BAB II DASAR PENGATURAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Perdata 1. Definisi Hukum Acara Perdata Hukum merupakan kata yang memiliki banyak sisi dan segi sehingga dalam perumusan definisi sangat sulit untuk memberikan sebuah keseragaman. 51 Tidak hanya mengandung banyak sisi dan segi, hukum juga memiliki bermacam-macam pembagian. 52 Salah satu bentuk pembagiannya ialah menurut cara mempertahankannya. Hukum menurut
cara mempertahankannya terbagi
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 53 a. hukum materil; b. hukum formil. Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2012), hal. 393 51 L. J. Van Apeldoorn : De veelzijdegheid en veelomvattendheid van het recht bregen niet allen met zich, dat het onmegelijkheid in een enhele definitie aan te geeven wat recht is, artinya bahwa hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal yang menyebabkan tak mungkin orang membuat suatu definisi apa sebenarnya hukum itu. Lihat Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 6 52 C.S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 73-75 53 Dalam literatur hukum lainnya, hukum menurut cara mempertahankannya menggunakan istilah hukum menurut cara pemeliharaannya. Lihat Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum: Himpunan Kuliah, (Bandung: Alumni, 1971), hal. 26-37
Universitas Sumatera Utara
Hukum materil yang merupakan aturan-aturan tertulis dan tidak tertulis memiliki peranan mengatur hubungan kepentingan (hak dan kewajiban) antara subjek hukum dengan isi berupa perintah dan larangan bila terlanggar maka akan digunakan hukum formil untuk menegakkan hukum materil. 54 Artinya, antara hukum materil dan formil memiliki hubungan timbal balik. Tanpa hukum materil maka hukum formil akan kehilangan lapangannya dalam proses penegakan hukum begitu juga hukum formil jika tidak ada hukum materil yang terjadi, yaitu hukum materil yang terlangar tidak memiliki tempat untuk menegakkannya. 55 24
Salah satu bentuk hukum formil atau hukum acara ialah hukum acara perdata. 56 Hukum acara perdata yang meliputi ketentuan-ketentuan yang memberi jalan cara bagaimana subjek hukum harus bertindak untuk dapat memulihkan kembali haknya tanpa melanggar hukum 57, memiliki banyak definisi yang pada dasarnya memiliki kesamaan antara satu sama lain. Berikut beberapa definisi hukum acara perdata menurut para ahli, yaitu :
54
C.S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 73 Ibid, hal. 329 56 Hukum acara dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum acara tata usaha negara. Lihat E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1966), hal. 67 57 M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2008), hal. 3 55
Universitas Sumatera Utara
a. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan putusan hakim”. 58 b. R. Supomo mengatakan, “dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechtsorde) memetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara”. 59 c. Wirjono Projodikuro mengatakan, “hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara baaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”. 60 d. Nawawi berpendapat, “hukum acara perdata adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan bagaimana cara-cara melaksanakan, mentaati dan menegakkan hukum perdata materil”. 61 e. Bambang Sugeng A.S dan Sujaandi, “hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hak”. 62
58
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal.
59
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972),
2 hal. 12 60
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hal. 2 61 Nawawi, Taktik Dan Strategi Membela Perkara Perdata, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), hal. 1 62 Bambang A.S dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), hal. 8
Universitas Sumatera Utara
f. Laporan hasil simposium pembaharuan hukum perdata nasional yang diselenggarakan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Departemen Kehakiman tanggal 21-13 Desember 1981 di Yogyakarta, bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin diteguhkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil. 63 Berdasarkan beberapa buah definisi di atas maka hukum acara perdata dapat juga disebut sistem perdata formil. Artinya, adalah sebuah perangkat yang teratur dan memiliki kaitan satu sama lain (dari tahapan pengajuan gugatan sampai putusan) yang bertujuan untuk menegakkan perdata materil melalui proses peradilan. 2. Asas-asas Hukum Acara Perdata Kata asas didalam bahasa Inggris disebut principle, yang memiliki hubungan erat dengan kata principium (latin). Principium ialah permulaan, awal mula, sumber, asal, pangkal, pokok, dasar, sebab. 64 Sedangkan kata principle mengadung arti sebagai berikut: 65 a. Moral rule or strong belief that influences your actions; b. basic general truth, concerning the basic idea but perhaps not details.
63
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 2 64 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum Edisi Revisi, (Batam: UNIBA Press, 2011), hal. 114 65 Oxford, Oxfrod Learner’s Pocket Dictionary Third Edition, (UK: Oxford University Press, 2003), hal. 340
Universitas Sumatera Utara
(a. Aturan moral atau keyakinan yang kuat yang mempengaruhi tindakan Anda; b. kebenaran umum dasar, mengenai ide dasar tapi mungkin tidak detail.) Kemudian menurut WJS. Poerwadarminta, asas dapat diterangkan sebagai berikut : 66 a. Dasar, alas, pondamen, misalnya batu yang baik untuk rumah; b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok, dasar atau tumpuan berfikir (berpendapat dan sebagainya, misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana); c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya, misalnya membicarakan asas dan tujuannya).
Mahadi dalam bukunya telah membahas asas dengan mengemukakan pendapat dari C.W. Paton, a principle is the broad reason, which lies at the base of rule or law (asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma). 67 Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa asas merupakan suatu dasar yang digunakan untuk tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan dan mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 68 Asas hukum sendiri bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibelahan setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan 66
Syamsul Arifin, Op.Cit, hal. 115 Ibid 68 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001), 67
hal. 5
Universitas Sumatera Utara
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam suatu peraturan yang konkrit. 69 Hal tersebut menjelaskan dalam asas hukum, memiliki sifat yang dinamis dan berkembang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas-asas dalam hukum acara perdata juga tidak jauh berbeda sifatnya dengan asas hukum yang dinamis dan berkembang sesuai dengan peranturan perundang-undangan. Berikut asas-asas dalam hukum acara perdata, yaitu : a. Hakim Bersifat Menunggu Pada asas ini, mengandung pengertian bahwa inisiatif dalam mengajukan
tuntutan
hak
diserahkan
sepenuhnya
kepada
yang
berkepentingan. 70 Karena mengenai mempertahankan kepentingan para pihak sangat bergantung pada mereka sendiri, apakah hendak diajukan ke pengadilan atau tidak. Hal ini, membawa kepada arah bahwa hakim tidak dapat menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya walaupun belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :
69 70
Ibid, hal. 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),
hal. 10
Universitas Sumatera Utara
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Sehingga jika belum ada pengaturan tertulis dalam sebuah perkara hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. b. Hakim Bersifat Pasif Maksud kalimat hakim bersifat pasif ialah hakim hanya akan menyelenggarakan
perkara
yang
diajukan
oleh
para
pihak
yang
berkepentingan sesuai dengan ruang lingkup dan luas pokok sengketa dengan kata lain hakim hanya akan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. 71 c. Persidangan yang Terbuka
71
Ibid, hal. 12. Sebagai perbandingan asas hakim bersifat pasif diatas dengan penggalan kalimat”hakim hanya akan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”, dianggap sebagai peran hakim perdata yang aktif sehingga asas yang dianut ialah asas hakim yang bersikap aktif bukan pasif. Lihat Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 159
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya persidangan harus dilakukan secara terbuka kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, misalnya pada perkara perdata perceraian. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup akan tetapi dalam pembacaan putusan persidangan kembali terbuka untuk umum. Jika sebuah persidangan tidak dilakukan secara terbuka untuk umum maka persidangan dianggap tidak sah. Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : “(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Tujuan adanya asas, agar dalam persidangan terdapat kontrol masyarakat atau sosial sehingga persidangan dapat berjalan secara objektif. 72
72
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal.14
Universitas Sumatera Utara
d. Mendengar Kedua Belah Pihak Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Pasal 156 R.Bg/132 H.I.R, berbunyi : “Jika menurut pertimbangan ketua supaya perkara berjalan dengan baik dan teratur, Ketua berwenang pada waktu memeriksa perkara memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan kepada mereka tentang upaya hukum dan alat bukti yang dapat dipergunakan oleh mereka”. Kedua peraturan di atas mengandung pengertian, setiap pihak-pihak yang berperkara harus didengar atau diperlakukan sama serta diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Hal ini berarti dalam pengajuan alat bukti baik berupa surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 73 Asas ini dalam bahasa asing disebut audi et alteram partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede. 74
73 74
Ibid, hal. 15 Ibid
Universitas Sumatera Utara
e. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan-Alasan Asas ini bertujuan agar dalam menjatuhkan putusan hakim tidak bertindak sewenang-wenang sehingga putusan itu memiliki wibawa. 75 Dalam menjatuhkan putusan hakim dalam pertimbangannya tidak jarang menggunakan doktrin atau yuriprudensi sebagai landasannya. 76 Asas ini tercantum dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”. f. Beracara Dikenakan Biaya Biaya perkara dalam acara perdata yang dikeluarkan meliputi biaya kepaniteraan, biaya untuk panggilan, pemberitahuaan para pihak, biaya materai dan biaya pengacara jika para pihak menggunakan pengacara. 77 Hal tersebut tidaklah mutlak, jika para pihak tidak tidak mampu untuk membayar biaya perkara maka dapat mengajukan gugatan cuma-cuma.
75
Ibid Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 22 77 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 17 76
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan hukum acara sekarang telah membawa asas beracara dikenakan biaya menjadi lebih ringan yang disebabkan karena peradilan sekarang ini dituntut untuk melaksakan proses beracara secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. 78 g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan H.I.R tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. 79 Akan tetapi, jika para pihak mengiginkan diwakili oleh kuasa atau pengacara dalam hukum acara perdata dibolehkan. Pasal 147 R.Bg/123 H.I.R, berbunyi : “Kedua belah pihak, jika mereka menghendaki dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa yang untuk maksud itu harus dilakukan dengan suatu surat kuasa khusus kecuali badan yang memberi kuasa itu hadir sendiri ”. L. J. Van Apeldoorn berpendapat lain bahwa “dalam acara perdata para pihak diwajibkan untuk didampingi oleh seorang kuasa atau 78
Pada literatur lain asas ini disebut asas pemeriksaan sederhana, cepat dan ringan. Lihat Bachan Mustafa, Op.Cit, 160. Kemudian terdapat pula literatur yang meyatukan asas beracara dikenakan biaya dengan asas hakim bersifat menunggu. Pada dasarnya hal ini tidak masalah akan tetapi jika dilihat asas ini berbeda satu sama lainn jadi dalam penggolongan dan penjelesannya seharusnya berbeda dan tidak disatukan. Lihat F. Tengker, Hukum Suatu Pendekatan Elementer, (Bandung: Nova, 1993), hal. 99 79 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
pengacara”. 80 Hal ini disebabkan karena para pihak dianggap tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat acara. h. Probatio Plena Asas ini menitik beratkan pembuktian pada alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian penuh dan sempurna (Probatio Plena). Pada sistem pembuktian hukum acara perdata Indonesia yang menganut positief wettelijk bewijstheorie alat bukti yang memenuhi unsur penuh dan sempurna (Probatio Plena) ialah alat bukti tulisan atau surat dalam bentuk akta otentik. 81 i. Ultra Ne Petita Asas ini membatasi hakim. Artinya hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut, tidak boleh mengabulkan lebih daripada yang dituntut penggugat dan hanya terikat pada alat bukti yang sah atau preponderance of evidence. 82 j. Unus Testis Nullus Testis
80
L.J. Van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2009), hal. 253 81 Eddy O.S. Hiariej, Teori Dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hal. 48-50 82 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) hal. 65
Universitas Sumatera Utara
Secara harfiah arti kata unus testis nullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi. 83 Pasal 1905 KUHPerdata, berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya”.
Pasal 306 R.Bg/169 H.I.R, Berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain tidak dapat dipercaya didalam hukum”. Kedua peraturan di atas dan dihubungkan dengan asas Unus Testis Nullus Testis mengandung pengertian, dalam hukum acara perdata tidak diperkenankan saksi hanya 1 (satu) orang saja akan tetapi minimal 2 (dua) orang. Asas ini juga berlaku untuk hukum acara pidana. 84
83
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hal. 45 Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Lihat Pasal 185 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 84
Universitas Sumatera Utara
Asas-asas hukum acara perdata di atas secara umum dapat juga dilihat dalam hukum acara lainnya yang ada di Indonesia, seperti : beracara dikenakan biaya, hakim bersifat menunggu, tidak ada keharusan mewakilkan dan sebagainya. Kesamaan asas tersebut tidak langsung membuat hukum acara perdata menjadi sempit. Dalam hukum acara perdata 6 (enam) asas tersebut adalah asas pokok dalam pelaksanaan hukum acara perdata sedangkan dalam hukum acara lain, misalnya hukum acara pidana asas-asas tersebut di atas tidak menjadi asas-asas pokok dalam pelaksanaan hukum acara pidana. 85
B. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti 1. Definisi Alat Bukti Alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 1865-1945 KUHPerdata jo 282 R.Bg/162 H.I.R-314 R.Bg/117 H.I.R. Dalam rumusan pasal-pasal tersebut tidak ada yang menyebutkan secara tegas perihal pengertian alat bukti. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal pertama dari ketentuan yang mengatur hukum acara perdata.
85
Asas-asas pokok dalam hukum acara pidana, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), asas oportunitas, pemeriksaan langsung dan lisan, dan sebagainya. Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 10-24
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1865 KUHPerdata, berbunyi : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Pasal 283 R.Bg/163 H.I.R, berbunyi : “Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Bunyi 2 (dua) Pasal di atas cenderung menggambarkan tentang pihak yang harus membuktikan bukan pengertian alat bukti. Pengertian alat bukti sendiri dapat dilihat dari pendapat para ahli, kamus hukum atau kamus bahasa. Berikut beberapa Definisi dari alat bukti, yaitu : a. Alat bukti dapat didefinisikan “sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan”. 86
86
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit, hal. 52
Universitas Sumatera Utara
b. Alat bukti adalah “apa saja yang menurut undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undangundang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu tuduhan/guagatan”. 87 c. Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam merumuskan pengertian alat bukti menggunakan istilah alat pembuktian yang mengandung arti “berbagai macam bahan yang dibutuhkan oleh hakim, baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang diajukan oleh saksi untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau gugatan”. 88 d. Alat bukti (bewijsmiddel) adalah “bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan dipengadilan”. 89 e. James Fitzjames Stephen mengatakan “Evidence may be given in any proceeding of any fact in issue, and of any fact relevant to any fact in issue unless it is here in after declared to e relevant, and of any fact here in after declared to be deemed relevant to the issue: provided that the judge may exclude evidance of facts, which, though relevant or deemed to be relevat to the issue, appear to him too remote to be material under all the circumstances of the case”. 90
87
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal. 28 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 37 89 M. Yahya Harahap, Loc.Cit 90 Solomon E. Salako, Evidance, Proof And Justice : Legal Philosophy And The Provable In English Courts, (UK: Ventus Publishing, 2010), hal. 11 88
Universitas Sumatera Utara
(Bukti merupakan hal-hal dapat diberikan dalam setiap persidangan terhadap sebuah fakta dan semua fakta yang relevan dengan setiap fakta dalam masalah yang dipersidangkan akan tetapi asalkan hakim dapat mengecualikan bukti faktanya, yang meskipun relevan atau dianggap relevan dengan masalah ini, tampak terlalu jauh untuk menjadi bahan dalam semua keadaan dari kasus tersebut dapat dikecualikan) Dari beberapa definisi diatas jelas bahwa alat bukti adalah bahan-bahan yang diajukan oleh para pihak untuk membuktikan dakwaan atau gugatan yang diajukan di pengadilan dan dapat pula berupa bahan-bahan yang digunakan untuk membantah dakwaan atau gugatan. Jadi sifatnya, para pihak yang berperkara harus secara maksimal membuktikan bahan-bahan yang digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan yang mana kesemuanya nanti akan dinilai oleh hakim yang memimpin perkara. Ada hal yang perlu dipahami dalam pengajuan alat bukti. Alat bukti yang dibenarkan untuk diajukan dalam persidangan ialah yang ditentukan undangundang, jika tidak maka : 91
91
M. Yahya Harahap, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak sah sebagai alat bukti; b. Oleh karena itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk menguatkan dalil atau bantahan yang dikemukakan. 2. Jenis-jenis Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Alat bukti merupakan sebuah alat yang diajukan para pihak untuk memberi keterangan dan penjelasan terhadap masalah yang diperkarakan di pengadilan yang mana pada hukum acara perdata tidaklah dapat dipandang hanya berlaku pada hukum acara perdata pengadilan umum saja akan tetapi berlaku juga dalam hukum acara perdata di pengadilan agama. 92 Sehingga alat bukti dalam hukum acara perdata di pengadilan umum dan hukum acara di pengadilan agama adalah sama. Hukum acara perdata yang ada di pengadilan agama adalah cerminan dari Hukum Islam. Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang ada di Indonesia memiliki pandangan tersendiri terhadap alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata Indonesia. 93
92
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Lihat Pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama. 93 Di Indonesia berlaku 3 (tiga) sistem hukum : hukum adat, hukum islam dan hukum barat dengan segala perangkat dan persyaratan siapa saja dan dalam aspek atau esensi apa saja yang harus mematuhi hukum dari ketiga sistem tersebut. Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2002) hal. 111
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum acara perdata Indonesia pengaturan alat bukti diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) jo Pasal 164 H.I.R/284 R.Bg, terdiri dari : a. Surat atau bukti tulisan; b. Saksi; c. Persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpah. Berikut akan diuraikan mengenai alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata di Indonesia dipandang dari segi KUHPerdata, H.I.R/R.Bg dan Hukum Islam, yaitu : a. Surat Atau Bukti Tulisan Alat bukti surat atau tulisan diatur, yaitu : 1) Pasal 163, 164, 285-305 R.Bg kecuali pasal 295 R.Bg telah dicabut dengan stbld 1927 No. 576; 2) Pasal 137, 138, 165 dan 167 H.I.R; 3) Pasal 1867-1894 KUHPerdata kecuali Pasal 1882 KUHPerdata telah dihapus. Alat bukti surat atau tulisan, menurut Sudikno Mertokusumo adalah “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan sebagai pembuktian”. 94 Sifat pengertian di atas bila dipahami adalah kumulatif, artinya jika sebuah surat atau tulisan hanya berisi tanda-tanda bacaan tidak berisi buah pikiran atau bukan berisi curahan isi hati seseorang ataupun berisi buah pikiran atau curahan hati seseorang tetapi tidak memuat tanda-tanda bacaan maka sebuah surat atau tulisan tidak dapat dijadikan alat bukti, ia dapat dijadikan alat bukti jika memenuhi semua unsur yang diutarakan oleh Sudikno Mertokusumo di atas. Definisi bukti tulisan atau surat menurut Sudikno Mertokusumo di atas sedikit berbeda dengan yang diutarakan oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa pengertian tulisan dari segi yuridis dalam kaitannya dengan alat bukti harus memenuhi beberapa aspek, yaitu : 95 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Memiliki tanda bacaan, berupa aksara; Disusun berupa kalimat pernyataan; Ditulis pada bahan tulisan; Ditanda tangani pihak yang membuat; Foto dan peta bukan tulisan; Mencantumkan tanggal. Akan tetapi, perlu dipahami walaupun terjadi perbedaan dalam
memberikan definisi bukti tulisan atau surat tetap merupakan alat bukti utama dalam hukum acara perdata dibanding alat bukti yang lain. Alat bukti surat atau
94 95
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 149 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 559-560
Universitas Sumatera Utara
tulisan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : akta dan surat-surat lain bukan akta (surat biasa). 96 1) Akta yang merupakan bagian dari alat bukti surat atau tulisan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : akta otentik dan akta di bawah tangan. 97 a) Akta otentik adalah suatu akta atau surat yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. 98 Dari pengertian di atas, maka akta otentik dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : akta yang dibuat oleh pegawai-pegawai umum (acte ambtelijk) dan akta yang dibuat dihadapan oleh pegawai-pegawai umum (acte partij). (1) Akta yang dibuat oleh pegawai-pegawai umum (acte ambtelijk) merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang. Artinya, inisiatif pembuatan akta berasal dari orang yang namanya tercantum didalamnya. Misalnya, berita acara yang dibuat oleh panitera pengganti. 99
96
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit Ibid 98 Lihat Pasal 1868 KUHPerdata 99 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 84 97
Universitas Sumatera Utara
(2) Akta yang dibuat di hadapan oleh pegawai-pegawai umum (acte partij) merupakan akta yang dibuat atas usulan dari para pihak yang berkepentingan di hadapan para pejabat umum yang berwenang. Misalnya akta notaril pelepasan ganti rugi dan lain sebagainya. 100 Dalam pembuktian di persidangan akta otentik baik berupa akta yang dibuat oleh pegawai-pegawai umum (acte ambtelijk) dan akta yang dibuat di hadapan oleh pegawai-pegawai umum (acte partij) adalah sama, yaitu: 101 1) Bila terpenuhi syarat formil dan materiil maka : a) Pada akta otentik itu langsung memenuhi batas minimal pembuktian sehingga tanpa harus didampingi alat bukti lain; b) Langsung sah sebagai alat bukti; c) Pada dirinya langsung melekat nilai kekuatan pembuktian : sempurna (vooledig) dan mengikat (bindende) d) Hakim wajib dan terikat :
100 101
Ibid M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 583-584
Universitas Sumatera Utara
(1) Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna; (2)
Harus
menganggap
apa
yang
didalilkan
atau
dikemukakan cukup terbukti; (3) Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut, sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa. 2) Kualitas kekuatan pembuktian akta otentik, tidak bersifat memaksa (dwingend) atau menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti lawan disebut kekuatan bukti luar. b) Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat umum. 102 Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan lebih rendah dari pada akta otentik karena sifat pembuktiannya hanya harus memenuhi syarat materil dan syarat formil saja. Walaupun demikian, akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian sama dengan akta otentik jika isi akta di bawah tangan itu diakui oleh orang-orang atau pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut tetapi jika
102
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 158
Universitas Sumatera Utara
para pihak yang menandatangani akta itu mengingkarinya maka hakim memerintahkan agar kebenaran akta tersebut diperiksa. 2) Surat-surat lain bukan akta (surat biasa) terdiri atas surat-surat urusan rumah tangga, register-register dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selama dipegangnya. 103 Kekuatan pembuktian dari surat-surat lain bukan akta (surat biasa), tergantung di tangan pertimbangan hakim. 104 Sedangkan salinan suatu alat bukti surat atau tertulis dapat dikatakan sesuai dengan aslinya, artinya dalam proses pengajuan alat bukti dipersidangan salinan yang diajukan harus juga mengajukan bentuk asli dari salinan tersebut akan tetapi jika tidak dapat mengajukan bentuk aslinya maka salinan sebagai alat bukti dapat ditolak. 105 Pengajuan salinan sebagai alat bukti juga harus dibubuhi materai Rp. 6000,- (enam ribu rupiah). 106 Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia jelas surat atau bukti tulisan memiliki kedudukan utama sebagai alat bukti. Akan tetapi alat bukti tulisan atau surat dalam Hukum Islam tidaklah dapat dikatakan sebagai
103
Lihat Pasal 1881 KUHPerdata Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hal.35 105 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 166 106 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: Alumni, 2009), hal. 21 104
Universitas Sumatera Utara
alat bukti yang utama, ia tergantung kondisi dan keadaan. Hal ini tergambar dari pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yaitu : 107 1) Bukti tulisan didalamnya oleh hakim dinilai telah terdapat sesuatu yang bisa dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan terhadap seseorang, sehngga imperatif sebagai alat bukti yang mengikat. Para ulama dalam masalah ini telah berselisih pendapat, ada tiga riwayat dari Ahmad yang salah satunya menyebutkan apabila alat bukti tulisan itu telah diyakini sebagai tulisannya, dipandang sebagai alat bukti yang sah meskipun dia lupa isinya; 2) Bukti tulisan tersebut tidak dipandang sebagai alat bukti yang sah, sampai ia mengingatnya; 3) Bukti tulisan tersebut dipandang sebagai alat bukti yang sah apabila didapati arsipnya dan dia telah menympannya, jika tidak demikian maka tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah.
Dalam Hukum Islam bukti surat atau tulisan tidak ada pembagiannya sama sekali. Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Namun perlu dipahami dalam proses persidangan di pengadilan agama alat bukti surat tidaklah boleh melangkahi Hukum Materil Islam, karena Hukum Materil Islam memiliki kaidah-kaidah tertentu yang tidak boleh dilanggar. Misalnya seorang muslim sebelum meninggal membuat akta hibah dihadapan notaris dengan isi memberikan kepada anak angkatnya harta sebesar ⅔ dari yang dimilikinya. Kemudian merasa tidak adil akan hal ini anak kandung pewaris menggugat ke pengadilan agama. Dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia akta hibah itu memiliki kekuatan sebagai akta otentik artinya
107
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 66-67
Universitas Sumatera Utara
pembuktiaanya sempurna namun dalam putusan hakim pengadilan agama justru memenangkan gugatan anak kandung pewaris dengan alasan bahwa anak angkat hanya berhak menerima ⅓ dari harta yang dimilikinya. b. Saksi Alat bukti saksi diatur dalam, yaitu : 1) Pasal 165-176 R.Bg, 178-179 R.Bg, dan 306-309 R.Bg; 2) Pasal 139-148 H.I.R, 150-152 H.I.R dan 169-172 H.I.R; 3) Pasal 1895-1912 KUHPerdata kecuali Pasal 1896-1901, 1904, 19131914 KUHPerdata dihapus. Saksi dalam pengaturan pasal di atas tidak ditemukan sama sekali definisinya. Namun, Sudikno Mertokusumo memberi pengertian tentang saksi dengan menambah imbuhan ke- dan akhiran -an pada kata saksi sehingga menjadi kata kesaksian. Kesaksian adalah “kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan”. 108 Saksi atau kesaksian tidaklah boleh hanya 1 (satu) orang saja karena keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada alat bukti lain tidak dapat
108
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit
Universitas Sumatera Utara
diterima dalam hukum yang disebut unus testis nullus testis. 109 Selain sifat saksi ini ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam kesaksian, yaitu : 110 1) Saksi dalam memberi keterangan harus berdasarkan peristiwa yang dialami sendiri; 2) Saksi dalam memberi keterangan bukan bersifat pendapat atau dugaan; 3) Kesaksian yang diperoleh atau didengar dari orang lain tidak dapat diterima sebagai keterangan saksi disebut testimonium de auditu. Dalam proses pembuktian saksi atau kesaksian di pengadilan setiap orang yang mengalami peristiwa yang disengketakan dapat memberikan keterangan akan tetapi dalam undang-undang tentukan lain. Di dalam undang-undang secara garis besar ada 2 (dua) golongan yang memiliki kekhususan tersendiri. Golongan tersebut, yaitu : 111 1) Golongan pertama ialah yang tidak dapat didengarkan sebagai saksi, terdiri dari : a) Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak; b) Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu dan keponakan di dalam daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli diatur menurut adat setempat (R. Bg); c) Istri atau suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai; d) Anak-anak yang idak dapat diketahui atau belum cukup umur 15 tahun; e) Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya. 2) Golongan kedua ialah yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, terdiri dari : 112 a) Saudara laki-laki dan perempuan dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
109
Ibid, hal. 170 Ibid, hal. 167-168 111 Pasal 172 R. Bg/145 H.I.R. Lihat dalam K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal. 31 112 Pasal 174 R. Bg/ 146 H.I.R. Ibid, hal. 32 110
Universitas Sumatera Utara
b) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak; c) Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, dalam hal yang semata-mata tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu. Dalam proses pembuktiannya saksi atau kesaksian memiliki kekuatan pembuktian tersendiri, yaitu : 113 1) berkualitas sebagai bukti bebas (vrij bewijskracht) dalam arti, hakim bebas menerima atau menolaknya; 2) tidak berkualitas sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian sempurna atau memaksa (dwingende bewijskracht). Hal di atas menunjukkan bahwa saksi atau kesaksian dalam kekuatan pembuktiaannya bukan dari keterangan yang diberikan akan tetapi berdasarkan pertimbangan hakim. Dalam Hukum Islam alat bukti saksi dikenal dengan istilah as syahadah 114 atau Bayyinah 115. Saksi dalam Hukum Islam bukanlah pelengkap seperti dalam hukum acara perdata di Indonesia, ia berkedudukan sama dengan bukti tulisan atau surat bersifat diajukan bukan diwajibkan. Hal ini jelas memberi pengertian bahwa kekuatan pembuktian saksi dalam Hukum Islam
113
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 683 Anshoruddin, Op.Cit, hal. 73 115 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hal. 44-45 114
Universitas Sumatera Utara
adalah berdasarkan pertimbangan hakim. Selain itu, dalam hukum acara perdata Islam dibolehkan saksi testimonium de auditu dibenarkan, dimana hal ini berbanding terbalik dengan hukum acara perdata Indonesia yang tidak memperbolehkan hal tersebut. 116 c. Persangkaan Persangkaan diatur dalam, yaitu : 1) Pasal 310 R.Bg; 2) Pasal 173 H.I.R; 3) Pasal 1915-1922 KUHPerdata. Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah peristiwa yang tidak terkenal. 117 Definisi persangkaaan di atas, menerangkan bahwa secara umum persangkaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 1) Persangkaan oleh undang-undang Persangkaan oleh undang-undang atau yang disebut wettelijke atau rechtsvermoedens, praesumptiones juris adalah persangkaan yang berdasarkan
116 117
Ibid, hal. 80-82 Lihat Pasal 1915 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatanperbuatan tertentu-atau peristiwa-peristiwa tertentu. 118 Persangkaan-persangkaan di atas diantaranya, yaitu : 119 a) Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena sematamata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang; b) Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu; c) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak; d) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak. Sudikno Mertokusumo membagi persangkaan oleh undang-undang dibagi menajdi 2 (dua), yaitu : 120 a) Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan; b) Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan. 2) Persangkaan oleh hakim Persangkaan oleh hakim atau yang disebut feitelijke atau rechterlijke vermoedens, praesumptiones facti merupakan persangkaan yang dilakukan
118
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 179 Ibid, hal. 179-180 120 Ibid, hal. 178-179 119
Universitas Sumatera Utara
oleh hakim setelah memeriksa perkara. 121 Dari segi definisi persangkaan oleh hakim tidaklah memiliki definisi yang jelas dalam pengaturan yang terdapat dalam undang-undang. Hanya pada Pasal 1922 KUHPerdata dan Pasal 310 R.Bg/173 H.I.R, menyebutkan bahwa persangkaan yang tidak diatur oleh undang-undang diserahkan kepada keyakinan hakim dan pada saat penjatuhan putusan oleh hakim persangkaan oleh hakim harus seksama dan sesuai dengan perkara yang disengketakan. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa persangkaan baik oleh undang-undang maupun oleh hakim berdasarkan pertimbangan hakim. Hukum Islam, persangkaan disebut qarinah. Tidak jauh berbeda dengan hukum acara perdata Indonesia persangkaan atau qarinah memiliki kemiripan dalam hal penggolongannya, dimana persangkaan oleh undangundang disebut qarinah qonuniyyah dan persangkaan oleh hakim disebut qarinah qodloiyyah. 122 Meskipun demikian tidak semua qarinah yang dapat dijadikan alat bukti. Kriteria yang dapat dijadikan alat bukti harus jelas dan meyakinkan sehingga tidak dapat dibantah lagi oleh manusia yang berakal. Kriteria lainnya adalah semua qarinah menurut undang-undang di lingkungan peradilan
121 122
Ibid, hal. 178 Anshoruddin, Op.Cit, hal. 88
Universitas Sumatera Utara
sepanjang tidak jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Islam yag disebut qarinah wadlihah.123 Kekuatan pembuktian qarinah dalam Hukum Islam jika telah memenuhi syarat diatas mengikat. Hal ini dapat dilihat ketika Nabi Muhammad SAW pernah menggunakan qarinah, yaitu memberikan barang yang hilang diketemukan kemudian diberikan kepada orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barang itu. 124 d. Pengakuan Pengakuan diatur dalam, yaitu : 1) Pasal 311-313 R.Bg; 2) Pasal 174-176 H.I.R; 3) Pasal 1923-1928 KUHPerdata. Pengakuan adalah pernyataan dari salah satu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan atau hal tertentu yang dapat dilakukan di depan sidang atau di luar sidang pengadilan. 125 Berdasarkan uraian di atas, pengakuan dapat dilakukan di depan sidang atau di hadapan hakim dan di luar sidang. Pengakuan di depan sidang atau di hadapan hakim pada prinsipnya tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) atau hakim harus menerimanya 123
Ibid, hal. 89 Ibid 125 Lihat Pasal 1923 KUHPerdata 124
Universitas Sumatera Utara
secara penuh dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian atau menolak sebagian lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu. Dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan pengakuan seperti ini dibagi menjadi
3 (tiga),
yaitu : 126 1) Pengakuan murni Pengakuan murni (aveu pur et-simple) adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. 2) Pengakuan dengan kualifikasi Pengakuan dengan kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie) adalah pegakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. 3) Pengakuan dengan klausula. Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complex) adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Ada hal yang cukup menarik dalam pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini, yaitu terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap berbeda dalam penentuan beban pembuktian atas pengakuan tersebut. Putusan tersebut, yaitu :
126
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 183-184
Universitas Sumatera Utara
1) Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1951, No. 29K/Sip/1950 dimana terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan pembuktiannya dibebankan kepada penggugat. 127 2) Putusan Mahkamah 22K/Sip/1973
Agung tanggal 25
dimana
terhadap
November 1976,
pengakuan
yang
tidak
No. boleh
dipisah-pisahkan pembuktiannya hakim bebas menentukan dibebankan kepada siapa saja baik itu kepada penggugat atau tergugat. 128 Kedua putusan di atas, jelas menggambarkan perbedaan akan tetapi dari segi prinsip keadilan yang dianut dalam hukum maka putusan Mahkamah Agung tanggal 25 November 1976, No. 22K/Sip/1973 yang lebih tepat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum, yaitu yuriprudensi dan seharusnya wajib diikuti oleh hakim lainnya. Kekuatan pembuktian dari pengakuan ini adalah sempurna jika di ucapkan di hadapan hakim atau di dalam persidangan, artinya sempurna memberatkan orang yang mengucapkannya baik sendiri maupun dengan
127
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama, (Bandung: Alumni, 1993),
128
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 427
hal. 43
Universitas Sumatera Utara
bantuan orang lain. Sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 129 Dalam Hukum Islam pengakuan disebut dengan ikrar. Ikrar dalam Hukum Islam mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena ia dapat dijatuhkan putusan bila telah dilakuan ikrar tanpa perlu bantuan alat bukti lainnya. 130 Pengakuan yang paling kuat ialah pengakuan dari tergugat. Ada hal yang harus diperhatikan dari orang-orang yang memberikan pengakuan, yaitu : berakal, dewasa, tidak dipaksa dan bukan orang di bawah pengampuan. 131 Syarat-syarat orang yang memberi ikrar tersebut adalah kumulatif, jadi jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka ia tidak bisa memberi ikrar. e. Sumpah Sumpah diatur dalam, yaitu : 1) Pasal 175-176 R. Bg, 182-185 R. Bg, 314 R. Bg; 2) Pasal 147-148 H.I.R, 155-158 H.I.R, 177 H.I.R; 3) Pasal 1929-1945 KUHPerdata. Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi
129
Bambang Waluyo, Op.Cit, hal. 40-41 Anshoruddin, Op.Cit, hal. 93 131 Ibid, hal. 95 130
Universitas Sumatera Utara
keterangan atau janji tidak benar akan dihukum oleh-Nya. 132 Menurut Sudikno Mertokusumo, definisi sumpah diatas mengandung 2 (dua) macam sumpah, yaitu: 133 sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir. Contohnya, sumpah saksi dan sumpah saksi ahli. Sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar, disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Dalam H.I.R/R.Bg dan KUHPerdata, dikenal adanya 3 (tiga) buah sumpah, yaitu : 134 1) Sumpah Suppletoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi dasar putusannya. 2) Sumpah penaksiran atau aestimatoir atau schattingseed adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. 3) Sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.
Kekuatan pembuktian ketiga sumpah diatas, berbeda satu sama lain kecuali sumpah pelengkap dan penaksiran. Kedua kekuatan pembuktian sumpah ini hanya sebatas pada sempurna dan mengikat akan tetapi tidak menentukan sehingga terhadap kedua buah sumpah tersebut dapat diajukan bukti lawan. Sedangkan sumpah pemutus kekuatan pembuktiannya ialah sempurna, mengikat 132
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 187 Ibid 134 Kurdianto, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991) hal. 71-76 133
Universitas Sumatera Utara
dan menentukan yang mana sumpah ini jelas tidak bisa diragukan pembuktiannya. Artinya, sumpah pemutus tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu. 135 Dalam Hukum Islam, sumpah disebut yamin atau qosamah yang bermakna kekuatan. 136 Dalam sumpah kekuatan pembuktiannya mengikat dan sempurna karena pada hakikatnya sumpah dalam Islam adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan dengan nama Allah SWT, bahwa ucapannya itu benar dengan mengingat sifat Maha Kuasa dari Allah dan percaya siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan memperoleh siksaan-Nya. Dalam Islam setiap sumpah dapat dilakukan penolakan. Hanya penolakan sumpah ini masih belum ada kesepahaman antara ulama boleh dilakukan atau tidak dilakukan. 137 Kecenderungan tersebut membawa ke arah bahwa penolakan sumpah itu tergantung kepentingan para pihak. Artinya, tergantung pada keyakinan hakim, apakah sumpah dapat dilakukan penolakan atau tidak. Di samping 5 (lima) alat bukti diatas, dalam praktek pengadilan terdapat pula pemeriksaan setempat (diatur Pasal 180 R. Bg/153 H.I.R) dan keterangan ahli (datur Pasal 181 R. Bg/154 H.I.R) yang sering juga dianggap alat bukti.
135
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 777-778 Anshoruddin, Op.Cit, hal. 99 137 Ibid, hal. 102-104 136
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan setempat atau decente adalah “pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastan tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.138 Perlu dipahami bahwa hakim dalam hal ini bukan berarti terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan akan tetapi hakim dapat mengangkat seorang atau 2 (dua) komisaris dengan bantuan panitera pengadilan yang nantinya hasil pemeriksaan setempat mereka dapat menjadi keterangan bagi hakim.139 Keterangan ahli atau expertise adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. 140 Hukum
Islam
juga
mengatur
mengenai
pemeriksaan
setempat
(al-mua’yanah annazhru) dan keterangan ahli (al-khubara-u). 141 Akan tetapi, berbeda dengan hukum acara perdata Indonesia, pemeriksaan setempat dan keterangan ahli secara tegas dinyatakan sebagai alat bukti tidak seperti hukum acara perdata Indonesia. Dari semua uraian di atas hal yang paling menarik ialah dalam Hukum Islam alat bukti utama ialah pengakuan dan sedangkan alat bukti surat 138
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 195 Pasal 180 R. Bg/153 H.I.R. Lihat dalam K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal. 33-34 140 Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit 141 Anshoruddin, Op.Cit, hal. 107-114 139
Universitas Sumatera Utara
atau tulisan hanya sebagai alat bukti pendamping. Hal ini berbanding terbalik dengan hukum acara perdata yang menyatakan bahwa alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti utama sedangkan pengakuan hanya sebagai alat bukti pendamping. 3. Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Perdata Alat bukti dalam sistem pembuktian di Indonesia terbagi atas beberapa kategori, yaitu : 142 a. Oral Evidence, terdiri dari : 1) Perdata (keterangan saksi, pengakuan dan sumpah); 2) Pidana (keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa). b. Documentary Evidance, terdiri dari : 1) Perdata (surat dan persangkaan); 2) Pidana (surat dan petunjuk). c. Material Evidance, terdiri dari : 1) Perdata (tidak dikenal); 2) Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan hasil tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak pidana dan informasi dalam arti khusus). d. Elektronic Evidance, terdiri dari : 1) Konsep pengelompokan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik, tidak dikenal; 2) Konsep tersebut terutama berkembang di negara-negara common law;
142
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009) hal. 100-101
Universitas Sumatera Utara
3) Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan alat bukti yang masuk kategori documentary evidance.
Eletronic Evidance atau alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti dalam sistem pembuktian di Indonesia setidaknya mendapat perhatian khusus. Perhatian khusus itu bukan hanya karena alasan diatas akan tetapi alat bukti elektronik juga menuntut adanya hukum pembuktian harus cukup fleksibel untuk menghadapi sifatnya yang cenderung sangat sulit untuk dibuktikan. 143 Salah satu bentuk kesulitan yang terdapat dalam alat bukti elektronik ialah ia sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. 144 Pembuktian alat bukti elektronik sangat penting dalam hukum acara di Indonesia, terutama dalam hukum acara perdata. Hal ini disebabkan karena hukum acara perdata yang bersifat mencari kebenaran formal saja, artinya apa yang benar atau menurut apa yang diajukan para pihak yang bersengketa. Alat bukti elektronik dapat mempunyai kekuatan hukum jika informasi dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. 145 Bagian alat bukti pada sistem pembuktian di Indonesia telah dijelaskan bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan dari cakupan documentary 143
David I. Bainbridge, Computer And The Law, diterjemahkan oleh Prasadi T. Susmaatmadja, Hukum Dan Komputer, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal 200 144 Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, (Bogor: Ghalia, 2009), hal. 91 145 Karjono, Perjanjian Lisensi Pengalihan Hak Cipta Program Komputer Transaksi Elektronik, (Bandung: Alumni, 2012), hal. 237
Universitas Sumatera Utara
evidance atau alat bukti surat. Akan tetapi, berbeda dengan Aspan Pulungan mengatakan “dalam hukum acara perdata alat bukti elektronik merupakan bagian dari tajdid atau pembaharuan hukum. Maksudnya dengan munculnya alat bukti elektronik ini maka ia dapat memperbaharui atau membangun kembali, menghidupkan kembali atau sebuah bentuk perbaikan agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan”. 146 Tidak jauh berbeda dengan S.B Hutagalung, ia mengatakan “munculnya alat bukti elektronik dalam hukum hukum acara perdata merupakan salah satu bentuk aspek pembaharuan hukum. Karena pada alat bukti elektronik
terdapat
sifat
memperbaiki
dan
menyesuaikan
diri
dengan
perkembangan zaman”. 147 Kedua pendapat di atas, pada dasarnya tidaklah salah akan tetapi dalam setiap undang-undang yang telah mencantumkan alat bukti elektronik sebagi alat bukti yang dapat digunakan dalam proses peradilan tidak ada mencantumkan bahwa alat bukti elektronik memiliki sifat pembaharuan hukum. Akan tetapi, terdapat 1 (satu) undang-undang yang menyatakan bahwa alat bukti elektronik merupakan salah satu bentuk perluasan hukum. hal ini dapat dilihat pada Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berbunyi:
146
Hasil wawancara dengan Aspan Pulungan, Hakim Pengadilan Agama, Pengadilan AgamaPengadilan Agama Medan, Medan, 5 Juni 2013. 147 Hasil wawancara dengan S.B Hutagalung, Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan NegeriPengadilan Negeri Medan, Medan, 12 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”. Bunyi Pasal di atas, memuat kata “perluasan” tidak terdapat kata pembaharuan. Jelas bahwa sifat bukti elektronik ialah perluasan hukum. Arinya, ia merupakan bagian dari alat bukti yang lama dimana alat bukti tersebut dapat dibuat dalam bentuk elektronik. Jadi, bukti elektronik dalam hukum acara perdata merupakan salah satu aspek perluasan hukum, walaupun tidak terdapat kata pembaharuan yang merupakan ia tetap bagian dari pembaharuan hukum. C. Tinjauan Umum Tentang Dokumen Elektonik 1. Definisi Dokumen Elektronik Secara yuridis definisi dokumen elektronik telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jo Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik berbunyi: “Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol aau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Edmon Makarim, “dokumen elektronik atau arsip elektronik adalah suatu data/informasi yang diolah oleh sistem informasi secara elektronis tersebut tentunya akan tersimpan dalam suatu media tertentu secara elektronis”. 148 Selanjutnya Rosyid berpendapat ”dokumen elektronik adalah dokumen yang diciptakan, dikomunikasikan, dan dikelola secara elektronik yang menggunakan teknologi komputer, dokumen tersebut bisa jadi karena memang diciptakan secara elektronik atau karena hasil alih media dari dokumen konvensional”. 149 Dalam Personal Information Protection and Electronic Document Act, dokumen elektronik/electronic document means data that is recorded or stored on any medium in or by a computer system or other similar device and that can be read or perceived by a person or a computer system or other similar device. It includes a display, print out or other output of that data. 150
(Dokumen elektronik adalah data yang direkam atau disimpan pada media apapun atau oleh sistem komputer atau perangkat lainnya yang sejenis dan yang dapat dibaca atau dipahami oleh seseorang atau sebuah sistem komputer atau prangkat sejenis lainnya. Ini termasuk layar, hasil cetak atau hasil cetak lain dari data). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dokumen elektronik adalah setiap informasi/data yang dibuat dan diteruskan secara elektronis sehingga dapat 148
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika : Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005) hal. 43 149 www.arsipjogjaprov.info/archieve/.../ROSYID.PengelolaanArsip.pdf, diakses 30 Juni 2013 150 http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/p-8.6/, Personal Information Protection and Electronic Document Act, diakses 30 Juni 2013
Universitas Sumatera Utara
didengar dan dibaca melalui komputer. Akan tetapi, dalam hukum acara khususnya hukum acara perdata sifat pendapat di atas tentang definisi dokumen elektronik harus dipahami sebagai petunjuk untuk memahami definisi dokumen elektronik yang terdapat dalam undang-undang. Tetap definisi yang digunakan dalam setiap penyelesaian perkara adalah definisi dokumen elektronik yang terdapat pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jo Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik. 2. Jenis-jenis Dokumen Elektronik Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik baik dalam bunyi pasal maupun penjelasan pasal demi pasal tidak secara tegas ditemukan yang menjadi jenis-jenis dari dokumen elektronik. Tetapi, jika melihat dalam definisi dokumen elektronik yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jo Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik berbunyi: “Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
Universitas Sumatera Utara
elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol aau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan yang menjadi jenis-jenis dokumen elektronik. Berikut jenis-jenis dari dokumen elektronik, yaitu: a. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 151 Informasi elektronik dapat dibagi menjadi : 1) Data elektronik adalah semua fakta yang direpresentasikan sebagai input baik dalam bentuk untaian kata (teks), angka (numerik),
151
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik
Universitas Sumatera Utara
gambar pencitraan (images), suara (voices), ataupun gerak (sensor). 152 2) Tulisan adalah hasil menulis; barang yang ditulis; cara menulis, karangan; buku-buku, dan gambaran; lukisan. 153 3) Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), bunyi bahasa (bunyi ujar), sesuatu yang dianggap sebagai perkataan. 154 4) Gambar adalah tiruan barang yang dibuat dengan coretan pensil dan sebagainya pada kertas dan sebagainya; lukisan. 155 5) Peta adalah gambar atau lukisan pada kertas dan sebagainya yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung dan sebaginya; representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat, seperti batas daerah, sifat permukaan; denah. 156 6) Rancangan adalah sesuatu yang sudah dirancang; hasil merancanng; rencana; program; desain. 157 7) Foto adalah potret, gambaran; banyangan; pantulan. 158 8) Elektronic Data Interchange (EDI) adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk pertukaran sebuah data dimana ia dapat digunakan dapat digunakan untuk mentransmisikan dokumen-dokumen secara
152
Edmon Makarim, Op.Cit, hal.34 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 1497 154 Ibid, hal. 1343 155 Ibid, hal. 409 156 Ibid, hal. 1066 157 Ibid, hal. 1139 158 Ibid, hal. 397 153
Universitas Sumatera Utara
elektronik seperti dokumen pemesanan pembelian, invoice, catatan pengangkutan barang, penerimaan advice dan koresponden bisnis standar lainnya di antara paramitra dagang. 159 9)
Surat elektronik (electronic mail) adalah pertukaran pesan antar komputer di internet, biasanya tertulis dalam bentuk teks bebas dibanding dalam format tertentu. 160
10) Telegram adalah berita yang dikirim dengan telegraf; kabar kawat.161 11) Teleks adalah suatu bentuk komunikasi antara dua terminal telephone dimana setiap terminalnya kelihatan seperti dan berfungsi seperti mesin ketik elektrik. Keduanya digunakan untuk menge-print sebuah data (record) yang dikomunikasikan. 162 12) Telecopy atau fax adalah salah satu bentuk transmisi elektronik yang
sesuai
International
dengan
standar
Telegraph
faksimili
and
yang
Telephone
dibuat
oleh
Consultative
Committee. 163 13) Huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa; aksara. 164
159
Rina Aringintri Moksi, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Secara E-Commerce, (Semarang: Tesis S2 Universitas Diponegoro, 2006), hal. 28 160 Insaini Yusran, Hak Cipta Dan Tantangannya Di Era Cyberspace, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 6 161 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 1425 162 Rina Aringintri Moksi, Op.Cit, hal. 27 163 Ibid, hal. 28 164 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 513
Universitas Sumatera Utara
14) Tanda adalah yang menjadi alamat atau yang menyesuaikan sesuatu, gejala, bukti, pengenal; lambang, petunjuk. 165 15) Angka adalah tanda atau lambang sebagai pengganti bilangan; nomor, nilai. 166 16) Kode akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya. 167 17) Simbol adalah lambang. 168 18) Perforasi adalah pembuatan lubang pada kertas, kartu dan sebagainya; pelubangan, lubang kecil pada kertas, karton dan sebagainya. 169 Terhadap informasi elektronik melekat kepadanya 2 (dua) kegiatan yang harus dilalui sehingga dapat dikatakan sebagai informasi elektronik. Kegiatan tersebut, yaitu: 1) diolah yang memiliki arti; 2) dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
165
Ibid, hal. 1393 Ibid, hal. 67 167 Lihat Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. 168 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 1308 169 Ibid, hal. 1054 166
Universitas Sumatera Utara
b. Tulisan adalah hasil menulis; barang yang ditulis; cara menulis, karangan; buku-buku, dan gambaran; lukisan. 170 c. Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), bunyi bahasa (bunyi ujar), sesuatu yang dianggap sebagai perkataan. 171 d. Gambar adalah tiruan barang yang dibuat dengan coretan pensil dan sebagainya pada kertas dan sebagainya; lukisan. 172 e. Peta adalah gambar atau lukisan pada kertas dan sebagainya yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung dan sebaginya; representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat, seperti batas daerah, sifat permukaan; denah. 173 f. Rancangan adalah sesuatu yang sudah dirancang; hasil merancanng; rencana; program; desain. 174 g. Foto adalah potret, gambaran; banyangan; pantulan. 175 h. Huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa; aksara. 176 170
Ibid, hal. 1497 Ibid, hal. 1343 172 Ibid, hal. 409 173 Ibid, hal. 1066 174 Ibid, hal. 1139 175 Ibid, hal. 397 171
Universitas Sumatera Utara
i. Tanda adalah yang menjadi alamat atau yang menyesuaikan sesuatu, gejala, bukti, pengenal; lambang, petunjuk. 177 j. Angka adalah tanda atau lambang sebagai pengganti bilangan; nomor, nilai. 178 k. Kode akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya. 179 l. Simbol adalah lambang. 180 m. Perforasi adalah pembuatan lubang pada kertas, kartu dan sebagainya; pelubangan, lubang kecil pada kertas, karton dan sebagainya. 181 Jenis-jenis dokumen elektronik di atas harus melalui beberapa tahapan sehingga dapat dikatakan sebagai dokumen elektronik. Tahapan tersebut, yaitu : a. dibuat; b. diteruskan; c. dikirimkan; d. diterima; 176
Ibid, hal. 513 Ibid, hal. 1393 178 Ibid, hal. 67 179 Lihat Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 180 Ibid, hal. 1308 181 Ibid, hal. 1054 177
Universitas Sumatera Utara
e. disimpan dalam beberapa bentuk : 1) Analog adalah berhubungan dengan sistem atau piranti kmputer yang menyajikan data yang bermacam-macam berdasarkan kualitas fisik yang terukur. 182 2) Digital adalah berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; behubungan dengan penomoran. 183 3) Elektromagnetik adalah berasal dari, berhubungan dengan, dihasilkan elektromagnetisme. 184 4) Optikal adalah media penyimpanan data elektronik yang dapat ditulis dan dibaca dengan menggunakan laser bertenaga rendah. 185 f. dilihat; g. ditampilkan; h. didengar; i. memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Tahapan dan jenis-jenis dokumen elektronik di atas harus diproses melalui 2 (dua) media, yaitu :
182
Ibid, hal. 59 Ibid, hal. 327 184 Ibid, hal. 363 185 http://top-ilmu.blogspot.com/2012/10/pengertian-optical-disk-dan-jenis.html, diakses tanggal 30 Juni 2013 183
Universitas Sumatera Utara
a. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika dan penyimpanan. 186 b. Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi
mempersiapkan,
mengumpulkan,
mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. 187 3. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik Dalam praktek dikenal dan berkembang apa yang dinamakan bukti elektronik. Hal ini diakibatkan pesatnya perkembangan teknologi informasi terutama melalui internet sehingga telah mengubah aktifitas-aktifitas kehidupan yang semula dilakukan secara kontak fisik kini cukup mengunakan cyberspace (dunia maya) yang berujung jika terjadi sengketa maka alat bukti yang digunakan adalah bukti elektronik. 188 Salah satu bukti elektronik ialah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Pengaturan informasi elektronik dan dokumen elektronik terdapat pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik. Sebelum keluarnya undang-
186
Lihat Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 187 Lihat pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 188 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit, hal. 97-99
Universitas Sumatera Utara
undang tersebut pengaturan yang mengarah kepada penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sudah ada, yaitu : 189 a. Dikenalnya online trading dalam kegiatan bursa efek; b. Pengaturan mikrofilm sebagai media penyimpanan dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. Sebagai alat bukti, informasi elektronik dan dokumen elektronik dapat dipercaya menjadi alat bukti jika dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu : 190 a. Menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproduksi print-out; b. Proses data seperti pada umumnya denga memasukkan inisial dalam sistem pengelolaan arsip yang dikomputerisasikan; c. Menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data dituliskan oleh seseorang yang mengetahui peristiwa hukumnya. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: 191 a. Mengkaji informasi yang diterma untuk menjamin keakuratan data yang dimasukkan; b. Metode penyimpanan dan tindakan pengambilan data untuk mencegah hilangnya data waktu disimpan; c. Penggunaan program komputer yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan untuk memproses data; d. Mengukur uji pengambilan keakuratan program; e. Waktu dan persiapan model print-out komputer.
189
Ahmad M. Ramli, Menuju Kepastian Hukum Dibidang : Informasi dan Transaksi Elektronik, (Jakarta: Departemen Komunikasi Dan Informasi, 2007), hal. 46 190 Ibid, hal. 43 191 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Syarat-syarat diatas, tidak hanya berlaku bagi dokumen elektronik maupun informasi elektronik akan tetapi juga berlaku untuk alat bukti elektronik lainnya. Contoh alat bukti elektronik lainnya ialah tanda tangan digital
(digital
signature), e-contract, teleconference, dan lain sebagainya.
D. Pengaturan Dokumen Elektronik yang Terdapat Pada Beberapa Undang-Undang Sistem hukum acara perdata Indonesia, menurut sistem Herziene Indonesiche Reglement/Rechtsreglement voor de Buitengewesten (H.I.R/R.Bg) hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan kepada alat-alat bukti yang sah. Artinya, yang diatur didalam H.I.R/R.Bg yang dapat dipakai oleh hakim. Namun, perkembangan zaman telah membawa kearah yang bersifat elektronik termasuk pula munculnya alat-alat bukti elektronik. Salah satu alat bukti elektronik ialah dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah salah satu bukti elektronik yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana pada undang-undang ini, secara tegas dinyatakan bahwa ia sah sebagai alat bukti di pengadilan khususnya pada peradilan perdata. Pada bagian ini yang menjadi sangat menarik merupakan persoalan eksistensi atau keberadaan dokumen elektronik pada peraturan perundang-undangan lainnya. Karena setelah mengetahui jenis-jenis dokumen elektronik pada uraian
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya maka dapat dilakukan inventarisasi keberadaan dokumen elektronik dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Berikut merupakan inventarisasi keberadaan dokumen elektronik dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu : 1. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang terbaru diajukan pada tahun 2005. 192 Sebagai sebuah rancangan maka sifatnya belum berlaku dan berhak untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan hukum acara perdata Indonesia. Akan tetapi, rancangan ini dapat memberi gambaran bagaimana pengaturan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata Indonesia di masa mendatang. Pasal 90 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata berbunyi: “Pembuktian dapat dilakukan dengan semua alat bukti, kecuali undangundang menentukan lain”. Jika dilihat dari rumusan pasal di atas maka alat bukti yang dapat digunakan cenderung berbeda dengan H.I.R/R.Bg maupun KUHPerdata karena pada aturan ini sifat alat buktinya ialah limitatif atau membatasi pada
192
ditjenpp.kemenkumham.go.id/rancangan/inc/buka.php?..pdf, diakses 30 Juni 2013
Universitas Sumatera Utara
aturan tersebut kalaupun ada alat bukti lain yang terdapat pada aturan lain yang mengatur alat bukti maka ia harus merujuk dulu pada alat bukti pokok yang diatur pada hukum acara perdata, baru alat bukti lain dapat masuk untuk melengkapinya. Hal ini berbanding terbalik dengan bunyi Pasal diatas yang menunjukkan alat bukti diakui secara bebas, artinya apa saja dapat dijadikan alat bukti dalam hukum acara perdata. Dengan demikian eksistensi dokumen elektronik yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik lebih diakui dan bisa menjadi alat bukti utama atau tidak perlu didahului oleh alat bukti yang terdapat pada H.I.R/R.Bg maupun KUHPerdata atau bisa menggeser surat yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. 193 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang yang lahir atas dasar agar menjamin penyelenggaraan perusahaan secara efektif dan efisien ini memberikan sebuah metode penyimpanan dokumen perusahaan dalam bentuk mikrofilm atau media lainnya. Dokumen perusahaan yang tersimpan dalam mikrofilm atau media lainnya, tetap didampingi dengan dokumen asli.
193
Efa Laela Fakhriah, Op.Cit, Hal. 68
Universitas Sumatera Utara
Pada Pasal 15 ayat (1), berbunyi: “Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana yang dimaksud pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah”. Bunyi Pasal di atas dengan tegas menyatakan kalau mikrofilm ialah alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti yang sah, mikrofilm merupakan awal pengakuan dapat digunakan dokumen elektronik dalam bentuk mikrofilm sebagai alat bukti dalam proses penyelesaian sengketa. Kemudian secara khusus mengenai dokumen elektronik telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elekronik. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 maka tata cara pendaftaran perusahaan yang dilakukan melalui SISMINBAKUM pada Pasal 9 dapat pula dikategorikan sebagai alat bukti yang sah dan tergolong sebagai dokumen elektronik. Karena proses pendaftaran yang dilakukan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut dilakukan secara
Universitas Sumatera Utara
elektronik dimana memuat antara lain akta pendirian perusahaan dan sebagainya. 3. Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Pada undang-undang ini, pembuktian terdapat pada Pasal 41 UndangUndang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi berbunyi: “Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan penggunaan jasa telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Pasal di atas terdapat kata-kata ”perekaman informasi”. Perekaman informasi termasuk salah satu jenis dokumen elektronik, yakni suara yang didengar. Namun, khusus pada Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, alat buktinya hanya dapat dipakai untuk perkara pidana saja. 4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam undang-undang ini, dokumen elektronik juga diakui dan terletak pada Pasal 26 A berbunyi:
Universitas Sumatera Utara
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”.
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Pada pasal 27 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, terdapat pula tentang dokumen elektronik, yaitu : 1) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; 3) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuan di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) tulisan, suara, atau gambar
Universitas Sumatera Utara
b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya c) huruf, tanda, angka, simbol, atau angka perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca dan memahaminya.
Tidak jauh berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dokumen elektronik juga diakui sebagai alat bukti dengan jenis alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, dterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat serupa optik dan/atau dokumen. 194 6. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-undang tindak pidana perdagangan orang ini juga mengatur alat bukti elektronik dengan jenis dokumen elektronik, yakni Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuan di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada:
194
Lihat Pasal 38 huruf b dan c Rancangan Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Universitas Sumatera Utara
a. tulisan, suara, atau gambar b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya c. huruf, tanda, angka, simbol, atau angka perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca dan memahaminya. 195 7. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 96 huruf f Undang-Undang N. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: “Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundangundangan”. Penjelasan Pasal 96 huruf f berbunyi: “Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu dan/atau alat bukti data, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak berbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca”.
195
Lihat Pasal 29 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Universitas Sumatera Utara
Jika melihat penjelasan Pasal 96 huruf f diatas maka yang dimaksud alat bukti lain tersebut ialah dokumen elektronik. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti. 8. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dokumen elektronik pada undang-undang ini berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atu alat serupa optik dan dokumen. 196 Berdasarkan uraian di atas, dokumen elektronik yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, baik sebelum lahir dan setelah lahir undang-undang ini telah diakui keberadaannya dalam berbagai undang-undang. Dalam pengaturan undang-undang lain tidak disebut secara tegas dengan kata “dokumen elektronik”. Pada undang-undang lain tersebut yang disebut didalamnya ialah jenis-jenis dari dokumen elektronik yang mana mempunyai kedudukan sah sebagai alat bukti dalam persidangan. Uraian di atas dalam pengaturannya dokumen elektronik yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik selain sah sebagai alat bukti untuk hukum acara di Indonesia secara menyeluruh atau universal, khusus untuk 196
Pasal 73 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Universitas Sumatera Utara
hukum acara perdata hanya pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroaan Terbatas dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dokumen elektronik dapat digunakan dalam hukum acara perdata sedangkan undang-undang lainnya secara khusus mengatur penggunaan dokumen elektronik untuk hukum acara pidana.
Universitas Sumatera Utara