UNIVERSITAS INDONESIA
PENGATURAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM KERANGKA PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
TESIS
NAMA NPM
: APREZA DARUL PUTRA : 1006789015
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGATURAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM KERANGKA PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
NAMA NPM
: APREZA DARUL PUTRA : 1006789015
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: APREZA DARUL PUTRA
NPM
: 1006789015
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 21 Januari 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
APREZA DARUL PUTRA 1006789015 Sistem Peradilan Pidana Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang/ : Prof. H. Mardjono Reksodiputro, SH., MA. ( Penguji
)
Pembimbing/ : DR. Surastini Fitriasih, SH., MH. Penguji
(
)
: DR. Luhut M. P. Pangaribuan, SH., LL.M. (
)
Penguji
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 21 Januari 2013
iii
Untuk Anda . 給你的 For You Pour Vous Для тебя Para Usted
iv
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim
Assalammu’alaikum wr.wb Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang dengan penuh rahmat dan karunia-Nya telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir penulis ini berjudul “Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia.” Berbagai macam kendala dan kemudahan Penulis dapatkan saat melaksanakan penelitian ini. Namun demikian alhamdulillah semua itu dapat dilalui dan dinikmati berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Jaksa Agung Republik Indonesia Bapak Basrief Arief, SH., MH., Direktur Penyidikan Pidana Khusus Pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Republik Indonesia Bapak M. Adi Toegarisman, SH., MH., MBL., Kepala Sub Bidang Akademis pada Bidang Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Bapak Nana Riana, SH., Bapak Syarief S. Nahdi, SH., MH., dan Bapak Muhtadi, SH atas segala kesempatan, kemudahan dan informasi yang diberikan yang sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. DR. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI, Komisaris Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar, Inspektur Satu Polisi Grawas Sugiharto,
yang
telah
berkenan
untuk
meluangkan
waktu
serta
menyumbangkan pemikirannya sebagai narasumber pada penelitian ini. 3. DR. Surastini Fitriasih, SH., MH., selaku pembimbing penulis pada penelitian ini, yang telah dengan tulus dan penuh kesabaran membimbing serta memberikan saran-saran yang amat bermanfaat kepada penulis demi kesempurnaan dan kelancaran penulisan tugas akhir ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas ilmu bermanfaat yang telah diberikan kepada kami.
v
5. Pihak Sekretariat Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus Salemba, atas kesabarannya membantu penulis memenuhi keperluan administrasi penelitian yang penulis lakukan. 6. Bang Brian Amy Prasetyo, SH, MLI. dan Bang Abdul Salam, SH., MH., atas informasi, diskusi dan perdebatan yang sangat bermanfaat untuk penulis. 7. Teman-teman kelas Kejaksaan pada program Sistem Peradilan Pidana kelas 2010, khususnya Guruh dan Helmi yang telah “bersedia” lulus bersama-sama penulis. 8. Orangtua penulis mama Elida dan mama Maliati, atas kasih sayang dan doa tulusnya yang senantiasa mengiringi setiap langkah hidup penulis. 9. Last but not least, istri, sahabat dan teman dalam hidup penulis, cintaku Arin Karniasari dan anakku Puti Azka Pramudita Maheswari, Terima kasih atas segala yang telah kita lalui bersama. Sekali lagi Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah Penulis sebutkan diatas dan yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara semuanya, Aamiin ya Robbal ’alamin. Lebih lanjut penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun dan disertai solusi konkrit dari para pembaca demi kesempurnaan tulisan ini, agar dapat memberikan manfaat bagi Republik Indonesia. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih dan selamat membaca. Wassalammu’alaikum wr.wb.
Depok, Januari 2013
Apreza Darul Putra
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: APREZA DARUL PUTRA
NPM
: 1006789015
Program Studi : Sistem Peradilan Pidana Fakultas
: Hukum
Jenis karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013 Yang menyatakan
APREZA DARUL PUTRA
vii
ABSTRAK
Nama : Apreza Darul Putra Program Studi : Sistem Peradilan Pidana Judul : Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia Tesis ini berisikan pembahasan mengenai pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam kerangka pembaruan hukum acara pidana Indonesia. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan bagimanakah pengaturan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia pada saat ini untuk kemudian dikaitkan dengan bagaimana praktek sesungguhnya para penegak hukum di Indonesia serta pengaturan apa sajakah yang diperlukan untuk mengaturnya, terkait dengan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang pengaturan proses dan tata cara penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia dan dikaitkan dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang terdapat di Amerika Serikat dan Inggris. Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut seperti penyidik dan ahli digital forensik, dan juga terhadap akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Hasil penelitian ini mendapatkan fakta bahwa KUHAP yang menjadi induk hukum acara pidana di Indonesia tidak memiliki pengaturan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik karena bukti elektronik bukan merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut KUHAP. Namun demikian bukti elektronik mulai diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah di Indonesia, yang pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hanya beberapa diantaranya yang telah mengatur tentang hukum acara pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Dikarenakan pengaturan dan pengetahuan yang minim para penegak hukum Indonesia perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, maka tidak semua penegak hukum telah memiliki pedoman, panduan atau Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Seharusnya memang ketentuan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut diatur dalam satu peraturan yang lengkap dan memperhatikan segala keunikan karakteristik dari bukti elektronik dan hal-hal lainnya, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap privacy, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data. Kata kunci: Penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, digital forensik, pembaruan hukum acara pidana.
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Apreza Darul Putra Study Program : Criminal Justice System Title : Regulation on Search and Seizure of Electronic Evidence within the Framework of Indonesia’s Criminal Procedure Law Reform. This thesis contains a discussion concerning regulation on search and seizure of electronic evidence within the framework of Indonesia’s criminal procedure law reform. The questions in this thesis relates to how Indonesia’s criminal procedure law at the moment regulates the search and seizure of electronic evidence and then to be linked to how the actual practice of law enforcement in Indonesia, and what are the required provision to rule it, with respect to Indonesia’s criminal procedure law reform. This research is a sociological juridical research, because it completely describes the regulation concerning processes and procedures for search and seizure of electronic evidence in Indonesia and then linked to the regulation of search and seizure of electronic evidence located in the United States and England. Interviews conducted on informants who carry out the action of search and seizure of electronic evidence such as investigators and digital forensics expert, and also to academics which his or her scientific fields is related to this research problem. The results of this research is the fact that the KUHAP or Criminal Procedure Code as the source of criminal procedure law in Indonesia does not have a provision related to the search and seizure of electronic evidence because electronic evidence is not a valid evidence under the Criminal Procedure Code. However, the electronic evidence is recognized as one of the legitimate evidence in Indonesia, which is spread in a variety of legislation and only a few of them which has a provision on the procedural law that regulates search and seizure of electronic evidence. Due to the minimal regulation and knowledge of Indonesian law enforcement officials regarding the search and seizure of electronic evidence, then not all law enforcement agencies have guidelines or Standard Operating Procedures (SOP) in implementing the act of search and seizure. The provision on search and seizure of electronic evidence should be set out in one comprehensive rules and pay attention to all the unique characteristics of electronic evidence and other matters, especially those related to the protection of privacy, confidentiality, smooth running of public services and the integrity of the data. Key words: Search and seizure of electronic evidence, digital forensics, criminal procedure law reform.
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR SKEMA DAFTAR GAMBAR
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan 1.2. Pernyataan Permasalahan 1.3. Pertanyaan Penelitian 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Manfaat Penelitian 1.6. Metode Penelitian 1.7. Kerangka Teori 1.8. Kerangka Konsepsional 1.8.1. Penggeledahan 1.8.2. Penyitaan 1.8.3. Bukti Elektronik 1.8.4. Pembaruan Hukum Acara Pidana 1.9. Sistematika Laporan Penelitian
i ii iii iv v vii viii ix x xiv xv xvi
1 23 24 24 25 25 31 33 35 35 37 37
BAB 2 PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BERDASARKAN KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Penggeledahan 41 2.1.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan 44 2.1.2. Tata Cara Melakukan Penggeledahan 49 2.1.2.1. Penggeledahan Rumah Dalam Keadaan Biasa 49 2.1.2.2 Penggeledahan Rumah Dalam Keadaan Yang Sangat Perlu Dan Mendesak 51
x
Universitas Indonesia
2.1.2.3.
Penggeledahan Pakaian Dan Penggeledahan Badan
2.2. Penyitaan 2.2.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penyitaan 2.2.2. Tata Cara Melakukan Penyitaan 2.2.2.1. Penyitaan Dalam Keadaan Biasa 2.2.2.2. Penyitaan Dalam Keadaan Yang Sangat Perlu Dan Mendesak 2.2.2.3. Penyitaan Dalam Keadaan Tertangkap Tangan 2.2.2.4. Penyitaan Tidak Langsung 2.3. Bukti Dan Alat Bukti 2.3.1. Bukti 2.3.1.1. Pengertian Bukti 2.3.1.2. Benda Yang Dapat Dijadikan Barang Bukti 2.3.2. Alat Bukti Dan Hubungannya Dengan Barang Bukti
52 55 58 61 62 67 70 71 74 74 74 76 78
BAB 3 PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK 3.1. Bukti Elektronik Dalam Tindak Pidana 84 3.2. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Di Indonesia 95 3.2.1. Pengertian Bukti Elektronik 95 3.2.2. Alat Bukti Elektronik 103 3.2.3. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Di Indonesia 108 3.2.3.1. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik 110 3.2.3.2. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi 115 3.2.3.3. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang 119 3.2.4. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2011 120 3.2.4.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan 125 3.2.4.2. Tata Cara Melakukan Penggeledahan 129 3.2.3.2.1. Penggeledahan Dalam Keadaan Biasa 129 3.2.4.2.2. Penggeledahan Dalam
xi
Universitas Indonesia
Keadaan Mendesak 3.2.4.3. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penyitaan 3.2.4.4. Tata Cara Melakukan Penyitaan 3.3. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Di Amerika Serikat 3.3.1. Sistem Pengadilan Federal Amerika Serikat (U.S. Federal Court System) 3.3.2. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan 3.3.3. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan 3.3.3.1. Penggeledahan Dan Penyitaan Secara Umum 3.3.3.2. Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik 3.3.4. Bukti Elektronik Sebagai Bukti Di Persidangan 3.4. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Di Inggris 3.4.1. Sistem Pengadilan Pidana Di Inggris 3.4.2. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan 3.4.3. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan 3.4.3.1. Penggeledahan Dan Penyitaan Secara Umum 3.4.3.2. Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik
131 132 134 138 140 144 150 150 157 178 182 183 188 193 193 198
BAB 4 PRAKTEK PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DI INDONESIA DAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA 4.1. Praktek Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia 204 4.2. Praktek Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Oleh Cyber Crime Investigation Centre Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia 210 4.3. Praktek Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Oleh Ahli Digital Forensik 216 4.3.1. Ahli Digital Forensik Yang Berasal Dari Institusi Penyidik 216 4.3.2. Ahli Digital Forensik Swasta 222 4.4. Pembaruan Hukum Acara Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik 226 4.4.1. Pengaturan Perlindungan Terhadap Privacy, Kerahasiaan, Kelancaran Layanan Publik, Integritas Data, Atau Keutuhan Data 228
xii
Universitas Indonesia
4.4.1.1.
Perlindungan Terhadap Kelancaran Layanan Publik 4.4.1.2. Perlindungan Terhadap Privacy dan Kerahasiaan 4.4.1.3. Perlindungan Terhadap Integritas Data Atau Keutuhan Data 4.4.2. Pengaturan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
228 234 236
242
BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
249 252
DAFTAR PUSTAKA
255
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Perbandingan Wewenang PPNS Dalam UU ITE Dan KUHAP
111
Tabel 3.2. Perbandingan Definisi Pengeledahan Antara KUHAP 1981 Dengan RKUHAP 2011
124
Tabel 3.3. Perbandingan Definisi Penyitaan Antara KUHAP 1981 Dengan RKUHAP 2011
125
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1. Skema Peretasan Yang Dilakukan Oleh Fred Felony
88
Skema 3.2. Skema Dual Court System di Amerika Serikat
139
Skema 3.2. Skema Struktur Pengadilan Pidana Di Inggris
188
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Penyisipan Pesan Rahasia Di Akhir Dari file jpg Dengan Menggunakan Free Hex Editor Neo
101
Gambar 3.2. Perbandingan Gambar Yang Telah Disisipkan Dan Yang Tidak Disisipkan Pesan Rahasia
101
xvi
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Perkembangan teknologi telah merevolusi cara manusia dalam menyikapi informasi dan cara manusia menjalani kehidupannya. Pada saat ini kita melihat bahwa semakin banyak informasi-informasi yang penting dibuat, disimpan dan dikirimkan secara elektronik.1 Saat ini hampir pada setiap alat-alat yang mendukung atau membantu kehidupan manusia merupakan alat-alat yang berhubungan, terkait ataupun dikendalikan dengan menggunakan teknologi komputer, baik itu teknologi komputer dalam bentuk yang paling sederhana, hingga yang bentuknya paling rumit. Dikarenakan computer-related technology semakin sering dipergunakan dalam alat-alat kehidupan pada saat ini, maka potensi penyalahgunaannya pun menjadi meningkat. Dapat dikatakan bahwa untuk setiap penggunaan computer-related technology untuk tujuan yang baik, maka terdapat pula sebuah penggunaan untuk tujuan yang tidak baik atau dengan kata lain menjadi disalahgunakan.2 Pada saat ini manusia mempergunakan komputer dan peralatan digital lainnya hampir untuk semua hal yang dapat kita bayangkan. Apabila dihadapkan pada pilihan apakah akan menyimpan gambar, film, dokumen, surat menyurat, catatan pribadi dan data-data pribadi lainnya dalam bentuk fisik-seperti album foto, tumpukan surat-menyurat, dan lain sebagainya-ataukah pilihan untuk menyimpannya dalam bentuk digital, maka pada saat ini manusia lebih memilih bentuk yang kedua.3 Suatu perubahan paradigma dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi merupakan kecenderungan yang terjadi saat ini. Fenomena ini pada
1
Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, (Toronto: Thomson Professional Publishing, 1999), hal. 1. 2
Robert Moore, Search and Seizure of Digital Evidence, (New York: LFB Scholarly Publishing LLC, 2005), hal. xi. 3
RayMing Chang, “Why The Plain View Doctrine Should Not Apply To Digital Evidence”, Journal Of Trial & Appellate Advocacy (Vol. XII, 2007): 35.
2
gilirannya ternyata membawa perubahan penting dalam bidang hukum. Apabila dahulu belum dikenal istilah hukum telematika (cyberlaw) maka dengan terjadinya perkembangan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika, istilah cyberlaw menjadi dikenal dan menjadi salah suatu bidang hukum yang berkembang pesat.4 Dalam hal ini modernisasi memang telah menjadi isu yang mendunia dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi. Hal ini tentunya menuntut adanya perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru pengaturan hukum dan budaya hukum yang sama sekali baru.5 Fenomena yang muncul belakangan ini, yaitu sebuah lokasi baru terjadinya kejahatan, tampaknya telah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kejahatankejahatan yang terjadi di ranah elektronik ataupun digital, khususnya dunia maya memang telah semakin nyata dan banyak terjadi.6 Para pelaku kejahatan belakangan ini telah menggunakan teknologi untuk melaksanakan kejahatannya dan untuk menghindar dari penangkapan oleh aparat penegak hukum.7 Dengan kata lain dalam era informasi ini, pemanfaatan komputer telah memberi jalan baru bagi terjadinya kejahatan-kejahatan secara online maupun offline. Akibatnya tentu saja menjadi semakin banyaknya bukti-bukti yang dapat memberatkan tersangka yang tersimpan secara elektronik. Bukti merupakan sesuatu hal yang mendasar dalam setiap perkara pidana termasuk tindak pidana yang dikategorikan sebagai cybercrime.8 Hal mendasar disini berarti bahwa adanya bukti yang dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana merupakan hal yang sangat penting. Cara yang dipergunakan dalam mencari, memeriksa, mengumpulkan dan menyimpan bukti tersebut dapat
4
Abdul Salam, “Alat Bukti Elektronik di Indonesia”,
, diakses tanggal 27 Januari 2012. 5
Lihat Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: The Habibie Centre, 2002), hal. 120. 6
Henry C. Lee, Timothy Palmbach, Marilyn T. Miller, Henry Lee’s Crime Scene Handbook, (London: Academic Press, 2001). 7
Eoghan Casey, Digital Evidence And Computer Crime: Forensic Science, Computers And The Internet, 2nd ed., (London: Academic Press, 2004), hal. 9. 8
Mohamed Chawki, “The Digital Evidence In The Information Era”, Makalah disampaikan pada Cybercrime Conference 2003, Washington, 2003, hal. 3.
Universitas Indonesia
3
saja berbeda antara satu penegak hukum dengan penegak hukum lainnya, namun demikian prosedur untuk melakukan hal tersebut tetap diatur oleh suatu Hukum Acara Pidana yang berlaku dan tentunya harus ditaati. Terjadinya kesalahan dalam mengumpulkan, mengolah dan mempresentasikan bukti dalam persidangan dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi usaha pembuktian terjadinya suatu tindak pidana.9 Lebih lanjut, kejahatan-kejahatan konvensional yang terjadi pada saat ini pun telah melibatkan bukti-bukti elektronik dalam pembuktiannya. Kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Prita Mulyasari10 merupakan satu dari sekian banyak perkara pidana yang melibatkan bukti elektronik di dalamnya. Fenomena semacam ini kembali terjadi disebabkan karena telah begitu eratnya keterkaitan manusia pada saat ini dengan alat-alat elektronik, sehingga hampir setiap jejak langkah manusia pada saat ini terkait dengan alat elektronik dalam berbagai macam bentuknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengaturan perihal keberlakuan bukti elektronik di pengadilan sebagai alat bukti pada saat ini pun menjadi sebuah keharusan. Salah satu contoh dari pentingnya pengaturan atas bukti elektronik ini adalah terkait dengan penggunaan internet dalam kehidupan manusia. Aktivitasaktivitas yang dilakukan dengan media internet, terjadi dalam dunia maya atau cyberspace11, ternyata memang meninggalkan jejak-jejak elektronik. Contoh yang paling jelas adalah misalnya pada saat kita mengakses sebuah website12, maka akan tertinggal jejak-jejak elektronik di komputer yang kita pergunakan yang
9
Ibid.
10
Diantaranya lihat “Kronologi Kasus Prita Mulysari”,
, diakses tanggal 01 Februari 2012. 11
Lingkungan-lingkungan alam semesta seperti internet, dimana orang-orang dapat berinteraksi dengan menggunakan komputer yang saling terhubung. Hal yang menjadi karakteristik dari cyberspace adalah komunikasi tidak bergantung pada jarak fisik. Lihat Alex Blanton, Microsoft Computer Dictionary, Fifth Edition, (Washinton: Microsoft Press, 2002), hal. 139. 12
Sekumpulan dokumen HTML yang saling berhubungan dan file-file pendukungnya, script, dan database yang ditampilkan oleh server HTTP di World Wide Web. Ibid., hal. 564.
Universitas Indonesia
4
dikenal dengan log file.13 Contoh lainnya yang lebih mudah lagi adalah apa yang kita akses melalui browser14 pasti meninggalkan jejak paling tidak di komputer si pengguna yang dikenal dengan history.15 Contoh selanjutnya adalah ketika seseorang menyebarkan sebuah video porno ke internet, maka orang yang menyebarkan video tersebut akan dapat diketahui, karena aktifitas elektronik tersebut juga memiliki jejak atau bukti.16 Dengan demikian tinggal bagaimana para aparat hukum menggali serta menangani jejak-jejak elektronik itu sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana yang terjadi. Seperti diketahui, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum memberikan pengaturan terkait dengan bukti-bukti elektronik ini. Dalam KUHAP belum diatur secara jelas apakah bukti-bukti elektronik tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. KUHAP hanya mengatur bahwa
(1) Alat Bukti yang sah adalah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.17
13
File komputer yang merekam perintah yang diterima oleh aplikasi online. Ibid., hal.
317. 14
Sebuah perangkat lunak yang membuat pengguna dapat melihat dokumen HTML dan mengakses file dan perangkat lunak yang terkait dengan dokumen-dokumen tersebut. Ibid., hal. 562. 15
Salam, op. cit. Dalam hal ini yang dimaksud dengan history adalah sebuah daftar yang berisikan tindakan-tindakan pengguna dalam menggunakan sebuah program, seperti perintah yang diberikan. Lihat Blanton, op. cit., hal. 254. 16
Diantaranya lihat “Pengunggah Video Porno Terungkap!”,
, diakses tanggal 01 Februari 2012. 17
Indonesia (A), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, L.N. No. 76 Tahun 1981, T.L.N. No. 3209, Pasal 184.
Universitas Indonesia
5
Lebih lanjut, seperti diketahui pula di Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah terdapat beberapa peraturan lain yang mengatur perihal alat bukti elektronik ini, diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang yang mengatur perihal pemberantasan tindak pidana korupsi ini diatur bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.18
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Dalam Undang-Undang ini, pada Pasal 27 diatur bahwa:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
18
Indonesia (B), Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20, L.N. No. 134 Tahun 2001, T.L.N. No. 4150, Pasal 26 A.
Universitas Indonesia
6
1. tulisan, suara, atau gambar; 2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.19
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-Undang ini, alat bukti elektronik telah diakui sebagai salah satu alat bukti yang dapat dipergunakan oleh Hakim pada Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara. Hal ini terlihat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan
Alat bukti ialah: a. Surat atau tulisan; b. Keterangan saksi; c. Keterangan ahli; d. Keterangan para pihak; e. Petunjuk; dan f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.20
Dengan adanya ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf f tersebut, maka bukti elektronik telah dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.
19
Indonesia (C), Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, UU No. 15, L.N. No. 45 Tahun 2003, T.L.N. No. 4284, Pasal 27. 20
Indonesia (D), Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24, L.N. No. 98 Tahun 2003, T.L.N. No. 4316, Pasal 36 ayat (1).
Universitas Indonesia
7
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Dalam Undang-Undang yang mengatur perihal kepabeanan ini, terdapat pengaturan perihal data elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang tersebut. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5A tersebut menyatakan
(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. (2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri. (3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan Menteri.21
Berdasarkan ketentuan Pasal 5A ayat (1) jo. ayat (3) tersebut, maka Pemberitahuan Kepabeanan yang disampaikan dalam bentuk data elektronik diakui statusnya sebagai alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Data Elektronik (softcopy) adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.22
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Undang-Undang ini, perihal diakuinya alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 29, yang menyatakan bahwa 21
Indonesia (E), Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, UU No. 17, L.N. No. 93 Tahun 2006, T.L.N. No. 4661, Pasal 5A. 22
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 5A ayat (1).
Universitas Indonesia
8
Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa: a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: 1. tulisan, suara, atau gambar; 2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau 3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.23
Dalam hal ini, penjelasan dari Undang-Undang tersebut pun kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik misalnya adalah data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya.24
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini dapat dikatakan merupakan Undang-Undang yang menjadi payung bagi perkembangan hukum telematika di Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini diatur bahwa
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode 23
Indonesia (F), Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21, L.N. No. 58 Tahun 2007, T.L.N. No. 4720, Pasal 29. 24
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 29.
Universitas Indonesia
9
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.25
Definisi tersebut kemudian dihubungkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 5 yang menyatakan
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.26
Sehingga kemudian diaturlah pada Pasal 5 bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah27 dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.28 Perihal diakuinya alat bukti elektronik ini pun kemudian dipertegas kembali dalam Undang-Undang ini berdasarkan ketentuan Pasal 44 yang menyatakan bahwa
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).29
25
Indonesia (G), Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU No. 11, L.N. No. 58 Tahun 2008, T.L.N. No. 4843, Pasal 1 angka 1. 26
Ibid., Pasal 1 angka 5.
27
Ibid., Pasal 5 ayat (1).
28
Ibid., Pasal 5 ayat (2).
29
Ibid., Pasal 44.
Universitas Indonesia
10
7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pengaturan bukti elektronik dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya. 30
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini, dimasukannya bukti elektronik sebagai salah satu bukti yang dapat digunakan untuk proses pembuktian memang tidak dinyatakan secara tegas dalam batang tubuh peraturan tersebut. Dalam Pasal 96 Undang-Undang ini hanya dinyatakan bahwa:
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.31
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal Undang-Undang tersebut, pada penjelasan Pasal 96 huruf f dinyatakan bahwa
30
Indonesia (H), Undang-Undang Tentang Pornografi, UU No. 44, L.N. No. 181 Tahun 2008, T.L.N. No. 4928, Pasal 24. 31
Indonesia (I), Undang-Undang Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32, L.N. No. 140 Tahun 2009, T.L.N. No. 5059, Pasal 96.
Universitas Indonesia
11
Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.32
9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bukti elektronik juga sudah diakui dalam Undang-Undang ini. Pada Pasal 86 dinyatakan bahwa
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1. tulisan, suara, dan/atau gambar; 2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau 3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.33
10. Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
Tentang
Pencegahan
Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kejahatan pencucian uang pada saat ini telah menjadi suatu kejahatan yang sangat sering terjadi secara lintas batas negara. Oleh karena itu maka dalam
32
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 96 huruf f.
33
Indonesia (J), Undang-Undang Tentang Narkotika, UU No. 35, L.N. No. 143 Tahun 2009, T.L.N. No. 5062, Pasal 86.
Universitas Indonesia
12
kemungkinan dipergunakannya alat elektronik untuk melakukan tindak pidana pencucian uang pun menjadi lebih besar dibanding masa-masa terdahulu. Dalam hal ini, pengaturan perihal bukti elektronik dalam Undang-Undang ini terdapat dalam Pasal 73, dimana dinyatakan bahwa
Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.34
11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana. Mengingat hampir seluruh kegiatan Transfer Dana melibatkan penggunaan media elektronik, dalam Undang-Undang ini diatur secara tegas cakupan alat bukti yang meliputi pula informasi, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang merupakan alat bukti yang sah. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan alat bukti dalam transaksi elektronik sehingga dapat meningkatkan kepastian hukum bagi para pihak dalam melakukan kegiatan Transfer Dana.35 Ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dilihat pada Pasal 76 yang menyatakan
(1) Informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.36
34
Indonesia (K), Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 8, L.N. No. 122 Tahun 2010, T.L.N. No. 5164, Pasal 73. 35
Indonesia (L), Undang-Undang Tentang Transfer Dana, UU No. 3, L.N. No. 39 Tahun 2011, T.L.N. No. 5204, Penjelasan Umum. 36
Ibid., Pasal 76.
Universitas Indonesia
13
Dengan adanya ketentuan tersebut, lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal Undang-Undang tersebut bahwa, informasi elektronik dalam kegiatan Transfer Dana adalah satu atau sekumpulan data elektronik dalam kegiatan Transfer Dana, antara lain dalam bentuk tulisan, suara, gambar, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telekopi atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.37 Sementara itu yang dimaksud dengan dokumen elektronik dalam kegiatan Transfer Dana adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima,
atau
disimpan
dalam
bentuk
analog,
digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, antara lain tulisan, suara, gambar, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.38
12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam Undang-Undang Keimigrasian ini, pengaturan yang ada telah pula mengakui adanya bukti yang dinamakan dengan bukti elektronik. Hal ini terdapat pada Pasal 108 yang mengatur bahwa
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian berupa: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu; dan c. keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang.39
37
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 76.
38
Ibid.
39
Indonesia (M), Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU No. 6, L.N. No. 52 Tahun 2011, T.L.N. No. 5216, Pasal 108.
Universitas Indonesia
14
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Pengaturan perihal bukti elektronik dalam Undang-Undang ini terdapat pada Pasal 31 yang mengatur bahwa
Alat bukti dalam perkara tindak pidana terhadap Rupiah meliputi: a. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; dan b. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu: 1. barang yang menyimpan gambar, suara dan film, baik dalam bentuk elektronik maupun optik, dan semua bentuk penyimpanan data; dan/atau 2. data yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya.40
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan
sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya, maka terlihat bahwa pada saat ini bukti elektronik memang sudah mulai diakui dan diperhatikan keberadaannya. Pengakuan atas keberadaan bukti elektronik tersebut jelas sekali terlihat ketika bukti elektronik tersebut dihubungkan dengan proses pembuktian terjadinya suatu tindak pidana. Terkait dengan proses pembuktian suatu tindak pidana yang menggunakan bukti elektronik, tentunya sebelum bukti elektronik tersebut dihadirkan di persidangan dan kemudian menjadi salah satu alat bukti dalam rangka membuktikan kesalahan terdakwa, bukti elektronik tersebut pada awalnya harus terlebih dahulu dicari dan kemudian disita untuk kemudian baru dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam suatu persidangan. Proses ini tentunya memerlukan serangkaian tindakan upaya paksa41 yang dikenal dengan istilah penggeledahan dan penyitaan.
40
Indonesia (N), Undang-Undang Tentang Mata Uang, UU No. 7, L.N. No. 64 Tahun 2011, T.L.N. No. 5223, Pasal 31. 41
Upaya paksa pada hakekatnya dapat digolongkan sebagai tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Namun demikian apabila tindakan upaya paksa tersebut dilakukan oleh Pejabat Penegak Hukum berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka tindakan upaya paksa tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Lihat H. M. A. Kuffal, Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, (Malang: UMM Press, 2007), hal. v.
Universitas Indonesia
15
Tindakan penggeledahan merupakan tindakan yang salah satu tujuan pelaksanaannya adalah untuk mengumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana.42 Dalam kaitannya dengan tindakan penggeledahan, KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana yang secara umum mengatur proses atau mekanisme dalam melakukan tindakan penggeledahan menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.43 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa tindakan penggeledahan yang diatur di dalam KUHAP hanyalah tindakan penggeledahan yang berupa penggeledahan rumah44, penggeledahan pakaian dan penggeledahan badan.45 KUHAP dibangun ketika hukum telematika belum berkembang atau bahkan belum dikenal dalam hukum Indonesia. Dalam menghadapi kriminalitas yang berbasis teknologi yang pada umumnya memanfaatkan bekerjanya sistem maupun berlindung pada paham kebebasan informasi maka KUHAP tampaknya menjadi kedodoran.46 Sampai saat ini jelas sekali bahwa KUHAP belum mengatur perihal penggeledahan yang dilakukan terhadap suatu bukti elektronik. Akan tetapi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2011 pada Pasal 175 bukti elektronik telah dimasukan menjadi salah satu alat bukti yang sah.47 Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah terdapat perbedaan antara penggeledahan sebagaimana diatur di KUHAP pada saat ini dengan
42
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 249. 43
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 32.
44
Ibid., Pasal 1 angka 17.
45
Ibid., Pasal 1 angka 18.
46
Al Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaruan Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 49. 47
Lihat “Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2010”, , diakses tanggal 09 Februari 2012.
Universitas Indonesia
16
penggeledahan untuk mendapatkan bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam RKUHAP Tahun 2011 tersebut? Perbedaan antara penggeledahan terhadap bukti non-elektronik dengan bukti elektronik dapat dipahami ketika tujuan dari dilakukannya penggeledahan tersebut dihubungkan dengan sifat atau karakteristik dari bukti-bukti elektronik yang ada. Apabila memang tujuan dilakukannya penggeledahan adalah untuk mengumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana, maka tentunya ketika dilakukan penggeledahan terhadap misalnya, sebuah komputer atau sebuah kamera digital, maka tentunya tidak akan ditemukan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana. Beberapa hal yang justru akan ditemukan tentunya hanyalah beberapa transistor, intergrated circuit (IC)48 ataupun lensa kaca. Lain halnya ketika tindakan menggeledah atau tindakan mencari fakta dan bukti tersebut dilakukan terhadap harddisk49 yang ada pada komputer tersebut ataupun pada memory card50 yang ada pada kamera digital tersebut. Dengan membaca, melihat ataupun menganalisa data-data yang terdapat di dalam harddisk ataupun memory card itulah kita mungkin akan dapat menemukan fakta dan bukti yang terkait dengan suatu tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa pengaturan perihal penggeledahan yang terdapat dalam KUHAP belum dapat menjangkau karakteristik dari bukti elektronik ini. Bahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pun hanya mengatur tindakan penggeledahan ini sebatas pengaturan
48
Sebuah alat yang terdiri dari sejumlah elemen sirkuit yang saling terhubung, seperti transistor dan resistor, yang dibuat dalam sebuah chip kristal silikon atau bahan semikonduktor lainnya. Lihat Blanton, op., cit. hal. 277. 49
Sebuah alat yang terdiri dari satu atau lebih piringan-piringan keras yang dilapisi dengan bahan dimana data dapat direkam secara magnetik bersama dengan bagian yang dipergunakan untuk menulis atau membaca, mekanisme memposisikan bagian tersebut, dan kumparan motor dalam sebuah kotak yang tertutup yang melindungi dari kontaminasi yang berasal dari luar. Ruangan yang terlindungi tersebut memungkinkan bagian pembaca atau penulis data tersebut untuk berputar dengan kecepatan 3600 rpm sampai 7200 rpm. Ibid., hal. 246. 50
Sebuah modul memori yang digunakan untuk memperbanyak kapasitas penyimpanan RAM atau menggantikan sebuah hard disk dalam sebuah komputer jinjing seperti laptop, notebook, atau komputer genggam. Modul ini biasanya memiliki ukuran sebesar kartu kredit dan dapat dimasukkan ke dalam tempat PCMCIA atau lebih kecil. Ibid., hal. 333.
Universitas Indonesia
17
perlunya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam melakukan tindakan penggeledahan tersebut.51 Kemudian, perihal lokasi dilakukannya penggeledahan juga menimbulkan persoalan tersendiri. Apabila dalam perkara pencurian televisi, tentunya tempat yang digeledah untuk dapat menemukan televisi tersebut hanyalah tempat-tempat dimana dimungkinkan sebuah televisi berada. Penggeledahan untuk mencari sebuah televisi tentunya tidak perlu dilakukan terhadap, misalnya sebuah kotak obat. Karena tentunya tidak akan mungkin apabila si pelaku menyembunyikan televisi yang dicurinya dalam sebuah kotak obat. Berbeda halnya ketika tindak pidana yang sedang ditelusuri terkait atau dilakukan dengan alat-alat elektronik, sehingga yang dicari pun berupa bukti-bukti elektronik. Sebuah surat ancaman ataupun surat yang berisi penghinaan terhadap orang lain yang kemudian dikirimkan lewat e-mail52 sangat mungkin untuk disimpan dalam sebuah komputer dengan harddisk berkapasitas 1 terabyte53, dalam sebuah flashdisk dengan kapasitas 2 gigabyte ataupun dalam sebuah memory card yang terdapat dalam sebuah handphone dengan kapasitas 128 megabyte. Terlebih lagi ukuran besarnya kapasitas media penyimpanan tersebut tidak harus selalu berbanding lurus dengan ukuran dimensi bendanya. Hal ini menunjukkan bahwa tempat suatu bukti elektronik berada sangatlah tidak terkait dengan jenis tindak pidana yang dilakukan dan dapat berada dimana saja atau hampir dapat berada dalam alat elektronik apapun. Persoalannya kemudian adalah alat elektronik yang manakah yang akan digeledah apabila ternyata misalnya di dalam rumah tersangka terdapat beberapa komputer, beberapa flashdisk dan beberapa handphone. Sementara dalam satu atau beberapa alat elektronik itu terdapat data-data pribadi tersangka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindak pidana yang disangkakan dan 51
Indonesia (G), op. cit., Pasal 43 ayat (3).
52
Merupakan kependekan dari electronic mail atau surat elektronik. Yaitu suatu pertukaran pesan dalam bentuk teks dan file komputer melalui suatu jaringan komunikasi, seperti jaringan lokal atau internet. Lihat Blanton, op. cit., hal. 190. 53
Byte merupakan kependekan dari binary term. 1 (satu) byte dapat dipersamakan dengan 1 (satu) huruf, 1 (satu) angka atau 1 (satu) tanda baca. Dalam hal ini 1 (satu) terabyte sama dengan 1.099.511.627.776 byte, 1 gigabyte sama dengan 1.073.741.824 byte, 1 megabyte sama dengan 1.048.576 byte. Ibid., hal. 79, 515.
Universitas Indonesia
18
karenanya dapat berpotensi melanggar hak pribadi54 seseorang. Hal ini tentunya menimbulkan persoalan tersendiri yang perlu diatur penyelesaiannya. Begitu pula halnya dengan tindakan penyitaan. Penyitaan sebagaimana diketahui merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.55 Dalam hal ini KUHAP mengatur bahwa
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).56
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP tersebut, terlihat bahwa pengaturan yang terdapat dalam KUHAP, perihal benda yang bagaimanakah yang dapat dikenakan penyitaan, nampaknya sudah cukup komprehensif. Namun ketika
54
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut: a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai. c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Lihat Indonesia (G), op. cit., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 26 ayat (1). Hal ini tentunya merupakan salah satu ketentuan yang membatasi orang untuk melihat data-data pribadi milik orang lain. 55
Indonesia (A), op. cit., Pasal 1 angka 16.
56
Ibid., Pasal 39.
Universitas Indonesia
19
pengaturan tersebut dikaitkan dengan keberadaan bukti elektronik dan praktek lapangan sesungguhnya dari tindakan penyitaan tersebut, maka terdapat beberapa persoalan yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Apabila penyitaan tersebut dilakukan terhadap sebuah televisi curian tersangka yang terdapat di dalam kamar tersangka, maka tentunya tidak ada persoalan dengan hal tersebut. Barang berupa televisi tersebut dapat langsung dibawa oleh penyidik untuk kemudian misalnya dijadikan barang bukti untuk mendukung pembuktian kesalahan tersangka nantinya di persidangan. Lain halnya ketika penyitaan dilakukan terhadap sebuah bukti elektronik yang terdapat di dalam misalnya sebuah laptop. Relevansi bukti elektronik yang disita dengan perkara yang sedang ditelusuri merupakan salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian dan penyelesaian. Selain itu, tempat dilakukannya penyitaan bukti elektronik terkait dengan tempat dilakukannya tindak pidana57, serta keutuhan dari bukti elektronik yang disita58 juga merupakaan persoalan lain yang memerlukan pengaturan yang lebih jelas. Apabila kemudian kita mencoba melihat aturan yang terdapat dalam Rancangan KUHAP 2011, maka dalam rancangan tersebut pada Pasal 175 dinyatakan bahwa
(1) Alat bukti yang sah mencakup: a. barang bukti; b. surat-surat; c. bukti elektronik59; d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; 57
Lihat “Pengacara Prita Persoalkan Penyitaan Alat Bukti Oleh Penyidik”, , diakses tanggal 02 November 2011. 58
Lihat “Nazaruddin Cabut Gugatan Ke Mantan Dubes RI Di Kolombia”, , diakses tanggal 02 November 2011. 59
Rancangan KUHAP Tahun 2011 mendefinisikan “bukti elektronik” sebagai informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Lihat Rancangan KUHAP Tahun 2011, Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 175 ayat (1) huruf c.
Universitas Indonesia
20
f. keterangan terdakwa; dan g. pengamatan hakim (2) Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh secara tidak melawan hukum.60
Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 178 Rancangan KUHAP Tahun 2011, diatur bahwa bukti elektronik yang dimaksud adalah seluruh bukti dilakukannya tindak pidana berupa sarana yang memakai elektronik.61 Ketentuanketentuan yang terdapat dalam Rancangan KUHAP Tahun 2011 tersebut jelas sekali mensiratkan bahwa bukti elektronik pada saat ini dan di masa yang akan datang akan menjadi salah satu alat bukti yang berperan penting dalam proses pembuktian di persidangan. Banyaknya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang telah mengakui keberadaan bukti elektronik baik secara materil maupun formil sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya mau tidak mau harus segera direspon secara serius. Terlebih lagi ketika rancangan hukum acara pidana yang akan disahkan di kemudian hari juga ternyata memuat pengaturan yang serupa. Pentingnya pengaturan perihal bukti elektronik tersebut baik secara formil maupun materil semakin dikuatkan karena karakteristik dari bukti-bukti elektronik itu sendiri. Bukti elektronik ini memiliki karakteristik yang unik, yaitu bentuknya yang elektronik, dapat digandakan dengan mudah, dan sifatnya yang mudah untuk diubah.62 Atas dasar itu penanganannya pun harus dilakukan secara hati-hati, karena penanganan yang tidak hati-hati akan menyebabkan bukti elektronik 60
Ibid., Pasal 175.
61
Dalam hal ini bukti berupa sarana yang memakai elektronik, adalah seperti telepon, foto, fotokopi, rekaman suara, video, VCD, internet, film, email, short message service (SMS). Lihat ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 178. 62
Dikarenakan karakteristik dari bukti elektronik tersebut, maka bisa saja misalnya suatu file yang memuat bukti terjadinya suatu tindak pidana ternyata menjadi tidak dapat lagi digunakan untuk membuktikan terjadinya tindak pidana tersebut. Misalnya si tersangka membuat file yang berisi bukti tindak pidana yang dilakukannya di komputernya pada tanggal 11 Februari 2012 dan lalu ia melakukan tindak pidananya pada tanggal yang sama. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2012 si tersangka tertangkap dan kemudian dilakukan penggeledahan di rumahnya, termasuk di komputernya. Namun ketika penyidik membuka-buka file yang ada di komputer si tersangka tersebut ternyata pada saat membuka file yang berisi bukti tadi, penyidik secara sengaja ataupun tidak menyimpan (save) file itu padahal tidak ada perubahan apapun yang dilakukan terhadap file tersebut. Akibat dari tindakan si penyidik tersebut maka pada file tersebut akan tertera bahwa file itu terakhir kali dirubah (last modified) pada tanggal 13 Februari 2012 dan bukan pada tanggal 11 Februari 2012 pada saat si tersangka memulai tindak pidananya. Hal ini tentunya akan dapat mempengaruhi nilai bukti elektronik tersebut di persidangan.
Universitas Indonesia
21
tersebut menjadi benalu sendiri bagi aparat penegak hukum. Artinya penanganan yang tidak penuh kehati-hatian tersebut justru dapat membuat tindakan pelaku menjadi tidak terbukti dikarenakan kesalahan prosedur dalam penanganannya.63 Penanganan bukti elektronik pada intinya adalah bagaimana bukti elektronik itu dapat dihadirkan ke muka persidangan secara autentik dan dapat dipresentasikan atau tidak rusak. Proses ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan mulai dari tahap penggeledahan hingga tahap penyitaan dan dihadirkannya bukti elektronik tersebut di muka persidangan. Persoalannya adalah hingga saat ini di Indonesia belum terdapat suatu aturan yang mengatur bagaimana seharusnya prosedur dan mekanisme bukti elektronik tersebut dicari, disita dan kemudian dihadirkan sebagai alat bukti di persidangan. Dari semua peraturan sebagaimana telah penulis bahas sebelumnya, tidak ada satu pun aturan yang telah mengatur secara jelas dan pasti bagaimana proses tersebut harusnya dilakukan. Memang dalam kenyataannya ada diantara para penegak hukum yang telah mempergunakan suatu metode atau panduan dan pedoman tertentu dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut. Namun demikian aturan, panduan atau pedoman tersebut masih berupa aturan internal64 instansi penegak hukum tersebut dan jelas sekali tidak berlaku atau memiliki kekuatan mengikat terhadap instansi penegak hukum lainnya. Di lain sisi terdapat pula penegak hukum yang sama sekali tidak mempergunakan metode, panduan atau pedoman tertentu dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik.65
63
Salam. op. cit.
64
Dalam hal ini Satuan CyberCrime POLDA Metro Jaya telah memiliki prosedur penanganan dan penyitaan bukti elektronik yang dibuat dalam bentuk buku saku. Buku saku tersebut merupakan saduran dari prosedur Association of Chief Police Officers Good Practice Guide for Computer Based Electronic Evidence (ACPO Good Practice Guide). Lihat Salam, ibid. 65
Penulis sendiri merupakan salah satu penegak hukum yang pernah ketika melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap bukti elektronik tidak mempergunakan metode tertentu. Hal tersebut terjadi dikarenakan memang pada saat itu penulis tidak pernah mengetahui adanya aturan internal ataupun peraturan-peraturan lainnya yang mengatur perihal penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik tersebut.
Universitas Indonesia
22
Sementara itu, di beberapa negara lain seperti misalnya Amerika Serikat66 dan Inggris67 telah terdapat sebuah pedoman atau semacam Standard Operating Procedures (SOP) yang mengatur perihal tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap bukti elektronik. Perlunya pengaturan semacam ini menjadi penting karena dalam kenyataannya telah terdapat beberapa kejadian dimana proses penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik dalam perkara tersebut dipersoalkan keabsahannya. Kita dapat melihat misalnya dalam perkara pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Prita Mulyasari. Dalam perkara ini terdakwa dan tim penasehat hukumnya sempat mempersoalkan proses penyitaan barang bukti (bukti elektronik) dalam perkara tersebut.68 Contoh lainnya adalah ketika Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) melakukan penyitaan terhadap data-data milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada saat itu berada dalam penguasaan Antasari Azhar. Sebagai Ketua KPK pada saat itu Antasari menjadi tersangka dalam sebuah tindak pidana pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Antasari digeledah ruang kerjanya dan kemudian Penyidik POLRI menyita beberapa data yang terdapat di ruangan tersebut. Ternyata kemudian diketahui bahwa data-data yang disita memang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang disangkakan kepada Antasari, namun data-data itu belum juga dikembalikan kepada KPK.69
66
Pengaturan perihal pedoman penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Amerika Serikat salah satunya terangkum dalam pedoman yang diterbitkan oleh United States Department of Justice, pada Computer Crime & Intellectual Property Section dengan judul Searching and Seizing Computers and Obtaining Electronic Evidence in Criminal Investigations. 67
Pengaturan perihal pedoman penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Inggris salah satunya terangkum dalam pedoman yang dikenal denan Association of Chief Police Officers Good Practice Guide for Computer Based Electronic Evidence (ACPO Good Practice Guide). Pedoman ini merupakan pedoman yang berlaku di seluruh Inggris Raya yang meliputi England dan Wales, Scotland Northern Ireland. 68
Lihat “12 Peluru Prita Lawan Tuntutan 6 Bulan”, , diakses tanggal 11 Februari 2012. 69
Lihat “Pihak Antasari: Polri Sita 3 Dokumen Kasus KPK”, , diakses tanggal 09 Februari 2012.
Universitas Indonesia
23
Kondisi-kondisi semacam itu dapat terjadi dikarenakan memang belum ada satu aturan yang jelas dan berlaku umum yang mengatur tindakan-tindakan serta mekanisme-mekanisme yang perlu ditempuh ketika penegak hukum hendak melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik. Hal-hal semacam ini tentunya membutuhkan suatu solusi yang segera dan tepat. Perlu adanya semacam suatu pengaturan yang berlaku secara nasional yang mengatur perihal penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik ini. Berdasarkan uraian diatas maka penulis menilai bahwa permasalahan terkait pengaturan penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap bukti elektronik merupakan hal yang menarik dan penting untuk diteliti berikut segala aspek-aspek terkait didalamnya agar tindakan-tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan tidak lagi diragukan keabsahannya dan bukti elektronik yang diperoleh benar-benar menjadi dapat dipergunakan di persidangan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam rangka membuktikan kesalahan dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
1.2. PERNYATAAN PERMASALAHAN Dengan semakin banyaknya ketentuan Undang-Undang yang menjadikan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti sah yang dapat digunakan di persidangan untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana, maka tentunya diperlukan pengaturan yang lebih komprehensif dari sisi hukum acara pidana. Sayangnya saat ini kondisi yang terjadi belumlah demikian. Pengaturanpengaturan hukum acara yang terkait dengan bukti elektronik ini masih hanya sebatas memberikan pengakuan akan adanya alat bukti baru dalam hukum acara pidana di Indonesia, yaitu alat bukti yang berasal dari bukti elektronik. Dengan keberadaan hukum acara pidana yang demikian, maka bila dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bukti elektronik yang bentuknya elektronik, dapat digandakan dengan mudah, dan sifatnya yang mudah untuk diubah, persoalanpersoalan yang cukup pelik penyelesaiannya pasti akan bermunculan, terutama terkait dengan proses penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik tersebut. Banyak pihak tentunya akan dapat mempertanyakan keabsahan dari bukti elektronik yang diajukan, apakah sudah diperoleh dengan benar, apakah bukti
Universitas Indonesia
24
tersebut otentik, apakah sudah dianalisa dengan benar serta tepat dan apakah bukti elektronik tersebut dapat dihadirkan dengan baik sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Para penegak hukum tentunya akan memerlukan sebuah pedoman yang sama, pasti dan jelas dalam rangka melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan bukti elektronik agar bukti-bukti tersebut dapat dihadirkan di persidangan dengan baik dan benar sehingga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam membuktikan terjadinya suatu tindak pidana.
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut beberapa permasalahan yang penulis formulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di dalam Hukum Acara Pidana Indonesia saat ini? 2. Bagaimanakah praktek aparat penegak hukum di Indonesia saat ini dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik? 3. Pengaturan apa saja yang diperlukan terkait penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam rangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia?
1.4. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan
permasalahan
yang
dikemukakan
sebelumnya,
maka
perumusan dan pembahasan penelitian diarahkan pada mengkaji perihal bagaimanakah pengaturan-pengaturan yang telah ada di Indonesia terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, baik itu dari sisi ketentuan yang bersifat materil maupun ketentuan yang bersifat formil. Dalam hal ini penulis melakukan identifikasi terhadap peraturan-peraturan hukum pidana yang bersifat materil dan melakukan analisa atas peraturan-peraturan hukum pidana yang bersifat formil yang memuat pengaturan perihal bukti elektronik. Kemudian penelitian ini juga ditujukan untuk mengkaji bagaimanakah praktek-praktek para penegak hukum di Indonesia pada saat ini ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Dalam hal ini yang peneliti lakukan adalah mengidentifikasi prosedur dan metode penegak hukum
Universitas Indonesia
25
Indonesia dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan suatu pemikiran akademis dalam rangka pembaruan ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, dalam rangka pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Disamping itu, secara umum penelitian ini bertujuan agar terciptanya suatu pengaturan yang lebih jelas dan seragam dalam mengatur tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti baru dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Dengan adanya kejelasan dan keseragaman pengaturan tersebut diharapkan bukti elektronik yang ditemukan dapat dijadikan alat bukti yang sah secara baik dan benar di depan persidangan.
1.5. MANFAAT PENELITIAN Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan ada beberapa manfaat yang dapat dihasilkan atau diambil dari hasil kesimpulan penelitian ini, yaitu dari segi: 1.
Teoritis Memperkaya
khasanah
literatur
di
Indonesia
dengan
memberikan
pengetahuan yang komprehensif tentang bukti elektronik beserta proses, metode, tata cara penggeledahan dan penyitaannya. 2.
Praktis Agar dapat menjadi masukan bagi pembaruan hukum acara pidana Indonesia, khususnya dalam pembuatan suatu peraturan, pedoman atau Standard Operating Procedures (SOP) yang dipergunakan oleh penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik.
1.6. METODE PENELITIAN Untuk menjawab permasalahan yang ada maka penulis menggunakan bentuk penelitian Yuridis Sosiologis. Dimana penelitian ini akan menggambarkan selengkapnya tentang bukti elektronik untuk digunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan, dengan difokuskan pada proses dan tata cara penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut. Hal tersebut kemudian penulis analisa
Universitas Indonesia
26
dari segi yuridisnya, sehingga penulis mendapatkan jawaban perihal bagaimana pengaturan secara materil dan formil atas bukti elektronik tersebut di Indonesia pada saat ini dan bagaimana praktek para penegak hukum selama ini dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Lebih lanjut oleh karena penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Sosiologis, maka jenis data yang penulis kumpulkan adalah data primer dan data sekunder, dengan perincian sebagai berikut:
1. Data Primer Data tersebut penulis peroleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur terhadap: a. Penyidik Pidana Khusus Pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yaitu Jaksa Syarief S. Nahdi, SH, MH, Pangkat: Jaksa Madya, Jabatan: Penyidik pada Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam hal ini wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari Penyidik dimaksud tentang bagaimana
praktek
para
penyidik
tersebut
dalam
melakukan
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik guna dijadikan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian di persidangan. Selain itu dari wawancara yang dilakukan diharapkan juga didapatkan masukan-masukan guna pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia, khususnya perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. b. Penyidik Pada Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, yaitu Grawas Sugiharto, Pangkat: Inspektur Satu, Jabatan: Pemeriksa Barang Bukti Digital pada Sub Direktorat IT & Cyber Crime, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Republik Indonesia. Dalam hal ini wawancara yang dilakukan juga bertujuan untuk mendapatkan informasi dari Penyidik dimaksud tentang bagaimana
praktek
para
penyidik
tersebut
dalam
melakukan
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik guna dijadikan
Universitas Indonesia
27
sebagai alat bukti dalam proses pembuktian di persidangan. Selain itu dari wawancara yang dilakukan diharapkan juga didapatkan masukan-masukan guna pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia, khususnya perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. c. Praktisi / Ahli Digital Forensik Pusat Laboratorium Forensik Bidang Fisika Dan Komputer Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, yaitu Muhammad Nuh Al-Azhar, Pangkat Komisaris Polisi, Jabatan Kepala Sub Bidang Komputer Forensik, Pusat Laboratorium Forensik, Badan Reserse Kriminal, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Dalam hal ini wawancara diarahkan untuk mendapatkan informasi perihal penggeledahan dan penyitaan serta pemeriksaan bukti elektronik, baik dari segi metode, prosedur atau tata caranya hingga hambatan ataupun kemudahan yang dihadapi dalam konteks sistem hukum acara pidana di Indonesia. d. Praktisi / Ahli Digital Forensik Swasta Pada JARNUS Digital Forensic (PT. Jaringan Nusantara), yaitu Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI dengan melakukan korespondensi melalui e-mail. Dalam hal ini e-mail yang dikirimkan berisi pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan untuk mendapatkan informasi perihal penggeledahan dan penyitaan serta pemeriksaan bukti elektronik, baik dari segi metode, prosedur atau tata caranya hingga hambatan ataupun kemudahan yang dihadapi dalam konteks sistem hukum acara pidana di Indonesia. e. Akademisi Bidang Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yaitu Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, Jabatan: Dosen Inti Penelitian Bidang Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam hal ini wawancara difokuskan untuk mendapatkan informasi tentang pengaturan bukti elektronik dalam sistem hukum di Indonesia, terutama dari sisi hukum acara pidananya secara komprehensif. Selain itu dari wawancara yang dilakukan diharapkan juga didapatkan masukan-masukan guna pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia, khususnya perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Selain dengan melakukan wawancara mendalam, penulis juga mendapatkan
Universitas Indonesia
28
informasi-informasi yang dicari dengan cara melakukan korespondensi melalui Short Message Service (SMS). Selain dari Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, penulis juga melakukan korespondensi melalui BlackBerry Messenger dengan Brian Amy Prasetyo, SH, MLI, Jabatan: Dosen Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, untuk menanyakan beberapa hal yang terkait dengan penelitian ini. Pemilihan penyidik perkara pidana pada Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian Republik Indonesia untuk dijadikan informan dalam penelitian ini adalah dalam rangka mengetahui praktek penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik di Indonesia pada saat ini. Sedangkan pemilihan praktisi / ahli digital forensik pada Pusat Laboratorium Forensik Bidang Fisika Dan Komputer Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia serta Praktisi / Ahli Digital Forensik Swasta Pada JARNUS Digital Forensic (PT. Jaringan Nusantara) sebagai informan dalam penelitian ini karena dalam kenyataannya para praktisi inilah yang memiliki kemampuan teknis untuk melakukan
penggeledahan
dan
pemeriksaan
bukti
elektronik,
terutama
dikarenakan karakteristik dari bukti elektronik tersebut. Lebih lanjut Akademisi Bidang Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga penulis jadikan sebagai informan dalam penelitian ini, karena secara teoritis dan praktis mereka memahami dengan baik apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.
2. Data Sekunder a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini didapatkan dengan mengidektifikasi dan meneliti peraturan perundangundangan yang terkait dengan permasalahan penelitian yaitu adalah: -
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
-
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Universitas Indonesia
29
-
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;
-
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;
-
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
-
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
-
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik;
-
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi;
-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
-
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
-
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
-
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana;
-
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian;
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang;
-
Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
Nomor:
M.01.PW.07.03 TH. 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. -
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.14.PW.07.03 Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
-
U.S. Federal Rules of Criminal Procedure.
-
U.S. Federal Rules of Evidence.
-
Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984.
-
Yurisprudensi, serta peraturan perundangan lain baik yang berlaku di Indonesia maupun Amerika Serikat dan Inggris seperti petunjuk
Universitas Indonesia
30
pelaksanaan dan petunjuk teknis yang dimiliki masing-masing instansi dan lembaga yang berkaitan dengan materi penelitian hukum ini.
b. Bahan hukum sekunder, didapatkan dari: -
Literatur dan artikel yang terkait dengan hukum acara pidana di Indonesia serta pembaruannya, terutama perihal alat bukti elektronik.
-
Literatur, artikel dan hasil penelitian yang terkait dengan bukti elektronik terutama perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut;
-
Guidelines Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations
-
Guidelines Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition
-
Guidelines Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement
-
Guidelines Investigations Involving the Internet and Computer Networks
-
Guidelines Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors.
-
Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence
-
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011
-
Panduan Untuk Penyitaan Dan Penanganan Barang Bukti Elektronik yang dibuat oleh Cyber Crime Investigation Centre Bareskrim Mabes POLRI.
-
Standard Operating Procedures (SOP) yang dibuat oleh Pusat Laboratorium Forensik Bidang Fisika dan Komputer Forensik, Badan Reserse Kriminal, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, berupa Standard Operating Procedures (SOP) 1 tentang Prosedur Pemeriksaan Digital Forensik, Standard Operating Procedures (SOP) 2 tentang Komitmen Jam Kerja, Standard Operating Procedures (SOP) 3 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan Digital Forensik, Standard Operating Procedures (SOP) 4 tentang Penerimaan Barang
Universitas Indonesia
31
Bukti Elektronik, Standard Operating Procedures (SOP) 5 tentang Penyerahan Barang Bukti Elektronik, Standard Operating Procedures (SOP) 6 tentang Triage Forensik, Standard Operating Procedures (SOP) 7 tentang Akuisisi Langsung Komputer, Standard Operating Procedures (SOP) 8 tentang Akuisisi Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card, Standard Operating Procedures (SOP) 9 tentang Analisa Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card, Standard Operating Procedures (SOP) 10 tentang Akuisisi Handphone Dan Simcard, Standard Operating Procedures (SOP) 11 tentang Analisa Handphone Dan Simcard, Standard Operating Procedures (SOP) 12 tentang Analisa Audio Forensik. -
Literatur, artikel dan hasil penelitian, Standard Operating Procedures (SOP), pedoman atau guidelines lainnya yang terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia, Amerika Serikat dan Inggris.
c. Bahan hukum tersier, seperti Microsoft Computer Dictionary, Blacks Law Dictionary, Kamus Istilah Komputer, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan media massa, dan bahan lain yang dapat menunjang dan digunakan sebagai informasi tambahan dalam Penelitian ini. Dalam hal ini, pemilihan aturan-aturan yang dianalisis sebagaimana tersebut diatas adalah dikarenakan aturan-aturan tersebut berkaitan erat dengan objek penelitian yang penulis teliti. Kemudian terkait dengan teknik pengambilan data yang penulis pergunakan, maka dalam Penelitian ini teknik yang penulis pergunakan adalah analisis wacana dengan menganalisis dokumen-dokumen hukum yang terkait. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang terstruktur. Dalam penelitian ini penulis melakukan perbandingan antara ketentuanketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dengan ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris. Ketentuan-ketentuan yang penulis perbandingkan adalah ketentuan perihal pelaksanaan tindakan penggeledahan dan
Universitas Indonesia
32
penyitaan pada umumnya serta penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. 1.7. KERANGKA TEORI 70 Penelitian ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa di Indonesia pada saat ini telah semakin banyak terdapat aturan-aturan yang secara materil maupun formil memuat atau mengakui adanya bukti elektronik dan kemungkinan dihadirkannya bukti elektronik tersebut sebagai salah satu alat bukti yang sah di persidangan. Namun sayangnya pengaturan tersebut belum disertai dengan aturan ataupun metode yang jelas perihal bagaimana mendapatkan bukti elektronik dimaksud untuk dapat dihadirkan di persidangan, atau dengan kata lain belum terdapat aturan yang jelas perihal penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan kendala tersendiri baik cepat ataupun lambat. Berangkat dari permasalahan tersebutlah maka penulis mempergunakan beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau bedah dalam menganalisa permasalahan yang diteliti. Terkait dengan permasalahan yang telah penulis kemukakan sebelumnya, Hugo Sinzheimer mengemukakan bahwa hukum menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat. Bagi Sinzheimer hukum itu dirasa perlu mengatur sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa serta hubunganhubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya.71 Sehubungan dengan hal tersebut, Achmad Ali pun kemudian menyatakan: 70
Kerangka teori dalam suatu penelitian bermanfaat untuk: Mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; b. Mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi; c. Merupakan suatu ikhtisar hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti; d. Memberikan kemungkinan pada prediksi fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa akan datang; e. Memberikan petunjuk terhadap kekurangan pengetahuan peneliti Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 (Jakarta: UI Press, 1986) hal. 109. a.
71
Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diatur tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya. Lihat Hugo Seinzheimer dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cet. II, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hal. 192.
Universitas Indonesia
33
”Persoalan penyesuaian hukum terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau perundang-undangan (dalam arti luas). Hal ini sehubungan dengan kelemahan perundang-undangan sebagaimana yang telah kita ketahui yaitu statis dan kaku. 72
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Hugo Sinzheimer dan Achmad Ali, Yehezkel Dror juga menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Law and Social Change bahwa
There is nearly always a certain difference between actual social behavior and the behavior demanded by the legal norm... A lag appears only when there is more than a certain tension, when the law does not in fact answer the needs arising from major social changes or when social behavior and the sense of obligation generally felt towards the legal norms significantly differs from the behavior required by law. ... the concept of lag applies to law and social change in dynamic situations, after either social change or changes in the law occur and no parallel changes and adjustment processes take place in law or society respectively.73
Lalu dalam menjelaskan maksud dari pernyataannya tersebut, Dror memberikan suatu contoh fenomena yang ia umpamakan sebagai berikut:
A contemporary illustration concerns the development of atomic energy and of public international law; public international law lags behind modern developments in nuclear techniques and has not yet adjusted itself to the new situations created by them.74
Contoh tersebut memang tepat sekali dengan apa yang terjadi pada saat ini. Bila Dror pada saat itu mencontohkan perihal perkembangan teknologi nuklir 72
Ibid., hal. 193.
73
Yehezkel Dror, “Law And Social Change”, Tulane Law Review (Vol. 33, 1959): 749801 dalam Vilhelm Aubert, ed., Sociology Of Law, Selected Readings, (Middlesex: Penguin Books, 1969), hal. 90. 74
Ibid., hal. 91.
Universitas Indonesia
34
yang memang pada saat Dror membuat tulisannya tersebut baru saja berkembang pesat, maka pada saat ini perkembangan yang terjadi dalam penggunaan bukti elektronik merupakan fenomena yang serupa dengan fenomena yang terjadi pada saat itu. Hukum yang ada pada saat ini memang memiliki gap atau kesenjangan dengan fenomena yang terjadi dimasyarakat tersebut, terutama perihal pengaturan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. 1.8. KERANGKA KONSEPSIONAL75 Untuk memberikan batasan pengertian dalam penelitian ini maka penulis kemukakan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.8.1. Penggeledahan Tindakan penggeledahan merupakan tindakan yang salah satu tujuan pelaksanaannya adalah dalam rangka mengumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut
suatu
tindak
pidana.76
Dalam
kaitannya
dengan
tindakan
penggeledahan, KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana yang secara umum
mengatur
proses
atau
mekanisme
dalam
melakukan
tindakan
penggeledahan menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penggeledahan
rumah
atau
penggeledahan
pakaian
atau
penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.77 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa tindakan penggeledahan yang diatur di dalam KUHAP terdiri dari 3 (tiga) macam penggeledahan, yaitu: a.
Penggeledahan rumah, yaitu tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.78
75
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan suatu abstraksi dari gejala yang akan diteliti, tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Lihat Soekanto, op.cit., hal. 132. 76
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 249. 77
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 32.
78
Ibid., Pasal 1 angka 17.
Universitas Indonesia
35
b.
Penggeledahan badan,
yaitu tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.79 c.
Penggeledahan pakaian, yaitu tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada untuk disita.80 Masih terkait dengan tindakan penggeledahan ini, Black’s Law Dictionary
mendefinisikan tindakan penggeledahan atau search sebagai ”an examination of a person’s body, property, or other area that the person would reasonably be expected to consider as private, conducted by law-enforcement officer for the purpose of finding evidence of crime.”81 Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan
pengeledahan
sebagai
proses,
cara,
perbuatan
menggeledah; pemeriksaan (orang, rumah, dsb) untuk mencari sesuatu.82 Dari pendefinisian tindakan penggeledahan yang diberikan oleh kedua kamus diatas, kita melihat bahwa memang definisi tersebut serupa dengan definisi yang diberikan oleh KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu bahwa tindakan penggeledahan adalah proses atau cara dari penegak hukum untuk mencari sesuatu di suatu tempat yang mana temuannya tersebut diharapkan dapat dijadikan bukti terjadinya suatu tindak pidana.
1.8.2. Penyitaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 angka 16 mendefinisikan penyitaan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Tujuan
79
Ibid., Pasal 1 angka 18.
80
Ibid.
81
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, (Minnesota: Thomson Reuters, 2009), hal. 1468. 82
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 345.
Universitas Indonesia
36
dilakukannya penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan sebagaimana dimaksud diatas. Apabila penggeledahan adalah untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan, maka tindakan penyitaan dilakukan untuk kepentingan pembuktian terutama ditujukan sebagai barang bukti di depan persidangan.83 Mengenai penyitaan, Black’s Law Dictionary mengartikan penyitaan atau seizure sebagai the act or an instance of taking possession of a person or property by legal right or process.84 Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
penyitaan
sebagai
proses,
cara,
perbuatan
menyita;
pembeslahan.85
1.8.3. Bukti Elektronik Bukti elektronik yang biasa juga dikenal dengan sebutan electronic evidence atau digital evidence dapat didefinisikan sebagai information of probative value that is stored or transmitted in digital form.86 Sementara itu International Organization on Computer Evidence (IOCE) mengajukan sebuah definisi atas bukti elektronik yaitu information stored or transmitted in binary form that may be relied upon in court.87
83
Harahap, op. cit., hal. 265.
84
Garner, op. cit., hal. 1480.
85
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hal. 1078.
86
Lihat “SWGDE/SWGIT Digital & Multimedia Evidence Glossary Version: 2.5 (January 13, 2012)”, , diakses tanggal 14 Februari 2012. Scientific Working Group on Digital Evidence (SWGDE) didirikan pada Februari 1998 melalui usaha bersama para Direktur Laboratorium Kejahatan Federal Amerika Serikat. SWGDE diberikan tugas untuk pengembangan guidelines yang lintas ilmu dan juga standar untuk penemuan, preservation dan pemeriksaan bukti digital, termasuk suara, gambar dan alat-alat elektronik. Lihat , diakses tanggal 14 Februari 2012. 87
Lihat “G8 Proposed Principles For The Procedures Relating To Digital Evidence”, , diakses tanggal 14 Februari 2012. International Organization on Computer Evidence (IOCE) didirikan pada tahun 1995 dengan tujuan menyediakan sebuah forum bagi penegak hukum internasional untuk bertukar informasi terkait dengan penyidikan kejahatan komputer dan isu-isu forensik lainnya yang terkait
Universitas Indonesia
37
Eoghan Casey mendefinisikan digital evidence atau bukti elektronik sebagai ”any data stored or transmitted using a computer that support or refute a theory of how an offense occurred or that address critical elements of the offense such as intent or alibi.”88 Dalam sistem hukum Indonesia pada saat ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik memang tidak secara langsung memberikan definisi atas apa yang dimaksud dengan bukti elektronik. Namun bila melihat ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bukti elektronik adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, yaitu satu atau sekumpulan data elektronik, yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.89
1.8.4. Pembaruan Hukum Acara Pidana Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Pembaruan sebagai proses, cara, perbuatan membarui.90 Dengan demikian dapat diartikan bahwa pembaruan hukum acara pidana merupakan perbuatan memperbarui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana itu sendiri. Tentunya pembaruan ini dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah tertinggal ataupun sudah tidak cocok lagi apabila diterapkan pada saat ini. _________________________ dengan komputer. Lihat , diakses tanggal 14 Februari 2012. 88
Casey, op. cit., hal. 12.
89
Indonesia (G), op. cit., Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 5 ayat (1), (2) jo.
Pasal 44. 90
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hal. 109.
Universitas Indonesia
38
Gambaran mengenai hukum acara pidana sebuah Negara pertama-tama dapat dilihat dari peraturan perundang-undangannya, kedua dapat dilihat dari kelengkapan
institusi
pelaksanaannya
dan
yang
ketiga
tercermin
dari
implementasinya. Oleh sebab itu, sangat logis apabila gambaran mengenai wajah hukum acara pidana Indonesia tercermin dari eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai sebuah kodifikasi yang memayungi hukum positif di bidang acara pidana. Dalam KUHAP setidaknya dapat diketahui tentang sebuah sistem hukum acara pidana mulai dari filosofi hukumnya hingga pada teknis hukumnya.91
1.9. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN PENELITIAN Laporan Penelitian ini disampaikan dengan sistematika yang terlebih dahulu membahas tentang konsep dari tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti-bukti yang dapat dipergunakan dalam suatu perkara pidana untuk kemudian dihubungkan dengan perkembangan yang ada pada saat ini, khususnya perihal bukti-bukti elektronik. Kemudian Laporan Penelitian ini dilanjutkan dengan pembahasan atas pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut oleh para aparat penegek hukum dan selanjutnya diakhiri dengan analisa atas fakta-fakta empiris tersebut untuk kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran-saran yang dapat bermanfaat bagi penerapan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam rangka pembaruan hukum acara pidana Indonesia. Penguraian penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis dan empiris, sehingga akan dihasilkan suatu penelitian yang merupakan penelitian terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder serta analisis terhadap penerapan ketentuan-ketentuan tersebut oleh para pihak yang diberikan tugas dan wewenang untuk melaksanakannya.92 Dengan penelitian semacam itu maka uraian berdasarkan kedua bahan hukum tersebut akan disampaikan terlebih dahulu pada bab kedua, yang kemudian
91
Wisnubroto, op. cit., hal. 121.
92
Soekanto, op. cit., hal. 70.
Universitas Indonesia
39
diikuti analisis hukumnya terhadap bahan yang telah diperoleh dan fakta-fakta empiris yang terdapat dalam penerapannya. Setelah itu, disimpulkan dan disampaikan saran sebagai pelengkap. Secara lebih terperinci, sistematika penulisan laporan penelitian ini dilakukan dengan pembagian menjadi beberapa bagian sebagaimana diuraikan berikut ini: Pada Bab 1 dimulai dengan bagian Pendahuluan yang membahas perihal apakah yang melatarbelakangi diangkatnya permasalahan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam penelitian ini. Pada bab ini juga diuraikan permasalahan-permasalahan yang ada, tujuan dilakukannya penelitian ini, kerangka teori dan kerangka konsepsional yang dipergunakan dalam menganalisa permasalahan penelitian ini, metode penelitian yang dilakukan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ada, dan diuraikan pula sistematika penulisan laporan penelitian ini. Selanjutnya pada Bab 2 disampaikan perihal tindakan penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku pada saat ini. Selain itu pada Bab 2 ini juga membahas perihal bukti itu sendiri dan bagaimana suatu bukti dapat dipergunakan dan kaitannya dengan alat bukti di persidangan. Pembahasan atas hal-hal tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran secara lengkap tentang tindakan penggeledahan dan penyitaan yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia pada saat ini dalam rangka untuk mendapatkan bukti yang akan dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan. Kemudian, pada Bab 3 laporan penelitian ini, penulis membahas perihal bukti elektronik, dimulai dari ilustrasi akan pentingnya memiliki pengaturan terhadap bukti elektronik, pengertian dari bukti elektronik, hingga pengaturan secara materil tentang bukti elektronik dalam sistem hukum indonesia dan juga pengaturan secara formil perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang terdapat di Indonesia. Selain itu Bab 3 dalam laporan penelitian ini juga membahas perihal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya perihal pengaturan bukti elektronik dan pengaturan tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terhadap bukti elektronik tersebut. Lebih lanjut bab ketiga ini juga membahas perihal pengaturan penggeledahan dan
Universitas Indonesia
40
penyitaan bukti elektronik di negara lain yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Analisa atas pengaturan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik di kedua negara tersebut berguna dalam kaitannya dengan usaha melakukan perbandingan hukum guna melihat bagaimana pengaturan dimaksud dilakukan di negara-negara yang dapat dianggap lebih maju dibandingkan Indonesia, khususnya dalam hal penanganan terhadap bukti elektronik. Pada Bab 4 penulis menyampaikan analisis penelitian yang dikaitkan dengan data yang terdapat pada Bab 2 dan Bab 3 serta hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap para informan, sehingga dapat terlihat gambaran yang jelas perihal bagaimanakah praktek para penegak hukum di Indonesia pada saat ini ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam rangka penanganan suatu perkara pidana. Dalam hal ini sumber informasi tersebut didapatkan dari penyidik yang bertugas di Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan penyidik yang bertugas di Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu disampaikan pula analisa atas pandangan Akademisi di bidang Hukum Telematika dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan praktisi / ahli digital forensik Pusat Laboratorium Forensik Bidang Fisika Dan Komputer Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia serta praktisi / ahli digital forensik swasta pada JARNUS Digital Forensic (PT. Jaringan Nusantara) terhadap praktek penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia pada saat ini dan saat yang akan datang terkait dengan pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia khususnya yang terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Akhirnya pada Bab 5 yang merupakan bagian akhir dari penelitian ini, penulis membuat kesimpulan berdasarkan data dan hasil analisa terkait dengan jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah diberikan oleh para informan. Kemudian bertitik tolak dari hal tersebut penulis berusaha memberikan rekomendasi terkait tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia dalam rangka pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia.
Universitas Indonesia
BAB 2 PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BERDASARKAN KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Sebelum melakukan pembahasan yang lebih spesifik atas tema besar dari penelitian ini, yaitu penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, maka merupakan sesuatu yang logis apabila terlebih dahulu dipahami tentang apakah yang dimaksud dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan itu sendiri. Kemudian perlu pula dilihat bagaimana ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia pada saat ini mengatur tindakan-tindakan tersebut.
2.1. PENGGELEDAHAN Apabila mendengar kata penggeledahan, gambaran umum atas tindakan tersebut adalah suatu suasana dimana terdapat seseorang ataupun beberapa orang petugas mendatangi tempat atau rumah kediaman ataupun mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang. Kemudian petugas tersebut memeriksa segala sudut rumah ataupun memeriksa sekujur tubuh orang yang digeledah.93 Dalam mengumpulkan bahan-bahan, keterangan maupun barang yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, penyidik seringkali perlu untuk melakukan tindakan penggeledahan rumah atau badan.94 Terkait dengan hal tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan penggeledahan sebagai proses, cara, perbuatan menggeledah; pemeriksaan (orang, rumah, dsb) untuk mencari sesuatu.95 Sementara Black’s Law Dictionary mendefinisikan tindakan penggeledahan atau search sebagai ”an examination of a person’s body, property, or other area that the person would reasonably be expected to consider as private, conducted by law-enforcement officer for the purpose of finding evidence of crime.”96
93
Harahap, op. cit. hal. 248.
94
Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 52. 95
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, op. cit.
96
Garner, op. cit..
42
Dari gambaran umum atas tindakan penggeledahan tersebut, sekilas dapat dipahami apakah yang dimaksud dengan tindakan penggeledahan. Namun tentunya perlu juga untuk diketahui secara pasti apakah yang dimaksud dengan tindakan penggeledahan berdasarkan sistem hukum Indonesia. Pasal 32 KUHAP menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan Penggeledahan Rumah atau Penggeledahan Pakaian atau Penggeledahan Badan menurut tata cara yang ditentukan dalam UndangUndang.97 Dikaitkan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai sumber atau rujukan umum hukum acara pidana di Indonesia memang tidak memberikan suatu definisi tentang apa yang dimaksud dengan kata ”penggeledahan”. Definisi yang terdapat di dalam KUHAP justru merupakan definisi yang lebih spesifik sifatnya, yaitu berupa pendefinisian atas frasa ”Penggeledahan Rumah”, ”Penggeledahan Badan” dan ”Penggeledahan Pakaian”.98 KUHAP mendefinisikan Penggeledahan Rumah sebagai tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.99 Andi Hamzah dan Irdan Dahlan mendefinisikan tindakan Penggeledahan Rumah ini sebagai ”tindakan memasuki rumah untuk mencari barang bukti yang diperkirakan dijadikan alat untuk melakukan kejahatan atau memperjelas kejahatan yang telah dilakukan.”100
97
Indonesia (A), op. cit., Pasal 32.
98
Bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, dimana selain mengatur tentang Penggeledahan Rumah, Penggeledahan Badan dan Penggeledahan Pakaian, maka kepada Penyidik Bea Dan Cukai diberi wewenang untuk juga melakukan penggeledahan tempat atau sarana pengangkut beserta barang yang terdapat di dalamnya. Lihat Kuffal, op. cit., hal. 64. 99
Indonesia (A), op. cit., Pasal 1 angka 17.
100
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 69.
Universitas Indonesia
43
Selanjutnya, Penggeledahan Badan dalam KUHAP didefinisikan sebagai ”tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.”101 Sedangkan untuk arti dari Penggeledahan Pakaian menurut KUHAP adalah ”tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada untuk disita.”102 Tindakan penggeledahan merupakan tindakan yang salah satu tujuan pelaksanaannya adalah dalam rangka mengumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana.103 Dalam kaitannya dengan tindakan penggeledahan, KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana yang secara umum
mengatur
proses
atau
mekanisme
dalam
melakukan
tindakan
penggeledahan menyatakan bahwa ”untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan Penggeledahan Rumah atau Penggeledahan Pakaian atau Penggeledahan Badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.”104 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka apabila ditinjau dari segi hukum, penggeledahan merupakan tindakan penyidik yang dibenarkan oleh Undang-Undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Bahkan tindakan yang dilakukan penyidik tersebut tidak hanya terbatas
untuk
melakukan
pemeriksaan,
namun
juga dapat
melakukan
penangkapan dan penyitaan.105 Pada dasarnya seseorang tidak boleh memasuki dan menginjak pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi di pakaian atau di badan orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan.106 Hal inilah yang kemudian membuat
101
Indonesia (A), op. cit., Pasal 1 angka 18.
102
Ibid.
103
Harahap, op. cit..
104
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 32.
105
Harahap, op. cit.
106
Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hal. 45.
Universitas Indonesia
44
tindakan penggeledahan apabila ditinjau dari segi hak asasi merupakan tindakan yang dapat dikatakan melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi karena UndangUndang mengatur dan memperbolehkan dilakukannya tindakan ini, maka mau tidak mau terpaksa hak asasi tersebut ”dilanggar” demi untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan dalam rangka menegakkan hukum dan ketertiban masyarakat.107
2.1.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan penggeledahan merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia yang ”diperbolehkan”. Oleh karena itu maka tentunya tidak semua orang dapat begitu saja melakukan penggeledahan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang penggeledahan yang terdapat dalam KUHAP, mulai dari Pasal 32 sampai dengan Pasal 37, maka dapat disimpulkan bahwa Penuntut Umum pada tingkat Penuntutan dan Hakim pada semua
tingkat
peradilan
tidak
dibenarkan
untuk
melakukan
tindakan
penggeledahan. Dengan demikian maka penggeledahan hanya dapat dilakukan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan.108 Hukum acara pidana memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan, namun hal tersebut tidak berarti bahwa penyidik dapat dengan
sewenang-wenang
melakukan
tindakan
penggeledahan
tersebut.
Penggeledahan yang dilakukan tetap harus memenuhi syarat-syarat dan tata cara tertentu. Karena apabila suatu tindakan penggeledahan dilakukan dengan tidak berdasarkan ketentuan atau syarat-syarat serta tata cara yang ada tersebut, maka penggeledahan tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan pelaku penggeledahan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 167 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), sementara apabila tindakan penggeledahan yang sewenang-wenang tersebut dilakukan oleh pegawai negeri dalam melakukan pekerjaan jabatannya, yang dalam hal ini misalnya penyidik, maka ia dapat
107
Harahap, op. cit.
108
Afiah, op. cit., hal. 46.
Universitas Indonesia
45
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.109 Lebih lanjut, syarat-syarat serta tata cara untuk melakukan tindakan penggeledahan adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 37 KUHAP.110 Dalam hal ini Pasal 33 KUHAP mengatur bahwa
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.111
Sementara itu Pasal 34 KUHAP mengatur juga bahwa
(1)
(2)
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan. a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda
109
Ibid., hal. 46-47.
110
Ibid., hal. 48.
111
Indonesia (A), op. cit., Pasal 33.
Universitas Indonesia
46
yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.112
Kemudian, masih terkait dengan syarat-syarat serta tata cara dalam melakukan penggeledahan, Pasal 37 KUHAP mengatur bahwa
(1)
(2)
Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.113
Setelah melihat ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP telah mengatur dengan jelas siapa sajakah yang dapat melakukan tindakan penggeledahan, yaitu penyelidik dan penyidik. Dalam hal ini penyelidik hanya berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap tersangka pada saat penyelidik melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut. Penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyelidik itu pun terbatas hanya pada menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta oleh tersangka tersebut, dan hal ini pun dilakukan apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Sementara itu wewenang penyidik untuk melakukan penggeledahan terhadap tersangka meliputi wewenang untuk melakukan penggeledahan rumah tersangka, halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya, setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau
112
Ibid., Pasal 34.
113
Ibid., Pasal 37.
Universitas Indonesia
47
ada, tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, tempat penginapan dan tempat umum lainnya dan penggeledahan terhadap badan114 tersangka.115 Lebih lanjut, terkait dengan tindakan Penggeledahan Rumah, KUHAP juga telah membuat pengaturan yang terbagi berdasarkan kondisi atau keadaan saat dilakukannya penggeledahan tersebut, yaitu Penggeledahan Rumah dalam keadaan biasa dan Penggeledahan Rumah dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.116 Penggeledahan Rumah dalam keadaan biasa sebenarnya merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk membedakan dengan Penggeledahan Rumah dalam keadaan sangat perlu dan mendesak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka Penggeledahan Rumah dalam keadaan biasa ini dilakukan dengan cara-cara aturan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 KUHAP. Tata cara penggeledahan yang diatur dalam Pasal 33 KUHAP tersebut pada dasarnya merupakan aturan pedoman umum untuk melakukan tindakan penggeledahan. Artinya semaksimal mungkin setiap tindakan penggeledahan yang dilakukan selalu berpedoman pada ketentuan pasal tersebut. Apabila terdapat keadaan yang luar biasa atau dalam hal yang sangat perlu atau mendesak baru lah dapat dipergunakan mekanisme yang berbeda.117 Dalam keadaan biasa, Penggeledahan Rumah dilakukan dengan cara penyidik terlebih dahulu harus mengajukan permintaan izin untuk melakukan penggeledahan rumah atau tempat tertutup lainnya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Apabila dalam penggeledahan rumah atau tempat tertutup 114
Dalam kaitannya dengan penggeledahan badan, KUHAP mengatur bahwa yang dimaksud dengan penggeledahan badan adalah meliputi pemeriksaan rongga badan. Apabila penggeledahan badan dilakukan terhadap seorang wanita, maka yang melakukan penggeledahan pun haruslah seorang penyidik wanita. Dan apabila penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, maka penyidik diharuskan meminta bantuan kepada pejabat kesehatan. Lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 37 KUHAP. 115
Menurut R. Soesilo, tujuan dari dilakukannya penggeledahan pakaian dan atau penggeledahan badan tersangka adalah pertama, untuk menjaga jangan sampai pada waktu orang itu dibawa sekonyong-konyong mencabut senjatanya dan menyerang pada polisi, supaya dapat melarikan diri. Dan kedua adalah agar jangan sampai orang itu sekonyong-konyong membuang misalnya barang yang habis dicuri (ia curi) untuk menghilangkan bukti. Lihat R. Soesilo, Taktik Dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil, (Bogor: Politeia, 1980), hal. 133. 116
Afiah, op. cit., hal. 49.
117
Harahap, op. cit. hal. 251.
Universitas Indonesia
48
lainnya tersebut diperlukan pula tindakan pemeriksaan dan penyitaan surat lain, maka dalam mengajukan surat izin Penggeledahan Rumah tersebut dicantumkan pula permintaan izin khusus untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan penyitaan surat-surat lain yang dimaksud.118 Dalam hal ini, tujuan dari keharusan adanya surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat tersebut adalah dimaksudkan untuk menjamin hak asasi seseorang atas kediamannya dan agar penggeledahan yang dilakukan tidak menjadi upaya yang dengan mudah dipergunakan oleh penyidik tanpa pembatasan dan pengawasan.119 Hal ini dilakukan demi untuk membatasi
pelaksanaan
penggeledahan
yang
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan dan agar penggeledahan tersebut tidak dipergunakan secara sewenang-wenang.120 Selanjutnya terdapat pula model Penggeledahan Rumah yang kedua, yaitu Penggeledahan Rumah yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan terminologi ”keadaan yang sangat perlu dan mendesak” adalah bilamana di tempat yang hendak digeledah diduga keras terdapat tersangka yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.121 Penggeledahan Rumah yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri dimana Penggeledahan Rumah tersebut akan dilakukan. Dalam
118
Afiah, op. cit.
119
Alasan mengapa suatu penggeledahan harus terlebih dahulu mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat atau dalam keadaan mendesak harus segera meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dimaksudkan sebagai tindakan “pengawasan” dan “koreksi” bagi penyidik. Hal ini dikarenakan masalah penggeledahan erat sekali hubungannya dengan Hak Asasi Manusia seperti yang dicantumkan dalam Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights, dimana dinyatakan bahwa tiada seorang jua pun diperbolehkan mencampuri secara sewenangwenang kehidupan pribadi, keluarga, tempat tinggal, surat menyurat orang lain. Lihat Harahap, op. cit., hal. 250. 120
Ibid., hal. 251-252.
121
Lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 34 ayat (1) KUHAP.
Universitas Indonesia
49
hal ini, setelah Penggeledahan Rumah tersebut dilakukan, penyidik diwajibkan untuk segera melaporkan tindakan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan atas tindakan Penggeledahan Rumah yang telah dilakukan tersebut.122
2.1.2. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Setelah tergambar dengan jelas perihal siapakah yang berwenang untuk melakukan tindakan penggeledahan dan syarat apakah yang harus terpenuhi saat akan melakukan tindakan penggeledahan, selanjutnya akan diuraikan perihal tata cara untuk melakukan tindakan penggeledahan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan Penggeledahan Rumah terbagi dalam dua model, yaitu Penggeledahan Dalam Keadaan Biasa dan Penggeledahan Dalam Keadaan Yang Sangat Perlu Dan Mendesak. Oleh karena itu maka pembahasan selanjutnya pun akan terbagi dalam dua model penggeledahan tersebut.
2.1.2.1. Penggeledahan Rumah Dalam Keadaan Biasa Dalam hukum acara pidana di Indonesia, tata cara melakukan tindakan penggeledahan diatur dalam Pasal 125, 126 dan 127 KUHAP. Dalam hal ini Pasal 125 KUHAP mengatur bahwa ”dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya.”123 Setelah hal tersebut dilakukan, maka barulah kemudian dilaksanakan tindakan penggeledahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 33 KUHAP. Artinya, bila tindakan penggeledahan dilakukan dalam keadaan biasa maka setelah menunjukkan tanda pengenalnya tersebut, penyidik memperlihatkan pula Surat Penetapan Izin Penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dan Surat Perintah Penggeledahan.124
122
Afiah, op. cit., hal. 49-51.
123
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 125. Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 125 KUHAP ini menjelaskan bahwa Pasal tersebut dibuat untuk menghindari tindakan sewenangwenang yang dilakukan terhadap seseorang. 124
Afiah, op. cit., hal. 56.
Universitas Indonesia
50
Selanjutnya penggeledahan dilakukan dengan tata cara sebagaimana telah diatur dalam Pasal 33 KUHAP yaitu bahwa Penggeledahan Rumah yang dilakukan oleh penyidik harus disaksikan oleh dua orang saksi125 dalam hal tersangka
atau
penghuni
rumah
yang
digeledah
menyetujui
tindakan
penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik atau disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan disertai dua orang saksi dalam hal penghuni menolak atau tidak hadir dalam Penggeledahan Rumah tersebut. Kemudian, KUHAP mengatur pula bahwa penyidik diwajibkan untuk membuat suatu Berita Acara tentang jalannya penggeledahan serta hasil dari penggeledahan rumah yang telah dilakukan.126 Berita Acara tersebut wajib diselesaikan dalam waktu dua hari setelah penyidik melakukan penggeledahan rumah dan kemudian turunan dari Berita Acara tersebut disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.127 Dalam hal ini, ketika penyidik menyerahkan turunan Berita Acara Penggeledahan tersebut kepada pemilik atau penghuni rumah yang digeledah, KUHAP mengatur bahwa sebelum turunan Berita Acara tersebut diserahkan, penyidik diharuskan terlebih dahulu membacakan Berita Acara tentang penggeledahan rumah tersebut kepada yang bersangkutan dan kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan/atau Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan disertai dua orang saksi. Dan apabila tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya dalam Berita Acara Penggeledahan tersebut, maka hal tersebut dicatat dalam suatu berita acara dengan menyebutkan alasannya.128 Selanjutnya KUHAP juga mengartur bahwa dalam rangka terjaganya keamanan
dan ketertiban penggeledahan
rumah, maka penyidik
dapat
125
Berdasarkan Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 33 ayat (4) KUHAP, maka yang dimaksud dengan "dua orang saksi" adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan "ketua lingkungan" adalah ketua atau wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil ketua rukun tetangga, ketua atau wakil ketua rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat. 126
Indonesia (A), op. cit., Pasal 126 ayat (1).
127
Ibid., Pasal 33 ayat (5).
128
Ibid., Pasal 126 ayat (2) dan (3).
Universitas Indonesia
51
mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang digeledah.129 Dalam hal ini, penyidik pun kemudian juga menjadi berhak untuk memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan tempat penggeledahan tersebut selama penggeledahan berlangsung.130 Demikianlah tata cara yang harus ditaati ketika penyidik melakukan tindakan Penggeledahan Rumah dalam keadaan biasa.
2.1.2.2. Penggeledahan Rumah Dalam Keadaan Yang Sangat Perlu Dan Mendesak Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, tindakan penggeledahan yang dilakukan pada dasarnya tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dengan mekanisme yang agak serupa dengan penggeledahan dalam keadaan biasa, dalam model penggeledahan yang kedua ini, penyidik juga diwajibkan memperlihatkan tanda pengenalnya, namun selanjutnya penyidik yang akan melakukan penggeledahan hanya diwajibkan memperlihatkan Surat Perintah Penggeledahan.131 Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, penggeledahan pada model ini dapat langsung dilaksanakan tanpa lebih dahulu ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 34 KUHP mengatur bahwa tempat dilakukannya penggeledahan dapat meliputi hampir segala tempat yang memungkinkan untuk dilakukan penggeledahan. Hal ini berbeda dengan penggeledahan dalam keadaan biasa yang diatur dalam Pasal 33 KUHAP. Dalam penggeledahan dalam keadaan biasa pada saat penyidik mengajukan permohonan izin penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, penyidik harus menyebut secara tegas dan tertentu tempat atau rumah yang hendak digeledah. Lalu atas permintaan objek penggeledahan yang tertentu ini pula maka kemudian Ketua Pengadilan Negeri memberikan Surat Izin
129
Ibid., Pasal 127 ayat (1).
130
Ibid., Pasal 127 ayat (2).
131
Afiah, op. cit. Bandingkan pula dengan pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa dalam keadaan yang sedemikian rupa mendesaknya maka perintah penggeledahan dapat diberikan cukup secara lisan. Lihat dalam Harahap, op. cit., hal. 256.
Universitas Indonesia
52
Penggeledahan. Dengan demikian maka tempat dan objek penggeledahan sudah tertentu dan terbatas, sehingga tidak dapat dilakukan ke tempat dan objek lain.132 Lebih lanjut, KUHAP juga mengatur bahwa penyidik yang melakukan penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tidak diperkenankan memeriksa atau menggeledah surat, buku dan tulisan lainnya yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap benda yang berhubungan dan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana penyidik dapat memeriksa atau menggeledahnya.133 Dalam tindakan penggeledahan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, tidak diperlukan kehadiran saksi maupun kepala desa. Demikian juga halnya dengan kesediaan atau persetujuan tersangka maupun penghuni rumah yang akan digeledah juga tidak perlu dipertanyakan. Setuju atau tidak setuju penggeledahan dalam keadaan ini dapat terus dijalankan.134 Tata cara selanjutnya dalam penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini pada dasarnya serupa dengan tata cara penggeledahan yang dilakukan dalam keadaan biasa, yaitu bahwa dalam waktu paling lama dua hari setelah dilakukan penggeledahan, penyidik membuat Berita Acara Penggeledahan yang berisi jalannya dan hasil penggeledahan tersebut dan selain itu penyidik juga diharuskan melaporkan penggeledahan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam laporan tersebut penyidik meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas penggeledahan yang telah dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tersebut.135
2.1.2.3. Penggeledahan Pakaian Dan Penggeledahan Badan Tindakan penggeledahan pakaian dan badan adalah pemeriksaan yang langsung mengenai manusia atau tubuh manusia. Berbeda dengan Penggeledahan
132
Harahap, op. cit., hal. 256.
133
Kuffal, op. cit., hal. 60.
134
Harahap, op. cit., hal. 256-257.
135
Ibid., hal. 257.
Universitas Indonesia
53
Rumah, pemeriksaan penggeledahan badan, terutama yang berkenaan dengan pemeriksaan rongga badan pada dasarnya sangatlah menyinggung perasaan dan kehormatan harga diri yang diperiksa, terlebih lagi bagi wanita yang dekat sekali hubungannya dengan kesusilaan, adat istiadat dan keagamaan.136 Dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ternyata tidak memberikan aturan perihal bagaimanakah tata cara melakukan tindakan Penggeledahan Pakaian dan Penggeledahan Badan.137
136
Ibid., hal. 261.
137
Terkait dengan tidak adanya pengaturan yang komprehensif dalam KUHAP perihal Penggeledahan Badan ini, menarik untuk disikapi tindakan penggeledahan badan yang cukup sering dilakukan oleh pihak Kepolisian pada saat dilakukannya razia di berbagai tempat. Dalam hal ini Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA mengatakan kepada Penulis bahwa tindakan semacam ini tentunya melanggar privasi dari orang yang digeledah. Beliau menyatakan seringkali ditemukan penumpang bus umum diminta untuk turun dari bus yang ditumpanginya untuk kemudian digeledah. Selain itu di Bandar Udara cukup sering terjadi seseorang digeledah oleh pihak pengamanan Bandar Udara tersebut. Hal ini tentunya membutuhkan pengaturan yang jelas perihal dasar pelaksanaan serta tata caranya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut memang menarik untuk dilihat pula pendapat yang dikemukakan oleh DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH, MH yang menyatakan bahwa hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur prosedur baku untuk melakukan razia di tempat umum. Namun, razia harus dilakukan dengan tetap memperhatikan etika. Menurutnya meski tidak ada prosedur baku tentang razia, aparat penegak hukum harus memahami situasi dan kondisi. Menurutnya, polisi sebaiknya masuk dengan penyamaran sehingga tidak mengganggu kenyamanan pengunjung di tempat yang digerebek sekaligus berhasil menangkap target. Menurutnya tidak tepat kalau melakukan razia dengan pengerahan pasukan seperti mau menangkap teroris, harus dengan ada etika. Karena dalam beberapa kasus kan setelah diketahui ada pasukan polisi, mereka yang akan dirazia dapat saja membuang barang bukti. Dengan menyamar, kemungkinan berhasil lebih tinggi. Rudi Satriyo lebih lanjut menyatakan bahwa razia adalah upaya polisi untuk menemukan dalam kondisi belum tahu apa-apa tapi mencurigai ada transaksi dan ada laporan dari masyarakat. Kalau memang ditemukan barang bukti, langsung dilakukan penangkapan. Lihat “Tidak Ada Prosedur Baku, Razia Harus Perhatikan Etika”, , diakses tanggal 17 Januari 2013. Sehubungan dengan hal tersebut Penulis berpendapat bahwa memang KUHAP belum memberikan pengaturan yang jelas, namun menurut Penulis razia semacam itu dapat dibenarkan karena terkait dengan upaya Kepolisian dalam menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta penanggulangan kejahatan. Apabila razia yang dilakukan adalah razia kendaraan bermotor, maka hal tersebut menurut Penulis seharusnya tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Dalam hal ini razia yang dilakukan tersebut dikenal dengan istilah Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 264 UU Nomor 22 Tahun 2009 tersebut. Pelaksanaannya tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 265 ayat (1) dan (3) UU No. 22 Tahun 2009. Artinya pemeriksaan yang dilakukan hanya meliputi pemeriksaan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor; tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji; fisik Kendaraan Bermotor; daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau izin penyelenggaraan angkutan. Selain itu pemeriksaan yang dilakukan juga harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1993 Tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan, yaitu bahwa petugas Kepolisian
Universitas Indonesia
54
_________________________ yang melakukan pemeriksaan harus dilengkapi dengan Surat Tugas yang sekurang-kurangnya memuat alasan dan jenis pemeriksaan, waktu pemeriksaan, tempat pemeriksaan, penanggungjawab dalam pemeriksaan, daftar petugas pemeriksa dan daftar pejabat penyidik yang ditugaskan selama dalam pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PP No. 42 Tahun 1993. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 15 PP No. 42 Tahun 1993, pada tempat pemeriksaan wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor dan tanda tersebut ditempatkan pada jarak sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter sebelum tempat pemeriksaan. Apabila pemeriksaan dilakukan pada malam hari, maka wajib pula dipasang lampu isyarat bercahaya kuning terang. Dalam hal ini pemeriksa yang melakukan tugas pemeriksaan pun wajib menggunakan pakaian seragam, atribut yang jelas, tanda-tanda khusus sebagai petugas pemeriksa, dan perlengkapan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 42 Tahun 1993. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 PP No. 42 Tahun 1993 tersebut, petugas Kepolisian yang melakukan pemeriksaan memang memiliki wewenang untuk menghentikan kendaraan bermotor, meminta keterangan kepada pengemudi serta melakukan pemeriksaan terhadap surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan, surat tanda coba kendaraan, tanda nomor kendaraan bermotor atau tanda coba kendaraan bermotor. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan tidak terdapat wewenang untuk melakukan penggeledahan. Dengan demikian maka apabila petugas Kepolisian yang melakukan Pemeriksaan tersebut hendak melakukan tindakan penggeledahan terhadap yang diperiksanya maka petugas Kepolisian tersebut harus memiliki Surat Izin Penggeledahan terhadap objek yang akan digeledahnya, atau dapat juga penggeledahan dilakukan terlebih dahulu mengingat kondisi yang darurat dan mendesak, baru kemudian setelah penggeledahan selesai dilakukan dimintakan persetujuan atas penggeledahan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Situasi semacam ini membuat Prof. Mardjono Reskodiputro, SH, MA menyarankan perlunya dibuat semacam “Hakim Jaga” yang selalu siap untuk dimintakan Surat Izin Penggeledahan dalam kondisi semacam itu. Lebih lanjut, apabila razia yang kemudian diikuti dengan tindakan penggeledahan badan dilakukan tidak dalam rangka Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, seperti misalnya razia yang diikuti dengan tindakan penggeledahan badan di tempat-tempat hiburan malam dan penggeledahan badan yang dilakukan di Bandar Udara, maka menurut Penulis dilaksanakannya tindakan penggeledahan badan pada saat-saat dan tampat-tempat semacam itu dapat pula dibenarkan dalam rangka pencegahan atau penanggulangan kejahatan. Tindakan penggeledahan badan yang dilakukan pada kondisi semacam itu memang sebaiknya diatur secara jelas. Artinya memang ada baiknya dibuat suatu ketentuan yang jelas untuk mengatur tindakan-tindakan penggeledahan badan semacam itu. Selama ini yang mungkin menjadi dasar pihak Kepolisian untuk melakukan penggeledahan badan semacam itu adalah Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan tugas pokok tersebut Kepolisian Republik Indonesia memiliki berbagai macam wewenang yang diantaranya adalah mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat serta melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan. Hal inilah yang kemudian nampaknya dijadikan dasar bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan penggeledahan badan dimaksud. Apabila praktek penggeledahan badan yang terjadi di Indonesia tersebut kita coba bandingkan dengan praktek yang terjadi di negara lain, maka di Amerika Serikat pun tindakan penggeledahan badan serupa juga dapat kita temukan. Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Amerika Serikat terdapat beberapa jenis tindakan penggeledahan badan yang dikecualikan dari ketentuan Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat. Artinya penggeledahan badan yang dilakukan dapat dilaksanakan tanpa adanya Search Warrant. Dalam hal ini tindakan penggeledahan badan yang dikecualikan tersebut adalah ketika melakukan penggeledahan badan yang dikenal dengan istilah Stop and Frisk (menyuruh berhenti seseorang dan kemudian menggeledahnya), Plain Feel (ketika dilakukan penggeledahan badan petugas merasakan adanya benda yang mencurigakan namun bukan senjata tajam atau senjata api, misalnya butir-butir pil psikotropika), Border Searches and Profiles (penggeledahan badan yang dilakukan pada pintu
Universitas Indonesia
55
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka KUHAP hanya mengatur bahwa penggeledahan badan yang dilakukan terhadap seorang wanita, maka yang melakukan penggeledahan pun haruslah seorang penyidik wanita. Dan apabila penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, maka penyidik diharuskan meminta bantuan kepada pejabat kesehatan. Sedangkan mengenai tata caranya, sekiranya dapat diikuti tata cara penggeledahan sebagaimana dikemukakan oleh R. Soesilo, yaitu bahwa penggeledahan dimulai dari kepala (tutup kepala) meluncur ke bawah dan selesai pada sepatu-sepatunya. R. Soesilo juga mengingatkan agar penyidik dan/atau penyelidik yang melakukan penggeledahan tersebut
...tidak lupa untuk menggerayangi ketiak-ketiak, pinggang, di dalam kakikaki celana. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan haruslah betul-betul menggerayangi, jangan hanya menyentuh dan memukul-mukul beberapa bagian badan saja. Seluruh badan harus digerayangi tanpa terkecuali karena siapa tahu ada barang-barang kecil yang dapat disembunyikan.138
2.2. PENYITAAN Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, untuk mendapatkan bukti atau barang bukti telah terjadinya suatu tindak pidana, salah satu caranya penyidik dapat memperolehnya melalui tindakan penggeledahan. Namun demikian ada beberapa cara lain bagi penyidik untuk mendapatkan barang bukti tersebut, yaitu diperoleh dari pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), diserahkan secara langsung oleh saksi pelapor atau tersangka pelaku tindak pidana, diambil dari
_________________________ perbatasan suatu negara dan penggeledahan badan terhadap orang-orang tertentu yang aktifitasnya mencurigakan), Motor Vehicles and Roadblocks (penggeledahan badan yang dilakukan pada saat dilaksanakannya razia kendaraan dan blokade jalan), Airport Searches (penggeledahan badan di Badara Udara), Searches of Prisoners (penggeledahan badan yang dilakukan terhadap narapidana di dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan). Untuk pembahasan yang lebih lengkap atas halhal tersebut dapat dilihat dalam Daniel E. Hall, Criminal Law And Procedure, 5th ed., (New York: Delmar, Cengage Learning, 2009), hal. 347-371. dan dalam Joel Samaha, Ciminal Procedure, 8th ed., (Wadsworth: Cengage Learning, 2012), hal. 82-137, 219-227, 234-241. 138
Soesilo, op. cit., hal. 134.
Universitas Indonesia
56
pihak ketiga dan dapat pula berupa barang temuan.139 Setelah melalui cara-cara tersebut berhasil ditemukan barang bukti yang dapat mendukung pembuktian kesalahan tersangka atau telah dapat dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh penyidik terhadap benda-benda tersebut adalah menahannya untuk sementara guna kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan sidang peradilan. Dalam hal ini tindakan penyidik melakukan hal tersebut dalam KUHAP disebut sebagai tindakan Penyitaan, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah inbeslagneming.140 Pada umumnya tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik mempunyai hubungan dengan tindakan penyitaan benda untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.141 Istilah penyitaan ini harus dibedakan dengan istilah perampasan (verbeurdverklaring), yang artinya barang tersebut diambil alih dari pemiliknya, dengan tujuan mencabut hak milik atas barang itu untuk dipergunakan bagi kepentingan negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Dengan demikian berbeda halnya dengan penyitaan yang bersifat sementara, yang kemudian apabila sudah tidak dipergunakan lagi akan dikembalikan kepada orang yang berhak, sifat dari perampasan bukanlah sementara, melainkan mencabut hak milik atas benda tersebut untuk selamalamanya. Perampasan ini merupakan sebuah tindakan yang dijatuhkan Hakim ketika menjatuhkan pidana tambahan terhadap seseorang.142 Penyitaan didefinisikan oleh Darwan Prints sebagai
suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik tersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada
139
Afiah, op. cit., hal. 69.
140
Ibid.
141
Kuffal, op. cit., hal. 64-65.
142
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 101-102.
Universitas Indonesia
57
hubungannya dengan pembuktian.143
suatu
tindak
pidana
dan
berguna
untuk
Kemudian, berdasarkan terminologi peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 16 KUHAP menyatakan bahwa
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambi alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.144
Oleh karena itu maka secara harafiah penyitaan merupakan pengambilalihan dan penguasaan milik orang lain dan dengan sendirinya hal itu tentunya langsung menyentuh dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang pokok, yaitu merampas penguasaan atas milik orang lain.145 Lebih lanjut, tindakan penyitaan dapat dilakukan berdasarkan Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan di TKP dan/atau Laporan Hasil Penyidikan dan/atau Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan/atau Berita Acara Pemeriksaan Tersangka. Dalam hal ini penyitaan dapat dilakukan apabila penyidik memperoleh keterangan dari hal-hal tersebut tentang adanya benda atau benda-benda yang lain yang dapat dan perlu disita guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pembuktian di sidang pengadilan.146 Penyitaan penting untuk dilakukan karena seorang tersangka yang memang bersalah biasanya akan berusaha agar kesalahannya tersebut tidak diketahui. Salah satu cara tersangka tersebut mewujudkan keinginannya itu adalah dengan berusaha menghilangkan bukti-bukti yang dapat memberatkannya, buktibukti yang dapat membuktikan kesalahan tersangka tersebut. Dalam hal ini
143
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989),
144
Indonesia (A), op. cit., Pasal 1 angka 16.
hal. 54.
145
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 151. 146
Afiah, op. cit., hal. 71.
Universitas Indonesia
58
tentunya si tersangka dapat saja untuk menghilangkan jejak kejahatannya melakukan tindakan-tindakan seperti merusak, menyembunyikan, membuang atau memindah-tangankan benda-benda yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukannya sehingga akan sulit bagi penyidik dan penuntut umum nantinya untuk membuktikan kesalahan tersangka tersebut.147 Bila terhadap bukti-bukti yang ada tidak dilakukan penyitaan, maka kemungkinan besar hal tersebut akan dapat terjadi.
2.2.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penyitaan Penyitaan
adalah
tindakan
hukum
yang
dilakukan
pada
tahap
penyidikan.148 Oleh karena itu, apabila diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP jo. Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, maka jelas sekali bahwa yang berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan adalah Penyidik. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kemungkinan akan adanya tindakan penyitaan dalam tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan di pengadilan. Sehingga seandainya dalam pemeriksaan sidang pengadilan Hakim berpendapat perlu dilakukannya tindakan penyitaan, maka untuk itu Hakim kemudian mengeluarkan penetapan yang memerintahkan Penuntut Umum agar penyidik melakukan penyitaan barang tersebut.149 Meskipun berdasarkan Pasal 13 KUHAP dan Pasal 14 huruf j KUHAP Penuntut Umum diberikan wewenang untuk melaksanakan penetapan Hakim, namun karena perintah tersebut ditujukan kepada Penyidik, maka Penuntut Umum hanya meneruskan saja perintah tersebut kepada Penyidik.150 Dengan demikian maka yang melakukan tindakan penyitaan tetap saja Penyidik. Disamping itu, KUHAP juga mengatur bahwa tindakan penyitaan tidak selalu harus dilakukan sendiri oleh Penyidik. Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1 KUHAP menyatakan bahwa Penyelidik atas perintah Penyidik dapat juga
147
Ibid., hal. 72.
148
Harahap, op. cit., hal. 265.
149
Ibid.
150
Afiah, op. cit., hal. 72.
Universitas Indonesia
59
melakukan tindakan penyitaan.151 Selain dari Penyelidik, Penyidik Pembantu juga diberikan wewenang oleh Pasal 11 KUHAP untuk melakukan tindakan penyitaan.152 Sedangkan dalam tindak pidana tertentu atau khusus, selain dari para pejabat yang telah disebutkan sebelumnya, Jaksa dan Pejabat Penyidik Khusus lainnya juga diberikan kewenangan sesuai Undang-Undang yang mengaturnya untuk melakukan penyitaan.153 Setelah jelas tentang siapakah yang berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan, maka selanjutnya akan dibahas perihal syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan suatu tindakan penyitaan. Mengingat tindakan penyitaan merupakan tindakan yang sangat erat kaitannya dengan hak milik orang lain yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, maka KUHAP telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi terkait dengan tindakan penyitaan tersebut. Dalam hal ini Pasal 38 KUHAP menyatakan
(1) (2)
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.154
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 KUHAP tersebut, maka terlihat bahwa tindakan penyitaan pun juga terbagi dalam dua model, yaitu penyitaan yang dilakukan dalam keadaan biasa dan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
151
Indonesia (A), op. cit., Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1.
152
Ibid., Pasal 11.
153
Afiah, op. cit., hal. 73.
154
Indonesia (A), op. cit., Pasal 38.
Universitas Indonesia
60
Penyitaan yang dilakukan dalam keadaan biasa merupakan tindakan penyitaan yang dapat dikatakan sudah direncanakan terlebih dahulu dan merupakan bentuk umum suatu penyitaan. Artinya selama masih dimungkinkan dan tidak ada hal-hal yang luar biasa atau keadaan yang memerlukan penyimpangan, maka model penyitaan dalam keadaan biasa inilah yang ditempuh oleh penyidik ketika hendak melakukan suatu penyitaan.155 Dalam keadaan biasa tersebut, penyidik diharuskan untuk terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat ketika hendak melakukan penyitaan156. Dalam permintaan tersebut penyidik memberi penjelasan dan alasanalasan pentingnya dilakukan penyitaan, guna memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan dan dalam persidangan di pengadilan.157 Sementara itu, model penyitaan yang selanjutnya adalah penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Dalam hal ini yang dimaksud dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak itu adalah bilamana ada kekhawatiran bahwa benda yang akan disita segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dalam waktu yang singkat.158 Terkait
155
Harahap, op. cit., hal. 266.
156
Keharusan untuk terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum dilakukannya tindakan penyitaan ini menurut DR. Luhut M. P. Pangaribuan, SH, LL.M sangatlah menarik untuk dikaji, terlebih ketika hal tersebut dikaitkan dengan tidak adanya persyaratan serupa ketika penyidik hendak melakukan penahanan terhadap seseorang. Dalam hal ini memang KUHAP tidak memuat aturan yang mengharuskan penyidik untuk terlebih dahulu meminta izin kepada Hakim ataupun Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum melakukan penahanan terhadap seseorang. KUHAP hanya mengatur dalam Pasal 21 bahwa ketika hendak melakukan penahanan, penyidik dapat melakukannya cukup dengan berbekal sebuah subjektifitas bahwa ada keadaan yang menurutnya menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana, tanpa ada kemungkinan pengujian yang objektif terhadap subjektifitas tersebut. Hal ini berbeda dengan tindakan penyitaan yang menuntut pertimbangan obejktif seorang Ketua Pengadilan Negeri setempat atas subjektifitas penyidik yang merasa perlu untuk menyita suatu benda. Menurut DR. Luhut M. P. Pangaribuan, SH, LL.M, begitu ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi ketika hendak melakukan penyitaan dibandingkan dengan ketika hendak melakukan penahanan terhadap seseorang seolah-olah mengesankan bahwa suatu barang itu lebih penting atau berharga dibandingkan dengan hak kebebasan atau kemerdekaan seseorang. 157
Harahap, op. cit.
158
Afiah, op. cit., hal. 74.
Universitas Indonesia
61
dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini, timbul sebuah pertanyaan, bagaimanakah penyitaan yang dilakukan dalam hal tertangkap tangan? Dalam hal ini Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.14.PW.07.03 Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Lampirannya pada butir 10 menyatakan bahwa
Penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan, tidak perlu harus mendapat izin dari ketua pengadilan negeri; akan tetapi setelah penyitaan dilakukan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) karena keadaan tertangkap tangan disamakan pengertiannya dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak.159
Lebih lanjut Keputusan Menteri Kehakiman tersebut juga mengatur bahwa jika penyitaan tersebut dilakukan dalam suatu razia, tidak juga diperlukan izin dari ketua pengadilan. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa tindakan dalam mengadakan razia tersebut adalah merupakan tindakan preventif yang berada di luar jangkauan KUHAP. KUHAP hanya mengatur keadaan setelah tindak pidana terjadi atau lebih bersifat represif.160
2.2.2. Tata Cara Melakukan Penyitaan Setelah tergambar dengan jelas perihal siapakah yang berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan dan syarat apakah yang harus terpenuhi saat akan melakukannya, selanjutnya akan diuraikan perihal tata cara untuk melakukan tindakan penyitaan tersebut. Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, tindakan penyitaan dapat disertai oleh beberapa macam keadaan atau model. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan terbagi dalam keadaan-keadaan yang melatarbelakangi tindakan penyitaan tersebut.
159
Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No. M.14.PW.07.03, Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.14.PW.07.03 Tahun 1983 Tanggal 10 Desember 1983, butir 10. 160
Ibid.
Universitas Indonesia
62
2.2.2.1. Penyitaan Dalam Keadaan Biasa Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penyitaan dalam keadaan biasa ini memang merupakan suatu kegiatan penyitaan yang telah direncanakan. Artinya dalam keadaan seperti ini, sebelum dilakukannya tindakan penyitaan penyidik telah dan harus mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk kelancaran penyitaan tersebut. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh penyidik yang hendak melakukan penyitaan dalam keadaan biasa, yaitu: a. Mengajukan Surat Permintaan Izin Penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, penyitaan dalam keadaan biasa mensyaratkan terlebih dahulu adanya Surat Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dimana penyitaan tersebut akan dilakukan. Dalam hal ini timbul suatu pertanyaan bagaimana apabila Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan izin penyitaan dimaksud? Upaya apa yang dapat dilakukan penyidik apabila hal ini terjadi? Terkait dengan penolakan semacam itu KUHAP memang tidak mengatur penyelesaiannya. Namun karena bentuk dari surat izin dimaksud adalah sebuah penetapan maka menarik pula untuk dipertimbangkan pendapat dari M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa pada dasarnya penyidik dapat meminta atau mengajukan perlawanan kepada Ketua Pengadilan Tinggi agar penetapan yang menolak memberikan izin penyitaan tersebut dibatalkan. Sebab apabila tidak dibuka perlawanan terhadap penolakan pemberian izin penyitaan, maka artinya sekali Ketua Pengadilan Negeri menolak maka penyidik tidak dapat lagi mengajukan izin ataupun persetujuan penyitaan atas benda yang dimaksud, kecuali apabila kemudian ditempuh bentuk atau cara penyitaan tidak langsung.161 b. Membuat Surat Perintah Penyitaan Setelah Surat Izin Penyitaan diperoleh dari Ketua Pengadilan Negeri, maka hal selanjutnya yang harus dipersiapkan oleh Penyidik adalah Surat Perintah Penyitaan. Dalam keadaan yang biasa, Surat Perintah Penyitaan tersebut tentunya dibuat setelah penyidik memperoleh izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri 161
Harahap, op. cit., hal. 266-267.
Universitas Indonesia
63
setempat. Berbeda halnya apabila penyitaan dilakukan dalam keadaan tertangkap tangan. Dalam keadaan biasa petugas yang melakukan penyitaan harus dilengkapi dengan Surat Perintah Penyitaan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik.162
c. Mempersiapkan petugas, peralatan dan kelengkapannya Ketika hendak melakukan penyitaan, maka penyidik sudah harus menentukan petugas dan peralatan serta kelengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan
tindakan
penyitaan
tersebut,
termasuk
untuk
kepentingan
pengangkutan dan pengawasan benda sitaan.163 d. Menentukan atau memperkirakan nama, jenis, sifat, kemasan, jumlah barang yang akan disita Dalam hal ini penyidik hendaknya dapat menentukan atau mengetahui atau setidak-tidaknya dapat memperkirakan antara lain, nama, macam/jenis, sifat, kemasan, jumlah barang yang berkaitan dengan perkara tersebut yang dapat dan perlu dikenakan penyitaan. Hal ini tentunya tergantung pada kasus perkara yang dihadapi oleh penyidik.164 Setelah persiapan-persiapan untuk melakukan penyitaan tersebut selesai dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah tentunya proses atau tata cara pelaksanaan tindakan penyitaan tersebut. KUHAP mengatur pelaksanaan penyitaan pada Pasal 128, Pasal 129 dan Pasal 130. Berdasarkan ketentuanketentuan yang terdapat dalam Pasal–Pasal tersebut, maka tata cara pelaksanaan tindakan penyitaan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Menghubungi Kepala Desa atau Ketua Lingkungan Terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 129 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa ”...dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi”, maka sebelum datang ke tempat dimana
162
Afiah, op. cit., hal. 84-85.
163
Ibid., hal. 84.
164
Ibid.
Universitas Indonesia
64
penyitaan akan dilakukan, penyidik harus terlebih dahulu menghubungi Kepala Desa atau Ketua Lingkungan untuk diminta kesediaannya untuk menjadi saksi dalam pelaksanaan penyitaan tersebut.165 b. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal Setelah meminta kesediaan Kepala Desa atau Ketua Lingkungan untuk menyaksikan pelaksanaan penyitaan tersebut, maka selanjutnya penyidik beserta Kepala Desa atau Ketua lingkungan datang ke tempat dimana penyitaan akan dilaksanakan. Setelah sampai di tempat tersebut penyidik memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 128 KUHAP untuk terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda akan disita.166 Dalam hal ini tanda pengenal yang dimaksud adalah tanda pengenal yang dapat menunjukkan kepada orang yang akan dikenakan penyitaan perihal siapakah orang yang telah datang kepadanya dan menyatakan hendak melakukan penyitaan tersebut. Tanda pengenal disini dapat saja berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM)167 atau misalnya juga Kartu Anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI). Intinya adalah kartu pengenal tersebut dapat menunjukkan bahwa orang tersebut adalah memang orang yang akan melakukan penyitaan dan berwenang untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan kata lain apabila tanda pengenal yang ditunjukkan tersebut dihubungkan dengan nama-nama yang tertera dalam Surat Perintah Penyitaan, maka nama orang yang menunjukkan tanda pengenal tersebut terdapat pula dalam Surat Perintah Penyitaan tersebut. Hal ini penting untuk dilakukan agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa ia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik yang berwenang untuk melakukan penyitaan tersebut. Oleh karena itu dengan adanya ketentuan Pasal 128 KUHAP ini, maka apabila ada orang yang datang dan menyatakan hendak
melakukan penyitaan
165
Ibid., hal. 87.
166
Indonesia (A), op. cit., Pasal 128.
167
Afiah, op. cit.
namun orang tersebut tidak
Universitas Indonesia
65
menunjukkan terlebih dahulu tanda pengenalnya, maka orang yang hendak disita bendanya berhak menolak tindakan dan pelaksanaan penyitaan tersebut.168 c. Memperlihatkan benda yang akan disita Sesuai dengan ketentuan Pasal 129 ayat (1) KUHAP yang menyatakan ”Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat diminta keterangan tentang benda yang akan disita itu...”, maka jelas sekali tindakan selanjutnya yang harus dilakukan setelah penyidik beserta Kepala Desa atau Ketua Lingkungan berada di tempat penyitaan adalah memperlihatkan benda yang akan disita tersebut kepada orang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 129 ayat (1) KUHAP tersebut. Setelah berada di tempat penyitaan penyidik meneliti kebenaran atas benda yang akan disita, yaitu apakah benar benda yang akan disita tersebut merupakan benda yang memang sudah direncanakan untuk disita oleh penyidik atau bukan. Hal ini tentunya dilakukan untuk menjamin adanya kejelasan atas benda yang disita. Lebih lanjut, pada saat penyidik memperlihatkan benda dimaksud kepada orang darimana benda itu akan disita, penyidik dapat sekaligus meminta keterangan kepada orang tersebut tentang asal usul benda yang akan disita.169 Kemudian, setelah penyidik memperlihatkan benda-benda yang akan disita, maka lalu penyidik pun dapat melakukan tindakan penyitaan terhadap benda-benda tersebut. Mengenai hal ini KUHAP memberikan pengaturan dalam Pasal 129 ayat (1) bahwa tindakan tersebut harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi. Artinya adalah ada setidaknya tiga orang yang menjadi saksi dalam tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tersebut. Oleh karena itu maka sebaiknya pada saat akan melakukan penyitaan, penyidik harus membawa sekurang-kurangnya tiga orang saksi tersebut ke tempat penyitaan, yaitu Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dan dua orang lainnya di luar penyidik serta Kepala Desa atau Ketua Lingkungan.170
168
Harahap, op. cit., hal. 267.
169
Ibid.
170
Ibid.
Universitas Indonesia
66
Dalam kaitannya dengan penyitaan KUHAP memang tidak memberikan pengaturan perihal siapakah yang dimaksud dengan dua orang saksi selain dari saksi Kepala Desa atau Ketua Lingkungan. Oleh karena itu sebaiknya memang diikuti aturan sebagaimana digariskan oleh Pasal 33 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa yang menjadi saksi dalam penggeledahan harus diambil dari warga lingkungan yang bersangkutan. Oleh karena itu agar tidak terjadi keraguan dan perbedaan pendapat antara penyidik dan orang yang akan disita dalam menentukan siapa yang akan menjadi saksi penyitaan, penting dianut suatu konsistensi dengan aturan tindakan penggeledahan.171 Terkait dengan tindakan penyitaan ini, maka sebaiknya dilakukan pula pembuatan daftar benda-benda yang disita secara terperinci tentang jumlah atau berat
menurut
jenisnya
masing-masing.
Kemudian
untuk
kepentingan
pengamanan, apabila dianggap perlu benda yang akan disita dilakukan pemotretan terlebih dahulu.172 d. Membuat Berita Acara Penyitaan Setelah semua benda yang hendak disita oleh penyidik selesai dilakukan penyitaannya, maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh penyidik adalah membuat Berita Acara Penyitaan. KUHAP dalam Pasal 129 ayat (2) mengatur perlunya suatu Berita Acara Penyitaan dibuat oleh penyidik. KUHAP mengatur bahwa Berita Acara Penyitaan tersebut harus dibacakan terlebih dahulu oleh penyidik kepada orang darimana benda dimaksud disita atau keluarganya. Kemudian Berita Acara Penyitaan itu pun diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya tersebut dan juga ditandatangani oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dan dua orang saksi lainnya.173 Apabila ternyata orang darimana benda tersebut disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya dalam Berita Acara Penyitaan tersebut, maka hal itu dicatat dalam suatu berita acara dengan
171
Ibid.
172
Afiah, op. cit., hal. 87-88.
173
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 129 ayat (2).
Universitas Indonesia
67
menyebutkan alasan dari penolakan penandatanganan Berita Acara Penyitaan tersebut.174 Setelah itu, maka tindakan selanjutnya adalah penyidik menyampaikan turunan Berita Acara Penyitaan tersebut kepada atasan penyidik, orang darimana benda disita atau keluarganya dan Kepala Desa.175 Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk fungsi kontrol atas tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, yaitu kontrol dari segi struktural dan instansional penyidik dan juga kontrol dari orang atau pihak yang terlibat dalam penyitaan tersebut.176
2.2.2.2. Penyitaan Dalam Keadaan Yang Sangat Perlu Dan Mendesak Tata cara penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak merupakan tata cara yang dikecualikan dari penyitaan dalam keadaan biasa sebagaimana diatur oleh Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberikan kemungkinan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan tanpa menggunakan ketentuan yang digariskan oleh Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Hal ini diperlukan untuk memberi kemudahan kepada penyidik agar dapat bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan.177 Pertanyaan yang timbul kemudian tentunya adalah apakah yang dimaksud dengan ”keadaan yang sangat perlu dan mendesak” itu? Seperti telah diuraikan sebelumnya pada pembahasan tentang tindakan penggeledahan, maka pada tindakan penyitaan, keadaan tersebut adalah suatu keadaan bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan yang patut dikhawatirkan bahwa benda itu akan segera dilarikan atau dimusnahkan atau dipindahkan oleh tersangka.178 Berdasarkan keadaan yang semacam itu, maka tata cara pelaksanaan tindakan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan
174
Ibid., Pasal 129 ayat (3).
175
Ibid., Pasal 129 ayat (4).
176
Harahap, op. cit., hal. 268.
177
Ibid., hal. 269.
178
Ibid.
Universitas Indonesia
68
mendesak pada dasarnya serupa dengan tata caranya dengan tindakan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan biasa. Hanya saja memang terdapat beberapa pengecualian dalam pelaksanaannya, yaitu: a. Tanpa Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri Dikarenakan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini biasanya bukanlah merupakan tindakan penyitaan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya, maka tentunya tindakan penyitaan yang dilakukan berjalan tanpa disertai Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri. Dikarenakan penyidik harus segera bertindak, maka waktu untuk terlebih dahulu meminta Surat Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri menjadi tidak ada. Oleh karena itu dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik langsung saja mendatangi tempat dimana akan dilakukan penyitaan dan sesampainya di tempat tersebut penyidik langsung menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang darimana benda itu akan disita. Namun demikian, penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tetap harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi. b. Hanya terbatas atas benda bergerak saja Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) KUHAP, objek penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dibatasi hanya meliputi benda bergerak saja.179 Alasan Undang-Undang membuat pembatasan objek penyitaan semacam ini adalah dikarenakan belum adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini menyebabkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak belum sempurna landasan hukumnya.180 Disamping itu, secara faktual memang hanya benda bergerak saja yang mudah untuk dilenyapkan atau dilarikan oleh tersangka, sementara benda yang tidak bergerak, dikarenakan sifatnya tersebut, sulit untuk dihilangkan ataupun dimusnahkan oleh tersangka. c. Wajib segera ”melaporkan” guna mendapatkan ”persetujuan”
179
Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 38 ayat (2).
180
Harahap, op. cit., hal. 270.
Universitas Indonesia
69
Segera sesudah tindakan penyitaan dilaksanakan, baik itu berhasil atau tidak, penyidik wajib untuk segera melaporkan tindakan penyitaan yang telah dilaksanakannya tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat sambil meminta persetujuan atas tindakan penyitaan yang telah dilaksanakannya tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP. Apabila setelah penyidik melaporkan dan meminta persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri atas tindakan penyitaan yang telah dilakukannya ternyata Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan persetujuan, maka penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tersebut tidak sah. Oleh karena itu dengan sendirinya penyitaan tersebut batal demi hukum dan benda sitaan segera dikembalikan kepada keadaan semula.181 Setelah tindakan penyitaan dilakukan, baik itu dalam keadaan yang biasa maupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, KUHAP mengatur bahwa benda-benda yang disita oleh penyidik, untuk kepentingan pembuktian di persidangan nantinya, harus dibungkus dan diberi tanda sedemikian rupa. Tujuan dari hal ini adalah untuk mencegah jangan sampai benda sitaan tersebut hilang, rusak atau tertukar dengan barang bukti lain dalam perkara yang lain.182 Dalam hal ini ketentuan yang mengatur perihal pembungkusan benda sitaan tersebut diatur pada Pasal 130 KUHAP yang menyatakan
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lainlainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.183
181
Ibid.
182
Afiah, op. cit., hal. 93.
183
Indonesia (A), op. cit., Pasal 130.
Universitas Indonesia
70
Setelah pembungkusan benda sitaan selesai dilakukan, maka atas tindakan tersebut pun dibuatkan Berita Acaranya sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP.
2.2.2.3. Penyitaan Dalam Keadaan Tertangkap Tangan Selain dari dilakukannya tindakan penyitaan dalam keadaan biasa ataupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, ada kalanya tindakan penyitaan itu dilakukan pada saat seseorang tertangkap tangan. Tertangkap tangan memiliki arti
Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.184
Dalam hal ini, penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan juga merupakan pengecualian dari penyitaan dalam keadaan biasa.185 Pasal 40 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.186 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 KUHAP tersebut jelas sekali beralasan, karena merupakan sesuatu yang janggal apabila pada suatu ketika penyidik bertemu dengan seseorang yang misalnya membawa ganja dan orang tersebut melarikan diri sambil meninggalkan ganjanya tersebut. Melihat tindakan itu ternyata si penyidik justru meninggalkan ganja tersebut dan pergi meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dapat menyita ganja
184
Ibid., Pasal 1 angka 19.
185
Harahap, op. cit., hal. 271.
186
Indonesia (A), op. cit., Pasal 40.
Universitas Indonesia
71
dimaksud. Dalam keadaan semacam itu tentunya merupakan sesuatu yang logis ketika penyidik langsung saja menyita ganja tersebut.187 Ketika penyidik menangkap tangan seseorang, wewenang penyidik untuk melakuan penyitaan menjadi sangat luas. Selain menyita benda-benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 KUHAP, pada saat menangkap tangan, penyidik juga menjadi berwenang untuk menyita
...paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya....188
Dalam hal ini tersangka dan atau kepala pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. Menurut M. Yahya Harahap, pengertian tertangkap tangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 41 KUHAP ini tidak hanya terbatas pada tersangka yang nyata-nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi termasuk pula pengertian tertangkap tangan atas paket atau surat189 dan benda-benda pos lainnya, sehingga terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan langsung oleh penyidik.190
2.2.2.4. Penyitaan Tidak Langsung Sebagaimana telah dijelaskan diatas, dalam hal tertangkap tangan, KUHAP mengenal bentuk dan cara penyitaan langsung oleh penyidik terhadap benda dan alat serta benda pos atau paket melalui jawatan maupun perusahaan pengangkutan. Dalam hal ini ternyata KUHAP juga mengenal apa yang
187
Harahap, op. cit.
188
Indonesia (A), op. cit., Pasal 41.
189
Yang dimaksud dengan “surat” disini termasuk juga surat kawat, surat teleks, dan lain sejenisnya yang mengandung suatu berita. Lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 41 KUHAP. 190
Harahap, op. cit.
Universitas Indonesia
72
dinamakan dengan penyitaan tidak langsung.191 Model penyitaan tersebut diatur pada Pasal 42 KUHAP yang menyatakan
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. (2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. 192
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada penyitaan tidak langsung ini, benda yang akan disita tidak langsung didatangi dan diambil sendiri oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang memegang dan menguasai benda tersebut, melainkan penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang akan disita dengan sukarela. Menurut M. Yahya Harahap hal ini berarti bahwa
...dalam bentuk penyitaan ini tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan dengan tidak secara langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan benda sitaan, tetapi disuruh antar atau disuruh serahkan sendiri oleh orang yang bersangkutan.193
Lebih lanjut, tata cara dalam melakukan penyitaan tidak langsung ini pada dasarnya adalah juga serupa dengan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan biasa, hanya saja dengan karakteristik tersendiri serta beberapa pengecualian dan penambahan sebagai berikut:194
191
Ibid., hal. 272.
192
Indonesia (A), op. cit., Pasal. 42.
193
Harahap, op. cit.
194
Ibid.
Universitas Indonesia
73
1. Penyitaan tidak langsung ini dilakukan terhadap benda yang dapat disita kerena benda tersebut tersangkut sebagai barang bukti dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini benda dimaksud dapat berasal dari semua orang, tidak hanya terbatas yang berasal dari tersangka. Semua orang disini memiliki makna siapa saja yang menguasai atau memegang benda yang dapat disita tersebut, baik itu penyimpan, pembeli, pemakai atau pun peminjam benda tersebut. Penyitaan tidak langsung juga dilakukan terhadap surat-surat yang berada pada seseorang yang berasal dari tersangka/terdakwa atau surat yang ditujukan kepada tersangka/terdakwa atau kepunyaan tersangka/terdakwa ataupun yang diperuntukkan baginya. Selain itu penyitaan tidak langsung juga dilakukan terhadap benda yang merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. 2. Dalam penyitaan tidak langsung ini, penyidik mmemerintahkan kepada orangorang yang menguasai atau memegang benda untuk menyerahkan benda tersebut kepada penyidik. Dengan demikian maka cara penyitaan yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan perintah kepada orang-orang tersebut untuk menyerahkan benda dimaksud kepada penyidik. 3. Setelah orang yang diminta untuk menyerahkan benda tersebut menyerahkan benda dimaksud kepada penyidik, maka kemudian penyidik memberikan Surat Tanda Terima penyerahan benda tersebut. Apabila ternyata orang yang diminta untuk menyerahkan benda yang dimaksud oleh penyidik menolak untuk menyerahkan benda tersebut kepada penyidik195, maka sesuai dengan ketentuan KUHAP penyidik harus menempuh tata cara penyitaan dalam keadaan biasa. Artinya dikarenakan ketidakmauan orang tersebut untuk menyerahkan benda yang diminta oleh penyidik tersebut, maka penyidik meminta Surat Izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan dengan cara paksa.196
195
Dalam hal terjadi keadaan dimana orang yang diminta untuk menyerahkan benda tersebut menolak, maka menurut M. Yahya Harahap penyidik dapat memeriksa orang yang bersangkutan dengan sangkaan telah melanggar Pasal 216 KUHP. Lihat Ibid., hal. 273. 196
Ibid.
Universitas Indonesia
74
2.3. BUKTI DAN ALAT BUKTI Setelah secara panjang lebar diuraikan perihal tindakan penggeledahan dan penyitaan, pembahasan selanjutnya akan membicarakan perihal bukti dan alat bukti. Berdasarkan semua pemaparan perihal wewenang, syarat serta tata cara dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan, semua hal tersebut pada dasarnya membicarakan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu bukti. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan membicarakan perihal bukti dan alat bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia.
2.3.1. Bukti Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, tindakan penggeledahan dan penyitaan pada dasarnya merupakan tindakan penyidik yang dengan beberapa pengecualian dapat dilakukan oleh penyelidik. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan pada dasarnya merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka penyidikan. Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, dinyatakan bahwa penyidikan merupakan ”...serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti...”. Merujuk pada hal tersebut, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksudkan dengan bukti tersebut?
2.3.1.1. Pengertian Bukti Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”bukti” diartikan sebagai ”sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; tanda.”197 Bukti yang dibicarakan dalam kaitannya dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan disini tentunya adalah bukti-bukti yang bentuknya berupa barang baik yang berwujud maupun tidak berwujud seperti halnya tagihan. Oleh karena itulah maka penyebutan bukti tersebut seringkali disebut juga dengan ”barang bukti”. Dengan demikian maka selain dari kata ”bukti” itu sendiri, perlu juga diperjelas apakah yang dimaksud dengan frasa ”barang bukti” tersebut. 197
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hal. 172.
Universitas Indonesia
75
Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Meskipun barang bukti tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila diperhatikan satu-persatu, di dalam KUHAP tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi mengenai barang bukti.198 Akan tetapi, apabila pasal-pasal yang ada hubungannya dengan masalah barang bukti saling dikaitkan, maka secara implisit dapat ditemukan apa yang dimaksud dengan barang bukti tersebut.199 Terkait dengan definisi barang bukti tersebut, Andi Hamzah menyatakan bahwa
Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau hasil delik.200
Disamping itu terdapat pula barang yang bukan merupakan objek, alat atau hasil delik, akan tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana tersebut, misalnya pakaian yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.201 Sementara itu, Ansorie Sabuan, dkk mendefinisikan barang bukti sebagai barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan.202
198
Bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 HIR/RIB yang menyatakan “Ia hendaknya merampas senjata-senjata dan alat perkakas yang ternyata atau diduga dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum itu atau dimaksud untuk melakukan perbuatan itu, demikian juga sekalian barang-barang yang lain yang dapat dipakai untuk menjadi barang bukti”. 199
Afiah, op. cit., hal. 14.
200
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1986), hal. 100.
201
Afiah, op. cit., hal. 15.
202
Sabuan, op. cit., hal. 182.
Universitas Indonesia
76
Selain itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan barang bukti sebagai ”benda yang dipergunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya; barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu perkara.”203 Lebih lanjut, Hari Sasangka dan Lily Rosita mendefinisikan barang bukti sebagai
Hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.204
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dan bila kemudian dihubungkan dengan Penjelasan dari Pasal 46 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa ”benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti...”205, maka jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan barang bukti adalah bukti-bukti yang didapatkan oleh penyidik guna memperjelas pembuktian suatu tindak pidana baik itu dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Salah satu cara penyidik mendapatkan barang bukti tersebut agar dapat mendukung pembuktian hingga tahap persidangan adalah dengan melakukan penyitaan terhadap barang bukti dimaksud.
2.3.1.2. Benda Yang Dapat Dijadikan Barang Bukti Setelah dapat dipahami mengenai apa yang dimaksud dengan barang bukti dan bahwa salah satu cara mendapatkan barang bukti tersebut adalah dengan melakukan penyitaan, maka perlu diperjelas perihal benda apa sajakah yang dapat disita untuk kemudian dijadikan barang bukti. Mengenai hal ini, Pasal 39 KUHAP mengatur bahwa
203
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, op. cit., hal. 107.
204
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 99-100. 205
Lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 46 ayat (1) KUHAP.
Universitas Indonesia
77
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).”206
Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 39 KUHAP tersebut, benda yang dapat dikenakan penyitaan oleh penyidik dan kemudian dijadikan sebagai barang bukti hanyalah benda-benda yang memenuhi kriteria tersebut dan tambahan perluasannya sebagaimana diatur dalam Pasal 40 KUHAP dan Pasal 41 KUHAP dalam hal tertangkap tangan. Apabila terdapat benda yang tidak termasuk dalam kriteria sebagaimana dimaksud diatas, maka penyidik tidak dapat melakukan penyitaan atas benda tersebut dan tentunya benda dimaksud tidak dapat dijadikan barang bukti yang dapat memperjelas pembuktian suatu tindak pidana. Selain itu, benda yang juga tidak dapat dikenakan penyitaan adalah benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHAP, dimana dinyatakan bahwa
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut Undang-Undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain.207
206
Indonesia (A), op. cit., Pasal 39.
207
Ibid., Pasal 43.
Universitas Indonesia
78
Artinya, apabila penyidik hendak melakukan penyitaan terhadap surat atau tulisan lain dimaksud, namun yang berkewajiban merahasiakan surat atau tulisan lain tersebut tidak memberikan izin, maka penyidik tidak dapat menyita surat atau tulisan lain tersebut dan kemudian menjadikannya sebagai barang bukti, kecuali penyidik memiliki izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri atau undang-undang menyatakan lain.
2.3.2. Alat Bukti Dan Hubungannya Dengan Barang Bukti Selain dari dari terminologi ”barang bukti” KUHAP juga mengenal apa yang disebut dengan ”alat bukti”. Pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan barang bukti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dengan demikian maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai terminologi alat bukti tersebut. Istilah alat bukti salah satunya dapat ditemukan dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa
(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.208
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut, maka dapat diartikan bahwa diluar kelima macam alat bukti yang sah tersebut tidak ada lagi alat bukti yang sah.209 Dalam hal ini alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP tersebut sifatnya jelas sekali limitatif. Artinya, hanya jenis alat-alat bukti tersebutlah yang dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti untuk membuktikan telah dilakukannya suatu actus reus oleh terdakwa dan terdapatnya mens rea pada terdakwa. Tidak boleh ada ”hal” atau ”sesuatu” yang lain selain yang telah ditentukan oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dapat diterima oleh hakim
208
Ibid., Pasal 184.
209
Kuffal, op. cit., hal. 68.
Universitas Indonesia
79
sebagai alat bukti hukum yang sah.210 Kemudian, menurut R. Atang Ranomiharjo, sebagaimana dikutip oleh Darwin Prinst, yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah
....alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.211
Dalam hal ini, memang hakim didalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran dan keadilan materil wajib mentaati ketentuan-ketentuan tentang alatalat bukti yang disebut dalam Undang-Undang.212 Jenis alat bukti lain selain dari yang telah ditentukan oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut hanya dapat diterima sebagai alat bukti yang sah oleh hakim apabila ada peraturan perundang-undangan lain yang bertingkat Undang-Undang yang menentukan adanya ”hal” atau ”sesuatu” yang lain sebagai alat bukti hukum yang sah pula. Artinya bila ada alat bukti selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang diluar KUHAP, maka alat bukti tersebut adalah tambahan jenis alat bukti hukum yang sah dari jenis-jenis alat bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.213 Terkait
dengan
hal
tersebut,
dikarenakan
terdapatnya
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.214
210
Sutan Remy Sjahdeini, Kejahatan & Tindak Pidana Komputer, (Jakara: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 263. 211
Prinst, op. cit., hal. 107.
212
Sabuan, op. cit., hal. 191.
213
Sjahdeini, op. cit.
214
Indonesia (A), op. cit., Pasal 183.
Universitas Indonesia
80
maka ketika hakim akan menjatuhkan pidana terhadap seseorang, ia benar-benar harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP. Dalam kenyataan sehari-hari, terutama dalam pemberitaan media massa, penyebutan alat bukti dan barang bukti ini sering sekali dikacaukan.215 Lebih lanjut, dari ketentuan perihal alat bukti sebagaimana dimaksud oleh Pasal 184 KUHAP, jelas sekali terlihat bahwa barang bukti tidaklah termasuk dalam apa yang dinamakan alat bukti. Selain itu KUHAP pun memang tidak pernah menjelaskan
apakah
definisi dari barang bukti tersebut.
Bahkan bila
memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti.216 Namun ternyata barang bukti kerap disebut-sebut sebagai sesuatu yang penting dalam proses penanganan perkara pidana. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penyitaan terhadap bukti atau barang bukti dikatakan demi kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Namun yang menarik adalah apabila perumusan Pasal 1 angka 16 KUHAP tersebut dihubungkan dengan BAB XVI Bagian Keempat KUHAP yang mengatur tentang pembuktian dan putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa (mulai dari Pasal 183 s/d Pasal 202 KUHAP), ternyata tidak terdapat satu ketentuan pun yang mengatur atau menegaskan mengenai peranan, kegunaan, fungsi dari barang bukti (benda yang disita) dalam kaitannya dengan pembuktian.217 Bahkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang mengatur perihal ”alat bukti yang sah” guna memenuhi syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dengan keyakinan berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hanya menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan demikian maka artinya selain
215
Kuffal, op. cit., hal. 68.
216
Afiah, op. cit., hal. 19.
217
Kuffal, op. cit., hal. 68.
Universitas Indonesia
81
lima alat bukti yang sah tersebut, tidak terdapat lagi alat bukti yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk pembuktian di persidangan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, terdapat hal menarik yang terjadi dalam praktek peradilan, yaitu seringkali terjadi Hakim menunda persidangan dikarenakan barang bukti atau benda sitaan belum atau tidak dapat diajukan oleh Penuntut Umum ke muka persidangan.218 Hal ini tentunya sedikit banyak menggambarkan pentingnya peranan barang bukti atau benda sitaan dalam proses pembuktian di persidangan. Dalam menganalisa apakah ada keterkaitan antara barang bukti dengan alat bukti, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Pasal 181 KUHAP mengatur bahwa
(1) Hakim Ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh Hakim Ketua Sidang kepada saksi (3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua Sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.219
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa dalam proses pidana kehadiran barang bukti menjadi sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materil atas perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti dan alat bukti memiliki kaitan yang erat dan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.220 Eratnya kaitan barang bukti dengan alat bukti dapat digambarkan sebagai berikut: Misalnya A didakwa telah mencuri handphone milik B. Dalam persidangan, untuk membuktikan kebenaran materil atas apa yang didakwakan
218
Ibid.
219
Indonesia (A), op. cit., Pasal 181.
220
Afiah, op. cit., hal. 20.
Universitas Indonesia
82
oleh Penuntut Umum, maka setelah dilakukan pemeriksaan misalnya terhadap para saksi dan terdakwa, didapatkanlah alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan terdakwa. Dalam hal ini isi dari alat bukti keterangan saksi tersebut diantaranya misalnya bahwa benar A telah kehilangan sebuah handphone pada tanggal 23 April 2012 sekira pukul 13.00 WIB, yang mana saat itu handphone tersebut ditaruh A di teras depan rumah A yang terletak di Komplek Depok Indah 1 Blok A 1, Depok. Pada saat itu A tidak melihat siapakah orang yang telah mengambil handphone milik A tersebut. Kemudian isi dari alat bukti keterangan terdakwa diantaranya misalnya bahwa benar B telah mengambil sebuah handphone pada tanggal 23 April 2012 sekira pukul 13.15 WIB di daerah Depok dan B tidak mengetahui siapakah pemilik dari handphone tersebut. Disinilah terlihat letak pentingnya barang bukti. Selanjutnya barang bukti handphone yang ada pun diperlihatkan kepada para saksi dan terdakwa apakah para saksi dan terdakwa mengenali handphone yang diperlihatkan tersebut, apakah benar itulah handphone milik A yang hilang, apakah benar barang bukti tersebut merupakan handphone yang diambil oleh B di daerah Depok, dan seterusnya. Apabila dikaitkan antara Pasal 184 (1) KUHAP dengan Pasal 181 ayat (3) KUHAP, maka pertama, barang bukti yang diperlihatkan tersebut akan berubah statusnya menjadi keterangan saksi, apabila keterangan mengenai barang bukti tersebut dimintakan kepada saksi. Kedua, barang bukti tersebut akan menjadi keterangan terdakwa ketika keterangan tentang barang bukti tersebut dimintakan kepada terdakwa.221 Dengan demikian maka jelas terlihat bahwa barang bukti memiliki peranan yang penting dalam mendukung upaya pembuktian di persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Penuntut Umum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa serta berguna pula untuk membentuk dan menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan terdakwa.222 Disamping itu, dengan diajukannya barang bukti di depan persidangan, maka Hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, yaitu dapat ditetapkan untuk diserahkan
221
Ibid.
222
Ibid., hal. 21-22.
Universitas Indonesia
83
kepada pihak yang paling berhak menerimanya kembali, dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.223
223
Kuffal, op. cit., hal. 70.
Universitas Indonesia
BAB 3 PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK
Setelah
dalam
pembahasan
sebelumnya
dipaparkan
mengenai
penggeledahan dan penyitaan bukti berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka selanjutnya penulis akan membahas perihal bukti yang berupa bukti elektronik beserta aturan penggeledahan dan penyitaannya di Indonesia dan kemudian membandingkannya dengan pengaturan yang terdapat di Amerika Serikat dan Inggris.
3.1. BUKTI ELEKTRONIK DALAM TINDAK PIDANA Dalam membicarakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, tentunya pada awalnya harus dilihat dan dipahami terlebih dahulu perihal perlunya diadakan pembahasan tersendiri perihal bukti elektronik ini. Tentunya harus diketahui terlebih dahulu apakah yang membedakan tindak pidana yang melibatkan bukti elektronik dan tindak pidana yang tidak melibatkan bukti elektronik. Dengan memahami perbedaan antara kedua macam tindak pidana dan bukti yang terdapat dalam masing-masing tindak pidana tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita untuk mendapatkan pemahaman dan analisa yang lebih mendalam terkait pelaksanan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka penulis berfikir perlu mengilustrasikan terjadinya suatu tindak pidana yang tidak melibatkan bukti elektronik untuk dibandingkan dengan tindak pidana yang melibatkan bukti elektronik. Dalam hal ini Orin S. Kerr membuat ilustrasi yang amat baik untuk memudahkan kita dalam memahami perbedaan antara keduanya.224 Ilustrasi berikut merupakan simulasi kasus terjadinya pencurian uang di sebuah bank. Pada ilustrasi yang pertama, yaitu kejahatan yang tidak melibatkan bukti elektronik, anggap saja seseorang yang bernama Fred Felony memutuskan untuk
224
Ilustrasi yang dikemukakan oleh Penulis ini dapat dilihat secara lengkap dalam Orin S. Kerr, “Digital Evidence And The New Criminal Procedure”, Columbia Law Review (January, 2005): 3-16.
85
melakukan perampokan di sebuah bank. Untuk melakukan kejahatannya ini Fred mengemudikan kendaraannya menuju ke sebuah bank, lalu memarkir mobilnya di depan bank dan kemudian masuk ke dalam bank tersebut. Setelah berada di dalam bank Fred lalu menuju ke Teller bank dan kemudian menyerahkan secarik kertas kepada Teller tersebut yang bertuliskan ”saya memegang pistol, serahkan semua uang dan tidak akan ada yang terluka”. Si Teller pun kemudian melihat ke arah Fred dan sebuah pistol yang menyembul dari balik jaket yang dikenakan oleh Fred. Si Teller pun kemudian dengan gugup menyerahkan semua uang yang ada dalam penguasaannya kepada Fred dalam sebuah kantong dan setelah mengambil kantong tersebut Fred pun kemudian berlari keluar dari bank tersebut, masuk kedalam mobilnya dan dengan kecepatan tinggi mengendarai mobilnya tersebut untuk melarikan diri.225 Sekarang
bayangkan
seorang
penyidik
yang
ditugaskan
untuk
menyelesaikan kasus perampokan tersebut. Penyidik tersebut ditugaskan untuk mengumpulkan bukti-bukti dari kejahatan tersebut untuk kemudian dapat mengidentifikasi pelakunya dan lalu menangkapnya untuk kemudian dibawa ke persidangan agar si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, namun bagaimana penyidik tersebut akan melakukan hal tersebut? Taktik pertama dari penyidik tersebut tentunya adalah mencari saksi mata yang dapat bersaksi di persidangan. Penyidik kemudian akan bertanya kepada si Teller dan orang lain yang berada di bank pada saat kejadian untuk menjelaskan apa yang mereka lihat. Bagaimanakah rupa si perampok? Seberapa tinggi tubuhnya? Apakah ada ciri-ciri khusus yang dapat mengidentifikasi si perampok? Apakah jenis mobil yang digunakan si perampok untuk melarikan diri dan berapa nomor polisi mobil tersebut? Dalam hal ini kesaksian dari para saksi mata tersebut tentunya akan berisi apa yang mereka lihat dengan mata mereka, apa yang mereka dengar dengan telinga mereka dan apa yang mereka alami sendiri pada saat itu. Dengan mendatangi bank tersebut dan kemudian menanyakan beberapa hal si penyidik juga telah menjadi saksi mata untuk dapat menjelaskan di persidangan
225
Ibid., 4.
Universitas Indonesia
86
tentang apa yang ia lihat dan dengar saat berada di bank tersebut untuk menyidik perkara perampokan itu.226 Strategi penyidik yang kedua untuk dapat memecahkan kasus tersebut adalah mencari bukti-bukti fisik atas kejahatan yang telah terjadi. Bukti-bukti tersebut berguna untuk mengkaitkan kejahatan dengan si pelaku hingga memang diyakini bahwa si pelaku lah yang benar-benar telah melakukan perampokan tersebut. Dalam hal ini si penyidik misalnya akan menemukan tulisan Fred di secarik kertas yang diberikan kepada si Teller, untuk kemudian dianalisa untuk menemukan sidik jari atau ciri khas dari tulisan tangan Fred. Mungkin juga Fred ada meninggalkan jejak lainnya misalnya Fred menjatuhkan senjatanya ketika melarikan diri keluar dari bank, atau kancing bajunya yang copot, atau secarik struk pembayaran di tempat dimana Fred sebelumnya makan, yang mungkin saja terjatuh dari kantong jaketnya, dan lain sebagainya. Bukti-bukti fisik tersebut dapat dianalisa untuk kemudian dijadikan petunjuk yang dapat menghubungkan antara Fred dengan peristiwa perampokan di bank tersebut.227 Apabila saksi mata dan bukti fisik yang didapatkan penyidik dari bank tersebut tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Fred, maka penyidik perlu untuk mencari bukti lainnya di tempat yang lain. Penyidik dapat mencari keberadaan mobil yang dipergunakan Fred melarikan diri dari bank tersebut pada saat terjadinya perampokan, atau jika penyidik memiliki kecurigaan tertentu terhadap Fred, maka penyidik dapat melakukan penggeledahan di rumah Fred untuk menemukan bukti seperti baju atau jaket yang serupa dengan yang dipergunakan oleh si perampok bank, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menemukan bukti lain yang akan dihubungkan dengan bukti yang didapatkan di bank untuk kemudian membuktikan bahwa memang Fred lah orang yang telah melakukan perampokan di bank tersebut.228 Marilah kita anggap si penyidik telah berhasil mengumpulkan bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa memang Fred lah yang melakukan perampokan
226
Ibid., 4-5.
227
Ibid., 5.
228
Ibid., 5-6.
Universitas Indonesia
87
bank tersebut. Fred pun kemudian didakwa di pengadilan kerena telah melakukan perampokan oleh Penuntut Umum. Pada saat persidangan, Penuntut Umum akan mengajukan kesaksian dari para saksi mata dan memperlihatkan bukti-bukti fisik yang telah ditemukan untuk menunjukkan bahwa memang Fred lah pelaku tindak pidana perampokan tersebut. Dalam hal ini si Teller akan bersaksi tentang bagaimana Fred datang mendekati dirinya dan kemudian menyerahkan secarik kertas, meminta dan mengambil uang bank dan lalu melarikan diri keluar dari bank. Saksi mata yang lain juga akan bersaksi tentang apa yang mereka dengar dan lihat pada saat kejadian perampokan tersebut. Kemudian penyidik yang menyidik peristiwa tersebut juga merupakan saksi dalam konteks tertentu, misalnya sewaktu melarikan diri Fred menjatuhkan pistolnya dan kemudian pistol tersebut ditemukan oleh penyidik yang menangani penyidikan perkara tersebut, maka penyidik itu pun akan bersaksi di depan persidangan bagimana ia menemukan pistol tersebut dan pistol itu pun akan menjadi barang bukti di pengadilan. Intinya semua kesaksian, dan bukti yang ada akan diajukan untuk dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa memang Fred Felony lah pelaku perampokan bank tersebut.229 Sekarang mari kita coba untuk mengganti ilustrasi peristiwa perampokan tersebut namun dengan versi elektroniknya. Kita akan mengganti tindakan secara fisik mendatangi bank dan melakukan pencurian uang yang berbentuk kertas atau logam dengan mendatangi bank tersebut secara virtual dan melakukan pencurian dana secara digital melalui komputer bank. Tujuan dari pembandingan ini bukan untuk mencari analogi dari perampokan bank cara yang pertama, karena memang jelas sekali terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya. Pembandingan disini lebih bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kejahatan dan bukti-bukti akan terlihat berbeda ketika kita berbicara tentang kejahatan yang melibatkan bukti elektronik.230 Pada ilustrasi yang kedua ini, Fred Felony memutuskan untuk melakukan pencurian uang dengan menggunakan komputer. Dibandingkan dengan datang ke
229
Ibid., 6.
230
Ibid., 7.
Universitas Indonesia
88
bank, Fred memutuskan untuk melakukan pencurian uang secara online saja dari rumahnya. Fred lalu masuk ke jaringan internet dengan akun yang dimilikinya pada sebuah Internet Service Provider (ISP). Meskipun tujuan akhirnya adalah untuk meretas ke komputer bank, Fred memperpanjang jalur serangannya melalui beberapa komputer perantara dengan tujuan untuk menyamarkan jejaknya. Ia memilih komputer yang memiliki sistem keamanan yang buruk dan tidak menyimpan arsip yang teliti atas siapa saja yang menggunakan servernya, jadi apabila ada orang yang berusaha melacak apa yang dilakukan oleh Fred, maka pelacakan itu harus melewati komputer-komputer perantara tersebut, dan karena pengarsipan tentang siapa saja yang menggunakan server komputer-komputer tersebut tidak rinci, Fred berharap akan sulit bagi orang untuk melacak jejak tindakan yang dilakukannya hingga merujuk ke dirinya.231 Katakanlah kemudian Fred memilih untuk menggunakan server yang dijalankan oleh sebuah Universitas swasta di California sebagai komputer perantaranya yang pertama, dan sebuah server yang dioperasikan oleh sebuah perpustakaan umum di Kansas sebagai perantaranya yang kedua. Dari ISP nya Fred meretas komputer Universitas yang berada di California. Setelah ia memiliki akses terhadap komputer tersebut maka kemudian Fred meretas komputer perpustakaan umum yang berada di Kansas, dan setelah memiliki akses terhadap komputer perpustakaan umum tersebut barulah kemudian Fred masuk ke server utama bank yang akan dicuri uangnya. Setelah beberapa kali mencoba ataupun dengan program-program tertentu Fred lalu berhasil memecahkan kata sandi utama server bank tersebut dan lalu masuk ke dalam jaringan server tersebut. Apabila digambarkan, maka skema peretasan yang dilakukan oleh Fred dapat terlihat sebagai berikut:232
Skema 3.1. Skema peretasan yang dilakukan oleh Fred Felony ISP
Fred
231
Ibid., 7.
232
Ibid., 7-8.
Universitas
Perpustakaan
Bank
Universitas Indonesia
89
Dengan memiliki akses penuh atas server komputer bank tersebut, Fred lalu membuat sebuah rekening baru dan memerintahkan komputer agar rekening tersebut berisi $500.000. Fred lalu mentransfer uang dari rekening yang baru saja dibuatnya tersebut ke rekening di negara lain yang tidak dapat dilacak. Keesokan harinya pegawai dari bank yang telah diretas oleh Fred menyadari bahwa ada rekening yang baru dibuat dan ada sejumlah uang yang telah hilang. Berdasarkan kejadian tersebut maka kemudian pegawai bank itu pun menghubungi pihak kepolisian.233 Sekarang coba kita bayangkan bahwa penyidik yang ditugaskan untuk menyidik perkara dalam ilustrasi yang kedua ini adalah penyidik yang sama dengan penyidik pada ilustrasi yang pertama. Sekali lagi tentu saja penyidik tersebut akan mengumpulkan bukti yang cukup agar dapat digunakan di persidangan untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana tersebut. Tapi bagaimana penyidik tersebut akan melakukan hal itu. Si penyidik pasti akan segera menyadari bahwa tempat kejadian perkara yang kedua ini berbeda dengan yang pertama tadi. Dalam tempat kejadian perkara yang kedua ini tidak terdapat saksi mata di bank dan tidak pula ditemukan bukti-bukti fisik telah terjadinya tindak pidana di bank tersebut. Tidak ada yang melihat terjadinya peristiwa penyusupan, tidak pula ada bukti nyata yang dapat dimanipulasi. Dari sudut pandang akal sehat manusia, tindak pidana tersebut terjadi di dalam kabel yang terbungkus dan melalui pergerakan cepat impuls-impuls listrik secara tak terdengar dan tak terlihat. Dalam hal ini teknisi komputer dan pengelola sistem (system administrator) bank tersebut dapat melihat file-file di komputer dan mencoba merekontruksi apa yang telah terjadi. Mereka dapat mengamati apa yang tertera di layar komputer. Tapi hal-hal tersebut bukanlah kesaksian seorang saksi mata ataupun bukti fisik. Semua itu adalah bukti elektronik atau bukti digital, yaitu bukti yang berupa nol dan satu aliran listrik.234 Pertanyaan selanjutnya tentunya adalah bagaimana memulai penyidikan ilustrasi perkara yang kedua tersebut. Langkah pertama yang akan diambil oleh si
233
Ibid., 8.
234
Ibid., 8-9.
Universitas Indonesia
90
penyidik tentunya adalah bertanya kepada pengelola sistem yang bertanggung jawab atas komputer bank untuk mengumpulkan semua informasi yang terkait dengan pencurian tersebut yang mungkin tersimpan di dalam komputer. Biasanya informasi semacam ini hanya akan memberikan sedikit petunjuk bagi si penyidik. Dalam suatu tempat kejadian perkara elektronik seperti ini segala sesuatunya akan terlihat sangat berbeda. Biasanya bukti yang diperoleh dari tempat korban hanya akan memberitahu si penyidik bahwa seseorang yang berada di suatu tempat di dunia ini telah melakukan peretasan ke bank tersebut. Dalam kebanyakan kasus biasanya petunjuk penyidikan yang terbesar muncul dalam bentuk originating IP Address235 yang direkam oleh server bank tersebut. Dalam hal ini server bank biasanya menyimpan log koneksi Fred ke komputer bank tersebut dan merekam originating IP Addressnya sebagai bagian dari log tersebut. Oleh karena itu untuk dapat menemukan Fred Felony penyidik harus memulai dengan IP Address tersebut dan mencoba mengikuti jejak elektronik yang ada dari bank hingga ke komputer yang dipergunakan Fred di rumahnya. Si penyidik harus menemukan bit-bit dan byte-byte dari bukti digital yang tersimpan secara tersebar diseluruh negara, bahkan mungkin tersebar di seluruh dunia dan kemudian merangkainya hingga dapat mengidentifikasi Fred dan dapat membuktikan kesalahannya secara meyakinkan.236 Proses mengumpulkan bukti elektronik dalam ilustrasi tindak pidana yang dilakukan oleh Fred Felony tersebut secara umum dapat dibagi dalam tiga bentuk. Proses tersebut akan dimulai dengan mengumpulkan bukti yang tersimpan pada server komputer yang dikelola oleh pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah bank, universitas ataupun perpustakaan umum. Proses selanjutnya dapat dilakukan dengan metode prospective surveillance atau yang biasa kita kenal dengan istilah penyadapan. Metode yang ketiga adalah dengan cara melakukan investigasi forensik terhadap komputer milik Fred.237 Dalam hal ini, terkait dengan penelitian
235
Alamat asal dari user atau server dalam jaringan, menggunakan serangkaian angka yang mengidentifikasikan alamat dalam jaringan. Lihat Satria Surya, Kamus Istilah Komputer, Kumpulan Istilah Komputer Super Lengkap, (Yogyakarta: Klik Media, 2010), hal. 91. 236
Kerr, op. cit., 9-10.
237
Ibid., 10.
Universitas Indonesia
91
ini, maka penulis hanya akan membahas proses yang pertama dan ketiga saja, karena dalam kedua metode itulah terjadinya tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Terkait dengan proses pengumpulan bukti yang pertama, penyidik akan berusaha mendapatkan catatan yang tersimpan dalam server komputer dengan mendapatkannya dari pengelola sistem komputer (system administrator) pada masing-masing server komputer yang dipergunakan oleh Fred untuk melakukan tindak pidana tersebut. Dalam hal ini Fred terkoneksi dengan empat server komputer untuk melakukan peretasan bank tersebut, yaitu Internet Service Provider dimana Fred memiliki akun, universitas di California, perpustakaan umum di Kansas dan bank itu sendiri. Mungkin saja, walaupun tidak selalu, komputer-komputer ini menyimpan rekaman koneksi Fred ke komputer-komputer tersebut. Dalam hal ini penyidik akan merangkai data-data tersebut mulai dari komputer yang ada di bank hingga akhirnya sampai kepada komputer yang dipergunakan oleh Fred di rumahnya secara bertahap. Tindakan ini terpaksa dilakukan karena packets yang dibawa oleh komunikasi internet hanya menunjukkan asal dan tujuan dari packets tersebut. Bila melihat skema peretasan yang dilakukan oleh Fred maka komunikasi yang diterima di komputer bank akan menunjukkan bahwa originating IP Addressnya adalah komputer yang ada di perpustakaan umum di Kansas, dan bukannya IP Address komputer yang dipergunakan Fred di rumahnya dan begitupun seterusnya.238 Pekerjaan penyidik dalam melakukan hal ini akan mudah apabila masingmasing server komputer yang dipergunakan oleh Fred tersebut masih menyimpan rekaman data dimaksud. Hal ini akan menjadi permasalahan ketika data tersebut tidak lagi tersedia pada saat penyidik melakukan penyidikannya, karena biasanya data semacam itu akan dihapus dalam kurun waktu tertentu untuk menghindari penuhnya data pada server masing-masing komputer tersebut. Anggaplah penyidik berhasil memperoleh data dimaksud dan pada akhirnya menemukan bahwa komunikasi yang tertera pada komputer bank berujung pada server ISP yang dipergunakan oleh Fred. Disini barulah penyidik akan melihat milik siapakah akun yang originating IP Addressnya telah ditemukan oleh penyidik 238
Ibid.
Universitas Indonesia
92
tersebut, dimana pemilik akun tersebut tinggal, dan sebagainya. Baru kemudian penyidik dapat memfokuskan penyidikannya pada Fred sebagai tersangka dalam pencurian uang bank tersebut.239 Kemudian, bila mempergunakan proses pengumpulan bukti yang ketiga, yaitu dengan cara melakukan investigasi forensik terhadap komputer milik Fred, maka dalam kejahatan yang melibatkan bukti elektronik fase ini dapat menjadi sangat penting. Bila melihat proses pengumpulan bukti metode yang pertama, maka bukti elektronik yang didapatkan dari server komputer dapat menunjukkan bahwa akun tertentu telah digunakan untuk mencuri uang dari bank, namun sayangnya hal tersebut hampir selalu tidak membuktikan bahwa orang tertentulah pemilik dari akun tersebut. Dalam hal ini ada sesuatu yang penting yang hilang, yaitu pengganti dari kesaksian saksi mata atau bukti fisik yang dapat menghubungkan bukti yang ada dengan orang tertentu.240 Oleh karena itu maka dalam kejahatan semacam ini kunci yang terpenting biasanya adalah menemukan komputer yang digunakan untuk melancarkan serangan peretasan tersebut. Jika penyidik dapat menemukan dan menganalisa komputer rumah yang dipergunakan oleh Fred tersebut, maka hal tersebut biasanya akan menghasilkan bukti-bukti yang sangat berguna untuk membuktikan siapa pelaku kejahatan tersebut. Rekaman data-data yang disimpan oleh kebanyakan sistem operasi memungkinkan ahli forensik untuk merekonstruksi dengan ketelitian yang mengagumkan tentang siapa melakukan apa dan kapan. Bahkan file241 yang telah dihapus pun dapat dimunculkan kembali karena fungsi delete sebenarnya hanya menandai tempat penyimpanan data menjadi terbuka untuk diisi dengan data baru dan tidak benar-benar menghapus apapun.242 Lebih lanjut, meskipun bukti-bukti sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak dapat ditemukan pada komputer yang dipergunakan oleh Fred tersebut, 239
Ibid., 11.
240
Ibid., 13.
241
Sekumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer yang memiliki bermacam tipe atau format sesuai dengan fungsi atau aplikasi yang berhubungan dengannya. Lihat Surya, op. cit., hal. 67. 242
Eric Friedberg, “Cache as Cache Can: Forging or Altering Electronic Documents Leaves Tell-Tall Fingerprints Behind”, Legal Times (February, 2nd, 2005): 36.
Universitas Indonesia
93
setidaknya tetap memungkinkan untuk mengetahui apakah peretasan yang dilakukan terhadap bank tersebut dilakukan melalui komputer yang ada di rumah Fred tersebut atau bukan. Dalam hal ini ahli komputer forensik telah mengembangkan serangkaian prosedur yang teliti yang biasanya mereka jadikan pedoman dalam melakukan penggeledahan dan menganalisa suatu komputer. Secara garis besar tindakan tersebut biasanya akan dimulai dengan si penyidik melakukan penyitaan terhadap komputer tersebut dan kemudian membawa komputer itu ke laboratoriumnya untuk dianalisa. Hal ini penting untuk dilakukan karena proses analisa forensik akan memakan waktu yang lama. Ketika komputer tersebut dibawa ke laboratorium sang analis akan mulai melakukan bitstream atau mirror image copy dari harddisk yang disita tersebut. Kemudian si analis akan melakukan analisisnya pada copy dari harddisk tersebut dan bukannya pada harddisk yang asli untuk memastikan bahwa bukti aslinya tidak berubah ataupun rusak akibat dari proses analisis yang dilakukan.243 Analis atau ahli komputer forensik tersebut dapat mempergunakan berbagai macam cara untuk mencari bukti yang diperlukan dalam rangka mencari hubungan antara bukti yang ditemukan dengan Fred. Dalam ilustrasi kasus Fred ini maka yang dicari oleh ahli komputer tersebut di harddisk komputer Fred dapat berupa kata sandi untuk masuk ke dalam server komputer bank atau nama dari bank yang diretas oleh Fred, dan sebagainya. Begitu si ahli dapat memahami bagaimana cara Fred menyimpan data dalam harddisk komputernya tersebut, maka ia akan dapat menemukan banyak sekali bukti yang akan memberatkan bagi Fred.244 Anggaplah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada komputer Fred tersebut berhasil menemukan bukti bahwa memang Fred lah yang melakukan peretasan ke bank tersebut. Selanjutnya Fred pun akan didakwa dan disidangkan. Kemudian Penuntut Umum akan menghadirkan saksi-saksi sesuai dengan penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik. Pertama mungkin akan dihadirkan pegawai bank yang akan bersaksi tentang peretasan yang terjadi di
243
Kerr, op. cit., 15.
244
Ibid., 15-16.
Universitas Indonesia
94
bank tempatnya bekerja dan kerugian yang diderita. Selanjutnya pengelola sistem komputer dari berbagai server komputer perantara yang dipergunakan oleh Fred akan bersaksi perihal telah dipergunakannya server komputer yang mereka kelola dan ISP dimana Fred memiliki akun akan bersaksi perihal petunjuk elektronik yang mengarah pada Fred sebagai pemilik akun tersebut. Akhirnya dari pihak pemerintah pun akan bersaksi, penyidik yang menangani penyidikan perkara tersebut akan bersaksi bahwa ia menemukan komputer di dalam rumah Fred dan kemudian ahli komputer forensik akan bersaksi bahwa komputer Fred tersebut berisi bukti peretasan yang dilakukan oleh Fred dan file-file pribadi Fred lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka kesalahan Fred sebagai orang yang telah melakukan peretasan ke bank dan mencuri sejumlah uang secara online pun telah dapat dibuktikan secara meyakinkan.245 Dari pemaparan ilustrasi tindak pidana yang dilakukan oleh Fred Felony tersebut, dapat terlihat bahwa terdapat beberapa hal yang berbeda dalam sifat dan karakteristiknya bila pada suatu tindak pidana yang terjadi penyidikannya melibatkan adanya bukti elektronik. Proses-proses penyidikan yang dilakukan walaupun memiliki tujuan yang sama, namun ternyata berbeda dalam pengaplikasiannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka penyidikan pun menjadi berbeda dikarenakan sifat dari kejahatan yang terjadi dan bukti yang dicari untuk membuktikan siapa pelaku kejahatan tersebut. Bahkan proses pembuktian antara keduanya pun berbeda. Sebagaimana terlihat dalam ilustrasi diatas, proses penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terhadap bukti elektronik memang memiliki perbedaan dengan proses serupa yang dilakukan terhadap barang bukti non-elektronik. Ada beberapa aspek hukum maupun teknis yang memerlukan pengaturan yang berbeda. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan berkaitan dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut.
245
Ibid., 16.
Universitas Indonesia
95
3.2. PENGATURAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DI INDONESIA Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-kasus computer crime maupun computer-related crime, karena dengan barang bukti inilah penyidik dapat mengungkap kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian melacak keberadaan pelaku,246 menangkapnya dan akhirnya dijadikan dasar untuk mendukung pembuktian kesalahan si pelaku. Oleh karena itu pemahaman yang menyeluruh atas apa yang dimaksud dengan bukti elektronik pun akan sangat membantu usaha pengungkapan dan pembuktian tindak pidana, baik dalam tahap penyidikan maupun pada tahap persidangan di pengadilan. Sebelum membahas bagaimanakah pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia, tentunya terlebih dahulu perlu dipahami tentang apa yang dimaksud dengan bukti elektronik itu sendiri.
3.2.1. Pengertian Bukti Elektronik Electronic evidence atau bukti elektronik merupakan sebuah terminologi yang semakin banyak diterima penggunaannya dibandingkan dengan istilah digital evidence atau technological evidence.247 Bukti elektronik yang biasa juga dikenal dengan sebutan electronic evidence atau digital evidence tersebut dapat didefinisikan sebagai information of probative value that is stored or transmitted in digital form.248 Berdasarkan definisi tersebut maka bukti yang dimaksud tidak hanya terbatas pada bukti yang ditemukan pada sebuah komputer, melainkan juga meliputi bukti-bukti yang ditemukan pada alat-alat digital lainnya seperti alat-alat telekomunikasi dan alat-alat multimedia elektronik. Lebih lanjut, pada dasarnya bukti elektronik biasanya diasosiasikan dengan kejahatan-kejahatan elektronik, ecrimes seperti pornografi anak ataupun penipuan dengan menggunakan kartu 246
Muhammad Nuh Al-Azhar, Digital Forensic, Panduan Praktis Investigasi Komputer, (Jakarta: Salemba Infotek, 2012), hal. 27. 247
Eduardo de Urbano Castrillo, “The Legal Regulation Of Electronic Evidence: A Pending Necessity ”, Digital Evidence And Electronic Signature Law Review (Vol. 8, 2011): 25. 248
Lihat “SWGDE/SWGIT Digital & Multimedia Evidence Glossary Version: 2.5 (January 13, 2012)”, op. cit.
Universitas Indonesia
96
kredit.249 Namun demikian, bukti elektronik juga tidak hanya terbatas pada kejahatan komputer tradisional seperti hacking tetapi juga meliputi setiap kategori kejahatan dimana bukti elektronik dapat ditemukan.250 Misalnya bukti elektronik yang terdapat pada email atau pada file251 yang terdapat di telepon seluler tersangka yang dapat berisi bukti penting terkait dengan niat si tersangka, keberadaan si tersangka pada saat terjadinya kejahatan dan hubungan si tersangka dengan tersangka lainnya, dan informasi-informasi penting lainnya.252 Disamping dari definisi tersebut, International Organization on Computer Evidence (IOCE) mengajukan pula sebuah definisi atas bukti digital / elektronik yaitu information stored or transmitted in binary form that may be relied upon in court.253 Terkait dengan definisi bukti elektronik ini, Muhammad Nuh Al-Azhar memberikan definisi dan pembagian yang serupa namun lebih terperinci. Menurut Muhammad Nuh Al-Azhar barang bukti yang terkait dengan peralatan elektronik dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu barang bukti elektronik dan barang bukti digital. Mengenai barang bukti elektronik ia menyatakan sebagai berikut:
Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual, sehingga investigator dan analis forensik sudah memahami serta mengenali masingmasing bukti elektronik ini ketika sedang melakukan proses pencarian (searching) barang bukti di TKP. Jenis-jenis barang bukti elektronik adalah sebagai berikut: 1) komputer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;
249
“Digital Evidence And Forensics”, , diakses tanggal 01 Mei 2012. 250
Avi Prasad I Year, “Computer Forensics And Digital Evidence”, , diakses tanggal 14 Februari 2012. 251
Sekumpulan informasi yang diberi nama dengan lengkap, seperti misalnya sebuah program, sekumpulan data yang dipergunakan oleh sebuah program atau dokumen yang dibuat oleh user. Sebuah file merupakan unit penyimpanan dasar yang memungkinkan komputer untuk membedakan antara sekumpulan informasi yang satu dengan sekumpulan informasi yang lain. Sebuah file merupakan “lem” yang mengikat segenap instruksi, angka-angka dan kata-kata atau gambar-gambar kedalam suatu urutan yang dapat dipergunakan, diubah, dihapus, disimpan atau dikirim oleh si pengguna. Lihat Blanton, op. cit., hal. 211. 252
“Digital Evidence And Forensics”, op. cit.
253
Lihat “G8 Proposed Principles For The Procedures Relating To Digital Evidence”,
op. cit.
Universitas Indonesia
97
2) handphone, smartphone; 3) flashdisk/thumb drive; 4) floppydisk; 5) harddisk; 6) CD/DVD; 7) router, switch, hub; 8) kamera video, CCTV; 9) kamera digital; 10) digital recorder; 11) music/video player, dan lain-lain.254
Sedangkan untuk definisi dan contoh dari barang bukti digital Muhammad Nuh Al-Azhar mendefinisikannya sebagai berikut:
Barang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barang bukti elektronik...berikut adalah contoh barang bukti digital: 1. Logical file, yaitu file-file yang masih ada dan tercatat di file system yang sedang berjalan (running) di suatu partisi. File-file tersebut bisa berupa file-file aplikasi, library, office, logs, multimedia dan lain-lain. 2. Deleted file, dikenal juga dengan istilah unallocated cluster yang merujuk pada cluster dan sektor tempat penyimpanan file yang sudah terhapus dan tidak teralokasikan lagi untuk file tersebut dengan ditandai dalam file system sebagai area yang dapat digunakan lagi untuk penyimpanan file-file baru. Artinya file yang sudah terhapus tersebut masih tetap berada di cluster atau sektor tempat penyimpanannya sampai tertimpa (overwritten) oleh file-file yang baru pada cluster atau sektor tersebut. Pada kondisi dimana deleted file tersebut belum tertimpa, maka proses recovery secara utuh terhadap file tersebut sangat memungkinkan terjadi. 3. Lost file, yaitu file yang sudah tidak tercatat lagi di file system yang sedang berjalan (running) dari suatu partisi, namun file tersebut masih ada di sektor penyimpanannya. Ini bisa terjadi ketika misalnya suatu flashdisk atau harddisk maupun partisinya dilakukan proses re-format yang menghasilkan file system yang baru, sehingga file-file yang sudah ada sebelumnya menjadi tidak tercatat lagi di file system yang baru. Untuk proses recovery-nya didasarkan pada signature dari header maupun footer yang tergantung pada jenis format file tersebut. 4. File slack, yaitu sektor penyimpanan yang berada di antara End of File (EoF) dengan End of Cluster (EoC). Wilayah ini sangat memungkinkan terdapat informasi yang mungkin penting dari file-file yang sebelumnya sudah dihapus (deleted).
254
Al-Azhar, op. cit., hal. 27.
Universitas Indonesia
98
5. Log file, yaitu file-file yang merekam aktivitas (logging) dari suatu keadaan tertentu, misalnya log dari sistem operasi, internet browser, aplikasi, internet traffic dan lain-lain. 6. Encrypted file, yaitu file yang isinya sudah dilakukan enkripsi dengan menggunakan algoritma kriptografi yang kompleks, sehingga tidak bisa dibaca atau dilihat secara normal. Satu-satunya cara untuk membaca atau melihatnya kembali adalah dengan melakukan dekripsi terhadap file tersebut menggunakan algoritma yang sama. Ini biasa digunakan dalam dunia digital information security untuk mengamankan informasi yang penting. Ini juga merupakan salah satu bentuk dari anti-forensic, yaitu suatu metode untuk mempersulit analis forensik atau investigator mendapatkan informasi mengenai jejak-jejak kejahatan. 7. Steganography file, yaitu file yang berisikan informasi rahasia yang disisipkan ke file lain, biasanya berbentuk file gambar, video atau audio, sehingga file-file yang bersifat carrier (pembawa pesan rahasia) tersebut terlihat normal dan wajar bagi orang lain, namun bagi orang yang tahu metodologinya, file-file tersebut memiliki makna yang dalam dari informasi rahasianya tersebut. Ini juga dianggap sebagai salah satu bentuk anti-forensic. 8. Office file, yaitu file-file yang merupakan produk dari aplikasi Office, seperti Microsoft Office, Open Office dan sebagainya. Ini biasanya berbentuk file-file dokumen, spreadsheet, database, teks dan presentasi. 9. Audio file, yaitu file yang berisikan suara, musik dan lain-lain, yang biasanya berformat wav, mp3 dan sebagainya. File audio yang berisikan rekaman suara percakapan orang ini biasanya menjadi penting dalam investigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dan di analisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebut apakah sama dengan suara pelaku kejahatan. 10. Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari kamera digital, handphone, handycam maupun CCTV. File video ini sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan sehingga file ini perlu dianalisis secara detail untuk memastikan bahwa yang ada di file tersebut adalah pelaku kejahatan. 11. Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan memuat informasi-informasi yang penting yang berkaitan dengan kamera dan waktu pembuatannya (time stamps). Data-data ini dikenal dengan istial metadata exif (exchangeable imege file). Meskipun begitu, metadata exif ini bisa dimanipulasi, sehingga analis forensik atau investigator harus hati-hati ketika memeriksa dan menganalisis metadata dari file tersebut. 12. E-mail (electronic mail), yaitu surat berbasis sistem elektronik yang menggunakan sistem jaringan online untuk mengirimkannya atau menerimanya. E-mail menjadi penting di dalam investigasi khususnya phishing (yaitu, kejahatan yang menggunakan e-mail palsu dilengkapi dengan identitas palsu utnuk menipu si penerima). E-mail berisikan header yang memuat informasi penting jalur distribusi pengiriman e-
Universitas Indonesia
99
mail mulai dari pengirim (sender) sampai di penerima (recipient). Oleh karena itu, data di header inilah yang sering dianalisis secara teliti untuk memastikan lokasi si pengirim yang didasarkan pada alamat IP. Meskipun begitu, data-data di header juga sangat dimungkinkan untuk dimanipulasi. Dengan demikian pemeriksaan header dari e-mail harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. 13. User ID dan password, merupakan syarat untuk masuk ke suatu account secara online. Jika salah satunya salah, maka akses untuk masuk ke account tersebut akan ditolak. 14. Short Message Service (SMS), yaitu layanan pengiriman dan penerimaan pesan pendek yang diberikan oleh operator seluler terhadap pelanggannya SMS-SMS yang bisa berupa SMS masuk (inbox), keluar (sent) dan rancangan (draft) dapat menjadi petunjuk dalam investigasi untuk mengetahui keterkaitan antara pelaku yang satu dengan yang lain. 15. Multimedia Message Service (MMS), merupakan jasa layanan yang diberikan oleh operator seluler berupa pengiriman dan penerimaan pesan multimedia yang bisa berbentuk suara, gambar atau video. 16. Call logs, yaitu catatan penggilan yang terekam pada suatu nomor panggil seluler. Panggilan ini bisa berupa incoming (panggilan masuk), outgoing (panggilan keluar) dan missed (panggilan tak terjawab).255
Berdasarkan definisi bukti elektronik dan bukti digital menurut Muhammad Nuh Al-Azhar tersebut, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital. Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang bersifat digital.256 Lebih lanjut, Eoghan Casey mendefinisikan digital evidence atau bukti digital sebagai ”any data stored or transmitted using a computer that support or refute a theory of how an offense occurred or that address critical elements of the offense such as intent or alibi.”257 Dalam hal ini, istilah data yang dimaksudkan dalam definisi tersebut pada dasarnya adalah merupakan kombinasi dari angka yang merepresentasikan berbagai macam informasi, termasuk teks, gambar, suara dan video.258
255
Ibid., hal. 27-29.
256
Ibid., hal. 29.
257
Casey, op. cit., hal. 12.
258
Ibid.
Universitas Indonesia
100
Dalam sistem hukum Indonesia pada saat ini, UU ITE memang tidak secara langsung memberikan definisi bukti elektronik. Namun bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan bukti elektronik adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, yaitu satu atau sekumpulan data elektronik, yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.259 Dari pengertian tersebut, syarat utama agar sesuatu dapat digolongkan sebagai informasi elektronik adalah harus merupakan satu atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah dan memiliki arti. Dalam hal ini data elektronik adalah data digital yang bersumber dari perangkat elektronik yang berbasis komputasi. Data elektronik ini bersifat sangat luas, bisa berarti data-data dalam bahasa binary (berjumlah 8 bit yang terdiri atas 0 dan 1), heksadesimal (berjumlah 16 bit yang terdiri dari 0, 1, 2, 3, …s.d. 9, a, b, …s.d. f); teks (misalnya dengan bahasa unicode, yaitu suatu bahasa pengodean yang bersifat universal yang memetakan
karakter-karakter
yang umum
dan
khusus
dalam
bilangan
heksadesimal); dan/atau berwujud data aplikasi (misalnya office file, audio file, image file dan lain-lain).260 Sebagai contoh, misalkan terdapat pesan rahasia yang terdiri atas beberapa kata yang disisipkan ke dalam file gambar berformat jpg dengan menggunakan teknik steganografi yang sederhana. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi hex editor seperti Free Hex Editor Neo yang dikembangkan oleh HHD Software. Pada contoh ini, pesan rahasia tersebut berupa
259
Indonesia (G), op. cit.
260
Al-Azhar, op. cit., hal. 44.
Universitas Indonesia
101
kalimat “ledakkan pasca fhui” yang disisipkan oleh penulis di akhir dari file tersebut seperti pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Penyisipan Pesan Rahasia Di Akhir Dari File jpg Dengan Menggunakan Free Hex Editor Neo
Penyisipan pesan dengan menggunakan metode steganografi tersebut secara umum tidak membawa efek yang berarti terhadap keutuhan gambar ketika ditampilkan sebagaimana terlihat pada gambar 3.2.
(1)
(2)
Gambar 3.2. Perbandingan Gambar Yang Telah Disisipkan Dan Yang Tidak Disisipkan Pesan Rahasia. Gambar (1) Adalah Kondisi Sebelum Penyisipan, Sedangkan Gambar (2) Sesudah Disisipkan Pesan Rahasia.
Ketika pesan rahasia tersebut dapat diketahui, maka pesan berupa katakata tersebut dapat digolongkan sebagai informasi elektronik kerena telah
Universitas Indonesia
102
memenuhi syarat berupa (1) merupakan data elektronik, (2) telah diolah, yaitu disisipkan dengan metode steganografi menggunakan aplikasi Free Hex Editor Neo, (3) memiliki arti, (4) termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol atau perforasi, yang mana dalam hal ini pesan tersebut termasuk pada bentuk kumpulan huruf-huruf atau tanda.261 Kemudian untuk file gambar yang merupakan carrier (yaitu file yang disisipkan/membawa pesan) juga dapat digolongkan sebagai informasi elektronik karena memiliki arti khusus dan bukan sekedar tampilan gambar biasa. Oleh karena itu dalam contoh file jpg yang kedua tersebut terdapat dua informasi elektronik, yaitu pesan rahasia “ledakkan pasca fhui” dan carrier file itu sendiri.262 Disamping itu untuk carrier file tersebut juga dapat digolongkan sebagai dokumen elektronik karena merupakan (1) informasi elektronik, (2) dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, (3) yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, (4) termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol atau perforasi, (5) yang memiliki makna/arti.263 Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, penulis berpendapat bahwa untuk memudahkan pemahaman atas terminologi yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka penulis akan mempergunakan terminologi bukti elektronik untuk menyebut bukti elektronik dan bukti digital sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Nuh Al-Azhar. Hal ini dilakukan agar terminologi yang dipergunakan dalam penelitian ini sejalan dengan terminologi yang terdapat
261
Ibid., hal. 45.
262
Ibid.
263
Ibid., hal. 46.
Universitas Indonesia
103
dalam RKUHAP 2011, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 175 jo. Pasal 178, yang pembahasannya akan penulis lakukan dalam bagian selanjutnya.
3.2.2. Alat Bukti Elektronik Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya, telah diketahui bahwa terdapat beberapa Undang-Undang yang telah memberikan pengaturan ataupun mengakui keberadaan bukti elektronik. Dalam hal ini Undang-Undang tersebut telah mengakui bukti elektronik untuk dapat dipergunakan atau menjadi sebagai salat satu alat bukti yang sah untuk dapat digunakan dalam rangka pembuktian di persidangan. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelum ini, pengakuan atas diterimanya bukti elektronik untuk dapat dipergunakan atau menjadi sebagai salah satu alat bukti yang sah tersebut terdapat dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang sebagai berikut: 1. Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. 3. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 4. Pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. 5. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 6. Pasal 5 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. 7. Pasal 24 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. 8. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Universitas Indonesia
104
9. Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 10. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 11. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana. 12. Pasal 108 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. 13. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang alat bukti elektronik yang terdapat dalam tiga belas Undang-Undang tersebut, ternyata hanya tiga UndangUndang yang memberikan pengaturan yang agak lebih terperinci dibandingkan sepuluh Undang-Undang lainnya terkait dengan hukum acara atau tata cara pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dimaksud. Dalam hal ini tiga Undang-Undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Artinya, sepuluh Undang-Undang lain yang juga telah mengatur atau mengakui keberadaan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah tersebut hanya merujuk pada KUHAP terkait dengan hukum acara atau tata caranya ketika penyidik dalam Undang-Undang tersebut hendak melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Sementara sebagaimana
diketahui
KUHAP
belum
memiliki
pengaturan
perihal
penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Jangankan pengaturan perihal penggeledahan dan penyitaannya, bukti elektronik itu sendiri pun belum diakui secara tegas oleh KUHAP sebagai salat satu bukti yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Pengaturan atau pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah memang masih sangat minim. Dari berbagai peraturan yang telah mengakuinya, sepengetahuan penulis hanya UU ITE yang memberikan penjelasan perihal bukti elektronik yang bagaimanakah yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan, walaupun penjelasan dimaksud bukanlah sebuah pendefinisian yang dinyatakan secara tegas terhadap apa yang dimaksud dengan terminologi bukti elektronik. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 5 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa ”Informasi Elektronik dan/atau
Universitas Indonesia
105
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”264 Artinya adalah, berlakunya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen/Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah hanya diakui apabila menggunakan Sistem Elektronik265 yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.266 Dalam hal ini yang dimaksud dengan Sistem Elektronik adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE yang menyatakan bahwa Sistem Elektronik adalah
serangkaian
mempersiapkan,
perangkat
dan
mengumpulkan,
prosedur elektronik
mengolah,
yang berfungsi
menganalisis,
menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Terkait dengan hal tersebut, diterimanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen/Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah bukanlah tanpa pengecualian. Menurut Pasal 5 ayat (4) UU ITE, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen/Elektronik dan/atau hasil cetaknya yang tidak dapat diterima sebagai alat bukti elektronik adalah apabila: a. Di dalam suatu Undang-Undang ditentukan bahwa suatu Surat yang akan dijadikan alat bukti harus dibuat dalam bentuk tertulis. Dalam hal ini Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak
264
Indonesia (G), op. cit., Pasal 5 ayat (3).
265
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan communication. Lihat Ibid., Penjelasan Umum. 266
Sjahdeini, op. cit., hal. 263.
Universitas Indonesia
106
terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.267 b. Di dalam suatu Undang-Undang ditentukan bahwa suatu Surat yang akan dijadikan alat bukti harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta. Kemudian,
selain
bahwa
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen/Elektronik dan/atau hasil cetaknya dinyatakan sah menjadi alat bukti elektronik ketika menggunakan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (3) UU ITE, maka suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen/Elektronik dan/atau hasil cetaknya baru dapat dijadikan alat bukti elektronik yang sah apabila informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menerangkan suatu keadaan.268 Lebih lanjut, terkait dengan alat bukti elektonik ini, penggunaannya pun tidak bisa dilakukan oleh secara serta merta oleh semua orang. Pasal 7 UU ITE mengatur bahwa
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan.269
Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa cara atau metode memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut haruslah dengan cara-cara yang sah dan benar. Perolehan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut haruslah dilakukan dengan tidak melawan hukum dan harus pula dapat dipertanggungjawabkan metode perolehannya sehingga 267
Indonesia (G), op. cit., Penjelasan Pasal Demi Pasal, Pasal 5 ayat (4) huruf a.
268
Sjahdeini, op. cit., hal. 264. Lihat Indonesia (G), op. cit., Pasal 6.
269
Indonesia (G), op. cit., Pasal 7.
Universitas Indonesia
107
kebenaran dan keutuhan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dimaksud dapat dijamin. Dari ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE tersebut, sebenarnya ada beberapa hal yang belum jelas dan masih perlu dipertanyakan kembali. Misalnya perihal frasa ”Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini” sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE atau frasa ”Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan” sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 UU ITE. Pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah sistem elektronik yang bagaimanakah yang dianggap sebagai ”sesuai ketentuan” atau ”memenuhi syarat” tersebut? Apakah sistem elektronik yang menggunakan software bajakan atau perangkat keras yang dibeli di ”pasar gelap” dapat dianggap sebagai sistem elektronik yang tidak ”sesuai dengan ketentuan” dan ”tidak memenuhi syarat”? Memang dalam hal ini Pasal 15 UU ITE telah mengatur bahwa suatu sistem elektronik haruslah andal, aman dan dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Namun menurut penulis penjelasan tersebut belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin timbul terkait dengan penggunaan sistem elektronik tersebut. Dalam hal ini penjelasan UU ITE terkait sistem elektronik tersebut belum juga dapat menjawab persoalan yang mungkin timbul dalam kaitannya dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Misalnya bagaimana bila penyidik yang melakukan penggeledahan terhadap suatu bukti elektronik melakukan suatu proses digital forensics untuk mendapatkan bukti dimaksud dengan menggunakan software berbayar yang sudah di crack270? Apakah hal tersebut menjadikan tindakan penggeledahan tersebut menjadi cacat hukum dan bukti yang didapatkan menjadi tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti elektronik di muka persidangan? Dalam kenyataannya informasi elektronik yang terdapat dalam bukti elektronik itu pun tetap dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya untuk menerangkan suatu keadaan sebagaimana dipersyaratkan oleh
270
Modifikasi terhadap perangkat keras atau lunak dengan cara mengubah kode atau struktur aslinya. Lihat Surya, op. cit., hal. 37.
Universitas Indonesia
108
Pasal 6 UU ITE. Persoalan-persoalan seperti ini tentunya memerlukan pengaturan yang jelas dan pasti. Sehubungan dengan kurang jelasnya UU ITE dalam memberikan pengaturan terkait Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud sebelumnya, menarik pula untuk disimak pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH yang menyatakan bahwa
Sekalipun berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU ITE Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah, namun sebelum di Indonesia diberlakukan sistem pengamanan elektronik berupa asymmetric cryptosystem atau public key cryptosystem untuk pembuatan dan/atau pengiriman pesan (message) yang bertujuan menjamin kebenaran isi dan/atau keaslian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah, maka ketentuan Pasal 5 UU ITE mengenai pemberlakuan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah tidak akan memberikan sifat mutlak kepada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang tidak dapat diragukan isi dan/atau keasliannya.271
Pendapat tersebut tentunya juga bermaksud untuk memberikan kepastian dan kejelasan perihal Sistem Elektronik yang dipergunakan dalam rangka menjadikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetak yang dihasilkan dari Sistem Elektronik tersebut dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah secara mutlak.
3.2.3. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Di Indonesia Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan bukti elektronik dan alat bukti elektronik, pembahasan selanjutnya akan terkait dengan cara memperoleh bukti elektronik tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia.
271
Sjahdeini, op. cit., hal. 265.
Universitas Indonesia
109
Sebagaimana diketahui, teknik investigasi penegakan hukum secara garis besar dapat dibagi menjadi tindakan paksa dan tindakan terselubung (tersembunyi). Dalam hal ini tindakan paksa meliputi tindakan penggeledahan (search) dan penyitaan (seizure), sementara itu tindakan yang terselubung diantaranya meliputi tindakan penyadapan (interception) dan pemantauan (surveillance).272 Dalam bab sebelumnya telah dibahas bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia yang dibenarkan. Oleh kerena itu dengan sifatnya yang demikian, maka terhadap tindakan penggeledahan dan penyitaan ini diberikanlah serangkaian aturan dan prosedur yang jelas dalam rangka pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Pengaturan perihal penggeledahan dan penyitaan pada umumnya, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, telah dibahas dalam bagian sebelumnya. Oleh karena itu bagian ini akan memfokuskan pembahasan pada pengaturan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan rujukan umum mengenai hukum acara pidana di Indonesia belumlah mengenal apa yang dinamakan dengan bukti elektronik. Dengan demikian maka pengaturan perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di dalam sistem hukum Indonesia mungkin akan dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum acara yang terdapat dalam tiap-tiap UndangUndang ataupun peraturan lain yang telah mengatur atau mengakui keberadaan bukti elektronik tersebut. Berdasarkan pemaparan sebelumnya penulis telah menemukan bahwa hanya terdapat tiga dari tiga belas peraturan perundang-undangan yang telah mengakui bukti elektronik menjadi salah satu alat bukti yang sah, yang memberikan pengaturan yang lebih rinci atau memberikan pengaturan tersendiri
272
Ian Walden, Computer Crimes And Digital Investigations, (New York: Oxford University Press, 2007), hal. 203.
Universitas Indonesia
110
dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaannya. Dalam rangka memahami pengaturan dimaksud maka pembahasan selanjutnya akan terkait dengan hal tersebut.
3.2.3.1. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Terkait dengan tata cara penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur bahwa
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.273
Dalam hal ini tindakan penggeledahan dan penyitaan merupakan tindakan yang termasuk dalam ranah penyidikan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum acara yang dipakai oleh penyidik dalam UU ITE untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik pada dasarnya menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP, kecuali UU ITE mengatur sendiri atau memberikan pengaturan yang berbeda dengan ketentuan sebagaimana terdapat di dalam KUHAP tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 UU ITE diatas, maka harus ditafsirkan bahwa KUHAP merupakan lex generalis sedangkan ketentuan acara yang terdapat dalam UU ITE merupakan lex specialis.274 Pengaturan tindakan penggeledahan dan penyitaan yang terdapat dalam UU ITE memang memiliki beberapa perbedaan dengan ketentuan serupa sebagaimana terdapat dalam KUHAP. Dalam hal wewenang bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan maka antara wewenang PPNS sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 ayat (5) UU ITE dengan
273
Indonesia (G), op. cit., Pasal 42.
274
Sjahdeini, op. cit., hal. 269.
Universitas Indonesia
111
wewenang yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP memang terdapat beberapa perbedaan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.1. Perbandingan Wewenang PPNS Dalam UU ITE Dan KUHAP Wewenang PPNS UU ITE Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan UndangUndang ini Melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini Melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan
KUHAP Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
Melakukan pemeriksaan penyitaan surat
dan
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
Universitas Indonesia
112
Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan UndangUndang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara Mengadakan penghentian penyidikan
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab Pengaturan lain dalam UU ITE terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang berbeda atau mengatur secara tersendiri adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) yang menyatakan bahwa
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.275
Senada dengan hal tersebut, Pasal 43 ayat (4) UU ITE juga menyatakan bahwa ”dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum”.276 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut hak asasi pribadi dan kepentingan pelayanan umum harus dijaga pula oleh penyidik dalam melakukan penyidikan, yang diantaranya adalah tindakan penggeledahan dan penyitaan, sehingga hak privasi individu dan pelayanan kepentingan umum tidak boleh sampai terganggu. Dalam hal ini hak privasi yang dimaksud bukan saja hak privasi dari orang yang dipersangkakan telah melakukan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik, tetapi juga hak privasi dari orang-orang disekitarnya.277
275
Indonesia (G), op. cit., Pasal 43 ayat (2).
276
Ibid., Pasal 43 ayat (4).
277
Sjahdeini, op. cit., hal. 271.
Universitas Indonesia
113
Disamping itu, ketentuan tersebut juga mensyaratkan terdapatnya perlindungan terhadap integritas data, atau keutuhan data yang dikenakan tindakan penyidikan. Apabila hal ini dipahami secara lebih lanjut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan integritas data, atau keutuhan data dalam ketentuan tersebut salah satunya adalah tidak terjadi perubahan apapun terhadap data yang digeledah dengan data yang disajikan sebagai alat bukti di persidangan nantinya. Sekalipun terjadi perubahan, pihak yang melakukan perubahan tersebut dapat mempertanggungjawabkan atau menjelaskan perubahan yang terjadi dan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dilakukan terkait dengan tindakan penyidikan yang dilakukan. Namun demikian, sayangnya pengaturan untuk memberikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) UU ITE tersebut digantungkan kepada suatu ketentuan Peraturan Perundang-Undangnya yang hingga saat ini belum juga dibuat dan disahkan. Hal ini tentunya menjadikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data dimaksud menjadi belum dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Terkait dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU ITE tersebut, menarik untuk disimak pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH yang menyatakan bahwa
Karena tidak diberikan pembatasan secara limitatif mengenai apa yang dimaksud dengan ”memperhatikan perlindungan terhadap privasi”, maka ruang lingkup pengertiannya dapat menjadi tidak jelas dan bergantung pada penafsiran dan ketetapan pengadilan apabila pihak yang merasa terganggu privasinya ketika penyidik melakukan penyidikan mengajukan gugatan terhadap penyidik atau melakukan permohonan untuk memperoleh putusan pra-peradilan. Demikian pula halnya dengan ruang lingkup pengertian ”kerahasiaan... sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Bukan mustahil hal ini juga dapat menjadi objek tarik ulur antara pihak penyidik dan pihak yang menguasai kerahasiaan tersebut. Bukan mustahil pula dapat terjadi tarik ulur berkenaan dengan apa yang dimaksudkan dengan ”kelancaran layanan publik” yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) itu.278
278
Ibid.
Universitas Indonesia
114
Terkait dengan hal tersebut, menurut penulis terdapat satu hal lagi yang perlu dipertanyakan, yaitu dalam hal terjadi penyitaan terhadap bukti yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap terselenggaranya pelayanan publik. Dalam hal ini tentunya perlu difikirkan pula apakah dimungkinkan apabila suatu benda yang dijadikan bukti dikembalikan kepada pihak darimana benda tersebut disita atau kapankah benda yang disita tersebut dikembalikan kepada pihak tersebut atau dapat kembali dipergunakan oleh pihak tersebut. Hal ini terkait dengan kondisi dimana benda yang dijadikan bukti tersebut apabila disita ternyata akan dapat mengganggu terselenggaranya layanan publik, misalnya saja penyitaan terhadap server komputer suatu operator telekomunikasi atau terhadap komputer-komputer yang terdapat dalam sebuah warung internet yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitarnya. Lebih lanjut, dalam UU ITE terdapat pula pengaturan yang agak berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu sehubungan dengan tata cara pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Dalam hal ini Pasal 43 ayat (3) UU ITE menyatakan ”Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat”. Dengan adanya ketentuan seperti itu, maka penyidik ketika akan melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan dimaksud harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Apabila hal itu dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, maka tindakan penggeledahan, temuan bukti, dan penyitaan terhadap bukti-bukti, termasuk penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan tindak pidana tersebut menjadi cacat hukum sehingga tidak dapat diajukan sebagai bukti dan menjadi alat bukti yang sah dalam pemeriksaan di muka pengadilan.279 Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH yang menyatakan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan berdasarkan UU ITE wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan tidak terdapat mekanisme penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana 279
Ibid., hal. 271-272.
Universitas Indonesia
115
terdapat dalam KUHAP. Hal ini dikarenakan dalam UU ITE tidak terdapat ketentuan yang memungkinkan untuk dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Apabila pembuat UU ITE memberikan kemungkinan dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, maka dalam UU ITE tersebut harusnya diatur ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP, namun karena hal semacam itu tidak diatur maka berdasarkan penafsiran sistematis terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU ITE, tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak menjadi tidak dimungkinkan untuk dilakukan oleh penyidik. Kemudian, kalaupun maksud dari pembuat UU ITE terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut adalah menyamakannya dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, maka seharusnya di dalam UU ITE tidak perlu dicantumkan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) tersebut. Apabila dalam UU ITE tidak terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 43 ayat (3) tersebut, maka sebenarnya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 UU ITE, tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan akan mempergunakan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang membuka kemungkinan dilakukannya penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tanpa terlebih dahulu harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
3.2.3.2. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pengaturan penggeledahan dan penyitaan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi) pada dasarnya tetap merujuk pada ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang tersebut.280 Dalam hal ini ketentuan perihal
penggeledahan
dan
penyitaan
terhadap
bukti
elektronik
yang
pengaturannya berbeda dengan pengaturan yang terdapat di dalam KUHAP diatur pada Pasal 25 yang menyatakan: 280
Lihat Indonesia (H), op. cit., Pasal 23.
Universitas Indonesia
116
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik. (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.281
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa memang dalam tindak pidana pornografi penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 25 tersebut. Dalam ketentuan tersebut penyidik memang telah diberikan wewenang tambahan, selain yang tercantum di dalam KUHAP, yang menurut penulis cukup luas untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap data elektronik yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik memiliki karakteristik
yang berbeda dengan
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terhadap bukti non-elektronik. Misalnya, menggeledah dan menyita server multimedia message service (MMS) milik suatu operator telekomunikasi untuk mencari bukti bahwa A telah mengirimkan gambar yang dikategorikan sebagai gambar pornografi kepada B akan berbeda dengan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan di suatu percetakan yang mencetak dan menjual majalah yang mengandung pornografi. Tindakan penggeledahan secara umum yang dilakukan terhadap server operator telekomunikasi tersebut apabila tidak diatur dengan baik, dapat saja sama dengan melakukan penggeledahan terhadap seluruh pelanggan operator telekomunikasi tersebut. Lebih lanjut, berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UU ITE, pengaturan 281
yang
terdapat
dalam
UU
Pornografi
tidak
mengharuskan
Ibid., Pasal 25.
Universitas Indonesia
117
diperhatikannya kelancaran pelayanan publik, padahal tindakan penyidikan yang dilakukan dalam menyidik tindak pidana pornografi tersebut tidak jauh berbeda dengan tindakan yang dilakukan dalam rangka menyidik tindak pidana berdasarkan UU ITE.282 Hal yang perlu dikhawatirkan adalah adanya pemikiran yang menganggap bahwa apa yang diatur dalam UU ITE jelas hanya berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam UU ITE tersebut, begitu juga tentunya dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pornografi. Akibatnya meskipun terdapat kebutuhkan untuk diadakannya pengaturan yang serupa antara kedua UndangUndang tersebut, hal itu tidak dapat diaplikasikan begitu saja. Hal semacam ini tentunya tidak akan terjadi apabila pengaturan dimaksud dicantumkan dalam KUHAP. Dari segi tata cara melakukan tindakan penyidikan yang diantaranya adalah penggeledahan dan penyitaan, UU Pornografi memang telah memiliki pengaturan yang lebih rinci dibandingkan dengan ke sepuluh Undang-Undang lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yang juga telah menjadikan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah guna pembuktian tindak pidana yang diatur oleh masing-masing Undang-Undang tersebut. Hal ini terlihat dari telah terdapatnya ketentuan dalam Pasal 26 UU Pornografi yang menyatakan
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi ditempat data tersebut didapatkan.283
Selain dari telah diaturnya dengan sedikit lebih banyak perihal tindakantindakan yang terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam 282
Dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan, penyidik selalu mencantumkan dasar hukum dari dilakukannya tindakan tersebut dalam Surat Perintah Penggeledahan dan/atau Penyitaan, termasuk pula dalam rangka tindak pidana apa tindakan penyidikan tersebut dilakukan. Dalam hal ini tindak pidana yang terkait dengan pornografi atau kesusilaan dapat disidik berdasarkan dua ketentuan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, yaitu dengan sangkaan melanggar Pasal 29 atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dengan sangkaan melanggar Pasal 45 ayat (1). Persoalan yang penulis maksudkan akan timbul ketika penyidikan dilakukan berdasarkan UU Pornografi. 283
Indonesia (H), op. cit., Pasal 26.
Universitas Indonesia
118
penyidikan tindak pidana pornografi, dalam UU Pornografi tersebut juga terdapat pengaturan sebagaimana terdapat dalam Pasal 27, yaitu
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara. (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus. (3) Penyidik, Penuntut Umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.284
Menurut penulis terdapat satu hal yang menarik dari ketentuan Pasal 27 tersebut, yaitu yang terkait dengan kewajiban bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan untuk merahasiakan isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang wajib dirahasiakan hanyalah terbatas pada informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus dan terbatas pada data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa saja? Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, suatu alat elektronik dapat menyimpan data elektronik yang sangat besar. Dalam data yang sangat besar itu tentunya tidak saja terdapat data yang terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik, melainkan juga terdapat data-data lain yang tidak terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik. Dalam hal ini data tersebut dapat saja sama sekali tidak terkait dengan tindak pidana apapun atau dapat juga terkait dengan tindak pidana lain namun tidak dengan tindak pidana yang sedang disidik. Ketika misalnya suatu komputer di geledah untuk mencari bukti elektronik terkait tindak pidana pornografi dan ternyata ditemukan data elektronik lain yang terkait dengan tindak pidana penipuan, pertanyaannya apakah data elektronik semacam ini harus dirahasiakan juga atau bagaimana. Hal-hal semacam ini tentunya memerlukan pengaturan yang lebih terperinci, terlebih lagi ketika hal dimaksud dikaitkan dengan perlindungan terhadap privasi dan kerahasiaan. 284
Ibid., Pasal 27.
Universitas Indonesia
119
3.2.3.3. Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Pemeriksaan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini pada dasarnya juga tetap merujuk pada ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tersebut. Hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 30 Undang-Undang ini.285 Dengan demikian maka tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang dilakukan dalam rangka penyidikan tindak pidana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang pun pada dasarnya sama dengan ketentuan penggeledahan dan penyitaan yang terdapat di KUHAP. Lebih lanjut, perbedaan antara ketentuan yang terdapat dalam KUHAP dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang ini terlihat dari pengaturan yang terdapat pada Pasal 32 yang menyatakan
(1) Selain kewenangan Penyidik sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana, Penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. (2) Untuk kepentingan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik. (3) Dalam hal ditemukan terdapat hubungan antara data elektronik dan perkara yang sedang diperiksa, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan pada berkas perkara. (4) Dalam hal tidak ditemukan adanya hubungan antara data elektronik dan perkara, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus dan Penyidik berkewajiban menjaga rahasia isi data elektronik yang dihapus.286
Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya dalam pembahasan terkait dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008, dalam Undang-Undang ini pun penyidik memiliki kewenangan yang amat luas terkait dengan tindakan
285
Lihat Indonesia (N), op. cit., Pasal 30.
286
Ibid., Pasal 32.
Universitas Indonesia
120
penggeledahan dan penyitaan. Dengan diberikannya kewenangan untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya serta menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik maka dalam faktanya akan lebih mudah bagi pemilik data atau penyedia jasa layanan elektronik untuk menyerahkan seluruh data yang ada pada servernya kepada penyidik dibandingkan dengan memenuhi permintaan yang spesifik dari penyidik untuk misalnya mencari dalam server tersebut datadata yang terkait dengan seorang tersangka yang bernama A. Namun demikian, apabila diperhatikan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 tersebut terlihat bahwa kesadaran akan pentingnya mengatur tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik telah semakin tumbuh. Satu hal menarik dari ketentuan yang terdapat dalam UU Mata Uang itu adalah terdapatnya aturan yang menyatakan dalam hal tidak ditemukan adanya hubungan antara data elektronik yang ditemukan dengan perkara yang sedang disidik, maka data elektronik yang ditemukan tersebut dihapus dan Penyidik berkewajiban menjaga rahasia isi data elektronik yang dihapus itu. Sayangnya pengaturan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan mengenai apakah yang harus dilakukan ketika yang data elektronik ditemukan memang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang disidik namun data tersebut mengindikasikan terjadinya tindak pidana lain, baik itu yang sudah mulai disidik ataupun yang belum dimulai sama sekali penyidikannya. Apakah dalam situasi semacam itu penyidik tetap harus menghapus dan menjaga rahasia isi data elektronik dimaksud? 3.2.4. Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2011 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disahkan pada tanggal 31 Desember 1981. Pada awal dimunculkannya KUHAP, bangsa Indonesia sangat bangga atas terciptanya karya kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana nasional tersebut. Terlebih dengan beberapa kelebihan dibandingkan
Universitas Indonesia
121
dengan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku sebelumnya, kehadiran KUHAP telah memberikan harapan besar bagi terwujudnya penegakkan hukum pidana yang lebih efektif, adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga tidak heran jika pada awal-awal diberlakukannya, KUHAP disebut-sebut di kalangan pemerhati hukum sebagai karya agung bangsa Indonesia.287 Apa pun sebutannya, setelah KUHAP diberlakukan selama kurun waktu dua puluh tahun lebih, ternyata KUHAP semakin menampakkan adanya keterbatasan. Harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada proses peradilan pidana. Di sisi lain, ternyata KUHAP masih saja menampakkan peluang-peluang untuk ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan, sehingga justru semakin kehilangan aspek kepastian hukumnya.288 Sebagai salah satu perangkat hukum yang menjadi dasar penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal, KUHAP tidak terlepas dari aspek sosial yang menyangkut perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka kehadiran media baru (media penyimpanan magnetik/elektrik, virtual communication, based on computerized system) telah menyebabkan kewenangan penegak hukum dan sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP (yang based on conventional medium) dirasakan sebagai kendala utama bagi penyelesaian kasus-kasus kejahatan yang terjadi,289 baik itu yang inkonvensional maupun yang konvensional sekalipun. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, KUHAP yang berlaku pada saat ini jelas sekali belum mengatur perihal penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terhadap bukti elektronik. Dalam hal ini persoalan penggeledahan sistem dan pemblokiran arus informasi misalnya, tidak hanya
287
Wisnubroto, op. cit., hal. 3.
288
Ibid.
289
Ibid., hal. 4.
Universitas Indonesia
122
berkaitan dengan masalah kewenangan saja, tetapi juga terkait dengan masalah prosedur. Sebagaimana diketahui bahwa barang bukti dalam dunia telematika misalnya, dapat berupa data, program atau informasi yang bersifat sangat peka. Dengan satu tindakan atau langkah saja barang bukti tersebut sangat mudah dihapus, disembunyikan, diubah atau disamarkan. Oleh sebab itu, jika prosedur penggeledahan dan penyitaan tetap berpedoman pada aturan standar sebagaimana diatur dalam KUHAP yang berlaku saat ini, dapat dipastikan bahwa penyidik akan kesulitan
untuk
memperoleh
bukti290
secara
baik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan di persidangan dalam mendukung proses pembuktian kesalahan si pelaku tindak pidana. M. Yahya Harahap, SH pernah mengutip pernyataan dari Poltaris yang menyatakan bahwa
Pada saat suatu undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legislatif, semua berpendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi pada saat diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu macam masalah konkreto yang tidak terjangkau dan tidak terpikirkan pada saat pembahasan dan perumusan.291
Lebih lanjut, menurut M. Yahya Harahap, SH, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah, pertama, adanya keterbatasan manusia dalam memprediksi secara akurat apa yang terjadi di masa yang akan datang. Hal ini menurutnya dikarenakan secara filosofis manusia itu bersifat ephemeral, yaitu terbatas jangkauan pandangan dan pemikiran serta nalarnya. Bagaimanapun tingginya ilmu manusia, tidak mungkin ia akan menciptakan dan merumuskan suatu produk legislasi yang mampu menjangkau semua hal-hal konkreto di masa yang akan datang.292 Faktor yang kedua adalah fakta bahwa kehidupan manusia sebagai kelompok dan bangsa selalu mengalami perubahan yang dinamik. Selalu
290
Ibid., hal. 49-50.
291
Harahap, op. cit., hal. 12.
292
Ibid.
Universitas Indonesia
123
terjadinya perubahan masyarakat merupakan sebuah hukum abadi dalam sejarah kehidupan manusia. Akibatnya di bidang hukum berlaku ajaran sosiologis yang memperingatkan mutual interactive between social change and law development. Setiap terjadi perubahan sosial selalu berdampak menuntut pembaruan hukum, dan bahkan perubahan sosial tersebut menjadi katalisator pembaruan hukum.293 Dengan dilatarbelakangi pemikiran-pemikiran semacam itu, maka kemudian pada tahun 2000 mulailah dibentuk sebuah Tim yang diketuai oleh Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dengan tugas menyusun sebuah Rancangan UndangUndang Hukum Acara Pidana.294 Dalam prosesnya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini telah beberapa kali mengalami revisi hingga revisi yang terakhir dilakukan pada tahun 2011.295 Terkait dengan penelitian ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Tahun 2011 juga telah memuat pengaturan tentang bukti elektronik. Dalam kaitannya dengan penggeledahan dan penyitaan, untuk lebih memudahkan dalam membandingkan antara pengaturan yang ada di RKUHAP 2011 dengan pengaturan yang ada di KUHAP pada saat ini, penulis akan memaparkannya dalam bentuk tabel-tabel sebagai berikut. Apabila dilihat dari definisi yang dipergunakan, terdapat sedikit perbedaan antara definisi penggeledahan yang terdapat dalam KUHAP (KUHAP 1981) dengan definisi penggeledahan yang terdapat dalam RKUHAP 2011.
293
Ibid., hal. 12-13.
294
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal. 14.
295
Tercatat sejak tahun 2005 RUU HAP diusulkan dalam daftar Prolegnas Prioritas tahunan, dan bahkan terakhir juga masuk lagi dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2012. Sebenarnya, pada tahun 2010 draf RUU ini sudah sampai di Presiden, untuk menunggu keluarnya Surat Presiden. Namun, karena masih ada hal-hal yang belum disepakati, maka dikembalikan lagi kepada Menteri Hukum dan HAM untuk disempurnakan. Lihat “Menteri Hukum dan HAM RI Amir syamsudin, SH, MH Buka SEMINAR DAN PELUNCURAN WEBSITE KOMPILASI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA”, , diakses tanggal 09 Juli 2012.
Universitas Indonesia
124
Tabel 3.2. Perbandingan Definisi Pengeledahan Antara KUHAP 1981 Dengan RKUHAP 2011 Definisi Penggeledahan KUHAP 1981 Penggeledahan
RKUHAP 2011
Rumah
adalah Penggeledahan
Rumah
adalah
tindakan penyidik untuk memasuki tindakan penyidik untuk melaksanakan rumah tempat tinggal dan tempat pemeriksaan,
penyitaan,
atau
tertutup lainnya untuk melakukan penangkapan dengan memasuki rumah tindakan
pemeriksaan
penyitaan
dan
atau
dan
atau tempat tinggal, tempat tertutup, atau
penangkapan tempat yang lain. (Pasal 1 angka 16)
dalam hal dan menurut tata cara yang diatur
dalam
undang-undang
ini.
(Pasal 1 angka 17) Penggeledahan Badan adalah tindakan Penggeledahan Badan adalah tindakan penyidik
untuk
mengadakan penyidik
pemeriksaan badan dan atau pakaian pemeriksaan
untuk badan
melakukan atau
tubuh
tersangka untuk mencari benda yang seseorang termasuk rongga badan diduga keras ada pada badannya atau untuk mencari benda yang diduga dibawanya serta untuk disita. (Pasal 1 keras ada pada badan, tubuh, atau angka 18)
rongga badan, atau yang dibawanya serta. (Pasal 1 angka 17) Penggeledahan
Pakaian
adalah
tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan pakaian, baik pakaian yang sedang dipakai maupun pakaian yang dilepas, untuk mencari benda yang diduga keras berkaitan dengan tindak pidana. (Pasal 1 angka 18)
Terkait dengan definisi Penyitaan, maka antara definisi yang terdapat di dalam KUHAP 1981 dan RKUHAP 2011 juga memiliki sedikit perbedaan sebagai berikut.
Universitas Indonesia
125
Tabel 3.3. Perbandingan Definisi Penyitaan Antara KUHAP 1981 Dengan RKUHAP 2011 Definisi Penyitaan KUHAP 1981
RKUHAP 2011
Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan penyidik atau
menyimpan
untuk
dibawah penguasaan
mengambil
dan/atau
alih
penyimpanan
penguasaannya benda bergerak atau benda bergerak atau tidak bergerak tidak bergerak, berwujud atau tidak dan berwujud pembuktian
untuk dalam
benda
kepentingan berwujud, penyidikan, pembuktian
berwujud
atau
untuk
kepentingan
dalam
tidak
penyidikan,
penuntutan dan peradilan. (Pasal 1 penuntutan, dan pemeriksaan di sidang angka 16)
pengadilan. (Pasal 1 angka 15)
Dalam hal ini ketentuan perihal penggeledahan dan penyitaan yang terdapat dalam KUHAP 1981 dengan yang terdapat dalam RKUHAP 2011, pada dasarnya tidak ada perbedaan dalam hal yang diatur.
3.2.4.1. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Dalam kaitannya dengan siapakah yang berwenang untuk melakukan penggeledahan dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi atau dilakukan sebelum dilakukannya tindakan penggeledahan RKUHAP 2011 memiliki pengaturan yang berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Mengenai kewenangan untuk melakukan penggeledahan, Pasal 68 RKUHAP 2011 menyatakan bahwa
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah, bangunan tertutup, kapal, badan, dan/atau pakaian.
Universitas Indonesia
126
(2) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00, kecuali dalam keadaan mendesak.296 Berdasarkan ketentuan297 tersebut maka yang berwenang untuk melakukan penggeledahan pada dasarnya adalah Penyidik.298 Ketentuan ini agak berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku sekarang ini, dimana yang diberikan wewenang untuk melakukan penggeledahan adalah penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik apabila diperintahkan oleh penyidik. Terjadinya perbedaan tersebut dikaranakan RKUHAP 2011 telah meniadakan
296
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011, Pasal 68.
297
Selain ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 68 dan 69 RKUHAP 2011, terdapat pula ketentuan-ketentuan lain di RKUHAP 2011 yang juga terkait dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan, yaitu ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 71 RKUHAP 2011 yang pada intinya melarang penyidik untuk melakukan tindakan kepolisian (penggeledahan) di ruang dimana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan/atau upacara keagamaan, serta ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan, kecuali tindakan penggeledahan itu dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Selain itu terdapat pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 RKUHAP 2011 yang mengatur bahwa dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Hakim Komisaris dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan. 298
Perlu diingat bahwa definisi Penyidik yang terdapat dalam RKUHAP 2011 berbeda dengan definisi Penyidik sebagaimana terdapat dalam KUHAP yang berlaku pada saat ini. Apabila dalam KUHAP yang berlaku saat ini yang dimaksud dengan Penyidik adalah (a) pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan (b) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, maka menurut RKUHAP 2011 yang dimaksud dengan Penyidik adalah: a. pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan; dan c. pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud ”pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan”, ialah yang ditunjuk oleh perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana, misalnya pejabat Bea Cukai, Imigrasi, Tera, Perikanan, Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan, dan lain-lain. Sementara itu yang dimaksud dengan "pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan", ialah: - Kejaksaan yang berwenang menyidik pelanggaran berat Hak Asasi Manusia, korupsi dan lainlain; - Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang menyidik tindak pidana korupsi; dan - Perwira Angkatan Laut yang berwenang menyelidiki pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif. Lihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011, op. cit., Pasal 6 dan Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 6.
Universitas Indonesia
127
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tahap penyelidikan dan juga ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penyidik pembantu.299 Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa yang berhak untuk melakukan penggeledahan hanyalah penyidik, dalam hal ini RKUHAP 2011 kemudian mengatur bahwa dalam hal tertangkap tangan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawa serta oleh tersangka.300 Dalam hal ini definisi setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum tersebut merujuk pada penyelidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP yang berlaku saat ini, sehingga penyelidik pun tetap diberikan wewenang untuk melakukan penggeledahan dalam hal tertangkap tangan. Selain itu, RKUHAP 2011 juga memberikan pengaturan perihal waktu untuk melaksanakan tindakan penggeledahan, yaitu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00, kecuali dalam keadaan yang mendesak, maka tindakan penggeledahan dimungkinkan untuk dilaksanakan di luar waktu tersebut. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku sekarang ini, dimana tidak terdapat pengaturan waktu pelaksanaan tindakan penggeledahan dimaksud. Lebih lanjut, Pasal 69 RKUHAP 2011 mengatur pula bahwa
(1) Dalam hal penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, penyidik harus mendapat izin Hakim Komisaris berdasarkan permohonan melalui Penuntut Umum. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai uraian mengenai lokasi yang akan digeledah dan dasar atau fakta yang dipercaya bahwa dalam lokasi tersebut terdapat benda atau alat bukti
299
Dalam RKUHAP 2011 ketentuan mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan perkembangan hukum, terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selain itu untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini penyidik pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya. Lihat Ibid., Penjelasan Umum. 300
Ibid., Pasal 73.
Universitas Indonesia
128
yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan dan melakukan penyitaan jika terbukti terdapat benda atau alat bukti yang dapat disita. (3) Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin dari Hakim Komisaris. (4) Dalam melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik hanya dapat memeriksa dan/atau menyita surat, buku, tulisan lain, dan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan. (5) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan kepada Hakim Komisaris melalui Penuntut Umum dalam waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggeledahan, untuk mendapatkan persetujuan Hakim Komisaris.301
Apabila kita perhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 RKUHAP 2011 tersebut, terdapat sebuah ketentuan menarik yang amat berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku pada saat ini. Apabila pada saat ini KUHAP mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan tindakan penggeledahan penyidik harus meminta izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, maka dalam RKUHAP 2011 izin serupa tidak dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat melainkan kepada Hakim Komisaris.302 Selain itu ketentuan lain yang menurut penulis juga menarik adalah adanya keharusan penyidik untuk menjelaskan uraian mengenai lokasi yang akan digeledah dan dasar atau fakta yang dipercaya bahwa dalam lokasi tersebut terdapat benda atau alat bukti yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan dan melakukan penyitaan jika terbukti terdapat benda atau alat bukti yang dapat disita. Ketentuan ini mirip dengan persyaratan untuk meminta search and seizure warrant di Amerika Serikat.
301
Ibid., Pasal 69.
302
Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam RKUHAP 2011. Lihat Ibid., Pasal 1 angka 7. Untuk memahami fungsi dan wewenang Hakim Komisaris ini secara lebih terperinci diantaranya dapat dilihat dalam Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, (Jakarta: Diadit Media, 2011). atau dalam Luhut M. P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009).
Universitas Indonesia
129
3.2.4.2. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Serupa dengan KUHAP yang berlaku saat ini, RKUHAP 2011 juga memberikan pengaturan-pengaturan terkait dengan tata cara dalam melakukan penggeledahan. Terkait dengan hal tersebut, maka aturan yang terdapat dalam RKUHAP 2011 pun pada dasarnya mirip dengan aturan-aturan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Dalam hal ini pelaksanaan tindakan penggeledahan pun dapat digolongkan kedalam dua model, yaitu Penggeledahan Dalam Keadaan Biasa dan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak. Kemudian terkait objek yang digeledah, maka RKUHAP 2011 membuat aturan yang terbagi dua, yaitu Penggeledahan Terhadap Rumah, Bangunan Tertutup Atau Kapal dan kemudian Penggeledahan Terhadap Badan dan/atau Pakaian.
3.2.4.2.1. Penggeledahan Dalam Keadaan Biasa Ketika akan melakukan tindakan penggeledahan terhadap rumah, bangunan tertutup atau kapal, RKUHAP 2011 mengatur bahwa penyidik yang akan melakukannya harus terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin penggeledahan dari Hakim Komisaris.303 Kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib dimiliki oleh penyidik dan ditunjukkan kepada tersangka atau salah satu keluarganya sebelum dilaksanakannya tindakan penggeledahan dalam keadaan biasa. Dalam hal ini tujuan dari perlunya diperoleh izin terlebih dahulu dari Hakim Komisaris dimaksudkan untuk menjamin hak pribadi seseorang atas rumah kediamannya.304 Lebih lanjut, apabila yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian lainnya yang melakukan penggeledahan tersebut harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua pengadilan negeri, juga surat perintah tertulis dari penyidik.305 Selanjutnya RKUHAP 2011 mengatur pula bahwa ketika akan melakukan penggeledahan rumah, maka penggeledahan yang akan dilakukan oleh penyidik
303
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011, op. cit., Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (1). 304
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 69 ayat (1).
305
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 69 ayat (3).
Universitas Indonesia
130
tersebut haruslah disaksikan oleh dua orang saksi.306 Dalam hal ini yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan.307 Apabila tersangka atau penghuni yang rumahnya akan digeledah oleh penyidik tidak berada di tempat atau menolak tindakan penggeledahan yang akan dilakukan oleh penyidik tersebut, maka dalam hal ini jika penyidik tersebut tetap hendak melakukan
penggeledahan
terhadap
rumah
dimaksud
maka
tindakan
penggeledahan yang akan dilaksanakan tersebut harus disaksikan oleh Kepala Desa atau yang sejenis atau disaksikan oleh ketua lingkungan dan dua orang saksi.308 Setelah tindakan penggeledahan selesai dilakukan, maka penyidik diwajibkan untuk membuat Berita Acara Penggeledahan rumah, bangunan tertutup atau kapal yang baru saja digeledah tersebut.309 Dalam hal ini, penyidik diwajibkan terlebih dahulu membacakan Berita Acara Penggeledahan tersebut kepada tersangka baru kemudian Berita Acara Penggeledahan dimaksud diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik, tersangka dan salah satu keluarganya atau Kepala Desa atau kelurahan atau sebutan lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dengan dihadiri dua orang saksi lainnya.310 Namun apabila pemilik atau penghuni rumah yang digeledah menolak atau tidak berada di tempat, maka Berita Acara Penggeledahan tersebut cukup ditandatangani oleh penyidik, saksi dan Kepala Desa atau sebutan lainnya atau ketua lingkungan.311 Kemudian, dalam hal tersangka atau keluarganya tidak bersedia membubuhkan tandatangannya dalam Berita Acara Penggeledahan dimaksud, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.312 RKUHAP 2011 kemudian mengatur pula bahwa tembusan Berita Acara Penggeledahan tersebut harus diberikan
306
Ibid., Pasal 70 ayat (2).
307
Ibid., Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 70 ayat (3).
308
Ibid., Pasal 70 ayat (3).
309
Ibid., Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (4).
310
Ibid., Pasal 30 ayat (2).
311
Ibid., Pasal 70 ayat (5).
312
Ibid., Pasal 30 ayat (3).
Universitas Indonesia
131
kepada pemilik rumah atau penghuni rumah yang bersangkutan dan juga kepada Hakim Komisaris paling lama dua hari terhitung sejak tanggal penggeledahan rumah tersebut dilaksanakan.313 Tata cara penggeledahan selanjutnya yang juga terdapat di dalam RKUHAP 2011 adalah bahwa untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, bangunan tertutup atau kapal, maka penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.314 Dalam hal ini, penyidik pun kemudian juga menjadi berhak untuk memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan tempat penggeledahan tersebut selama penggeledahan berlangsung.315 Demikianlah tata cara yang harus ditaati ketika penyidik melakukan tindakan Penggeledahan Rumah dalam keadaan biasa berdasarkan RKUHAP 2011.
3.2.4.2.2. Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak Pengaturan perihal pelaksanaan tindakan penggeledahan yang dilakukan dalam keadaan mendesak dalam RKUHAP 2011 pada dasarnya serupa dengan pengaturan tindakan penggeledahan yang dilakukan dalam keadaan biasa, hanya saja memang terdapat beberapa perbedaan tertentu baik dari segi wewenang dan syarat pelaksanaannya serta beberapa pengecualian pula dari segi tata cara pelaksanaan tindakan penggeledahan tersebut. Dalam hal ini perbedaan-perbedaan terkait penggeledahan yang dilakukan dalam keadaan mendesak tersebut adalah: a. Dapat dilakukan tanpa adanya Surat Izin Penggeledahan dari Hakim Komisaris.316 b. Penggeledahan dapat dilakukan kapan saja, dalam arti dapat dilakukan di waktu lain selain antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00.317
313
Ibid., Pasal 70 ayat (6).
314
Ibid., Pasal 31 ayat (1).
315
Ibid., Pasal 31 ayat (2).
316
Ibid., Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (3).
317
Ibid., Pasal 68 ayat (2).
Universitas Indonesia
132
c. Dalam penggeledahan dalam keadaan yang mendesak, penyidik hanya dapat memeriksa dan/atau menyita surat, buku, tulisan lain dan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan.318 d. Pelaksanaan tindakan penggeledahan dalam keadaan yang mendesak tersebut wajib dilaporkan kepada Hakim Komisaris melalui Penuntut Umum dalam waktu paling lama 24 jam setelah dilakukannya penggeledahan. Hal ini bertujuan untuk diperolehnya persetujuan Hakim Komisaris atas pelaksanaan tindakan penggeledahan yang telah dilakukan.319 Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dipaparkan diatas, terlihat bahwa RKUHAP 2011 memang dirancang untuk melakukan pembaruan terhadap ketentuan hukum cara pidana Indonesia. Berbagai ketentuan baru yang belum diatur ternyata mulai diatur dengan rinci dalam RKUHAP 2011. Hal-hal seperti rentang waktu melakukan penggeledahan, permohonan
penggeledahan
dengan
kewajiban untuk melengkapi
alasan-alasan
perlunya
dilakukan
penggeledahan dan lain sebagainya merupakan beberapa bentuk pembaruan yang berusaha diciptakan oleh RKUHAP 2011. Akan tetapi satu hal penting yang luput dari perhatian pembuat RKUHAP 2011 terkait bukti elektronik adalah bahwa RKUHAP 2011 ternyata juga belum memberikan pengaturan yang jelas dan terperinci terkait dengan penggeledahan terhadap bukti elektronik, walaupun di dalam RKUHAP 2011 bukti elektronik telah diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah.
3.2.4.3. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penyitaan Terkait dengan siapakah yang memiliki wewenang untuk melakukan penyitaan dan syarat-syarat apa sajakah yang harus terlebih dahulu terpenuhi sebelum suatu tindakan penyitaan dapat dilakukan, RKUHAP 2011 memberikan beberapa pengaturan yang juga berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku pada saat ini.
318
Ibid., Pasal 69 ayat (4).
319
Ibid., Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 69 ayat (5).
Universitas Indonesia
133
Pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan tindakan penyitaan menurut RKUHAP 2011 adalah penyidik.320 Untuk dapat melakukan suatu tindakan penyitaan, pada prinsipnya penyidik harus terlebih dahulu mendapat izin dari Hakim Komisaris berdasarkan permohonan atau dengan mengajukan permohonan melalui Penuntut Umum,321 kecuali dalam keadaan yang mendesak, maka penyitaan dapat dilakukan lebih dulu tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada Hakim Komisaris untuk melakukan penyitaan.322 Apabila penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dilaksanakan dalam keadaan yang mendesak, maka penyitaan semacam itu haruslah dilaporkan kepada Hakim Komisaris melalui Penuntut Umum dalam jangka waktu paling lama satu hari terhitung sejak tangal dilakukannya penyitaan tersebut.323 Tujuan dari pelaporan tersebut adalah untuk meminta persetujuan dari Hakim Komisaris atas tindakan penyitaan yang telah dilaksanakan oleh penyidik. Dalam hal ini Hakim Komisaris akan menilai apakah penyitaan yang telah dilakukan oleh penyidik tersebut termasuk dalam kategori dalam keadaan yang mendesak atau tidak. Berdasarkan hal tersebut kemudian dapat dilihat apakah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tersebut sah atau tidak. Apabila setelah mendapat laporan tindakan penyitaan dimaksud ternyata Hakim Komisaris menolak memberikan persetujuan atas tindakan penyitaan yang telah dilakukan oleh penyidik tersebut, maka hal tersebut berarti bahwa penyitaan yang telah dilakukan tersebut tidak sah dan karenanya barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik atau pihak yang semula menguasai barang yang disita tersebut.324 Kemudian, mengenai benda yang dapat dikenakan penyitaan, RKUHAP 2011 mengatur bahwa benda yang dapat disita adalah:
320
Lihat Ibid., Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 74. Selain itu, bukti bahwa tindakan penyitaan merupakan kewenangan penyidik dapat pula terlihat dari ketentuan Pasal 1 angka 15 RKUHAP 2011 yang menyatakan bahwa “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik…”. 321
Ibid., Pasal 75 ayat (1).
322
Ibid., Pasal 75 ayat (3).
323
Ibid., Pasal 75 ayat (4).
324
Ibid., Pasal 75 ayat (5).
Universitas Indonesia
134
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e. benda yang tercipta dari suatu tindak pidana; dan/atau. f. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.325
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 76 ayat (1) RKUHAP 2011 tersebut pada dasarnya sama saja dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang berlaku saat ini. Hanya saja dalam RKUHAP 2011 terdapat benda kategori lain yang juga dapat disita, yaitu benda yang tercipta dari suatu tindak pidana.
3.2.4.4. Tata Cara Melakukan Penyitaan Sehubungan dengan tata cara untuk melakukan tindakan penyitaan, RKUHAP 2011 memberikan pengaturan sebagai berikut. a. Menghubungi Kepala Desa atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi Ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) RKUHAP 2011 mengatur bahwa penyidik ketika melakukan penyitaan disaksikan oleh Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi dan kemudian diwajibkan membuat Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani antara lain oleh Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan tindakan penyitaan keberadan Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi merupakan sesuatu keharusan. Oleh karena itu agar proses penyitaan berjalan dengan lancar maka sebelum dilaksanakannya tindakan penyitaan dimaksud, penyidik lebih baik terlebih
325
Ibid., Pasal 76 ayat (1).
Universitas Indonesia
135
dahulu menghubungi Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi untuk menyaksikan tindakan penyitaan tersebut. Hal ini tentu saja sebaiknya dilakukan sebelum penyidik bertemu dengan pemilik atau orang yang menguasai barang yang akan disita demi lancarnya pelaksanaan tindakan penyitaan tersebut. Setelah Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dan dua orang saksi tersebut hadir, barulah kemudian penyidik menemui pemilik atau orang yang menguasai barang yang akan disita.
b. Menunjukkan tanda pengenal dan/atau surat izin penyitaan Ketika akan melakukan penyitaan, berdasarkan RKUHAP 2011 penyidik diwajibkan untuk terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda yang akan disita.326 Selain itu, apabila penyitaan dilakukan dalam keadaan biasa, maka hal lain yang perlu ditunjukkan oleh penyidik adalah surat izin dari Hakim Komisaris yang pada intinya berisi izin kepada penyidik untuk melakukan penyitaan tersebut. Surat tersebut perlu ditunjukkan oleh penyidik untuk membuktikan kepada pemilik barang yang akan disita bahwa tindakan penyitaan yang akan dilakukan tersebut merupakan tindakan penyitaan yang sah secara hukum. Berbeda halnya apabila penyitaan yang dilakukan ternyata dilaksanakan dalam keadaan mendesak. Dalam kondisi semacam ini tentunya penyidik belum memiliki surat izin penyitaan dari Hakim Komisaris. Oleh karena itu bila penyitaan dilakukan dalam keadaan mendesak maka tentunya penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa adanya surat izin penyitaan dari Hakim Komisaris.327 Lebih lanjut, apabila penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dilaksanakan dalam keadaan mendesak, maka tindakan penyitaan semacam itu haruslah kemudian dilaporkan kepada Hakim Komisaris dalam waktu 24 jam setelah dilakukannya penyitaan.328
326
Ibid., Pasal 32 ayat (1).
327
Ibid., Pasal 32 ayat (2).
328
Ibid., Pasal 32 ayat (3).
Universitas Indonesia
136
c. Menjelaskan dan/atau meminta keterangan benda yang akan disita Setelah memperlihatkan tanda pengenalnya dan/atau surat izin penyitaan kepada pemilik atau orang yang menguasai benda yang akan disita, penyidik selanjutnya menjelaskan barang yang akan disita oleh penyidik tersebut kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda tersebut.329 Maksud dari ketentuan ini diantaranya adalah untuk menjelaskan kepada pemilik atau orang yang menguasai barang perihal mengapa barang tersebut dapat terkait dengan suatu tindak pidana dan karenanya kemudian perlu disita oleh penyidik. Selain itu penyidik juga dapat meminta keterangan tentang benda yang akan disita. Misalnya keterangan perihal mengapa barang yang terkait dengan suatu tindak pidana tersebut dapat berada di tangan orang yang menguasai barang tersebut. Hal-hal semacam itu kadang sangatlah berguna untuk menjelaskan banyak hal dalam penyidikan suatu tindak pidana. Dalam hal ini RKUHAP 2011 mengatur bahwa semua tindakan tersebut dilaksanakan dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dengan dua orang saksi.330
d. Membuat Berita Acara Penyitaan Setelah selesai melakukan penyitaan terhadap benda-benda yang perlu disita, maka RKUHAP 2011 mengatur bahwa penyidik yang melakukan penyitaan tersebut diwajibkan untuk membuat Berita Acara Penyitaan atas tindakan penyitaan yang baru saja dilakukannya tersebut dan kemudian membacakan Berita Acara Penyitaan tersebut kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik, pemilik benda atau pihak yang menguasai benda dan Kepala Desa atau nama lainnya atau Ketua Rukun Tetangga dengan dua orang saksi.331 Dalam praktek di lapangan, sering terjadi kondisi dimana pemilik atau pihak yang menguasai barang yang akan disita merasa keberatan apabila barang yang dimiliki atau dikuasainya tersebut disita. Situasi semacam ini kadang
329
Ibid., Pasal 33 ayat (1).
330
Ibid.
331
Ibid., Pasal 33 ayat (2).
Universitas Indonesia
137
disikapi oleh pemilik atau pihak yang menguasai barang tersebut dengan menolak untuk menandatangani Berita Acara Penyitaan. Apabila hal semacam ini terjadi maka RKUHAP 2011 juga telah memberikan suatu pengaturan, yaitu bahwa hal tersebut kemudian dicatat dalam Berita Acara Penyitaan dengan menyebutkan alasannya.332 Kemudian, turunan atau salinan Berita Acara tersebut disampaikan oleh penyidik kepada atasan penyidik, lalu kepada Hakim Komisaris melalui Penuntut Umum, pemilik atau pihak yang menguasai benda yang disita serta diberikan juga kepada Kepala Desa.333 Serupa dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP yang berlaku saat ini, RKUHAP 2011 juga mengenal bentuk penyitaan yang biasanya dikenal dengan istilah penyitaan tidak langsung. Dalam hal ini RKUHAP 2011 mengaturnya pada Pasal 78. Dengan adanya ketentuan semacam itu, maka seperti telah diketahui sebelumnya, benda yang akan disita tidak langsung didatangi dan diambil sendiri oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang memegang dan menguasai benda tersebut, melainkan penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang akan disita dengan sukarela. Pada bentuk penyitaan tidak langsung tersebut, RKUHAP 2011 juga mengatur bahwa hal tersebut harus dibuatkan Berita Acara Penyerahan benda dimaksud yang ditandatangani oleh penyidik, saksi atau pihak yang menguasai benda yang disita.334 Selanjutnya penyidik juga diwajibkan untuk memberikan tanda terima dan tembusan Berita Acara Penyerahan benda yang disita tersebut kepada orang yang menyerahkan benda dimaksud.335 Setelah tindakan penyitaan dilakukan, baik itu dalam keadaan yang biasa maupun dalam keadaan yang mendesak, RKUHAP 2011 juga memiliki ketentuan yang serupa dengan KUHAP yang berlaku pada saat ini terkait dengan pengaturan
332
Ibid., Pasal 33 ayat (3).
333
Ibid., Pasal 33 ayat (4).
334
Ibid., Pasal 78 ayat (2).
335
Ibid., Pasal 78 ayat (3).
Universitas Indonesia
138
bahwa benda-benda yang disita oleh penyidik, untuk kepentingan pembuktian di persidangan nantinya, harus dibungkus dan diberi tanda sedemikian rupa.336 Demikianlah pengaturan ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan
penggeledahan dan penyitaan yang terdapat dalam RKUHAP 2011. Dalam hal ini kembali penulis nyatakan bahwa penulis melihat bahwa RKUHAP 2011 belum memiliki pengaturan yang jelas dan terperinci perihal tata cara pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Setelah mengetahui bagaimanakah pengaturan yang ada dan berlaku pada saat ini di Indonesia terkait dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dan juga bagaimanakah pengaturan yang akan diberlakukan dikemudian hari terkait hal yang sama, maka selanjutnya penulis akan membandingkannya dengan pengaturan yang terdapat di negara lain. Oleh kerena itu pembahasan selanjutnya akan terkait dengan pengaturan yang terdapat di Negara Amerika Serikat dan Inggris perihal pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik di negara-negara tersebut.
3.3. PENGATURAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DI AMERIKA SERIKAT Amerika Serikat merupakan negara dengan sistem federalisme yang terdiri dari lima puluh negara bagian dan sembilan U.S. Territories and Associated States.337 Dikarenakan hal tersebut, sistem pengadilannya, yang merupakan muara dari pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan, juga menjadi sangat kompleks. Dalam menangani perkara pidana, sistem pengadilan Amerika Serikat menjadi kompleks sebagian memang dikarenakan sistem federalnya. Dengan sistem tersebut setiap negara bagian memiliki sistem Pengadilannya sendiri yang terpisah dengan negara bagian lainnya.338 Hal lain yang menjadikannya lebih
336
Lihat ibid., Pasal 34.
337
“State Government”, , diakses tanggal 19 Mei 2012. 338
Lawrence Meir Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 57.
Universitas Indonesia
139
rumit adalah adanya sistem ganda pengadilan (double system of courts) di Amerika Serikat.339 Dalam hal ini terdapat rangkaian Pengadilan Federal (Federal Court) di satu sisi dan rangkaian pengadilan negara bagian (State Court) di masing-masing negara bagian.340 Apabila digambarkan maka Double System of Courts atau Dual Court System untuk perkara pidana di Amerika Serikat akan terlihat sebagai berikut:
Skema 3.2. Skema Dual Court System di Amerika Serikat
U.S. Supreme Court
State Supreme Courts
U.S. Courts of Appeals
Intermediate Appellate Courts
U.S. District Courts
Trial Courts of General Jurisdiction
Magistrate Courts Lower Courts
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berfikir akan sangat tidak memungkinkan dalam penelitian ini apabila penulis melakukan perbandingan antara tindakan penggeledahan dan penyitaan yang terdapat di Indonesia dengan
339
Double System of Courts atau Dual Court System memiliki arti bahwa terdapat sebuah sistem pengadilan untuk menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan Kejahatan Federal dan terdapat sebuah sistem pengadilan lain untuk menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan Kejahatan di Negara bagian tertentu. Sebenarnya terminologi Dual Court System tersebut dapat dikatakan agak menyesatkan karena pada faktanya di Amerika Serikat terdapat 52 sistem peradilan terpisah dan berbeda yang mewakili 50 sistem pengadilan. Lihat Rolando V. del Carmen, Criminal Procedure: Law And Practice, 8th ed. (Wadsworth: Cengage Learning, 2007), hal. 2. 340
Friedman, op. cit.
Universitas Indonesia
140
tindakan serupa di setiap negara bagian yang ada di Amerika Serikat. Oleh karena itu untuk lebih memudahkan dalam membandingkan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang terdapat di Amerika Serikat dengan yang terdapat di Indonesia, maka penulis akan mempergunakan aturan Federal yang berlaku bagi Kejahatan Federal di Amerika Serikat.341 Dengan demikian apabila tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan terkait dengan sistem Pengadilan, maka sistem pengadilan yang akan dirujuk oleh penulis adalah sistem pengadilan yang berada dalam lingkup Federal Courts. Sebelum memasuki pembahasan perihal tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Amerika Serikat, penulis hendak memberikan sedikit gambaran tentang sistem Pengadilan Federal untuk menangani perakara pidana yang terdapat di Amerika Serikat. Hal ini bertujuan untuk memberikan sedikit dasar pemahaman dalam melihat struktur Pengadilan Federal Amerika Serikat, karena tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut pasti sedikit banyak akan terkait dengan struktur pengadilan berikut dengan jabatan-jabatan yang berada di dalamnya.
3.3.1. Sistem Pengadilan Federal Amerika Serikat (U.S. Federal Court System) Dalam pembahasan tentang sistem atau struktur Pengadilan Federal di Amerika Serikat ini, pembahasan yang penulis lakukan tidak dimaksudkan untuk memberikan penggambaran yang terperinci perihal Pengadilan Federal di Amerika Serikat. Hal tersebut penulis lakukan dikarenakan fokus dari penelitian ini bukanlah tentang hal tersebut. Oleh karena itu dalam pembahasan tentang Pengadilan Federal di Amerika Serikat ini, penulis hanya akan memberikan
341
Perbedaan paling mencolok antara sistem pengadilan Negara Bagian dan sistem Pengadilan Federal adalah terkait jenis perkara yang ditangani. Secara umum, Pengadilan Federal dapat memutuskan perkara yang melibatkan Pemerintah Amerika Serikat, terkait dengan Konstitusi Amerika Serikat atau hukum federal, atau perselisihan antar negara bagian atau antara Amerika Serikat dan pemerintah asing. Pengadilan Federal juga memutuskan sengketa antara warga negara ketika kasus itu memiliki nominal sengketa lebih dari $ 75.000, atau sengketa antara warga Amerika Serikat dan warga negara dari negara lain. Dalam hal ini hanya Pengadilan Federal saja yang memiliki yurisdiksi atas perkara kepailitan. Lihat “What is the difference between state and federal courts?”, , diakses tanggal 19 Mei 2012.
Universitas Indonesia
141
gambaran yang amat singkat dan umum tentang struktur Pengadilan Federal di Amerika Serikat.342 Dalam melihat struktur atau sistem Pengadilan Federal Amerika Serikat perhatian pertama harus diberikan kepada Konstitusi Amerika Serikat. Article III, Section 1 of the U.S. Constitution menyatakan bahwa
The judicial Power of the United States shall be vested in one Supreme Court, and in such inferior Courts as the Congress may from time to time ordain and establish. The Judges, both of the supreme and inferior Courts, shall hold their Offices during good Behavior, and shall, at stated Times, receive for their Services a Compensation, which shall not be diminished during their continuance in office.
Berdasarkan
Konstitusi
Amerika
Serikat
tersebut
terlihat
bahwa
pengadilan tertinggi dalam struktur pengadilan Amerika Serikat adalah U.S. Supreme Court. Pengadilan tertinggi ini diisi oleh sembilan hakim agung, dimana satu orang disebut dengan chief justice yang setara dengan Ketua Mahkamah Agung di Indonesia dan delapan hakim agung lainnya yang disebut dengan associate justices. Para justices atau Hakim Agung ini dinominasikan dan dipilih oleh Presiden Amerika Serikat dengan memperhatikan saran dan persetujuan Senat Amerika Serikat (Senate). Para justices ini memangku jabatannya untuk seumur hidup. Dalam hal ini U.S. Supreme Court terletak di Washington D.C. dan para justices ini dalam memutus perkaranya selalu secara en banc atau bersama-sama.343 Hierarki pengadilan selanjutnya yang berada di bawah U.S. Supreme Court adalah U.S. courts of appeals, yang terdiri dari tiga belas court of appeals. Dari tiga belas court of appeals itu dua belas court dibagi berdasarkan region dan satu court merupakan Court of Appeals for the Federal Circuit yang memiliki
342
Untuk pembahasan yang lebih terperinci perihal sistem atau struktur serta mekanisme kerja Pengadilan Federal yang terdapat di Amerika Serikat diantaranya dapat dilihat dalam: Lawrence Meir Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1984); Rolando V. del Carmen, Criminal Procedure: Law And Practice, 8th ed. (Wadsworth: Cengage Learning, 2007); Daniel E. Hall, Criminal Law And Procedure, 5th ed., (New York: Delmar, Cengage Learning, 2009). 343
del Carmen, op. cit., hal. 3.
Universitas Indonesia
142
yurisdiksi seluruh Amerika Serikat untuk mengadili kasus-kasus tertentu.344 Apabila dibandingkan dengan struktur pengadilan yang ada di Indonesia maka U.S. courts of appeals ini sekiranya serupa dengan Pengadilan Tinggi, walaupun tidak bisa dipersamakan sepenuhnya dikarenakan struktur negara federalisme Amerika Serikat yang berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.345 Dalam U.S. courts of appeals ini, hakim atau judges346 yang bertugas di tiap Pengadilan terdiri dari enam judges atau lebih, tergantung dari jumlah perkara di Pengadilan tersebut. Judges dalam U.S. courts of appeals ini juga dinominasikan dan dipilih oleh Presiden Amerika Serikat dengan memperhatikan saran dan persetujuan Senat Amerika Serikat (Senate). Para judges ini juga memangku jabatannya untuk seumur hidup dan dalam memutus perkaranya dilakukan dengan majelis yang terdiri dari tiga atau lima hakim. Dalam hal terdapat perkara yang penting para judges ini dapat juga memutus perkaranya secara en banc atau bersama-sama.347 Tingkatan selanjutnya dari struktur Pengadilan Federal Amerika Serikat yang berada di bawah U.S. courts of appeals adalah Federal District Courts. Pengadilan-pengadilan yang dikenal dengan U.S. District Courts merupakan Pengadilan Federal di Amerika Serikat yang bertugas mengadili perkara-perkara pertama kali. Apabila dibandingkan dengan Indonesia, maka Federal Distrct Court ini dapat diibaratkan seperti Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama, walaupun kembali tidak dapat dipersamakan sepenuhnya 344
Ibid., hal. 7.
345
Di Indonesia Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Dengan demikian maka jumlah Pengadilan Tinggi yang ada di Indonesia ditentukan oleh jumlah Provinsi yang ada di Indonesia dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 9 UU No. 8 Tahun 2004. Berbeda dengan hal tersebut, maka U.S. courts of appeals dibentuk oleh Evarts Act of 1891. Dalam hal ini jumlah courts of appeals ditentukan berdasarkan pembagian per region dimana tiap region biasanya terdiri dari tiga atau lebih negara bagian dan di tiap region itu terdapat satu circuit court. Untuk pemahaman lebih lengkap perihal hal ini dapat dilihat dalam Russell Wheeler and Cynthia Harrison, Creating the Federal Judicial System, 2nd ed. (Washington, D.C.: Federal Judicial Center, 1996). 346
Berbeda dengan hakim pada U.S. Supreme Court yang disebut dengan justices, hakim pada U.S. courts of appeals dan pengadilan lainnya disebut dengan judges. Lihat del Carmen, op. cit., hal. 5. 347
Ibid., hal. 7.
Universitas Indonesia
143
dikarenakan struktur Federalisme Amerika Serikat yang berbeda dengan Indonesia. Federal District Courts yang terdapat di Amerika Serikat terbagi dalam 94 judicial districts yang tersebar di seluruh Amerika Serikat, Guam, Puerto Rico dan Virgin Islands. Dalam hal ini tiap negara bagian memiliki setidaknya satu judicial districts, namun dapat juga lebih dari satu tergantung dari luasnya negara bagian tersebut.348 Sama seperti halnya dengan Judges dalam U.S. courts of appeals, hakim dalam Federal District Courts juga dinominasikan dan dipilih oleh Presiden Amerika Serikat dengan memperhatikan saran dan persetujuan Senat Amerika Serikat (Senate). Para judges ini juga memangku jabatannya untuk seumur hidup.349 Hanya saja perkara-perkara yang disidangkan dalam Federal District Courts ini diadili oleh hakim tunggal.350 Selanjutnya, di dalam Federal District Courts terdapat courts lain yang dikenal dengan Federal Magistrate Courts. Tujuan utama dari dibentuknya Federal Magistrate Courts adalah untuk meringankan tugas-tugas hakim district court. Hakim dalam Magistrate Court ini disebut dengan magistrate judge. Para hakim ini memiliki kewenangan yang terbatas seperti mengadili kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran ringan yang memungkinkan penjatuhan hukuman penjara selama satu tahun atau kurang. Para magistrate judges tersebut juga diberdayakan untuk mengadakan bail hearings, mengeluarkan surat perintah penggeledahan dan penyitaan, mengkaji habeas corpus petitions, dan mengadakan pretrial conferences baik dalam kasus perdata maupun pidana.351 Hakim Pengadilan Federal, baik itu yang duduk di U.S. Supreme Court, U.S. courts of appeals ataupun yang duduk dalam U.S. District Courts, keberadaannya merupakan mandat dari Article III United States Constitution. Berbeda halnya dengan federal magistrates judges, keberadaannya merupakan mandat dari United States Congress dalam bentuk act atau Undang-Undang dalam 348
Daniel E. Hall, Criminal Law And Procedure, 5th ed., (New York: Delmar, Cengage Learning, 2009), hal. 9. 349
del Carmen, op. cit., hal. 7-8.
350
Friedman, op. cit., hal. 62.
351
del Carmen, op. cit., hal. 8.
Universitas Indonesia
144
padanannya di Indonesia. Dalam hal ini para magistrates judges tersebut diangkat berdasarkan penunjukkan dari federal court judges yang ada di district yang bersangkutan,352 dan para magistrates judges ini tidaklah menjabat seumur hidup seperti hakim federal lainnya.353 Setelah pemaparan secara singkat perihal sistem atau struktur Pengadilan Federal di Amerika Serikat tersebut, sedikit banyak tentunya dapat dipahami bagaimana tugas dan fungsi dari masing-masing pengadilan tersebut beserta hakim yang terdapat di tiap-tiap pengadilan tersebut. Hal itu setidaknya akan dapat membantu dalam memahami istilah-istilah yang terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan berdasarkan hukum acara federal Amerika Serikat. Oleh karena itu, maka pembahasan selanjutnya akan membicarakan tentang hukum acara yang berlaku dalam hukum federal Amerika Serikat sehubungan dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan.
3.3.2. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan Dalam membicarakan tindakan penggeledahan dan penyitaan di Amerika Serikat, mau tidak mau pembahasan yang dilakukan pasti akan sedikit banyak membahas pula ketentuan yang terdapat dalam Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat. Dalam hal ini Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa
The right of the people to be secure in their persons, papers and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no warrants shall issue but upon probable cause, supported by oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched and the persons or things to be seized.354
352
Magistrate Judge ini ditunjuk berdasarkan suara terbanyak dari hakim-hakim yang ada di Pengadilan yang bersangkutan. Magistrate Judge ini terbagi dalam 2 jenis, yaitu yang full-time, dimana ia ditunjuk untuk menjabat selama 8 tahun dan yang part-time, dimana ia ditunjuk untuk menjabat selama 4 tahun. Lihat “Courthouse Tour, People To Meet”, , diakses tanggal 22 Mei 2012. 353
Ibid., hal. 8.
Universitas Indonesia
145
Berdasarkan hal tersebut, maka jelas sekali terlihat bahwa Konstitusi Amerika Serikat sangat menaruh perhatian yang besar terhadap hak asasi seseorang terkait dengan keleluasaan pribadi mereka atas diri dan hak miliknya. Privacy tersebut tidak boleh dilanggar terutama oleh tindakan penggeledahan dan penyitaan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Dalam hal ini tindakan untuk melanggar privacy itu pun seyogyanya dilakukan berdasarkan sebuah surat perintah penggeledahan dan penyitaan yang hanya boleh dikeluarkan atas dasar alasan yang kuat, kemudian didukung oleh sumpah ataupun affirmation dan dalam penggeledahan itu pun harus dengan jelas menyebutkan tempat yang akan digeledah serta orang atau barang yang akan dikenakan penyitaan. Kata penggeledahan atau search merupakan terminologi unik yang terdapat dalam Amendemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat. Istilah tersebut menjadi unik karena kadang tindakan mencari yang dilakukan ternyata tidak termasuk dalam kategori menggeledah berdasarkan Amendemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat tersebut.355 Dalam memudahkan untuk memahami arti dari istilah Penggeledahan berdasarkan Hukum Federal Amerika Serikat, maka tindakan tersebut dapat didefinisikan sebagai
The exploration or examination of an individual’s house, premises, or person to discover things that may be used by the government for evidence in a criminal prosecution.356
Lebih lanjut Rolando V. del Carmen mengatakan bahwa
A search is not limited to homes, offices, buildings, or other enclosed places; rather, it can occur in any place where a person has a reasonable _________________________ 354
Lihat “Constitution of the United States”, , diakses tanggal 22 Mei 2012. 355
Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedure, 2nd ed. (New York: Matthew Bender & Co., INC, 1997), hal. 83. 356
del Carmen, op. cit., hal. 194.
Universitas Indonesia
146
expectation of privacy, even if the place is in a public area, meaning a place to which anyone has access.357
Berdasarkan definisi tersebut, jelas terlihat bahwa penggeledahan pada intinya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka mencari sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai bukti dalam suatu perkara pidana. Suatu penggeledahan baru dikatakan terjadi ketika tempat dimana barang yang dicari atau digeledah tersebut adalah tempat dimana terdapat suatu reasonable expectation of privacy. Menarik untuk disimak dari definisi tersebut, yaitu bahwa di tempat yang dapat dimasuki oleh setiap orang pun dapat saja tindakan mencari sesuatu di tempat tersebut termasuk pula dalam tindakan penggeledahan, yaitu ketika di tempat umum tersebut terdapat suatu reasonable expectation of privacy. Lebih lanjut, pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam hukum federalnya diatur dalam Federal Rules of Criminal Procedure dalam Rule 41 mengenai Search and Seizure. Pada Rule 41 (b) yang mengatur tentang Authority to Issue a Warrant atau pihak yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah, diatur bahwa ”at the request of a federal law enforcement officer or an attorney for the government:”
(1) a magistrate judge with authority in the district—or if none is reasonably available, a judge of a state court of record in the district—has authority to issue a warrant to search for and seize a person or property located within the district. (2) a magistrate judge with authority in the district has authority to issue a warrant for a person or property outside the district if the person or property is located within the district when the warrant is issued but might move or be moved outside the district before the warrant is executed. ... (5) a magistrate judge having authority in any district where activities related to the crime may have occurred, or in the District of Columbia, may issue a warrant for property that is located outside the jurisdiction of any state or district, but within any of the following: (A) a United States territory, possession, or commonwealth; (B) the premises—no matter who owns them—of a United States diplomatic or consular mission in a foreign state, including any
357
Ibid.
Universitas Indonesia
147
appurtenant building, part of a building, or land used for the mission's purposes; or (C) a residence and any appurtenant land owned or leased by the United States and used by United States personnel assigned to a United States diplomatic or consular mission in a foreign state.358
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam hukum federal di Amerika Serikat yang berwenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan adalah pejabat yang disebut Magistrate Judge. Apabila dibandingkan dengan Indonesia, sekilas terlihat bahwa Magistrate Judge tersebut serupa dengan Ketua Pengadilan Negeri setempat, dimana barang yang akan digeledah atau disita berada, sebagaimana terdapat dalam ketentuan KUHAP. Akan tetapi apabila dicermati sebenarnya diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Pertama, surat atau produk hukum yang dikeluarkan oleh Magistrate Judge terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut bila dibandingkan dengan Surat yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat terdapat suatu perbedaan yang cukup mendasar. Perbedaan mendasar diantara keduanya terletak pada apa yang dimintakan kepada keduanya. Apabila kepada Magistrate Judge yang dimintakan itu adalah “Surat Perintah” atau “warrant”, maka yang dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana terdapat dalam KUHAP adalah “Surat Izin” atau yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan “permit”.359 Lebih lanjut, perbedaan yang kedua adalah dari segi jabatannya, antara Magistrate Judge di Amerika Serikat dengan Ketua Pengadilan Negeri setempat di Indonesia sekilas juga terlihat serupa. Dalam kenyataannya antara keduanya 358
Federal Rules of Criminal Procedure, Rule 41 (b) (1), (2), (5).
359
Penulis berpendapat seperti ini setelah melihat salah satu contoh Search Warrant. Dalam contoh Surat tersebut terdapat frasa “YOU ARE HEREBY COMMANDED” yang artinya kurang lebih adalah “DENGAN INI ANDA DIPERINTAHKAN”. Lihat Hall, op. cit., hal. 344. Lihat juga pendapat Paul Bergman dan Sara J. Berman yang menyatakan “A search warrant is an order signed by a judge that authorizes police officers to search for particular objects or materials at a specified location and time.” Lihat Paul Bergman dan Sara J. Berman, The Criminal Law Handbook, Know Your Rights, Survive The System, 12th ed. (California: Nolo, 2011), hal. 43. Selain itu lihat pula penjelasan yang menyatakan bahwa “A warrant is a written order signed by a court authorizing a law-enforcement officer to conduct a search, seizure, or arrest.” Lihat Shirelle Phelps, Encyclopedia of Everyday Law, "Search And Seizure", (Gale Cengage, 2003), , diakses tanggal 15 Mei 2012.
Universitas Indonesia
148
tidak juga dapat dipersamakan sepenuhnya dikarenakan sistem hukumnya yang memang berbeda. Apabila dilihat dari segi jabatannya, maka hakim yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana dimaksudkan oleh KUHAP lebih cocok ketika diperbandingkan dengan hakim atau judges pada U.S. District Courts, sementara magistrate judges sebagaimana terdapat dalam Federal Magistrate Courts dari segi jabatannya tidak terdapat padanannya di Indonesia. Benang merah yang dapat ditarik dari ketentuan tersebut adalah bahwa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia tindakan penggeledahan dan penyitaan merupakan tindakan yang diatur dengan sangat hati-hati. Artinya pelaksanaannya tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa adanya aturan yang jelas. Dalam hal ini kesamaan antara Amerika Serikat dengan Indonesia adalah bahwa dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut pada dasarnya diperlukan semacam persetujuan baik itu dari Magistrate Judge di Amerika Serikat ataupun Ketua Pengadilan Negeri setempat di Indonesia. Kemudian, terkait dengan siapa yang dapat meminta untuk dikeluarkannya Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan di Amerika Serikat dan Surat Izin serupa di Indonesia, maka antara Indonesia dan Amerika Serikat terdapat sedikit perbedaan. Bila di Indonesia yang berhak untuk meminta Surat dimaksud adalah Penyidik dan PPNS, maka di Amerika Serikat selain Petugas Penegak Hukum (law enforcement officer) maka “Attorney General or an authorized assistant, United States attorney or an authorized assistant, dan any other attorney authorized by law to conduct proceedings under these rules as a prosecutor.”360 juga dapat meminta kepada Magistrate Judge untuk mengeluarkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan. Lebih lanjut, terkait dengan apa dan siapa yang dapat dikenakan tindakan penggeledahan dan penyitaan, Federal Rules of Criminal Procedure pada Rule 41 (c) mengatur bahwa
A warrant may be issued for any of the following (1) Evidence of a crime; 360
Lihat Federal Rules of Criminal Procedure, op. cit., Rule 41 (b) jo. Rule (1) (b).
Universitas Indonesia
149
(2) Contraband, fruits of crime, or other items illegally possessed; (3) Property designed for use, intended for use, or used in committing a crime; or (4) a person to be arrested or a person who is unlawfully restrained.361
Apabila diperhatikan secara sekilas, maka merupakan suatu hal yang ganjil ketika a person to be arrested or a person who is unlawfully restrained dimasukkan sebagai objek dari suatu warrant atau Surat Perintah Penggeledahan dan/atau Penyitaan. Dilakukannya suatu tindakan search atau penggeledahan dilakukan terhadap seseorang merupakan hal yang wajar dan logis, namun ketika terhadap orang tersebut dilakukan suatu tindakan seizure atau penyitaan, maka hal tersebut menjadi terkesan ganjil. Sebenarnya hal itu hanyalah merupakan persoalan terminologi saja. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan melakukan tindakan seizure terhadap seseorang itu sebenarnya sama dengan melakukan tindakan penangkapan atau arrest. Terkait dengan hal tersebut, Rolando V. del Carmen menyatakan bahwa dalam kenyataannya di Amerika Serikat, terutama di negara-negara bagiannya, terminologi yang dipergunakan untuk menyebut benda yang dapat dikenakan tindakan penggeledahan dan penyitaan dapat beragam sekali, namun pada dasarnya benda-benda tersebut dapat dibagi ke dalam empat kategori, yaitu contraband,362 fruits of the crime,363 instrumentalities of the crime,364 “mere evidence”365 of the crime.366
361
Lihat ibid., Rule 41 (c).
362
Contraband dapat diartikan sebagai benda yang berdasarkan hukum dilarang untuk diimpor, diekspor, diproduksi dan dimiliki. Lihat Garner, op. cit., hal. 365. Dalam hal ini yang tergolong dalam contraband misalnya adalah obat-obatan terlarang, uang palsu, dsb. 363
Fruits of the crime dapat diartikan sebagai barang yang diperoleh dari dilakukannya tindak pidana. Lihat ibid., hal. 740. Dalam hal ini yang dapat diketegorikan sebagai fruits of the crime misalnya adalah barang-barang hasil curian atau cek yang dipalsukan. 364
Instrumentalities of the crime atau criminal instrument dapat diartikan sebagai sesuatu yang biasanya dipergunakan untuk tujuan criminal dan dimiliki dalam situasi yang menunjukkan suatu tujuan yang melanggar hukum. Lihat ibid., hal. 431. Dalam hal ini yang termasuk sebagai instrumentalities of the crime misalnya adalah senjata atau alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan suatu perampokan. 365
Terminologi “mere evidence” of the crime dapat diartikan sebagai benda-benda yang kemungkinan memiliki kaitan dengan tindak pidana yang terjadi, seperti misalnya baju tersangka
Universitas Indonesia
150
3.3.3. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan Ketika berbicara tentang tata cara melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, Amerika Serikat telah memiliki pengaturan yang cukup lengkap. Oleh karena itu maka penulis akan membagi pembahasan perihal tata cara melakukan penggeledahan dan penyitaan ini menjadi dua bagian, yaitu tata cara penggeledahan dan penyitaan pada umumnya dan tata cara penggeledahan dan penyitaan yang terkait dengan bukti elektronik.
3.3.3.1. Penggeledahan Dan Penyitaan Secara Umum Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan biasanya selalu terkait dengan ada atau tidaknya Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan yang memungkinkan dilakukannya tindakan tersebut. Terkait dengan cara mendapatkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan, maka Federal Rules of Criminal Procedure membaginya menjadi dua cara. Pertama adalah mendapatkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan dengan cara memintanya langsung kepada Hakim dan yang kedua adalah memintanya dengan cara melalui telepon atau alat elektronik lainnya yang dapat dipergunakan untuk itu. Apabila Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan dimintakan dengan cara yang pertama, Federal Rules of Criminal Procedure pada Rule 41 (d) (2) mengatur bahwa ketika menghadap hakim untuk mendapatkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan, maka ada tiga metode yang dapat ditempuh untuk meyakinkan hakim agar mengeluarkan Surat Perintah dimaksud, yaitu:
(A) Warrant on an Affidavit367. When a federal law enforcement officer or an attorney for the government presents an affidavit in support of _________________________ yang berlumuran noda darah korban, sepatu tersangka, dsb. Sebelum tahun 1967 benda-benda semacam itu tidak dapat dikenakan tindakan penyitaan, namun kemudian U.S. Supreme Court menghilangkan aturan tersebut ketika mengadili perkara Warden v. Hayden, 387 U.S. 294, 87 S.Ct. 1642 (1967). 366
del Carmen, op. cit., hal. 195.
367
Black’s Law Dictionary mengartikan affidavit ini sebagai A voluntary declaration of facts written down and sworn to by the declarant before an officer authorized to administer oaths
Universitas Indonesia
151
a warrant, the judge may require the affiant to appear personally and may examine under oath the affiant and any witness the affiant produces. (B) Warrant on Sworn Testimony. The judge may wholly or partially dispense with a written affidavit and base a warrant on sworn testimony if doing so is reasonable under the circumstances. (C) Recording Testimony. Testimony taken in support of a warrant must be recorded by a court reporter or by a suitable recording device, and the judge must file the transcript or recording with the clerk, along with any affidavit.368
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa penegak hukum yang meminta kepada magistrate judge agar diberikan search and seizure warrant haruslah meyakinkan hakim tersebut dengan alasan-alasan yang kuat bahwa memang terdapat keperluan bagi penegak hukum tersebut untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini usaha untuk meyakinkan hakim tersebut dapat menggunakan tiga media sebagaimana disebutkan diatas. Lebih lanjut, apabila Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan dimintakan dengan cara yang kedua, maka berdasarkan Federal Rules of Criminal Procedure pada Rule 41 (d) (3) yang menyatakan ”In accordance with Rule 4.1, a magistrate judge may issue a warrant based on information communicated by telephone or other reliable electronic means”, pihak yang meminta Surat dimaksud menjadi sangat lebih dimudahkan karena dimungkinkannya Magistrate Judge untuk memberikan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan berdasarkan informasi yang dikomunikasikan melalui telepon ataupun sarana elektronik yang memadai lainnya. Dalam hal ini magistrate judge yang menerima permintaan semacam itu pun dapat juga meminta kepada petugas penegak hukum untuk tetap pada akhirnya menyerahkan affidavit secara tertulis. Hal ini tentunya akan semakin mempercepat diberikannya persetujuan untuk melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Karena apabila penegak hukum meminta surat perintah penggeledahan dan penyitaan tersebut dengan menggunakan telepon atau sarana elektronik yang memadai lainnya dari _________________________ yang terjemahan bebasnya adalah sebuah pernyataan atas fakta-fakta yang dibuat secara bebas, tertulis dan dibawah sumpah oleh si pembuatnya, yang dibuat dihadapan petugas yang diberikan wewenang untuk menerima sumpah. Lihat Garner, op. cit., hal. 66. 368
Federal Rules of Criminal Procedure, op. cit., Rule 41 (d) (2).
Universitas Indonesia
152
kantor atau tempat lain selain dari di District Court, maka sesampainya di District Court petugas penegak hukum tersebut tinggal mengambil surat dimaksud untuk kemudian langsung dilanjutkan dengan melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan. Hal ini tentunya lebih efisien dari segi waktu karena apabila petugas penegak hukum tersebut harus datang lebih dahulu ke District Court dan kemudian meminta kepada magistrate judge untuk diberikan surat perintah penggeledahan dan penyitaan, maka tentunya
magistrate judge dimaksud
memerlukan waktu lagi untuk menganalisa apakah permintaan itu layak untuk dikabulkan atau tidak. Hal ini tentunya akan lebih memakan waktu dibandingkan dengan
meminta
surat
perintah
penggeledahan
dan
penyitaan
dengan
mempergunakan telepon atau sarana elektronik yang memadai lainnya. Kemudian, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Federal Rules of Criminal Procedure diatur bahwa Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan yang terkait dengan penggeledahan dan penyitaan orang atau barang harus menyebutkan orang atau tempat yang akan digeledah, mengidentifikasi orang atau barang yang akan disita dan menentukan kepada Magistrate Judge mana Surat Perintah tersebut harus dikembalikan.369 Dalam hal ini diatur pula bahwa Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut harus memberikan perintah kepada petugas yang akan melakukan penggeledahan dan penyitaan untuk (1) melaksanakan isi Surat Perintah tersebut pada waktu yang telah ditentukan, tidak lebih lama dari 14 hari setelah dikeluarkannya Surat tersebut; (2) melaksanakan penggeledahan dan/atau penyitaan pada waktu siang hari, kecuali untuk alasanalasan yang dapat dipertanggungjawabkan hakim memberikan kuasa untuk dilakukannya
penggeledahan
dan/atau
penyitaan
pada
waktu
lain;
(3)
mengembalikan Surat tersebut kepada Magistrate Judge yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut.370 Apabila ketentuan ini dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, maka terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya. Pertama, KUHAP tidak memberikan waktu yang jelas kapan penyidik harus melakukan tindakan
369
Lihat ibid., Rule 41 (e) (2) (A).
370
Lihat ibid., Rule 41 (e) (2) (A) (i), (ii), (iii).
Universitas Indonesia
153
penggeledahan dan penyitaan yang dimintakan izinya tersebut. Kedua, KUHAP tidak memberikan pengaturan yang jelas seperti terdapat di Federal Rules of Criminal Procedure perihal waktu pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan, apakah harus siang hari atau bagaimana. Ketiga dalam Surat Izin Penyitaan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana dimaksud di KUHAP, tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk melaporkan kembali kepada Hakim hasil dari pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukannya. Bila diperhatikan, ada hal yang menarik dari ketentuan Federal Rules of Criminal Procedure, pada Rule 41 (e) (2) (A) (i) dan (iii) tersebut diatas. Dalam hal ini adalah adanya ketentuan yang mengatur tentang kapan perintah penggeledahan dan penyitaan tersebut harus dilakukan, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai jangka waktu berlakunya Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan yang dikeluarkan oleh magistrate judge dan juga kewajiban untuk melaporkan hasil penggeledahan dan penyitaan yang telah dilakukan kepada magistrate judge. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut maka petugas penegak hukum yang akan melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan akan menjadi tidak semena-mena ketika meminta ijin dimaksud. Selain itu ketentuan tersebut juga sedikit banyak akan meminimalisir penyalahgunaan surat tersebut oleh oknum penegak hukum371 yang memegang Surat Perintah tersebut. Lebih
lanjut,
terkait
dengan
tata
cara
dilakukannya
tindakan
penggeledahan dan penyitaan, Federal Rules of Criminal Procedure mengatur juga bahwa
(1) Warrant to Search for and Seize a Person or Property.
371
Penyalahgunaan yang penulis maksudkan disini misalnya dapat saja oknum petugas penegak hukum yang memegang Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan tersebut melakukan pemerasan terhadap orang yang namanya ada di dalam Surat Perintah dimaksud. Dalam hal ini orang tersebut ditakut-takuti akan digeledah dan disita barangnya bila tidak memberikan sejumlah uang kepada oknum petugas penegak hukum tersebut. Hal ini dimungkinkan teradi dalam hukum Indonesia karena tidak adanya jangka waktu berlakunya Surat Izin Penggeledahan dan Penyitaan. Dapat saja petugas penegak hukum dengan semena-mena meminta izin penggeledahan dan penyitaan tetapi dalam kenyataannya tidak pernah melakukan tindakan yang dimintakan izinnya tersebut, melainkan malah menyalahgunakan surat tersebut.
Universitas Indonesia
154
(A) Noting the Time. The officer executing the warrant must enter on it the exact date and time it was executed. (B) Inventory. An officer present during the execution of the warrant must prepare and verify an inventory of any property seized. The officer must do so in the presence of another officer and the person from whom, or from whose premises, the property was taken. If either one is not present, the officer must prepare and verify the inventory in the presence of at least one other credible person. In a case involving the seizure of electronic storage media or the seizure or copying of electronically stored information, the inventory may be limited to describing the physical storage media that were seized or copied. The officer may retain a copy of the electronically stored information that was seized or copied. (C) Receipt. The officer executing the warrant must give a copy of the warrant and a receipt for the property taken to the person from whom, or from whose premises, the property was taken or leave a copy of the warrant and receipt at the place where the officer took the property. (D) Return. The officer executing the warrant must promptly return it—together with a copy of the inventory—to the magistrate judge designated on the warrant. The officer may do so by reliable electronic means. The judge must, on request, give a copy of the inventory to the person from whom, or from whose premises, the property was taken and to the applicant for the warrant. 372
Ketentuan tersebut agak serupa dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, dimana berdasarkan Federal Rules of Criminal Procedure tersebut petugas yang hadir pada saat pelaksanaan Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut harus mempersiapkan, memverifikasi barang-barang yang disita. Lebih lanjut diatur pula bahwa petugas yang melakukan penggeledahan dan penyitaan tersebut harus melakukannya dengan didampingi oleh petugas lain dan orang dari mana benda itu disita atau pemilik tempat yang digeledah. Apabila orang dari mana benda itu disita atau pemilik tempat yang digeledah tidak ada maka petugas yang melakukan penggeledahan dan penyitaan tersebut harus mempersiapkan dan memverifikasi dengan dihadiri oleh satu orang lain yang dianggap kredibel. Dalam ketentuan tersebut diatur pula bahwa petugas yang melakukan penggeledahan dan penyitaan diwajibkan memberikan salinan Surat Perintah 372
Lihat Federal Rules of Criminal Procedure, op. cit., Rule 41 (f) (1).
Universitas Indonesia
155
Penggeledahan Dan Penyitaan serta Tanda Terima barang yang disita kepada orang yang memiliki atau orang dari mana barang tersebut disita atau orang yang tempatnya dilakukan penggeledahan. Namun ada satu ketentuan yang menarik dari ketentuan tersebut, yaitu bila tidak terdapat orang di tempat penggeledahan dan penyitaan tersebut, maka petugas yang melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan dapat meninggalkan salinan Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan serta Tanda Terima barang yang disita. Setelah penggeledahan dan penyitaan selesai dilakukan, petugas yang melaksanakan tindakan tersebut diwajibkan untuk segera membawa kembali Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan bersama dengan salinan daftar barang yang disita kepada Magistrate Judge yang ditunjuk sebelumnya dalam Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut. Hal ini dapat juga dilakukan dengan sarana elektronik yang memadai untuk itu. Lebih lanjut diatur pula bahwa Magistrate Judge yang menerima pengembalian Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut apabila diminta wajib memberikan salinan daftar barang yang disita kepada orang darimana barang tersebut disita atau kepada petugas yang awalnya meminta Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan tersebut. Di Amerika Serikat, pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan yang sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku merupakan hal yang sangat penting untuk ditaati. Terkait dengan hal tersebut, Federal Rules of Criminal Procedure mengatur bahwa
A person aggrieved by an unlawful search and seizure of property or by the deprivation of property may move for the property's return. The motion must be filed in the district where the property was seized. The court must receive evidence on any factual issue necessary to decide the motion. If it grants the motion, the court must return the property to the movant, but may impose reasonable conditions to protect access to the property and its use in later proceedings.373
Apabila dibandingkan dengan ketentuan penggeledahan dan penyitaan yang terdapat di dalam KUHAP, maka ketentuan sebagaimana dimaksud diatas
373
Ibid., Rule 41 (g).
Universitas Indonesia
156
tidaklah terdapat pengaturannya di dalam KUHAP. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Federal Rules of Criminal Procedure Rule 41 (g) tersebut sekilas serupa dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 95 KUHAP, namun sebenarnya kedua ketentuan tersebut berbeda dalam hal pihak yang mengajukan, tujuan dan hasil yang diterima. Dalam hal ini Pasal 95 KUHAP menyatakan bahwa
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.374
Dalam hal ini frasa ”kerugian karena dikenakan tindakan lain” pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP tersebut memang merujuk pada kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan tanpa alasan, yaitu penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.375 Ketentuan Pasal 95 KUHAP tersebut memberikan kesempatan pengajuan ganti kerugian akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum kepada tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang
374
Indonesia (A), op. cit., Pasal 95.
375
Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 95 ayat (1) KUHAP.
Universitas Indonesia
157
terdapat dalam Federal Rules of Criminal Procedure yang memberikan kesempatan kepada setiap orang (a person) yang dirugikan oleh tindakan penggeledahan dan penyitaan untuk dapat mengajukan permintaan agar barang yang digeledah dan disita dari dirinya tersebut dikembalikan kepadanya.376 Kedua ketentuan tersebut berbeda bila dilihat dari beberapa hal. Pertama dari segi apa yang diminta, KUHAP mengatur perihal pemberian ganti kerugian, sementara Federal Rules of Criminal Procedure mengatur perihal pengembalian barang yang disita. Kedua, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 95 KUHAP hanya memberikan kesempatan tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan ganti kerugian, sementara ketentuan yang terdapat dalam Federal Rules of Criminal Procedure memberikan kesempatan kepada semua orang yang dirugikan untuk meminta agar barang miliknya yang telah disita secara melawan hukum dikembalikan kepadanya. Penulis berpendapat memang perlu diatur ketentuan sebagaimana terdapat dalam Federal Rules of Criminal Procedure Rule 41 (g) tersebut pada hukum acara pidana di Indonesia, karena mungkin saja pada saat ini, terutama terkait dengan bukti elektronik, terjadi penyitaan secara melanggar hukum atau penyitaan yang ternyata mengganggu pelayanan publik yang telah merugikan pihak yang benda miliknya telah disita oleh penegak hukum.
3.3.3.2. Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, Federal Rules of Criminal Procedure juga membuat pengaturan tersendiri perihal penggeledahan dan penyitaan atas informasi yang tersimpan secara elektronik (Electronically Stored Information). Dalam hal ini diatur bahwa
376
Committee Notes on Rules-2009 Amendment dari Federal Rules of Criminal Procedure memberikan penjelasan bahwa ketika orang yang merasa dirugikan oleh tindakan penyitaan meminta akses kepada media penyimpanan atau informasi yang disimpan secara elektronik yang disita tersebut lebih cepat daripada waktu yang diperkirakan oleh penegak hukum atau waktu yang ditetapkan oleh pengadilan, maka pengadilan dapat saja mengambil tindakan khusus tergantung dari kondisi yang dihadapi dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk menyalin dan mencari data dan kecurigaan yang ada atas pihak yang dirugikan tersebut. Lihat Committee Notes on Rules-2009 Amendment , diakses tanggal 1 Juni 2012.
Universitas Indonesia
158
A warrant under Rule 41(e)(2)(A) may authorize the seizure of electronic storage media or the seizure or copying of electronically stored information. Unless otherwise specified, the warrant authorizes a later review of the media or information consistent with the warrant. The time for executing the warrant in Rule 41(e)(2)(A) and (f)(1)(A) refers to the seizure or on-site copying of the media or information, and not to any later off-site copying or review.377
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa Hukum Acara Pidana yang berlaku di Amerika Serikat telah membedakan antara pengaturan penggeledahan dan penyitaan terhadap orang ataupun benda non-elektronik dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan serta penggandaan terhadap informasi yang disimpan secara elektronik yang nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Surat Perintah Penggeledahan Dan Penyitaan yang dibuat harus memberikan hak kepada petugas untuk memeriksa lebih lanjut pada waktu lain bukti elektronik yang disita tersebut terkait
dengan
hal-hal
sebagaimana
disebutkan
dalam
Surat
Perintah
Penggeledahan Dan Penyitaan. Dalam perkara yang melibatkan penyitaan alat penyimpanan elektronik atau penyitaan/penggandaan informasi yang tersimpan secara elektronik, maka pendeskripsian atau penjelasan atas barang yang disita dapat dibatasi hanya terhadap bentuk fisik media penyimpanan yang disita atau digandakan tersebut. Dalam hal ini petugas yang melakukan penyitaan dapat menyimpan salinan (copy) dari informasi yang tersimpan secara elektronik yang disita atau digandakan tersebut.378 Selain terdapat dalam Federal Rules of Criminal Procedure pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik di Amerika Serikat juga “diatur” dalam beberapa guidelines atau manuals. Memang di dalam guidelines atau manuals tersebut selalu dinyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam guidelines atau manuals tersebut bukan merupakan suatu aturan resmi dan tidak dapat dijadikan rujukan resmi atas suatu aturan yang materil
377
Lihat Federal Rules of Criminal Procedure, op. cit., Rule 41 (e) (2) (B).
378
Lihat, ibid., Rule 41 (f) (1) (B).
Universitas Indonesia
159
ataupun formil. Akan tetapi dalam kenyataannya prinsip-prinsip dan tata cara yang umumnya terdapat di dalam guidelines ataupun manuals tersebut memang telah dipergunakan oleh para penegak hukum di Amerika Serikat dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Diantara beberapa guidelines atau manuals tersebut, penulis akan mencoba membahas secara garis besar terkait guidelines atau manuals yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice. A. Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations379. Manuals ini merupakan panduan yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice, tepatnya oleh Computer Crime and Intellectual Property Section Criminal Division. Pada saat penelitian ini dilakukan, manuals yang dipubilkasikan oleh Office of Legal Education Executive Office for United States Attorneys tersebut telah sampai pada edisi yang ketiga sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 2002.380 Dalam hal ini manuals tersebut dibuat dalam 280 halaman lebih dan terbagi dalam lima bab, dimana pada bab pertama dibahas perihal batasan-batasan yang diberikan oleh Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat terkait dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap komputer dan data komputer yang dilakukan tanpa suatu surat perintah penggeledahan dan penyitaan. Pembahasan diawali dengan menjelaskan bagaimana pengadilan di Amerika Serikat memaknai frasa “reasonable expectation of privacy” yang terdapat dalam Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat ketika diaplikasikan kepada pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap komputer. Selanjutnya dibahas pula tindakan-tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap komputer yang bagaimanakah yang dapat dilakukan tanpa adanya suatu surat perintah penggeledahan dan penyitaan. Bab pertama ini pun 379
Untuk teks lengkap dari Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations dapat di download dari <www.justice.gov/criminal/cybercrime/docs/ssmanual2009.pdf>. 380
U.S. Department of Justice, Computer Crime and Intellectual Property Section Criminal Division, Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations, (Office of Legal Education Executive Office for United States Attorneys), hal. vii.
Universitas Indonesia
160
kemudian ditutup dengan suatu kesimpulan dengan disertai pembahasan yang komprehensif tentang Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat terkait dengan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap komputer di suatu lingkungan
kerja,
yang dilakukan
tanpa disertai
suatu
surat
perintah
penggeledahan dan penyitaan. Selanjutnya, pada bab kedua panduan tersebut dibahas perihal peraturanperaturan yang mengatur perihal pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap komputer yang dilaksanakan dengan suatu surat perintah penggeledahan dan penyitaan. Bab ini diawali dengan pembahasan secara singkat atas berbagai peran yang dapat dilakukan oleh komputer dalam suatu tindak pidana dan apa saja yang perlu diingat oleh penyidik dan Penuntut Umum ketika membuat
suatu
permintaan
untuk
dikeluarkannya suatu
surat
perintah
penggeledahan dan penyitaan. Dalam pembahasan tersebut dibahas persoalanpersoalan yang mungkin timbul terkait dengan proses meminta surat perintah pengeledahan dan penyitaan, persoalan-persoalan yang mungkin timbul pada saat proses analisis forensik atas komputer yang disita dan juga tantangan-tantangan yang mungkin timbul setelah dilaksanakannya penyitaan. Akhirnya bab kedua ini ditutup dengan pembahasan terkait pembatasan-pembatasan pengunaan surat perintah penggeledahan dan penyitaan untuk melakukan penggeledahan terhadap komputer, misalnya seperti pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Privacy Protection Act. Kemudian, fokus pembahasan dalam bab tiga adalah tentang Stored Communication Act. Dalam hal ini Stored Communication Act mengatur bagaimana penyidik dapat memperoleh rekaman-rekaman dan isi dari suatu akun yang tersimpan di penyedia jasa layanan jaringan, termasuk penyedia jasa layanan internet dan jasa layanan telepon tetap dan selular. Persoalan-persoalan yang timbul terkait dengan Stored Communication Act tersebut biasanya terjadi dalam perkara-perkara yang melibatkan internet, yaitu ketika penyidik mencari informasi mengenai suatu akun internet dari penyedia jasa layanan internet. Dalam kasus semacam itu penyidik harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Stored Communication Act tersebut.
Universitas Indonesia
161
Lebih lanjut, pada bab keempat panduan tersebut dibahas tentang kerangka hukum yang mengatur perihal pengawasan secara elektronik, dengan penekanan pada bagaimana undang-undang diaplikasikan terhadap pengawasan atas jaringan telekomunikasi. Secara khusus bab ini membicarakan tentang Wiretap Act, Pen Register and Trap and Trace Device statute. Dalam hal ini kedua undang-undang tersebut mengatur kapan dan bagaimana pemerintah dapat melakukan pengawasan secara real-time, seperti memonitor aktifitas hacker komputer ketika mereka meretas ke jaringan komputer pemerintah. Akhirnya pada bab kelima panduan Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations tersebut, dibicarakanlah persoalan-persoalan terkait dengan bukti dan pembuktian yang sering timbul terkait dengan perkara-perkara yang terkait dengan komputer. Menurut penulis panduan tersebut sangatlah berguna bagi penegak hukum dalam memahami seluk beluk tentang tindakan penggeledahan dan penyitaan dan kaitannya dengan hak privacy seseorang. Selain itu panduan tersebut juga berisi pemaparan yang komprehensif perihal pengeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan terhadap bukti elektronik, mulai dari apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, solusi dalam menghadapi hambatan yang mungkin timbul dikarenakan peraturan perundang-undangan yang melindungi hak privacy seseorang, hingga dasar-dasar argumentasi dalam menghadirkan bukti elektronik sebagai bukti yang sah dan otentik di persidangan.
B. Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition381 Panduan ini juga dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice bekerjasama dengan National Institute of Justice382. Guide atau panduan ini dibuat dengan
381
Untuk teks lengkap dari Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition dapat di download dari . 382
National Institute of Justice (NIJ) merupakan lembaga penelitian, pengembangan dan evaluasi dari U.S. Department of Justice. National Institute of Justice didirikan pada tahun 1969 dan merupakan bagian dari Office of Justice Programs yang berada dibawah Office of the Assistant Attorney General. Dalam hal ini NIJ mendapatkan mandat untuk melakukan kegiatan-kegiatannya tersebut berdasarkan Omnibus Crime Control and Safe Streets Act of 1968, sebagaimana telah diamandemen. Untuk pemahaman yang lebih lengkap mengenai lembaga-lembaga tersebut dapat
Universitas Indonesia
162
tujuan membantu aparat penegak hukum dan pihak lain yang mungkin diserahi tanggung jawab untuk menjaga tempat kejadian perkara elektronik (electronic crime scene) dan untuk mengenali, mengumpulkan dan mengamankan bukti elektronik.383 Dalam panduan yang terdiri lebih dari enam puluh halaman tersebut dibahas berbagai macam hal mulai dari apakah yang dimaksud dengan bukti elektronik hingga apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menangani bukti elektronik di tempat kejadian perkara. Panduan ini terbagi dalam tujuh bab, dimana dalam bab pertama dibahas mengenai alat-alat eletronik, mulai dari tipe-tipenya, pendeskripsian atau penjelasan atas alat-alat elektronik tersebut, hingga jenis atau bentuk-bentuk bukti elektronik yang mungkin di dapat dari alatalat elektronik tersebut. Kemudian pada bab kedua panduan tersebut dijelaskan pula perihal alatalat apa sajakah yang diperlukan untuk mengumpulkan bukti elektronik agar bukti elektronik yang dikumpulkan tersebut tidak berubah, rusak atau hancur ketika dikumpulkan. Lalu pada bab ketiga diuraikan perihal tindakan apa sajakah yang harus dilakukan dalam mengamankan dan melakukan evaluasi terhadap tempat kejadian perkara. Dalam hal ini evaluasi tersebut dilakukan untuk membuat sebuah analisa yang cepat dan tepat mengenai tindakan lanjutan apakah yang kemudian harus dilakukan dalam pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik pada saat penyidik atau ahli komputer forensik berada pertama kali di tempat kejadian perkara. Pada bab ketiga ini dijelaskan misalnya apa saja yang harus dilakukan terhadap benda-benda yang memiliki potensi menyimpan bukti elektronik yang dicari. Selain itu terdapat pula penjelasan perihal apa sajakah yang harus dilakukan terhadap orang yang berada di tempat kejadian perkara, terkait dengan karakteristik spesifik dari bukti elektronik, misalnya apa yang harus dilakukan ketika di tempat kejadian perkara ditemukan sebuah komputer yang _________________________ dilihat di , .
,
383
U.S. Department of Justice, Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition, (Washington, DC: Office of Justice Programs, National Institute of Justice, 2008), hal. vii.
Universitas Indonesia
163
terproteksi dengan password dan pada saat itu ada orang lain selain dari tim penyidik di tempat kejadian perkara tersebut. Lebih lanjut, bab keempat panduan Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition berisi tentang uraian apa saja yang harus dilakukan dalam melakukan dokumentasi terhadap segala sesuatu yang terdapat dan dilakukan di tempat kejadian perkara. Hal ini sangat penting ketika misalnya ternyata bukti elektronik yang ditemukan harus dipindahkan dari tempatnya semula, baik itu karena memang situasi yang ada pada saat itu tidak memungkinkan untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap bukti elektronik di tempat kejadian perkara ataupun karena hal-hal teknis lainnya. Selanjutnya, dalam bab kelima panduan tersebut diuraikan perihal langkah-langkah yang harus ditempuh dan hal-hal apa saja yang perlu menjadi perhatian penyidik dan ahli komputer forensik dalam melakukan pengumpulan bukti-bukti elektronik. Dalam bab ini diuraikan dengan cukup rinci tahap per tahapan yang harus dilakukan dalam proses pengumpulan bukti elektronik, bahkan panduan tersebut membuatkan sebuah Flow Chart (alur kerja) proses pengumpulan bukti elektronik. Dalam bab keenam panduan tersebut diuraikan perihal tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam rangka pengemasan, transportasi atau membawa dan penyimpanan bukti elektronik yang ditemukan dalam proses penggeledahan. Dikarenakan sifat dari bukti elektronik yang sangat ringkih dan sensitif terhadap suhu yang ekstrim, kelembaban, benturan, listrik statis dan medan magnet, maka pada bab ini diuraikanlah langkah-langkah atau prosedur yang harus dilakukan oleh penyidik atau ahli komputer forensik dalam melakukan tindakan mengemas, membawa dan menyimpan bukti elektronik dimaksud. Akhirnya pada bab ketujuh atau bab terakhir dari panduan ini, diuraikan perihal jenis-jenis tindak pidana yang mungkin akan dapat ditemukan bukti elektroniknya serta pada alat-alat elektronik apa sajakah dan dalam bentuk apa sajakah bukti-bukti elektronik tersebut dapat ditemukan. Dalam panduan tersebut penulis menemukan ada sembilan belas jenis tindak pidana yang diuraikan. Selain dari hal-hal yang telah penulis uraikan sebelumnya, dalam panduan tersebut terdapat juga cukup banyak daftar kosa kata khas alat-alat elektronik
Universitas Indonesia
164
berikut penjelasannya. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam memahami istilah-istilah teknis terkait bukti-bukti elektronik, terutama bagi mereka yang masih cukup baru dalam mengenal alat-alat elektronik yang ternyata mungkin saja menyimpan banyak bukti yang dapat dipergunakan untuk pembuktian suatu tindak pidana. Perlu juga penulis informasikan bahwa panduan Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition ini juga dibuat dalam bentuk buku saku yang lebih praktis dan ringkas dan diberi judul Electronic Crime Scene Investigation: An On-the-Scene Reference for First Responders384.
C. Forensic
Examination
of
Digital
Evidence:
A
Guide
for
Law
Enforcement385 Panduan atau guide ini merupakan seri yang kedua dari rangkaian seri sebelumnya yaitu guide yang berjudul Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders. Panduan ini juga merupakan panduan yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice bekerjasama dengan National Institute of Justice. Dalam rangka membuat pandun ini, dibentuklah Technical Working Group for the Examination of Digital Evidence (TWGEDE). Pada dasarnya panduan ini dibuat dimaksudkan untuk digunakan oleh para penegak hukum yang bertugas untuk memerika bukti elektronik386. Memang tidak semua hal terdapat dalam panduan ini. Dalam hal ini isi dari panduan ini lebih condong pada situasi-situasi yang biasanya ditemui dalam proses pemeriksaan bukti elektronik, dan dalam panduan ini pun sekali lagi dinyatakan bahwa segala yang terdapat dalam panduan tersebut tidaklah mutlak harus diikuti oleh para penegak hukum. Dalam hal ini panduan tersebut lebih merupakan sebuah acuan
384
Untuk teks lengkap dari Electronic Crime Scene Investigation: An On-the-Scene Reference for First Responders dapat di download dari . 385
Untuk teks lengkap dari Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement dapat di download dari . 386
U.S. Department of Justice, Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement, (Washington, DC: Office of Justice Programs, National Institute of Justice, 2004), hal. 1.
Universitas Indonesia
165
bagi para penegak hukum dalam mengembangkan kebijakan dan prosedurprosedurnya sendiri dalam melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik. Lebih lanjut, dalam panduan Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement tersebut, dinyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dilaksanakan, yaitu:387 1. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka mengamankan dan mengumpulkan bukti elektronik tidak boleh mempengaruhi integritas dari bukti elektronik itu sendiri. 2. Petugas yang melaksanakan pemeriksaan bukti elektronik haruslah petugas yang telah terlatih untuk melakukan pemeriksaan dimaksud. 3. Aktifitas yang terkait dengan penyitaan, pemeriksaan, penyimpanan atau pemindahan bukti elektronik haruslah didokumentasikan, diarsipkan dan dapat dilihat ulang di lain waktu. Dapat penulis jelaskan lebih lanjut, panduan ini terbagi dalam lima bab dan disertai dengan delapan lampiran. Pada bab pertama diuraikan perihal pengembangan kebijakan dan prosedur yang seharusnya dilakukan atau dimiliki oleh setiap institusi penegak hukum yang akan melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik. Dalam bab ini dibahas tentang pentingnya memiliki petugas yang terlatih dan handal serta adanya suatu Standard Operating Procedures (SOP) pada setiap tahapan pemeriksaan bukti elektronik. Lalu pada bab kedua panduan tersebut diuraikanlah perihal penilaian terhadap barang bukti elektronik yang ditemukan. Dalam hal ini penilaian dilakukan agar pemeriksaan terhadap bukti dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dalam menemukan bukti yang diperlukan. Penilaian yang dilakukan mulai dari mengetahui bukti seperti apakah yang hendak dicari dan untuk membuktikan hal apa, lalu alat apa sajakah yang dibutuhkan untuk menemukan bukti dimaksud, dimanakah pemeriksaan bukti elektronik tersebut dilakukan, apakah langsung di tempat kejadian perkara atau tempat dimana bukti tersebut pertama kali ditemukan ataukah bukti tersebut dapat dibawa ke kantor penyidik untuk kemudian dilakukan pemeriksaan, hingga penilaian terhadap kondisi bukti elektronik itu sendiri, yaitu apakah kondisinya memungkinkan untuk dipindahkan, 387
Ibid.
Universitas Indonesia
166
bagaimana mendokumentasikan bukti tersebut, apakah difoto, digambar atau dibuat catatan tertulis, dan hal-hal teknis lainnya yang terkait dengan karakteristik khusus yang dimiliki oleh bukti elektronik. Selanjutnya pada bab ketiga dijelaskan perihal langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka mendapatkan bukti elektronik. Hal ini penting dikarenakan sifat bukti elektronik itu sendiri yang sangat ringkih dan mudah untuk berubah, rusak atau bahkan hancur dikerenakan proses penanganan atau pemeriksaan yang tidak tepat. Kemudian pada bab keempat panduan tersebut diuraikan tahapan-tahapan tindakan yang harus dilakukan dan hal-hal apa sajakah yang penting untuk diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik. Dalam bab ini juga diulas perihal metode analisis yang dilakukan terhadap bukti elektronik yang ditemukan, misalnya timeframe analysis, data hiding analysis, serta application and file analysis. Lebih lanjut, pada bab kelima diuraikanlah langkah-langkah yang sepatutnya dilakukan oleh petugas yang memeriksa bukti elektronik terkait dengan pendokumentasian dan pelaporan atas pemeriksaan bukti elektronik yang ditemukan. Dalam hal ini bab kelima panduan tersebut menjabarkan bagaimanakan seharusnya proses pendokumentasian dilakukan dan apa saja yang harus didokumentasikan. Pendokumentasian ini menjadi penting sebagai salah satu cara membuktikan bahwa perolehan bukti elektronik tersebut telah dilakukan dengan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan menjadikan bukti elektronik tersebut menjadi bukti yang sah dan dapat digunakan untuk mendukung proses pembuktian di persidangan karena telah diperoleh dengan cara-cara yang tidak
melanggar
peraturan
perundang-undangan
yang
ada.
Selain
itu
pendokumentasian ini pun berguna untuk membuktikan bahwa bukti elektronik yang didapatkan memang benar adanya karena dengan adanya proses pendokumentasian tersebut, apabila pihak lain melakukan pemeriksaan dan memperoleh bukti elektronik tersebut dengan menggunakan cara-cara seperti yang tertera dalam dokumentasi yang ada, maka bukti elektronik yang diperoleh pun akan sama hasilnya.
Universitas Indonesia
167
Dalam bab ini juga dijabarkan perihal apa sajakah yang harusnya terdapat dalam laporan pemeriksaan barang bukti elektronik tersebut, mulai dari siapa yang melakukan pemeriksaan, dari siapa bukti elektronik tersebut diterima oleh pemeriksa barang bukti elektronik tersebut, hingga penjelasan secara terperinci mengenani temuan-temuan yang berhasil diperoleh dari bukti elektronik tersebut. Sebagaimana telah penulis sebutkan sebelumnya, selain dari terbagi dalam lima bab, panduan ini juga disertai dengan beberapa lampiran. Dalam lampiran A (appendix
A)
terdapat
beberapa
contoh
kasus
beserta
contoh
bentuk
pendokumentasian serta contoh pelaporan pemeriksaan bukti elektronik. Kemudian pada lampiran B terdapat daftar kosa kata istilah-istilah yang terkait dengan bukti elektronik. Selanjutnya lampiran C berisi contoh kertas kerja penanganan pemeriksan bukti elektronik. Dalam hal ini contoh yang diberkan adalah contoh formulir computer evidence worksheet, hard drive evidence worksheet serta removable media worksheet berikut contoh pengisiannya di beberapa institusi penegak hukum yang ada di Amerika Serikat. Lampiran D panduan Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement berisi tentang contoh formulir pemintaan untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap bukti elektronik. Sementara dalam lampiran E panduan tersebut diberikan daftar sejumlah sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mencari pengaturan-pengaturan yang ada terkait dengan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, termasuk proses pencarian, pemeriksaan, penyimpanan dan pemindahan, hingga menghadirkan bukti elektronik tersebut sebagai bukti di persidangan. Lebih lanjut dalam lampiran F terdapat sejumlah institusi penegak hukum, organisasi atau lembaga yang dapat dihubungi terkait dengan pemeriksaan bukti elektronik. Dalam hal ini daftar institusi, organisasi atau lembaga yang dicamtumkan dalam lampiran F tersebut menurut penulis cukup lengkap karena meliputi institusi, organisasi atau lembaga yang ada di tingkat federal dan seluruh Negara Bagian yang ada di Amerika Serikat, bahkan terdapat juga sejumlah institusi, organisasi atau lembaga di tingkat internasional, yaitu yang berada di luar Amerika Serikat, misalnya yang terdapat di Australia, Brazil, Kanada, Swiss dan Inggris.
Universitas Indonesia
168
Selanjutnya, dalam lampiran G terdapat daftar sejumlah lembaga nonprofit, organisasi dan institusi baik itu dalam tingkat federal maupun Negara bagian, institusi penegak hukum serta kalangan akademik yang dapat memberikan pelatihan dibidang komputer forensic. Sementara dalam lampiran yang terakhir yaitu lampiran H terdapat sejumlah nama organisasi yang telah diberikan copy dari panduan Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement tersebut. D. Investigations Involving the Internet and Computer Networks388 Pada saat ini penggunaan internet dan jaringan komputer lainnya telah tumbuh dengan sangat pesat. Sayangnya hal tersebut juga berbanding lurus dengan semakin terbuka untuk dilakukannya berbagai macam jenis kejahatan yang melibatkan alat-alat elektronik. Dalam hal ini berbagai macam tindak kejahatan pun menjadi dapat dilakukan atau difasilitasi secara online. Para pelaku kejahatan pun dapat saling bertukar dan berbagi informasi, menyamarkan identitas mereka, mencari dan mengumpulkan informasi tentang calon korban kejahatannya dan bahkan berkomunikasi dengan rekannya yang turut serta melakukan kejahatan bersamanya. Akibatnya website, e-mail, chat room, dan file sharing networks pun menjadi dapat menghasilkan atau memberikan berbagai macam bukti dalam penyidikan kejahatan yang terkait dengan komputer.389 Dikarenakan hal semacam itu, maka U.S. Department of Justice bekerjasama dengan National Institute of Justice pun mengeluarkan panduan yang diberi judul Investigations Involving the Internet and Computer Networks ini. Panduan ini terbagi dalam sembilan bab dan disertai dengan sebelas lampiran yang menjadi satu kesatuan dalam panduan tersebut. Pada bab pertama panduan tersebut berisi lebih banyak perihal pendahuluan dan membahas beberapa hal yang terkait dengan kejahatan yang melibatkan internet dan jaringan komputer lainnya serta pentingnya untuk
388
Untuk teks lengkap dari Investigations Involving the Internet and Computer Networks dapat di download dari . 389
U.S. Department of Justice, Investigations Involving the Internet and Computer Networks, (Washington, DC: Office of Justice Programs, National Institute of Justice, 2007), hal. iii.
Universitas Indonesia
169
mendapatkan bukti elektronik dari kedua hal tersebut untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi. Kemudian pada bab kedua diuraikan langkah-langkah apa sajakah yang biasanya harus dilakukan dalam melacak alamat internet390 hingga ke sumber awalnya. Dalam bab kedua ini dijelaskan hal-hal teknis mulai dari beberapa istilah yang terkait dengan IP address, seperti misalnya dynamic IP address391 dan static IP address392, penjelasan atas beberapa teknik yang biasanya dilakukan oleh pelaku tindak pidana dalam menyembunyikan IP address yang sebenarnya seperti spoofing393, masking394 dan redirecting395, hingga penjelasan atas beberapa cara dalam melacak sebuah IP address atau nama domain (domain name). Setelah itu dijelaskanlah dimana saja bukti elektroniknya dapat ditemukan. Selanjutnya pada bab ketiga panduan tersebut dijelaskan perihal langkahlangkah yang sebaiknya dilakukan dalam melakukan penyidikan terhadap suatu email. Pada bab ini dijelaskan banyak hal mulai dari bagaimana suatu e-mail bekerja, bagian-bagian dari sebuah e-mail, hingga beberapa hal yang perlu dicermati ketika melakukan pemeriksaan terhadap sebuah e-mail dalam rangka mencari bukti elektronik. Dari penjelasan yang terdapat dalam bab ketiga tersebut 390
Dalam hal ini yang dimaksud dengan alamat internet atau internet address adalah sesuatu yang biasa dikenal dengan Internet Protocol (IP) address. Dapat penulis jelaskan bahwa setiap alat yang terlibat dalam komunikasi yang menggunakan internet memerlukan sebuah IP address. Dalam hal ini IP address adalah serangkaian empat angka yang terdiri dari angka 0 sampai dengan 255 dan dipisahkan oleh tanda baca titik. IP address ini merujuk pada jaringan atau alat tertentu. Misalnya contoh sebuah alamat internet atau IP address adalah 10.76.123.98. 391
Dynamic IP address merupakan alamat sementara yang diberikan dari sekumpulan alamat yang tersedia dan terdaftar pada suatu Internet Service Provider (ISP). Alamat-alamat ini diberikan kepada suatu alat ketika seorang pengguna alat tersebut mulai terkoneksi dengan suatu jaringan. Akibatnya IP address dari satu alat yang sama dapat berubah-ubah dari satu sesi koneksi dengan satu sesi lainnya. Lihat U.S. Department of Justice, Investigations Involving the Internet and Computer Networks, op. cit., hal. 7. 392
Static IP address merupakan alamat yang secara tetap atau permanen diberikan kepada suatu alat yang dikonfigurasikan untuk selalu memiliki satu IP address yang sama. Seseorang, sebuah kegiatan bisnis atau sebuah organisasi yang selalu terkoneksi ke internet seperti halnya sebuah website, secara umum membutuhkan sebuah Static IP address. Lihat ibid. 393
Spoofing merupakan suatu metode untuk menyembunyikan atau menutupi alamat sebernarnya dari suatu IP address. Lihat ibid., hal. 9. 394
Masking merupakan suatu metode untuk meniru IP address suatu sistem alat yang lain. Dengan demikian maka metode ini dapat membuat suatu alat A terlihat seolah-olah memiliki IP address yang sebenarnya dimiliki oleh alat B. Lihat ibid. 395
Redirecting merupakan suatu metode untuk meneruskan atau mengalihkan lalu lintas internet, misalnya dari seharusnya ke IP address A menjadi ke IP address B. Lihat ibid.
Universitas Indonesia
170
seorang penyidik akan dapat memahami anatomi sebuah e-mail dengan baik sehingga kemudian akan memudahkannya dalam mencari dimana saja kemungkinan terdapat bukti eletronik yang dicari atau dibutuhkannya. Kemudian pada bab keempat diuraikan beberapa hal terkait dengan langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh dalam melaksanakan penyidikan yang melibatkan web site. Dalam bab ini diberikan panduan terkait metode-metode dan praktek untuk melakukan penyidikan terhadap suatu web site. Hal ini penting karena penyidik harus menyadari bahwa akses kepada suatu web site dapat saja dipantau oleh target penyidikan itu sendiri. Pemantauan semacam itu tentunya dapat mengungkap identitas penyidik dan mengacaukan proses penyidikan itu sendiri. Oleh karena itu dalam bab ini diuraikanlah berbagai metode untuk mengatasi persoalan-persoalan semacam itu. Lebih lanjut, dalam bab kelima panduan Investigations Involving the Internet and Computer Networks tersebut dibahas juga perihal penyidikan yang terkait dengan Instant Message Services (IM), Chat Rooms, dan Internet Relay Chat (IRC). Seperti diketahui, IM, Chat Rooms dan IRC memungkinkan para penggunanya untuk berkomunikasi secara real time. Artinya apa yang komunikasi dari satu pihak kepada pihak lainnya akan diterima oleh pihak yang lain tersebut dengan segera. Hebatnya, hal tersebut tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui komputer. Banyak sekali alat-alat yang sifatnya portable sudah dapat pula memanfaatkan bentuk komunikasi tersebut, seperti misalnya Personal Digital Assistant (PDA), telepon selular dan sebagainya. Dalam hal ini, IM, Chat Rooms dan IRC tersebut memungkinkan untuk dilakukannya pengiriman suara, gambar, video dan bahkan pertukaran file. Dengan demikian maka kemungkinan akan banyak terdapat informasi yang dibutuhkan terkait penyidikan tindak pidana yang terjadi yang terdapat dalam IM, Chat Rooms dan IRC tersebut. Bab kelima panduan ini menguraikan dengan cukup lengkap mulai dari cara bekerjanya suatu Instant Message Services, lalu informasi-informasi atau bukti-bukti apa sajakah yang kemungkinan terdapat dalam sebuah Chat Room, hingga berbagai hal teknis tentang bagaimana mencari bukti pada dalam IM, Chat Rooms dan IRC tersebut.
Universitas Indonesia
171
Kemudian, dalam bab keenam panduan tersebut diuraikan perihal bagaimana melakukan penyidikan untuk mencari bukti-bukti dalam suatu File Sharing Networks. Dalam hal ini bab keenam panduan tersebut menguraikan dengan cukup lengkap mulai dari pengertian istilah-istilah yang terkait dengan File Sharing Networks, hingga bukti macam apa yang mungkin di dapat dalam suatu File Sharing Networks dan dimana bukti-bukti tersebut biasanya dapat ditemukan. Selanjutnya, pada bab ketujuh panduan ini dibahas perihal penyidikan terkait dengan terjadinya penyusupan terhadap suatu jaringan dan serangan dalam bentuk Denial of Services (DoS)396, termasuk juga serangan yang dilakukan dengan menggunakan virus, worm dan trojan. Dalam bab ketujuh ini diuraikan mulai dari apa yang dimaksud dengan suatu jaringan, kemudian diuraikan pula apakah itu virus, worm dan trojan dan bagimana cara kerjanya. Selain itu diuraikan pula perihal wireless network atau jaringan nirkabel dan cara kerjanya, hingga bagaimana melakukan penyidikan yang terkait dengan suatu serangan dalam bentuk Denial of Services (DoS) hingga dapat diperoleh bukti-bukti elektronik yang akan dapat membuat terang siapa pelaku tindak pidana tersebut. Menurut penulis bab ketujuh ini sangatlah berguna terutama bagi mereka yang masih awam karena dalam bab ini diberikan penjelasan yang cukup terperinci dan akan dapat dipergunakan oleh penyidik atau siapapun yang nantinya akan berhadapan dengan bukti-bukti elektronik yang terkait tindak pidana yang melibatkan suatu jaringan tersebut. Mereka yang telah membaca panduan ini, khususnya pada bab ketujuh ini akan dapat menjadi paham tentang apa yang setidaknya harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika pertama kali menemukan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang melibatkan suatu jaringan ini. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam
396
Suatu serangan dalam bentuk Denial of Services (DoS) merupakan sebuah tindakan atau serangkaian tindakan yang dirancang untuk mengganggu kemampuan system dari suatu target serangan dalam menyediakan pelayanan jaringan dan mencegah para pengguna jaringan tersebut untuk mempergunakan sumberdaya yang ada pada jaringan itu. Biasanya serangan dalam bentuk DoS ini dilakukan dengan membanjiri suatu jaringan dengan banyak sekali data sehingga menimbulkan permintaan yang amat banyak atas sumberdaya yang ada pada jaringan tersebut dan akhirnya jaringan tersebut menjadi tidak dapat merespon permintaan sumberdaya yang berasal dari pengguna yang resmi. Lihat . Department of Justice, Investigations Involving the Internet and Computer Networks, op. cit., hal. 56.
Universitas Indonesia
172
menjaga keutuhan atau integritas dan keaslian bukti yang akan dihadirkan di persidangan nantinya. Lebih lanjut, pada bab kedelapan panduan ini, diuraikan perihal penyidikan yang berkaitan dengan bulletin boards, message boards, listserv dan newsgroups. Dalam bab ini pun diuraikan secara cukup lengkap mulai dari apa yang dimaksud dengan bulletin boards, message boards, listserv dan newsgroups hingga bukti elektronik macam apakah yang mungkin dapat ditemukan disana. Selain itu dijelaskan pula langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan penyidik ketika hendak mendapatkan bukti-bukti elektronik dimaksud. Menurut penulis, bab ini menjadi penting karena pada bab kedelapan ini dijelaskan bentuk-bentuk komunikasi
melalui
internet
namun
bentuk
komunikasi
yang
terjadi
mempergunakan model-model komunikasi yang dipergunakan pada masa awal berkembangnya internet. Hal ini tentunya sangat membantu penyidik ketika pelaku tindak pidana memilih menggunakan komunikasi internet model lama dengan harapan para penegak hukum tidak akan memprediksi tindakannya tersebut karena model komunikasi tersebut sudah tidak lagi dipergunakan secara umum pada saat ini. Dengan adanya penjelasan pada bab kedelapan ini maka penulis melihat bahwa panduan ini telah menjadi panduan yang cukup lengkap karena telah menguraikan segala kemungkinan yang mungkin terjadi, walaupun tetap saja tidak dapat dikatakan sempurna karena seperti diketahui teknologi terus berkembang sertiap saatnya. Akhirnya, pada bab terakhir panduan ini diuraikan beberapa hal terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku di Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi cara dan hasil akhir dari suatu proses perolehan bukti elektronik. Seperti diketahui, untuk memastikan diterimanya suatu bukti dan mensukseskan suatu proses pembuktian di persidangan, metode dan prosedur dalam memperoleh bukti-bukti tersebut pada saat penyidikan sangatlah penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu dalam bab yang kesembilan ini diuraikan beberapa peraturan yang mengatur bagaimana suatu bukti elektronik harusnya didapat dan juga cara-cara apa sajakah yang tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh penyidik yang hendak mendapatkan bukti elektronik oleh peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal ini beberapa peraturan yang dibahas adalah Amandemen Keempat Konstitusi
Universitas Indonesia
173
Amerika Serikat, Wiretap Act, Pen Register and Trap and Trace Statue, Electronic Communication Privacy Act dan Privacy Protection Act. Seperti telah disinggung sebelumnya, panduan ini juga dilengkapi dengan beberapa lampiran yang merupakan satu kesatuan dengan panduan Investigations Involving the Internet and Computer Networks ini. Dalam hal ini lampiran A panduan tersebut berisi tentang berbagai kosa kata yang terkait, lampiran B berisi penjelasan atas domain name extension (seperti misalnya .com, .net, .aero, .info, dsb), lalu lampiran C berisi tentang penjelasan cara mengakses headers dari suatu e-mail secara rinci, sementara lampiran D berisi check list yang disarankan untuk diikuti dalam melaksanakan penyidikan file sharing, lalu lampiran E berisi contoh-contoh dokumen subpoenas dan contoh-contoh laporan penyidikan, lampiran F berisi contoh-contoh sumber-sumber potensial untuk memperoleh bukti-bukti dalam penyidikan yang melibatkan suatu jaringan, kemudian lampiran G berisi contoh Surat Permintaan Pembekuan suatu arsip data pelanggan sebuah penyedia jasa layanan internet. Lebih lanjut, dalam lampiran H terdapat contoh sebuah Surat Perintah Pengadilan kepada sebuah penyedia jasa layanan internet untuk memberikan datadata yang diminta kepada penyidik, lalu dalam lampiran I terdapat daftar instansi pemerintah di seluruh Amerika Serikat yang dapat dimintai bantuan teknis terkait penyidikan yang melibatkan internet dan jaringan komputer, sementara pada lampiran J terdapat daftar instansi pemerintah yang dapat dimintai bantuan terkait permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul sehubungan dengan pelaksanaan penyidikan yang melibatkan internet dan jaringan komputer. Akhirnya pada lampiran terakhir, yaitu lampiran K terdapat daftar sejumlah organisasi yang juga telah dikirimi panduan Investigations Involving the Internet and Computer Networks ini.
E. Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors397
397
Untuk teks lengkap dari Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors dapat di download dari .
Universitas Indonesia
174
Para penegak hukum seperti Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim pada saat ini tentunya sedikit banyak akan terbebani oleh banyaknya informasi yang mereka butuhkan untuk tetap mengikuti perkembangan tindak pidana yang melibatkan komputer dan alat-alat elektronik lainnya. Di sisi lain, para pelaku tindak pidana justru secara terus-menerus merubah, merevisi atau menciptakan perangkat keras, perangkat lunak, virus, dan berbagai macam sarana kejahatan lainnya untuk menyembunyikan tindak pidana yang mereka lakukan atau menghindari deteksi dari para penegak hukum. Dengan demikian tentunya di satu sisi para penegak hukum tersebut harus selalu terbiasa dan mengikuti perubahan atau perkembangan yang terjadi dalam bidang teknologi dan di sisi lain juga harus terus memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan tindak pidana yang melibatkan alat-alat elektronik tersebut. Dengan didasari oleh pemikiran tersebutlah maka kemudian National Institute of Justice membuat panduan ini bekerja sama dengan sekelompok praktisi yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam kaitannya dengan bukti elektronik dan proses serta metode dalam menjadikannya sebagai bukti yang dapat dipergunakan di persidangan. Panduan Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors ini terdiri dari lima bab dan lima lampiran yang menyertainya. Dalam bab yang pertama dibahas perihal isu-isu yang terkait dengan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Dalam bab pertama ini dibahas beberapa peraturan tingkat Federal yang mengatur akses terhadap bukti elektronik dan juga pengungkapan terhadap informasi-informasi tertentu yang membutuhkan perlakuan khusus sebagaimana ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat, seperti misalnya Electronic Communications Privacy Act (dimana didalamnya termasuk Wiretap Act, Pen Register and Trap and Trace Statute, dan Stored Wire and Electronic Communications Act) serta Privacy Protection Act. Dalam bab pertama ini juga dibahas perihal pemahaman atas ketentuan yang terdapat dalam Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat. Dengan pembahasan-pembahasan tersebut, Penyidik dan Penuntut Umum di Amerika Serikat akan dapat menjadi lebih waspada terhadap kemungkinan mereka melanggar aturan-aturan yang terdapat dalam peraturan-peraturan
Universitas Indonesia
175
tersebut. Hal ini menjadi penting karena bila pelanggaran semacam itu terjadi, dikhawatirkan akan membuat bukti-bukti elektronik yang telah diperoleh akan dipertanyakan keabsahannya, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya gugatan secara perdata atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tersebut. Lebih lanjut, dalam bab kedua dibahas perihal keutuhan, penemuan dan pengungkapan bukti elektronik. Pembahasan seputar ketiga hal tersebut menjadi penting karena menjaga keutuhan suatu bukti elektronik sepanjang proses pemeriksaannya menimbulkan kesulitan tersendiri dibandingkan dengan proses yang sama pada bukti non-elektronik. Oleh karena itulah kemudian panduan ini membahas hal-hal terkait mulai dari perlunya pengetahuan yang komprehensif terhadap barang bukti elektronik yang didapat, lalu pentingnya mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keutuhan data yang terdapat pada suatu bukti elektronik dan juga pendokumentasian setiap langkah yang dilakukan, hingga hal-hal yang terkait dengan pengembalian bukti elektronik kepada pihak yang memiliki atau menguasainya. Kemudian dalam bab ketiga panduan ini dibahas perihal beberapa hal penting yang harus diketahui terkait dengan persiapan untuk menghadirkan suatu bukti elektronik di persidangan. Dalam bab ketiga ini juga dibahas langkahlangkah persiapan yang sebaiknya dilakukan ketika Penuntut Umum hendak menghadirkan suatu bukti elektronik di persidangan dan aturan-aturan perihal bukti yang berlaku dalam suatu proses persidangan di Amerika Serikat. Bab keempat panduan ini membahas perihal bagaimana mempresentasikan atau menghadirkan suatu bukti elektronik sebagai suatu bukti di persidangan. Seperti diketahui, suatu persidangan yang melibatkan bukti elektronik dalam proses pembuktiannya secara mendasar memiliki dua perbedaan dengan proses persidangan lainnya. Pertama persoalan terkait dapat diterima atau tidaknya bukti elektronik tersebut sebagai suatu bukti di persidangan biasanya memang selalu menjadi hal yang mengemuka. Kedua, pemaparan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap bukti elektronik tersebut dapat saja memiliki hambatan terkait istilah-istilah yang dipergunakan, persoalan-persoalan dan konsep-konsep tertentu yang belum tentu dapat dipahami oleh semua pihak. Oleh karena itulah kemudian bab ini memberikan panduan tentang tahapan-tahapan yang sebaiknya dilakukan
Universitas Indonesia
176
oleh Penuntut Umum dalam menghadirkan bukti elektronik di persidangan agar pada akhirnya bukti tersebut dapat diterima sebagai bukti dan dapat pula dipahami oleh para pihak yang terlibat. Hal ini tentunya akan berujung pada bergunanya bukti elektronik tersebut dalam membuktikan kesalahan tersangka pelaku tindak pidana. Selanjutnya, dalam bab kelima panduan ini diberikan pemaparan tentang bagaimana mengaplikasikan pada suatu kasus langkah-langkah yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Dalam hal ini kasus yang dipilih untuk dijadikan contoh adalah kasus tindak pidana pornografi anak. Pada bab kelima ini dibahas mulai dari bukti-bukti elektronik apa saja yang harus dicari dan dimana mencarinya, kemudian strategi bagi Penuntut Umum dalam membuktikan kesalahan si pelaku tindak pidana berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, bagaimana memilih juri untuk kasus tersebut hingga beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Penuntut Umum ketika menyidangkan suatu perkara pornografi anak. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, panduan ini juga berisi lima lampiran. Dalam hal ini lampiran A berisi daftar bahan-bahan rujukan atau tautan (links) yang akan dapat membantu Penyidik dan Penuntut Umum dalam mengungkap dan menyidangkan suatu perkara yang melibatkan bukti-bukti elektronik. Sementara itu lampiran B berisi tentang aturan-aturan yang terkait pengungkapan
suatu
bukti
elektronik
sehubungan
dengan
adanya
Communications Privacy Act di Amerika Serikat. Lalu lampiran C berisi contoh formulir-formulir persetujuan dilakukannya suatu tindakan, misalnya persetujuan untuk dilakukan penggeledahan, baik itu penggeledahan yang bertujuan untuk menemukan bukti elektronik maupun bukti non-elektronik. Selanjutnya lampiran D berisi contoh surat pengembalian bukti elektronik (bukti asli) kepada tersangka. Dalam hal ini terdapat hal penting yang membedakan surat pengembalian bukti elektronik tersebut apabila dibandingkan dengan surat pengembalian bukti non-elektronik, yaitu adanya pernyataan dari tersangka bahwa salinan dari bukti elektronik asli yang dikembalikan kepada tersangka tersebut adalah merupakan salinan yang lengkap dan akurat dari bukti elektronik yang asli. Sementara itu pada lampiran E dari panduan ini terdapat
Universitas Indonesia
177
daftar kosa kata yang terkait dengan istilah-istilah yang dipergunakan dalam panduan Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors ini. Setelah mengamati berbagai panduan yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice tersebut, terlihat bahwa di Amerika Serikat peranan bukti elektronik sudah dianggap sedemikian pentingnya hingga para penegak hukum perlu dibekali tidak saja dengan aturan yang lengkap dan terperinci perihal penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut, namun perlu juga dibekali dengan sejumlah panduan yang akan sangat membantu mereka dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti-bukti elektronik tersebut. Sejumlah panduan tersebut jelas sekali setidaknya akan dapat memberikan pengetahuan dasar yang sangat penting bagi para penegak hukum ketika berhadapan dengan bukti elektronik, terlebih lagi bagi para penegak hukum yang memang masih awam dengan bukti elektronik namun ternyata dihadapkan pada suatu kasus yang melibatkan bukti elektronik untuk mengungkap siapa pelakunya. Pentingnya memberikan pemahaman bagi para penegak hukum perihal bukti-bukti elektronik tersebut ternyata tidak hanya dirasakan penting bagi U.S. Department of Justice, berbagai institusi penegak hukum lainnya juga mengeluarkan panduan-panduan serupa untuk konsumsi internal institusinya demi memberikan pemahaman yang baik bagi para personilnya dalam menangani bukti elektronik. Hal ini terlihat misalnya dari adanya panduan serupa yang dibuat oleh United States Secret Service yang diberi judul Best Practices for Seizing Electronic Evidence, A Pocket Guide for First Responders398. Kemudian terdapat pula panduan yang dibuat oleh Federal Bureau of Investigation melalui Regional Computer Forensics Laboratoriesnya, yaitu Digital Evidence Field Guide: What Every Peace Officer Must Know399.
398
Untuk teks lengkap dari Best Practices for Seizing Electronic Evidence, A Pocket Guide for First Responders dapat di download dari . 399
Untuk teks lengkap dari Digital Evidence Field Guide: What Every Peace Officer Must Know dapat di download dari .
Universitas Indonesia
178
3.3.4. Bukti Elektronik Sebagai Bukti Di Persidangan Setelah di bagian sebelumnya dibahas secara lengkap perihal pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik berikut ketentuan-ketentuan yang mengatur pelaksanaannya, maka pada bagian ini akan dibahas penggunaan dari bukti elektronik yang didapatkan dari tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Tindakan penggeledahan dan penyitaan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya memang dilakukan dengan tujuan untuk mencari bukti-bukti yang dapat mendukung pembuktian kesalahan seseorang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dengan ditemukannya bukti yang dapat memperjelas apa yang terjadi dalam suatu perkara, maka akan lebih mudah bagi Penuntut Umum, Hakim dan Advokat dalam melakukan tugas masing-masing. Berbeda dengan Indonesia yang dalam hukum acara pidananya mengatur secara limitatif perihal alat bukti yang dapat digunakan di persidangan untuk dapat dijadikan penguat keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang, Amerika Serikat tidak mengenal pembatasan semacam itu. Apabila dalam Pasal 184 KUHAP alat bukti dimaksud dibatasi hanya terbatas pada keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, maka dalam hukum acara pidana federal di Amerika Serikat pada dasarnya semua bukti yang dihadirkan di persidangan dapat diterima sebagai bukti asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan memang bukti tersebut dapat membuktikan sesuatu.. Michael Gemignani mengatakan bahwa ”The United States has an adversary system400 of justice”, dimana para pihak yang bersengketa di pengadilan
400
Terkait dengan adversary system ini Luhut M. P. Pangaribuan menyatakan bahwa konsep akusatorial-adversarial itu ialah konsep peradilan pidana yang didalamnya dapat ditemukan elemen-elemen sebagai berikut: (i) dalam setiap tahap pemeriksaan kasus pidana fakta-fakta yang dikumpulkan harus show beyond reasonable doubt, (ii) dalam pemeriksaan suatu kasus sekalipun polisi dan atau jaksa sudah yakin siapa tersangkanya tetapi tetap selalu harus hati-hati dalam bertindak, (iii) dalam sistem adversarial ini ada doktrin bahwa the jury system adalah sebagai protection for the defendant against power of the state, (iv) dalam pemeriksaan di pengadilan contest is essential, (v) pemeriksaan di pengadilan dilakukan dengan cara oral hearings dan the parties to put forward their case, (vi) dalam pemeriksaan di pengadilan seperti itu, maka the judge is an arbitrator untuk memastikan adanya fair play dari para pihak, (vii) hanya terdapat sedikit official involvement, (viii) dikenal suatu proses pleas of guilty dan merupakan an immediately
Universitas Indonesia
179
akan mengajukan buktinya masing-masing untuk mendukung posisinya masingmasing.401 Untuk suatu bukti dapat menjadi bukti di Pengadilan Federal Amerika Serikat maka bukti tersebut harus lolos dari admissibility test dan weight test. Admissibility test ini adalah serangkaian aturan yang diterapkan oleh hakim dalam rangka mengijinkan atau tidak suatu bukti dipergunakan di pengadilan. Lebih lanjut weight test dimaksudkan untuk mengukur validitas dan derajat pentingnya bukti tersebut. Dalam weight test ini pada intinya adalah apakah hakim atau jury percaya terhadap bukti tersebut atau tidak. Dalam hal ini suatu bukti haruslah otentik, akurat dan lengkap untuk dapat lolos dari weight test tersebut.402 Bukti elektronik sama juga halnya dengan bukti yang lainnya, yaitu bukti tersebut harus otentik, akurat, lengkap dan meyakinkan bagi jury dan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam common law serta legislative rules. Untuk memastikan otentitasnya harus dapat dibuktikan bahwa bukti tersebut berasal dari mana bukti tersebut dikatakan berasalnya. Bukti tersebut dikatakan akurat dan dapat dipercaya apabila apa yang dinyatakan oleh bukti tersebut memang dapat dipercaya dan konsisten sehingga tidak menimbulkan keraguan. Kemudian suatu bukti dikatakan lengkap apabila bukti tersebut dapat menyampaikan pesannya secara baik, yaitu tidak ambigu.403 Dengan demikian selama alat bukti yang dihadirkan di persidangan tersebut relevan dengan perkara yang disidangkan maka bukti tersebut dapat diterima sebagai evidence atau alat bukti dalam terminologi KUHAP. Dalam hal ini, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Federal Rules of Evidence pada Rule 401 Test for Relevant Evidence dinyatakan bahwa suatu bukti relevan bila it has any tendency to make a fact more or less probable than it
_________________________ binding judgement. Lihat Luhut M. P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 86-87. 401
Michael Gemignani, Law and the Computer, (Boston: CBI Publishing Company, Inc, 1981), hal. 153. 402
Harley Kozushko, “Digital Evidence”, Makalah disampaikan pada 23 November 2003,
403
Ibid.
hal. 2.
Universitas Indonesia
180
would be without the evidence dan the fact is of consequence in determining the action.404 Kemudian, berdasarkan Rule 402 dinyatakan bahwa
Relevant evidence is admissible unless any of the following provides otherwise: • the United States Constitution; • a federal statute; • these rules; or • other rules prescribed by the Supreme Court. Irrelevant evidence is not admissible.
Dengan demikian maka jelas sekali bahwa di Amerika Serikat pada dasarnya semua bukti dapat dijadikan bukti di persidangan (admissible) selama bukti tersebut relevan dan tidak dikatakan sebaliknya oleh hal-hal sebagaimana tersebut dalam Federal Rules of Evidence Rule 402 tersebut. Di Amerika Serikat, semua bukti pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua ketegori, yaitu circumstantial evidence dan direct evidence. Dalam hal ini direct evidence adalah bukti yang secara langsung membuktikan fakta yang sedang dipertanyakan atau dicari jawabannya. Terkait dengan hal tersebut, yang dimaksud oleh frasa secara langsung membuktikan adalah bahwa tidak diperlukan lagi langkah-langkah tambahan lainnya untuk dapat menyimpulkan sesuatu. Dalam hal ini kesimpulan atas suatu fakta yang terjadi dapat terlihat dari direct evidence tersebut. Contoh dari direct evidence ini adalah saksi mata yang menyaksikan langsung terjadinya suatu perampokan.405 Dalam hal ini saksi mata tersebut bersaksi bahwa ia melihat si terdakwa sedang merampok toko, inilah yang dimaksudkan dengan direct evidence. Sementara itu, yang dimaksud dengan circumstantial evidence adalah bukti yang membutuhkan dua atau lebih langkah-langkah lain untuk dapat menjelaskan suatu fakta yang diinginkan. Dalam hal ini harus diambil suatu kesimpulan dari bukti yang diajukan perihal apakah yang terjadi. Contoh dari
404
Lihat Federal Rules of Evidence, Rule 401. Test for Relevant Evidence.
405
Michael Sheetz, Computer Forensics, An Essential Guide For Accountants, Lawyers, And Managers, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2007), hal. 128.
Universitas Indonesia
181
circumstantial evidence ini misalnya kesaksian dari ahli sidik jari bahwa sidik jari terdakwa ditemukan di tempat kejadian perkara suatu perampokan. Hal tersebut pada dasarnya berusaha membuktikan bahwa si terdakwa pernah berada di tempat kejadian perkara tersebut, namun memang hal tersebut bukanlah bukti yang menunjukkan secara langsung bahwa terdakwalah yang melakukan perampokan tersebut. Dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa sidik jari si terdakwa ada di tempat kejadian perkara tersebut. Kesimpulan bahwa si terdakwalah yang melakukan perampokan tersebut belumlah dapat tercapai hingga Penuntut Umum berhasil membuktikan beberapa keterkaitan serupa. Untuk melakukan hal tersebut, Penuntut Umum tentunya akan mengajukan bukti-bukti yang lain, yang biasanya merupakan circumstantial evidence.406 Lebih lanjut, dalam circumstantial dan direct evidence, terdapat beberapa tipe bukti yang dapat dibagi berdasarkan sifat dasar dari bukti tersebut. Dalam hal ini pembagian bukti tersebut dapat digolongkan dengan sebutan real, testimonial, documentary dan demonstrative evidence.407 Real evidence kadang disebut juga dengan
physical
evidence.
Terminologi
tersebut
dipergunakan
untuk
mendeskripsikan benda yang nyata secara fisik, seperti halnya senjata, sidik jari, helaian rambut, dan benda nyata lainnya yang dapat disentuh, dipegang dan dirasakan oleh jury.408 Sementara itu, testimonial evidence adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh seorang saksi. Orang yang memberikan suatu testimonial evidence misalnya adalah orang yang menyaksikan terjadinya suatu tindak pidana atau orang yang bersaksi atas tes yang dilakukan dalam suatu laboratorium kriminal dan ahli komputer forensik yang mendokumentasikan pelaksanaan tindakan penyitaan dan pemeriksaan bukti digital.409 Semantara itu documentary evidence merupakan bukti yang didalamnya termasuk juga hal-hal yang sudah jelas, seperti halnya cek, dokumen bank dan 406
Ibid., hal. 128-129.
407
Charles P. Nemeth, Law and Evidence: A Primer for Criminal Justice, Criminology, Law, and Legal Studies, (Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, 2001), hal. 15. 408
Ibid., hal. 31-41.
409
Ibid., hal. 15-16.
Universitas Indonesia
182
dokumen tertulis. Selain itu termasuk pula hasil cetak komputer dan log komputer. Singkatnya documentary evidence dapat dilihat sebagai rekaman tulisan yang menyampaikan suatu pesan.410 Lalu yang dimaksud dengan demonstrative evidence adalah bukti yang menyimpulkan atau menjelaskan bukti dalam bentuk yang lain. Kaset video dan grafik merupakan bentuk-bentuk dari demonstrative evidence. Dalam hal ini demonstative evidece seringkali digunakan untuk membantu testimonial witnesses untuk menjelaskan lebih rinci atau untuk menjelaskan konsep rumit yang sedang diberikan kesaksiannya oleh si testimonial witnesses. Dalam hal ini ahli komputer forensik seringkali mengandalkan demonstrative evidence untuk membantu dirinya dalam menyederhanakan bukti elektronik yang sedang dibicarakannya.411
3.4. PENGATURAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DI INGGRIS Setelah
penulis
menguraikan
tentang
bagaimanakah
pengaturan-
pengaturan yang ada di Amerika Serikat terkait dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, selanjutnya penulis akan membahas perihal pengaturan atas tindakan serupa di negara lain yang juga menjadi barometer dalam penanganan atas bukti elektronik, yaitu negara Inggris. Sebelum membahas secara lebih mendalam perihal pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Inggris, maka serupa dengan pembahasan sebelumnya, penulis merasa perlu menyinggung sedikit perihal sistem pengadilan pidana di Inggris. Hal ini memang penting untuk dilakukan agar didapatkan pemahaman yang lebih jelas perihal struktur pengadilan berikut dengan jabatan-jabatan yang berada di dalamnya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut pasti sedikit banyak akan terkait dengan struktur pengadilan berikut dengan jabatanjabatan tersebut.
410
Ibid., hal. 20.
411
Ibid., hal. 71-74.
Universitas Indonesia
183
3.4.1. Sistem Pengadilan Pidana Di Inggris Apabila kita berbicara tentang sistem pengadilan pidana di Inggris412, maka dapat dikatakan bahwa struktur dasar Pengadilan Pidana413 di Inggris terdiri dari Magistrates’ Court414 dan Crown Court.415 Pada kedua pengadilan
412
Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membahas tentang struktur pengadilan pidana di Inggris dan tidak akan membahas tentang pengadilan lainnya, misalnya pengadilan untuk kasus-kasus perdata. Hal ini dilakukan dikarenakan penelitian ini membicarakan tentang penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan dalam penyidikan suatu perkara pidana. Selain itu hal tersebut juga akan lebih memudahkan dalam memahami secara sederhana struktur pengadilan pidana di Inggris. Apabila pembahasan yang dilakukan juga meliputi pengadilan untuk perkaraperkara non-pidana maka menurut penulis hal tersebut akan menjadi membingungkan pembaca dikarenakan struktur pengadilan di Inggris sangatlah kompleks. 413
Apabila membicarakan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana, sebenarnya di Inggris terdapat satu pengadilan yang sebenarnya tidak mengadili tindak pidana tetapi sangat berhubungan erat dengan suatu tindak pidana. Dalam hal ini pengadilan tersebut dikenal dengan Coroners’ Courts. Dalam sejarahnya, Coroners’ Courts ini merupakan salah satu bagian tertua dari sistem hukum Inggris karena setidaknya pengadilan ini telah ada di Inggris sejak tahun 1194. Terkait dengan fungsinya pada saat ini, Coroners’ Courts ini bukanlah merupakan bagian dari peradilan pidana yang ada di Inggris. Pada mulanya pengadilan ini ditunjuk sebagai custos placitorum coronae atau penjaga mahkota. Pada awalnya tanggungjawab Coroners’ Courts ini adalah mengadili perkara tindak pidana dimana Raja atau Ratu Inggris memiliki kepentingan, khususnya kepentingan dari segi keuangan. Pada saat ini terdapat 157 Coroners’ Courts, dimana 21 diantaranya bekerja full time. Para coroner yang ada di pengadilan tersebut biasanya advokat, meskipun 25% diantaranya adalah dokter yang juga memiliki kualifikasi tertentu di bidang hukum. Pada saat ini tugas utama dari Coroners’ Courts ini adalah menentukan penyebab kematian yang tidak alami atau kematian yang melibatkan suatu kekerasan. Dalam hal ini setiap kematian semacam itu harus dilaporkan kepada Coroners’ Court. Kemudian Coroners’ Court akan melakukan pemeriksaan pasca kematian (postmortem) dan kemudian akan dicatat penyebabnya. Apabila terjadi hal lain, misalnya seperti kematian yang terjadi di penjara, di tahanan polisi atau apabila tidak diketahui penyebab kematiannya, maka kemudian akan dilakukan pemeriksaan resmi (inquest). Dalam pemeriksaan resmi tersebut tidak terdapat pihak-pihak yang saling berseberangan posisinya, seperti misalnya Penuntut Umum dan Terdakwa. Dalam pemeriksaan resmi tersebut yang ada hanyalah misalnya perwakilan dari kerabat orang yang meninggal tersebut, perusahaan asuransi, sipir penjara, dsb, yaitu orang-orang yang mungkin memiliki keterkaitan dengan kematian yang terjadi. Mereka semua itu merupakan saksi yang akan dapat diajukan oleh para coroner. Dalam hal ini coroner lah yang menentukan siapa saja yang akan dipanggil untuk menjadi saksi dan bagimanakah urutanurutannya. Dalam sejarahnya juri dalam pemeriksaan resmi tersebut dapat memutuskan bahwa orang yang meninggal dunia telah dibunuh secara melawan hukum (unlawfully killed) dan kemudian memerintahkan agar si tersangka diadili. Namun ketika wewenang tersebut dicabut pada tahun 1926, maka Coroners’ Court menjadi tidak lagi memiliki jembatan yang menghubungkannya dengan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu pada saat ini wewenang juri pemeriksaan resmi hanya terbatas dalam menentukan siapakah yang meninggal tersebut, bagaimana, kapan dan dimana orang tersebut meninggal. Namun demikian juri dalam Coroners’ Court masih tetap dapat memberikan putusan tergolong dalam kematian yang bagaimanakah kematian yang terjadi tersebut, apakah unlawful killing, suicide, accidental death dan open verdict. Lihat Gary Slapper dan David Kelly, English Law, (London: Cavendish Publishing, Ltd, 2000), hal. 95-97. 414
Dalam sejarahnya the office of magistrate atau Justice of the Peace (JP) dibentuk sejak tahun 1195. Pada saat itulah Raja Inggris, Richard I, pertama kali menunjuk ‘keepers of the peace’ untuk menangani mereka yang disangka telah mengganggu ‘King’s peace’. Para JP tersebut pada
Universitas Indonesia
184
tersebutlah suatu tindak pidana akan diadili untuk pertama kali. Untuk kejahatan yang dikenal dengan indictable offences, terdakwa diadili oleh para jury di Crown Court, sedangkan untuk kejahatan yang dikenal dengan summary offences416 si terdakwa diadili oleh magistrates di Magistrates’ Court dan untuk kejahatan yang dikategorikan sebagai ’either way’ offences maka si terdakwa dapat diadili oleh magistrates jika si terdakwa menyetujui, namun si terdakwa dapat juga meminta agar ia diadili dalam pengadilan yang menggunakan jury.417 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya semua perkara tindak pidana diadili pertama kali di Magistrates’ Court, kecuali perkaraperkara yang dikategorikan sebagai indictable offences, seperti misalnya perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan. Terhadap perkara-perkara semacam itu, Magistrates’ Court akan memberikan perkara tersebut kepada Crown Court untuk diadili. Magistrates’ Court biasanya mengadili perkara-perkara tindak pidana ringan seperti misalnya kebanyakan tindak pidana yang melibatkan kendaraan bermotor, tindak pidana yang akibatnya kecil atau ringan ataupun misalnya mabuk dan membuat keonaran. Tindak pidana semacam itulah yang biasa dikenal dengan summary offences. Selain itu, Magistrates’ Court dapat juga mengadili perkara yang bobotnya lebih serius, seperti misalnya pencurian (burglary) dan tindak pidana obat-obatan terlarang. Tindak pidana semacam inilah yang dikenal dengan ’either way’ offences.418 _________________________ awalnya bertindak sebagai local administrator bagi Raja disamping melaksanakan juga tanggungjawab-tanggungjawab mereka yang terkait dengn bidang hukum. Lihat Gary Slapper dan David Kelly, The English Legal System¸7th ed. (London: Cavendish Publishing, Ltd, 2004), hal. 137. Magistrates’ Court merupakan bagian penting dari sistem peradilan pidana di Inggris. Lebih dari 97% dari perkara yang ada diselesaikan di pengadilan ini. Lihat “About Courts”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 415
Crown Court bukanlah pengadilan setempat atau lokal seperti halnya Magistrates’ Court. Dalam hal ini Crown Court merupakan pengadilan tersendiri yang menangani tindak pidana yang lebih serius seperti misalnya pembunuhan, pemerkosaan, perampokan. Persidangan dalam Crown Court dilaksanakan oleh seorang hakim dan dua belas orang juri. Lihat “About Courts”, ibid. 416
Summary Offences dibuat dan didefinisikan berdasarkan undang-undang di Inggris. Dalam hal ini terdapat ribuan summary offences yang berbeda. Lihat Slapper, The English Legal System, op. cit., hal. 138. 417
Slapper, ibid., hal. 183.
Universitas Indonesia
185
Tindak pidana yang diadili pada Magistrates’ Court disidangkan oleh tiga orang magistrate419 atau oleh seorang district judge.420 Dalam hal ini pada Magistrates’ Court tidak terdapat juri.421 Magistrates’ Court juga memiliki keterbatasan dalam memberikan hukuman atas suatu tindak pidana. Dalam hal ini Magistrates’ Court hanya dapat memberikan hukuman maksimal selama enam bulan penjara atas suatu tindak pidana atau maksimal hingga dua belas bulan penjara secara keseluruhan dalam hal seorang terdakwa melakukan lebih dari satu tindak pidana. Dengan demikian apabila Magistrates’ Court berpendapat bahwa seseorang harus dihukum lebih dari enam bulan penjara atas suatu tindak pidana, maka kemudian Magistrates’ Court akan memberikan perkara tersebut kepada Crown Court untuk memutuskan penghukumannya. Selain itu Magistrates’ Court juga hanya dapat menjatuhkan hukuman denda maksimal sebesar £ 5000 (lima ribu poundsterling). Hukuman lain yang juga dapat dijatuhkan oleh Magistrates’ Court adalah hukuman yang dikenal _________________________ 418
Lihat “Criminal Courts, Part 1, Magistrates’ Courts”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 419
Magistrate atau biasa juga disebut dengan Justice of the Peace merupakan sukarelawan yang memeriksa suatu perkara di komunitas mereka. Dalam hal ini seorang legal adviser di suatu pengadilan akan memberikan nasehat kepada Magistrate dan memastikan agar mereka mengikuti prosedur yang benar. Seseorang yang ingin menjadi Magistrate tidaklah perlu seseorang yang memiliki kualifikasi formal tertentu di bidang hukum atau pelatihan hukum tertentu. Ketika seseorang diterima sebagai Magistrate maka ia akan mendapatkan pelatihan guna membantunya menjalankan peran Magistrate, selain itu legal adviser yang ada pada pengadilan juga akan membantunya terkait hal-hal yang berhubungan dengan hukum. Lihat “Become a magistrate, Part 1, What magistrates do”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. dan juga “Become a magistrate, Part 2, Can you be a magistrate”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 420
Dalam hal ini perbedaan antara magistrate dan distric judges adalah bahwa magistrate merupakan hakim yang dipilih dari kalangan awam (lay judges), sementara distric judges merupakan hakim yang memang memiliki pengalaman serta kualifikasi tertentu dibidang hukum dan para district judges tersebut juga mendapatkan penghasilan yang berbeda dengan para magistrate yang bekerja secara sukarela. Lihat Slapper, The English Legal System, op. cit. hal. 137. 421
Dapat penulis informasikan, bagi mereka yang berumur sepuluh sampai delapan belas tahun, pengadilan yang akan mengadilinya bukanlah Magistrates’ Court melainkan Youth Court yang sebenarnya dapat juga dikatakan sebagai Magistrates’ Court khusus bagi mereka yang berusia sepuluh sampai delapan belas tahun. Perbedaan antara Youth Court dengan Magistrates’ Court untuk orang dewasa adalah persidangan yang berlangsung di Youth Court lebih informal, misalnya persidangan yang dilakukan tidak terbuka untuk umum, mereka yang diadili dipanggil berdasarkan nama pertamanya. Lihat “Criminal Courts, Part 3, Youth Courts”, , diakses tanggal 01 Desember 2012.
Universitas Indonesia
186
dengan ’community sencentece’, yaitu semisal melakukan sebuah pekerjaan di masyarakat tanpa dibayar.422 Apabila seorang pelaku tindak pidana merasa keberatan atau tidak setuju dengan putusan yang diberikan oleh Magistrates’ Court, maka ia dapat meminta atau melakukan upaya hukum banding kepada Crown Courts.423 Lebih lanjut, sebagaimana telah disinggung sebelumnya Crown Court selain mengadili perkara tindak pidana yang sifatnya lebih serius, memeriksa permintaan banding atas putusan atau hukuman yang diberikan oleh Magistrates’ Court, Crown Court juga menangani perkara yang diserahkan oleh Magistrates’ Court untuk diadili ataupun sebatas untuk memberikan penghukuman. Dalam hal ini hukuman atau putusan yang dapat diberikan oleh Crown Court adalah berupa hukuman kerja sosial ataupun hukuman penjara, termasuk memberikan hukuman seumur hidup. Sebuah Crown Court biasanya memiliki sejumlah juri yang akan memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak dan hakim yang akan memutuskan hukuman apakah yang akan diberikan terhadap orang tersebut. 424 Serupa dengan mekanisme yang terdapat dalam Magistrates’ Court, maka apabila seorang pelaku tindak pidana merasa keberatan atau tidak setuju dengan putusan yang diberikan oleh Crown Court, ia dapat meminta atau melakukan upaya hukum. Namun untuk melakukan upaya hukum tersebut yang bersangkutan haruslah terlebih dahulu mendapatkan izin untuk melakukan upaya hukum dari Criminal Appeal Office.425 Apabila izin tersebut diberikan maka perkara tersebut
422
“Criminal Courts, Part 1, Magistrates’ Courts”, op. cit.
423
Lihat “Appeal against a sentence or a conviction, Part 1, Magistrates’ court verdict”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 424
Lihat “Criminal Courts, Part 2, Crown Court”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 425
Apabila permohonan upaya hukum yang diajukan ditolak maka pihak yang hendak melakukan upaya hukum tersebut memiliki hak untuk memperbaharui permintaannya tersebut dan meminta agar permohonan upaya hukum tersebut dianalisa atau diperiksa oleh tiga orang hakim, hal ini biasa dikenal dengan istilah ‘full court’. Apabila melalui mekanisme ‘full court’ tersebut pihak yang hendak melakukan upaya hukum tidak juga mendapat izin untuk melakukan upaya hukum, maka ia dapat meminta agar perkaranya tersebut diperiksa oleh Criminal Cases Review Commision. Dalam hal ini Criminal Cases Review Commision akan memeriksa perkara yang diajukan oleh mereka yang merasa telah menjadi korban sebuah miscarriage of justice. Lihat “Appeal against a sentence or a conviction, Part 2, Crown court verdict”,
Universitas Indonesia
187
akan diperiksa oleh Court of Appeal. Dalam hal ini upaya hukum hanya dapat dilakukan apabila terdapat sesuatu yang salah pada saat peradilan berlangsung, misalnya terdapat hukum acara penting yang tidak dilaksanakan dengan benar, atau upaya hukum dapat juga dilakukan bila terdapat bukti baru, misalnya saksisaksi baru yang belum pernah diperiksa pada saat persidangan tingkat sebelumnya.426 Di dalam struktur peradilan pidana di Inggris pada saat ini terdapat pula suatu institusi yang dikenal dengan sebutan Supreme Court. Sebelum dibentuknya Supreme Court tersebut pada bulan Oktober tahun 2009, institusi yang memiliki kewenangan serupa dengannya disebut dengan Appellate Committee of the House of Lords427, yang merupakan pengadilan tertinggi di Inggris. Pada saat ini, fungsi House of Lords dimaksud telah diambil alih sepenuhnya oleh The Supreme Court.428 Supreme Court merupakan pengadilan banding tingkat terakhir di Inggris. Sebagai sebuah pengadilan tingkat banding, Supreme Court di Inggris tidak dapat memeriksa suatu perkara kecuali ada permintaan untuk itu pada perkara yang sebelumnya telah diadili pada pengadilan lebih rendah yang ada dibawahnya, yang dalam hal ini adalah dari Court of Appeal, Criminal Division. Dalam hal ini Supreme Court memeriksa perkara yang berhubungan dengan ketentuan hukum yang sangat penting sifatnya bagi masyarakat.429 Dengan _________________________ , diakses tanggal 01 Desember 2012 dan Lihat juga “About the Criminal Cases Review Commission”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 426
Ibid.
427
House of Lords di Inggris merupakan institusi legislatif. Dalam hal ini di dalam House of Lords tersebut terdapat dua belas orang hakim yang penyebutan jabatan resminya adalah Lords of Appeal in Ordinary, atau biasa dikenal dengan Law Lords. Dua belas orang hakim ini pada dasarnya berhak untuk ikut serta dalam debat dan pembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun dalam prakteknya mereka jarang sekali ikut serta. Dengan dibentuknya Supreme Court tersebut, maka pada saat ini hakim-hakim senior yang ada menjadi tidak lagi terlibat dalam proses parlementer tersebut. Lihat ”The House of Lords”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 428
Lihat “The Supreme Court”, , diakses tanggal 01 Desember 2012. 429
Untuk penjelasan yang lebih lengkap perihal Supreme Court di Inggris ini dapat dilihat pada “A guide to bringing a case to The Supreme Court”, , diakses tanggal 01 Desember 2012.
Universitas Indonesia
188
demikian tidak semua perkara dapat dimintakan untuk diperiksa oleh The Supreme Court. Agar dapat lebih mudah dalam memahaminya struktur pengadilan pidana di Inggris dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 3.3. Skema struktur pengadilan pidana di Inggris The Supreme Court
Court of Appeal
Crown Court
Magistrates’ Court
Setelah sistem pengadilan pidana di Inggris dapat dipahami dengan cukup jelas, maka selanjutnya pembahasan yang akan dilakukan adalah terkait dengan pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan di Inggris, khususnya penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik.
3.4.2. Wewenang Dan Syarat Untuk Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan Sebagai negara common law pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan di Inggris diatur dalam berbagai putusan pengadilan yang berkaitan dengan hal tersebut. Namun demikian, terdapat pula aturan yang dikodifikasikan semisal Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984. Dalam Part II, Powers of Entry, Search and Seizure, Police and Criminal Evidence Act 1984 diatur bahwa:
8. Power of justice of the peace to authorise entry and search of premises.
Universitas Indonesia
189
(1)
(1A)
(1B)
(1C)
(1D) (2) (3)
If on an application made by a constable a justice of the peace is satisfied that there are reasonable grounds for believing— (a) that an indictable offence has been committed; and (b) that there is material on premises mentioned in subsection (1A) below which is likely to be of substantial value (whether by itself or together with other material) to the investigation of the offence; and (c) that the material is likely to be relevant evidence; and (d) that it does not consist of or include items subject to legal privilege, excluded material or special procedure material; and (e) that any of the conditions specified in subsection (3) below applies,he may issue a warrant authorising a constable to enter and search the premises in relation to each set of premises specified in the application . The premises referred to in subsection (1)(b) above are— (a) one or more sets of premises specified in the application (in which case the application is for a “specific premises warrant”); or (b) any premises occupied or controlled by a person specified in the application, including such sets of premises as are so specified (in which case the application is for an “all premises warrant”). If the application is for an all premises warrant, the justice of the peace must also be satisfied— (a) that because of the particulars of the offence referred to in paragraph (a) of subsection (1) above, there are reasonable grounds for believing that it is necessary to search premises occupied or controlled by the person in question which are not specified in the application in order to find the material referred to in paragraph (b) of that subsection; and (b) that it is not reasonably practicable to specify in the application all the premises which he occupies or controls and which might need to be searched. The warrant may authorise entry to and search of premises on more than one occasion if, on the application, the justice of the peace is satisfied that it is necessary to authorise multiple entries in order to achieve the purpose for which he issues the warrant. If it authorises multiple entries, the number of entries authorised may be unlimited, or limited to a maximum. A constable may seize and retain anything for which a search has been authorised under subsection (1) above. The conditions mentioned in subsection (1)(e) above are— (a) that it is not practicable to communicate with any person entitled to grant entry to the premises; (b) that it is practicable to communicate with a person entitled to grant entry to the premises but it is not practicable to
Universitas Indonesia
190
(4)
(5) (6)
(7)
communicate with any person entitled to grant access to the evidence; (c) that entry to the premises will not be granted unless a warrant is produced; (d) that the purpose of a search may be frustrated or seriously prejudiced unless a constable arriving at the premises can secure immediate entry to them. In this Act “relevant evidence”, in relation to an offence, means anything that would be admissible in evidence at a trial for the offence. The power to issue a warrant conferred by this section is in addition to any such power otherwise conferred. This section applies in relation to a relevant offence (as defined in section 28D(4) of the Immigration Act 1971) as it applies in relation to an indictable offence. Section 4 of the Summary Jurisdiction (Process) Act 1881 (execution of process of English courts in Scotland) shall apply to a warrant issued on the application of an officer of Revenue and Customs under this section by virtue of section 114 below.430
Berdasarkan ketentuan pada section 8 tersebut terlihat bahwa di Inggris, pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan izin bagi polisi agar dapat memasuki dan melakukan penggeledahan dalam suatu bangunan adalah justice of the peace atau biasa dikenal juga dengan magistrate. Dalam hal ini agar izin dimaksud dapat diperoleh, polisi yang bermaksud melakukan penggeledahan tersebut haruslah memintanya terlebih dengan meyakinkan magistrate atau justice of the peace dengan alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam section 8 (1)(a) sampai (e). Terdapat satu hal menarik dari ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu apabila penyidik hendak melakukan penggeledahan terhadap suatu tempat, maka biasanya tempat yang akan digeledah tersebut harus dinyatakan secara spesifik dalam permohonan pengajuan izin penggeledahan tersebut. Namun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam section 8 (1B)(a) dan (b) dibuka kemungkinan bahwa penggeledahan dapat pula dilakukan di tempat yang tidak dinyatakan dengan jelas dalam permohonan izin penggeledahan, namun memang nampaknya terdapat pula batasan dalam ketentuan tersebut, yaitu bahwa tempat-tempat yang
430
Police and Criminal Evidence Act 1984, Part II, Powers of Entry, Search and Seizure,
Section 8.
Universitas Indonesia
191
dimaksud haruslah merupakan tempat yang dihuni atau dikuasai oleh satu orang yang sama. Ketentuan lain yang cukup menarik adalah ketentuan pada section 8 (1C) yang menyatakan bahwa surat izin penggeledahan tersebut dapat dipergunakan untuk memasuki tempat yang sama untuk berkali-kali. Dengan demikian maka hal ini akan mempermudah penyidik untuk melakukan penggeledahan lanjutan dalam hal ada sesuatu hal lain yang ingin dicari. Namun memang ketentuan untuk dapat memasuki tempat yang sama secara berkali-kali ini dan dengan hanya mempergunakan satu surat izin penggeledahan tersebut haruslah dinyatakan secara jelas oleh magistrate dalam surat izin penggeledahan tersebut, apakah pengulangannya tidak terbatas ataukah dibatasi hingga jumlah tertentu. Lebih lanjut, Police and Criminal Evidence Act 1984 pada section 15 (2)(a) mengatur pula bahwa ketika petugas kepolisian bermaksud untuk meminta surat izin penggeledahan, maka ia memiliki kewajiban untuk menyebutkan dasar mengapa ia meminta agar justice of the peace mengeluarkan izin penggeledahan tersebut dan peraturan apa yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya izin tersebut serta izin seperti apakah yang dimintakan, apakah yang hanya mengizinkan untuk dilakukannya penggeledahan sebanyak satu kali ataukah izin yang mengizinkan untuk dilakukannya penggeledahan lebih dari satu kali pada tempat yang sama. Dalam hal ini wajib pula disebutkan apakah penggeledahan yang lebih dari satu kali tersebut adalah untuk jumlah yang tidak terbatas ataukah terbatas pada jumlah maksimal tertentu.431 Begitu pula halnya dengan tempat dimana saja penggeledahan tersebut akan dilakukan.432 Permintaan izin penggeledahan di Inggris haruslah dimintakan dalam bentuk tertulis dan petugas kepolisian yang meminta izin tersebut diwajibkan untuk menjawab dibawah sumpah tentang segala pertanyaan yang diajukan oleh justice of the peace kepadanya terkait dengan permintaan izin penggeledahan tersebut.433 Dalam hal ini bentuk izin penggeledahan tersebut juga diatur dalam
431
Ibid., Section 15 (2)(a).
432
Ibid., Section 15 (2A).
433
Ibid., Section 15 (3) dan (4).
Universitas Indonesia
192
Police and Criminal Evidence Act 1984. Peraturan tersebut mengatur bahwa yang harus dinyatakan dalam izin penggeledahan tersebut adalah petugas kepolisian yang mengajukan permintaan tersebut, tanggal dikeluarkannya surat izin tersebut, peraturan yang menjadi dasar hukumnya, tempat-tempat yang akan digeledah atau orang yang menguasai atau menempati tempat-tempat yang akan digeledah tersebut.434 Serupa dengan di Indonesia dan Amerika Serikat, Inggris juga mengenal pelaksanaan penggeledahan yang dilakukan tanpa disertai dengan surat izin penggeledahan. Namun ketentuan yang terdapat di Inggris secara substansi ternyata berbeda dengan ketentuan sejenis yang terdapat di Indonesia dan Amerika Serikat. Di Inggris, pelaksanaan penggeledahan yang dilakukan tanpa disertai dengan adanya surat izin penggeledahan hanya dapat dilakukan terkait dengan kegiatan melakukan penangkapan terhadap seseorang. Artinya sebuah tindakan memasuki tempat orang lain yang dilakukan tanpa surat izin dapat dilakukan apabila hal tersebut dilaksanakan dalam rangka menangkap seseorang. Kemudian dalam pelaksanaan tindakan memasuki tempat orang lain dan melakukan penangkapan tersebut, maka apabila petugas kepolisian hendak melakukan penggeledahan, maka penggeledahan tersebut hanya dapat dilakukan bila memang berkaitan dengan tindakan penangkapan yang sebelumnya dilakukan.435 Selain itu terdapat satu hal penting yang membedakan ketentuan perihal memasuki tempat seseorang yang terdapat di Inggris dengan yang terdapat di Indonesia dan Amerika Serikat, yaitu bahwa di Inggris tidak dimungkinkan bagi petugas kepolisian untuk memasuki tempat seseorang tanpa disertai dengan surat izin untuk itu, kecuali hal itu dilakukan dalam rangka mencegah atau menangani gangguan keamanan.436 Ketentuan tersebut tentu saja secara otomatis akan membuat penggeledahan yang dilakukan tanpa disertai surat izin penggeledahan menjadi tidak mungkin untuk dilakukan.
434
Ibid., Section 15 (6).
435
Lihat ibid., Section (17) (4).
436
Lihat ibid., Section (17) (5) dan (6).
Universitas Indonesia
193
Lebih lanjut, terkait dengan wewenang dan syarat untuk melakukan penyitaan di Inggris, Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 mengatur bahwa wewenang untuk melakukan penyitaan tersebut secara otomatis dimiliki oleh petugas kepolisian yang secara hukum sah untuk masuk dan berada pada suatu tempat dan kemudian hendak melakukan penyitaan di tempat tersebut.437
3.4.3. Tata Cara Melakukan Penggeledahan Dan Penyitaan Serupa dengan Amerika Serikat, Inggris telah memiliki pengaturan yang cukup lengkap terkait dengan tata cara melakukan penggeledahan dan penyitaan, khususnya penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Oleh karena itu maka penulis akan membagi pembahasan perihal tata cara melakukan penggeledahan dan penyitaan ini menjadi dua bagian, yaitu tata cara penggeledahan dan penyitaan pada umumnya dan tata cara penggeledahan dan penyitaan yang terkait dengan bukti elektronik
3.4.3.1.Penggeledahan Dan Penyitaan Secara Umum Sebagaimana
telah
disinggung
dalam
pembahasan
sebelumnya,
pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan di Inggris mewajibkan adanya surat izin untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Dalam hal ini Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 mengatur sebagai berikut:
16. Execution of warrants. (1) A warrant to enter and search premises may be executed by any constable. (2) Such a warrant may authorise persons to accompany any constable who is executing it. (2A) A person so authorised has the same powers as the constable whom he accompanies in respect of— (a) the execution of the warrant, and (b) the seizure of anything to which the warrant relates. (2B) But he may exercise those powers only in the company, and under the supervision, of a constable. (3) Entry and search under a warrant must be within three months from the date of its issue.
437
Lihat ibid., Section (19) (1).
Universitas Indonesia
194
(3A) If the warrant is an all premises warrant, no premises which are not specified in it may be entered or searched unless a police officer of at least the rank of inspector has in writing authorised them to be entered. (3B) No premises may be entered or searched for the second or any subsequent time under a warrant which authorises multiple entries unless a police officer of at least the rank of inspector has in writing authorised that entry to those premises. (4) Entry and search under a warrant must be at a reasonable hour unless it appears to the constable executing it that the purpose of a search may be frustrated on an entry at a reasonable hour. (5) Where the occupier of premises which are to be entered and searched is present at the time when a constable seeks to execute a warrant to enter and search them, the constable— (a) shall identify himself to the occupier and, if not in uniform, shall produce to him documentary evidence that he is a constable; (b) shall produce the warrant to him; and (c) shall supply him with a copy of it. (6) Where— (a) the occupier of such premises is not present at the time when a constable seeks to execute such a warrant; but (b) some other person who appears to the constable to be in charge of the premises is present, subsection (5) above shall have effect as if any reference to the occupier were a reference to that other person. (7) If there is no person who appears to the constable to be in charge of the premises, he shall leave a copy of the warrant in a prominent place on the premises. (8) A search under a warrant may only be a search to the extent required for the purpose for which the warrant was issued. (9) A constable executing a warrant shall make an endorsement on it stating— (a) whether the articles or persons sought were found; and (b) whether any articles were seized, other than articles which were sought and, unless the warrant is a warrant specifying one set of premises only, he shall do so separately in respect of each set of premises entered and searched, which he shall in each case state in the endorsement. (10) A warrant shall be returned to the appropriate person mentioned in subsection (10A) below— (a) when it has been executed; or (b) in the case of a specific premises warrant which has not been executed, or an all premises warrant, or any warrant authorising multiple entries, upon the expiry of the period of three months referred to in subsection (3) above or sooner.
Universitas Indonesia
195
(10A)The appropriate person is— (a) if the warrant was issued by a justice of the peace, the designated officer for the local justice area in which the justice was acting when he issued the warrant; (b) if it was issued by a judge, the appropriate officer of the court from which he issued it. (11) A warrant which is returned under subsection (10) above shall be retained for 12 months from its return— (a) by the designated officer for the local justice area, if it was returned under paragraph (i) of that subsection; and (b) by the appropriate officer, if it was returned under paragraph (ii). (12) If during the period for which a warrant is to be retained the occupier of premises to which it relates asks to inspect it, he shall be allowed to do so.438
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat bahwa di Inggris, setelah surat izin untuk melakukan penggeledahan didapatkan oleh penyidik, maka penyidik dapat melaksanakan penggeledahan tersebut dan dalam hal ini penyidik pun dapat membawa orang lain untuk menyertainya dalam melakukan penggeledahan tersebut. Orang lain selain penyidik tersebut pun memiliki wewenang yang sama dengan penyidik namun pelaksanaan wewenang tersebut haruslah berada dibawah pengawasan si penyidik itu sendiri. Lebih lanjut, ketentuan perihal pelaksanaan dari surat izin penggeledahan yang telah didapatkan agak berbeda dengan ketentuan yang terdapat di Indonesia dan Amerika Serikat. Apabila di Indonesia tidak terdapat jangka waktu paling lama kapan surat izin yang telah diperoleh harus dilaksanakan, sementara di Amerika Serikat jangka waktu pelaksanaannya adalah empat belas hari setelah dikeluarkannya
surat
izin
dimaksud,
maka
di
Inggris
jangka
waktu
pelaksanaannya adalah paling lama tiga bulan setelah dikeluarkannya surat izin penggeledahan tersebut. Penulis berpendapat bahwa terdapat ketentuan lain yang juga menarik dalam Section (16) (3A) dan (3B), yaitu adanya semacam diskresi dari penyidik terkait dengan apa yang tidak dinyatakan atau belum diizinkan dalam surat izin penggeledahan yang diperoleh dari magistrate atau justice of the peace. Diskresi
438
Ibid., Section 16.
Universitas Indonesia
196
yang penulis maksud disini adalah dibukanya kemungkinan bagi penyidik yang berpangkat minimal inspector untuk menginzinkan secara tertulis tindakan tersebut, misalnya tindakan untuk memasuki rumah yang mana rumah tersebut belum tertera di dalam surat izin penggeledahan. Sehubungan dengan waktu pelaksanaan penggeledahan, dari ketentuanketentuan diatas terlihat bahwa pengaturan yang ada hanyalah menyatakan bahwa penggeledahan haruslah dilakukan dalam waktu yang wajar, kecuali apabila tujuan penggeledahan tersebut akan tidak terlaksana apabila penggeledahan dilakukan pada waktu yang sewajarnya. Dalam hal ini Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 memang tidak mendefinisikan kapankah yang dimaksud dengan waktu yang wajar tersebut, berbeda dengan ketentuan yang terdapat di Amerika Serikat yang mendefinisikan bahwa waktu untuk melakukan penggeledahan adalah pada siang hari. Kemudian, serupa dengan ketentuan penggeledahan yang terdapat di Indonesia, di Inggris pun ketika akan melakukan penggeledahan, penyidik yang melaksanakan tindakan tersebut haruslah memperkenalkan dirinya kepada orang yang berada atau menguasai tempat yang akan digeledah. Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 Section 16 (5) mengatur bahwa bila penyidik yang melakukan penggeledahan tersebut sedang tidak memakai baju seragam, maka penyidik tersebut harus memberikan bukti tertulis bahwa ia memang seorang petugas kepolisian yang ditugaskan untuk melakukan penggeledahan tersebut dan kemudian menunjukkan surat izin penggeledahan serta memberikan salinannya kepada orang yang berada atau menguasai tempat yang akan digeledah. Setelah tindakan penggeledahan selesai dilaksanakan, maka penyidik atau petugas kepolisian yang melakukan penggeledahan tersebut wajib untuk melaporkan hasil pelaksanaan tindakan penggeledahan tersebut, termasuk siapa saja yang ditemui dan barang apa saja yang disita. Selanjutnya, sehubungan dengan tindakan penyitaan yang dilakukan, Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 mengatur sebagai berikut:
19. General power of seizure etc. (1) The powers conferred by subsections (2), (3) and (4) below are exercisable by a constable who is lawfully on any premises.
Universitas Indonesia
197
(2)
(3)
… (5) (6)
The constable may seize anything which is on the premises if he has reasonable grounds for believing— (a) that it has been obtained in consequence of the commission of an offence; and (b) that it is necessary to seize it in order to prevent it being concealed, lost, damaged, altered or destroyed. The constable may seize anything which is on the premises if he has reasonable grounds for believing— (a) that it is evidence in relation to an offence which he is investigating or any other offence; and (b) that it is necessary to seize it in order to prevent the evidence being concealed, lost, altered or destroyed. The powers conferred by this section are in addition to any power otherwise conferred. No power of seizure conferred on a constable under any enactment (including an enactment contained in an Act passed after this Act) is to be taken to authorise the seizure of an item which the constable exercising the power has reasonable grounds for believing to be subject to legal privilege.439
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa semua petugas kepolisian yang telah memiliki izin untuk menggeledah suatu tempat, maka ia pun menjadi memiliki wewenang untuk melakukan penyitaan di tempat tersebut. Dalam hal ini Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 mengatur bahwa yang dapat dikenakan penyitaan pada dasarnya adalah seluruh benda yang terdapat ditempat yang digeledah tersebut apabila menurut petugas kepolisian tersebut benda-benda itu: a. Merupakan benda-benda yang diperoleh atau dihasilkan dari suatu tindak pidana; b. Merupakan bukti yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang disidik ataupun tindak pidana lainnya; dan c. Benda-benda tersebut perlu disita untuk mencegah agar benda-benda tersebut tidak disembunyikan, dihilangkan, diubah atau dihancurkan. Menurut penulis kembali terdapat sebuah hal yang menarik disini, terkait dengan dimungkinkannya untuk menyita benda-benda yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, namun bukanlah tindak pidana yang sedang disidik
439
Ibid., Section 19.
Universitas Indonesia
198
oleh petugas kepolisian tersebut. Ketentuan ini jelas sekali berbeda dengan ketentuan yang terdapat di Indonesia, dimana benda yang dapat disita hanyalah benda yang terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik oleh penyidik tersebut.
3.4.3.2.Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Setelah kita mengetahui tata cara penggeledahan dan penyitaan pada umumnya di Inggris, pembahasan selanjutnya akan menguraikan tentang pengaturan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang terdapat di Inggris. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Inggris telah memiliki pengaturan yang cukup terperinci perihal penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dengan memberikan pengaturan tersendiri yang terpisah dengan pengaturan yang berhubungan dengan bukti non-elektronik. Dalam Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 Section (19) (4) diatur bahwa
(4)
The constable may require any information which is stored in any electronic form and is accessible from the premises to be produced in a form in which it can be taken away and in which it is visible and legible or from which it can readily be produced in a visible and legible form if he has reasonable grounds for believing— (a) that— (i) it is evidence in relation to an offence which he is investigating or any other offence; or (ii) it has been obtained in consequence of the commission of an offence; and (b) that it is necessary to do so in order to prevent it being concealed, lost, tampered with or destroyed.440
Kemudian diatur pula dalam Section 20 Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 bahwa
20. Extension of powers of seizure to computerised information.
440
Ibid., Section 19 (4).
Universitas Indonesia
199
(1)
(2)
Every power of seizure which is conferred by an enactment to which this section applies on a constable who has entered premises in the exercise of a power conferred by an enactment shall be construed as including a power to require any information stored in any electronic form contained in a computer and accessible from the premises to be produced in a form in which it can be taken away and in which it is visible and legible or from which it can readily be produced in a visible and legible form. This section applies— (a) to any enactment contained in an Act passed before this Act; (b) to sections 8 and 18 above; (c) to paragraph 13 of Schedule 1 to this Act; and (d) to any enactment contained in an Act passed after this Act.441
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984 mengatur bahwa apabila petugas kepolisian hendak melakukan penyitaan terhadap informasi yang tersimpan secara elektronik, maka petugas tersebut dapat meminta agar informasi dimaksud dapat dibuat dalam bentuk yang dapat dibawa oleh petugas kepolisian itu dan bahwa bentuk informasi yang dibawa tersebut merupakan bentuk yang sah dan sama dengan informasi asli yang tersimpan secara elektronik. Ketentuan tersebut tentunya memang membuat bukti berupa informasi yang tersimpan secara elektronik dan dapat dibuat, disalin atau dihasilkan dalam bentuk non-elektronik menjadi dapat dipergunakan menjadi bukti yang sah di persidangan. Namun, bagaimana dengan bukti elektronik yang tidak dapat dibuat dalam bentuk non-elektronik karena sifatnya yang memang perlu penjelasan lebih lanjut. Artinya bukti elektronik tersebut tidak selalu dapat begitu saja menjelaskan bagaimana suatu tindak pidana terjadi, siapa pelakunya dan kapan waktu serta tempat terjadinya tindak pidana tersebut. Untuk menjawab persoalan ini, Association of Chief Police Officers kemudian membuat sebuah panduan yang dikenal dengan Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence. Panduan ini merupakan sebuah panduan yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers di Inggris dan bekerjasama dengan Association of Chief 441
Ibid., Section 20.
Universitas Indonesia
200
Police Officers di Skotlandia. Pada dasarnya panduan ini ditujukan bagi petugas kepolisian, staf kepolisian dan penyidik atau detektif swasta yang berkerja dengan tujuan penegakan hukum. Sebagai sebuah Good Practice Guide, panduan tersebut memberikan empat buah prinsip dasar yang harus menjadi pegangan bagi siapapun yang bekerja berhubungan dengan bukti elektronik, yaitu:442 Prinsip pertama, tidak boleh terdapat tindakan dari institusi penegak hukum maupun para petugasnya yang dapat merubah data yang berada pada komputer atau media penyimpanan lainnya yang akan dihadirkan di persidangan nantinya. Prinsip kedua, dalam suatu kondisi dimana diperlukan untuk mengakses data asli yang berada di komputer atau media penyimpanan, maka orang yang akan mengakses data tersebut haruslah orang yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut dan dapat memberikan bukti yang menjelaskan relevansi dan implikasi dari tindakannya tersebut. Prinsip ketiga, suatu jejak untuk audit atau pendokumentasian lainnya atas semua proses yang dilakukan kepada bukti elektronik tersebut haruslah dibuat dan disimpan dengan baik. Dalam hal ini pihak ketiga yang independen harus dapat memeriksa proses-proses tersebut dan seharusnya akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang didapatkan oleh penegak hukum tersebut. Prinsip keempat, orang yang bertanggung jawab atas suatu penyidikan memiliki tanggungjawab secara keseluruhan untuk memastikan bahwa aturanatuaran hukum dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam panduan tersebut ditaati dengan baik. Dalam panduan tersebut diuraikan dengan lengkap berbagai hal mulai dari langkah-langkah apa sajakah yang perlu dilakukan ketika penyidik pertama kali datang ke tempat kejadian perkara, terkait dengan berbagai situasi yang mungkin ditemui, kemudian apa sajakah yang harus disita, bagaimana memperlakukan bukti-bukti
elektronik
yang
ditemukan
termasuk
prosedur-prosedur
442
Untuk teks lengkap dari Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence dapat di download dari .
Universitas Indonesia
201
penanganannya, kemudian dijelaskan pula bagaimana cara membawa bukti-bukti yang ditemukan apabila tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara hingga bagaimana cara penyimpanannya di tempat penyidik. Lalu dalam panduan tersebut diuraikan pula prosedur dalam menangani bukti dalam suatu tindak pidana yang melibatkan internet dan e-mail. Lebih lanjut, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence juga menguraikan dengan cukup rinci mengenai apakah yang dimaksud dengan suatu jaringan komputer dan jaringan yang bentuknya nirkabel (wireless). Dalam hal ini dijelaskan perihal bagaimanakah bekerjanya teknologi tersebut, bentuk-bentuknya dan juga langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh penyidik ketika menemukan atau hendak mencari bukti elektronik yang terdapat dalam suatu jaringan komputer, baik itu yang nirkabel maupun yang tidak. Selain dari memberikan penjelasan yang terperinci tentang hal-hal teknis yang harus dilakukan ketika berurusan dengan bukti elektronik, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence juga memberikan panduan perihal apa sajakah yang harus dipersiapkan oleh penyidik ketika hendak melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan setelah bukti elektronik berhasil ditemukan. Kemudian terdapat pula sebuah hal menarik dalam panduan setebal lebih dari tujuh puluh halaman tersebut, yaitu pembahasan perihal kesejahteraan penyidik di tempat kerjanya. Dalam bagian ini dibahas kenyataan bahwa penyidik pun adalah seorang manusia biasa. Artinya ketika menangani bukti-bukti elektronik yang bersifat sensitif, terdapat kemungkinan hal itu akan dapat memberikan pengaruh tertentu kepada penyidik tersebut, misalnya ketika penyidik tersebut bersinggungan secara cukup rutin dengan bukti-bukti elektronik yang terkait dengan pornografi anak. Dalam hal ini, gambar-gambar serta video-video yang ditemukan terkait dengan perkara tersebut kemungkinan besar dapat mempengaruhi si penyidik. Oleh karena itu panduan ini pun menyarankan agar penyidik yang sering terpapar dengan bukti-bukti elektronik semacam itu diberikan waktu untuk mendapatkan bantuan atau akses kepada seorang psikolog. Lebih lanjut, dikarenakan kekhawatiran yang cukup besar dan beralasan terkait
Universitas Indonesia
202
dengan bukti-bukti elektronik yang mungkin ditemukan dalam pornografi anak tersebut, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence juga membahas secara tersendiri perihal bagaimanakah seharusnya akses dan proteksi yang diberikan terhadap bukti elektronik semacam ini. Dalam hal ini panduan diberikan mulai dari saat pertama kali bukti tersebut ditemukan hingga pada saat bukti tersebut sedang dipergunakan di persidangan. Pembahasan selanjutnya yang terdapat dalam Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence adalah perihal penggunaan pihak lain selain dari penyidik dalam rangka menemukan bukti elektronik. Idealnya setiap penyidikan yang berkaitan dengan bukti-bukti yang sensitif sifatnya443 dilakukan sendiri oleh penyidik, namun kemampuan yang dimiliki penyidik dalam usaha untuk menemukan bukti elektronik tersebut tentunya terbatas, baik itu dari segi kuantitas sumberdaya manusianya, maupun dari segi kualitasnya. Untuk mengatasi
permasalahan
semacam
itu,
biasanya
penyidik
kemudian
mempergunakan jasa pihak ketiga untuk membantu mereka dalam menemukan bukti elektronik yang hendak dicari. Dikarenakan kondisi semacam itu, yaitu kondisi dimana adanya keterlibatan pihak lain selain penyidik dalam mengakses bukti-bukti elektronik yang sensitif sifatnya tersebut, maka ACPO merasa perlu memberikan panduan terkait dengan hal itu. Dalam panduan ini kemudian dibahaslah berbagai hal mulai dari pentingnya adanya sebuah kontrak tertulis antara penyidik dan digital forensic analyst terkait hal-hal yang berhubungan dengan bukti elektronik yang dianalisis. Selain itu, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence juga memberikan langkah-langkah apa saja yang sepatutnya dilaksanakan oleh penyidik sebelum kontrak dimaksud disepakati, misalnya agar terlebih dahulu dilakukan penelitian atas latar belakang digital forensic analyst yang akan dipergunakan jasanya tersebut, mulai dari keahliannya, pengalamannya hingga latar belakang pribadi sang digital forensic analyst. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir segala macam resiko yang
443
Yang dimaksud dengan bukti elektronik yang sensitif sifatnya misalnya bukti-bukti elektronik yang mengandung pornografi anak atau bukti-bukti elektronik yang terkait dengan rahasia negara dan sebagainya.
Universitas Indonesia
203
mungkin akan timbul ketika digital forensic analyst tersebut bersinggungan dengan bukti-bukti elektronik yang sensitif sifatnya. Lebih lanjut, dalam Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence juga diuraikan langkah-langkah yang sepatutunya ditempuh dalam rangka mencari bukti-bukti elektronik pada bukti video dan Closed-Circuit Television (CCTV) serta bukti-bukti elektronik yang terdapat dalam telepon selular dan Personal Digital Assistants (PDA). Selain itu, dalam bagian akhir panduan tersebut, terdapat pula panduan tentang pertanyaan-pertanyaan yang disarankan untuk ditanyakan kepada korban dari tindak pidana ketika penyidik pertama kali bertemu dengannya. Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence diakhiri dengan terdapatnya daftar kosa kata yang dipergunakan dalam panduan tersebut disertai dengan penjelasan dari terminologiterminologi tersebut dan juga daftar peraturan perundang-undangan yang perlu diperhatikan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Inggris serta daftar sejumlah Hi-Tech Crime yang terdapat di Inggris. Dari
pemaparan
diatas,
terlihat
bahwa
pelaksanaan
tindakan
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik di Inggris telah diatur dengan baik. Dengan dibuatnya Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence terlihat sekali bahwa setidaknya Kepolisian di Inggris telah mengetahui betapa rumit dan pentingnya pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Dengan adanya panduan tersebut banyak pihak yang akan terbantu. Bagi mereka yang telah menguasai atau setidaknya memahami bagaimana dan apa sajakah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik maka panduan tersebut menjadi semacam pengingat atau check list atas tindakantindakan yang akan dilakukan. Sementara itu bagi mereka yang masih awam terhadap penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik maka Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence akan membuat mereka sedikit banyak menjadi paham tentang apa yang harus dilakukan atau setidaknya hal tersebut membuat mereka menjadi tidak melakukan tindakan yang tidak seharusnya, sambil menunggu petugas yang lebih menguasai dan berpengalaman untuk membantu mereka dalam menangani bukti-bukti elektronik.
Universitas Indonesia
BAB 4 PRAKTEK PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK DI INDONESIA DAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Setelah dalam pembahasan sebelumnya dipaparkan mengenai apakah yang dimaksud dengan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik beserta aturan-aturan yang mengaturnya, baik di Indonesia, Amerika Serikat dan Inggris, maka selanjutnya penulis akan membahas perihal praktek penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti yang berupa bukti elektronik di beberapa institusi penegak hukum di Indonesia dan juga pendapat akademisi tentang bagaimanakah seharusnya pengaturan yang dibuat terkait dengan hal tersebut. Dalam hal ini informasi perihal praktek penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dimaksud penulis dapatkan dari penyidik yang pernah melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dan juga dari praktisi digital forensic analyst, baik itu yang berasal dari internal insitusi penegak hukum, maupun yang tidak.
4.1. PRAKTEK
PENGGELEDAHAN
ELEKTRONIK
OLEH
DAN
KEJAKSAAN
PENYITAAN AGUNG
BUKTI
REPUBLIK
INDONESIA Kejaksaan Agung Republik Indonesia merupakan salah satu penyidik tindak pidana di Indonesia. Dengan demikian maka Jaksa Penyidik pada Kejaksaan
Agung
Republik
Indonesia
pun
berhak
untuk
melakukan
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti yang ada dalam suatu tindak pidana. Dalam hal bukti yang dicari atau bukti yang ditemukan adalah bukti elektronik maka berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Penyidik pada Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia444, didapatkan informasi bahwa sebagai
444
Informasi yang penulis sampaikan dalam bagian ini adalah berdasarkan wawancara penulis dengan Syarief S. Nahdi, SH, MH, pangkat Jaksa Madya, Jabatan Penyidik pada Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung
205
penyidik, Jaksa pada Kejaksaan Agung RI memang pernah beberapa kali melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik.445 Dikarenakan Kejaksaan Agung hanya melakukan penyidikan pada tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran HAM Berat, maka penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang dilakukan menggunakan ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mulai dari mekanisme tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan dengan meminta izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan setempat, ataupun penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terlebih dahulu baru kemudian meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan Setempat, semuanya dilakukan berdasarkan tata cara yang diatur dalam KUHAP.446 Pada saat melakukan penggeledahan terhadap bukti elektronik, biasanya bukti yang diambil untuk kemudian disita adalah Personal Computer (PC), Laptop, Flash Disk, disket maupun Compat Disc (CD). Penyitaan yang dilakukan adalah terhadap benda fisik dari barang-barang elektronik tersebut, misalnya satu unit hard disk dengan kapasitas penyimpanan tertentu, merek tertentu, dan sebagainya. Penyitaan yang dilakukan bukanlah terhadap isi dari barang elektronik tersebut, misalnya terhadap file tertentu yang berada di dalam hard disk sebuah komputer. Dalam hal ini penggeledahan yang dilakukan biasanya di ruang kerja tersangka, rumah tersangka atau dimana proyek tersebut diadakan dalam hal perkara yang terkait pengadaan barang atau jasa. Lebih lanjut, dikarenakan ketika _________________________ Republik Indonesia, pada tanggal 22 November 2012 di Gedung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI. 445
Dalam hal ini penyidik yang penulis wawancarai pernah melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam perkara korupsi Sistem Informasi Manajemen Ditjen Pajak dan perkara korupsi atas nama tersangka Dhana Widyatmika. 446
Dalam hal ini Penyidik pada Kejaksaan Agung RI menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur bahwa untuk melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap sistem elektronik harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat hanyalah berlaku terhadap tindak pidana yang disangkakan berdasarkan Pasal-Pasal yang terdapat dalam UU ITE. Artinya ketika terdapat bukti elektronik yang perlu digeledah dan disita dalam perkara yang tidak disangkakan dengan Pasal-Pasal yang terdapat UU ITE, maka tindakan penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan, apabila dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, dapat saja dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Universitas Indonesia
206
penggeledahan terhadap bukti elektronik dilaksanakan tidak mungkin untuk mengetahui dimana bukti elektronik yang dicari tersebut berada, maka kebijakan yang diambil oleh Kejaksaan Agung adalah mengambil semua barang elektronik yang ditemukan di tempat tersebut. Hal ini dilakukan karena keberadaan bukti elektronik yang dicari dapat berada dimana saja. Oleh karena itu penyidik Kejaksaan Agung tidak memilah-milah bukti mana saja yang diambil dan kemudian disita. Dalam hal ini kebijakan untuk menggeledah dan mengambil semua barang yang ditemukan di tempat tersebut dilakukan karena bukti-bukti elektronik tersebut tidak mungkin untuk dibuka di tempat penggeledahan dilakukan. Apabila ternyata dari sejumlah barang yang diambil tersebut ternyata pada beberapa barang tidak terdapat bukti yang diperlukan untuk pembuktian perkara tersebut, maka barang-barang dimaksud dikembalikan kepada orang darimana barang tersebut disita. Dalam pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, memang tidak selalu tindakan yang diambil adalah membawa semua bukti elektronik yang ditemukan di tempat penggeledahan. Dalam hal ini ada pula barang bukti yang langsung diperiksa di tempat penggeledahan ataupun dilakukan proses imaging447 terhadap barang tersebut di tempat dimana dilakukan penggeledahan. Perlakuan semacam ini biasanya dilakukan ketika penggeledahan yang dilakukan adalah terhadap server suatu komputer yang berisi bukti-bukti yang diperlukan untuk pembuktian tindak pidana yang terjadi. Dalam hal ini dikarenakan tidak memungkinkan apabila server komputer tersebut dibawa karena tidak mungkin apabila server semacam itu dimatikan, maka apabila kondisi semacam itu sudah diketahui sebelumnya,
447
Imaging adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh atau menyalin semua data yang terdapat dalam suatu media penyimpanan (misalnya hard disk), baik itu data yang aktif atau data yang terdapat dalam ruang kosong. Proses ini dilakukan sedemikian rupa sehingga memungkinkan data yang diperoleh atau disalin tersebut diperiksa seolah-olah data tersebut merupakan data yang asli. Lihat Association of Chief Police Officer, Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence, hal. 56. Imaging ini biasa juga dikenal dengan istilah forensic imaging, yaitu menggandakan isi dari barang bukti secara physical (sector per sector atau bit stream copy) sehingga hasil imaging akan sama persis dengan barang bukti secara physical. Lihat Al-Azhar, op. cit., hal. 35.
Universitas Indonesia
207
penyidik pada Kejaksaan Agung RI pasti akan mengikutsertakan ahli digital / komputer forensik dalam tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut.448 Kejaksaan Agung RI ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik selalu meminta bantuan kepada ahli digital forensic untuk menangani bukti-bukti elektronik yang memerlukan penanganan khusus dan juga untuk pemeriksaannya.449 Hal ini dilakukan karena memang Kejaksaan Agung RI belum memiliki divisi khusus yang bertugas menangani bukti elektronik. Kejaksaan Agung memang memiliki unit kerja yang dinamakan Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusat DASKRIMTI), namun meskipun
memiliki
pengembangan
tugas
teknologi
yang
salah
informasi
di
satunya
adalah
lingkungan
penerapan
Kejaksaan
dan
Republik
Indonesia450, petugas dari Pusat DASKRIMTI tidak pernah diikutsertakan untuk membantu dalam pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Kebijakan
ini
dilakukan
oleh
Kejaksaan
Agung karena dikhawatirkan
independensi serta penilaian atas bukti elektronik yang diperoleh akan dapat dipertanyakan keabsahannya oleh pihak tersangka atau terdakwa. Dengan adanya pelibatan petugas yang juga berasal dari organisasi yang sama dengan penyidik yang menangani perkara tersebut untuk melakukan analisa atas bukti elektronik yang ditemukan dikahwatirkan hasil analisa atas bukti elektronik yang ditemukan akan dianggap tidak objektif.451
448
Dalam hal bukti elektronik yang diperlukan berada dalam sebuah server komputer, maka benda yang disita oleh penyidik adalah hasil imaging dari data yang berada di dalam server tersebut. 449
Penggunaan pihak ketiga dalam pemeriksaan bukti elektronik ini dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan suatu prosedur yang cukup ketat, dimana terdapat perjanjian tertulis antara keduanya, baik itu soal biaya yang diperlukan maupun ketentuan-ketentuan lain seperti adanya kewajiban pada ahli digital forensic untuk tidak menyerahkan kepada pihak lain hasil imaging dari barang bukti yang diperiksa. 450
Lihat “Tugas Pokok & Fungsi PUSDASKRIMTI”, , diakses tanggal 13 Desember 2012. 451
Menurut informan solusi atas persoalan tersebut adalah dengan mempergunakan pihak ketiga yang independen untuk memeriksa bukti elektronik yang ditemukan, yaitu seorang ahli digital forensic. Lebih lanjut informan juga berpendapat bahwa adanya sertifikasi tertentu bagi seorang ahli digital forensic adalah suatu keharusan karena hal tersebut akan memiliki nilai dimata Hakim dan Penasehat Hukum terdakwa perihal kebenaran dari keterangan yang diberikan si ahli. Dalam hal ini informan juga berpendapat bahwa Jaksa Penyidik yang menangani perkara yang
Universitas Indonesia
208
Dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, penyidik pada Kejaksaan Agung RI dalam tata cara pelaksanaannya memang hanya mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP serta peraturan turunannya. Dalam hal ini Kejaksaan Agung memang tidak memiliki suatu aturan khusus yang dijadikan acuan ataupun suatu Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Pada dasarnya penyidik pada Kejaksaan Agung memang menyadari penting dan perlunya aturan khusus yang mengatur perihal pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, namun dikarenakan memang Kejaksaan Agung belum memiliki aturan ataupun panduan semacam itu maka untuk menghindari hilangnya validitas atau nilai pembuktian dari barang bukti elektronik yang digeledah dan disita, penyidik pada Kejaksaan Agung RI melakukan tindakan terobosan dengan membungkus dan menyegel bukti elektronik yang ditemukan di hadapan pemiliknya dan kemudian pemilik pun membubuhkan tanda tangannya pada segel dimaksud.452 Setelah itu penyidik akan mempertemukan pemilik benda tersebut dengan ahli digital forensic untuk kemudian dengan disaksikan oleh para pihak tersebut segel barang bukti dimaksud dibuka dan lalu barang bukti elektronik tersebut diserahkan kepada ahli digital forensic untuk kemudian diperiksa dalam rangka menemukan bukti elektronik yang akan dapat mendukung pembuktian tindak pidana tersebut. Dalam hal ini penyidik pada Kejaksaan Agung RI pun mempersilahkan apabila _________________________ melibatkan bukti elektronik di dalamnya tidak perlu memiliki sertifikasi serupa. Jaksa Penyidik tersebut cukuplah memiliki pengetahuan dasar perihal bagaimana cara memperlakukan sebuah bukti elektronik. Perihal pengetahuan-pengetahuan teknis memeriksa barang bukti elektronik, sebaiknya dimiliki oleh petugas PUSDAKRIMTI yang memang latar belakang pendidikannya sejalan. Terkait dengan masalah sertifikasi bagi para ahli digital forensic tersebut, informan merasa perlu adanya pengaturan perihal lembaga mana yang berhak mengeluarkan sertifikasi atau setidaknya menentukan sertifikasi yang bagaimanakah yang diakui. Hal ini diperlukan untuk menghindari polemik perihal keahlian seorang ahli digital forensic. Lebih lanjut informan berpendapat bahwa hal ini sebaiknya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Misalnya dalam Peraturan Pemerintah pelaksana UU ITE dan lembaga dimaksud misalnya berada dibawah Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. 452
Apabila pada saat penggeledahan dan penyitaan dilakukan ternyata ditemukan alat elektronik yang berada dalam kondisi menyala, maka tindakan yang diambil oleh penyidik Kejaksaan Agung RI adalah meminta kepada pemilik alat elektronik tersebut untuk mematikannya dengan diawasi oleh penyidik. Dalam hal ini pemilik benda tersebut hanya boleh misalnya memencet atau melakukan proses shut down (dalam hal bendanya adalah sebuah komputer). Kemudian semua proses tersebut dituangkan dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh penyidik dan pemilik benda tersebut.
Universitas Indonesia
209
pemilik benda tersebut ingin menyaksikan proses pemeriksaan barang bukti elektronik tersebut, bahkan dengan dihadiri oleh ahli digital forensic yang juga dibawa oleh pemilik benda tersebut. Setelah segel dimaksud dibuka dan kemudian barang bukti diserahkan kepada ahli digital forensic untuk diperiksa, maka kemudian terdapat dua cara dalam mencari bukti yang diperlukan yang biasanya dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung RI. Cara yang pertama adalah ahli digital forensic menanyakan kepada penyidik tentang bukti seperti apakah yang hendak dicari dan ahli digital forensic kemudian mencarikannya. Selain itu terdapat pula cara kedua, dimana ahli digital forensic menyerahkan kepada penyidik hasil imaging dari barang bukti asli yang telah di imaging. Barulah kemudian penyidik memeriksa sendiri copy barang bukti elektronik yang diberikan oleh ahli digital forensic tersebut. Setelah penyidik menemukan bukti yang dibutuhkannya, kemudian penyidik akan memberitahukan kepada ahli digital forensic perihal bukti yang ditemukan tersebut dan dimanakah menemukannya. Misalnya file tertentu di directory tertentu. Setelah itu barulah dengan tahapan serta prosedur digital forensic si ahli kemudian akan mencetak file yang ditemukan oleh penyidik tersebut sebagai laporan digital forensic.453 Berdasarkan pengalaman selama ini, hambatan bagi penyidik Kejaksaan Agung RI dalam pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik adalah persoalan bagimana caranya agar barang bukti elektronik yang digeledah dan kemudian disita masih dipercaya oleh pemiliknya sebagai barang yang utuh dan belum terkontaminasi oleh hal apapun sampai pada saat dilakukan pemeriksaan oleh ahli digital forensic. Persoalan semacam ini timbul ketika dalam
453
Hasil pencarian atau pemeriksaan ahli digital forensic terhadap barang bukti elektronik dituangkan dalam bentuk laporan. Dalam hal ini laporan tersebut tidak menjadi alat bukti surat melainkan menjadi satu kesatuan bagian dari barang bukti, karena laporan tersebut bukanlah hal yang terpisah dari barang bukti. Hal ini disebabkan karena barang bukti elektronik tidak selalu bisa dengan mudah ditampilkan di persidangan, maka untuk melihat apa isi dari barang bukti elektronik tersebut dapat dilihat dalam laporan yang dibuat oleh ahli digital forensic tersebut. Apabila si ahli digital forensic tersebut dipanggil untuk bersaksi di persidangan untuk menjelaskan temuannya dan menjelaskan laporannya tersebut, barulah keterangan yang diberikan oleh ahli digital forensic tersebut menjadi alat bukti Keterangan Ahli. Dalam prakteknya selama terdakwa tidak menyangkal isi dari laporan ahli digital forensic tersebut, maka biasanya ahli digital forensic tersebut tidak perlu dipanggil untuk bersaksi di persidangan.
Universitas Indonesia
210
pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan tidak mengikutsertakan ahli digital forensic. Permasalahan lain bagi penyidik Kejaksaan Agung dalam pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik adalah peraturan yang ada saat ini terkait dengan hal tersebut belumlah memadai karena memang belum terdapat aturannya. Penyidik pada Kejaksaan Agung berpendapat bahwa perlu dibuatkan sebuah Peraturan Pemerintah yang isinya mengatur siapa yang berhak untuk mencari atau memeriksa bukti elektronik, misalnya yang berhak adalah seseorang yang telah mendapatkan sertifikasi tertentu dari lembaga tertentu atau lembaga yang ditunjuk oleh negara untuk hal itu. Penentuan siapa yang berwenang atau dipercaya oleh negara untuk mengambil data-data dari suatu bukti elektronik menjadi penting agar tidak lagi terjadi polemik, terutama di persidangan. Lebih lanjut, penyidik pada Kejaksaan Agung RI berpendapat bahwa dengan adanya lembaga ataupun regulasi bentukan pemerintah yang akan mengatur siapa yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap suatu bukti elektronik, maka secara otomatis akan terjadi penyatuan atau penyamaan Standard Operating Procedures (SOP) yang dipergunakan. Pada saat ini setiap institusi memiliki SOP yang berdiri sendiri dan mungkin saja berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya regulasi dimaksud, maka meskipun setiap institusi memiliki SOP nya masing-masing, namun tetap akan merujuk pada SOP yang dibuat oleh lembaga yang dibentuk pemerintah tersebut.
4.2. PRAKTEK
PENGGELEDAHAN
DAN
PENYITAAN
BUKTI
ELEKTRONIK OLEH CYBER CRIME INVESTIGATION CENTRE MARKAS BESAR KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bekerjasama dengan Australian Federal Police (AFP) mendirikan Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) di Indonesia. Pada CCIC ini ditempatkanlah penyidik yang akan menangani kejahatan-kejahatan yang biasa dikenal dengan Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime). Dalam hal ini penyidik pada CCIC ini juga melakukan tindakan
Universitas Indonesia
211
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik454. Pada dasarnya ketika melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, tindakan tersebut dilaksanakan di tempat dimana diperkirakan suatu tindak pidana dilakukan. Dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, penyidik pada CCIC pada dasarnya mempergunakan mekanisme sebagaimana diatur di KUHAP dan juga mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur bahwa untuk melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap sistem elektronik harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat455. Pada saat melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, semua benda elektronik yang terdapat di tempat tersebut pada dasarnya akan diamankan oleh penyidik. Hal ini dilakukan karena tidak memungkinkan untuk memilah-milah dimanakah bukti yang diperlukan akan dapat ditemukan. Hal tersebut baru dapat diketahui setelah barang bukti tersebut diperiksa oleh pemeriksa barang bukti digital. Penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan oleh penyidik CCIC tidak pernah melibatkan pihak lain selain dari petugas pada CCIC atau Puslabfor Mabes POLRI. Dalam hal ini CCIC ketika melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana dimana terdapat bukti elektronik memisahkan antara petugas yang ditugaskan sebagai penyidik dan petugas yang ditugaskan sebagai 454
Informasi yang penulis sampaikan dalam bagian ini adalah berdasarkan wawancara penulis dengan Grawas Sugiharto, pangkat Inspektur Satu, Jabatan Pemeriksa Barang Bukti Digital pada Sub Direktorat IT & Cyber Crime, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Republik Indonesia, pada tanggal 07 Desember 2012 di Gedung Cyber Crime Investigation Centre Bareskrim Mabes POLRI. 455
Penafsiran atas ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tersebut agak berbeda dengan penafsiran atas ketentuan yang sama oleh penyidik pada Kejaksaan Agung RI. Dalam hal ini penyidik pada CCIC menafsirkan bahwa ketentuan dimaksud berlaku untuk semua tindak pidana dimana terdapat bukti elektronik yang akan digeledah dan disita. Artinya sekalipun tindak pidana yang disangkakan bukanlah tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, maka ketika terdapat bukti elektronik yang perlu digeledah dan disita, maka dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, tindakan penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penyidik pada CCIC menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut merupakan hukum acara penggeledahan dan penyitaan yang berlaku pada penyidikan semua tindak pidana yang terkait dengan bukti elektronik. Dengan demikian tidak dibuka kemungkinan dilakukannya penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Universitas Indonesia
212
pemeriksa barang bukti digital tersebut456. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya conflict of interest pada penyidikan tindak pidana tersebut. Dengan demikian ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, penyidik pada CCIC juga disertai oleh Pemeriksa Barang Bukti Digital pada Laboratorium CCIC guna memastikan sekaligus membantu agar pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan dilakukan dengan benar457. Lebih lanjut, ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, setiap penyidik pada CCIC sudah dibekali dengan Standard Operating Procedures (SOP). Dalam hal ini SOP yang dimaksud adalah dalam bentuk buku saku Panduan Untuk Penyitaan Dan Penanganan Barang Bukti Elektronik. Buku saku tersebut berisi berbagai hal dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh penyidik ketika berhadapan dengan barang bukti elektronik. Pada buku saku tersebut terdapat panduan mulai dari tindakan cepat ketika menemukan komputer yang berada dalam keadaan hidup ataupun mati, komputer yang terhubung ke jaringan, bagaimana menangani laptop, komputer yang berdiri sendiri dengan sistem operasi Windows, Macintosh maupun Linux, metode atau cara mematikan komputer dengan berbagai sistem operasinya, bagaimana menangani Personal Digital Assistant (PDA) dan perangkat yang sejenis,
456
Pemeriksa Barang Bukti Digital atau Digital Forensic Analyst pada Laboratorium CCIC sebenarnya adalah petugas personil POLRI yang juga memiliki Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Penyidik. Namun CCIC membuat kebijakan untuk membedakan antara petugas yang ditugaskan sebagai penyidik dan petugas yang ditugaskan untuk memeriksa barang bukti elektronik yang ditemukan. Mereka yang ditugaskan untuk memeriksa barang bukti elektronik namanya tidak akan tercantum dalam Surat Perintah Penyidikan perkara tersebut. Artinya mereka yang memeriksa barang bukti elektronik tersebut tidak akan bertemu, memeriksa, mewawancarai ataupun mem-BAP tersangka. Dengan demikian maka hasil pemeriksaan bukti elektronik yang dilakukan tidak bisa diintervensi oleh penyidik dalam perkara tersebut. 457
Pemeriksa Barang Bukti Digital atau Digital Forensic Analyst pada Laboratorium CCIC adalah mereka yang memiliki sertifikasi dibidang digital forensic. Dalam hal ini beberapa sertifikasi yang dimiliki adalah AccessData Certified Examiner (ACE) dan Certified Ethical Hacker (C|EH). Untuk lebih jelasnya perihal kedua sertifikasi ini dapat dilihat pada dan . Dalam hal ini informan yang penulis wawancarai menerangkan bahwa sebenarnya selain kedua sertifikasi tersebut masih terdapat sertifikasi lain seperti Computer Hacking Forensic Investigator (C|HFI) dan sebagainya. Dengan demikian maka sertifikasi apapun yang dimiliki pada dasarnya yang terpenting adalah orang tersebut secara praktis dan akademis harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan yang diambil terhadap barang bukti elektronik. Secara praktis misalnya sehari-harinya orang tersebut bekerja di laboratorium digital forensic sementara secara akademis artinya orang tersebut memiliki sertifikasi digital forensic examiner.
Universitas Indonesia
213
perangkat elektronik apa sajakah yang dapat disita beserta gambarnya, beberapa pertanyaan yang sedapat mungkin diajukan kepada penguasa barang yang disita, alat-alat apa sajakah yang perlu dibawa ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan, petunjuk penyitaan dan penanganan barang bukti berupa telepon selular hingga daftar nomor telepon yang dapat dihubungi terkait dengan manajemen barang bukti elektronik tersebut. Setelah penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti elektronik dilakukan, apabila terdapat barang bukti yang harus dibawa ke laboratorium458 untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, maka dalam menemukan apa yang hendak dicari, Pemeriksa Barang Bukti Digital pada CCIC akan meminta petunjuk kepada penyidik perihal apakah yang harus dicari dan ditemukan459. Dikarenakan penyidik lebih memahami substansi perkara yang melibatkan barang bukti elektronik tersebut, maka meminta petunjuk kepada penyidik tersebut dilakukan guna lebih mempermudah dalam menemukan apa yang akan dicari. Hal lain yang juga dapat mempermudah pemeriksaan barang bukti adalah dengan mengetahui tempus delicti dari tindak pidana yang sedang disidik. Dengan demikian maka bukti yang akan dicari adalah bukti yang berada dalam rentang waktu tertentu saja. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan bukti elektronik yang dicari, maka barang bukti elektronik tersebut dikembalikan kepada penyidik dalam keadaan tersegel dan dibuatkan Berita Acaranya bahwa tidak ditemukan bukti yang dicari. Dengan demikian maka chain of custody460 dari barang bukti
458
Dalam hal barang bukti elektronik yang ditemukan tidak dapat dipindahkan atau dibawa, ke laboratorium karena akan dapat mengganggu pelayanan masyarakat, misalnya bukti elektronik yang terdapat dalam server komputer, maka tindakan yang dilakukan oleh penyidik CCIC adalah meminta kepada petugas laboratorium CCIC yang ikut dalam tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut untuk melakukan live imaging atas data-data yang terdapat dalam server tersebut. 459
Untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik guna mendapatkan bukti elektronik berupa data-data yang mendukung pembuktian tindak pidana yang disangkakan, Pemeriksa Barang Bukti Digital pada laboratorium CCIC menggunakan program atau aplikasi Forensic Toolkit (FTK) Imager untuk melakukan akuisisi data, X-Ways Forensics, EnCase Forensic, Forensic Toolkit (FTK) AccessData dan sebagainya. Dalam hal ini software yang dipergunakan hanyalah software yang berbayar ataupun yang disediakan gratis atau open source. 460
Chain of Custody merujuk pada pendokumentasian secara kronologis yang menunjukkan penyitaan, pengamanan, pengontrolan, pemindahan dan penghancuran barang bukti.
Universitas Indonesia
214
tersebut jelas. Sementara itu, apabila ternyata dalam pemeriksaan barang bukti elektronik tersebut ditemukan bukti lain yang mengindikasikan telah terjadinya tindak pidana lain, maka hal tersebut tidak akan dimasukkan dalam Berita Acara terkait tindak pidana yang awal, melainkan akan dikomunikasikan secara informal kepada penyidik, perihal apakah tindak pidana yang ditemukan kemudian tersebut akan disidik atau tidak maka hal tersebut merupakan kewenangan penyidik sepenuhnya.461 Barang bukti elektronik yang diperiksa oleh Pemeriksa Barang Bukti Digital pada CCIC merupakan bukti yang merupakan hasil imaging dari hasil imaging barang bukti yang asli. Dalam hal ini barang bukti elektronik yang asli selanjutnya akan diserahkan kepada Penuntut Umum sementara hasil imaging sebagaimana dimaksud sebelumnya tetap berada di laboratorium CCIC. Hasil imaging bukti elektronik dimaksud tetap akan disimpan oleh laboratorium CCIC hingga perkara tindak pidananya berkekuatan hukum tetap, setelah itu maka hasil imaging dimaksud akan dihancurkan. Namun untuk hasil imaging bukti elektronik yang terkait dengan tindak pidana terorisme maka bukti elektronik tersebut tidak dihancurkan sekalipun perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya,
dalam
melaksanakan
pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik, berbagai macam program / software / aplikasi baik yang berbayar maupun yang tidak, dapat dipergunakan. Terkait dengan hal tersebut, informan berpendapat bahwa tools yang dipergunakan tersebut tidak perlu diseragamkan, meskipun terdapat kemungkinan program / software / aplikasi yang satu lebih baik dari yang lainnya dalam mendukung proses pemeriksaan barang bukti elektronik. Namun dikarenakan _________________________ Chain of Custody ini menjadi penting karena hal itu dapat melacak suatu bukti dari sumber aslinya sampai kepada bukti yang dihadirkan di persidangan. Dalam bukti elektronik Chain of Custody ini menjadi sangat penting karena data yang tersimpan dalam bukti elektronik tersebut dapat diubah atau dihancurkan dengan cara yang relatif lebih mudah dibandingkan dengan bukti lainnya. Lihat ”Computer Forensics, Part 2: Best Practices”, , diakses pada tanggal 18 Desember 2012. 461
Pemeriksa Barang Bukti Digital pada CCIC apabila diminta biasanya juga bersaksi sebagai ahli di pengadilan. Namun biasanya memang cukup dengan Berita Acara pemeriksaan saja. Menurut informan dari hasil pemeriksaan barang bukti elektronik yang dilakukannya tersebut dapat timbul dua alat bukti, yaitu alat bukti Surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium dan alat bukti Keterangan Ahli, yaitu ketika Pemeriksa dimaksud dipanggil untuk memberi keterangan di persidangan.
Universitas Indonesia
215
teknologi merupakan ranah ilmu pengetahuan yang berkembang dengan amat cepat dan tidak ada program / software / aplikasi yang sempurna, maka yang perlu disamakan itu sebenarnya adalah Standard Operating Procedures (SOP) baik itu dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan, maupun dalam melakukan pemeriksaan bukti elektronik tersebut. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa yang perlu disamakan adalah pengetahuan atas prinsip-prinsip dasar dalam menangani bukti elektronik462, yaitu: 1. Prinsip pertama, tidak boleh terdapat tindakan dari institusi penegak hukum maupun para petugasnya yang dapat merubah data yang berada pada komputer atau media penyimpanan lainnya yang akan dihadirkan di persidangan nantinya. 2. Prinsip kedua, dalam suatu kondisi dimana diperlukan untuk mengakses data asli yang berada di komputer atau media penyimpanan, maka orang yang akan mengakses data tersebut haruslah orang yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut dan dapat memberikan bukti yang menjelaskan relevansi dan implikasi dari tindakannya tersebut. 3. Prinsip ketiga, suatu jejak untuk audit atau pendokumentasian lainnya atas semua proses yang dilakukan kepada bukti elektronik tersebut haruslah dibuat dan disimpan dengan baik. Dalam hal ini pihak ketiga yang independen harus dapat memeriksa proses-proses tersebut dan seharusnya akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang didapatkan oleh penegak hukum tersebut. 4. Prinsip keempat, orang yang bertanggung jawab atas suatu penyidikan memiliki tanggungjawab secara keseluruhan untuk memastikan bahwa aturanatuaran hukum dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam panduan tersebut ditaati dengan baik. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa alangkah baiknya bila di Indonesia pemerintah membuat suatu lembaga Komputer Forensik Indonesia, 462
Menurut informan, bagaimanapun isi SOP dari masing-masing penyidik yang berwenang untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dan juga pihak yang melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik, maka selama mengacu pada empat prinsip-prinsip dasar tersebut hasil dari pelaksanaan tindakan yang dilakukan akan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Lebih lanjut informan juga berpendapat bahwa alangkah baiknya bila di Indonesia ini juga terdapat semacam asosiasi ahli digital forensik. Dengan demikian diharapkan dengan adanya asosiasi tersebut, diharapkan akan ada kesamaan dalam tindakan-tindakan yang diambil oleh para ahli digital forensik tersebut.
Universitas Indonesia
216
misalnya melalui Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika yang salah satu tugas dari lembaga tersebut adalah untuk menyatakan lembaga mana yang dapat mengeluarkan sertifikasi bagi ahli komputer forensik di Indonesia. Persoalan sertifikasi ini kerap menjadi permasalahan tersendiri di persidangan ketika ahli dimaksud ditanyakan apakah sertifikasi yang dimikilinya tersebut sudah diakui atau sudahkah sesuai dengan standar di Indonesia. Menurut informan permasalahan terbesar di Indonesia terkait barang bukti elektronik ini adalah sumber daya manusianya. Sebagian besar Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik yang ada di Indonesia ini masih belum memahami apa dan bagaimanakah yang dimaksud dengan barang bukti elektronik tersebut463. Terlebih lagi ketika mereka harus memahami bagaimana barang bukti tersebut dapat dihadirkan dan menjadi alat bukti di persidangan.
4.3. PRAKTEK
PENGGELEDAHAN
DAN
PENYITAAN
BUKTI
ELEKTRONIK OLEH AHLI DIGITAL FORENSIK Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat diketahui bahwa penyidik di Indonesia ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik ada yang mempergunakan ahli digital forensik dari internal institusinya sendiri dan ada juga yang mempergunakan ahli digital forensik yang berasal dari luar institusinya atau ahli swasta. Dengan demikian maka pembahasan selanjutnya akan terkait bagaimana praktek para ahli digital forensik ini ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik bersama dengan penyidik suatu perkara tindak pidana. 4.3.1. Ahli Digital Forensik Yang Berasal Dari Institusi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia merupakan contoh dari institusi yang memiliki ahli digital / komputer forensik. Di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, para ahli komputer forensik ini ditugaskan pada Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia.
463
Terkait dengan terminologi Bukti Elektronik yang terdapat dalam RKUHAP 2011, informan berpendapat bahwa sebaiknya terminologi tersebut mempergunakan definisi atau penjelasan sebagaimana terdapat di UU ITE perihal Dokumen Elektronik dan Informasi Elektronik.
Universitas Indonesia
217
Sebagai ahli komputer forensik, personil464 pada Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia berada pada Sub Bidang Komputer Forensik465. Dalam hal ini mereka sudah cukup sering diikutsertakan dalam proses pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik466. Tindakan yang dilakukan pada saat proses penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik adalah melakukan triage forensic467 terhadap barang bukti elektronik468 yang ditemukan. Dikarenakan petugas atau ahli komputer forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI bukanlah penyidik, dengan demikian
464
Ahli komputer forensik pada Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia saat ini berjumlah empat orang. Semua personil tersebut merupakan ahli komputer forensik yang memiliki sertifikat keahlian dalam bidang digital forensik. Dalam hal ini sertifikat yang dimiliki oleh keempat orang tersebut setidaknya adalah Computer Hacking Forensic Investigator (C|HFI) 465
Informasi yang penulis sampaikan dalam bagian ini adalah berdasarkan wawancara penulis dengan Muhammad Nuh Al-Azhar, pangkat Komisaris Polisi, Jabatan Kepala Sub Bidang Komputer Forensik, Pusat Laboratorium Forensik, Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Republik Indonesia, pada tanggal 12 Desember 2012 di Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Mabes POLRI. 466
Beberapa contoh kasus dimana ahli komputer forensik ini diikutsertakan dalam proses penggeledahan dan penyitaan adalah pada kasus video Ariel-Luna Maya yang pelaksanaannya bersama penyidik Bareskrim bertempat di Bandung, kasus Judi Online yang pelaksanaannya bersama penyidik Bareskrim bertempat di Kwitang, Jakarta Pusat, kasus Hak Cipta Software bersama penyidik Polda Metro Jaya bertempat di Cikarang, kasus pembunuhan di Batam bersama penyidik Polda Kepulauan Riau. 467
Triage forensic adalah suatu prosedur penanganan awal barang bukti elektronik di TKP. Istilah triage forensic sejatinya mengambil kosa kata dalam ilmu kesehatan, yaitu triage yang berarti tata cara penanganan pasien untuk pertama kali dalam berbagai kondisi, misalnya pasien pingsan, luka memar, luka bakar, selamat dari tenggelam dan lain sebagainya. Dengan prosedur triage ini diharapkan tenaga paramedia atau masyarakat umum yang paham akan prosedurnya dapat membantu atau bahkan menyelamatkan nyawa pasien di saat-saat kritis. Istilah tersebut kemudian diadopsi dalam bidang digital forensic dengan objek perlakukan barang bukti elektronik. Triage forensic ini dilakukan terhadap barang bukti komputer yang ditemukan di lapangan dan dengan mempertimbangkan perlunya untuk mendapatkan data-data investigatif secara efektif dan efisien guna kepentingan penyelidikan/penyidikan secara cepat. Dalam hal ini pelaksanaan triage forensic ini dibagi menjadi dua, yaitu ketika barang bukti komputer dalam keadaan mati (off) dan ketika dalam keadaan hidup (on). Lihat Al-Azhar, op. cit., hal. 55-56. 468
Menurut informan harus dibedakan antara barang bukti elektronik dan barang bukti digital. Oleh karena itu apabila dalam RKUHAP terminologi yang dipergunakan adalah Bukti Elektronik maka seharusnya diberikan penjelasan lebih lanjut perihal apakah yang dimaksud dengan Bukti Elektronik tersebut. Menurut informan dengan mengacu pada definisi Dokumen Elektronik serta Informasi Elektronik sebagaimana terdapat dalam UU ITE akan dapat membuat jelas apakah yang dimaksud dengan bukti elektronik tersebut, selain itu definisi yang terdapat dalam UU ITE tersebut menurut informan sudah dapat mengantisipasi perkembangan teknologi di masa yang akan datang.
Universitas Indonesia
218
mereka pun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan. Oleh karena itu yang memutuskan barang bukti elektronik apa sajakah yang akan digeledah dan kemudian disita merupakan keputusan dari penyidik dengan mendengarkan pertimbangan dan saran dari ahli komputer forensik469 tersebut. Pada dasarnya setiap barang elektronik yang memiliki kemungkinan untuk menyimpan bukti-bukti yang dapat memperjelas penyidikan suatu tindak pidana pasti akan disita terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan ada atau tidaknya bukti elektronik yang dicari baru dapat dipasikan setelah barang bukti elektronik yang ditemukan tersebut diperiksa dengan metode digital forensic. Apabila pada barang bukti yang telah disita dan diperiksa tersebut kemudian ternyata tidak ditemukan bukti yang dapat memperjelas penyidikan tindak pidana tersebut, maka kemudian Puslabfor akan menuangkan hal tersebut dalam Berita Acara Pemeriksaan dan mengembalikan barang bukti elektronik dimaksud kepada penyidik. Terkait dengan bukti yang bagaimanakah yang akan dicari pada saat pemeriksaan barang bukti elektronik, dalam hal ini ahli komputer forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI biasanya akan melakukan gelar perkara dengan penyidik perkara tersebut. Dari gelar perkara tersebut oleh ahli komputer forensik akan dapat mengetahui apa saja yang harus dicari. Apabila ada beberapa temuan bukti yang ditemukan, maka kemudian ahli komputer forensik akan mengkomunikasikan hal tersebut kepada penyidik, apabila bukti yang diperlukan sudah cukup maka barulah kemudian hal tersebut dituangkan dalam Berita Acara. Dalam melakukan pemeriksaan barang bukti elektronik, Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI memiliki serangkaian Standard Operating Procedures (SOP) yang menguraikan tahap-tahap pekerjaan yang dilakukan. Dalam hal ini terdapat dua belas Standard Operating Procedures (SOP), yaitu:470
469
Ahli komputer forensik yang terdapat di Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI merupakan ahli yang memiliki sertifikasi di bidang digital forensik. Menurut informan sertifikasi ini tidak perlu diseragamkan dan tidak perlu dibatasi bahwa hanya mereka yang memiliki sertifikasi tertentu saja yang diakui sebagai ahli. Yang terpenting menurut informan adalah bahwa orang tersebut memiliki kualifikasi syarat praktis dan akademis. 470
Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari informan, saat ini baru terdapat dua belas SOP dari lima belas SOP yang direncanakan. Pada saat ini SOP tersebut masih berstatus sebagai prosedur internal laboratorium komputer Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI dalam melaksanakan pekerjaannya. Setelah lima belas SOP tersebut selesai dibuat, semua SOP tersebut
Universitas Indonesia
219
1. SOP 1 tentang Prosedur Pemeriksaan Digital Forensik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan penanganan barang bukti elektronik secara komprehensif yang dimulai dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) hingga di laboratorium guna mendukung penyelidikan/penyidikan secara cepat dan benar. 2. SOP 2 tentang Komitmen Jam Kerja Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan pemeriksaan digital forensik seperti yang dijelaskan pada SOP 8 s/d SOP 12 dengan deskripsi rentang waktu (komitmen jam kerja) yang dibutuhkan untuk setiap pemeriksaan, dimana komitmen jam kerja ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam satu hari kerja terdapat tujuh jam kerja yang efektif. 3. SOP 3 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan Digital Forensik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam membuat BAP Laboratoris Kriminalistik yang bersifat komprehensif, termasuk didalamnya menyebutkan prosedur pemeriksaan yang digunakan dan hasil pemeriksaan digital forensik untuk setiap barang bukti elektronik. 4. SOP 4 tentang Penerimaan Barang Bukti Elektronik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam menerima bukti elektronik seperti komputer, handphone, simcard, flashdisk, harddisk, memory card dan lain-lain. 5. SOP 5 tentang Penyerahan Barang Bukti Elektronik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam menyerahkan kembali barang bukti elektronik seperti komputer, handphone, simcard, flashdisk, harddisk, memory card dan lain-lain kepada tim penyidik. 6. SOP 6 tentang Triage Forensik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan penanganan barang bukti komputer di lapangan, _________________________ akan dijadikan sebagai Peraturan Kepala Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
220
khususnya analisa isi harddisk dan memori RAM (Random Access Memory) dari barang bukti komputer tersebut guna efisiensi dan efektifitas pemeriksaan digital forensik untuk pencarian data-data investigatif. 7. SOP 7 tentang Akuisisi Langsung Komputer Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan akuisisi harddisk dan memori RAM (Random Access Memory) dari barang bukti elektronik komputer yang ditemukan dalam keadaan hidup (on) secara langsung (forensic live imaging) dan physical sektor per sektor di lapangan guna efisiensi dan efektifitas pemeriksaan digital forensik. 8. SOP 8 tentang Akuisisi Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan akuisisi barang bukti elektronik berupa harddisk, flashdisk dan memory card, yaitu menggandakan isi dari barang bukti media penyimpanan tersebut secara physical sektor per sektor (forensic imaging) dengan metode dari disk to image file. 9. SOP 9 tentang Analisa Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan analisa barang bukti elektronik berupa harddisk, flashdisk dan memory card, yaitu melakukan pencarian data-data investigatif yang berkaitan dengan kasus dimana data-data tersebut secara umum dapat berupa logical (artinya masih ada dan tersedia dalam file system), deleted (sudah dihapus) atau lost (sudah hilang dan tidak tercatat di file system), selanjutnya data-data tersebut dianalisa lebih lanjut. 10. SOP 10 tentang Akuisisi Handphone Dan Simcard Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan akuisisi barang bukti elektronik berupa handphone dan simcard, yaitu mengakses isi dari memori handphone dan simcard, baik secara logical (yaitu file-file yang masih tersedia/available) maupun secara physical (yaitu termasuk file-file yang sudah dihapus seperti deleted SMS, contacts dan lain-lain). 11. SOP 11 tentang Analisa Handphone Dan Simcard
Universitas Indonesia
221
Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan analisa barang bukti elektronik berupa handphone dan simcard, yaitu memeriksa dan menganalisa lebih lanjut file-file backup hasil akuisisi dari isi memori handphone dan simcard guna mencari data-data investigatif yang berkaitan dengan penyelidikan/penyidikan. 12. SOP 12 tentang Analisa Audio Forensik Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan tertib administrasi dan teknis dalam melakukan analisa barang bukti elektronik berupa file audio rekaman suara percakapan, yaitu memeriksa dan menganalisa lebih lanjut file audio tersebut untuk kepentingan voice recognition dengan menganalisa secara spektral dan membandingkannya antara sample suara barang bukti (unknown) dengan sample suara pembanding (known) guna memastikan keidentik-an suara. Berdasarkan Standard Operating Procedures (SOP) itulah kemudian pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik dilakukan. Setelah pemeriksaan selesai dilakukan471 maka kemudian hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris472 dan barang bukti elektronik yang diperiksa pun dikembalikan kepada penyidik,473 sehingga apabila ada pihak atau institusi lain
471
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik, ahli komputer forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI hanya menggunakan software atau aplikasi yang berbayar ataupun open source, tidak pernah yang bajakan atau sudah di crack, baik itu yang windows based, maupun yang linux based. Hal tersebut dilakukan karena pemeriksaan yang dilakukan adalah dalam rangka penegakan hukum, dengan demikian menurut informan tidak bisa apabila penegakan hukum dilakukan dengan melanggar hukum. Beberapa software / aplikasi yang biasa dipergunakan diantaranya adalah EnCase, FTK Imager, Recover My Files, Win Hack, Password Recovery, Foremost, dcfldd, Autopsy dan sebagainya. Informan berpendapat bahwa apabila tools yang dipergunakan tersebut hendak diseragamkan pada dasarnya tidak ada masalah, asalkan apabila hal tersebut dilakukan maka tools apa yang akan dipilih harus netral dan tidak karena pesanan vendor tertentu. Dengan demikian pemilihan tools lebih kepada fungsinya. 472
Apabila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan ditemukan bukti lain yang tidak terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik maka bukti lain tersebut akan disampaikan oleh ahli komputer forensik kepada penyidik secara informal. 473
Dalam hal ini yang dikembalikan kepada penyidik adalah barang bukti asli, sementara hasil imaging dari barang bukti tersebut tetap berada pada ahli digital forensik. Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI memang belum memiliki SOP sampai kapan hasil imaging dimaksud akan disimpan, dengan demikian maka hingga saat ini semua hasil imaging tersebut masih tetap disimpan. Kebijakan ini juga dilatarbelakangi kemungkinan bila dikemudian hari penyidik ingin
Universitas Indonesia
222
yang menginginkan informasi terkait barang bukti elektronik tersebut, maka mereka dipersilahkan untuk menghubungi penyidik perihal hal tersebut. Kendala yang dihadapi oleh Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI adalah kurangnya sumberdaya manusia untuk melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik yang ditemukan. Akhirnya hal tersebut berimbas pula pada kendala waktu yang diperlukan untuk memeriksa suatu brang bukti elektronik, karena tidak semua pemeriksaan itu dapat dilakukan dengan cepat dan lancar. Selain itu kendala teknis yang dihadapi adalah adanya kebutuhan untuk selalu mengupgrade baik itu hardware maupun software yang dipergunakan untuk memeriksa barang bukti elektronik tersebut. Menurut informan pengaturan yang ada terkait penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik ini, terutama yang terdapat dalam UU ITE sudah cukup memadai, namun memang hal tersebut perlu penguatan, terutama soal ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) UU ITE. Hal ini sangat penting karena dalam dunia digital, waktu menjadi sesuatu yang amat krusial. Apabila terdapat keharusan untuk selalu terlebih dahulu ada penetapan Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan, maka dikhawatirkan tersangka akan dapat menghilangkan bukti-bukti yang diperlukan dengan mudah, terlebih apabila yang bersangkutan telah terlebih dahulu mengetahui bahwa akan ada tindakan penggeledahan dan penyitaan.
4.3.2. Ahli Digital Forensik Swasta Selain dari ahli digital forensik yang berasal dari internal institusi penyidik, penyidik tindak pidana di Indonesia cukup sering juga mempergunakan atau meminta bantuan kepada ahli digital forensik swasta dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, bahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bukti elektronik yang ditemukan. Salah satu ahli digital forensik swasta yang cukup sering dimintai bantuan oleh penyidik tindak pidana dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik adalah Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI.474 _________________________ mengembangkan kasus lain yang buktinya mungkin saja terdapat dalam hasil imaging yang disimpan tersebut.
Universitas Indonesia
223
Sebagai ahli digital forensik swasta Ruby Zukry Alamsyah telah lebih dari empat puluh kali475 ikut serta dalam penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, baik itu bersama Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia maupun bersama Badan Narkotika Nasional. Ketika dimintai untuk menyertai penyidik dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, yang bersangkutan melakukan analisa terlebih dahulu terhadap kasus dengan bertanya kepada penyidik yang meminta bantuan kepadanya476. Setelah mempersiapkan peralatan yang di perlukan, pada saat berada di lokasi penggeledahan dan penyitaan, yang bersangkutan kemudian melakukan live site survey terhadap existing system dan network. Dari situlah kemudian dapat ditentukan perangkat elektronik apa sajakah yang perlukan untuk disita. Proses
selanjutnya
adalah
yang
bersangkutan
melakukan
proses
pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan, termasuk didalamnya melakukan dua proses penting, yaitu forensic imaging (yaitu kloning atau duplikasi barang bukti digital) serta melakukan hashing (digital fingerprint) pada setiap hasil _________________________ 474
Informasi yang penulis sampaikan dalam bagian ini adalah berdasarkan korespondensi penulis dengan Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI melalui e-mail. Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI merupakan salah satu ahli digital forensik swasta yang ada di Indonesia. Beliau merupakan Digital Forensic Analyst / Infosec Consultant pada JARNUS Digital Forensic (PT Jaringan Nusantara). Biodata Ruby Zukry Alamsyah, ST, MTI yang lebih rinci dapat dilihat di . 475
Menurut informan proses digital forensic memang bertujuan untuk melakukan penganalisaan terhadap barang bukti digital untuk menemukan bukti yang relevan terhadap suatu kasus. Dalam hal ini beberapa kasus dimana informan ikut dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik adalah pada kasus Paspor Palsu Gayus Tambunan bersama penyidik Bareskrim Mabes POLRI yaitu penggeledahan dan penyitaan terhadap server komputer Kantor Imigrasi Jakarta Timur, kasus Indosat IM2 bersama penyidik Pidana Khusus pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI yaitu penggeledahan dan penyitaan terhadap server-server IM2 dan database accounting IM2, kasus video Ariel-Luna Maya bersama penyidik Bareskrim Mabes POLRI dan lain-lain. 476
Tahapan yang biasanya terjadi ketika penyidik meminta bantuan informan untuk ikut serta dalam proses penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik adalah: 1. Penyidik memberikan surat permohonan ahli secara resmi; 2. Informan melakukan pertemuan dengan penyidik untuk mendapatkan detil informasi terkait kasus dan menanyakan kepada penyidik secara spesifik mereka ingin mendapatkan data/informasi apa pada barang bukti digital tersebut; 3. Informan akan melakukan proses digital forensic secara prosedural agar integrasi terjaga dan hasilnya dapat diterima di pengadilan. Dari ketiga tahapan tersebut, ada kalanya tahap yang kedua tidak dilaksanakan karena menurut penyidik hal tersebut adalah informasi yang sensitif, sehingga informan hanya menerima informasi minim. Menurut informan situasi semacam ini biasanya lebih banyak memberikan hasil yang tidak optimal, dikarenakan komunikasi yang terjadi antar penyidik dan informan sebagai analis sangat minim.
Universitas Indonesia
224
forensic imaging untuk keperluan integritas barang bukti digital tersebut. Dalam hal ini apabila ada barang bukti elektronik yang disita dan kemudian dibawa oleh penyidik kepada informan, maka pemeriksaan barang bukti elektronik tersebut kemudian dilakukan di laboratorium digital forensic yang dimiliki oleh informan477. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik informan mempergunakan beberapa Standard Operating Procedures (SOP), yaitu Guidelines for Evidence Collection and Archiving atau biasa dikenal dengan RFC 3227478, Guidelines atau panduan yang dikeluarkan oleh National Institute of Standards and Technology (NIST)479 dan guidelines yang diterbitkan oleh U.S. Department of Justice yaitu Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations. Selain dari panduan-panduan tersebut, dalam melakukan pemeriksaan barang bukti elektronik informan juga berpegang pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 UU ITE, yaitu
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.480
477
Pemeriksaan barang bukti elektronik dilaksanakan di laboratorium digital forensic milik informan ini biasanya dilakukan karena penyidik telah melakukan penyitaan secara tradisional terlebih dahulu, lalu selanjutnya meminta ahli IT untuk melakukan forensic imaging di kantor penyidik dengan disaksikan oleh tersangka/penasehat hukum tersangka. Apabila permintaan kepada informan untuk memeriksa bukti elektronik sudah dilakukan sebelum penyidik melakukan penyitaan, informan selalu meminta untuk dilakukan proses penyitaan bukti elektronik secara on-site. 478
Untuk teks lengkap dari Guidelines for Evidence Collection and Archiving dapat di download dari . 479
Untuk teks lengkap dari guidelines atau panduan yang dikeluarkan oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) dapat ditelusuri pada . 480
Indonesia (G), op. cit., Pasal 6.
Universitas Indonesia
225
Dengan demikian menurut informan meskipun dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik dan detil bagaimana memproses barang bukti elektronik, minimal dalam Pasal tersebut terdapat persyaratan yang diminta yaitu dapat
diakses,
ditampilkan,
dijamin
keutuhannya
dan
dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dengan adanya ketentuan Pasal 6 UU ITE tersebut, menurut informan RFC 3227, Guidelines atau panduan yang dikeluarkan oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) dan guidelines Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations lah yang dapat memenuhi permintaan Pasal 6 UU ITE tersebut. Sebagaimana diketahui sedikit atau banyaknya informasi yang dapat diperoleh dari barang bukti elektronik tidaklah bergantung atau selalu berbanding lurus dengan besar atau kecilnya dimensi barang bukti elektronik tersebut. Dengan demikian maka dalam suatu flashdisk yang misalnya berukuran panjang empat sentimeter dan lebar satu setengah sentimeter mungkin sekali terdapat berbagai macam informasi baik itu yang terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik ataupun ternyata terkait dengan tindak pidana lain yang pada saat pemeriksaan barang bukti elektronik tersebut dilakukan belum disidik. Dalam hal ketika pemeriksaan terhadap bukti elektronik yang dilakukan oleh informan ditemukan bukti elektronik lain yang tidak terkait dengan tindak pidana yang sedang diperiksa bukti elektroniknya, namun terkait dengan tindak pidana lain maka tindakan yang dilakukan oleh informan adalah melakukan koordinasi dan diskusi dengan tim penyidik, dan biasanya tim penyidik kemudian tinggal menyiapkan proses administrasi terkait tindak pidana lainnya tersebut. Setelah itu informan akan melakukan proses forensik untuk kedua kalinya terhadap bukti elektronik yang sama dan kemudian dibuatkan laporannya dalam laporan yang terpisah dengan laporan pemeriksaan barang bukti elektronik yang pertama kali.481
481
Bila ada pihak lain yang meminta barang bukti digital kepada informan, yang bersangkutan akan menolak memberikannya dan mempersilahkan orang tersebut untuk berkoordinasi kepada penyidik untuk mengakses/meminta barang bukti digital tersebut. Hal ini dilakukan oleh informan karena informan berpendapat bahwa ia bukanlah pemilik dan penanggung jawab barang bukti digital tersebut. Hal tersebut juga terkait dengan kode etik professional informan sebagai digital forensic analyst.
Universitas Indonesia
226
Setelah pemeriksaan bukti elektronik selesai dilakukan482, informan tetap menyimpan copy duplikat/cloning barang bukti digital sampai suatu kasus berkekuatan hukum tetap (inkracht). Hal ini dilakukan apabila tim penyidik tidak memiliki prosedur atau media penyimpanan yang menjamin ketersedian dan keabsahaan barang bukti digital yang telah diproses dan demi profesionalitas kerja informan guna menjamin sebuah kebenaran sampai prosesnya inkracht dan informan tidak memiliki tanggungjawab lagi terhadap kasus tersebut. Namun demikian berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari informan terdapat juga kasus dimana informan tidak menyimpan sama sekali copy barang bukti digital tersebut. Hal ini biasanya terjadi bila informan melakukan semua proses pemeriksaan di kantor penyidik dan memang penyidik menginginkan untuk tidak adanya copy barang bukti digital yang dibawa keluar dari kantor mereka.
4.4. PEMBARUAN
HUKUM
ACARA
PENGGELEDAHAN
DAN
PENYITAAN BUKTI ELEKTRONIK Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, bukti elektronik memang memiliki karakter yang unik, yaitu bentuknya yang elektronik, dapat digandakan dengan mudah, dan sifatnya yang mudah untuk dirubah. Oleh karenanya penanganan bukti elektronik, yaitu bagaimana bukti lektronik itu dapat dihadirkan ke muka persidangan secara autentik dan dapat dipresentasikan atau tidak rusak merupakan suatu hal yang amat penting. Proses ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan mulai dari tahap penggeledahan hingga tahap penyitaan dan dihadirkannya bukti elektronik tersebut di muka persidangan. Dalam pembahasan sebelumnya penulis juga telah menguraikan bahwa dalam rangka mengakomodir serta mengantisipasi berkembangnya cara pelaku
482
Software / program atau aplikasi yang biasa dipergunakan informan untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik adalah EnCase ver. 7, FTK ver. 4, Helix Pro, XWays Forensic, Pro-Discover, dd, dc3dd dan The SleuthKit. Sementara untuk hardware yang dipergunakan adalah Cellebrite UFED Pro, Cellebrite UFED Touch, Chinex Kit, Forensic Workstation Server, Forensic Workstation Portable, Tableau TD-1, Tableau TD-2, Tableau Write Protector Kit for All Connectors. Dalam hal ini semua Software / program atau aplikasi yang dipergunakan informan selalu Software / program atau aplikasi yang berbayar atau yang open source saja. Informan tidak pernah menggunakan Software / program atau aplikasi bajakan atau yang sudah di crack dengan alasan bila menggunakan aplikasi semacam itu dapat dipastikan hasil kerja forensiknya juga ilegal, karena menggunakan software dari hasil tindak pidana juga.
Universitas Indonesia
227
kejahatan dalam melakukan tindak pidananya, maka bukti elektronik pun mulai diakui dan dianggap merupakan salah satu jenis bukti yang dapat mendukung pengungkapan suatu peristiwa pidana. Hal ini terjadi karena dalam bukti elektronik tersebut dapat tersimpan banyak informasi yang berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi. Berbagai macam peraturan yang dibuat pun kemudian mengakui bukti elektronik483 sebagai salah satu alat bukti yang sah. Hal ini pun bahkan juga telah diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011. Selain itu, praktek penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh para penegak hukum pun kemudian telah pula dilakukan terhadap bukti-bukti elektronik yang terdapat dalam berbagai bentuknya. Selama bukti elektronik tersebut memungkinkan untuk dipergunakan maka lalu dengan berbagai cara dan metode penyidik tindak pidana pun mencari dan menyita barang bukti dimaksud guna memperkuat pembuktian perkara yang disangkakan. Dengan berbagai keterbatasan pengaturan yang ada, penyidik tindak pidana mulai menjadikan bukti elektronik sebagai bukti yang penting dalam mendukung pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana. Berbagai keterbatasan
yang ada, mulai dari pengaturan perihal
penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang belum lengkap dan jelas, pemahaman yang belum memadai dari para penegak hukum atas bukti elektronik tersebut, terutama perihal prosedur serta metode penanganannya dan lain sebagainya membuat bukti elektronik memerlukan pengaturan yang lebih komprehensif. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, maka menurut Hugo Sinzheimer dalam kondisi semacam ini hukum perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan masyarakat. Bagi Sinzheimer hukum itu dirasa perlu mengatur sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa serta hubungan-
483
Dalam hal ini terminologi yang dipergunakan oleh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memang tidak dengan langsung menyebutnya sebagai “bukti elektronik”. Oleh karena itu penggunaan terminologi bukti elektronik ini harus dipahami dalam kerangka bahwa terminologi tersebut bermaksud untuk menjelaskan hal serupa namun dengan terminologi dan definisi yang mungkin berbeda-beda dalam tiap peraturan perundang-undangan tersebut.
Universitas Indonesia
228
hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya484. Yehezkel Dror pun menyatakan bahwa
There is nearly always a certain difference between actual social behavior and the behavior demanded by the legal norm... A lag appears only when there is more than a certain tension, when the law does not in fact answer the needs arising from major social changes or when social behavior and the sense of obligation generally felt towards the legal norms significantly differs from the behavior required by law. ... the concept of lag applies to law and social change in dynamic situations, after either social change or changes in the law occur and no parallel changes and adjustment processes take place in law or society respectively.485
Dikarenakan perkembangan teknologi di masyarakat, dimana hampir dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari semakin selalu bersinggungan dengan alat-alat elektronik, maka bukti-bukti yang berbentuk elektronik menjadi semakin banyak diandalkan oleh para penegak hukum dalam membuktikan terjadinya suatu tindak pidana. Hal ini tentunya harus disikapi oleh hukum agar jangan sampai hukum tidak dapat menjangkau ranah-ranah tertentu terkait perkembangan teknologi ini. Berdasarkan penelitian penulis terhadap pengaturan serta praktek penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan oleh para penegak hukum, dapat penulis kemukakan beberapa persoalan yang memerlukan pengaturan yang lebih jelas, yaitu: 4.4.1. Pengaturan
Perlindungan
Terhadap
Privacy,
Kerahasiaan,
Kelancaran Layanan Publik, Integritas Data, atau Keutuhan Data. 4.4.1.1.Perlindungan Terhadap Kelancaran Layanan Publik Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Pasal 43 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik harus dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
484
Ali, op. cit., hal. 192.
485
Dror, op. cit., hal. 90.
Universitas Indonesia
229
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data. Dalam prakteknya pemenuhan terhadap kebutuhan ini masih memiliki beberapa kendala. Kendala yang penulis temukan adalah perihal jaminan atas kelancaran layanan publik dalam hal dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang memang dipergunakan untuk pelayanan publik. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari beberapa informan yang bertindak
sebagai
penyidik
tindak
pidana,
ketika
mereka
melakukan
penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, masih terdapat beberapa kondisi dimana perlakuan yang diberikan terhadap bukti elektronik tersebut disamakan dengan perlakuan terhadap bukti non-elektronik. Salah satu contoh yang paling jelas dari hal tersebut adalah ketika penyidik melakukan penyitaan terhadap bukti elektronik, misalnya harddisk. Dalam hal ini ketika penyidik menyita harddisk ternyata dalam beberapa kasus harddisk semacam itu akan dijadikan barang bukti dan turut dihadirkan di persidangan. Hal semacam ini sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak perlu dilakukan apabila penyidik memahami sepenuhnya karakteristik dari bukti elektronik serta prosedur dan metode dalam memperoleh bukti elektronik dan menghadirkannya di persidangan. Berbeda halnya dengan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terhadap barang bukti non-elektronik, misalnya sebuah linggis yang dipergunakan untuk membongkar daun jendela dalam rangka melakukan tindak pidana pencurian. Pada barang bukti non-elektronik seperti linggis tersebut, kehadiran barang bukti dimaksud di persidangan merupakan hal yang penting karena pada saat itulah secara langsung dan kasat mata barang bukti linggis tersebut akan dihubungkan dengan alat bukti yang ada untuk melihat keterkaitan dan kebenaran fakta-fakta yang ada. Berbeda halnya dengan barang bukti elektronik. Dengan karakteristik yang unik dari bukti elektronik sebenarnya bukti elektronik asli yang disita oleh penyidik tersebut tidak perlu terlalu lama berada dalam penguasaan penyidik, terlebih lagi bukti elektronik yang terkait dengan pelayanan publik. Hal senada dikemukakan juga oleh Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, menurut yang bersangkutan dalam bukti elektronik yang dibutuhkan sebenarnya hanyalah data yang terdapat di dalam bukti elektronik tersebut. Dengan demikian apabila barang
Universitas Indonesia
230
bukti elektronik asli yang disita telah selesai dilakukan proses imaging nya, maka sebaiknya barang bukti elektronik yang asli tersebut dikembalikan kepada orang darimana barang bukti elektronik tersebut disita. Dengan beradanya bukti elektronik asli tersebut dalam penguasaan penyidik maka selain dari kemungkinan tergangunggunya pelayanan publik, terdapat pula kemungkinan rusaknya bukti elektronik asli tersebut, baik itu dikarenakan kelalaian penyidik maupun dikarenakan sifat rentan dari barang-barang elektronik. Dengan demikian maka bukti elektronik yang dihadirkan di persidangan adalah hasil imaging dari barang bukti asli yang menjadi first original copy. Perihal barang bukti elektronik yang asli menurut Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M cukup difoto saja lengkap dengan rincian spesifikasinya.486 Pada dasarnya tindakan penggeledahan dan penyitaan atau yang dalam bahasa Inggris dikenal pula dengan istilah search and seizure yang dilakukan terhadap bukti elektronik adalah setara dengan tindakan access and copying. Dengan demikian bila pada saat ini telah terdapat mekanisme untuk mendapatkan data-data yang tersimpan pada bukti elektronik secara keseluruhan, maka tentunya tidak perlu lagi mengambil barang fisik atau aslinya.487 Dalam hukum acara pidana federal yang berlaku di Amerika Serikat terdapat ketentuan bahwa
A person aggrieved by an unlawful search and seizure of property or by the deprivation of property may move for the property's return. The motion must be filed in the district where the property was seized. The court must receive evidence on any factual issue necessary to decide the motion. If it grants the motion, the court must return the property to the movant, but may impose reasonable conditions to protect access to the property and its use in later proceedings.488
486
Informasi ini penulis dapatkan berdasarkan wawancara penulis dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, Dosen Inti Penelitian Bidang Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal 17 Desember 2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok. 487
Hasil wawancara penulis dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M.
488
Federal Rules of Criminal Procedure, op. cit., Rule 41 (g).
Universitas Indonesia
231
Artinya memang barang bukti yang disita oleh penyidik dapat saja memiliki kegunaan yang amat penting bagi pemilik atau penguasa barang tersebut. Oleh karena itu apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan tindakan penyitaan secara fisik terhadap barang miliknya yang dilakukan oleh para penegak hukum, maka orang tersebut dapat meminta agar barang tersebut segera dikembalikan kepadanya. Terkait dengan bukti yang disita adalah bukti elektronik, maka ketika orang yang merasa dirugikan oleh tindakan penyitaan meminta akses kepada media penyimpanan atau informasi yang disimpan secara elektronik yang disita tersebut lebih cepat daripada waktu yang diperkirakan oleh penegak hukum atau waktu yang ditetapkan oleh pengadilan, maka pengadilan dapat saja mengambil tindakan khusus tergantung dari kondisi yang dihadapi dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk menyalin dan mencari data dan kecurigaan yang ada atas pihak yang dirugikan tersebut.489 Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, memang waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik tidak dapat ditentukan dengan pasti. Hal tersebut sangat bergantung pada besar atau kecilnya kapasitas media penyimpanan bukti elektronik tersebut dan juga informasi yang dicari. Terlebih lagi jika terdapat usaha menyembunyikan atau membatasi akses terhadap informasi tersebut yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Namun demikian terkait dengan perlu atau tidaknya penguasaan yang terus-menerus oleh penegak hukum terhadap barang bukti elektronik yang asli, maka penulis berpendapat bahwa hal tersebut dapat diatur secara lebih jelas dan pasti. Sebagaimana diketahui Pusalabfor Bareskrim Mabes POLRI memiliki Standard Operating Procedures (SOP) tentang Komitmen Jam Kerja yang menjelaskan rentang waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing jenis pemeriksaan terhadap barang bukti elektronik. Dalam hal ini SOP dimaksud memberikan penjabaran sebagai berikut terkait dengan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses akuisisi490 terhadap barang bukti elektronik, yaitu:
489
Lihat Committee Notes on Rules-2009 Amendment, op. cit.
490
Proses akusisi adalah proses melakukan imaging terhadap barang bukti elektronik yang asli sehingga didapatkan apa yang disebut dengan first original copy. Setelah diperolehnya
Universitas Indonesia
232
a. Barang bukti berupa harddisk = 13 jam.491 b. Barang bukti berupa handphone = 5 jam.492 c. Barang bukti berupa flashdisk atau memory card = 5 jam.493 d. Barang bukti berupa simcard = 4 jam.494 e. Barang bukti berupa Audio = 9 jam.495 Apabila memang rentang waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan first original copy dari barang bukti elektronik yang asli tersebut dapat ditentukan sebagaimana diuraikan diatas, maka merupakan hal yang logis dan terukur apabila kemudian dalam pengaturan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik, terutama terkait dengan barang bukti elektronik yang bila dilakukan penguasaan fisik oleh penyidik dapat mengakibatkan terganggunya layanan publik, diberikan pula rentang waktu berapa lama penyidik harus mengembalikan barang bukti elektronik yang asli kepada pemiliki atau penguasa barang bukti elektronik tersebut. Menurut penulis hal ini menjadi penting guna menghindari gugatan yang mungkin saja diajukan oleh pemilik atau penguasa barang bukti elektronik dimaksud sehubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, terlebih lagi apabila hal tersebut dikaitkan dengan ketentuan yang mewajibkan tetap terpeliharanya kelancara pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan (4) UU ITE. Selain itu untuk mengisi kekosongan hukum perihal status dari first original copy atau hasil imaging dari barang bukti elektronik yang asli, penulis berpendapat ketentuan sebagaimana terdapat dalam Federal Rules of Criminal _________________________ first original copy melalui proses imaging ini, pada dasarnya menjadikan barang bukti elektronik yang asli atau yang disita oleh penyidik menjadi tidak diperlukan lagi secara de facto. Hal ini dikarenakan semua proses penyidikan selanjutnya yang terkait dengan barang bukti elektronik tersebut akan dilakukan terhadap salinan atau copy atau hasil imaging terhadap first original copy tadi. Dengan demikian maka setelah didokumentasikan dengan rinci maka secara faktual barang bukti elektronik yang asli tidak akan memiliki fungsi apapun bila berada di penguasaan penyidik. 491
Lihat Standard Operating Procedures (SOP) 2 tentang Komitmen Jam Kerja, Pusat Laboratorium Forensik, Bidang Fisika dan Komputer Forensik, Badan Reserse Kriminal, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, pada butir 6.1.2. 492
Ibid., butir 6.2.2.
493
Ibid., butir 6.3.2.
494
Ibid., butir 6.4.2.
495
Ibid., butir 6.5.2.
Universitas Indonesia
233
Procedure Amerika Serikat yaitu Rule 41 (e) (2) (B) dapat dijadikan pula sebagai salah satu ketentuan yang mengatur perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini pengaturan dalam Federal Rules of Criminal Procedure tersebut menyatakan bahwa
A warrant under Rule 41(e)(2)(A) may authorize the seizure of electronic storage media or the seizure or copying of electronically stored information. Unless otherwise specified, the warrant authorizes a later review of the media or information consistent with the warrant.
Dengan adanya ketentuan semacam itu, maka menjadi jelas diatur bahwa ketika penyidik atau ahli komputer / digital forensik diminta untuk melakukan imaging atas suatu barang bukti elektronik, maka hal tersebut dapat dibenarkan dan hasil imaging yang didapat pun adalah sama saja dengan barang bukti elektronik yang asli. Dengan kondisi semacam ini, beberapa manfaat penting dapat diambil. Pertama, dalam hal barang bukti elektronik tersebut berkaitan dengan pelayanan publik, maka dalam hal ini pelayanan publik tersebut tetap akan dapat terlaksana karena barang bukti elektronik yang asli akan menjadi dapat untuk tidak perlu dikuasai oleh penyidik dan dikembalikan kepada pemiliknya karena penyidik telah mendapatkan hasil imaging atau first original copy dari barang bukti elektronik yang asli, yang statusnya sah, sama dan identik baik itu secara faktual maupun secara hukum. Manfaat yang kedua adalah dengan dikembalikannya barang bukti elektronik yang asli tersebut, maka penyidik akan terbebas dari tanggungjawab untuk melakukan perawatan dan penjagaan terhadap barang bukti elektronik yang asli tersebut dan juga terhindar dari kemungkinan digugat apabila terjadi kerusakan pada barang bukti elektronik yang asli tersebut. Dalam hal ini menjaga dan merawat bukti elektronik bukanlah merupakan hal yang mudah, terlebih lagi bagi mereka yang memang belum memahami bentuk, sifat dan karakteristik dari barang bukti elektronik tersebut. Perlakuan terhadap barang bukti non-elektronik dengan barang bukti elektronik tentu saja berbeda, artinya tidak mungkin mempersamakan menyimpan pistol yang dipergunakan untuk membunuh dengan
Universitas Indonesia
234
menyimpan harddisk yang berisi informasi tentang pembelian pistol secara online, yang mana kemudian pistol tersebutlah yang digunakan untuk membunuh.
4.4.1.2.Perlindungan Terhadap Privacy dan Kerahasiaan Perlindungan terhadap privacy dan kerahasiaan dalam penyidikan tindak pidana yang melibatkan bukti elektronik merupakan isu penting lainnya dalam membicarakan perihal pernggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Penulis menemukan fakta bahwa pada institusi penyidik dan ahli digital / komputer forensik yang penulis wawancarai telah cukup menjunjung tinggi prinsip perlindungan terhadap privacy dan kerahasiaan tersebut. Dalam hal ini penyidik pada Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Republik Indonesia dan penyidik pada Cyber Crime Investigation Centre memang menyatakan bahwa mereka ketika menyerahkan hasil penyidikan mereka, terutama yang terkait dengan informasi yang didapat dari barang bukti elektronik yang digeledah dan kemudian disita, hanya kepada pihak yang meminta mereka untuk memeriksa buktk elektronik dimaksud dan juga hanya mencantumkan hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang disangkakan saja.496 Selain dari hal itu dilakukan untuk kepentingan privacy pemilik barang bukti elektronik tersebut, hal itu juga dilakukan agar arah pembuktian tindak pidana yang disangkakan menjadi fokus dan jelas. Selain itu biasanya apabila dalam berkas perkara yang disangkakan terdapat banyak informasi lain yang tidak berkaitan dengan perkara yang disangkakan, berkas tersebut justru sering tidak dianggap lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum.497 Terkait dengan perlindungan terhadap kerahasiaan, menurut analisa penulis hal ini pun juga sudah dengan cukup baik pelaksanaannya. Berdasarkan
496
Pencantuman hanya hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang disangkakan ini sebenarnya berawal dari kenyataan bahwa hasil pemeriksaan barang bukti elektronik yang dibuat oleh ahli komputer forensik yang memeriksa bukti elektronik tersebut memang hanya berisi informasi-informasi yang terkait dengan tindak pidana yang disangkakan saja. Dengan demikian maka ketika informasi yang dimiliki penyidik hanyalah informasi yang terkait dengan tindak pidana yang disangkakan saja, maka penuntut umum punya juga akan menjadi hanya memiliki informasi tersebut saja. Hal ini tentunya akan berdampak pada apa yang dibuktikan oleh Penuntut Umum memang hanya apa yang tertera dalam hasil pemeriksaan barang bukti elektronik dimaksud. 497
Hasil wawancara penulis dengan Iptu Grawas Sugiharto, op. cit.
Universitas Indonesia
235
hasil wawancara penulis dengan ahli komputer / digital forensik yang berasal dari Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI dan yang berasal dari pihak swasta menyatakan bahwa mereka ketika diminta melakukan pemeriksaan barang bukti elektronik pasti akan menjaga kerahasiaan atas informasi-informasi yang mereka temukan pada barang bukti elektronik tersebut. Dalam hal ini penyidik pun menyatakan hal yang sama. Ketika ada pihak lain498 yang meminta informasi tertentu atas barang bukti elektronik yang mereka periksa, para ahli komputer / digital forensik ini tidak akan memberikan informasi yang diminta dan akan mempersilahkan yang bersangkutan untuk memintanya kepada penyidik yang menangani perkara tersebut499. Hal ini mereka lakukan dikarenakan menurut mereka ahli komputer / digital forensik bukanlah pemilik dari barang bukti elektronik tersebut sehingga kewenangan untuk berbuat sesuatu dengan barang bukti elektronik tersebut tidaklah mereka miliki, meskipun mereka memiliki hasil imaging dari barang bukti elektronik dimaksud. Menurut penulis, meskipun para ahli komputer / digital forensik yang penulis wawancarai menyatakan bahwa mereka tidak akan memberikan informasi perihal barang bukti elektronik yang mereka analisa kepada pihak lain selain dari yang memintanya untuk melakukan analisa tersebut, sebaiknya penyidik tetap membuat suatu Confidentiality Agreement atau Non-Disclosure Agreement dengan para ahli komputer atau digital forensik tersebut agar para pihak yang terkait benar-benar bertanggungjawab sepenuhnya dalam menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari barang bukti elektronik. Solusi lain yang juga dapat mengatasi persoalan privacy dan kerahasiaan tersebut adalah dengan membuat pengaturan hukum acara pidana seperti yang
498
Ahli komputer / digital forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI Kompol Muhammad Nuh Al-Azhar bahkan memiliki kebijakan bahwa apabila ada penyidik lain yang juga berasal dari institusi POLRI hendak meminta informasi atas barang bukti elektronik dimana yang meminta tersebut bukanlah penyidik dalam perkara tersebut, maka ahli komputer / digital forensik tidak akan memberikannya dan mempersilahkan orang tersebut untuk memintanya langsung kepada penyidik perkara yang bersangkutan. 499
Ahli komputer / digital forensik Ruby Zukry Alamsyah dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa hasil analisa atas suatu barang bukti elektronik hanya akan diberikan kepada pihak yang memintanya untuk menganalisa barang bukti elektronik tersebut dan tidak kepada pihak lain manapun. Hal ini dilakukan karena terkait kode etik profesional yang bersangkutan sebagai digital forensic analyst.
Universitas Indonesia
236
terdapat dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Dengan adanya ketentuan bahwa data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus dan kemudian adanya keharusan bagi penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus, maka tentunya kerahasiaan informasi yang terdapat dalam bukti elektronik tersebut akan dapat terjaga. Hanya saja menurut penulis ketentuan tersebut perlu juga diperjelas dengan dibuatnya ketentuan untuk merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik, yang ada hubungannya ataupun yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Ketentuan semacam ini serupa dengan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Hal ini penting untuk dilakukan agar jangan sampai misalnya dikarenakan mencari informasi perihal tindak pidana pembunuhan dalam suatu bukti elektronik, namun kemudian tersebar berita perihal keretakan hubungan rumah tangga si pemilik bukti elektronik tersebut.
4.4.1.3.Perlindungan Terhadap Integritas Data Atau Keutuhan Data Apabila kita membicarakan perihal perlindungan terhadap integritas data atau keutuhan data, menurut pendapat Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M dan Brian Amy Prasetyo, SH, MLI, pengaturan dimaksud dimasukan dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU ITE adalah dalam rangka memastikan data yang terdapat dalam bukti elektronik dan kemudian dihadirkan di persidangan sebagai alat bukti adalah asli, utuh dan tidak direkayasa. Data tersebut mulai dari saat digeledah, disita, diperiksa hingga dihadirkan di persidangan tidak boleh berubah atau direkayasa sedikitpun, walaupun bukti elektronik yang dihadirkan di
Universitas Indonesia
237
persidangan bukanlah asli bukti elektronik yang disita melainkan bisa saja hasil imagingnya atau first original copy sebagaimana telah dibahas sebelumnya.500 Dalam memastikan perlindungan terhadap integritas atau keutuhan data sebagaimana dimaksud, penulis menemukan fakta bahwa masih terdapat beberapa kendala penting yang sedikit banyak akan dapat menghambat pelaksanaannya. Kendala yang pertama adalah penyidik yang melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik belum memahami sepenuhnya bagaimana dan apa yang dimaksud dengan bukti elektronik tersebut. Dalam hal ini hanya segelintir penyidik
yang
telah
memahami
bukti
elektronik
termasuk
sifat
dan
karakteristiknya serta bagimana cara menanganinya serta prosedur penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang baik dan benar.501 Penulis berpendapat ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna menghadapi persoalan tersebut. Cara yang pertama tentu saja dengan menjadikan para penyidik yang ada di Indonesia mengetahui bahwa terdapat sesuatu yang dikenal dengan bukti elektronik. Cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal ini adalah dengan menjadikan bukti elektronik ini menjadi salah satu alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana di Indonesia, yaitu dengan memasukkan bukti elektronik ini menjadi salah satu alat bukti dalam KUHAP. Dengan demikian maka jumlah penyidik yang mengetahui tentang bukti elektronik ini akan menjadi semakin banyak karena alat bukti elektronik tersebut secara definitif tidak lagi hanya dapat dipergunakan atau dijadikan alat bukti dalam perkara tertentu saja, melainkan dapat menjadi alat bukti terhadap semua perkara.502
500
Informasi ini didapatkan penulis berdasarkan korespondensi penulis dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M melalui Short Message Service (SMS) dan Brian Amy Prasetyo, SH, MLI, Dosen Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, melalui BlackBerry Messenger pada tanggal 23 Desember 2012. 501
Hasil wawancara penulis dengan Jaksa Syarief S. Nahdi, SH, MH, Kompol Muhammad Nuh Al-Azhar dan Iptu Grawas Sugiharto, op. cit 502
Situasi ketika ada penyidik yang tidak mengetahui atau merasa tidak perlu mengetahui mengenai bukti elektronik inilah yang dikhawatirkan menjadi hambatan. Faktanya pada saat ini hanya penyidik yang pernah melakukan penyidikan tindak pidana yang menjadikan bukti elektronik sebagai alat bukti sajalah yang mengetahui tentang bukti elektronik tersebut. Penyidik yang biasa menangani perkara pencurian cenderung menjadi tidak menganggap penting perihal bukti elektronik ini karena bagi tindak pidana yang mereka sidik bukti elektronik bukanlah salah satu hal yang bisa dijadikan alat bukti dan mendukung pembuktian perkara yang mereka sidik. Padahal mungkin saja dalam perkara pencurian terdapat bukti yang amat kuat terkait perencanaan
Universitas Indonesia
238
Dalam hal ini pengaturan perihal bukti elektronik di dalam KUHAP tersebut haruslah dibuat selengkap mungkin sehingga dapat mencakup semua aspek. Artinya pengaturan-pengaturan yang dibuat haruslah benar-benar komprehensif atau dengan kata lain pengaturan tersebut tidak dapat dianggap selesai hanya dengan mencantumkan frasa “bukti elektronik” dalam Pasal yang mengatur perihal alat bukti. Pengaturan-perngaturan terkait lainnya juga harus diatur, misalnya pengaturan perihal kewenangan penyidik untuk melakukan proses imaging terhadap bukti elektronik asli pada saat dilakukannya penggeledahan dan penyitaan, lalu perihal kewajiban bagi pihak ketiga untuk memberikan informasi yang akurat perihal bukti elektronik yang diminta oleh penyidik, perihal jangka waktu pengembalian bukti elektronik asli yang telah disita, dan yang terkait dengan pelayanan publik kepada pemiliknya dan lain sebagainya seperti penulis telah bahas sebelumnya. Apabila pengaturan dimaksud telah dibuat dengan lengkap maka bukti elektronik dapat menjadi alat bukti yang kuat dan jelas pengaturannya seperti layaknya alat bukti keterangan saksi, ahli dan lain sebagainya. Setelah semakin banyak penyidik di Indonesia yang mengetahui perihal bukti elektronik tersebut karena bukti elektronik telah menjadi salah satu alat bukti yang dapat mendukung pembuktian suatu tindak pidana di persidangan, maka tahapan selanjutnya untuk memastikan terjaganya integritas dan keutuhan barang bukti elektronik adalah dengan memberikan informasi bagi para penyidik tersebut tentang pengetahuan yang lebih lengkap dan terperinci perihal bukti elektronik. Penulis mendapatkan fakta bahwa semua penyidik pada Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) telah memiliki buku saku Panduan Untuk Penyitaan Dan Penanganan Barang Bukti Elektronik sebagaimana telah penulis bahas sebelumnya. Hal ini jelas sekali sangat membantu penyidik dalam memahami apa dan bagaimanakah bukti elektronik tersebut. Minimal ketika mereka datang ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan, mereka akan tahu bukti seperti apa sajakah yang kira-kira dapat membantu mereka mengukap tindak pidana yang terjadi. _________________________ dan pelaksanaan pencurian tersebut, misalnya dalam bentuk e-mail. Apabila bukti elektronik telah menjadi salah satu alat bukti yang sah berdasarkan KUHAP, maka e-mail dimaksud tentunya akan sangat menguntungkan bagi pembuktian tindak pidana pencurian tersebut.
Universitas Indonesia
239
Amerika Serikat dan Inggris dapat dijadikan contoh yang baik dalam hal memberikan panduan kepada penyidiknya terkait tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, Best Practices for Seizing Electronic Evidence, A Pocket Guide for First Responders yang dikeluarkan oleh United States Secret Service, Digital Evidence Field Guide: What Every Peace Officer Must Know yang dibuat oleh Regional Computer Forensics Laboratories dari Federal Bureau of Investigation, Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition dan Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice, serta Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers di Inggris, merupakan beberapa contoh panduan yang akan sangat membantu penyidik ketika menemukan bukti elektronik di Tempat Kejadian Perkara (TKP), terlebih lagi apabila hal itu adalah untuk pertama kalinya. Panduan semacam itu memang sebaiknya dibuat oleh masing-masing instansi penyidik sehingga akan lebih cocok dengan penyidik masing-masing instansi tersebut.503 Selain itu akan menjadi cukup rumit ketika panduan semacam itu hendak dibuat dalam satu panduan yang sama, karena yang dapat memfasilitasi hal semacam itu tentunya hanyalah pemerintah. Hal tersebut akan menjadi persoalan karena panduan tersebut sifatnya amat teknis yang akan dengan cepat berubah seiring perkembangan teknologi informasi yang berubah dengan cepat pula. Dengan demikian akan menjadi sangat merepotkan dan cenderung lamban dikarenakan ada alur birokrasi yang harus dilalui, ketika panduan tersebut memerlukan perubahan yang segera terkait dengan perkembangan teknologi informasi yang terjadi. Dalam hal ini isi dari panduan tersebut memang dapat saja berbeda-beda antara satu institusi penyidik dengan yang lain, namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pijakan untuk
503
Isi dari panduan yang diperuntukkan bagi Penyidik Kejaksaan Agung RI yang notabene merupakan penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pelanggaran HAM Berat tentunya akan sedikit banyak berbeda dengan panduan yang diperuntukkan bagi Penyidik pada Cyber Crime Investigation Centre yang merupakan penyidik dalam kejahatan yang terjadi di dunia maya.
Universitas Indonesia
240
bertindak dalam panduan tersebut adalah sama, misalnya seperti empat prinsip dasar yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers, yaitu:504 1.
Tidak boleh terdapat tindakan dari institusi penegak hukum maupun para petugasnya yang dapat merubah data yang berada pada komputer atau media penyimpanan lainnya yang akan dihadirkan di persidangan nantinya;
2.
Dalam suatu kondisi dimana diperlukan untuk mengakses data asli yang berada di komputer atau media penyimpanan, maka orang yang akan mengakses data tersebut haruslah orang yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut dan dapat memberikan bukti yang menjelaskan relevansi dan implikasi dari tindakannya tersebut;
3.
Suatu jejak untuk audit atau pendokumentasian lainnya atas semua proses yang dilakukan kepada bukti elektronik tersebut haruslah dibuat dan disimpan dengan baik. Dalam hal ini pihak ketiga yang independen harus dapat memeriksa proses-proses tersebut dan seharusnya akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang didapatkan oleh penegak hukum tersebut;
4.
Orang
yang
bertanggung
jawab
atas
suatu
penyidikan
memiliki
tanggungjawab secara keseluruhan untuk memastikan bahwa aturan-atuaran hukum dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam panduan tersebut ditaati dengan baik. Selain dari buku saku atau panduan yang sifat dan bentuknya merupakan bimbingan bagi para penyidik dalam penanganan pertama langsung dilapangan ketika menemukan bukti elektronik dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan, perlu juga dibuat guidelines atau pedoman yang lebih lengkap dan rinci yang berisi apa dan bagaimanakah bukti elektronik tersebut serta bagaimana prosedur atau langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan dalam melaksanakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut. Menurut penulis, Indonesia dapat membandingkan pedoman yang akan dibuatnya tersebut dengan pedoman-pedoman serupa, misalnya dengan Searching And Seizing Computers And Obtaining Electronic Evidence In Criminal Investigations, Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors, Investigations Involving the Internet and Computer Networks atau Forensic Examination of 504
Lihat Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence, op. cit., hal. 4.
Universitas Indonesia
241
Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement yang kesemuanya dikeluarkan oleh U.S. Department of Justice. Selain itu Good Practice Guide for ComputerBased Electronic Evidence yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers di Inggris, Guidelines for Evidence Collection and Archiving atau biasa dikenal dengan RFC 3227, Guidelines for Best Practice in the Forensic Examination of Digital Technology yang dikeluarkan oleh International Organization on Computer Evidence505 juga dapat dijadikan rujukan dalam membuat pedoman serupa di Indonesia. Dalam hal ini guidelines atau pedoman yang lebih lengkap tersebut menurut penulis dapat dibuat oleh Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia seperti ketika dahulu Departemen Kehakiman melalui Menteri Kehakiman pada tanggal 4 Februari 1982 mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03 TH. 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Lebih lanjut, setelah penyidik dibekali dengan panduan serta pedoman sebagaimana dimaksud sebelumnya, agar perlindungan terhadap integritas data atau keutuhan data dapat terlaksana maka penyidik perlu dibekali juga dengan Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan tugasnya. Setiap institusi penyidik yang melaksanakan penyidikan tindak pidana yang melibatkan bukti elektronik perlu memiliki SOP, baik itu dalam proses penggeledahan dan penyitaan maupun SOP untuk pelaksanaan pemeriksaan barang bukti elektronik. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, Puslabfor Bidang Fisika Dan Komputer Forensik Bareskrim Mabes POLRI telah memiliki SOP yang dapat dijadikan rujukan bagi institusi penyidik lainnya dalam membuat SOP serupa. Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, SOP yang dimiliki oleh Puslabfor Bidang Fisika Dan Komputer Forensik Bareskrim Mabes POLRI menurut penulis cukup lengkap karena telah dilengkapi dengan prosedur yang harus dilakukan dan rentang waktu pelaksanaan pekerjaan, bahkan juga beberapa perintah komputasi yang biasa dipergunakan dalam pemeriksaan bukti elektronik.
505
Untuk teks lengkap dari Guidelines for Best Practice in the Forensic Examination of Digital Technology dapat di download dari .
Universitas Indonesia
242
Dengan dimilikinya SOP semacam itu, pelaksanaan pekerjaan penyidik maupun pemeriksa barang bukti elektronik atau digital forensic analyst menjadi dapat terukur dan terarah. Hal ini tentunya akan meminimalisir kemungkinan terjadinya kesalahan bertindak yang akan dapat mempengaruhi integritas atau keutuhan data yang diperiksa. Akhirnya menurut penulis metode yang juga perlu dilaksanakan oleh instansi-instansi penyidik guna menjamin perlindungan terhadap integritas data atau keutuhan data adalah dengan memberikan pelatihan digital forensic secara rutin dan berkala kepada para penyidik maupun kepada para pemeriksa barang bukti elektronik yang ada di instansi penyidik. Dalam hal ini memang pelatihan yang diberikan kepada para penyidik tidaklah perlu terlalu mendalam sebagaimana pelatihan yang diberikan kepada para pemeriksa barang bukti elektronik.506 Cukuplah para penyidik itu mengetahui dan selalu terasah kemampuannya terkait hal-hal dasar yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan agar perlindungan terhadap integritas data atau keutuhan data dapat terlaksana dengan baik.
4.4.2. Pengaturan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Secara redaksional, Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap beberapa institusi penegak hukum, rumusan Pasal 43 ayat (3) UU ITE yang hanya mengatur demikian saja ternyata menimbulkan sedikit persoalan. Dikarenakan kontruksi Pasal yang menurut penulis cukup menimbulkan pertanyaan tersebut ternyata telah membuat Pasal tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa pihak. Memang menurut penulis rumusan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut agak membingungkan. Dengan rumusan Pasal semacam itu maka setiap tindakan
506
Hasil wawancara penulis dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, Jaksa Syarief S. Nahdi, SH, MH, Kompol Muhammad Nuh Al-Azhar dan Iptu Grawas Sugiharto, op. cit.
Universitas Indonesia
243
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan berdasarkan UU ITE wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan tidak terdapat mekanisme penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana terdapat dalam KUHAP. Hal ini dikarenakan dalam UU ITE tidak terdapat ketentuan yang mengatur untuk dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Apabila pembuat UU ITE memberikan kemungkinan dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, maka dalam UU ITE tersebut harusnya diatur ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP, namun karena hal semacam itu tidak diatur maka berdasarkan penafsiran sistematis terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU ITE, tindakan penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak menjadi tidak dimungkinkan untuk dilakukan oleh penyidik. Kemudian, kalaupun maksud dari pembuat UU ITE terkait dengan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut adalah menyamakannya dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, maka seharusnya di dalam UU ITE tidak perlu dicantumkan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) tersebut. Apabila dalam UU ITE tidak terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 43 ayat (3) tersebut, maka sebenarnya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 UU ITE, tindakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan akan mempergunakan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang membuka kemungkinan dilakukannya penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tanpa terlebih dahulu harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hipotesa awal penulis tersebut ternyata terbukti dalam praktek penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang dilakukan oleh para penegak hukum di Indonesia. Kebingungan perihal bagaimanakah tafsir sebenarnya dari ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut memang terjadi dan cukup mempersulit pelaksanaan penegakan hukum yang memiliki kaitan dengan bukti elektronik. Dalam hal ini penulis menemukan fakta bahwa Penyidik pada Kejaksaan Agung RI menafsirkan ketentuan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Universitas Indonesia
244
yang mengatur bahwa untuk melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap sistem elektronik harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat hanyalah berlaku terhadap tindak pidana yang disangkakan berdasarkan Pasal-Pasal yang terdapat dalam UU ITE. Artinya ketika terdapat bukti elektronik yang perlu digeledah dan disita dalam perkara yang tidak disangkakan dengan Pasal-Pasal yang terdapat UU ITE, maka tindakan penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan, apabila dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, dapat saja dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam KUHAP.507 Sementara itu penyidik pada Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) Bareskrim Mabes POLRI dan ahli digital / komputer forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI menafsirkan ketentuan Pasal 43 ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tersebut agak berbeda dengan penafsiran penyidik pada Kejaksaan Agung RI. Dalam hal ini penyidik pada CCIC dan ahli digital / komputer forensik pada Puslabfor Bareskrim Mabes POLRI menafsirkan bahwa ketentuan dimaksud berlaku untuk semua tindak pidana dimana terdapat bukti elektronik yang akan digeledah dan disita. Artinya sekalipun tindak pidana yang disangkakan bukanlah tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, maka ketika terdapat bukti elektronik yang perlu digeledah dan disita, maka dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, tindakan penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penyidik pada CCIC menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut merupakan hukum acara penggeledahan dan penyitaan yang berlaku pada penyidikan semua tindak pidana yang terkait dengan bukti elektronik. Dengan demikian tidak dibuka kemungkinan dilakukannya penggeledahan dan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana diatur dalam KUHAP.508
507
Hasil wawancara penulis dengan Jaksa Syarief S. Nahdi, SH, MH, op. cit.
508
Hasil wawancara penulis dengan Kompol Muhammad Nuh Al-Azhar dan Iptu Grawas Sugiharto, op. cit.
Universitas Indonesia
245
Dengan penafsiran yang berbeda atas ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut, maka penyidik pada Kejaksaan Agung RI ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik yang tidak disangkakan dengan Pasal-Pasal dalam UU ITE tidak akan meminta izin terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat dalam hal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut perlu dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Sementara penyidik pada Kepolisian RI ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik pasti akan selalu meminta izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri setempat ketika melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, baik itu terhadap tindak pidana yang disangkakan dengan Pasal-Pasal dalam UU ITE maupun tidak dan juga dalam kondisi apapun. Artinya se-sangat perlu dan se-mendesak apapun perlunya dilakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut, maka apabila yang akan digeledah dan disita adalah barang bukti elektronik maka menurut penyidik Kepolisian RI izin Ketua Pengadilan Negeri setempat wajib hukumnya untuk diperoleh terlebih dahulu. Masing-masing penafsiran tersebut pada gilirannya memang menimbulkan persoalan tersendiri dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik tersebut. Terhambatnya atau gagalnya penyidik untuk memperoleh barang bukti elektronik yang diperlukan merupakan salah satu efek yang paling jelas. Terkait dengan persoalan tersebut, Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M mengatakan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut sebenarnya diperuntukkan tidak hanya untuk mengatur mekanisme atau hukum acara penggeledahan dan penyitaan atas tindak pidana yang disangkakan dengan Pasal-Pasal UU ITE saja. Sepanjang Informasi Elektronik dipakai sebagai alat bukti atau sepanjang penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan terkait dengan Sistem Elektronik maka ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE tersebut berlaku. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE berlaku terhadap semua tindak pidana dikarenakan ketentuan tersebut merupakan ketentuan lex specialis dari KUHAP yang merupakan lex generalis. Artinya terhadap semua tindak pidana yang Undang-Undangnya tidak mengatur secara tersendiri perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dan KUHAP juga tidak mengatur hal tersebut,
Universitas Indonesia
246
maka ketentuan hukum acara yang terdapat dalam UU ITE berlaku. Dalam hal ini UU ITE mengatur secara menyimpang ketentuan yang ada di KUHAP dengan mewajibkan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum dilakukannya tindakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dikarenakan memang perlu adanya penekanan terkait safeguards untuk tetap terjaganya privacy, terpeliharanya kelangsungan pelayanan publik serta terjaganya integritas dan rahasia data-data yang akan digeledah dan disita.509 Kemudian mengenai penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak atau darurat sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu, Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M mengatakan bahwa karena UU ITE merupakan lex specialis dari KUHAP yang merupakan lex generalisnya, maka karena UU ITE tidak mengaturnya, artinya UU ITE tidak menyimpangi ketentuan perihal penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak atau darurat. Lebih lanjut, dikarenakan ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP tidak disimpangi maka ketentuan di dalam KUHAP tersebut tetap berlaku. Artinya penyidik yang akan melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak atau darurat tidak perlu terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum dilakukannya penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut, cukup saja melakukan tindakan dimaksud dan kemudian melaporkan hasilnya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk meminta persetujuan atas tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang telah dilakukan.510 Penulis berpendapat bahwa penafsiran sebagaimana dimaksud oleh Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M diatas pun mungkin akan tetap menimbulkan polemik di kemudian hari. Apabila ketentuan dalam Pasal 43 ayat (3) UU ITE itu memang dimaksudkan sebagai penekanan terkait safeguards untuk tetap terjaganya privacy, terpeliharanya kelangsungan pelayanan publik, menurut
509
Hasil wawancara penulis dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, op. cit.
510
Ibid.
Universitas Indonesia
247
penulis justru hal tersebut lebih diakomodir oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (4) yang menyatakan dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.511 Dengan hanya dicantumkannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) itu saja, tanpa perlu disertai dengan dicantumkannya ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 ayat (3), maka penekanan akan pentingnya perlindungan atau safeguards untuk tetap terjaganya privacy, terpeliharanya kelangsungan pelayanan publik sudah dapat terakomodir dengan baik dan tidak menimbulkan penafsiran beragam seperti yang terjadi pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan Pasal 43 ayat (3) UU ITE sebenarnya tidak mengatur hal baru, Pasal tersebut hanya menegaskan kembali apa yang sudah dinyatakan oleh Pasal 42 UU ITE, yaitu ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP512 dan dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP.513 Namun ketika dalam UU ITE tidak terdapat ketentuan yang serupa maksudnya dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP514, maka terjadilah perbedaan penafsiran atas ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU ITE sebagaimana dimaksud diatas. Oleh
karena
itu
penulis
berpendapat
untuk
menghindari
terus
berlangsungnya perbedaan penafsiran tersebut, maka sebaiknya didalam hukum acara pidana Indonesia yang baru nantinya ketentuan tersebut diatur kembali dengan baik dan lengkap sehingga tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran yang akan dapat menjadi kontra produktif bagi penegakan hukum terutama 511
Indonesia (G), op. cit., Pasal 43 ayat (4).
512
Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. Lihat Indonesia (A), op. cit., Pasal 33 ayat (1). 513
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Lihat ibid., Pasal 38 ayat (1). 514
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya Lihat ibid., Pasal 34 ayat (1).
Universitas Indonesia
248
tindakan penyidikan dalam rangka pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik. Gambaran mengenai hukum acara pidana sebuah Negara pertama-tama dapat dilihat dari peraturan perundang-undangannya, kedua dapat dilihat dari kelengkapan
institusi
pelaksanaannya
dan
yang
ketiga
tercermin
dari
implementasinya. Oleh sebab itu, sangat logis apabila gambaran mengenai wajah hukum acara pidana Indonesia tercermin dari eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai sebuah kodifikasi yang memayungi hukum positif di bidang acara pidana.515 Dengan demikian, apabila Indonesia memiliki sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baik dan lengkap, maka hal itu merupakan awal yang baik bagi penegakan hukum yang baik dan benar.
515
Wisnubroto, op. cit., hal. 121.
Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP
Setelah pada bab sebelumnya penulis melakukan analisis terhadap data primer dan sekunder yang diperoleh dalam penelitian ini, maka pada bab penutup ini penulis akan mengemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian penulis. Setelah itu penulis akan mengakhiri bab ini dengan menyampaikan saran-saran penulis terkait hasil penelitian tersebut.
5.1. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menjadi induk hukum acara pidana di Indonesia pada dasarnya tidak memiliki pengaturan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Hal tersebut dikarenakan bukti elektronik bukan merupakan salah satu alat bukti yang sah dan berdiri sendiri menurut KUHAP. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa bukti elektronik tidaklah diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah di Indonesia. Saat ini pengaturan perihal bukti elektronik di Indonesia tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu pada: a.
Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b.
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang;
c.
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan
250
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; d.
Pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
e.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
f.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik;
g.
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi;
h.
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
i.
Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
j.
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
k.
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana;
l.
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian; dan
m. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti yang sah sebagaimana terdapat dalam tiga belas UndangUndang tersebut, ternyata hanya tiga Undang-Undang yang memberikan pengaturan terkait dengan hukum acara pidana atau tata cara pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut. Dalam hal ini pengaturan dimaksud terdapat pada: a.
Pasal 42, Pasal 43 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik;
b.
Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi; dan
c.
Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
Ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam beberapa UndangUndang tersebut jelas sekali belum memadai untuk mengatur pelaksanaan
Universitas Indonesia
251
tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Selain dari masih terdapatnya beberapa hal yang memerlukan pengaturan lebih lanjut, hukum acara pidana yang terpisah-pisah dalam beberapa Undang-Undang tersebut menimbulkan persoalan tersendiri perihal keberlakuan ketentuan hukum acara pidana dimaksud. 2.
Penegak hukum di Indonesia dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik pada dasarnya mengacu kepada ketentuanketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain yang juga memberikan pengaturan tersendiri terkait hukum acara dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Dalam prakteknya penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut dilakukan oleh penyidik dan biasanya dengan disertai oleh ahli digital / komputer forensik yang dapat berasal dari internal institusi penyidik ataupun ahli digital / komputer forensik swasta. Hal ini terjadi karena memang sebagian besar penyidik tindak pidana di Indonesia belum memahami dengan baik bagaimana cara menangani bukti elektronik yang digeledah dan disita tersebut. Apabila penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan tidak disertai oleh ahli digital / komputer forensik, maka karena sifat dan karakteristik yang unik dari barang bukti elektronik, penyidik yang melakukan penggeledahan dan penyitaan biasanya akan menyita semua barang bukti elektronik yang terdapat di lokasi penggeledahan dan penyitaan. Setelah itu barulah kemudian barang bukti elektronik tersebut diserahkan kepada ahli digital / komputer forensik untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka menemukan bukti yang akan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dikarenakan pemahaman yang masih minim tentang apa dan bagaimana cara menangani bukti elektronik, belum semua penyidik tindak pidana di Indonesia memiliki Panduan, Pedoman dan Standard Operating Procedure (SOP)
untuk
melakukan
tindakan
penggeledahan,
penyitaan
serta
pemeriksaan barang bukti elektronik. Selain itu, dalam praktek penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia saat ini terdapat perbedaan pandangan perihal apakah tindakan
Universitas Indonesia
252
tersebut wajib selalu didahului dengan permintaan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat atau tidak. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak menafsirkan secara berbeda ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 3.
Dalam rangka pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia, pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik seharusnya dibuat dalam satu peraturan saja yang memuat dengan lengkap berbagai ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik. Pengaturan tersebut harus dibuat dengan memperhatikan segala keunikan karakteristik dari bukti elektronik dan juga hal-hal lain, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap privacy, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data. Dikarenakan pada saat ini telah ada Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka sebaiknya pengaturan yang lengkap terkait dengan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dimaksud dimasukkan dalam Rancangan UndangUndang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tersebut. Dikerenakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik merupakan sesuatu yang baru bagi hukum acara pidana Indonesia, maka selayaknya pengaturan hukum acara yang dibuat disertai pula dengan panduan, pedoman dan Standard Operating Procedure (SOP) agar pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah hukum dan teknis yang ada.
5.2. SARAN Bertitik tolak dari pembahasan dan uraian kesimpulan penulis diatas, maka ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan, yaitu: 1.
Perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan Alat Bukti yang sah yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu dengan menjadikan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah. Perubahan terhadap ketentuan Alat Bukti yang sah tersebut dapat difasilitasi dengan memasukkannya sebagai salah satu ketentuan yang terdapat dalam
Universitas Indonesia
253
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011, sebagaimana telah terdapat dalam Pasal 175 RKUHAP Tahun 2011. Namun demikian, dalam hal ini penulis berpendapat terminologi yang dipergunakan untuk merujuk pada bukti elektronik dimaksud dapat saja berupa “Bukti Elektronik” ataupun terminologi lainnya, yang terpenting terminologi tersebut ataupun pengaturan hukum acara pidana tersebut dapat memberikan penjelasan dengan baik apakah yang dimaksud dengan bukti elektronik tersebut dan dapat mengantisipasi kebutuhan penegakan hukum terkait perkembangan teknologi informasi yang amat pesat. 2.
Perlu juga dilakukan pembaruan terhadap ketentuan penggeledahan dan penyitaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu dengan memasukkannya sebagai ketentuan yang terdapat dalam Rancangan UndangUndang Hukum Acara Pidana Tahun 2011. Dalam hal ini pembaruan yang dilakukan adalah terkait dengan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dengan semua keunikan karakteristiknya. Diantaranya dengan memberikan pengaturan terkait pelaksanaan proses imaging atas barang bukti elektronik yang asli, pengembalian barang bukti elektronik asli yang diperlukan untuk pelayanan publik, kejelasan pengaturan perihal surat izin penggeledahan dan penyitaan baik dalam keadaan biasa ataupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, kejelasan ketentuan dalam hal pada bukti elektronik yang diperiksa tidak ditemukan bukti terkait tindak pidana yang sedang disidik namun justru ditemukan bukti tindak pidana lain.
3.
Apabila pengaturan yang dibuat untuk melaksanakan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik mengharuskan untuk selalu terlebih dahulu diperoleh Surat Izin Penggeledahan dan/atau Penyitaan sebelum dilaksanakannya tindakan penggeledahan dan penyitaan, maka perlu difikirkan untuk dibentuk semacam “Hakim Jaga” yang bertugas untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu, setelah selesainya jam kerja Pengadilan, ada permintaan untuk memperoleh Surat Izin Penggeledahan dan/atau Penyitaan.
4.
Seharusnya masing-masing institusi penegak hukum di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti
Universitas Indonesia
254
elektronik
memiliki
Standard
Operating
Procedures
(SOP)
dalam
melaksanakan penggeledahan, penyitaan maupun pemeriksaan barang bukti elektronik serta panduan dan pedoman yang dapat memberikan pengetahuan serta bimbingan bagi para penegak hukum dalam memahami sepenuhnya tindakan-tindakan yang harus dan yang tidak boleh dilakukan ketika menangani bukti elektronik. Selain itu juga perlu diberikan pelatihan berkala perihal komputer forensik guna meningkatkan dan menjaga kemampuan para penegak hukum di Indonesia agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi dan jenis tindak pidana yang terjadi, khususnya yang melibatkan bukti elektronik.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adji, Indriyanto Seno. KUHAP Dalam Prospektif. Jakarta: Diadit Media, 2010. Afiah, Ratna Nurul. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 1989. Al-Azhar, Muhammad Nuh. Digital Forensic, Panduan Praktis Investigasi Komputer. Jakarta: Salemba Infotek, 2012. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Cet. II. Jakarta: Gunung Agung, 2002. Barbara, John J. ed. Handbook of Digital And Multimedia Forensic Evidence. New Jersey: Humana Press, 2008. Bergman, Paul dan Sara J. Berman. The Criminal Law Handbook, Know Your Rights, Survive The System. 12th ed.. California: Nolo, 2011. Blanton, Alex. Microsoft Computer Dictionary. Fifth Edition. Washinton: Microsoft Press, 2002. Brown, Christopher L. Computer Evidence, Collection And Preservation. Second Edition. Massachusetts: Course Technology, 2010. Cardwell, Kevin. et al. The Best Damn Cybercrime And Digital Forensics Book Period. Massachusetts: Syngress Publishing, Inc, 2007. Casey, Eoghan. Digital Evidence And Computer Crime: Forensic Science, Computers And The Internet, 2nd ed.. London: Academic Press, 2004. _______. ed. Handbook of Digital Forensics And Investigation. London: Academic Press, 2010. del Carmen, Rolando V. Criminal Procedure: Law And Practice. 8th ed.. Wadsworth: Cengage Learning, 2007. Departemen Kehakiman. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. _______, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
256
Dressler, Joshua. Understanding Criminal Procedure. 2nd ed.. New York: Matthew Bender & Co., INC, 1997. Dror, Yehezkel. “Law And Social Change”, Tulane Law Review (Vol. 33, 1959): 749-801 dalam Vilhelm Aubert, ed.. Sociology Of Law, Selected Readings. Middlesex: Penguin Books, 1969. Franklin, Carl J. The Investigator’s Guide To Computer Crime. Illinois: Charles C Thomas Publisher, Ltd, 2006. Friedman, Lawrence Meir. American Law. New York: W.W. Norton & Company, 1984. Gahtan, Alan M. Electronic Evidence. Toronto: Thomson Professional Publishing, 1999. Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. Ninth Edition. Minnesota: Thomson Reuters, 2009. Gemignani, Michael. Law and the Computer. Boston: CBI Publishing Company, Inc, 1981. Hadisugondo, Sutantio. “Pembuktian Pada Tingkat Penyidikan Dalam Rangka KUHAP. (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). dalam Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, SH. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2009. Hall, Daniel E. Criminal Law And Procedure. 5th ed., New York: Delmar, Cengage Learning, 2009. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. _______. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arika Media Cipta, 1993. _______. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996. Hamzah, Andi dan Niniek Suparni. Pornografi Dan Pornoaksi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Universitas Trisakti, 2010. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. _______. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1985. Harun, M. Husein. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Universitas Indonesia
257
Kuffal, H. M. A.. Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan. Malang: UMM Press, 2007. Lee, Henry C., Timothy Palmbach, Marilyn T. Miller. Henry Lee’s Crime Scene Handbook. London: Academic Press, 2001. Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Marshall, Angus M.. Digital Forensics, Digital Evidence In Criminal Investigation. Oxford: John Wiley & Sons, Ltd, 2008. Moore, Robert. Search and Seizure of Digital Evidence. New York: LFB Scholarly Publishing LLC, 2005. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. _______, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, Cet. 1. Jakarta: The Habibie Centre, 2002. _______. Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. Nemeth, Charles P. Law and Evidence: A Primer for Criminal Justice, Criminology, Law, and Legal Studies. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, 2001. Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan Buku Kesatu. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007. _______. Pembaharuan Hukum Pidana Buku Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007. Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Djambatan, 2000. _______. Lay Judges & hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia & Papas Sinar Sinanti, 2009. Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan dan YLBHI, 1989.
Universitas Indonesia
258
Prodjohamidjojo, Martiman. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989. _______. Komentar Atas KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita, 1990. Sabuan, Ansorie, Syarifuddi Pettanasse dan Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa, 1990. Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek. Bandung: Mandar Maju, 2001. Samaha, Joel. Ciminal Procedure. 8th ed. Wadsworth: Cengage Learning, 2012. Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa Dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju, 2003. Sheetz, Michael. Computer Forensics, An Essential Guide For Accountants, Lawyers, And Managers. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2007. Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Jakarta: BPHN, 1993. Sjahdeini, Sutan Remy. Kejahatan & Tindak Pidana Komputer. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009. Slapper, Gary dan David Kelly. English Law. London: Cavendish Publishing, Ltd, 2000. _______. The English Legal System.7th ed. London: Cavendish Publishing, Ltd, 2004. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 1985. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986. Soesilo, R. Taktik Dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politeia, 1980. _______. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum. Bogor: Politeia, 1982. _______. Tugas-Kewajiban Dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP). Bogor: Politeia, 1984. Subekti. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1972.
Universitas Indonesia
259
Surya, Satria. Kamus Istilah Komputer, Kumpulan Istilah Komputer Super Lengkap. Yogyakarta: Klik Media, 2010. Vacca, John R.. Computer Forensics, Computer Crime Scene Investigation. Second Edition. Massachusetts: Charles River Media, Inc, 2005. Volnino, Linda dan Reynaldo Anzaldua. Computer Forensics for Dummies. Indiana: Wiley Publishing, Inc, 2008. Walden, Ian. Computer Crimes And Digital Investigation. Oxford: Oxford University Press, 2007. Wisnubroto, Al dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Wheeler, Russell dan Cynthia Harrison. Creating the Federal Judicial System. 2nd ed.. Washington, D.C.: Federal Judicial Center, 1996.
Artikel Abramowitz, Elkan And Barry A. Bohrer. “Search And Seizure Of Digital Evidence: Evolving Standards. New York Law Journal (Volume 245, No. 39, March 1, 2011). Castrillo, Eduardo de Urbano. “The Legal Regulation Of Electronic Evidence: A Pending Necessity ”. Digital Evidence And Electronic Signature Law Review (Vol. 8, 2011) Chang, RayMing. “Why The Plain View Doctrine Should Not Apply To Digital Evidence”. Journal Of Trial & Appellate Advocacy (Vol. XII, 2007). Clancy, Thomas K. “The Fourth Amandment Aspects Of Computer Searches And Seizures: A Perspective And A Primer”. Mississippi Law Journal (Vol. 75, 2005). Friedberg, Eric. “Cache as Cache Can: Forging or Altering Electronic Documents Leaves Tell-Tall Fingerprints Behind”. Legal Times (February, 2nd, 2005). Kerr, Orin S.. “Digital Evidence And The New Criminal Procedure”. Columbia Law Review (January, 2005). _______. “Search Warrants In An Era Of Digital Evidence”. Mississippi Law Journal (Vol. 75, 2005). _______. “Searches And Seizures In A Digital World”. Harvard Law Review (Vol. 119, 2006).
Universitas Indonesia
260
_______. ”Ex Ante Regulation Of Computer Search And Seizure”. Virginia Law Review (October, 2010). _______. ”Fourth Amandment Seizures Of Computer Data”. Yale Law Journal (2009-2010). _______. ”Search And Seizure: Past, Present, Future”. The George Washington University Law School, Public Law And Legal Theory Paper (No. 152, 2010). Robinton, Lily R.. “Courting Chaos: Conflicting Guidance From Courts Highlights The Need For Clearer Rules To Govern The Search And Seizure Of Digital Evidence”. 12 Yale J.L & Tech 311 (2010). Volonino, Linda. “Electronic Evidence And Computer Forensics”. Communications Of The Association For Information System (Volume 12, Article 27, October 2003). Whitcomb, Carrie Morgan. “An Historical Perspective Of Digital Evidence: A Scientist’s View”. International Journal Of Digital Evidence (Volume 1, Issue 1, Spring 2002). Zittrain, Jonathan. “Searches And Seizures In A Networked World”. Harvard Law Review Forum (Vol 119:83, 2006).
Makalah Chawki, Mohamed. “The Digital Evidence In The Information Era”. Makalah disampaikan pada Cybercrime Conference 2003, Washington, 2003. Kozushko, Harley. “Digital Evidence”, Makalah disampaikan pada 23 November 2003. Tim RUU-KUHAP, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor .... Tahun ..... Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Indonesia. Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981 LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. _______. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20, L.N. No. 134 Tahun 2001, T.L.N. No. 4150. _______. Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Universitas Indonesia
261
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, UU No. 15, L.N. No. 45 Tahun 2003, T.L.N. No. 4284. _______. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24, L.N. No. 98 Tahun 2003, T.L.N. No. 4316. _______. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, UU No. 17, L.N. No. 93 Tahun 2006, T.L.N. No. 4661. _______. Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21, L.N. No. 58 Tahun 2007, T.L.N. No. 4720. _______. Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU No. 11, L.N. No. 58 Tahun 2008, T.L.N. No. 4843. _______. Undang-Undang Tentang Pornografi, UU No. 44, L.N. No. 181 Tahun 2008, T.L.N. No. 4928. _______. Undang-Undang Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32, L.N. No. 140 Tahun 2009, T.L.N. No. 5059. _______. Undang-Undang Tentang Narkotika, UU No. 35, L.N. No. 143 Tahun 2009, T.L.N. No. 5062. _______. Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 8, L.N. No. 122 Tahun 2010, T.L.N. No. 5164. _______. Undang-Undang Tentang Transfer Dana, UU No. 3, L.N. No. 39 Tahun 2011, T.L.N. No. 5204. _______. Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU No. 6, L.N. No. 52 Tahun 2011, T.L.N. No. 5216. _______. Undang-Undang Tentang Mata Uang, UU No. 7, L.N. No. 64 Tahun 2011, T.L.N. No. 5223.
Keputusan Menteri Departemen Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kepmen Kehakiman No. M.01.PW.07.03 TH 1982. _______. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kepmen Kehakiman M.14.PW.07.03.
Universitas Indonesia
262
Rancangan Undang-Undang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2011.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PERJA-039/A/JA/10/2010 Tanggal 29 Oktober 2010 Tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.
Peraturan Negara Lain U.S. Federal Rules of Criminal Procedure. U.S. Federal Rules of Evidence. Police and Criminal Evidence Act (PACE) 1984.
Pedoman (Guidelines), Panduan, Standard Operating Procedures (SOP) Association of Chief Police Officers Good Practice Guide for Computer Based Electronic Evidence (ACPO Good Practice Guide). G8 Proposed Principles For The Procedures Relating To Digital Evidence. Guidelines for Best Practice in the Forensic Examination of Digital Technology. Guidelines for Evidence Collection and Archiving. National Institute of Standards and Technology (NIST) Guidelines. Panduan Untuk Penyitaan Dan Penanganan Barang Bukti Elektronik. Pusat Laboratorium Forensik Bidang Fisika dan Komputer Forensik, Badan Reserse Kriminal, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Standard Operating Procedures (SOP) 1 tentang Prosedur Pemeriksaan Digital Forensik. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 2 tentang Komitmen Jam Kerja. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 3 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan Digital Forensik. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 4 tentang Penerimaan Barang Bukti Elektronik. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 5 tentang Penyerahan Barang Bukti Elektronik.
Universitas Indonesia
263
_______. Standard Operating Procedures (SOP) 6 tentang Triage Forensik. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 7 tentang Akuisisi Langsung Komputer. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 8 tentang Akuisisi Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 9 tentang Analisa Harddisk, Flashdisk Dan Memory Card. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 10 tentang Akuisisi Handphone Dan Simcard. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 11 tentang Analisa Handphone Dan Simcard. _______. Standard Operating Procedures (SOP) 12 tentang Analisa Audio Forensik. Regional Computer Forensics Laboratories, Federal Bureau of Investigation. Digital Evidence Field Guide: What Every Peace Officer Must Know. SWGDE/SWGIT Digital & Multimedia Evidence Glossary Version: 2.5 (January 13, 2012). United States Department of Justice. Computer Crime & Intellectual Property Section. Searching and Seizing Computers and Obtaining Electronic Evidence in Criminal Investigations. _______. Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors. _______. Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition. _______. Forensic Examination of Digital Evidence: A Guide for Law Enforcement. _______. Investigations Involving the Internet and Computer Networks. United States Secret Service. Best Practices for Seizing Electronic Evidence, A Pocket Guide for First Responders.
Universitas Indonesia
264
Internet “12 Peluru Prita Lawan Tuntutan 6 Bulan”. . 11 Februari 2012. “About Courts”. . 01 Desember 2012. “About
“A
the Criminal Cases Review Commission”. . 01 Desember 2012.
guide to bringing a case to The Supreme Court”. . 01 Desember 2012.
“Appeal against a sentence or a conviction, Part 1, Magistrates’ court verdict”. . 01 Desember 2012. “Appeal against a sentence or a conviction, Part 2, Crown court verdict”. . 01 Desember 2012. “Become a magistrate, Part 1, What magistrates . Desember 2012.
do”. 01
“Become a magistrate, Part 2, Can you be a magistrate”. . 01 Desember 2012. “Committee Notes on Rules-2009 Amendment”. . 1 Juni 2012. ”Computer Forensics, Part 2: Best Practices”. . 18 Desember 2012. “Constitution of the United States”. . 22 Mei 2012. “Courthouse Tour, People To Meet”. . 22 Mei 2012.
Universitas Indonesia
265
“Criminal Courts, Part 1, Magistrates’ Courts”. . 01 Desember 2012. “Criminal Courts, Part 2, Crown Court”. . 01 Desember 2012. “Criminal Courts, Part 3, Youth Courts”. . 01 Desember 2012. “Digital Evidence And Forensics”. . 01 Mei 2012. “G8 Proposed Principles For The Procedures Relating To Digital Evidence”. . 14 Februari 2012. Hassell, Johnette dan Susan Steen. “Preserving And Protecting Computer Evidence”. . 03 Januari 2012. “Kronologi Kasus Prita Mulysari”. . 01 Februari 2012. “Menteri Hukum dan HAM RI Amir syamsudin, SH, MH Buka SEMINAR DAN PELUNCURAN WEBSITE KOMPILASI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA”. . 09 Juli 2012. “Nazaruddin Cabut Gugatan Ke Mantan Dubes RI Di Kolombia”. . 02 November 2011. “Pengacara Prita Persoalkan Penyitaan Alat Bukti Oleh Penyidik”. . 02 November 2011. “Pengunggah Video Porno Terungkap!”. . 01 Februari 2012. Phelps, Shirelle. “Encyclopedia of Everyday Law, "Search And Seizure"”. Gale Cengage, 2003. . 15 Mei 2012.
Universitas Indonesia
266
“Pihak
Antasari: Polri Sita 3 Dokumen Kasus KPK”. . 09 Februari 2012.
“Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2010”. . 09 Februari 2012. Ritter, Nancy. “Digital Evidence: How Law Enforcement Can Level the Playing Field With Criminals”. . 03 Januari 2012. Salam,
Abdul. “Alat Bukti Elektronik di Indonesia”. . 27 Januari 2012.
Scientific Working Group on Digital Evidence (SWGDE), . 14 Februari 2012. “State Government”. . 19 Mei 2012. “SWGDE/SWGIT Digital & Multimedia Evidence Glossary Version: 2.5 (January 13, 2012)”. . 14 Februari 2012. ”The
House of Lords”. . 01 Desember 2012.
“The Supreme Court”. . 01 Desember 2012. “Tugas
Pokok & Fungsi PUSDASKRIMTI”. . 13 Desember 2012.
“What
is the difference between state and federal courts?”. . 19 Mei 2012.
Year,
Avi Prasad I. “Computer Forensics And Digital Evidence”, . 14 Februari 2012.
Universitas Indonesia