Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA DAN REALITASNYA Oleh : Ady Ferdian Noor * Abstrak Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi masyarakat khususnya manusia yang sadar akan keberadaannya. Manusia yang sadar adalah manusia yang mempunyai tingkat pendidikan sudah mencapai level sekolah menengah umum itupun baru dengan memahami pengertian dasar dari HAM. Dari tingkat pendidikan itulah manusia menyusun rencana kehidupannya. Manusia mempunyai kehidupan yang tak terlepas dari segala bidang mulai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Di Indonesia HAM telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) dan Amandemennya. Mulai dari pasal 27, 28A sampai pasal 28J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal 34. UUD’45 telah mengalami empat kali amandemen yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002. Hasil Pembahasan menunjukkan impelementasi HAM di Indonesia dan Realitasnya masih jauh dari harapan ini dapat dibuktikan RAPBN dan RAPBNP dananya bersumber dari rakyat itu sendiri melalui pajak, sudahnya seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. HAM yang sudah diatur dalam UUD’45 tidak dilakukan/dilaksanakan secara sepenuhnya malah terkesan tidak sampai 50% RAPBN dan RAPBNP yang terserap oleh masyarakat menengah ke bawah. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia (HAM)
Abstact Human Rights (HAM) has an important meaning for people, especially people who are aware of its existence. Conscious human beings are human beings who have already reached the level of education level of high school new rose with a basic understanding of human rights. Of the level of education that human life plan. Humans have a life that can not be separated from all sectors ranging ideological, political, economic, social, cultural, defense and security. In Indonesian human rights guaranteed in the Constitution of 1945 (UUD'45) and its amendments. Start of section 27, 28A to 28J article, article 29, article 30, article 31, article 32, article 33, and article 34. UUD'45 has undergone four amendments, namely 1999, 2000, 2001, and 2002 . Discussion The results show the implementation of human rights in Indonesia and the reality is far from this expectation can be proven RAPBNP draft budget and funded from the people themselves through taxes, sudahnya supposedly of the people, by the people and for the people. Human rights set out in UUD'45 not done / conducted entirely even seem not to 50% State Budget and RAPBNP absorbed by the lower middle income people. Keywords : Human Rights
PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi masyarakat khususnya manusia yang sadar akan keberadaannya. Manusia yang sadar adalah manusia yang mempunyai tingkat pendidikan sudah mencapai level sekolah
menengah umum itupun baru dengan memahami pengertian dasar dari HAM. Dari tingkat pendidikan itulah manusia menyusun rencana kehidupannya. Manusia mempunyai kehidupan yang tak terlepas dari segala bidang mulai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
7
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
keamanan. Di Indonesia HAM telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) dan Amandemennya. Mulai dari pasal 27, 28A sampai pasal 28J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal 34. UUD’45 telah mengalami empat kali amandemen yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002. Penjaminan oleh UUD’45 tentang HAM menjadikan seharusnya pemerintah membuat RAPBN dan RAPBNP berdasarkan hal itu, kenapa? Karena tujuan pembangunan Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemerataan pembangunan sampai ketingkat pelosok yang terpencil/daerah pedalaman. RAPBN dan RAPBNP dananya bersumber dari rakyat itu sendiri melalui pajak, sudahnya seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. HAM yang sudah diatur dalam UUD’45 tidak dilakukan/dilaksanakan secara sepenuhnya malah terkesan tidak sampai 50% RAPBN dan RAPBNP yang terserap oleh masyarakat menengah ke bawah. Indikator utama RAPBN yang tersedot pada pembayaran gaji pegawai mengidentifikasikan bahwa rakyat Indonesia khususnya generasi muda seolaholah memang bertujuan/bercita-cita menjadi pegawai negeri. Karena dengan pegawai negeri semua terpenuhi sampai pada masa pensiun jadi tidak perlu memikirkan apaapa lagi tidak seperti pegawai swasta yang tidak dilindungi oleh pemerintah secara penuh. Pemerintah hanya mementingkan kepentingan pengusaha saja. Padahal mereka juga rakyat Indonesia. Diperparah oleh tidak meratanya pembangunan dan kesejahteraan rakyat karena alokasi pembagian dana yang tidak berimbang. Makanya kenapa akhirnya muncul kasus Timor-Timur dan Kasus Mei 1998. Karena malah negara lain yang
memperhatikan anak orang lain. Sedangkan pemerintah Indonesia sebagai bapaknya seolah-olah membiarkan saja. Ini sangat disayangkan di saat Indonesia yang mempunyai berbagai sumberdaya alam yang melimpah namun tidak dapat dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Disebabkan oleh dua kasus itu saja Indonesia harus rela kehilangan sebuah provinsi dan dana yang jumlahnya bertrilyun-trilyun. Karena itu bermunculan landasan hukum mengenai HAM mulai dari Keppres No.50/1993 pembentukan Komnas HAM, UUD’45 dan amandemennya, pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis, UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ditambah menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat, lembagalembaga yang bergerak dalam menjunjung tinggi HAM antara lain KONTRAS, ELSAM, YLHBI, Human Right Wacth dll. Sudah seharusnya saat ini rakyat bukan hanya sebatas selogan belaka yang selalu didengung-dengungkan apabila mau menduduki suatu jabatan atau ingin memperoleh kedudukan/posisi. Rakyat ditempatkan sebagai penguasa sesuai dengan prinsip demokrasi bahwa kekuasaan adalah ditangan rakyat. Bukan kekuasaan ditangan perwakilannya di Majelis
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
8
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jadi rakyat berhak tahu semua sepak terjang dari wakilnya biarpun tetap ada hal-hal prinsip yang harus dirahasiakan oleh negara. Tetapi bukan berarti rakyat tidak boleh mengetahui tentang berbagai informasi yang memang untuk rakyat. Implementasi HAM dalam UUD’45 dan Realitasnya Ini ada beberapa contoh implementasi di Indonesia dalam beberapa pasal UUD 1945 dan amandemen. Pasal 27 ayat 1, bahwa semua warga negara adalah sama kedudukannya di mata hukum dan bersamaan kedudukannya di pemerintahan serta menjunjungnya tapi di lapangan tidak sesuai. Banyak maling ayam atau jemuran yang harus mendekam bertahun2 di penjara karena tidak bisa membela diri tetapi koruptor atau pemakai narkoba hanya dikenai hukuman 1 sampai 2 tahun aja karena meraka mampu menyewa pengacara. Pelayanan di pemerintahan pun tergantung siapa yang punya uang atau yang punya kekuasaan maka pelayanan akan semakin baik tetapi kalau yang datang rakyat biasa maka pelayanan pun biasabiasa aja yang penting selesai. Pasal 27 ayat 2, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kenyataan dilapangan sangat berbeda berapa banyak pengangguran sarjana (telah mencapai 1 juta lebih) ini kan sangat ironis dengan kekayaan alam yang berlimpah. Kondisi sumberdaya manusia yang semakin berharap menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) sesuai yang telah kita bahas di paragraf sebelumnya di atas juga ikut menyebabkan banyak pengangguran. Kehidupan yang layak... pertanyaannya
sangat mudah, standar siapa? Standar orang golongan menengah ke atas atau golongan ke bawah. Banyaknya warga negara Indonesia yang tinggal di kolong jembatan...tempat bantaran sungai... tempat kumuh...di stasiun kereta api...dan lain-lain adalah menjadi indikator bahwa pembangunan belum mencapai/dirasakan sampai ketingkat golongan bawah. Pasal 27 ayat 3, setiap warga negara berhak dan wajib dalam bela negara. Warga negara Indonesia dalam hal ini begitu kompak dalam bersatu tetapi masih ada saja WNI keturunan istilah dulu jaman orde baru yang mengkhususkan diri tidak mau berbaur secara natural mereka rata-rata karena terpaksa karena ada kepentingan usaha mereka. Pasal 28A, setiap orang berhak untuk hidup, berkembang, dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kenyataannya banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) di daerah-daerah yang kejar-kejaran dengan Satpol PP karena pemerintah daerahnya tidak mau memikirkan/merencankan lokasi untuk mereka sehingga mereka mampu berusaha secara mandiri dengan tenang. Untuk kredit pun mereka susah payah mendapatkannya atau malah tidak pernah dialokasikan sehingga keberlangsungan usaha mereka sangat terancam karena bankbank banyak yang menolak pengajuan kredit mereka. Pasal 28B ayat 1, Setiap orang berhak memperoleh keturunan dengan membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Di lapangan banyak di daerah-daerah pedalaman/pelosok yang kawin tanpa adanya pengesahan oleh negara karena tidak mampu. Ironis sekali yang akhirnya kalau ada acara/kegiatan oleh mahasiswa atau pemda mereka dikawinkan secara masal untuk memperoleh surat nikah yang sah.
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
9
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
Pasal 28B ayat 2, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Di Indonesia anak-anak yang berasal dari golongan bawah tidak dapat menikmati indahnya sekolah dengan tenang dan senang. Tetapi bagi anak yang berasal dari golongan kaya mereka dapat memilih-milih sekolah yang terbaik karena mereka mampu. Ditambah dengan sekarang perguruan tinggi yang dibadan hukumkan sehingga bertujuan mencari profit. Banyak kita jumpai sampai saat ini...anak-anak umur belasan tahun bekerja berjualan koran di lampu-lampu merah...jadi pengemis. Masalah Implementasi Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya yang dijamin konstitusi. Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasan yang secara tegas dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk
implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas masalah yang dihadapi (http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/ 02/18/konsekuensi-implementasi-hamdalam-uud-1945/). Karena hal tersebut akhirnya Ironis, ada seorang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia bernama Eka Kusuma Artha menulis di Surat Kabar KOMPAS tanggal 12 Desember 2007 Halaman 7 kolom 2-4 yang menyatakan ”...namun. itu bukan berarti Indonesia benar-benar bersih dari tuntutan itu. Jika dilihat dari catatan suram sejarah Indonesia, pada 1965 telah terjadi gerakan yang mirip genosida. Kendati tujuannya bukanlah menghancurkan ras tertentu, kuantitas dari pembantaian yang terjadi pada saat G30S PKI 1965 tersebut dapat digolongkan ke dalam suatu pelecehan hak asasi manusia yang sangat parah. Pembantaian sesama saudara yang sangat anarkis di sebuah negara yang menjunjung nilai-nilai Pancasila betul-betul menjadi sebuah pertunjukan dengan sebuah penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dalam deklarasi yang disahkan PBB benar-benar
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
10
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
tidak berarti. Itu hanyalah contoh besar yang tampak dan dipublikasikan pada zaman orba sehingga seolah-olah PKI-lah yang mendapatkan vonis bersalah sebagai partai besar pada saat itu yang menganut paham komunis. Paham Komunis yang dianggap sebagai sebuah partai sesat saat itu menjadi sasaran yang tepat untuk mengklaim penyebab kudeta yang terjadi pada pemerintahan Presiden Soekarno. Pembataian itu sempat menyebabkan trauma politik bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia. Hal itu tentu sangat menyalahi dan melanggar Hak Asasi Manusia dengan kebebasan memilih partai politik sangat dilegalkan...” Kita perlu mengcounter tulisan-tulisan seperti contoh di atas karena apabila masyarakat umum/awam yang membaca bisa salah arti. Jadi diperlukan perhatian yang serius pada saat ini terhadap semua jenis media. Dukungan pemerintah melalui biro humas dan hukumnya dan instansi/departemen terkait perlu membuat suatu program kerja yang dapat mengkoordinasikan semua pihak, mulai dari sekolah dasar dan menengah, perguruan tinggi, birokrasi, legislatif, dan yudikatif. Penyelasaian Pelanggaran HAM Berat Bahwa peradilan terhadap pelanggaran HAM berat harus berdasarkan keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang ini pelanggaran HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas huku pidana internasional yang dapat menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan suka atau tidak suka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika sebuah perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita harus bekerja secara professional dan
tidak memutuskan perkara-perkara tersebut dengan pertimbangan politik dan kompromi serta impunity. Walaupun demikian, dengan adanya undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang kita miliki, penyelesaian perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus dengan proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. Kita juga perlu mempertimbangan penyelesaian nonajudikasi dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan nasional dan keseimbangan (equalibrum). DPR tidak dapat melakukan interpretasi politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut pandangan kami, secara prinsip suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip pemberlakuan surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Disinilah asal usul lahirnya UU No.26 Tahun 2000, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan suatu kasus pelanggaran HAM berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan pengusulan ini kepada DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan melakukan interpretasi politik. Jadi menurut kami, pembentukan undang-undang dengan sengaja memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak layak suatu pelanggaran HAM berat masa lalu diajukan ke pengadilan HAM (http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/ 02/18/konsekuensi-implementasi-hamdalam-uud-1945/).
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
11
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
Dalam kasus Timor-Timur, Komnas HAM telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPPHAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan Surat Keputusan No.770/TUA/IX/99, kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No.797/TUA/X/99 tanggal, 22 Oktober 1999, dengan mengingat Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PERPU No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta mempertimbangkan bahwa situasi hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat semakin memburuk. Mandat KPP-HAM adalah mengumpulkan fakta, data dan informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya Penetapan MPR pada bulan Oktober 1999 yang mensahkan hasil jajak pendapat. Penyelidikan dikhususkan pada kemungkinan terjadinya genosida, pembunuhan massal, penganiayaan, pemindahan paksa, kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak serta politik bumi hangus. KPP HAM juga bertugas menyelidiki keterlibatan aparatur negara dan atau badan-badan lain. Masa kerja KPP HAM terhitung sejak 23 September 1999 sampai akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000 dengan SK Ketua Komnas HAM No.857/TUA/XII/99 tanggal 29 Desember 1999. Wewenang KPP-HAM berdasarkan Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 89 (3) dan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 10 dan 11 adalah: melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, meminta
keterangan pihak-pihak korban, memanggil dan memeriksa saksi-saksi, mengumpulkan bukti dan memeriksa berbagai tempat termasuk bangunan yang perlu bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan. Di samping itu, KPP-HAM berwenang memeriksa dan meminta dokumen-dokumen instansi yang diperlukan bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan, memberikan perlindungan bagi saksi dan korban serta mengolah dan menganalisa fakta yang ditemukan untuk kepentingan penuntutan dan publikasi. Tetapi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjadi titik terlemah dari perlindungan terhadap saksi dan korban. Undang-Undang ini tidak secara khusus mengatur tentang hukum acara dan pembuktian untuk berjalannya pengadilan HAM. KUHAP yang secara normatif berorientasi untuk pemenuhan perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam praktiknya tidak cukup memadai untuk dapat menjalankan proses peradilan HAM dan dengan demikian KUHAP semakin menjadi tameng yang efektif bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Bila melihat peraturan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban sebetulnya sudah ada jaminan atas pemberian hak-hak tertentu terhadap saksi dan korban. Namun jika hal itu kita kaitkan dengan pengalaman dan praktik peradilan HAM ad hoc yang sudah berlangsung, jaminan atas hak-hak tersebut tidak dapat secara maksimal dijalankan. Proses perjalanan peradilan HAM ad hoc itu sendiri telah menjelaskan problem-probem baik yuridis maupun teknis dari aparat penegak hukum untuk menjalankan dan memaksimalkan penerapan peraturan yang berkaitan perlindungan saksi dan korban. Problem yuridis yang paling menonjol adalah masih mengikatnya ketentuan Kitab
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
12
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
Undang-Undang Hukum Pidana sebagai landasan hukum untuk proses beracara dalam pengadilan HAM ad hoc ini. Hal ini terjadi karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 memang tidak mengatur secara khusus tentang mekanisme pembuktian dalam pengadilan HAM ad hoc. Mekanismenya diserahkan kepada mekanisme seperti yang diatur dalam KUHAP. Pengaturan terhadap perlindungan terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHAP sebagai dasar hukum acara dalam peradilan pidana. Khusus untuk pengadilan HAM Ad Hoc landasan hukumnya menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU No. 26 Tahun 2000 sendiri dalam Pasal 10 menyatakan bahwa hukum acara yang tidak diatur dalam undang-undang ini
menggunakan hukum acara sesuai dengan KUHAP. Hal ini berarti bahwa prosedur tentang saksi dan mekanisme kesaksian diatur atau menggunakan mekanisme dalam KUHAP. Setiap UU yang dikeluarkan selalu ada titik kelemahan yang masih bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin memutarbalik fakta yang ada selama ini. Titik lemah dalam setiap UU hampir pasti selalu dapat dibaca dan akhirnya pengadilan tidak dapat memutuskan secara tepat karena landasan dasar berupa bukti/fakta kurang kuat. Inilah hasil pengadilan HAM kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Pemerintah perlu memfilekan menjadi satu semua data konstitusional mengenai HAM sehingga cepat dan tanggap apabila terjadi suatu masalah yang berkelanjutan.
Matrix Putusan Pengadilan HAM di Indonesia (Monitoring dan Dokumentasi KontraS, sampai 1 September 2006) I. Pengadilan Adhoc HAM Timor- Timur Berkas I
II
III
Terdakwa
Tuntutan
Timbul Silaen Pidana (Kapolda Tim-Tim) penjara 10 tahun 6 bulan ABILIO JOSE Pidana SOARES (Mantan Penjara 10 Gubernur Timor tahun Timur) HERMAN SEDYONO (Mantan Bupati KDH Tk. II Covalima) LILIEK KOESHADIANTO (Mantan PLH Dandim Suai
Vonis Tingkat I Banding Kasasi Bebas Bebas
Pidana penjara 3 tahun
3 tahun
3 tahun
Pidana penjara 10 tahun
Bebas
-
Bebas
Pidana penjara 10 tahun 6 bulan
Bebas
--
Bebas
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
PK
Bebas
13
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 ) GATOT SUBIYAKTORO (Mantan Kapolres Suai)
Pidana penjara 10 tahun 3 bulan Penjara 10 tahun
Bebas
--
Bebas
Bebas
--
Bebas
Pidana penjara 10 tahun Pidana Penjara 10 tahun
Bebas
--
Bebas
Bebas
--
Bebas
ADIOS SALOPA Pidana (Mantan Kapolres penjara 10 Liquisa) tahun LEONITO MARTIN Pidana (Mantan Bupati penjara 10 Liquisa) tahun ENDAR PRIYANTO Pidana (Mantan Dandim penjara 10 Dili) tahun
Bebas
--
Bebas
Bebas
--
Bebas
Bebas
--
Bebas
Pidana penjara 10 tahun
Pidana penjara 5 tahun
Bebas
bebas
Pidana penjara 10 tahun
Pidana penjara 3 tahun
Bebas
Bebas
Pidana penjara 10 tahun
10 tahun
Bebas
Pidana penjara 3 tahun
ACHMAD SYAMSUDIN (Mantan Kasdim 1635 Suai) SUGITO (Mantan Danramil Suai) IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
ASEP KUSWANI (Mantan Dandim Liquisa)
SUDJARWO (Mantan Dandim Dili) HULMAN GULTOM (Mantan Kapolres Dili) EURICO GUTERRES (Mantan Wakil Panglima Pro Integrasi) ADAM DAMIRI
(Mantan Pangdam Udayana) TONO SURATMAN Pidana penjara 10
Bebas
5 Tahun 10 tahun
Bebas
Bebas
Bebas, karena JPU
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
14
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
XI
(Mantan Danrem Wiradharma)
tahun
NOER MUIS
Pidana penjara 10 tahun
Pidana penjara 5 tahun
Pidana penjara 10 tahun
Bebas
(Mantan Danrem Wiradharma YAYAT SUDARAJAT
XII
Bebas
-
LUPA membuat memori kasasi Bebas
Bebas
(Mantan Dansatgas Tribuana) PK : Peninjauan Kembali II. Pengadilan Adhoc HAM Tanjung Priok Terdakwa Berkas I
SUTRISNO MASCUNG (Mantan Komandan Regu III Yon Arhanudse 06)
Tuntutan
Vonis Tingkat I 10 tahun penjara 3 tahun
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
Kompensasi buat 13 orang korban dan ahli warisnya
MANTAN ANGGOTA REGU Masing-masing 2 Bebas III YON ARHANUDSE 06; tahun dan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II
Banding Kasasi PK/KDKH Bebas Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Asrori Siswoyo Abdul Halim Zulfatah Sumitro Sofyan Hadi Prayogi Winarko Idrus Muchson
RUDOLF ADOLF BUTAR BUTAR (Mantan Komandan Distrik
10 tahun penjara 10 tahun dan Kompensasi
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
15
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 ) III
PRANOWO
5 tahun penjara
Bebas
-
Bebas
IV
(Mantan Komandan Polisi Militer Komando Daerah Militer V Jaya) SRIYANTO
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi 10 tahun penjara Bebas
-
Bebas
(Mantan Kepala Seksi Operasi Kompensasi, restitususi dan Komandan Distrik Militer 0502/Jakarta Utara) Rehabilitasi
PK : Peninjauan Kembali, KDKH : Kasasi Demi Kepentingan Hukum III. Pengadilan HAM Abepura Berkas
Terdakwa
Tuntutan Tingkat I
Vonis Banding Kasasi
PK
I
JOHNY WAINAL Pidana Penjara Bebas USMAN, Mantan 10 tahun Komandan Brimob Abepura.
-
-
-
II
DAUD SIHOMBING, Mantan Kapolres Abepura.
-
-
-
Pidana Penjara Bebas 10 tahun
PK : Peninjauan Kembali, KDKH : Kasasi Demi Kepentingan Hukum Sumber : Kontras (September 2006)
Dilihat dari data di atas banyak yang bebas demi hukum bukan demi keadilan untuk masyarakat. Kita tidak pernah memikirkan dan merasakan betapa menderitanya para korban karena tidak mendapatkan keadilan yang sama.
SIMPULAN Bahwa masih banyak yang harus kita lakukan dalam rangka implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi saya yakin bahwa dengan perangkat yang disediakan oleh UUD saya selalu optimis bahwa ke depan impelementasi HAM di Indonesia
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
16
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 7 – 17 )
akan terus lebih baik walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi dan situasi masyarakat. Sosialisasi UU mengenai HAM perlu ditingkatkan sampai kepada masyarakat lapisan bawah sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan apabila mengalami kasus pelanggaran HAM (khususnya lagi masalah perlindungan terhadap saksi).
Pemerintah selalu memonitor setiap jenis media yang menampilkan masalahmasalah HAM atau lebih tepatnya harus melaporkan bahwa ada tulisan atau berita atau acara yang berhubungan dengan HAM. Pemerintah perlu lebih banyak lagi membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri di setiap provinsi Indonesia.
Buku Sumber/Referensi Budimansyah, Dasim. 2007. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PKn. Jakarta : Universitas terbuka Djahiri, dkk. 2006. Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Chamim, Asykuri Ibn, dkk. 2003. Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan (Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban). Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah bekerjasama dengan LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta http://www.elsam.or.id diakses tanggal 17 November 2009 http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/18/konsekuensi-implementasi-ham-dalamuud-1945/ diakses tanggal 17 November 2009 http://komnasham.go.id- Keppres Nomor 50 Tahun 1993 diakses tanggal 17 November 2009 http://www.kontras.org/regulasi/Undang_Undang_Nomor_27_Tahun_2004_Tentang_Kom isi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi.pdf diakases tanggal 17 November 2009 http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8&coid=1&caid=6.-TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 diakses tanggal 17 November 2009 http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19.-UU Nomor 39 Tahun 1999 diakses tanggal 17 November 2009 http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/18. -UU Nomor 26 Tahun 2000 diakses tanggal 17 November 2009 Keppres No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarbaini, Syahrial, dkk. 2006. Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Graha Ilmu bekerjasama dengan UIEU-University Press: Yogyakarta UUD’45 (Undang-Undang Dasar 1945) dan Amandemennya). 2006. Jakarta: Pressindo
*Ady Ferdian Noor, M.Pd Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
17