HAM DAN BISNIS : ALTERNATIVE PENYELESAIAN SENGKETA Oleh : Abdul Hakim G. Nusantara
I.
Meningkatnya Globalisasi ekonomi yang terjadi beberapa dasawarsa ini menunjukkan peran yang luar biasa besar dan meluas dari perusahaan-perusahaan multi-nasional (PMN ), terutama dari Negara-negara maju, tapi juga dari Negara-negara kekuatan ekonomi baru atau new emerging economics forces. PMN ini berperan penting dalam menggerakkan investasi dan perdagangan barang, jasa dan keuangan di banyak Negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Tentu saja PMN telah memberikan kontribusi yang positif bagi Negara dan masyarakat, seperti, pembukaan lapangan kerja, pengalihan teknologi dan ilmu pengetahuan, pendapatan nasional, dan lain sebagainya. Namun, disamping dampak positif tersebut, PMN juga menghadirkan dampak negative, yaitu pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup (LH) yang timbul sebagai akibat aktivitas PMN.
II.
Sesungguhnya pelanggaran HAM dan atau perusakan LH dapat pula ditimbulkan oleh aktifitas perusahaan nasional dan lokal. Pelanggaran HAM dan atau perusakan LH berkaitan dengan aktifitas korporasi ini mengundang keprihatinan banyak pihak, dan mengundang pertanyaan sejauhmana korporasi yang diduga melanggar HAM dan atau LH itu dapat dituntut pertanggungjawaban hukum ? dan bagaimana penyelesaiannya sesuai dengan asas kepatutan dan keadilan?
1
III.
HUKUM INTERNASIONAL HAM (HIHAM) mengedepankan tanggungjawab Negara untuk menghormati dan melindungi HAM. Misalnya, pasal 2 ICCPR : “ Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”
Meskipun Pasal 2 ICCPR meletakkan kewajiban bagi Negara untuk melindungi orangorang dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, antara lain, korporasi, namun kewajiban hukum itu ditujukan kepada NEGARA bukan kepada korporasi. Pandangan umum sekarang ini menegaskan, bahwa ICCPR hanya mengikat Negara bukan korporasi. Menurut Komite HAM PBB : “ … The object and purpose of the Covenant is to create legally binding standards for human rights by defining certain civil and political rights and placing them in a framework of obligations which are legally binding for those States which ratify ; and to provide an efficacious supervisory machinery for the obligations undertaken.”
IV.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, “Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompojk orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
2
yang berlaku.” ( Pasal 1 butir 6) Apakah itu berarti menurut UU HAM Pelanggaran HAM termasuk perbuatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang dalam korporasi ? Namun demikian, UU HAM menegaskan, bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.” (Pasal 8)
V.
Tiadanya HIHAM yang memadai untuk menuntut liabilitas korporat telah mendorong masyarakat internasional untuk merumuskan draft norma hukum yang mengikat sebagai dasar tuntutan terhadap korporat yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Namun, sebagaimana kita ketahui draft norma hukum internasional yang mengikat bagi liabilitas korporat, berkenaan dengan pelanggaran HAM tidak pernah mencapai konsensus. Kalangan korporat, dan Negara-negara maju selalu menentang setiap usaha untuk mensahkan draft norma hukum internasional yang mengikat bagi liabilitas korporat.
VI.
Di tengah kekosongan hukum internasional berkenaan dengan liabilitas HAM korporat itu, Komunitas internasional menyetujui atas penunjukan John Ruggie sebagai Wakil Khusus Sekjend PBB untuk urusan HAM dan PMN dan entitas bisnis lainnya. John Ruggie, bertugas untuk merumuskan Framework yang dapat digunakan untuk memperbaiki tata kelola governance berkenaan dengan upaya mencegah, mengurangi, dan menyediakan remedi bagi timbulnya pelanggaran HAM berkenaan dengan aktifitas korporat . Framework itu secara hukum tidak mengikat, namun ia merupakan kerangka kerja HAM bagi korporat yang otoritatif dan diterima oleh masyarakat internasional.
3
VII.
Tiga Pilar sebagai landasan FRAMEWORK HAM dan BISNIS PBB, yaitu : 1. TUGAS NEGARA UNTUK MELINDUNGI (THE STATE DUTY TO RESPECT) yang bermakna Negara harus melindungi orang-orang dari pelanggaran HAM yang dilakukan pihak ketiga, termasuk bisnis, melalui kebijakan, regulasi dan ajudikasi. John Ruggie mengusulkan 5 (lima) wilayah prioritas melalui mana Negara dapat bekerja memajukan penghormatan korporat terhadap HAM dan mencegah pelanggarannya. Pertama, berusaha untuk mencapai koherensi dan efektifitas kebijakan yang lebih besar di seluruh kementerian yang bekerjasama dengan perusahaan, termasuk mengawal kemampuan Negara sendiri ketika membuat perjanjian ekonomi; kedua, memajukan penghormatan HAM ketika Negara melakukan bisnis dengan kalangan pengusaha, apakah sebagai pemilik, investor, penjamin, perantara (procurer) atau sekedar sebagai promoter ; ketiga, memelihara budaya menghormati HAM oleh korporat di dalam negeri maupun di luar ; keempat, menggunakan kebijakan inovatif untuk membimbing perusahaan yang bekerja di daerah konflik ; kelima, memeriksa issue melintasi ekstrateritorial. 2. TANGGUNGJAWAB (RESPONSIBILITY) Korporat untuk menghormati HAM, yang berarti perusahaan bertindak dengan penuh ketekunan menghindari pelanggaran HAM, dan mengatasi kerugian yang terjadi. Istilah RESPONSIBILITY menunjukkan, penghormatan HAM saat ini bukan merupakan kewajiban yang dikenakan pada perusahaan, walaupun elemen atau unsure-unsurnya tercermin dalam hukum domestik. Ini sifat atau karakter lunak (soft law) dari Framework HAM dan Bisnis. TANGGUNGJAWAB Perusahaan untuk menghormati HAM berlaku untuk seluruh kegiatan bisnisnya dan hubungannya dengan pihak ketiga berkaitan dengan 4
bisnisnya itu, seperti, mitra bisnis, entitas-entitas dalam rantai usahanya, dan aktor non-negara dan para agen Negara. Selain itu, perusahaan perlu mempertimbangkan konteks Negara dan lokal yang memberikan tantangan tertentu dan bagaimana tantangan itu membentuk dampak HAM berkaitan dengan kegiatan perusahaan dan relasi-relasinya. 3. AKSES KE REMEDI EFEKTIF, yang berarti harus ada mekanisme pengaduan yang efektif yang penting bagi tugas Negara untuk melindungi HAM maupun bagi tanggungjawab perusahaan untuk menghormati HAM. Negara harus mengambil langkah-langkah yang layak dalam wilayah dan atau yurisdiksinya untuk memastikan, bahwa bila terjadi pelanggaran HAM, mereka yang terkena pelanggaran itu mempunyai akses remedi yang efektif melalui yudisial, administratif, legislasi atau sarana-sarana layak lainnya. Mekanisme non-yudisial, baik berbasis Negara atau independen,
harus
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
legitimasi,
aksesibilitas,
prediktabilitas, hak-hak kompatibilitas, ekuitabilitas dan transparansi. Mekanisme pada tingkat perusahaan harus juga bekerja melalui dialog dan keterlibatan daripada perusahaan itu sendiri bertindak sebagai ajudikator atas tindakannya sendiri.
VIII.
INTERNAL OR COMPANY’s GRIEVANCE MECHANISM. Sejak FRAMEWORK HAM dan Bisnis disahkan oleh Dewan HAM PBB, PMN mendirikan secara sukarela internal grievance mechanism. “GRIEVANCE IS AN STAKEHOLDER ISSUE THAT IS RELATED TO A COMPANY’S OPERATIONS AND WHICH THE STAKEHOLDER BELIEVES IS THE RESPONSIBILITY OF THE
5
COMPANY. THE STAKEHOLDER MAY BE SEEKING ANYTHING FROM AN APOLOGY TO A CHANGE IN OPERATIONS TO COMPENASATION.” “GRIEVANCE MECHANISM IS A PROCESS ESTABLISHED BY THE COMPANY TO PROVIDE AN OPPORTUNITY FOR A STAKEHOLDER TO HAVE THEIR GRIEVANCE ADDRESSED. THE PROCESS SHOULD BE DESIGNED TO UNDERSTAND, RESPOND TO AND REMEDY THE GRIEVANCE IN A CULTURALLY APPROPRIATE AND RESPECTFUL MANNER.” (Kevin O’Callaghan PDAC-2014). Internal Grievance mechanism merujuk antara lain pada Guiding Principles on Business and Human Rights, IFC Standard, dan lain-lain. GUIDING PRINCIPLES 31 1. Legitimate: having clear, transparent and sufficiently independent governance structure to ensure that no party to a particular grievance process can interfere with the fair conduct of that process. 2. Accessible: being publicized to the end-users, and provide the necessary information and assistance to make use of it. This includes overcoming barriers due to language, literacy, awareness, finance, distance and fear of reprisal. 3. Predictable: providing clear and known procedure with time frame for each stage, defined types of process and outcome that can be expected, and monitoring procedure on the implementation of the resolution. 4. Equitable: ensuring that those aggrieved can have access to information and advice necessary to make use of the grievance mechanism on fair and equitable terms. 5. Rights Compatible: providing outcomes and remedies that are in accordance with internationally recognized human rights standards.
6
6. Transparent: having a transparent process and outcome, namely the receipt of complaints and the key elements of their outrcomes, 7. A Sources of continuous learning: drawing on relevant measures to identify lessons for improving the mechanism abd preventing future grievances and harms. 8. Based on engagement and dialogue: those mechanisms implemented on the operational level should be based on direct or mediated dialogue that leads to agreed solutions. LEGAL ISSUES in GRIEVANCE MECHANISM (GM) i.
Not preclude access to judicial or other GM ;
ii. Not require firest access other means of recourse ; iii. Deal with all grievances- no need to demonstrate HAM abuse ; iv. Prortect the confidentiality of the complainant ; v. Respect the role of legitimate trade unions in addressing labour-related issues ; vi. Respect local law and not adjudicate on a local law issue. LEGAL RISK a. Acceptance of grievance may be viewed as admission of liability ; b. Transparency and provision of information balanced against rights to privacy and confidentiality or privileged ; c. Settlement without release could mean remedying twice. (Kevin O’Callaghan PDAC-2014)
7
IX.
THE ALIEN TORT STATUTE (ATS) STATUTA KERUGIAN ORANG ASING atau ALIEN TORT STATUTE (ATS) sebagai bagian dari sistem hukum Amerika Serikat memuat suatu kalimat : “ The district courts shall have original jurisdiction of any civil action by an alien for a tort only, committed in violation of the law of nations or a treaty of the United States.” Secara khusus, ATS mengizinkan orang-orang asing untuk mengajukan tuntutan di pengadilan-pengadilan federal bagi pelanggaran-pelanggaran HAM berat (gross) di Amerika Serikat (AS) atau di luar negeri. Di bawah ATS para tergugat tidak selalu orang atau badan hukum Amerika yang melakukan perbuatan yang terjadi seluruhnya di luar negeri berdampak pada warga Negara asing sendiri, tidak mempunyai efek apapun di dalam AS. Sejumlah putusan dari pengadilan sirkuit belakangan telah menafsirkan ATS berlaku tidak saja untuk aktoraktor Negara, tapi juga untuk korporat-korporat Amerika dan Asing. (MIRELA V.HRISTOVA , UNIVERSITY OF SAN FRANSISCO LAW REVIEW Volume 47) Pada tahun 1980, dalam perkara FILARTIGA versus PENA-IRALA, sirkuit kedua, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa individu warga Negara Paraguay bertanggungjawab atas penganiayaan yang dilakukan di Paraguay, namun, Mahkamah menekankan bahwa ATS hanya berlaku bagi aktor-aktor Negara atau individu privat yang bertindak di bawah pengaruh otoritas resmi. Pada tahun 2004, dalam perkara SOSA versus ALVARESMACHAIN, MAHKAMAH AGUNG AS menyatakan, bahwa hukum internasional sebagai dilawankan dengan hukum domestik, yang memberikan informasi apa yang merupakan pelanggaran hukum bangsa-bangsa di bawah ATS. Kendatipun demikian, Mahkamah meninggalkan pertanyaan yang terbuka, yaitu perangkat hukum mana yang berlaku untuk menegaskan katagori-katagori pelanggar HAM potensial yang bertanggungjawab 8
atas terjadinya pelanggaran HAM. Pengadilan-pengadilan federal dalam mengambil putusan tergantung pada pilihan apakah mereka memprioritaskan hukum internasional atau hukum domestik berkaitan dengan identitas pelaku pelanggaran HAM. Namun, mayoritas pengadilan menyimpulkan
bahwa
Korporat
sama
dengan
Negara
bertanggungjawab di bawah ATS. Dalam perkara KIOBEL versus ROYAL DUTCH PETROLEUM COMPANY, para penggugat adalah penduduk wilayah OGONI, Nigeria. Para penggugat mengemukakan, bahwa tergugat, perusahaan minyak yang didirikan di Belanda dan Persatuan Kerajaan Inggris, masing-masing membantu dan menghasut pemerintah Nigeria untuk melakukan pelanggaran HAM para penggugat sejak tahun 1958. Mereka secara spesifik menyatakan dengan desakan dan dukungan uang perusahaan, pemerintah menumpas para pemrotes lingkungan hidup, memperkosa dan membunuh penduduk di wilayah tersebut, dan acap menghancurkan harta benda milik mereka. Pengadilan sirkuit kedua mengakui bahwa dari perspektif budaya hukum bahwa sudah biasa dengan konsep tanggung jawab Korporat. Namun, menurut Mahkamah ATS mengharuskannya untuk melihat hukum internasional. “ the fact that corporations are liable as juridical persons under domestic law does not mean that they are liable under international law (and, therefore, under the ATS). Menurut pengadilan sirkuit kedua, Perusahaan minyak itu tidak tunduk pada liability di bawah ATS karena hukum kebiasaan internasional tidak mengakui faham tanggungjawab korporat bagi kejahatan internasional. Dalam Perkara DOE versus EXXON MOBIL CORPORATION, para penduduk propinsi ACEH menggugat EXXON MOBIL yang mengoperasikan fasilitas gas alam di ACEH, dan mempekerjakan para anggota militer Indonesia sebagai penjaga keamanan membantu dan menghasut para anggota militer ini melakukan kekejaman terhadap 9
para penggugat, termasuk genosida, extrajudicial killing, penyiksaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan seksual dan penculikan sebagai bagian dari operasi untuk memusnahkan rakyat ACEH. Pengadilan Distrik Kolumbia menolak kasus ini berdasarkan tiga alasan. Pertama, aiding (membantu) dan abetting (menghasut) tidak dapat dituntut di bawah ATS, kedua,bahwa suatu penyelidikan akan mencampuri kedaulatan Indonesia dan itu tidak diperkenankan. Ketiga,bahwa kejahatan seksual bukan pelanggaran hukum bangsa-bangsa. Menurut pengadilan, bahwa substansi hukum kebiasaan internasional yang menentukan perbuatan penyiksaan seperti apa yang
dapat
dituntut
di
bawah
ATS.
Apakah
Korporat
dapat
dituntut
pertanggungjawabannya bukanlah bagian dari penyelidikan substantive. Menurut pengadilan ATS sesuai dengan sejarahnya tujuannya menghindari keterlibatan asing--tidak masuk akal untuk membuat undang-undang hanya untuk menghadapi para individu ketika korporat mampu bertindak yang dapat menghasut konflik. X.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM (TORT) KUHPERDATA : Perbuatan melawan hukum di atur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPERDATA. Pasal 1365 menyatakan : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1365 tidak mendifinisikan konsep perbuatan melawan hukum. Pada tanggal 31 Januari, 1919, dalam perkara Cohen versus Lindenbaum, Hooge Raad menafsirkan secara luas konsep perbuatan melawan hukum, dengan menyatakan Perbuatan Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan : 1. Hak
10
subyektif orang lain; 2. Kewajiban hukum sendiri; 3. Kaedah kesusilaan; 4. Kepatutan masyarakat. Unsur-unsur ini bersifat alternative. Pertanggungan jawab yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Tort) ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan UU yang mengaturnya. Dalam teori hukum ada 3 katagori pertanggungjawaban, yaitu : 1. Tanggungjawab dengan unsure kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana termuat dalam Pasal 1365 KUHPERDATA ; 2. Tanggungjawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsure kelalaian seperti tertuang dalam Pasal 1366 KUHPERDATA ; 3. Tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti sangat terbatas seperti tertuang dalam Pasal 1367 KUHPERDATA. XI.
KORPORASI sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu : 1. Pasal 15 UU Darurat. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi ; 2. Pasal 19 ayat 3 UU No.6 Tahun 1984 Tentang Pos ; 3. Pasal 5 ayat 3 UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ; 4. Pasal 20 UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; 5. Pasal 4 ayat 1 UU No.25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
XII.
PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM : 1. Yang bersifat perdata dapat diselesaikan melalui mediasi,m arbitrase, dan pengadilan; 2. Yang bersifat pidana diselesaikan melalui pengadilan.
Jakarta, 13 Januari 2015 11