12
BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
2.1.
Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP
Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam alat bukti yang sah untuk diajukan didepan persidangan, seperti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah :
1. Keterangan saksi ; 2. Keterangan ahli ; 3. Surat ; 4. Petunjuk ; 5. Keterangan terdakwa. Untuk jenis bukti dalam pemeriksaan sendiri dapat digolongkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu :
a. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung atau pengamatan yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik terhadap orang, atau kejadian. Bukti tersebut dapat didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar, atau fisik. b. Bukti dokumenter
Bukti dokumen terdiri atas informasi yang
diciptakan, seperti : surat, kontrak, catatan, faktur, dan informasi-
12
13
informasi yang akurat. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat harus hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat harus pula berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Adanya surat lain yang dapat berlaku hanya jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa surat yang dijadikan bukti adalah palsu, Surat keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PW.07.03TH1982, tanggal 4 Februari 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bidang Penyidikan, Bab II, Butir 11.7) b) menetapkan bahwa: “Dalam hal timbul dugaan kuat adanya surat palsu atau dipalsukan, dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, Penyidik dapat datang dan meminta kepada
Pejabat
Penyimpan
Umum
supaya
surat
asli
yang
disimpannya dan dikirim kepada Penyidik; dan apabila tidak dikirimkan Penyidik berwenang untuk mengambilnya, apabila surat itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, maka Penyidik dapat minta supaya keseluruhannya dikirim, dan apabila berdiri sendiri,
14
penyimpan dapat membuat salinan sebagai penggantinya (UU Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 132 ayat (2) jo. Pasal (5). Pemeriksaan surat asli ini dimaksudkan untuk memperoleh bahan pembanding, dan dapat dilakukan
pada
semua
tingkatan
pemeriksaan
dalam
proses
peradilan. Jadi bisa dilakukan pada waktu penyidikan, penuntutan atau di pengadilan. Namun demikian untuk melakukan tindakan pemeriksaan surat hanyalah oleh Penyidik. c. Kesaksian (testimonial), Bukti kesaksian merupakan bukti yang diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner. Kesaksian haruslah merupakan apa yang didengar, dilihat dan dirasakan sendiri oleh saksi. Bukan disebut saksi jika ia hanya mendengar atau berkata berdasarkan apa yang diceritakan dan di dengar oleh orang lain. d. Bukti analitis. Bukti analitis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi menjadi unsur-unsur, dan alasan yang rasional. Setelah dijelaskan dengan berbagai pengertian diatas, maka dapat diambil pengertian mengenai barang bukti elektronik, yaitu segala macam barang bukti sebagaimana dijelaskan pada pasal 21 ayat (1), pasal 45 ayat (2), pasal 46 ayat (2), dan pasal 181 KUHAP yang berbentuk dan data elektronik lainnya yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu; data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
15
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar; foto atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya; dan bentuk lain yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar dalam berbagai bentuk, ukuran, atau corak apapun.
Sedangkan dalam teori sistem pembuktian, dikenal secara teoritis beberapa macarm metode yang akan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Conviction-in menentukan
Time salah
Sistem tidaknya
pembuktian seorang
Conviction-in
terdakwa,
Time
semata-mata
ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
16
2) Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan
tetapi,
berbeda
dengan
sistem
pembuktian
conviction-in time dimana peran “keyakinan hakim” adalah leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable“, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.
3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti-bukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa.
17
4) Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undangundang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitik-tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (2) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
18
2.2.
Pengertian Barang Bukti Dalam pemeriksaan dikenal dengan adanya barang bukti. Bendabenda yang dapat digolongkan sebagai barang bukti adalah :
1. Benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. 2. Benda-benda yang dipergunakan untuk membantu tindak pidana. 3. Benda-benda yang merupakan hasil tindak pidana.
Istilah barang bukti yang terdapat pada KUHAP, antara lain terdapat dalam pasal-pasal :
Pasal 21 ayat (1) KUHAP :
Perintah penahanan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Pasal 45 ayat (2) KUHAP : ’Hasil pelelangan yang bersangkutan berupa uang yang dipakai sebagai barang bukti’.
Pasal 46 ayat (2) KUHAP :
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut pada putusan hakim benda itu dirampas untuk Negara. Untuk dimusnahkan atau
19
dirusakkan sampai tidak dpat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti.
Pasal 181 KUHAP :
1.
Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 45 undang-undang ini.
2.
Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
3.
Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membaca atau memperlihatkan surat bukti atau berita keterangan seperlunya tentang hal itu.
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai arti dari barang bukti, yakni benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan Hakim atas kesalahan terdakwa atas perkara pidana yang dituduhkan padanya dan bahwa bendabenda ini adalah barang-barang kepunyaan terdakwa dengan kejahatan, barang-barang dengan mana terdakwa melakukan kejahatan, sehingga keputusan hakim barang-barang ini dapat dinyatakan dikembalikan kepada yang berhak menurut paham hakim ataupun dirampas, dimusnahkan, atau dirusakkan berdasarkan peraturan undang-undang, dan dalam hal sesuatu tindak pidana dilakukan tanpa sengaja ataupun merupakan sekedar pelanggaran, perampasan hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang disebut dalam suatu undang-undangan.
20
2.3.
Keabsahan dan Pengujian suatu Pembuktian
Keabsahan adalah sesuatu yang legal menurut UU dan tidak ada suatu keraguan didalamnya. Pengujian bukti pemeriksaan harus dilakukan terhadap bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Bukti pemeriksaan disebut “cukup”, jika substansi yang dimuat dalam bukti tersebut dianggap sudah memenuhi syarat untuk mendukung temuan pemeriksaan. Dalam menentukan cukup atau tidaknya suatu bukti tergantung pada penyidik yang
meyakini bahwa
substansinya
cukup
bukti yang
untuk
telah
mendukung
dihimpun
temuan
dan
diperiksa,
pemeriksaan
yang
bersangkutan. Jika dianggap perlu, metode statistik dapat digunakan untuk menetapkan cukup atau tidaknya suatu bukti. Bukti untuk mendukung suatu temuan pemeriksaan disebut “relevan” kalau mempunyai hubungan yang logis dan dapat dimengerti dengan temuan pemeriksaan tersebut. Bukti disebut “kompeten” sepanjang bukti tersebut konsisten dengan fakta (yaitu, bukti disebut kompeten kalau bukti tersebut sah dan valid). Pengumpulan alat-alat bukti serta barang-barang bukti yang dilakukan pada tahap penyidikan dapat dilakukan oleh pihak kepolisian atau pihak penyidik pegawai negeri sipil yang ditentukan oleh undang-undang terhadap usahausaha yang menghalangi proses penyidikan yang dilakukan aparat penyidik dapat dikenakan sanksi pidana.7
Beberapa penilaian untuk mengetahui kompeten atau tidaknya suatu bukti, adalah yang berikut :7
7
Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Cet ke 13, 2001.
21
1. Bukti yang diperoleh dari pihak ketiga yang dapat dipercaya adalah lebih kompeten dibandingkan dengan bukti yang diperoleh dari pihak yang diperiksa. 2. Bukti yang dikembangkan dari sistem pengendalian penyelidikan yang efektif lebih kompeten dibandingkan dengan yang diperoleh dari pengendalian yang lemah atau yang tidak ada pengendaliannya. 3. Bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan fisik, pengamatan, perhitungan, dan inspeksi secara langsung oleh penyidik lebih kompeten dibandingkan dengan bukti yang diperoleh secara tidak langsung. 4. Dokumen asli memberikan bukti yang lebih kompeten dibandingkan dengan fotokopi atau tembusannya. 5. Bukti kesaksian yang diperoleh dalam kondisi yang memungkinkan orang berbicara dengan bebas lebih kompeten dibandingkan dengan bukti kesaksian yang diperoleh dalam kondisi yang dapat terjadi kompromi. Misalnya,
kondisi
dimana
terdapat
kemungkinan
orang
diancam
(diintimidasi). 6. Bukti kesaksian yang diperoleh dari individu yang tidak berpihak atau mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai bidang tersebut lebih kompeten dibandingkan dengan bukti kesaksian yang diperoleh dari individu yang memihak atau yang hanya mempunyai pengetahuan sebagian saja mengenai bidang tersebut.
Penyidik dapat memandang manfaat untuk memperoleh pernyataan tertulis dari pejabat/pihak yang diperiksa mengenai kompetensi suatu bukti yang diperolehnya. Pernyataan tertulis biasanya menegaskan pernyataan lisan yang diberikan kepada penyidik, menunjukkan dan mendokumentasikan
22
kebenaran yang terus-menerus dari pernyataan tersebut, dan mengurangi kemungkinan kesalahpahaman mengenai hal-hal yang menjadi subyek pernyataan tersebut.
Pendekatan penyidik dalam menentukan cukup atau tidaknya, kompetensi, dan relevansi bukti, tergantung pada sumber informasi yang berkaitan dengan bukti tersebut. Sumber informasi mencakup data asli yang dikumpulkan oleh pihak yang diperiksa.
Dalam pengujian bukti oleh penyidik tersebut apabila mengungkapkan adanya kesalahan data, atau apabila penyidik tidak mampu untuk memperoleh kecukupan, kompeten, dan relevansi mengenai validitas dan keandalan bukti tersebut penyidik mungkin memandang perlu untuk:
a. Mencari bukti dari sumber lain. b. Merumuskan kebutuhan
kembali
penggunaan
tujuan data
pemeriksaan tersebut.
untuk
menghilangkan
Maksudnya
disini
adalah
kesalahan yang ada dalam data tersebut dapat diatasi dengan mencari data baru yang lebih akurat. c. Menggunakan data tersebut, tetapi secara jelas. Maksudnya disini apabila terjadi
adanya
pemecahannya
ketidakjelasan adalah
dengan
data
yang
mencari
diperoleh, data
maka
jalan
pendukung
yang
mendukung data yang kita peroleh sebelumnya agar data yang didapat benar-benar jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
23
2.4.
Peranan Penyidik Dalam Proses Acara Pidana Tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia pada umumnya tercantum dalam Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian negara nomor 2 tahun 2002 lembaran negara nomor 2, yang mempunyai tugas pokok yaitu :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum, dan 3. Memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan
pelayan
kepada
masyarakat.
Dalam hal tugas yang pertama yang disebut tugas Kepolisian prefentif tercantum dalam pasal 14 ayat 1 udang-undang nomor 2 tahun 2002, yaitu :
1. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; 2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dijalan; 3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional. 5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
24
6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknik terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; 7. Melakukan penyelidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai
dengan
hukum
acara
pidana
dan
peraturan
perundang-undangan lainnya; 8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 11. Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta 12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Tugas yang kedua biasa disebut tugas Kepolisian Represif, yaitu mengadakan penyidikan terhadap kejahatan dan pelanggaran yang tercantum dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002.
25
Tugas-tugas lainnya yaitu : mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sementara tugas-tugas lainnya adalah melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara. Tugas-tugas tersebut didalam prakteknya dilakukan secara vertikal dari atas sampai bawah atau melaksanakan dari tingkat nasional, tingkat regional (tingkat I), tingkat teritoril
(wilayah)
yang
meliputi
wilayah
kota
madya/kabupaten,
kecamatan dan kelurahan, dimana dalam wilayah tersebut diatas kita ketahui adanya aparat Kepala kepolisian kota besar (Kapoltabes) serta untuk kabupaten adalah Kepala Kepolisian Resort (Kapolres).
Dalam rangka melaksanakan tugasnya, aparat kepolisian sudah barang tentu tidak bekerja sendiri, akan tetapi selalu mengadakan koordinasi dan bekerja sama baik dengan aparat kejaksaan maupun dengan aparat lainnya seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2.5.
Kedudukan Penyidik Mengenai penyidik ini dapat kita ketahui didalam pasal 6 ayat 1 KUHAP, bahwa penyidik adalah :
1. Pejabat Penyidik Negara Republik Indonesia 2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Wewenang
mengenai
tindakan
yang
dimaksud
dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
26
mengumpulkan bukti, dimana dengan bukti itu membuat terang, terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Didalam
KUHAP
penyidik
mempunyai
fungsi/tugas
untuk
melaksanakan penyidikan. Dalam rangkaian dari tugas pendidikan tersebut pihak penyidik diberi wewenang untuk mengadakan penyelidikan atas
dasar
pengaduan
seseorang
atau
masyarakat
yang
telah
menganggap atau menduga telah terjadi suatu tindak pidana disuatu tempat tertentu diwilayah kewenangannya, mengadakan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai, menggeledah badan/rumah dan melakukan hubungannya
penyitaan
barang-barang
yang
dengan tindak pidana yang
diduga
keras
ada
telah dilakukan serta
melakukan penahanan kemudian mengadakan pemeriksaan seperlunya terhadap tersangka pelaku tindak pidana beserta para saksi seperlunya.
Pada hakekatnya dalam KUHAP yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat Penyidik karena menurut sistem yang dianut oleh KUHAP dalam penyidikan dilakukan oleh pejabat pegawai. Maka dapatlah dikatakan bahwa pejabat Kepolisian merupakan penyidik tunggal/utama dalam setiap perkara pidana negeri sipil yang diberi wewenang
mengadakan
pengawasan
dan
koordinasi,
bahkan
memberikan bantuan dan petunjuk yang diperlukan.
Menurut peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1983 tanggal 1 Agustus 1983 tentang pelaksanan KUHAP dalam pasal 2 ayat 1 huruf a dan b dikatakan, bahwa penyidik adalah Penyidik Negara yang berpangkat
sekurang-kurangnya
pembantu
Letnan
Dua
Penyidik,
27
sedangkan untuk pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
untuk
melakukan
penyidikan
harus
sekurang-kurangnya
berpangkat pengatur muda PM tingkat satu atau golongan II/b atau yang disamakan dengan itu.
2.6.
Tugas dan Wewenang Penyidik Setelah menguraikan tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka menunaikan tugasnya, khususnya dalam menangani perkara pidana, yaitu mulai dengan adanya laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana atau bahkan yang diketahui oleh pihak penyidik sendiri hingga penyidik melakukan tindakan penangkapan dan penahan seorang yang dicuirigai dan diduga sebagai pelaku
dari tindak pidananya,
penggeledahan dan penyitaan yang dianggap perlu dan berhubungan dengan tindak pidana yang melakukan itu. Sudah barang tentu dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, penyidik dibatasi oleh tugas dan wewenangnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Tugas dan wewenang ini dimaksudkan untuk melakukan batas-batas yang jelas dan tegas tentang tugas dan wewenangnya sehingga ada perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan adanya persyaratan serta pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
Hal mana dapat kita lihat dalam pasal 5 KUHAP, dimana dalam tegas 1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 : a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1) Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
28
2) Mencari keterangan dan barang bukti. 3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksan tanda pengenal. 4) Mengadakan tindakan lain hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dalam melakukan tindakan berupa : 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan. 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat. 3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 4) Membawa
dan
menghadap
seorang
menghadapkan
pada
penyidik. 5) Penyidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksaan tindakan sebagaimana tersebut pada pasal 1 huruh a dan b kepada penyidik.
Sedangkan
wewenang
penyidik
diatur
dalam
pasal
7
KUHAP
mengatakan :
1. Penyidik sebagaima dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b. Sebagai penyidik, penyidik pembantu tidak akan kesulitan melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
29
d. Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g. Memanggil orang untuk didengar sebagai tersangka atau sebagai saksi. h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan penyidikan. i.
Mengadakan penghentian penyidikan.
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Penyidik sebagaimana yang di maksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai weewang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pegawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a.
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Selanjutnya penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti penyidik
(POLRI) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan dari penyidik POLRI (pasal 11 KUHAP). Kemudian didalam penjelasannya disebutkan bahwa, pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan dan sangat diperlukan atau dimana terdapat hambatan
30
perhubungan didaerah atau ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.
Dengan adanya tugas dari, peyidik, penyidik pembantu dan penyidik seperti telah disebutkan diatas, yang secara tegas dicantumkan didalam KUHAP, maka petugas kepolisian (sebab atau tidak akan raguragu lagi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi hal-hal yang menyimpang dari apa yang sudah digariskan.
Adapun dasar pemberian wewenang kepada penyidik dan penyidik pembantu itu bukanlah didasarkan pada kekuasaan, akan tetapi semata-mata berdasarkan pada kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara, sehingga dengan demikian wewenang dari masing-masing tersebut, disesuaikan dengan besar kecilnya kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan adanya fungsi yang berbeda antara penyidik
dan
penyelidik
pembantu
sudah
barang
tentu
kewenangan kedua instansi atau lembaga itu akan berbeda.
bahwa