dengan kekerasan politik yang terjadi di bawah rejim Orde Baru. Berbagai instrumen utama HAM seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi menentang Penyiksaan, serta beberapa instrumen utama lain baru berhasil diadopsi paska transisi politik di tahun 1998, seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel: Instrumen HAM yang telah diadopsi dalam sistem hukum Nasional Pembentukan UU, perubahan konstitusi atau penerbitan kebijakan di tingkat eksekutif (executive order) seperti Keppres, PP, dst
Ratifikasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
UUD 1945, amandemen II, tentang hak asasi manusia; Undang-‐Undang No. 68 tanun 1958 tentang Hak hak politik perempuan; UU no 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional; Perpres no 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-‐2009;; UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-‐Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; Undang-‐Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Undang-‐Undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; Undang-‐Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU no 13/2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Undang-‐Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang UU no 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; Perpres No. 23 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RANHAM) 2011-‐2014
1. Undang-‐Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW); 1. Keppres 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights on the Child 2. UU no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan UN Convention on Biological Diversity 3. Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi ILO tentang 87 tentang Kebebasan Berserikat; 4. Undang-‐Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan “Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”; 5. Undang-‐Undang Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Concention Number 105 concerning the Abolition of Forced Labour”; 6. Undang-‐Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Convention Number 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment’ 7. Undang-‐Undang Nomor 21 tahun 1999 tentang Pengesahan “ILO Convention Number 111 concerning Dscrimination in Respect of Employment and Occupation”; 8. UU no 29/1999 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi Rasial 9. UU no 21 tahun 2004 mengenai Pengesahan
untuk mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu dan Pelanggaran HAM di masa lalu. Lihat, Tap MPR/V/2000, Bab V paragraf 3.
4
Cartagena protocol on the protection of Biodiversity to the 10. UU no 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and cultural rights 11. UU no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights 12. UU No 6 tahun 2012 mengenai ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-‐Hak. Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 13. UU no 19 tahun 2011 mengenai pengesahan ratifikasi Konvensi mengenai Hak-‐Hak Penyandang Disabilitas
Selain melalui proses ratifikasi, standar dan norma HAM diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional melalui pembaharuan konstitusional. Amandemen UUD 1945 yang kedua menguatkan jaminan penghormatan dan perlindungan HAM pada tingkat tertinggi sebagai hak konstitutional yang melekat pada setiap warga negara.9 Upaya ini memperkuat jaminan perlindungan HAM yang sebelumnya dilakukan melalui pembentukan UU no 39/1999 tentang HAM. Tabel jaminan perlindungan HAM menurut Konstitusi dan UU no 39/1999 tentang HAM UUD 1945 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul ( Ps 28) Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan ( ps 28 A Hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah ( ps 28B ayat 1) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (28B ayat 2) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (ps 28C ayat 1) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya (ps 28Cayat 2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (ps 28D ayat 1) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan)yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (ps 28Dayat 2) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (ps 28D ayat 3) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (ps 28D ayat 4). Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, (ps 28E ayat1) memilih pendidikan dan pengajaran, (ps 28E ayat 1) memilih pekerjaan, (ps 28 Eayat 1) memilih kewarganegaraan, (ps 28E ayat 1) memilih tempat tinggal diwilayah negara danmeninggalkannya, serta berhak kembali. (ps 28E ayat 1)
UU no 39 tahun 1999 1. Hak untuk hidup (ps 9) 2. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (ps 10) 3. Hak untuk mengembangkan diri (ps 11 – 16) 4. Hak memperoleh keadilan (ps 17 – 19) 5. Hak atas kebebasan pribadi (ps 20 – 27) 6. Hak atas rasa aman (ps 28 – 35) 7. Hak atas kesejahteraan (ps 36 – 42) 8. Hak untuk turut dalam pemerintahan (ps 43 – 44) 9. Hak perempuan (ps45 – 51) 10. Hak Anak ( ps 52 -‐66)
9 Amandemen ini mengadopsi perlindungan HAM yang tercantum dalam DUHAM ke dalam
konstitusi
5
16. Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (Ps 28E ayat 2) 17. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. (ps 28E ayat 3) 18. Hak atas informasi (ps 28F) 19. Hak atas perlindungan martabat, dan kehormatan dan kepemilikan ( ps 28Gayat 1) 20. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusia yang merendahkan martabat kemanusiaan ( ps 28Gayat 2) 21. Hak untuk memperoleh suaka politik ( ps 28Gayat2) 22. Hak untuk hidup sejahtera, memperoleh layanan kesehatan, dan bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik ( ps 28Hayat1) 23. Hak untuk mendapat perlakuan khusus untuk mencapai keadilan dan persamaan ( ps 28H ayat 2) 24. Hak atas jaminan sosial ( ps 28H ayat 3) 25. Hak untuk memiliki hak milik pribadi ( ps 28Hayat 4) 26. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. ( ps 28I ayat 1) 27. Hak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif ( ps 28I ayat 2) 28. Hak atas penghormatan identitas budaya ( ps 28Iayat 3)
Dalam perkembangan selanjutnya proses integrasi standar HAM semakin banyak dilakukan melalui perumusan pasal-‐pasal yang ditujukan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM, seperti perlindungan dari praktek diskriminasi, perlindungan saksi dan korban, jaminan atas hak-‐hak sosial dan budaya, jaminan atas hak untuk didampingi penasehat hukum, dan beberapa hak lain yang secara khusus diatur dalam undang-‐undang. Pesatnya proses ini tak dapat dipisahkan dari peran aktif masyarakat sipil yang secara terus menerus melibatkan diri dalam berbagai inisiatif penguatan perlindungan HAM melalui proses pembentukan ketentuan hukum normatif. 10 Meskipun demikian, apabila dilihat secara umum dalam konteks kinerja legislasi DPR, tingkat kesesuaian dengan prinsip dan standar HAM ini masih jauh dari menggembirakan. Hal ini disebabkan baik karena tingkat pemahaman dan kemampuan menurunkan pemahaman tersebut dalam teknis drafting perundang-‐undangan, maupun karena masih terus berlangsungnya politik transaksional dalam proses legislasi. Dalam kajian atas proses legislasi selama kurun waktu 2004-‐2009, melalui metode yang sederhana dengan melihat proses pembahasan maupun isi dari teks 8 produk legislasi selama periode tersebut, terlihat bahwa proses pembahasan substantif merefleksikan minimnya diskursus HAM serta minimnya partisipasi publik untuk memberikan kontribusi
10 Hampir seluruh diskursus mengenai penguatan standar perlindungan HAM yang ada
melibatkan keterlibatan aktif NGO melakukan intervensi proses penyusunan Undang-‐undang. Sebagian besar justru inisiatif ini datang dari masyarakat sipil, seperti UU no13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, merupakan hasil dari advokasi panjang yang diawali oleh kelompok koalisi perlindungan saksi korban yang beranggotakan berbagai NGO seperti ELSAM, ICW, PSHK, MAPPI, dsb. Koalisi ini tak hanya menyediakan kapasitas untuk menyusun gagasan awal mengenai UU perlindungan saksi korban, namun juga terlibat secara aktif dalam mendorong pembentukan Lembaga Perlindungan saksi korban sebagaimana dimandatkan dalam Undang-‐undang tersebut.
6
terhadap proses pembahasan.11 Selain itu, rendahnya kualitas produk legislasi juga dapat dicermati dari semakin meningkatnya jumlah UU yang dimintakan uji konstitusionalitasnya di Mahkamah konstitusi. Semenjak tahun 2003 ampai tahun 2014 ini setidaknya terdapat 1021 perkara pengujian Undang-‐undang yang diterima Mahkamah, 179 diantaranya merupakan perkara yang diperiksa untuk tahun 2014 ini. 12 Secara umum data tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah perkara yang diajukan dari tahun ke tahun. Meski berbagai inisiatif masyarakat sipil mendorong lahirnya berbagai undang-‐ undang yang berperspektif HAM berhasil mendorong semakin banyaknya standar ham yang terintegrasi dalam ketentuan perundangan ditingkat nasional, berbagai perkembangan dalam politik legislasi terkini tak sepenuhnya bergerak ke arah yang sama. Terus berlangsungnya transaksi politik dalam proses legislasi di DPR seperti diuraikan dalam laporan HAM ELSAM sepanjang tahun 2011-‐ 2013 menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Selain karena buruknya kualitas rumusan substansi, ancaman terhadap perlindungan HAM datang dari dua hal lain, pertama, tertunda atau macetnya RUU yang sebenarnya dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan HAM seperti RUU KUHAP dan KUHP, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kedua, semakin banyaknya inisiatif UU baik dan pemerintah maupun DPR yang bersifat represif dan justru mengancam perlindungan HAM, seperti UU intelijen, UU Pengendalian Konflik Sosial, UU pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, UU Ormas (UU no 17/2013), merupakan sebagian contoh dari berbagai produk serupa lainnya.13 Selain produk legislasi DPR, beberapa ketentuan perundang-‐undangan yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif, baik berupa peraturan menteri masih jauh dari sesuai dengan standar HAM yang ada, seperti tercermin dengan berbagai peraturan seperti SKB tiga menteri mengenai pendirian rumah ibadah. Sementara itu, perkembangan politik legislasi ditingkat lokal juga menunjukkan kecenderungan yang serupa, khususnya terkait dengan jaminan terhadap hak atas kebebasan menganut agama dan kepercayaan. Berbagai peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terus bermunculan. Pengesahan qanun jinayat di 11 Untuk lengkapnya, lihat, Indriaswati D, Wahyudi djafar, dkk, ELSAM, Hak Asasi Manusia dalam
pusaran Politik Transaksional: Assessment Terhadap Kebijakan Hak Asasi Manusia Dalam Produk Legislasi dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR RI Periode 20 2004-‐2009 2004-‐2009, ELSAM, 2010 12 Lihat, Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-‐undang dari tahun 2003 – 2014, diakses pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU. Meskipun demikian peningkatan jumlah perkara dari tahun ke tahun ini juga tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran dan pemahaman warga Negara dan kelompok masyarakat sipil akan HAM dan pentingnya melakukan klaim atas hak konstitusionalnya. Dari seluruh 716 perkara yang dimohonkan, hanyak sebanyak 425 perkara yang diputus. Dari seluruh permohonan hanya sebanyak 117 permohonan yang dikabulkan. 13 Lihat, Laporan HAM ELSAM 2011, Menuju titik Nadir Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM: Ketika Negara Kembali Menjadi Aktor Utama Pelanggaran HAM, ELSAM, 2011, juga ELSAM, Ancaman berkelanjutan, Penyelesaian Stagnan: Laporan Situasi HAM ELSAM tahun 2013, dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/downloads/452241_Laporan_Situasi_HAM_2013_ELSAM.pdf
7
Aceh melengkapi catatan masih terusnya politik legislasi di tingkat lokal menjadi hambatan bagi realisasi perlindungan HAM.14 Dengan perkembangan termutakhir di tingkat nasional (DPR) paska pilpres 2014 pada bulan Juli lalu, politik legislasi di DPR dapat menjadi ganjalan dan problem tersendiri bagi perlindungan Hak Asasi Manusia. Polarisasi kekuatan partai politik dalam dua kubu yang berseberangan memperbesar kemungkinan terus berlangsungnya proses transaksional politik dalam legislasi yang berdasarkan observasi ELSAM sepanjang 2004-‐2009 terbukti berdampak buruk terhadap HAM. Hal ini tercermin dalam lahirnya UU Pilkada yang secara fundamental melanggar jaminan hak untuk memilih secara langsung sebagai bentuk partisipasi politik dalam pemerintahan. Penegakan melalui mekanisme hukum dan Pembentukan institusi dengan mandat khusus Amandemen konstitusi ini juga menjadi landasan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran besar dalam mewujudkan justisiabilitas HAM melalui kewenangan melakukan review konstitusionalitas Undang-‐undang setelah peraturan tersebut diundangkan. Kewenangan ini membuka ruang bagi setiap warga negara merasa terlanggar haknya oleh suatu undang-‐undang untuk mengajukan review dan memohonkan pembatalan atas undang-‐undang tersebut. Persoalan penting yang melingkupi institusi ini antara lain konsistensi terhadap standar universal Ham pada beberapa gugatan konstitusional yang menyangkut hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta konsistensi dan keteguhan Mahkamah untuk berjarak dengan kepentingan kelembagaannya sendiri dalam memeriksa perkara.15 Terlepas dari beberapa persoalan terkait dengan konsistensi model intepretasi konstitusi yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara maupun Sampai saat ini, mekanisme ini merupakan salah satu forum utama warga negara untuk melakukan klaim konstitusionalnya. Selain itu, beberapa lembaga negara dibentuk dengan mandat baik yang bersifat khusus maupun umum yang terkait dengan penghormatan dan perlindungan HAM. Komnas Ham merupakan satu lembaga yang secara khusus untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM.16 Meski sempat mencatat berbagai kemajuan dan menjadi institusi penting dalam penegakan HAM, 14 lihat, http://www.tempo.co/read/news/2014/09/23/058608949/qanun-‐jinayat-‐syariat-‐
islam-‐disahkan-‐jumat-‐ini 15 dalam kasus pengajuan gugatan konstitusional terhadap UU no 4/ 4/2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24/2003 tentang MK. Dalam perkara ini MK memutus untuk kepentingan kelembagaannya sendiri dimana salah satunya menolak intervensi KY dalam proses perekrutan calon hakim MK melalui mekanisme Panel ahli serta menolak persyaratan 7 tahun pensiun dari partai politik sebelum menjabat sebagai hakim MK sebagai persyaratan perekrutan hakim MK. 16 Lihat, ps 75 UU no 39/1999. Pertama kali didirikan melalui Keppres sebagai pelaksanaan dari komitmen Konvensi Wina 1993, melalui Keppres no 50 tahun 1993 yang disahkan pada tanggal 7 Juni 1993.
8
konfllik internal yang melanda lembaga ini sejak tahun 2012 berdampak sangat buruk terhadap performa kerja dan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga ini. 17 Kondisi ini semakin memprihatinkan dengan seringnya para komisioner mengeluarkan pernyataan-‐pernyataan yang justru bertentangan dengan HAM seperti dalam kasus mutakhir di mana komisioner memberikan pernyataan di hadapan Mahkamah Konstitusi mengenai perkawinan beda agama sebagai bentuk pelanggaran HAM.18 Sementara itu, fungsi penyelidikan sebagai bentuk mandat khusus bagi lembaga ini sampai saat ini belum membuahkan hasil berarti dengan masih terus mandegnya berkas-‐berkas penyelidikan di tangan Kejaksaan Agung.19 Selain Komnas Ham terdapat setidaknya dua komisi serupa dengan mandat yang lebih khusus, yakni Komisi Nasional untuk penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap perempuan, Komisi Perlindungan anak Indonesia. Beberapa komisi lain juga didirikan sebagai pelaksanaan dari UU yang terkait dengan pemajuan HAM seperti Lembaga perlindungan saksi dan korban, dan Komisi Informasi, Ombudsman Republik Indonesia dan Dewan Pers. Berbagai komisi negara tersebut melengkapi mekanisme penerapan komitmen penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM yang umumnya dilakukan baik melalui pengalokasi sumber daya finansial melalui APBN, birokrasi pemerintah maupun menjamin justisiabilitas hak melalui lembaga peradilan.20 Perkembangan justisiabilitas hak melalui mekanisme pengadilan ini tak dapat dipisahkan dari peran aktif kelompok masyarakat sipil termasuk NGO dalam mendorong berbagai terobosan dalam beracara baik melalui penggunaan mekanisme-‐mekanisme baru seperti gugatan kelas, gugatan atas nama pembayar pajak, maupun menggunakan mempergunakan standar hak asasi dalam prosedur-‐prosedur hukum yang telah ada, seperti dalam pengajuan gugatan melalui gugatan perdata dengan alas gugat perbuatan melawan hukum. 17 Konflik yang dipicu oleh perubahan tatib internal mengenai masa jabatan ketua dari 2.5 tahun
menjadi 1 tahun ini menimbulkan kontroversi mengenai adanya upaya sistematis mengenai pelemahan lembaga ini. Lihat http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2353/1/kisruh.internal.komnas.ham 18 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/16/nbzh42-‐komnas-‐ham-‐nikah-‐ beda-‐agama-‐bertentangan-‐dengan-‐ham 19 sampai saat ini ada 6 berkas yang termasuk klasifikasi pelanggaran ham di masa lalu, daftar lengkap dan status saat ini lihat http://www.elsam.or.id/downloads/248204_HASIL_PENYELIDIKAN_KOMNAS_HAM_YAN_BELU M_DITINDAKLANJUTI.pdf . Selain itu, terdapat satu berkas ( kasus Wasior Wamena) yang masuk dalam klasifikasi pelanggaran Ham di bawah UU no 26/2000, sehingga total terdapat 7 berkas yang terbengkelai sampai saat ini. 20 Meski lambat, klaim pemenuhan hak melalui mekanisme pengadilan semakin dikenal dan menjadi pilihan pencari keadilan. Beberapa klaim berhasil memperoleh pemenuhan, seperti gugatan Nani Nurani untuk memperoleh hak mendapatkan KTP seumur hidup yang diajukan ke PTUN Jakarta. Nani Nurani adalah mantan penari Istana di jaman Presiden Soekarno yang kehilangan hak sipilnya terkait dengan administrasi kependudukan karena dituduh terlibat dengan PKI. Dalam putusannya, pengadilan mendasarkan pertimbangan penerapan prinsip seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan demikian. Pertimbangan ini mengukuhkan perlindungan hak konstitusionalnya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta bebas dari tindakan diskriminatif. Lihat, http://hukumonline.com/berita/baca/hol8372/preseden-‐bagi-‐ekstapol-‐ptun-‐kabulkan-‐ gugatan-‐ny-‐nani-‐
9
Selain itu, dalam beberapa kasus, realisasi justisiabilitas hak ini juga didukung oleh praktek aktivisme judisial oleh hakim.21 Kemandegan Penyelesaian tuntutan keadilan di masa transisi Permasalahan lain yang mengikuti pemerintahan paska reformasi adalah kemandegan dan ketiadaan kehendak politik untuk menuntaskan berbagai tuntutan keadilan atas kekerasan dan pelanggaran ham di masa lalu. Gagasan yang bermuara pada perwujudan keadilan di masa transisional kandas karena tersandera konsesus politik di tingkat elit, meskipun dukungan dan urgensi mengenai penyelesaian disuarakan oleh berbagai tokoh masyarakat.22 Berbagai mekanisme yang dibentuk segera sesudah transisi bergulir seperti pengadilan HAM terbukti gagal menghadirkan keadilan, sebaliknya justru mengundang pertanyaan komunitas HAM internasional mengenai kemauan (willingnes) dan kemampuan (ability) pemerintah untuk menunjukkan komitmen yang orisinal dalam melakukan penuntutan atas pelanggaran HAM.23 Dari seluruh kasus yang ditangani, hampir seluruhnya berakhir dengan bebasnya tersangka. 24 Dalam beberapa kasus lain, pengadilan justru menegasikan dan gagal menegaskan telah terjadinya pelanggaran Ham berat.25 Sampai saat ini, masih seluruh berkas penyelidikan kasus-‐kasus pelanggaran ham yang diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti melalui pengadilan ham masih terus tertahan tanpa ada kejelasan status.26 Bahkan dalam perkembangan terakhir, direktora pelanggaran 21 Sebagai contoh dalam perkaran pengadilan kasus Tanjung Priok, majelis hakim pada tingkat
pertama dalam putusannya mencantumkan adanya kompensasi ganti kerugian pada para korban. Meskipun demikian, putusan ini kemudian dibatalkan oleh putusan majelis hakim di tingkat banding. 22 Berdasarkan suatu mini survey yang dilakukan ELSAM terhadap sebelas tokoh-‐tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan di Indonesia di tahun 2011 mengenai urgensi dan arah penyelesaian pelanggaran ham di masa lalu terungkap adanya dukungan terhadap penyelesaian sebagai agenda prioritas yang menemukan momentum di akhir 14 tahun reformasi dan karenanya harus secepatnya direalisasikan. Dalam hal ini para tokoh menyediakan diri untuk secara aktif berkontribusi mendukung proses penyelesaian yang menepis pandangan dan kekhawatiran dari sebagian elit politik yang melihat membuka pelanggaran ham masa dapat mengakibatkan perpecahan dan konflik berkepanjangan. Hasil survey tidak dipublikasikan. 23 Pengadilan HAM dibentuk sebagai upaya menghindari kemungkinan pembentukan tribunal internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Timor timur, melalui UU no 26/2000. Mekanisme ini memiliki beberapa kelemahan mendasar baik yang terkait dengan kapasitas aparat penegak hukumnya maupun yang terkait dengan kehendak politik pemerintah reformasi untuk menghadapkan mereka yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut dimuka hukum. 24 Dalam kasus Timor timur, dari 18 terdakwa yang diajukan ke pengadilan dalam 11 berkas perkara tak satupun yang dipidan, demikian juga dalam perkara Tanjung Priok, dari 14 terdakwa yang diajukand alam 3 berkas perkara tidak ada satu terdakwa yang dijatuhi hukum, sementara dalam kasus Abepura, tiga pejabat tinggi kepolisian yang diajukan dalam pengadilan ini juga akhirnya dibebaskan. 25 Dalam kasus Abepura yang diperiksa melalui mekanisme pengadilan Ham, pengadilan menolak kekerasan yang terjadi sebagai pelanggaran berat ham. Hal serupa juga terlihat dalam putusan akhir kasus pengadilan ham ad hoc kasus Tanjung Priok. Lebih lanjut mengenai putusan dan seluruh dokumen persidangan dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/new/index.php?cat=Pengadilan%20HAM/900&lang=in 26Perkara penyelidikan dibawah UU no 26/2000 yang telah diserahkan KOMNAS HAM ke Kejaksaan Agung meliputi kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus Talangsari Lampung 1989,
10
Ham di dalam Kejaksaan Agung telah dibubarkan dan dilebur dengan direktorat lainnya. Perkembangan ini tentu semakin mengindikasikan suramnya masa depan keberlangsungan dan efektifitas mekanisme ini. Selain itu, pembentukan pembentukan mekanisme non yudisial dalam menjawab tuntutan keadilan atas kejahatan di masa lalu juga mengalami kemandegan, khususnya setelah pembatalan UU no 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan pencabutan UU tersebut, sampai saat ini tidak terdapat kerangka hukum normatif yang tersedia untuk merespon tuntutan keadilan tersebut. Meskipun beberapa inisiatif untuk menghadirkan kembali payung hukum ini telah dilakukan baik melalui penyiapan RUU baru oleh Direktorat Jendral Hukum dan Ham maupun upaya mendorong lahirnya kebijakan lain melalui lembaga eksekutif (baca Presiden) belum menunjukkan adanya kemajuan yang berarti.27 Perkembangan yang bersifat parsial di tingkat lembaga setingkat kementrian tidak secara substansial menyelesaikan kewajiban ini. 28 Selain itu, perkembangan di tingkat lokal dimana pemerintah daerah memiliki komitmen dan kebijakan untuk mengambil langkah penyelesaian merupakan upaya yang patut didukung karena menawarkan pendekatan penyelesaian yang baru. 29 Meskipun demikian inisiatif ini tetap akan membutuhkan dukungan di tingkat nasional dimana secara politik diambil langkah-‐langkah penyelesaian secara nasional. Kepemimpinan politik Baru dan peluang perbaikan: Perhelatan elektoral yang menghasilkan kepemimpinan politik baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla menumbuhkan harapan baru akan peluang penegakan HAM dan upaya mengatasi masalah-‐masalah utama dalam realisasi Ham seperti diuraikan di atas. Merefleksikan pada beberapa catatan mengenai kelemahan proses institusionalisasi ham pada periode sebelumnya, penting melihat dan merumuskan beberapa langkah untuk menghindarkan kesalahan yang sama kembali terulang. Uraian sebelumnya menunjukkan hadirnya daftar panjang undang-‐undang dan aturan hukum belum berhasil menghadirkan realitas kasus Wasior dan Wamena, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-‐1998, serta kasus 13-‐15 Mei 1998. Sampai saat ini tidak terlalu jelas status dari berkas-‐berkas tersebut. Pada tahun 2012 ini KOMNAS HAM menyerahkan hasil penyelidikan kasus 1965, dan Penembakan Misterius. 27 Lebih lanjut secara lebih detail mengenai pasang surut upaya mendorong kembali lahirnya kebijakan ini, lihat, ELSAM, Mendorong Pembentukan Kembali UU KKR, 2010, dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/downloads/1301382601_Brief_Paper_Mendorong_Pembentukan_Kemb ali_UU_KKR.pdf 28 termasuk dalam kategori ini adalah upaya yang dilakukan komnas ham bersama LPSK untuk memberikan skema bantuan psikososial dan medis kepada para korban pelanggaran ham di masa lalu. Sejauh ini setidaknya LPSK sudah menerima permintaan dari 500 korban dari berbagai daerah. 29 Dalam kategori ini termasuk inisiatif qanun KKR Aceh, yang telah disahkan sejak awal tahun 2013, namun sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena tidak memperoleh persetujuan dari pemerintah pusat. Bupati Palu juga telah mengeluarkan peraturan bupati yang mendasari proses awal penyelesaian dengan memberikan permintaan maaf secara publik dan mengambil langkah pemulihan melalui skema dan anggaran pemerintah daerah.
11
penegakan dan perlindungan Ham dalam pengalaman keseharian warga. Oleh karenanya, periode ini mungkin merupakan momentum untuk membuat langkah-‐langkah penting memperkecil gap antara teks dan implementasi teks sehingga jaminan Ham tidak hanya berhenti sebagai realitas normatif semata. Hal ini dapat mewujud baik dalam upaya penyusunan prioritas kerja bidang ham oleh pemerintah baru yang berfokus pada proses harmonisasi berbagai aturan hukum yang telah ada maupun memastikan keberlakuannya dengan melakukan penataan birokrasi di tingkat lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini, pengisian jabatan-‐jabatan publik seperti Jaksa Agung, dan Kementrian bidang hukum dan HAM menjadi salah satu penentu penyelesaian sejumlah masalah-‐ masalah yang diuraikan sebelumnya. Selain itu, salah satu perlindungan penting yang harus dilakukan adalah menjamin partisipasi warga yang dimungkinkan dengan adanya perlindungan kebebasan warga dalam berekspresi menjadi salah satu hal substansial. Proses pemilihan presiden yang lalu menunjukkan bagaimana warga memiliki kesadaran untuk mengkonsolidasikan kekuatan melalui jaminan kebebasan berekspresi. Proses ini di dukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Sayangnya sampai saat ini ancaman terbesar terhadap ruang kebebasan ini bermuara pada penggunaan pasal 27(3) UU ITE yang banyak dipergunakan sebagai sarana pembalasan bagi warga yang bersuara kritis. Keberadaan aturan mengenai pencemaran nama baik yang sangat lentur dirumuskan ini terbukti dengan gampang menyeret orang ke balik penjara. Sampai saat ini setidaknya terdapat lebih dari 50 kasus telah di laporkan mengenai penggunaan pasal ini. Laporan terakhir mengenai penggunaan pasal-‐ pasal karet ini menimpa seorang warga yang mengunggah video mengenai kekerasan anak di Padang, yang karenanya kasus kekerasan tersebut dapat tersingkap dan menjadi perbincangan publik. Cepat atau lambat, penggunaan secara berlebihan pasal-‐pasal seperti ini akan menjadi ancaman nyata bagi kebebasan warga. ****
12