Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia Oleh: Iman Prihandono*
1. Pendahuluan The UN Guiding Principles on Business and Human Rights, atau secara singkat disebut juga UNGP, disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh John Ruggie dalam waktu sekitar 6 tahun, dimulai sejak tahun 2006. Dalam masa jabatannya, Ruggie dan timnya bekerja mengidentifikasi permasalahan utama dalam isu bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu permasalahan utama yang ditemukan adalah adanya ‘accountability gap’. Pelanggaran HAM oleh korporasi terjadi bukan semata-mata karena korporasi tidak bersedia menghormati HAM, tetapi lebih karena ketidakmauan pemerintah mengatur penghormatan HAM oleh korporasi.
Dalam sidang Human Rights Council (HRC), usulan tiga pilar utama UNGP, yaitu ‘Protect, Respect, dan Remedy’,
mendapatkan persetujuan secara mutlak oleh seluruh negara
anggota, sesuatu yang jarang terjadi dalam sidang HRC. Persetujuan ini menunjukkan bahwa UNGP dapat diterima oleh setidaknya tiga kelompok yang berkepentingan dalam masalah ini, yaitu negara-negara maju (negara asal investasi), negara berkembang (negara tujuan investasi), dan korporasi (investor).
Alasan utama penerimaan ini adalah sifat tidak mengikat dari UNGP yang dianggap sebagai kompromi dua kelompok kepentingan, yaitu kelompok negara asal investasi yang didukung oleh korporasi transnasional di satu sisi, dan negara tujuan investasi di sisi lain yang didukung oleh LSM dan Organisasi Masyarakat Sipil. Nampaknya Ruggie tidak ingin mengulangi peristiwa penolakan terhadap Draft Norm on Business and Human Rights, yang dibuat dengan tujuan untuk memiliki kekuatan mengikat. Oleh karena itu, UNGP lebih memilih menggunakan kata ‘should’ yang memiliki makna lebih longgar dari pada kata
*
Iman Prihandono, Ph.D, adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Tulisan ini adalah draft tidak untuk dikutip atau referensi bagi tulisan lain dalam bentuk apapun kecuali dengan ijin penulis. Email penulis:
.
1
‘shall’ yang memiliki konotasi keharusan. Demikian juga terhadap korporasi hanya dibebani ‘responsibility’ (tanggungjawab), dan bukan ‘obligation’ (kewajiban).
Sifat tidak mengikat dari UNGP memberikan jalan bagi implementasi prinsip-prinsip yang dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah dan korporasi mengenai peran mereka dalam perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM. Sayangnya, sifat sukarela dari UNGP mengundang
keraguan
dari
berbagai
pihak,
terutama
menyangkut
efektifitas
implementasinya. Permasalahan utama bagi UNGP sebenarnya adalah menemukan kerangka hukum yang sesuai bagi implementasinya pada level negara, mengingat masingmasing negara memiliki karakteristik hukum, ketersediaan institusi dan permasalahan HAM yang berbeda-beda.
Tulisan ini mengusulkan pentingnya penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) guna menentukan prioritas kegiatan, dan lembaga yang terlibat bagi implementasi UNGP di Indonesia, serta menyusun kerangka hukum yang tepat bagi pengadopsian UNGP ke dalam hukum nasional.
2. Kontribusi Positif UNGP Karena sifatnya yang voluntary dan tidak mengikat, UNGP mendapatkan kritik dari beberapa pihak. Diantaranya oleh Human Rights Watch yang menyatakan bahwa UNGP hanya akan berlaku bila negara dan korporasi berkeinginan untuk menjalankannya, dan tidak akan berlaku bila keinginan tersebut absen. Selain itu, korporasi yang menjalankannya juga akan menganggap UNGP sudah cukup bagi penghormatan terhadap HAM, sehingga berpotensi terabaikannya kewajiban-kewajiban HAM lainnya yang tidak termasuk dalam UNGP (AlbinLackey, 2013).
Terlepas dari kritik mengenai kelemahan UNGP sebagai sebuah instrumen hukum, UNGP memiliki beberapa kontribusi positif. Beberapa diantaranya seperti dirumuskan oleh Schoemaker (2011), sebagai berikut:
2
Pertama, UNGP memberikan klarifikasi mengenai kewajiban negara dan tanggungjawab korporasi terhadap HAM. Hal ini penting untuk mengisi ‘accountability gap’, yang merupakan masalah utama dalam isu relasi bisnis dan HAM.
Kedua, UNGP menyediakan alat bagi manajemen resiko dan sistem peringatan dini bagi kegiatan usaha korporasi dengan resiko pelanggaran HAM yang tinggi. Sehingga bagi korporasi, instrumen ini akan sangat bermanfaat dalam menekan resiko operasional, hukum dan reputasi.
Ketiga, UNGP membuka kesempatan bagi terjadinya kerjasama antara NGOs, korporasi dan masyarakat korban dalam membentuk mekanisme pemulihan yang efektif. Selama ini pemulihan lebih banyak bergantung pada mekanisme pengadilan yang memakan biaya besar dan waktu lama. UNGP berkontribusi positif dalam memotong kendala-kendala tersebut dengan mendorong penggunaan mekanisme internal korporasi dan luarpengadilan.
Dalam tiga tahun sejak mendapatkan persetujuan dari HRC, UNGP telah memberikan pengaruh para revisi beberapa instrumen internasional baik yang bersifat mengikat maupun tidak (Ruggie, 2013). Beberapa diantaranya adalah:
Pada bulan Mei 2011, OECD Guidelines for Multinational Enterprises direvisi dengan mengadopsi kerangka UNGP ke dalam sebuah Chapter khusus yang mengatur HAM.
OECD Common Approaches for Export Credit Agencies 2012, sebuah instrumen yang mengatur akses permodalan di negara-negara OECD juga telah mengadopsi dan mengakui kerangka UNGP.
Revisi terakhir terhadap International Finance Corporation (IFC) “Sustainability Principles and Performance Standards”, memperkuat ketentuan mengenai penghormatan HAM dengan menggunakan UNGP sebagai model rule.
3
Pada November 2010, Internasional Standards Association (ISA) mengeluarkan ISO26000, yang berisi bagian tentang HAM dengan merujuk pada kerangka UNGP. European Commission menyebut UNGP sebagai rujukan pelaksanaan Corporate Social Responsibility bagi korporasi asal EU dalam “EU Strategy 2011-14 for Corporate Social Responsibility” (European Commission, 2011). Terakhir, the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2013 mengeluarkan dokumen mengenai petunjuk penyampaian komplain oleh CSOs dan masyarakat lokal terhadap kegiatan usaha kelapa sawit. Petunjuk komplain ini secara tegas menyebutkan mengadopsi prinsip penyelesaian sengketa dan pemulihan luar-pengadilan dalam UNGP (Chao, 2013).
Dengan demikian, meskipun tanpa kekuatan mengikat, tanpa mekanisme penegakan dan sanksi, sebenarnya UNGP telah mendapatkan wadah bagi implementasinya. Meskipun tidak dapat meningkatkan kekuatan mengikat dari UNGP, adopsi oleh organisasi dan asosiasi korporasi internasional telah berkontribusi meningkatkan efektifitas implementasi tiga pilar UNGP.
3. Rencana Aksi Nasional Selain dari adopsi oleh beberapa organisasi internasional, beberapa negara telah mengambil langkah dalam memperkuat pelaksanaan dan menjamin kepatuhan terhadap UNGP.
Amerika Serikat misalnya, telah mengadopsi UNGP ke dalam Section 1502 dari the DoddFrank Wall Street Reform Act. Korporasi asal AS diwajibkan melakukan uji tuntas HAM berkaitan dengan mineral tambang yang dibeli dari Republik Demokratik Kongo.
Pemerintah ASjuga menggunakan UNGP
sebagai acuan dalam menerapkan ketentuan
kewajiban pelaporan resiko HAM bagi korporasi AS yang akan melakukan investasi di Myanmar dengan nilai investasi lebih dari US$500.000,-.
4
Dari apa yang telah dilakukan di AS di atas nampak bahwa terdapat kesempatan bagi adopsi UNGP kedalam hukum nasional. Meskipun tidak harus persis sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah AS, yang mewajibkan uji tuntas HAM bagi aktivitas ekstrateritorial, adopsi UNGP kedalam hukum nasional terbukti dimungkinkan. Namun, nampaknya adopsi ini tidak dapat dilakukan secara keseluruhan dalam bentuk sebuah aturan hukum khusus, melainkan dilakukan secara parsial sesuai dengan jenis resiko, lokasi, dan operasi usaha korporasi.
Dengan demikian, adopsi UNGP kedalam hukum nasional hanyalah salah satu langkah alternatif. Masing-masing negara dapat mengambil langkah berbeda sesuai dengan karakteristik sistem hukumnya. Langkah strategis lain diperlukan bagi implementasi efektif dari UNGP, diantaranya misalnya seperti yang diusulkan oleh ICAR (2013) dibawah ini.
Pertama, menyusun sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) terhadap penerapan UNGP. RAN ini disusun bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan, diantaranya Pemerintah, Korporasi dan LSM/CSOs, termasuk National Human Rights Institution (NHRI). UNGP adalah instrumen yang membutuhkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam implementasinya, karena itu kekuatan UNGP bergantung pada proses dialog, pemahaman, dan kemauan untuk terus belajar dan memperbaiki kesalahan.
The UN Working Group on Business and Human Rights yang diberi mandat untuk merumuskan dan mendorong implementasi effektif dari UNGP, mengajukan beberapa langkah strategis yang sebaiknya dimasukkan kedalam RAN sebuah negara (Bauer, 2014). Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, menyusun regulasi dan penerapan aturan yang menjadikan uji tuntas HAM sebagai syarat bagi keikutsertaan korporasi dalam tender pengadaan barang pemerintah, mendapatkan kredit ekspor, dan pencatatan (listing) sahamnya di bursa efek;
Kedua, adopsi kewajiban HAM terhadap investor pada bilateral investment treaties (BITs) dan perjanjian multilateral lainnya yang memfasilitasi perdagangan dan masuknya investasi asing; 5
Ketiga, mengkomunikasikan secara dini harapan Indonesia terhadap korporasi asing – misalnya, dengan mendorong staf diplomatik pada kedutaan besar dan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk mengangkat masalah ini dengan pimpinan-pimpinan korporasi di negara asal mereka;
Keempat, memastikan dan mengawasi bahwa RAN yang disusun telah mencakup seluruh tugas instansi pemerintah terkait, serta pendapat buruh, LSM dan masyarakat terdampak telah didengar dan dipertimbangkan;
Kelima, memiliki target capaian dan kriteria capaian yang jelas, serta memiliki kerangka waktu bagi setiap tahapan capaian;
Keenam, memberikan perhatian khusus bagi daerah konflik dan kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat;
Ketujuh, mendorong lembaga-lembaga pembuat kebijakan dan penyusun peraturan untuk mewajibkan penyusunan uji tuntas HAM oleh korporasi.
Kedelapan, memperkuat mekanisme pemulihan terhadap pelanggaran HAM yang terkait dengan kegiatan usaha korporasi. Kesembilan, memastikan bahwa institusi pemerintahan dan pejabat-pejabat pemerintah bertindak selaras dengan kewajiban negara terhadap HAM. Sehingga diharapkan pejabat yang menempati jabatan strategis di departemen yang berkaitan dengan usaha korporasi juga memiliki komitmen melaksanakan UNGP.
Beberapa negara telah menyusun RAN-nya sebagai bentuk komitmen pelaksanaan UNGP. Diantaranya adalah UK, Italia dan Swiss. Masing-masing negara tersebut memiliki pendekatan, lingkup dan institusi inisiator yang berbeda-beda dalam penyusunan RAN. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari beberapa RAN negara-negara tersebut.
6
4. Kerangka Hukum bagi Pengadopsian UNGP Memilih kerangka hukum yang tepat bagi implementasi UNGP pada sebuah negara tentunya tidak mudah. Selain sembilan langkah strategis yang diusulkan oleh The UN Working Group on Business and Human Rights diatas, sistem hukum, instrumen hukum yang sudah ada dan efektifitas penegakan hukum di sebuah negara juga akan sangat berpengaruh. Selain itu, bagaimana korporasi menjalankan kegiatan usaha di negara tersebut, serta bidang usaha yang paling beresiko juga harus diperhatikan.
Berikut ini beberapa usulan mengenai kerangka hukum yang mungkin diambil bagi adopsi dan implementasi efektif UNGP di Indonesia.
4.1. Adopsi UNGP kedalam Perjanjian Investasi Bilateral dan Multilateral.
Adopsi ini berkaitan dengan pilar pertama dari UNGP yaitu ‘state duty to protect’, dimana pemerintah berkewajiban menjamin, melindungi dan memenuhi HAM melalui kebijakan, regulasi, dan legislasi.
Saat ini Indonesia terikat dalam lebih dari 64 perjanjian investasi bilateral, regional dan multilateral. Namun sayangnya belum satupun yang mencantumkan ketentuan mengenai kewajiban menghormati HAM. Ketentuan minimum mengenai kewajiban mematuhi hukum dan regulasi lingkungan hidup dapat ditemukan di perjajian kemitraan ekonomi dengan Jepang (IJEPA). Sayangnya, pada kontrak pertambangan (Kontrak Karya) dan eksplorasi minyak dan gas (Production Sharing Contract) belum ditemukan adanya standar kepatuhan dan penghormatan terhadap HAM.
Keadaan diatas sangat mengkhawatirkan karena berkaitan dengan penghormatan HAM, investor asing dibebani kewajiban terbatas untuk mematuhi hukum nasional Indonesia. Sedangkan tingkat kepatuhan dan pemenuhan HAM di Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu, mengadopsi UNGP ke dalam kontrak atau perjanjian investasi akan membantu mengisi ‘celah’ tersebut. 7
Saat ini pemerintah sedang melakukan re-negosiasi beberapa Kontrak Karya. Demikian juga pemerintah belum memiliki BITs/IIAs dengan AS dan EU. Sedangkan beberapa negara seperti AS (2012) sudah mengeluarkan standar BITs baru. Dalam model BITs ini diperkenalkan beberapa ketentuan baru, khususnya mengenai kewajiban transparansi bila pemerintah bermaksud mengeluarkan regulasi baru dalam bidang investasi, hal ini memberikan kesempatan kepada LSM dan masyarakat terdampak untuk berpartisipasi memberikan masukannya. Demikian juga ketentuan mengenai perlindungan hak tenaga kerja dan lingkungan hidup diperluas. Pemerintah negara tujuan investasi diberikan kewenangan lebih bebas dalam menjalankan hukum tenagakerja dan lingkungan hidupnya.
Demikian juga European Parliament sudah mengeluarkan EU Regulation No. 1219/2012 yang mengatur penggunaan EU Model BITs yang baru akan diberlakukan bagi seluruh negara-negara EU. Dalam regulasi ini ditekankan pentingnya mengadopsi kebijakan EU mengenai penghormatan atas perlindungan hak tenaga kerja, pelestarian lingkungan hidup dan bahkan penghormatan keragaman budaya (Tzanakopoulos, 2014).
Perubahan struktur dan isi BIT oleh AS dan EU diatas, sedikit banyak telah pula mempengaruhi kebijakan Indonesia dalam mengatur investasi asing. Wakil Presiden Budiono dalam sebuah pertemuan resmi di Belanda menyatakan akan mengakhiri BIT Indonesia-Belanda. Kebijakan ini juga akan diikuti dengan pengakhiran BITs lainnya. Indonesia akan menyusun ulang seluruh BIT-nya untuk tidak terlalu memberikan kesempatan bagi investor membawa sengketa melalui arbitrase internasional (Financial Times, 2014). Dengan demikian, terdapat kesempatan yang besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendorong adopsi UNGP ke dalam kontrak investasi bilateral ataupun multilateral di masa depan.
Bagi Indonesia, selain memasukkan ketiga pilar kerangka ‘Protect, Respect, dan Remedy’, John Ruggie dalam laporannya (UN General Assembly, 2011) menemukan setidaknya ada sepuluh poin yang dapat dijadikan panduan untuk ditambahkan ke dalam kontrak investasi bilateral/multilateral. Beberapa diantaranya yang relevan terhadap kondisi Indonesia adalah sebagai berikut: 8
a) Kontrak investasi harus memuat Rencana Pengelolaan Resiko Potensi Pelanggaran HAM. Selain itu setiap operasi usaha oleh investor asing harus memiliki Standard Operasi Kegiatan Usaha. Pada poin inilah tiga pilar ‘Protect, Respect, dan Remedy’ dalam kerangka UNGP digunakan sebagai standar acuan. b) Menghindari penggunaan Stabilisation Clause. Kalaupun ada, tidak dapat dipakai untuk menghalangi pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya terhadap HAM. c)
Memuat
aturan
mengenai
Penggunaan
dan
Prosedur
Operasi
Tenaga
Keamanan/Sekuriti. d) Memiliki kebijakan dan prosdur mengenai Program Hubungan Masyarakat di Sekitar Lokasi Usaha. e) Kewajiban menjalankan dan menyusun Dokumen Monitoring dan Kepatuhan Hukum. f)
Memuat aturan mengenai kewajiban bagi investor asing untuk memiliki Mekanisme Pemulihan Luar-Pengadilan.
Kehadiran enam poin di atas diharapkan dapat secara signifikan merubah perilaku korporasi asing terhadap penghormatan HAM di Indonesia. Keenam poin di atas menjawab beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan korporasi yang beroperasi di Indonesia. Misalnya, pemerintah terkesan enggan untuk mencabut ijin pembuangan tailing PT Freeport Indonesia ke Danau Wanagon, atau ijin pembuangan tailing PT Newmont Nusa Tenggara ke Teluk Senunu karena terhalang oleh Stabilisation Clause dalam KK, dan ancaman digugat ke lembaga arbitrase internasional.
Contoh lain, penggunaan bantuan keamanan dari personil TNI/Polri maupun jasa keamanan privat sering kali berakibat negatif terhadap masyarakat sekitar. Lebih penting lagi, ketiadaan mekanisme pemulihan luar-pengadilan di internal perusahaan membuat akses atas pemulihan bagi masyarakat korban menjadi tertutup. Korban cenderung tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan mekanisme pengadilan yang seringkali memakan waktu yang lama dan biaya yang relatif besar.
9
4.2. Mendorong Penyusunan Uji Tuntas HAM oleh Korporasi
Langkah ini berkaitan dengan pilar kedua dari UNGP yaitu ‘corporate responsibility to respect’, yang salah satunya adalah melalui penyusunan uji tuntas HAM.
Sebelum membahas mengenai mekanisme yang tepat dalam mendorong uji tuntas HAM, ada baiknya bagian ini terlebih dahulu mengulas definisi, karakteristik dan unsur-unsur dalam uji tuntas HAM, yaitu agar ada pemahaman yang sama mengenai hal ini.
Ruggie (2010a; 81-83) menyatakan bahwa uji tuntas (due diligence) HAM berbeda dengan uji tuntas yang dikenal selama ini oleh kebanyakan pengacara. Uji tuntas atau legal audit biasanya dikaitkan dengan rencana penjualan perusahaan, rencana kerjasama usaha ataupun rencana melepas saham perusahaan melalui bursa efek. Dalam kegiatan ini uji tuntas dilakukan sebagai langkah investigasi atas aset dan tanggungjawab hukum perusahaan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi resiko bisnis dari perusahaan yang akan melakukan pembelian atau rencana kerjasama. Uji tuntas HAM menggunakan logika yang sama, yaitu mengurangi resiko, namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan pihak yang berbeda. Dalam uji tuntas HAM, investigasi dilakukan untuk mengurangi resiko dampak HAM dari kegiatan perusahaan terhadap masyarakat yang berpotensi terdampak.
Dalam kesempatan lain, Ruggie (2010b) menguraikan setidaknya ada empat unsur utama dalam sebuah uji tuntas HAM, yaitu: a) Adanya pernyataan kebijakan yang mengartikulasikan komitmen perusahaan untuk menghormati HAM. b) Penilaian dampak yang aktual dan potensial dari kegiatan usaha perusahaan terhadap pemenuhan HAM. c)
Mengintegrasikan komitmen dan penilaian diatas kedalam sistem pengendalian dan pengawasan internal perusahaan.
d) Menelusuri potensi-potensi permasalahan baru dan melakukan pelaporan kinerja.
Menurut IEH-Ethical Trading Initiative Norway (2013), secara umum setidaknya ada fungsi utama dari pelaksanaan uji tuntas HAM, yaitu: 10
a) Mengidentifikasi dampak HAM aktual atau potensial dari kegiatan usaha perusahaan. b) Mencegah dan mengurangi dampak-dampak tersebut. c)
Memperhatikan secara serius dampak-dampak tersebut serta mengambil langkah dalam meresponnya.
Selanjutnya, ketiga poin diatas harus menjadi bagian dari proses manajerial perusahaan, dan terintegrasi ke dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa uji tuntas HAM adalah sebuah kegiatan investigasi berbasis resiko. Dilakukan bukan sebagai sebuah alat untuk menghilangkan tanggung jawab hukum perusahaan terhadap HAM, namun untuk mengurangi resiko atas dampak kegiatan perusahaan terhadap HAM. Uji tuntas HAM juga merupakan sebuah proses berkelanjutan, dimana perusahaan secara terus menerus diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam upaya mengurangi dampak negatif kegiatan usahanya terhadap pemenuhan HAM. Oleh karena itu, pelaksanaan uji tuntas HAM yang merupakan salah satu unsur dari tiga pilar UNGP mendapat dukungan dan didorong pelaksanaannya.
Namun, mendorong pelaksanaan sebuah aturan yang asalnya berupa aturan tidak mengikat sepertinya sulit dilakukan. Ada kekhawatiran negara-negara penerima investasi (host countries) bahwa pengetatan aturan hukum akan mengurangi daya saing negara tersebut dalam mengundang investasi lebih besar lagi. Investor cenderung akan memilih untuk menjalankan kegiatan usahanya di negara dengan aturan hukum yang lebih longgar. Namun mewajibkan aturan tidak mengikat ke dalam hukum internasional bukannya tidak mungkin. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, beberapa negara telah mengeluarkan legislasi yang merujuk pada UNGP.
Di Indonesia, beberapa korporasi telah melakukan upaya identifikasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan usaha mereka, namun dalam bentuk dan cakupan yang berbedabeda, dan dilaksanakan atas dasar kesukarelaan.
Rio Tinto (2013; 82) misalnya, mempublikasikan petunjuk pengintegrasian isu HAM kedalam kegiatan usaha korporasi. Salah satu bagiannya menyatakan bahwa Rio Tinto telah berhasil
11
menyelesaikan sengketa atas klaim kompensasi dari masyarakat di sekitar usaha PT Kelian Equatorial Mining, anak perusahaan Rio Tinto di Kalimantan.
Demikian juga, sebelum memulai kegiatan usahanya di Tangguh, British Petroleum Plc. (BP) pernah melakukan human rights assestment (British Petroleum, 2002) yang berisi penilaian terhadap potensi konflik dan pelanggaran HAM yang mungkin terjadi. Menindaklanjuti temuan tersebut, BP membentuk lembaga yang bernama Tangguh Independent Advisory Panel (TIAP) yang secara rutin setiap tahunnya mempublikasikan laporan kejadian penting menyangkut keamanan dan HAM yang berkaitan dengan kegiatan usaha BP. Merespon laporan tim independen tersebut, BP juga mengeluarkan dokumen mengenai tindakan yang akan dan telah diambil oleh BP. Demikian juga, BP mengeluarkan laporan periodiknya (2013; 41-44), yang mengidentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan masyarakat sekitar pada proyek eksplorasi gas alam cairnya. BP berkomitmen untuk terus memasukan human rights impact assessment kedalam rencana pengembangan proyek di Tangguh sebagai bagian dari rencana aksi HAM perusahaan kedepan.
Terakhir, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. juga telah melakukan kegiatan human rights assessment terhadap kegiatan usaha anak perusahaannya, PT Freeport Indonesia (PTFI), di Papua. Dalam laporannya (Freeport-McMoRan, 2014; 6-9) menyatakan bahwa pihaknya telah memiliki Human Rights Compliance Officer yang menerima, mencatat, dan menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM oleh personil dan kontraktor PTFI. Laporan ini juga menyatakan bahwa PTFI telah bekerjasama dengan Komnas HAM dalam penyelidikan dugaan pelanggaran HAM, dan telah mengadakan pelatihan bagi penyedia jasa kemanan dan bagi Kepolisian.
Bila membandingkan kegiatan penilaian (assessment) HAM oleh Rio Tinto, BP, dan FreeportMcMoRan diatas, nampak bahwa materi dan bentuk penilaian HAM ketiganya berbedabeda. Kesamaannya adalah ketiganya dilakukan secara sukarela, dan dengan menggunakan standar internal perusahaan. Kelebihan dari laporan penilaian HAM ini adalah menunjukkan komitmen ketiga perusahaan tersebut untuk menghormati HAM. Kelemahannya adalah kurangnya verifikasi terhadap temuan dan penyelesaian yang telah dilakukan. Apakah temuan telah ditindaklanjuti? Apakah penyelesaian yang dilakukan telah memenuhi 12
harapan korban atas pemulihan yang cepat dan proporsional terhadap dampak yang ditimbulkan? Nampaknya, hanya BP yang menyediakan mekanisme klarifikasi, yaitu dengan dibentuknya TIAP, sebagai lembaga verifikasi independen.
Belajar dari pengalaman ketiga perusahaan diatas, nampak bahwa korporasi–khususnya korporasi yang bidang usahanya berlokasi di daerah rentan konflik, dan berpotensi merusak lingkungan–memiliki kemauan dalam menyusun uji tuntas HAM. Hanya saja, karena belum ada kebijakan pemerintah Indonesia dalam bentuk peraturan hukum, maka laporan kepatuhan HAM oleh korporasi dilakukan secara sukarela dan dalam bentuk yang beragam. Sangat disayangkan lagi, laporan kepatuhan dan penilaian HAM yang dilakukan oleh Rio Tinto, BP, dan Freeport-McMoRan tidak banyak berguna baik bagi perusahaan maupun bagi pemangku kepentingan lainnya. Pertama, korporasi tidak mendapat insentif apapun dari pemerintah atas laporan kepatuhan dan penilaian HAM yang telah disusunnya. Kedua, masyarakat terdampak dan LSM tidak dapat menggunakan laporan kepatuhan dan penilaian HAM dari korporasi sebagai alat bukti di pengadilan, hal ini karena tidak ada hukum yang mengatur kemungkinan ini.
Oleh karena itu diperlukan kerangka hukum bagi pengadopsian kewajiban penyusunan uji tuntas HAM pada level nasional. Hal ini diperlukan agar uji tuntas HAM dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi korporasi itu sendiri, dan bagi pemangku kepentingan lainnya. Untuk itu, Taylor (2013) mengusulkan beberapa pendekatan atau kerangka hukum untuk mendorong pelaksanaan uji tuntas HAM oleh korporasi pada level nasional. Setidaknya ada empat kerangka utama yang dipraktekkan dalam hukum nasional negara lain, dan dapat digunakan pula kepada kewajiban uji tuntas HAM.
Pertama, mendorong pelaksanaan uji tuntas HAM sebagai bagian dari mekanisme kepatuhan hukum (regulatory compliance). Negara mengimplementasikan aturan yang mendorong korporasi untuk melakukan uji tuntas HAM, baik secara langsung sebagai sebuah kewajiban hukum, ataupun secara tidak langsung dengan memberikan korporasi kesempatan untuk menggunakan uji tuntasnya sebagai pembelaan ketika menjawab dakwaan pidana, gugatan perdata, atau sanksi administrasi.
13
Contoh dari penggunaan mekanisme ini adalah Pengadilan menggunakan uji tuntas yang disusun korporasi dalam menilai kepatuhan korporasi terhadap hukum lingkungan (USCEPA), hukum perlindungan konsumen (Jerman), dan hukum anti-korupsi (US-FCPA/UK-BA).
Kedua, pendekatan lain adalah dengan memberikan insentif dan fasilitas bagi korporasi yang menyusun uji tuntas HAM.
Contohnya, untuk mendapatkan fasilitas kredit ekspor,
sertifikasi, fasilitas pembebasan pajak, atau dukungan pemerintah lainnya–negara dapat mensyaratkan adanya uji tuntas HAM oleh korporasi.
Ketiga, negara mendorong dilakukannya uji tuntas HAM melalui kewajiban transparansi dan disclosure. Negara mensyaratkan transparansi dan disclosure agar masyarakat umum dan pasar dapat mengkoreksi dan menemukan akibat negatif yang telah, sedang, atau mungkin ditimbulkan oleh kegiatan usaha korporasi.
Contohnya Aarhus Convention-EU mewajibkan membuka informasi lingkungan korporasi kepada stakeholder, Undang-undang perlindungan konsumen (EU, Prancis, Jerman, Argentina), dan kewajiban pelaporan CSR (Denmark, Norwegia, Spanyol).
Keempat, kombinasi dari dua atau lebih dari pendekatan-pendekatan di atas. Misalnya, hukum administrasi yang mengatur perlindungan lingkungan hidup, hak buruh, konsumen, atau anti korupsi dapat mendorong dilakukannya uji tuntas HAM sebagai dasar dikeluarkannya ijin atau lisensi. Selain itu, dapat juga hukum administrasi tadi digunakan untuk mendorong disclosure laporan uji tuntas HAM secara reguler. Agar korporasi bersedia melakukan uji tuntas HAM, pemerintah dapat menggunakan kombinasi dari pemidanaan, gugatan perdata, dan denda administratif. Selanjutnya, uji tuntas HAM yang disusun dapat digunakan oleh korporasi sebagai materi pembelaannya.
5. Penutup Berdasarkan pembahasan diatas. Terdapat potensi bagi diadopsinya UNGP kedalam hukum nasional Indonesia. Hanya saja, diperlukan kerangka hukum yang tepat dengan
14
memperhatikan sistem hukum, instrumen dan institusi hukum yang saat ini tersedia di Indonesia.
Daftar Bacaan
Christopher Albin-Lackey, "Without Rules - A Failed Approach to Corporate Accountability", Human Rights Watch (2013). CIDSE, Briefing for civil society: "The UN Protect, Respect, Remedy Framework & Guiding Principles: Driving Change?", CIDSE (2013). Daan Schoemaker, "Raising the Bar on Human Rights, What the Ruggie Principles Mean for Responsible Investors", Sustainanalitics (2011). European Commission, "A renewed EU strategy 2011-14 for Corporate Social Responsibility", European Commission (2011). International Corporate Accountability Roundtable (ICAR), "Letter to US Govt. calling for its effective implementation of the UN Guiding Principles", ICAR (2013). John Ruggie (2010a), United Nations Special Representative of the Secretary General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises (SRSG) “Business and Human Rights: Further Steps Toward the Operationalization of the “Protect, Respect and Remedy” framework” UN Doc A/HRC/14/27, . John Ruggie (2010b), “Keynote Address by SRSG John Ruggie,” speech at conference Engaging Business: Addressing Respect for Human Rights, Atlanta, 25 February 2010 <www.hks.harvard.edu/m-rcbg/CSRI/newsandstories/Ruggie_Atlanta.pdf>. John Ruggie (2013), former UN Special Representative on business & human rights: "Much more to be done to implement Guiding Principles", 2013 Sackler Lecture at Univ. of Connecticut. John Ruggie (2013), former UN Special Representative on business & human rights: "Progress in Corporate Accountability”. Mark B. Taylor, Fafo Institute for Applied International Studies: "Business, Human Rights Due Diligence and the Role of the State", Laws of Rule blog (2013). Joanne Bauer, "Where Do National Action Plans on Business & Human Rights Belong in the Corporate Sustainability Movement? ", CSRwire (2014). Sophie Chao, “The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and complaint resolution: Guidance on submitting a complaint for civil society organisations and local 15
communities”, Forest People Programme (2013) < http://www.rspo.org/file/The%20RSPO%20&%20Complaint%20Resolution_Guid ance%20for%20Civil%20Society%20Organisations%20&%20Local%20Communiti es.pdf>. U.S.
Model Bilateral Investment Treaty, (2012) < http://www.ustr.gov/sites/default/files/BIT%20text%20for%20ACIEP%20Meetin g.pdf>.
Antonios Tzanakopoulos (2014), “National Treatment and MFN in the (Invisible) EU Model BIT”, 15 Journal of World Investment and Trade 2014. Rio Tinto (2013), “Why human rights matter: a resource guide for integrating human rights into Communities and Social Performance work at Rio Tinto”. British Petroleum (2013), “Sustainability Review 2013: Building a stronger, safer BP” < http://www.bp.com/content/dam/bp/pdf/sustainability/groupreports/BP_Sustainability_Review_2013.pdf>. British Petroleum (2002), “Human Rights Assessment of the Proposed Tangguh LNG Project: Summary of Recommendations and Conclusion Presented to BP Indonesia” 2002 < http://www.bp.com/liveassets/bp_internet/indonesia/STAGING/home_assets/d ownloads/h/Tangguh_HRIA.pdf>. Freeport-McMoRan (2014), “Voluntary Principles on Security and Human Rights 2013: Annual Report to the Plenary”, Montreux, Switzerland < http://www.fcx.com/sd/pdfs/FCX_Volun_Princi_Plen_Report_2013_final.pdf>. The European Parliament (2012), Regulation (EU) No. 1219/2012 of The European Parliament and of the Council of 12 December 2012 establishing transitional arrangements for bilateral investment agreements between Member States and third countries. Financial Times (2014), “Indonesia to terminate more than 60 bilateral investment treaties”.
16