PENTINGNYA BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA 1 The Importance of Electronic Evidence in Criminal Prosedures Hendi Suhendi Pusat Penelitan dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanudin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan e-mail :
[email protected] (Diterima tanggal 14 Oktober 2016, direvisi tanggal 19 Oktober 2016, disetujui tanggal 26 Oktober 2016) Abstrak Bukti elektronik yang diajukan dalam persidangan peradilan pidana masih menimbulkan pendapat pro kontra. Hal ini terkait dengan ketentuan pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang diajukan di persidangan. Meskipun demikian bukti elektronik saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok terutama kasus-kasus yang sulit pembuktiannya. Mahkamah Agung sejak tahun 1988 sudah mengakui bukti elektronik sebagai bukti yang sah. Kajian ini bersifat deskriftif dengan penelusuran data kepustakaan dikaitkan fakta-fakta kasus persidangan terdakwa Jesicca. Kesimpulan bahwa bukti elektronik berupa rekaman cctv sudah bisa dipergunakan sebagai bukti petunjuk kasus pidana dari mulai tahap penyidikan sampai dipersidangan. Bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk baru mempunyi nilai jika ada persesuaian dengan bukti lain sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kata kunci : Abstract Electronic evidence presented by tha law enforcement agencies in the court still raises pros and cons. This is related to the provisions of article 184 of theIndonesian Law of Criminal Procedure ( KUHAP ) which regulates limited legal means of proof in the court. Nonetheless, nomaday electronic evidence is playing a progressively more pivotal role in criminal procedures, especially for cases that are difficult to prove. Sence 1988, The Indonesian Supreme Court ( MA ) has acknowledged the electronic evidence as legal means of proof. The study reviews a descriptive analisys using a literature data methodology, with a particular focus on the Jesicca Kumala Wongso`s case. The paper concludes that electronic in a form of circuit closed television ( CCTV) recordings can be used as a legal means of proof which is ”indication in the criminal case strating from the investingation phase to the trial stage in the court. Elctronic eveidece as an indication” in term of legal means of proof can only have a value if there is a rapprochement with ather evidence as stipulated in the law. Keywords :
I.
PENDAHULUAN Persidangan pidana kasus jesicca yang menewaskan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Jakarta Pusat menarik perhatian sekaligus persidangan kasus pidana kopi bersianida ini sangat panjang menjadikan pembelajaran bagi masyarakat untuk ikut memperhatikan proses pembuktian suatu tindak pidana di pengadilan. Kasus Jesicca ini menjadi pertaruhan lembaga kejaksaan ( jaksa ) dalam membuktikan dakwaaannya, dilain pihak pengacara dengan gigih menolak segala dakwaan dan tuduhan jaksa kepada kliennya. Menarik untuk disimak karena bukti-bukti atas meninggalnya Wayan Mirna tidak
cukup kuat, sehingga dengan bukti elektronik yang berupa cctv jaksa harus membuktikan dakwaannya, untuk itu nampaknya team jaksa penuntut umum menghadirkan saksi ahli dari berbagai disiplin ilmu, begitu juga pengacara Jesicca tidak kalah hebatnya membawa saksi ahli ke persidangan untuk menggugurkan dakwaan jaksa. Bukti elektronik berupa cctv dijadikan petunjuk atas kasus kematian Wayan Mirna tidak lama setelah minum es kopi Vietnam di kafe olivier atas pesanan sehabatnya jesicca. Kematian Wayan Mirna ini menarik perhatian karena tidak ada bukti yang melihat dengan sengaja Jesicca
1 Tulisan ini bagian dari hasil team pengkajian dengan judul : “ kekuatan Nilai Pembuktian terhadap Alat Bukti Elektronik Dalam Penanganan Tindak Pidana” sebagaimana sprint Kapuslitbang no.KEP-17/K/K.4/03/2016 tgl 15 maret 2016.
Pentingnya Bukti Elektronik Dalam Persidangan Pidana Jurnal Bina Adhyaksa - Hendi Suhendi
21
Sedangkan fakta biasa yaitu kejadiankejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu.
memasukan racun sianida ke dalam gelas es kopi yang diminum korban. Permasalahannya adalah apakah alat bukti eletronik dapat dijadikan sebagai bukti diperidangan atas matinya Wayan Mirna dengan terdakwa Jesicca Kumala Wongso? 1.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya ( pasal 188 ayat (3) KUHAP ).
Alat Bukti Menurut KUHAP. Pembuktian kejahatan semakin sulit dideteksi tanpa menggunakan bukti elektronik. KUHAP dalam pasal 184 secara limitatif ( Yahya Harahap : 2005 ) hanya menyebut Alat bukti yang sah ialah Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Dari urut -urutan penyebutan alat bukti bahwa pembuktian dalam perkara pidana lebih dititik beratkan pada keterangan saksi. Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para hakim harus selalu hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP (Yahya Harahap: 2005 ). Dalam sistem pembuktian di persidangan kedudukan alat bukti mempunyai peran sangat penting mengingat alat bukti ini yang menjadi dasar pertimbangan hakim pidana untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (pasal 183 KUHAP). Pembuktian perkara dipersidangan cara yaitu untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan, baik fakta Fakta hukum maupun fakta biasa. Fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.
22
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 7 No. 1 Nopember 2016
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwasanya : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 2.
Bukti Elektonik. Sampai saat ini keberadaan data elektronik sebagai alat bukti dipersidangan masih dipertanyakan dan belum sepenuhnya bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa sangat sulit menggunakan dokumen elektronik sebagai alat bukti, mungkin ada benarnya. Karena, memang Indonesia belum mempunyai aturan khusus yang mengatur dokumen elektronika sebagai alat bukti sah yang diterima di depan persidangan. Meskipun sekarang ini sudah banyak peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) sudah mengakuinya sejak 1988. Namun demikian nilai Pembuktian data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Menurut salah satu Hakim yang menangani kasus Jesicca menyatakan bahwa bukti elektronik berupa rekaman cctv bisa dijadikan penunjuk dalam persidangan. Dalam beberapa persidangan bukti eloektronik sudah biasa dipergunakan dipersidangan peradilan. Hakim
menggunakan alat bukti berdasarkan persesuaian dengan alat bukti yang di ataur dalam undang-undang. Alat bukti mana yang sesuai dengan urutan alat bukti sah berupa keterangan saksi, ahli, bukti surat dan keterangan terdakwa. Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU Informasi dan Telekomunikasi Elektronik. Hal mana dapat dijumpai dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian jelas bahwa macammacam alat bukti yang diatur di dalm lapangan hukum acara pidana mengalami penambahan atau perluasan yang semula dokumen elektronik merupakan “barang bukti” jika ditemukan di tempat kejadian perkara, maka mengalami up grading menjadi alat bukti yang sebelumnya tidak diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Seperti halnya arsip media baru, bahwa alat bukti elektronik jelas mengandung berbagai informasi pula. Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE). Di dalam ilmu dokumentasi, kearsipan dan perpustakaan dikenal istilah uiterlijke atau bentuk luar.( TR. Shellen Berg: 1989.) Bentuk luar ini jika dihubungkan dengan Pasal 184 KUHAP ada jenis alat bukti surat. Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 4 UU ITE). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dengan demikian pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3. Sesuai penulis utarakan di muka bahwa arsip media baru atau dalam pengertian UU ITE sebagai alat bukti elektronik sebenarnya menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Jadi Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu, maka agar informasinya dapat dipercaya, ada otoritas data tertentu yang bertanggungjawab mengelola dokumen elektronik di suatu lembaga. Untuk menutupi kelemahan otoritas data yang belum semua dimiliki di berbagai lembaga, maka hasil cetakan dokumen elektronik masih diperlukan dalam proses pembuktian karena ada otentikasi dari pihal terkait sebagaimana
Pentingnya Bukti Elektronik Dalam Persidangan Pidana Jurnal Bina Adhyaksa - Hendi Suhendi
23
kelaziman administrasi negara. Jadi kedudulan dokumen elektronik sebagaimana disebutkan sebagai perluasan. Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya sebagai berikut: - Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP; - Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP. Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. Penghargaan dan kekuatan alat bukti kerap mendapat perhatian para pihak yang berperkara di pengadilan, sehingga menimbulkan pertanyaan “Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundangundangan harus dalam bentuk tertulis. Jadi jika kedapatan untuk keperluan pembuktian di peradilan ada pihak yang mengajukan dokumen elektronik tetapi substansinya berupa redaksi surat atau sejenisnya, maka hakim harus menolaknya, sampai pihak yang mengajukan itu mampu menghadirkan alat bukti surat yang otentik. Sedangkan syarat 24
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 7 No. 1 Nopember 2016
materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.
II. PEMBAHASAN 1.
Perkara yang Sulit Pembutiannya. Mengungkap kasus pembunuhan dengan menggunakan racun dalam kasus tewasnya Wayan Mirna atas terdakwa jesicca tidak bisa dipungkiri bahwa perkara tersebut memang rumit; sulit menemukan bukti yang berkaitan dengan pembunuhan tersebut dan juga mungkin saja ada faktor lain yang dapat mempengaruhi atau menghalangi pengungkapannya sehubungan alat yang digunakan untuk membunuh adalah racun. Perang urat syaraf kuasa hukum jesicca sudah dilontarkan sejak kasus itu dinyatakan lengkap (P21). Dengan temuan 37 bukti baru yang diserahkan polda metro ke kejaksaan jakarta pusat, salah satu penasehat hukum jesicca menganggap penyerahan perkara tersebut terkesan dipaksanakan. Jessica dijerat Jaksa dengan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman maksimal pidana mati atau pidana seumur hidup. Unsur-unsur dalam pasal 340 adalah : “ barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidupatau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”. Banyak pengamat yang menganggap bahwa kasus jesicca beresiko lepas dari tuntutan hukum, hal ini antara lain : a.
Harus dibuktikan jesicca yang membunuh mirna ;
b.
Alat yang digunakan untuk membunuh Mirna
jaka kepada hakim, tanpa itu, hakim sulit mempercayai atau meyakini dakwaan jaksa kepada Jessica. Apakah jaksa bisa membuktikan bahwa Jessica secara sadar pada pada saat menuangkan sianida ke dalam gelas es kopi Vietnam Mirna? Karena kalau yang didakwakan adalah pasal 340 KUHP yang terdapat kata sengaja, maka sengaja ini yang harus bisa dibuktikan jaksa. Terlebih lagi dalam hukum pidana juga dikenal teori sengaja.
adalah racun, dan itu tidak mudah untuk dibuktikan bahwa Jessica yang meracun Mirna. Maka jaksa harus membuktikan lebih dulu mana bukti lainnya yang menunjukan bahwa Jessica sebagai pemilik racun ; c.
Bukti materiilnya harus terungkap bahwa Jesicca membunuh mirna dengan menggunakan racun sianida;
d.
Jaksa juga harus membuktikan unsur dengan sengaja atau direncanakan jesicca membunuh mirna;
e.
Meskipun ada bukti visum et refertum bahwa Mirna dibunuh dengan menggunakan racun tapi visum tidak bisa membuktikan siapa pemilik racun yang mengakibatkan Mirna meninggal dunia ;
f.
Yang harus dibuktikan oleh jaksa kepada hakim di persidangan nantinya adalah sejak kapan munculnya perencanaan untuk membunuh Mirna? Apa motifnya? Kapan (tanggal berapa, bulan berapa, tahun berapa) racun sianida itu dibeli? Dimana racun sianida itu dibeli ?. Apakah di apotik, toko obat atau gudang obat? Ini yang harus dibuktikan oleh jaksa kepada hakim untuk membuktikan dakwaanya tersebut. Mengapa timbul pertanyaan kapan sianida itu dibeli? Kasus ini tergolong sangat sulit untuk dibuktikan di pengadilan terlebih lagi pembunuhan berencana dengan tidak ada saksi yang melihat Jessica menabur racun itu ke dalam gelas es kopi Vietnam Mirna. Dengan dakwaan pembunuhan berencana, maka pekerjaan besar jaksa menjadi sangat sulit dikarenakan beberapa faktor;
g.
Pembunuhan berencana harus dibuktikan unsur perencanaanya. Ada tiga unsur dengan rencana lebih dahulu. Pertama. Memutuskan kehendak dalam suasana yang tenang. Kedua. Syarat kedua yang harus dipenuhi apabila mendakwa Jessica yang meracun Mirna adalah; Ada cukup waktu sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksaan kehendak dengan rencana lebih dahulu. Ketiga. Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh jaksa adalah: Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. dimana letak ketenangan Jessica dan dimana bukti adanya suasana tenang? Syarat pertama, kedua dan ketiga di atas adala syarat yang harus dibuktikan oleh
Kasus yang sulit pembuktiannya akan tergantung Jaksa menyakinkan hakim atas dakwaan yang dituduhkan kepada jesicca. Alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP akan menjadikan acuan untuk sekurangkurangnya dua alat bukti bisa menyakinkan hakim. Keterangan ahli atau saksi ahli menjadi satu-satunya Jaksa penuntut umum meyakinkan hakim dengan petunjuk dari hasil rekaman cctv maupun hasil visum et repertum. Jaksa menghadirkan saksi ahli sebagaimana yang terdapat dalam BAP penyidik polri maupun saksi ahli yang dianggap perlu dan punya relevansi pengutan dalam dakwaaan. Bukti elektronik sebagai bukti dipersidangan diatur dalam pasal 5 Undang-undang ITE antara lain menyebutkan bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia 2.
Bukti Elektronik diterima sebagai bukti petunjuk Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU Informasi dan Telekomunikasi Elektronik. Hal mana dapat dijumpai dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian jelas bahwa macammacam alat bukti yang diatur di dalm lapangan hukum acara pidana mengalami penambahan atau perluasan yang semula dokumen elektronik merupakan “barang bukti” jika ditemukan di tempat kejadian perkara, maka mengalami up
Pentingnya Bukti Elektronik Dalam Persidangan Pidana Jurnal Bina Adhyaksa - Hendi Suhendi
25
grading menjadi alat bukti yang sebelumnya tidak diatur di dalam Pasal 184 KUHAP.
menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun sebagaimana tuntutan jaksa.
Persidangan pidana kasus tewasnya Mirna Salihin menarik perhatian pemirsa karena kasus ini ditayangkan secara live oleh beberapa stasiun televise dengan menayangkan kembali cctv yang merekam peristiwa matinya Mirna setelah minum kopi Vietnam di kafe Olivier. Tentu rekaman cctv ini tidak cukup meyakinkan sekaligus diragukan pihak terdakwa dan team penasehat hukumnya. Untuk meyakinkan hakim Jaksa penuntut umum menghadirkan saksi ahli, begitu juga penasehat hukum tidak kalah pentingnya beberapa ahli dihadirkan untuk mematahkan keterangan ahli dari team jaksa penuntut umum.
Dalam kasus jesicca jaksa menghadirkan saksi ahli dengan mengacu pada bukti elektronik. Bukti elektronik kini sudah saatnya untuk dijadikan sebagai bukti alat bukti dalam mengungkap suatu tindak pidana yang sulit pembuktiannya. Bukti elektronik sudah saatnya bukan lagi diperdebatkan tapi sudah harus dilaksanakan termasuk dalam pembuktian di persidangan. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masyarakat tentu menilai kualitas, bobot dari seseorang yang dianggap ahli. KUHAP menyebutkan bahwa Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal tertentu. Menurut Karim Nasution dalam buku Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa ahli itu tidaklah perlu merupakan seorang spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang meunurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu. Kekuatan pembuktian keterangan ahli tersebut, adalah sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebuijaksanaan penilaian hakim; hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli. Hakim dalam hal bukti elektronik dan tidak cukup yakin atas bukti-bukti yang diajukan maka bukti elektronik berupa cctv dijadikan sebagai petunjuk dengan tetap harus menyesuaikan dan melihat pada keterkaitan antara alat bukti lain sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana ( KUHAP ). Belajar dari digelarnya kasus jesicca di pengadilan negeri jakarta pusat yang oleh majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, majelis hakim 26
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 7 No. 1 Nopember 2016
Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana( Arest Cohen and Lindbaumn 1919 ). Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.( Penjelasan UU ITE ). Majelis hakim yang menangani kasus kematian Wayan Mirna menyatakan bukti elektronik berupa rekaman kamera pengawas (CCTV) bisa dijadikan petunjuk dalam persidangan. Bukti elektronik sudah biasa digunakan dalam peradilan. Maka rekaman CCTV bisa dijadikan
petunjuk untuk peristiwa pidana. bahwa hakim tidak terikat dengan alat bukti tertentu melainkan menggunakan alat bukti yang sesuai berdasarkan Undang-Undang, antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat dan keterangan terdakwa. Hakim tidak terikat dengan alat bukti tertentu, melainkan tergantung alat bukti mana yang sesuai dengan urutan alat bukti sah, keterangan saksi, ahli, bukti surat, dan keterangan terdakwa. Menurut Hakim dalam kasus Jesicca ini tidak perlu ada saksi mata dalam sebuah proses pembuktian hukum, dan bahwa hakim bisa mengaitkan bermacam bukti-bukti tidak langsung. Secara formal, hukum untuk membuktikan tidak harus ada saksi mata. Tidak harus ada saksi yang melihat untuk membuktikannya, hakim bisa menggunakan circumstance evidence atau bukti tidak langs
Undang-undang tentang Tind Undang-undang tentangak Pidana terorisme; Undang-undang tentang Inf Undang-undang tentangormasi dan Transaksi Elektronik; Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Penccucian Uang.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : PT. Sinar Grafika 2002, hal 254 Arest Cohen and Lindbaumn 1919 dalam Andi Hamzah Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Yasrif Watampone, 2004. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum.Bandung:PT. Alumni, 2000.
III. PENUTUP Bukti elektronik sebagai alat bukti dipersidangan sudah emakin dirasakan kebutuhannya untuk mengungkap suatu kasus pidana dipersidangan pidana terutama terhadap kasus-kasus yang sulit pembuktiannya. Polemik pro kontra tentang bukti elektronik dipersidangan sudah tidak emestinya lagi terjadi. Pengadilan sudah banyak menggunakan bukti elektronik sebagai alat bukti. Mahkamah Agung sejak tahun 1988 sudah mengakui bukti elektronik sebagai bukti yang sah. Bahkan keberadaan dokumen elektronik dalam pembuktian dipengadilan telah dikenal sejak 1967. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ), sebagaimana sudah dirubah dan diganti yang mulai berlaku tahun 2016, memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. Bukti elektronik ini dimaksudkan untuk menambah dan memperluas pengertian alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. Kenyataannya bukti elektronik sebagai alat bukti dipersidangan sudah terdapat dalam beberapa undang-undang antara lain undang-undang tentang Kenyataan mengenai itu sudah ditemukan bahwa alat bukti elektronik sesungguhnya diatur dan diakui di beberapa undang-undang di Indonesia, antara lain: undang-undang tentang Dokumen Perusahaan; Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi;
Arif, Amrullah.Kejahatan Korporasi, Malang : Bayu Media Publishing, 2006. Chazawi, Adami. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Malang : Media Nusa Creative, 2015. Didik M. Arief dan Elistris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung : PT. Refika Aditama, 2005, Dachamer Munthe “Masalah Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi”, disertasi dipertahankan di Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009. Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1998 Fakhriah, Efa Laela. Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana,Bandung: PT. Alumni, 2009. Harahap, M Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka Kartini, 1985. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003, Herman Bakir Filsafat Hukum dan Desain Sejarah dan Kearsitekturan Jakarta: Refika Aditama, 2005 J.M. Van Bammelan. Hukum Pidana I (Hukum
Pentingnya Bukti Elektronik Dalam Persidangan Pidana Jurnal Bina Adhyaksa - Hendi Suhendi
27
Pidana Materil Bagian Umum), Jakarta: Bina Aksara: 1987 Makarim, Edmon.Pengantar Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. --------------, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Mansur, Didik M. A. dan Elisatris Gultom.Cyber Law Aspek Hukum Teknologi.Bandung: Refika Aditama, 2009. Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pradya Paramitha: 1984 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Edisi ke-7.Cet.kePidanaIndonesia, 1,Yogyakarta: Liberty, 2006. Prints Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan : Jakarta Oemar Seno Adji Peradilan Bebas dan Contempt of Court Jakarta: Kantor Pengacara Oemar Seno Adji, 2004 R.O. Siahaan, Hukum Pidana I, Penerbit RAO Press, Cibubur, 2008. R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, 1996. R. Subekti KUH Perdata Jakarta: Pradnja Paramita, 1989.
28
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 7 No. 1 Nopember 2016
Sanusi, M Arsyad. E-commerce: Hukum dan Solusinya,Bandung: PT. Mizan Grafindo Sarana, 2001. Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, Syahrani, Riduan. Hukum Acara Pidana di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:Pustaka Kartini, 1988. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), TR. Shellen Berg Modern Archive Principle and Technic Toronto: tp, 1989. Peraturan Perundang-undangan : Undang Undang Dasar Republik Indonesaia Tahun 1945. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.