ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA Muhamad Jodi S dan Edy Herdyanto SH.MH ABSTRAK Keberadaan alat bukti elektronik adalah alat bukti yang sah. Meskipun mengenai alat bukti informasi elektronik tidak disebutkan dalam KUHAP sejak tahun 2001 dalam hukum acara pidana telah mengenal mengenai bukti informasi elektronik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti informasi elektronis di introduksi dalam pasal 26A. Alat bukti elektronik menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara persidangan. Jenis-jenis alat bukti dalam KUHAP pasal 184 tidak mencantumkan alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang diakui. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, jenis alat bukti dalam KUHAP mengalami perluasan makna. Sehingga hasil cetak dari informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Kata Kunci :Pembuktian,, Alat Bukti elektronik.
ABSTRACT Electronic evidence is valid evidence. Despite the evidence of electronic information not mentioned in the Criminal Code since 2001 in criminal procedure law has known about the proof of electronic information in Act No.. 20 of 2001 on amendments to Law No.. 31 of 1999 on Corruption. Electronic information in the evidence introduced in chapter 26A. Electronic evidence into consideration in deciding the case the trial judge. The types of evidence in the article 184 of the Criminal Procedure Code does not include electronic evidence as one of the admitted evidence. But along with the development of technology and the progress of the age, the type of evidence in the expanded meaning of the Criminal Procedure Code. So that the printout of information or an Electronic Document documentary evidence set out in the Criminal Procedure Code. Keywords: Evidence, Electronic Evidence
1
A. PENDAHULUAN Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan suatu aplikasi kehidupan yang serba modern. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (bordeless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. (Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007, halaman 1) Aktivitas dalam ruang cyber bersifat virtual yang berdampak sangat nyata, sekalipun alat buktinya bersifat elektronik, sebagai contoh dalam
2
kegiatan electronic commerce antara lain diintrodusir adanya dokumen elektronik yang memiliki kedudukan yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat secara tertulis diatas kertas. Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
B. RUMUSAN MASALAH Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah terkait dengan “penyampaian informasi, komunikasi dan atau transaksi secara elektronik” khususnya dalam konteks penerapan pembuktian dan hal lain yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Informasi elektronik menjadi suatu hal yang baru dalam hukum pidana Indonesia dikarenakan landasan Hukum Acara Pidana Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1981 sama sekali tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah. Informasi elektronik sendiri memiliki pengertian sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (UU No 11 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 1). Dalam perkara pidana juga terjadi pergeseran pandangan umum terhadap alat bukti itu sendiri seiring dengan perkembangan teknologi informasi ini. Bukti berupa informasi elektronik sebagai hasil dari teknologi
3
informasi menjadi hal yang diperdebatkan mengenai keabsahannya dalam pembuktian. Dalam jurnal ini mengangkat permasalahan “Bagaimana kekuatan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana?” Bagaimana pertimbangan Hakim mengenai digunakanya alat bukti elektronik di Pengadilan ? Apakah konsekuensi hukum dari putusan Hakim mengenai digunakanya alat bukti elektronik di Pengadilan ? Apakah
konsekuensi
hukum
dari
putusan
Hakim
mengenai
digunakanya alat bukti elektronik di Pengadilan Dalam tulisan ini pembahasan pertanyaan dibatasi hanya pada; teori umum tentang pembuktian dan kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam undang-undang.
C. ANALISIS
a. kekuatan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data elektronik juga menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai
karakteristik
khusus
dibandingkan
bukti
non-elektronik,
karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya. Suatu arsip elektronik akan meliputi : 1. Validitas substansi informasi ditentukan oleh proses pengolahan informasi dan identitas hukum para pihak (legal identity). 2. Format formasi akan ditentukan oleh kepentingan para pihak dan/atau sesuai dengan konteks komunikasi yang terjadi, khususnya kepada siapa informasi itu ditujukan. 3. Tanggung jawab para pihak, baik sebagai si penyampai informasi (originators) dan si penerima/tujuan infomasi (recipient), sebenarnya
4
dipengaruhi oleh kaedah-kaedah hukum yang berlaku, baik secara etis maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4. Validitas informasi sebagai output, secara teknis dan yuridis semestinya ditentukan oleh validitas sistem informasi dan komunikasi yang ada. (Edmon Makarim, 2004:.211) Dalam hukum pembuktian pidana di Indonesia secara yuridis belum mengakomodasikan dokumen atau informasi dalam bentuk elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba. Dalam konteks hukum di Indonesia, alat bukti yang diperkenankan secara pidana diatur dalam pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Secara tertulis seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti elektronik. Dari kelima macam alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Pidana menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, maka termasuk dalam kelompok manakah surat elektronik itu. Apabila dilihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, surat elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti surat. Surat elektronik/dokumen elektronik ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di tuangkan dalam sebuah bentuk elektronik. Dalam KUHAP, pengaturan mengenai surat elektronik tidak diatur. Bahkan, definisi mengenai surat dalam ketentuan umum KUHAP tidak dijelaskan, maka untuk menentukan apakah surat elektronik masuk kedalam kategori alat bukti surat merupakan hal yang tidak mudah. Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettlijke bewijs theorie), dimana hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti tersebut. Hakim tidak boleh menggunakan alat-alat bukti selain yang diatur secara sah
5
menurut undang-undang. Jika dilihat dalam Pasal 187 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : 1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum, yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang semua keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan 2. Surat yang dibuat menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. 3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadannya. 4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Dari Pasal 187 tersebut, akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum tampak pada eksistensinya padaPasal 187 huruf a dan b. Untuk klasifikasi hal ini dapat disebut berupa berita acara sidang yang dibuat panitera pengganti, panggilan/relaas sidang yang dibuat jurusita/juru sita pengganti, putusan hakim, akta jual beli, berita acara pemeriksaan setempat, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk akta di bawah tangan yaitu berupa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar keahliannya tampak eksistensinya pada Pasal 187 huruf c KUHAP seperti visum et repertum, surat keterangan ahli tentang sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli tentang balistik, surat keterangan ahli tentang kedokteran kehakiman, dan lain sebagainya. Kemudian Pasal 187 huruf d KUHAP, berkorelasi dengan surat cinta, surat ancaman, kuitansi penerimaan uang dan lain sebagainya dimana surat-surat tersebut baru mempunyai nilai pembuktian
6
jikalau mempunyai hubunganeratdengan perkara dan dikuatkan alatbukti lain. (Lilik Mulyadi, 2008,h 113) Dari ketentuan Pasal 187 huruf a, b, dan c diatas, maka surat elektronik tidak termasuk didalamnya, karena dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c menjelaskan mengenai surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum. Sedangkan surat elektronik merupakan surat yang tidak dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum. Jika surat elektronik dihubungkan kedalam ketentuanPasal 187 huruf d, yaitu tergolong surat biasa yang baru mempunyai kekuatan pembuktian jika berhubungan dengan suatu perkara, maka surat elektronik bisa saja termasuk kedalamnya.
Namun, KUHAP
tidak
menjelaskan secara pasti jika surat elektronik termasuk kedalam surat biasa, karena surat elektronik merupakan surat yang dibuat melalui media elektronik dan memerlukan pembuktian lebih lanjut mengenai kebenaran dari isi surat elektronik tersebut. Dalam proses pembuktian di persidangan, alat bukti surat elektronik tidak diperlukan bentuk aslinya (soft copy), yang diperlukan hanya hasil cetakannya (print out). Hal ini mengacu kepada Pasal 5 ayat (1) UndangUndang No.11 Tahun 2008.Mengenai aspek keaslian dari hasil cetakan (print out) surat elektronik, hakim akan menanyakan kepada terdakwa atau korban mengenai surat elektronik tersebut apakah terdapat perbedaan dari bentuk aslinya,jika terdakwa atau korban mengakui bahwa surat elektronik tersebut sama dengan aslinya atau tidak terdapat perbedaan maka surat elektronik tersebut telah memenuhi aspek keaslian sebagai alat bukti dan menjadi alat bukti yang sah. Apabila salah satu pihak tidak mengakuinya,maka diperlukannya keterangan ahli untuk menentukan sah atau tidaknya hasil cetak dari surat elektronik tersebut,dan keterangan ahli tersebut akan menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menentukan sah atau tidaknya hasil cetak (printout) surat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan. Meskipun mengenai alat bukti informasi elektronik tidak disebutkan dalam KUHAP sejak tahun 2001 dalam hukum acara pidana telah mengenal mengenai bukti informasi elektronik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
7
2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti informasi elektronis di introduksi dalam pasal 26A : “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari; a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan; b) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam pasal 38 jo Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No 25 tahun 2003yang mengatur tentang alat bukti berupa informasi elektronik sebagai berikut: “Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Tulisan, suara, atau gambar; b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.”
Kemudian dalam PERPU No 1 Tahun 2002 yang telah diundangkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan dalam pasal 27;
8
Pasal 27: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; (1) Tulisan, suara, atau gambar; (2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; (3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Selanjutnya data elektronik sebagai alat bukti dapat juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dalam Pasal 1 point 20 disebutkan: Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pada pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 disebutkan sebagai berikut : “(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat isampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik; (2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri; (3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini; (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.” Dalam penjelasan pasal 5A ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dijelaskan Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian
9
informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis. Tahun 2008 menjadi momentum penting dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan keluarnya undang-undang yang mengatur mengenai cyberspace yaitu Undang-undang no 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai definisi Informasi elektronik ; adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya Pasal 1 (1). Selanjutnya dalam Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 disebutkan mengenai sahnya Informasi Elektronik sebagai alat bukti yang sah ; Pasal 5; 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini, dan; 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (a) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan; b) Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Mengenai persyaratan suatu informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 ;
10
Pasal 6: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Mengenai bentuk dari dokumen elektronik itu sendiri penjelasan Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 menerangkan bahwa Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya. Ketentuan selanjutnya yang mengatur tentang Informasi Elektronik sebagai alat bukti ditemukan dalam Pasal 44 UU No 11 tahun 2008 ; Pasal 44: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan, dan; b) Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Nb Ketentuan mengenai Informasi Elektronik berkaitan sebagai alat bukti juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam pasal 24; Pasal 24: Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a) Barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya, dan; b) data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
11
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dikarenakan landasan hukum acara di Indonesia adalah undang-undang No. 8 Tahun 1981 dimana undang-undang tersebut tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah. Keterbatasan dalam UU No 8 Tahun 1981 dalam alat bukti ini yang menyebabkan perlu adanya pembaharuan dalam KUHAP. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Draft Tahun 2008 sudah mengenal mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti ( Pasal 177 ayat (1).c ) (1) Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b) surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f) keterangan terdakwa; dan; g) pengamatan Hakim. Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. b. Pertimbangan Hakim mengenai digunakanya alat bukti elektronik di Pengadilan ? Pembuktian merupakan tahap yang menentukandalam proses perkara, karena dari hasil pembuktiandapat diketahui benar atau tidaknya suatu
gugatanatau
bantahan
tersebut.
Hal
itu
berarti,
bahwa
apabilapenggugat dapat membuktikan dalil-dalilnya dalamgugatannya maka hakim akan mengabulkan gugatandari penggugat, sedangkan apabila Penggugat
tidakdapat
membuktikan
dalil-dalil
dalam
gugatannya
atautergugat dapat membuktikan dalil-dalil bantahannyadalam jawabannya atau dupliknya maka Hakim akanmenolak gugatan dari Penggugat. Dalam 12
tahapanpembuktian terdapat 2 (dua) unsur yang memegangperanan penting, yaitu: Pertama, Unsur-unsur alat bukti. Para pihak dalamtahapan pembuktian harus menggunakan alat buktiyang sah menurut hukum pembuktian, dan tidak bolehmenggunakan alat bukti yang tidak diatur dalamperaturan perundangan. Berkenaan dengan macamalat bukti yang sah, menurut pasal 164 HIR jo. Pasal1866 BW ada 5 macam alat bukti: bukti tulisan/surat;bukti saksi; bukti persangkaan; bukti pengakuan; dan,bukti sumpah. Kedua, Peraturan pembuktian. Bahwakelima macam alat bukti di atas dianggap sebagaialat bukti yang sah dan dapat dipergunakan sebagaialat bukti di persidangan, hal tersebut dikarenakandi dalam peraturan perundang-undangan (HIR/Rbgdan HIR) mengatur cara pembuatan, penggunaan dankekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti. Makna pembuktian dalam persidangan adalahmemberikan dasardasar yang sah atas suatu gugatanatau bantahan, sebagaimana ditentukan dalam asaspembuktian dalam hukum acara perdata, yang diaturdi dalam Pasal 163 HIR jo. 1865 BW. Disamping itupembuktian harus dilakukan dengan menggunakanalat-alat bukti yang sah. Adapun alat-alat bukti dalam hukum acara pidana berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : 1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa Berdasarkan pengaturan macam-macam alat buktidi atas, maka dapat diketahui bahwa di dalam hukum acara pidana,pembuktian lebih diutamakan dengan menggunakanalat bukti berupa saksi, hal ini bermakna bahwa suatuperbuatan pidana menurut pembentuk undang-undanghanya dapat diketahui oleh seorang saksi yang secaralangsung mengetahui atas perbuatan pidana tersebut. 13
Selanjutnya
perlu
dipahami
bahwa
dalam
rangkapenilaian
keabsahan penggunaan alat bukti di dalamhukum acara pidana, terdapat prinsip yang sama baikdi dalam Pasal 294 ayat 1 HIR dan Pasal 183 KUHAP,yang pada asasnya mengatur tentang: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorangkecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat buktiyang sah ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindakpidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yangm bersalah melakukanya” Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa hakim memiliki keterikatan dengan penggunaan alat bukti yang diatur dalam pasal 184 tersebut. Terlepas dari salah tidaknya terdakwa, hakim telah menggunakan nalarnya untuk menggunakan bukti tersebut (disamakan) sebagai alat bukti surat yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Merujuk pada praktek di Amerika, apa yang dilakukan oleh hakim tidaklah berbeda. Sekali lagi, pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Jikapun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam urusan privat maupun publik. Salah satu contoh kejahatan yang sering terjadi adalah kejahatan melalui surat elektronik. Hal ini dapat dilihat pada kasus dimana RSUD Tangerang kembali harus menempuh upaya hukum. Dr. ira Simatupang, Sp.OG adalah seorang dokter di RSUD Tangerang menyebarkan email yang berisi pencemaran nama baik. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Tangerang sejak Juli 2012 lalu. Apa yang menjadi dasar bagi hakim dalam memasukkan surat elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian di persidangan, karena jika dilihat dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak terdapat pengaturan mengenai alat bukti surat elektronik.
14
c. konsekuensi hukum dari putusan Hakim mengenai digunakanya alat bukti elektronik di Pengadilan Pemanfaatan media elektronik dalam hal ini lebih konsentrasi pada email, sudah pasti akan menimbulkan adanya konsekuensi yang terjadi dalam penggunaan media tersebut sebagai alat bukti dalam acara hukum pidana. Dalam rangka pengungkapan kebenaran materiil, di samping transparansi terhadap proses pemeriksaan sidang untuk disaksikan oleh masyarakat, akan bermanfaat dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan serta menimbulkan kerugian salah satu pihak haruslah cukup dipandang keberadaannya sebagai keterangan tambahan yang dapat menambah keyakinan hakim dan dipahami secara objektif oleh Jaksa dan Terdakwa atau Penasehat Hukumnya, tetapi tidak diposisikan sebagai Alat Bukti yang secara limitatif telah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan kasus Prita ini, konsekuensi atas pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang menggunakan alat bukti elektronik adalah sebanrnya peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah belum dapat untuk diberlakukan atau diterapkan terhadap Terdakwa Dr. Ira Simatupang, Sp.OG oleh karena pemberlakuan secara efektif dari Undang-undang dimaksud adalah 2 (dua) Tahun setelah Undang-undang tersebut diundangkan yakni tanggal 21 April 2010 sedangkan peristiwanya terjadi pada tanggal 15 Juli 2010. Sebagai
pelaksana
Undang-undang
dituntut
untuk
tetap
mengedepankan azas legalitas, oleh karena azas legalitas merupakan suatu azas yang esensial yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana. Selain itu Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak menjelaskan secara terperinci kepada siapa sajakah e-mail tersebut dikirimkan oleh Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum hanya mendalilkan “ke sejumlah orang” tanpa memberikan uraian secara lengkap dan cermat mengenai nama-nama para pihak yang menerima surat elektronik dari Terdakwa serta alamatnya.
15
Sesuai dengan alasan Penasehat Hukum Terdakwa bahwa Dakwaan Penuntut Umum “tidak dapat diterima” adalah karena dakwaan Penuntut Umum tidak tepat baik mengenai dasar hukum maupun sasaran dakwaannya disebabkan yang didakwakan kepada Terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, mengingat surat elektronik yang dimuat oleh Terdakwa hanya untuk kalangan terbatas dan bukan untuk khalayak ramai atau umum sehingga dalam perbuatan Terdakwa tidak terdapat unsur melawan hukum. Selain itu dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak tepat karena tidak didasarkan dari adanya pengaduan langsung dari korban, mengingat yang didakwakan kepada Terdakwa merupakan tindak pidana aduan (klacht delict). Jaksa Penuntut Umum tidak jelas menguraikan rangkaian peristiwa sebagaimana dimaksud dalam surat dakwaan. Penuntut Umum dalam uraiannya mendalilkan bahwa Terdakwa telah mengirim surat elektronik dengan cara menyimpan dan mengirim data suatu pesan melalui media komunikasi elektronik, namun Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak menjelaskan secara terperinci mengenai media komunikasi elektronik apakah yang digunakan oleh Terdakwa sebagai alat yang digunakannya ketika mengirimkan
surat
elektronik
tersebut.
Adanya
ketidakcermatan,
ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan dalam uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum mengakibatkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi kabur, dan oleh karenanya ulah surat dakwaan tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum. Dengan tidak dicantumkannya nama dan alamat surat elektronik para pihak penerima surat elektronik dari Terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum maka telah menimbulkan suatu kekaburan dan ketidakjelasan mengenai rangkaian peristiwa sebagaimana dimaksud dalam surat dakwaan, dan oleh karenanya surat dakwaan penuntut umum haruslah dinyatakan batal demi hukum. Pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenarannya mutlak (absolut). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relative, yang didasarkan
16
pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar pelaku tndak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan hukuman pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-salahannya walaupun selalu ada kemungkinan, merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima sama sekali. Karim Nasution (1975: 71) mengatakan bahwa “Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan. Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam Undang-undang, atau atas bukti yang tidak mencukupi, misalkan hanya dengan bukti dari satu orang saksi, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada. Hakim tidak memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan
yang
diketahuinya
dari
luar
persidangan,
tetapi
haruslah
memperolehnya dari alat-alat bukti yang sah yang terdapat dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan di dalam Undang-undang, misalkan dalam hal terdakwa tidak mengakui dengan kesaksian dari sekurangkurangnya dua orang saksi yang telah disumpah dengan sah. Jika hakim dari alat-alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan, maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan pembebasan dari tuduhan, dengan demikian, misalkan ada lima orang saksi menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang melakukan pembunuhan, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman, jika ia tidak yakin bahwa kesaksiankesaksian tersebut benar-benar dapat dipercaya, dan oleh sebab tujuan dari
17
proses pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebeanran materiil, maka ia akan membebaskan terdakwa (Djoko Prakoso, 1988: 36). Haruslah diingat bahwa keyakinan hakim tersebut, bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi haruslah timbul dengan alat-alat bukti yang sah disebut dalam Undang-undang dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat dipertanggung jawabkan suatu putusan yang walaupun sudah cukup alat-alat bukti yang sah, hakim dengan begitu saja menyatakan bahwa ia tidak yakin, dan karena itu ia membebaskan tersangka, tanpa menjelaskan lebih jauh apa sebab-sebabnya ia tidak yakin. Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, maka semakin sulit bagi hakim untuk menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputar bahkan kembali lagi seperti sedia kala seperti sebelumnya terjadi peristiwa. Maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh hakim tentang suatu keadaan betul-betul sesuai dengan kebenaran, tidak mungkin dapat dicapai. Maka acara pidana sebenarnya hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang sejati. Hakim adalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat salah raba dalam menentukan keyakinannya perihal barang sesuatu, dan lagi oleh karena putusan hakim pidana akan dapat menusuk kepentingan-kepentingan terdakwa, yang oleh masyarakat dijunjung tinggi, yaitu jiwa, raga, kemerdekaan, kehormatan dan kekayaan seorang terdakwa. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat bukti elektronik masih dipertanyakan. Sudah pasti ada suatu konsekuensi yang akan ditanggung atau dialami atas penggunaan alat bukti elektronik tersebut. Konsekuensi hukum atas penggunaan alat bukti elektronik atas putusan hakim di pengadilan adalah adanya suatu ketidakadilan dalam member putusan terhadap terdakwa yang dirasa tidak adil bagi pihak penggugat atau korban. Hal ini dikarenakan hakim hanya berdasarkan atas
18
keyakinannya dalam memberikan putusan hukuman pidana bagi terdakwa kasus pidana. Selain hal tersebut, konsekuensi lain adalah adanya suatu keadilan yang kurang tegas dan tidak jelas. Dengan adanya keadaan seperti ini, akan dapat memberikan keuntungan bagi terdakwa yang seharusnya terdakwa memperoleh hukuman atas tindakan pidana yang telah dilakukannya, tetapi atas dasar ketidakyakinan hakim, maka ia bisa bebas dari hukuman.
D. KESIMPULAN Kekuatan alat bukti surat elektronik menurut KUHAP adalah sama dengan alat bukti surat yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP. Meskipun alat bukti surat elektronik tidak diatur dalam KUHAP, namun surat elektronik pada dasarnya ialah surat yang berbentuk elektronik, selain itu surat elektronik dapat dimasukkan kedalam kategori surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain sesuai dengan Pasal 187 huruf d KUHAP. Jadi kekuatan dari alat bukti surat elektronik adalah sama dengan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dan nilai kekuatan pembuktian surat elektronik bergantung kepada keyakinan hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007. Menuju Kepastian Hukum di Bidang : Informasi Dan Transaksi Elektronik, Jakarta, hlm.1.
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 211. Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung,h. 113.
19
20