BAB II SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
A. Pengertian, asas, dan tujuan hukum acara pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Istilah hukum acara pidana sudah tepat dibandingkan dengan istilah “ hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana.Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undang-undang dibicarakan di Parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana.Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai.Orang Prancis menamainya Code d’Instruction Criminelle.Adapun istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Prosedure Rules.Dipakai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan saja undangundang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan. 15 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No.8 Tahun 1981), tidak dijelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberi defenisidefenisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan,
15
Andi Hamzah, Op Cit, hal 2.
21 Universitas Sumatera Utara
22
mengadili,
praperadilan,
putusan
pengadilan,
upaya
hukum,
penyitaan,
penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP). Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang hukum acara pidana, antara lain: a. Mochtar Kusuma Atmaja mendefenisikan bahwa yang dimaksud hukum acara pidana adalah
peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara
mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut sebagai hukum acara pidana). b. Wirjono Prodjodikoro memberikan defenisi hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. c. Andi. Hamzah menyatakan hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum pidana dalam arti luas. Hukum pidana dalam arti luas meliputi baik hukum pidana formal atau hukum acara pidana. d. Van Bemmelen, mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila dihadapkan suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di muka hakim suatu keputusan
Universitas Sumatera Utara
23
mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan. e. Simons mendefenisikan hukum acara pidana yang mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 16 Jadi, hukum acara pidana adalah hukum hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil (KUHP). Disamping kebenaran materiil perlu mendapat perhatian di dalam hukum acara pidana dengan menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan semestinya, akan tetapi lebih dari itu kesalahan materi harus diperhatikan, mengingat kesalahan maupun kebenaran dalam hukum akan menentukan sekali apakah seseorang itu dapat dihukum atau tidak, pidana harus mampu menemukan titik akhir tentang kebenaran yang sesungguhnya dan kesalahan yang sesungguhnya, sebab kerancuan atara keduanya akan mengakibatkan penginjakan hak asasi manusia dan ini berarti akan bertentangan dengan maksud diterapkannya KUHAP yaitu sebagai jaminan hak asasi manusia Indonesia dalam bidang hukum pidana 16
hal 13
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1977,
Universitas Sumatera Utara
24
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana Dalam hukum acara pidana dikenal beberapa asas atau prinsip-prinsip hukum acara pidana, yaitu : a. Asas Legalitas Legalitas berasa dari kata legal (Latin), aslinya legalis, artinya sah menurut undang-undang. Berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan kekeuatan perundang-undangan sebelumnya.” Disini (KUHP) dipakia istilah “ perundang-undangan pidana” sebagai salinan wettelijk strafbepaling dalam bahasa asli KUHP. Ini berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formil, seperti Peraturan Pemerintah dan Perda dapat merumuskan delik dan sanksi pidana. Adapun dalam hukum acara pidana dipakai istilah undang-undang (wet), sehingga hanya dengan undang-undang suatu pembatasan hak asasi manusi seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan, karena dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “ Bahan Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Universitas Sumatera Utara
25
b. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality Before the Law) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi; pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi; perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
c. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent) Asas ini dapat dijumpai dalam penjelasan dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi : “setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan.Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisitor, yang menempatkan tersangka/ terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenangwenang.Prinsip inkuisitor inkuisitor inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar
Universitas Sumatera Utara
26
bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. 17
d. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut di mana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut : 1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. 2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. 3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. 4) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. 5) Turunan berita acara akan diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. 6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/ terdakwa.
e. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP yang berbunyi, untuk keperluan sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai 17
Mohammad Taufik Makarao dan Suhansil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal 4
Universitas Sumatera Utara
27
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) ,mengakibatkan batalnya putusan demi hukum . Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak selayaknya proses jalannya sidang dipaparkan dan dipertontonkan di muka umum. Begitu juga dengan anak-anak, karena dalam persidangan jika persidangan itu terbuka untuk umum maka kemungkinan psikologis anak tersebut menjadi terganggu.Maka dari itu, terhadap kasus yang terdakwanya adalah seorang anak, hukum acara pidana tidak memberlakukan asas persidangan terbuka untuk umum. Untuk dapat mengetahui suatu persidangan tidak terbuka untuk umum, maka persidangan dilakukan di ruang sidang yang tertutup.Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim.Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak dapat dibanding. 18 Sifat terbuka untuk umum dari suatu proses pemeriksaan untuk umum dari suatu proses pemeriksaan perkara pidana tidak terletak pada dapatnya orang keluar masuk ruang sidang pengadilan, tetapi terletak pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan dapat dipertanggungjawabkan sedemikian rupa, sehingga the fair administration of justice tidak menjadi terdesak karenanya. Persidangan terbuka demi keadilan, hak seseorang atas persidanagan terbuka untuk umum tidak boleh
18
Andi Hamzah, Op Cit, hal 22
Universitas Sumatera Utara
28
mengakibatkan bahwa hak seseorang untuk diadili secara terbuka berubah sifatnya menjadi ianya diadili oleh orang banyak (publik). 19 Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 dan KUHAP Pasal 195 tegas menyatakan: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
f. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini bertujuan agar proses persidangan berjalan dengan mudah. Karena, jika penerapan sidang ternyata mempersulit para pihak, maka persidangan bejalan tidak efektif dan bahkan dapat melanggar hak-hak dan kepentingan para pihak. Jika persidangan dilakukan dengan berbelit-belit, maka penyelesaian kasus akan berjalan lambat. Sudah pasti hak asasi tersangka dilanggar, karena tersangka/ terdakwa dihadapkan oleh rasa ketidakpastian yang berlarut-larut disebabkan sangkaan atau dakwaan yang didakwakan kepadanya tanpa suatu penyelesaian akhir.
Dalam
KUHAP, dapat kita lihat beberapa ketentuan sebagai penjabaran dari asas peradilan cepat, dalam Pasal 50 dinyatakan “tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. 19
Alvi Syahrin,SH.MS, Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
29
Asas sederhana artinya cara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelitbelit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berunah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka, dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana. Biaya ringan dalam asas pengadilan adalah sedikitnya biaya yang dikeluarkan untuk pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan. Dalam hal ini tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar biaya yang diperlukan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh pencari keadilan. Pengadilan harus mempertanggungjawabkan uang tersebut kepada yang bersangkuta dengan mencantumkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.
g. Pemeriksaan hakim yang Langsung dan Lisan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakimg secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa, dimana hakim hakim bisa mengorek keterangan lebih jauh baik kepada terdakwa atau kepada saksi-saksi guna penyelesaian kasus.Ketentuan mengenai hal di atas diatur dalam Pasal 154,155 KUHAP, dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
30
Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau putusan in absentia.Tetapi ini merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP) dan dalam hukum acara pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak pidana Korupsi.
3. Tujuan Hukum Acara Pidana Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjtnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. 20 Menurut Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht” (Undang-Undang di Belanda yang memuat tentang Hukum Acara Pidana) bahwa yang terpenting dalam Hukum Acara Pidana adalah mencari dan memperoleh Kebenaran.Sementara itu , menurut doktrin ( pendapat para ahli Hukum) bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah :
20
Andi Hamzah, Op Cit, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
31
1. Mencari dan menemukan kebenaran materiil; 2. Memperoleh putusan Hakim; dan 3. Melaksanakan putusan Hakim. 21 Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), karena kemudian dilaksanakan oleh jaksa. 22Jaksa kemudian mendakwakan pelaku suatu kejahatan hukum, dan kemudian meminta pemeriksaan dan putusan pemgadilan guna menemukan apakah bukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat dipersalahkan. Jadi, tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran, ini hanyalah merupakan tujuan
antara.Tujuan
akhir
sebenarnya
adalah
mencapai
suatu
ketertiban,
ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. 23
B. Pengertian Hukum Pembuktian Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengertian hukum pembuktian, terlebih dahulu akan dibahas istilah dari pembuktian. Hal ini penting untuk
21
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar Maju, Bandung, 1999, hal 15. 22 Andi Hamzah, Op Cit, hal 9. 23 Andi Hamzah, Loc Cit
Universitas Sumatera Utara
32
memahami pengertian dari bukti, pembuktian, dan hukum pembuktian. Berbagai istilah tersebut terdengar sama, tetapi ketiga hal tersebut berbeda. Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti”, namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”.Kata evidence memiliki arti, yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri. 24 Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku.
25
Sementara itu membuktikan berarti
memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti. 26 Menurut Van Bummelen adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang: a) apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi ; b) apa sebabnya demikian halnya.
24
Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, hal 2 Bambang Waluyo, Op Cit, hal 3 26 http://www.deskripsi.com/m/membuktikan, diakses tanggal 10 Maret 2014, pukul 23.48 25
WIB.
Universitas Sumatera Utara
33
Pengertian bukti, membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada umumnya. 27 Menurut M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa. 28 Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/ ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang.Pembukian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan sesuai dengan prosedur/ cara-cara yang berlaku dalam hukum pembuktian. Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 29
27
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 11 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 273. 29 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 10. 28
Universitas Sumatera Utara
34
Lebih lanjut, Munir Fuady mendefenisikan hukum pembuktian itu sebagai suatu proses dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yakni penggunaan prosedur kewenangan hakim untuk menilai fakta atau pernyataan
yang
dipersengketakan
di
pengadilan
untuk
dapat
dibuktikan
kebenarannya. 30 Makna hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan.
C. Teori - Teori Pembuktian 1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive wettelijk bewijstheorie) Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian.Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
positif
(positief
wettelijk
bewijstheori).Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undangundang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut teori pembuktian formal.Teori pembuktian 30
H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisrpudensi Indonesia, Alumni, Bandung, 2012, hal 1
Universitas Sumatera Utara
35
formal ini bertujuan menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dam mengikat para hakim secara ketat menerapkan peraturan pembuktian undang-undang tersebut.Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksaan” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. 31 Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman adalah sesuai dengan public opinion. 32 Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. 33
2. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu. Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu.Teori ini disebut juga conviction intime.Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa sementara ditentukan penilaian keyakianan hakim, kelemahan 31
M. Yahya Harahap, Op Cit,hal 278 H.P. Panggabean, Op Cit, hal 82 33 Andi Hamzah, Op Cit, hal 251 32
Universitas Sumatera Utara
36
sistem ini adalah besar keyakianan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup.Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakianannya membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.Sebaliknya walaupun kesalahan tetdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim.Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 34 Teori sistem pembuktian ini sudah digunakan dari dahulu.Pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum. 35
3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis ( conviction raisonnee) Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasakan keyakinan hakim sampai batas tertentu (conviction raisonnee).Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakianan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu 34 35
M. Yahya Harahap, Op Cit, hal 277 Andi Hamzah, Op Cit, hal 252
Universitas Sumatera Utara
37
kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertenu.Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasardasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal.Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned.Sv. yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasrkan undang-undang negatif (negatief wettelijk).Hal ini tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahia memperoleh keyakianan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. 36
36
Ibid, hal 254.
Universitas Sumatera Utara
38
Dengan penerapan sistem ini, pemidanaan itu berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar peraturan hakim bersumber pada peraturan perundang-undangan. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk)
sebaiknya
dipertahankan
berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 37
D. Macam - Macam Alat Bukti Menurut KUHAP Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dssarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. strafvorderingyang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental. 38 Tetapi ada sedikit penambahan dan perubahan nama dalam HIR yang terdapat dalam KUHAP. Penambahan alat bukti tersebut adalah keterangan ahli, dan perubahan terhadap alat bukti keterangan terdakwa, pada HIR keterangan terdakwa disebut sebagai pengakuan terdakwa. 37 38
Ibid, hal 257 Ibid, hal 258.
Universitas Sumatera Utara
39
Ketentuan tentang alat bukti dalam KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dimaksud diantaranya adalah;
1. KETERANGAN SAKSI Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari penegtahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengadilan. Dengan perkataan lain hanya keterang saksi nyatkan di muka sidang yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
2. KETERANGAN AHLI Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “keterangan ahli” adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (di sidang pengadilan). Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikn pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan .Jika hal tu tidak
Universitas Sumatera Utara
40
umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan (sidang). Keterangan tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Menurut Pasal 133 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman (kedokteran forensik) atau dokter dan atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 179 KUHAP yang menyatakan “ Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP (halaman 62), keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi keterangan saja yang merupakan petunjuk.Yang disebut keterangan ahli adalah hanya keterangan ahli kedokteran kehakiamn untuk pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat. A. Karim Nasution menyatakan “ janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telah memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat
Universitas Sumatera Utara
41
sebgai ahli, asal saja acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu. 39 Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi, yang merupakan suatu kewajiban hukum. Jika seorang ahli menolak ketika ia telah dimintai untuk kepentingan penegakan hukum, maka dapat dipidana berdasarkan ketentuan undangundang (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Berbeda dengan keterangan saksi, keterangan ahli adalah tentag hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan berdasarkan keahliannya. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan “isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal itu.
3. SURAT Alat bukti surat menempati urutan ketiga dari alat-alat bukti lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Apabila alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli disebutkan pengertiannya dalam Pasal 1 KUHAP, maka tidak demikian dengan alat bukti yang berupa surat. Klasifikasi alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Bunyi Pasal 187 KUHAP secara lengkap adalah sebagai berikut:
39
Hary Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 55
Universitas Sumatera Utara
42
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah yakni surat resmi hanyalah yang diatur dalam Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP termasuk surat biasa, yang setiap hari dibuat oleh setiap orang. Tetapi selaras dengan bunyi Pasal 187 butir d tersebut, surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 40 Dalam hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai alat bukti surat, surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai dapat atau tidaknya surat dijadikan alat bukti petunjuk, semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 40
Andi Hamzah memberikan contoh sebagai berikut;Contoh: Keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada yang terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima kasih (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangann saksi tentang pemberian uang keada terdakwa cukup sebagaibukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir d KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
43
4. PETUNJUK Petunjuk disebut alat bukti keempat dalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan. Tegasnya, syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaan-keadaan tersebut benrhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa. Adami Chazawi mengungkapkan persyaratan suatu peyunjuk adalah sebagai berikut : a. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan, kejadian, dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukkan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan, dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindakan pidana tersebut.
Universitas Sumatera Utara
44
b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk. d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang diabstraksi dari Pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah. 41 Alat bukti petunjuk merupakan otoritas penuh dan subjektivitas hakim yang memeriksa perkara tersebut. Hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian sebagai suatu petunjuk haruslah menghubungkan alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya dan memiliki persesuaian antara satu sama lainnya. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini baru digunakan dalam hal alat-alat bukti yang ada belum dapat meembentuk keyakinaan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Perihal hakim belum mendapat keyakinan, ada tiga kemungkinaan, yakni: 1) pembuktian yang belum memenuhi syarat minimum, yakni dua alat bukti,
41
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung 2006, hal 74.
Universitas Sumatera Utara
45
2) telah memenuhi minimum pembuktian, namun mengahasilkan masing-masing fakta yang berdiri sendiri. Jika demikian halnya, alat bukti petunjuk dapat memenuhi syarat minimum pembuktian, dan 3) alat bukti yang sah lebih dari cukup minimum pembuktian, namun belum meyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Dalam hal ini petunjuk digunakan untuk menambah keyakianan hakim. 42 Dari perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian, atau keadaan-keadaan yang dijumpai oleh hakim di dalam keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa seperti itulah, KUHAP dapat membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepatnya hakim dapat membuat suatu konstruski untuk memandang suatu kenyataan sebagai terbukti. 43 Dalam penerapannya kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan
apakah
suatu
perbuatan,
kejadian
atau
keadaan
merupakan
petunjuk.Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti (Pasal 188 ayat (3) KUHAP).
5. KETERANGAN TERDAKWA Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa yang 42 43
Eddy O.S. Hieariej, Op Cit, hal 111 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 79
Universitas Sumatera Utara
46
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Melihat ketentuan Pasal 189 ayat (1), pada prinspinya keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu ternyata tidak mutlak, oleh karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.(Pasal 189 ayat (2).Jadi keterangna terdakwa yang diberikan diluar sidang tidak didukung dengan dua alat bukti yang sah, maka keterangan tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam sidang. Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah : a. keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan; c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk diri terdakwa itu sendiri.Sehingga keterangan seorang terdakwa tidak bisa untuk memberatkan sesama terdakwa.Jika terdapat lebih dari satu terdakwa dalam persidangan, maka terdakwaterdakwa tersebut diperiksa satu persatu guna mendapatkan keterangan yang objektif, hal ini bertujuan agar sesama terdakwa tidak saling mempengaruhi.
Universitas Sumatera Utara
47
E. Tujuan Pembuktian Tujuan hukum acara pidana tidak lain adalah untuk menemukan kebenaran, yaitu kebenaran materil. Untuk mewujudkan tujuan itu, para komponen pelaksana peradilan terikat kepada alat-alat bukti, sistem pembuktian dan proses pembuktian yang telah diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan tidak mengenyampingkan tahap sebelumnya, pembuktian dapatlah dianggap proses yang sangat penting dan menentukan bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yakni bagi penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya serta hakim. a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alatr bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Universitas Sumatera Utara
48
Jika ketiga hal diatas dihubungkan denagn sistem pembuktian negartief wettelijke (dianut KUHAP), penting disimak pendapat Wirjono Prodjodikoro “Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelije) sebaikanya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinaan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan “ 44 Tujuan ketentuan yang mensyaratkan menimum alat bukti bagi hakim memperoleh keyakianan atas kesalahan terdakwa adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang ( penjelasan Pasal 183 KUHAP). Sebenarnya memang kebenaran, keadilan dan kepastian hukum merupakan tujuan pula dari proses pembuktian dalam peradilan pidana, yang identik denagn tujuan hukum acara pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materil.
44
Bambang Waluyo, Op Cit, hal 30
Universitas Sumatera Utara