PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.
Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP)
i
Judul: PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Penulis: Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.
Editor: Endra Wijaya Deni Bram
Hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang pada penulis. Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP). Alamat PKIH FHUP: Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 2, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640. Cetakan ke-1: November 2011. ISBN: 978 – 602 – 99279 – 5 – 5 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini sebagai sumbernya.
ii
KATA PENGANTAR Seiring mengucapkan Alhamdulillahi Rabil Alamin, segala kemuliaan, ilmu pengetahuan, dan kebenaran berpikir serta bertindak hanyalah milik Allah Subhanahu Wa’ala, sedangkan milik penulis hanyalah kekeliruan dan kesalahan. Oleh sebab itu, perkenankanlah permohonan penulis bila terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam buku yang diberi judul Penyelesaian Sengketa Bisnis melalui Mediasi yang sangat sederhana ini kiranya dimaafkan sepenuh hati oleh pembaca yang berbahagia. Buku Penyelesaian Sengketa Bisnis melalui Mediasi ialah suatu kajian teoretis tentang mediasi sebagai salah satu metode penyelesaian sengketa, terutama di bidang bisnis. Hal terpenting ialah perpaduan antara praktisi dan akademisi yang dimiliki oleh penulis sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi sekaligus sebagai pemegang sertifikat mediator dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tentu hal itu diharapkan akan semakin membuat buku ini berkualitas untuk dibaca. Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang diperoleh ialah atas berkat bantuan dan dukungan dari berbagai fihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang kepada: 1. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTM, S.H., Sp.A. (K), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. 2. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. 3. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab, S.H. dkk. selaku pembimbing. iii
4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. dkk. selalu pembimbing. 5. Juga kepada Adinda Deni Bram yang berkenaan untuk merampungkan naskah yang ada, serta kepada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP) sebagai lembaga penerbit dan wadah diskusi selama ini. Merupakan suatu ekspektasi dan kehormatan penulis jika buku ini akan dipergunakan para mahasiswa fakultas hukum yang mendalami masalah penyelesaian sengketa dengan cara mediasi, praktisi hukum, dan para stakeholder terutama dari kalangan bisnis, maupun masyarakat umum. Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat memberi manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca. Selain itu, kritik dan saran sangat diharapkan bagi kesempurnaan penulisan berikutnya.
Jakarta, November 2011
Djafar Al Bram.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
BAB I TINJAUAN UMUM MENGENAI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION A. Penyelesaian Sengketa Yuridis dan Nonyuridis B. Pengertian Alternative Dispute Resolution C. Alternative Dispute Resolution dan Etika Bisnis D. Alternative Dispute Resolution di dalam Sistem Peradilan
1 1 19 20 22
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI A. Tinjauan Umum dan Sejarah Mediasi B. Pengertian Mediasi C. Peran dan Fungsi Mediator D. Tahapan Proses Mediasi
28 28 29 31 36
BAB III MASALAH HUKUM DALAM MEDIASI A. Kerahasiaan B. Kekuatan Eksekusi
46 46 47
BAB IV PERKEMBANGAN MEDIASI DI BEBERAPA NEGARA A. Amerika Serikat B. Australia C. Cina D. Korea Selatan
50 50 57 61 64
DAFTAR PUSTAKA
66
v
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
BAB I TINJAUAN UMUM MENGENAI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
A. Penyelesaian Sengketa Yuridis dan Nonyuridis Ada berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Dalam perkembangannya, masyarakat yang semakin maju mulai meninggalkan cara-cara lama (yang merupakan kebiasaan) dan beralih ke cara-cara hukum (yuridis). Dengan demikian, masyarakat secara berangsur-angsur mulai menggunakan cara penyelesaian sengketa yang diakui oleh pemerintah. Cara penyelesaian sengketa yang selama ini dikenal ialah cara penyelesaian secara yuridis dan nonyuridis, dan ada pula yang menyebutnya cara melalui pengadilan dan tidak melalui pengadilan. Penyebutan cara yuridis, nonyuridis, cara melalui pengadilan, dan tidak melalui pengadilan itu pada prinsipnya sama saja, tergantung dari sudut mana ditinjaunya. Berikut ini akan diuraikan cara-cara penyelesaian sengketa tersebut. Cara penyelesaian sengketa secara yuridis dan nonyuridis dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitro 1 dengan meninjaunya dari sudut sifatnya. Kedua cara penyelesaian perselisihan itu oleh Soemitro dirinci lagi ke dalam 20 (dua puluh) bentuk/kategori, yang kemudian dikelompokkan lagi ke dalam 6 (enam) subkategori/kelompok. Keenam subkategori/kelompok tersebut ialah: 1. Penyelesaian secara sepihak. 2. Dikelola sendiri. 3. Prayuridis. 4. Yuridis normatif. 5. Yuridis politis. 6. Penyelesaian secara kekerasan. 1
Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik (Semarang: CV. Agung, 1990), hal. 36-43.
-1-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Berikut ini uraian secara ringkas dari keenam kelompok cara penyelesaian sengketa tersebut. 1. Penyelesaian secara Sepihak Bentuk penyelesaian perselisihan secara sepihak ini terdiri dari: a. Penyerahan. b. Menghindari diri, melarikan diri, mengundurkan diri. c. Penyerahan sementara, penundaan reaksi, reaksi menunggu dulu. Dalam subkategori/kelompok ini, dengan bentuk penyerahan, suatu konflik berakhir atau diakhiri karena salah satu pihak (umumnya pihak yang lemah atau yang rendah tingkatannya) mengalah pada situasi yang tidak menguntungkan. Demikian pula apabila pihak yang paling lemah ini memperoleh kesempatan untuk menghindarkan diri dari kekuasaan pihak yang kuat (bentuk penyelesaian dalam butir b dari kelompok penyelesaian secara sepihak), masalah konflik akan hilang. Memisahkan diri, perceraian, mencari tempat tinggal lain, mengasingkan diri, merupakan reaksi supaya konflik yang terjadi tidak menimbulkan akibat yang menyakitkan. Bentuk penyerahan hanya bersifat sementara apabila pihak yang lemah tidak dapat menghindarkan diri dari pihak yang kuat (bentuk penyelesaian perselisihan butir c). 2. Dikelola Sendiri Dalam kelompok ini, penyelesaian konflik ditandai dengan kesamaan tingkat dari kedua belah pihak dalam menyelesaian konflik tersebut. Di sini tidak ada pihak atau instansi ke tiga yang perlu diminta bantuannya, sehingga memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik. Akan tetapi, cara ini biasanya memerlukan banyak pengorbanan dari mereka. Bentuk penyelesaian perselisihan yang termasuk dalam kelompok ini adalah: a. Perundingan. b. Kesepakatan. c. Dengan cara undian. -2-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Penyelesaian dalam bentuk perundingan ada 2 (dua) macam, yaitu: 1. Perundingan yang bertujuan untuk mencapai suatu penyelesaian konflik atas dasar kesepakatan bersama. 2. Perundingan di mana para pihak yang berusaha memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari penyelesaian yang diusulkan. Cara penyelesaian sengketa dalam bentuk perundingan dan kesepakatan banyak dilakukan dalam bidang perdagangan/bisnis. Pada penyelesaian dengan cara menggunakan undian, para pihak sepakat menetapkan untuk menentukan hasilnya oleh suatu badan yang bersifat pribadi dengan cara undian. Cara ini bisa digunakan dalam bidang olah raga. 3. Prayuridis Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang termasuk dalam kelompok ini menurut Soemitro ialah: a. Lembaga pengaduan. b. Perdamaian. c. Musyawarah. d. Penyelesaian dengan pihak penagih. Ciri penyelesaian konflik yang termasuk kategori prayuridis ini ialah adanya pihak ke tiga yang dapat berupa suatu instansi yang terlibat (atas prakarsa para pihak) dalam penyelesaian konflik (terutama dalam bentuk lembaga pengaduan dan penyelesaian dengan pihak penengah). Siapa yang menjadi pihak ke tiga tidaklah dapat ditentukan terlebih dahulu. Kadang-kadang pihak ketiga ini ialah orang lain yang oleh kedua belah pihak yang bersengketa diterima sebagai penengah, atau seorang yang mewujudkan suatu musyawarah di antara pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ke tiga ini dapat pula merupakan suatu lembaga pengaduan atau biro penyelesaian perselisihan yang tugasnya menyelidiki dan kemudian berusaha untuk menyelesaikan konflikkonflik. Biro semacam ini tentu saja memberi jasa atas permintaan salah satu pihak yang lemah. Semua bentuk penyelesaian yang termasuk kelompok ini dapat disebut sebagai bentuk penyelesaian konflik prayuridis, karena salah satu pihak sudah menggunakan jasa pihak ketiga yang tidak memihak. -3-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Di samping itu, pihak ke tiga tidak cukup mampu untuk melakukan ikatan dengan aturan-aturan guna menyelesaikan konflik, sehingga untuk menyelesaikan konflik dengan kelompok ke tiga ini, terutama jenis penengah (bentuk penyelesaian perselisihan pada butir d), lebih sering digunakan daripada menggunakan hakim resmi. Menurut Soemitro, dengan mengutip pendapat Schuyt, seringnya pihak ke tiga digunakan dalam menyelesaikan sengketa daripada menggunakan hakim resmi, ialah dikarenakan seorang penengah (pihak ke tiga): a. Dapat mengusulkan penyelesaian sementara. b. Dapat menunjukkan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian dalam bentuk lain. c. Dapat menjadikan dukungan untuk masa sesudah penyelesaian konflik. d. Dapat melakukan tekanan-tekanan terhadap pihak yang bersengketa supaya melakukan kompromi dengan ancaman akan menghentikan usaha-usahanya sebagai penengah. Pada kenyataannya, bentuk penyelesaian konflik yang paling banyak terjadi ialah perdamaian (bentuk penyelesaian perselisihan pada butir b). Di sini, para pihak berusaha melupakan segala yang telah terjadi dan berusaha membina hubungan yang baru, karena dengan penyelesaian konflik berdasarkan perdamaian, konflik itu hapus seluruhnya dengan penemuan suatu modus co-vivendi yang pantas dan dapat diterima sebagai sarana penyelesaian sengketa. Sementara itu, pada bentuk musyawarah (yang juga dengan jasa pihak penengah) lebih menonjolkan sikap memberi dan menerima, tanpa kedua belah pihak memikirkan apakah mereka akan berbaik kembali di masa yang akan datang. 4. Yuridis Normatif Yang termasuk bentuk penyelesaian dalam kelompok ini, ialah: a. Arbitrase. b. Proses singkat. c. Sidang pengadilan.
-4-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
d. Proses perdata, proses administratif. e. Proses pidana. Kategori ini terdiri dari semua bentuk pemerantaraan hukum dalam penyelesaian konflik. Prakarsa atau kehendak untuk melakukan perantaraan diajukan oleh salah satu pihak yang bersengketa, kemudian segera setelah hakim menyatakan menerima perkara ini, putusannya akan berada di tangan hakim tersebut. Para pihak tidak lagi menguasai konflik di antara mereka secara keseluruhan, kecuali apabila hakim mengusulkan untuk mengadakan perdamaian. Dalam keadaan yang demikian, hakim memang selalu mencoba untuk mendamaikan pihak yang bersengketa, tetapi jika usahanya tidak berhasil, hakim akan memutuskan berdasarkan hukum yang berlaku, penyelesaian dilakukan secara formal dengan persyaratan yang tertata, dan semuanya dilakukan secara tertulis. Pihak ke tiga tersebut di atas merupakan hakim-hakim profesional, kecuali mereka yang memberikan keputusan berdasarkan arbitrase. Arbitrase, menurut Soemitro, terletak pada batas antara penyelesaian konflik prayuridis dan penyelesaian konflik yuridis normatif. Dalam arbitrase, pihak ke tiga dipilih sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa, dan sering bukan merupakan hakim-hakim profesional, melainkan orang-orang yang ahli dalam bidang perdagangan dan industri (atau bidang-bidang lain yang mereka tangani). 5. Yuridis Politis Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang termasuk dalam kelompok yuridis politis ini ialah: a. Penyelesaian melalui saluran pemerintah. b. Pembentukan keputusan legislatif. c. Tindakan politik dan aksi sosial. d. Bertahap tanpa kekerasan. Dalam kelompok ini, penyelesaian konflik beralih dari ruang sidang pengadilan ke tengah-tengah kancah pertentangan dalam proses pembentukan keputusan pemerintah dan keputusan politik. -5-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Pembentukan keputusan pemerintah dan keputusan legislatif sama-sama merupakan proses hukum yang bersifat sangat terkait pada peraturanperaturan sehingga dapat disebut sebagai penyelesaian konflik dengan bentuk politis. Pada pembentukan keputusan yang bersifat pemerintahan, konflik-konflik sering diselesaikan oleh lembaga pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi, sehingga bentuk ini dapat “disamakan” dengan bentuk penyelesaian konflik oleh pihak ke tiga. Akan tetapi, penyelesaian konflik oleh lembaga pemerintahan yang lebih tinggi ini tidaklah benar-benar sama dengan penyelesaian konflik oleh pihak ke tiga, karena lembaga pemerintahan yang lebih tinggi mempunyai kepentingan agar konflik-konflik yang terjadi (yang lebih rendah) dapat diselesaikan. 6. Penyelesaian dengan Penggunaan Kekerasan Kekerasan juga merupakan salah satu cara penyelesaian konflik, di mana salah satu pihak mencoba menyelesaikan suatu konflik terhadap pihak yang lain dengan menggunakan sarana fisik. Penyelesaian konflik dengan kekerasan ini masih bisa dipertimbangkan atau bahkan diperdebatkan, apakah bisa benar-benar menyelesaikan atau mengakhiri konflik, meskipun pihak yang menggunakan kekerasan mungkin juga mengajukan alasan bahwa cara ini merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat ditempuh. Akan tetapi, kekerasan justru sering menimbulkan pembalasan yang juga dalam bentuk kekerasan. Dalam keadaan yang demikian, kekuasaan negara juga akan menggunakan legitimasi dengan kekerasan pula dalam kejadian-kejadian tertentu, misalnya penggunaan senjata oleh polisi, penangkapan terhadap penjahat-penjahat yang berkonflik, dan menindas para pemberontak yang berkonflik dengan pemerintah.
-6-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Kemudian, mengenai cara penyelesaian melalui pengadilan dan penyelesaian tidak melalui pengadilan telah dikemukakan oleh banyak sarjana, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh M. Husseyn Umar. 2 Penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan sering disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (untuk selanjutnya akan disebut ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif. Cara penyelesaian sengketa alternatif akhir-akhir ini sering mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, terutama yang berada dalam dunia bisnis, sebagai cara penyelesaian perselisihan yang perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan penyelesaian melalui pengadilan. ADR terdiri dari cara-cara berikut ini: 1. Konsiliasi Konsiliasi adalah suatu penyelesaian di mana para pihak berupaya aktif mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ke tiga. Konsiliasi diperlukan apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihannya. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi sering diartikan sama dengan mediasi, padahal penyelesaian sengketa dengan konsiliasi lebih mengacu kepada cara penyelesaian sengketa melalui konsensus di antara para pihak, sedangkan pihak ke tiga hanya bertindak netral, berperan secara aktif maupun tidak aktif. 2. Negosiasi Menurut Gary Goodpaster, negosiasi merupakan proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka. 3
2
M. Husseyn Umar, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR” (makalah pada Lokakarya Nasional Menyongsong Pembangunan Hukum Tahun 2000, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan BAPENAS, Bandung, 2-3 Desember 1996), hal. 1. 3 Gary Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”, dalam Agnes M. Toar, et al, Seri Dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal. 11.
-7-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Ada beberapa teknik negosiasi yang secara umum sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat, yaitu: 4 a. Teknik negosiasi kompetitif, yaitu teknik negosiasi yang dikenal sebagai bentuk teknik negosiasi yang bersifat alot. Unsur-unsur yang menjadi bagian dari negosiasi kompetitif, antara lain, ialah: 1. Mengajukan permintaan awal yang tinggi di awal negosiasi. 2. Menjaga tuntutan agar tetap tinggi sepanjang proses negosiasi dilangsungkan (maintaining high level of demands). 3. Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas. 4. Secara psikologis, perunding yang menggunakan teknik ini menganggap perunding lain sebagai musuh atau lawan. 5. Menggunakan cara-cara yang berlebihan dan melemparkan tuduhan-tuduhan dengan tujuan menciptakan ketegangan dan tekanan terhadap pihak lawan. Penggunaan teknik negosiasi kompetitif biasanya diterapkan karena negosiasi tidak memiliki data-data yang baik dan akurat. b. Teknik negosiasi kooperatif, yaitu digunakan apabila salah satu pihak menganggap pihak negosiator lawan bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra kerja untuk mencari commond gound. Para pihak berkomunikasi untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama, dan saling bekerja sama. Hal yang dituju oleh seorang negosiator dalam teknik ini ialah penyelesaian sengketa yang adil berdasarkan analisis objektif dan atas fakta hukum yang jelas. c. Teknik negosiasi lunak dan keras. Penggunaan teknik ini mengandung risiko lahirnya kesepakatan yang bersifat semu 4
Pendapat Roger Fisher dan Ury William sebagaimana dikutip dalam Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 49-52.
-8-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
dan melahirkan pola “menang atau kalah”. Penggunaan teknik ini mengandung risiko pada saat perunding lunak berhadapan dengan seseorang yang menggunakan teknik keras. Perunding keras dalam menghadapi perunding-perunding lunak akan bersifat sangat dominan. Perunding keras di satu pihak akan memberikan konsesi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain, perunding lunak akan memberikan konsensi untuk sekedar mencegah konfrontasi dan bersikeras untuk tetap mencapai kesepakatan. Proses dengan teknik negosiasi lunak dan keras seperti ini akan menguntungkan pihak perunding yang bersifat keras, serta menghasilkan kesepakatan yang berpola “menang atau kalah”. Perbedaan antara Teknik Negosiasi Lunak dan Keras 1.
Soft (Lunak) Negosiator adalah teman.
1.
Hard (Keras) Negosiator dipandang sebagai musuh.
2.
Tujuan perundingan adalah kesepakatan.
2.
Tujuan untuk kemenangan.
3.
Memberi konsesi untuk menjaga hubungan baik.
3.
Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari pembinaan hubungan.
4.
Mempercayai perunding lawan.
4.
Keras terhadap orang maupun masalah.
5.
Mudah mengubah posisi.
5.
Tidak percaya perunding lawan dan memperkuat posisi.
6.
Mengemukakan tawaran.
6.
Membuat ancaman.
7.
Mengalah untuk mencapai kesepakatan.
7.
Menuntut perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan (win-lose).
8.
Mencari satu jawaban yang dapat diterima secara menyenangkan oleh pihak lawan.
8.
Mencari satu jawaban yang harus ditentang perunding lawan.
9.
Bersikeras terhadap perlunya kesepakatan.
9.
Bersikeras terhadap posisi.
10. Mencegah untuk berlomba kehendak .(contest of will).
10. Sedapat mungkin menenangkan keinginan.
11. Menerima untuk ditekan.
11. Menerapkan tekanan.
Sumber: Suyud Margono, 2000.
-9-
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
d. Teknik negosiasi inter based, merupakan tanggapan atas teknik keras dan lunak. Teknik negosiasi inter based dikembangkan oleh Harvard Project. Inter based negotiation disebut juga sebagai principle negotiation. Teknik ini menawarkan jalan tengah terhadap pertentangan yang ada di dalam teknik keras dan lunak. Teknik inter based dipilih karena pemilihan terhadap teknik keras cenderung berpotensi menemui kebutuhan (deadlock) dalam negosiasi, terlebih lagi apabila bertemu dengan sesama perunding yang bersifat keras, ataupun apabila berhadapan dengan perunding lunak, maka perunding lunak itu berpotensi menjadi seorang pecundang (loser). Teknik negosiasi inter based memiliki komponen dasar sebagai berikut: 1. Komponen orang, yang dibagi lagi menjadi 3 (tiga) landasan, yaitu: a. Pisahkan antara orang dan masalah. b. Konsentrasi serangan pada masalah dan orangnya. c. Para pihak harus menempatkan diri sebagai mitra kerja. 2. Komponen interest (kepentingan) yang memfokuskan pada kepentingan mempertahankan posisi. 3. Komponen option yang bermaksud: a. Memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memperbanyak pilihan-pilihan kesepakatan/solusi yang mementingkan kepentingan bersama. b. Jangan terpaku pada satu jawaban. c. Menghindari pola pikir bahwa pemecahan problem mereka ialah urusan mereka. 4. Komponen kriteria yang mencakup: a. Kesepakatan kriteria, standar objektif, dan independen dalam pemecahan masalah. b. Bernilai pasar (market value). c. Precedent. d. Scientific judgement. - 10 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
e. Bersandar pada hukum. f. Kebiasaan dalam masyarakat. 3. Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan dengan memutuskan. 5 Sedangkan menurut Mas Ahmad Santosa dan Anton L.P. Hutapea, mediasi adalah negosiasi yang dihadiri oleh pihak ke tiga netral yang tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan. 6 Pihak ke tiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk membantu para pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak di dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Penunjukkan pihak ke tiga sebagai mediator dapat terjadi karena: a. Kehendak sendiri (mencalonkan diri). b. Ditunjuk oleh penguasa (misalnya wakil dari para pihak yang bersengketa). c. Diminta oleh kedua belah pihak. Suyud Margono menyatakan bahwa dalam berbagai kepustakaan setidak-tidaknya dapat ditemukan 10 (sepuluh) definisi tentang mediasi. Dari rumusan-rumusan itu dapat ditarik simpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 7 a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan. b. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. c. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
5
Gary Goodpaster, op.cit. Mas Ahmad Santosa dan Anton L.P. Hutapea, Mendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan (MAPS) di Indonesia (Jakarta: USAID dan WALHI, 1992), hal. 3. 7 Suyud Margono, op.cit., hal. 59. 6
- 11 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
d. Tujuan mediasi ialah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Penyelesaian sengketa melalui mediasi kini telah banyak digunakan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya. Adapun alasan-alasan orang lebih memilih untuk menggunakan mediasi dalam menyelesaikan sengketa mereka ialah karena: 8 a. Proses penyelesaian sengketa relatif cepat. Proses penyelesaian sengketa pada umumnya rata-rata dapat diwujudkan dalam waktu 1 (satu) atau 2 (dua) bulan. Hanya dibutuhkan 2 (dua) kali atau paling banyak 3 (tiga) kali pertemuan perundingan. b. Biaya murah (inexpensive). Pada umumnya, biaya proses mediasi tidak mahal karena prosesnya dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, hal ini juga dikarenakan peran mediator yang hanya terlibat dalam memberikan nasehat. c. Bersifat rahasia (confidential). Salah satu asas ketertiban umum yang harus ditegakkan oleh mediator dalam persidangan ialah bahwa persidangan itu tidak terbuka untuk umum, bersifat rahasia, tidak boleh diliput, dan tidak boleh dipublikasikan. d. Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi, dan penyelesaian sengketanya dilakukan dengan cara: 1. Informal, artinya penyelesaian sengketa tidak berdasarkan pada ketentuan-ketentuan acara yang kaku dan memaksa. 2. Fleksibel, artinya tidak terikat pada ketentuan hukum yang kaku, bahkan penyelesaian sengketa dapat mengenyampingkan hukum formal, yang pada dasarnya hanya menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. 3. Memberi kebebasan penuh kepada para pihak untuk mengajukan proposal yang dikehendaki, namun harus 8
M. Yahya Harahap, “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Varia Peradilan, Nomor 21 (1995): 116-117.
- 12 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pula bersedia menerima proposal yang diajukan pihak lain. e. Hubungan kooperatif. Penyelesaian melalui mediasi akan memperbaiki dan sekaligus mempererat hubungan kedua belah pihak. Apabila mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, maka sejak awal pembicaraan sampai dicapai kata sepakat dalam penyelesaian sengketa, para pihak yang bersengketa selalu dilandasi atas hubungan kerja sama. f. Sama-sama menang (win-win). Karena penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara mediasi yang didasarkan atas kerja sama para pihak yang bersengketa, maka sebenarnya mereka sama-sama menang, tidak ada yang kalah. Kompromi yang dicapai oleh para pihak itu bertitik tolak dari landasan saling memberi dan saling menerima. g. Tidak emosional. Karena penyelesaian sengketa dilakukan dengan pendekatan kerja sama yang berlandaskan semangat kekeluargaan, maka sudah tentu para pihak tidak berkeras hati untuk mempertahankan kemauannya sendiri. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui mediasi berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase, karena mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Dalam hal ini, para pihak yang bersengketa menguasakan kepada mediator hanya untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Yang jelas, mediator bukan hakim yang berhak untuk menentukan pihak mana yang salah dan pihak mana yang benar, tetapi hanya berperan sebagai penolong. Oleh karena hal tersebut di atas, banyak pihak yang menyatakan bahwa mediasi tidak selalu tepat untuk diterapkan terhadap semua jenis sengketa. Mediasi hanya akan diperlukan apabila di dalam suatu sengketa mengandung syarat-syarat, antara lain: a. Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding.
- 13 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
b. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan. c. Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran. d. Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikannya. e. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam. f. Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak, tetapi dapat dikendalikan. g. Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting dibandingkan persoalan yang mendesak. h. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingankepentingan pelaku lainnya, seperti para pengacara dan penjamin, tidak akan diperlukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi. 4. Arbitrase Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari proses ajudikasi privat. Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilih untuk sengketa kontraktual, baik yang bersifat sederhana maupun kompleks. Arbitrase dapat digolongkan menjadi: 9 a. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi. b. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
9
Priyatna Abdurrasyid, “Serba-Serbi tentang Arbitrase di Indonesia” (makalah pada Seminar Nasional Hukum dan Ekonomi tentang Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, diselenggarakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Kadunda Tk. I Jawa Timur, Surabaya, 1995), hal. 15.
- 14 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
c. Mixed arbitration, yaitu untuk sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum (question of fact and law). Berikut ini tabel yang menjelaskan secara ringkas perbedaan antara konsiliasi, negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Perbedaan antara Konsiliasi, Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase Konsiliasi Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa.
Negosiasi Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa.
Mediasi Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa.
Arbitrase Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa.
Yang memutus sengketa para pihak.
Yang memutus sengketa para pihak.
Yang memutus sengketa para pihak.
Yang memutus sengketa arbiter yang disepakati para pihak.
Keterlibatan pihak ke tiga dikehendaki oleh para pihak.
Tidak ada pihak ke tiga.
Keterlibatan pihak ke tiga dikehendaki sebagai penengah karena keahliannya di bidang yang disengketakan.
Keterlibatan pihak ke tiga dikehendaki sebagai pemutus masalah yang disengketakan karena arbiter yang dipilih memang ahli dalam bidang yang bersangkutan.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian sifatnya informal.
Sumber: Priyatna Abdurrasyid, 1995.
- 15 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Di samping penggolongan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tersebut di atas, ada pula 2 (dua) bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya yang mirip dengan arbitrase, yang akan dijelaskan berikut ini: 1. Mini-trial. Bentuk ini dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai peradilan mini, yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam menyelesaikan sengketa yang sifatnya besar. Para pihak yang bersengketa mengadakan dan membentuk cara-cara dilakukannya hearing, sedangkan ahli-ahli hukum mengajukan argumen-argumen hukumnya pada suatu panel yang khusus dalam rangka mini-trial ini, yang keanggotaannya terdiri dari eksekutif-eksekutif bonafide dari pihak yang bersengketa, serta diketahui oleh seseorang yang netral. 2. Med-arb. Bentuk ini merupakan kombinasi dari bentuk mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan mediasi. Namun demikian, dia tetap tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan setiap isu yang dapat diselesaikan oleh para pihak. Adapun Suyud Margono telah mengelompokkan 3 (tiga) kelompok/cara penyelesaian perselisihan, yaitu: 10 1. Perundingan. 2. Arbitrase. 3. Litigasi. Perundingan diambil sebagai satu kelompok yang mewakili cara-cara negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, karena cara-cara ini tidak dilakukan secara yuridis seperti halnya Arbitrase. Sedangkan yang dimaksud dengan litigasi umumnya ialah suatu cara penyelesaian perselisihan melalui pengadilan. Perbandingan di antara ketiga kelompok cara penyelesaian perselisihan tersebut oleh Margono dijelaskan dalam bentuk tabel berikut:
10
Suyud Margono, op.cit., hal. 18.
- 16 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi Proses
Perundingan
Arbitrase
Litigasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (2 tahun lebih)
Biaya
Murah (flow cost)
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal (expensive)
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial (rahasia)
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan di antara para pihak
Kooperatif
Antagonistis
Antagonistis
Fokus penyelesaian
For the future
Masa lalu (the past)
Masa lalu (the past)
Metode Negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu (blocked)
Jalan buntu (blocked)
Result
Win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dengan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosional bergejolak
Sumber: Suyud Margono, 2000.
- 17 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Berbeda dengan penjelasan dari Margono tersebut, Galang Asmara mengelompokkan cara penyelesaian konflik/perselisihan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 11 1. Penyelesaian yang bersifat yuridis. 2. Penyelesaian yang bersifat nonyuridis. Penyelesaian yang bersifat yuridis dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Penyelesaian melalui pengadilan. 2. Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan, yaitu dengan ADR yang dapat berbentuk arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Penyelesaian yang bersifat nonyuridis terdiri dari beberapa bentuk, yaitu: 1. Negosiasi. 2. Penyelesaian secara sepihak. 3. Penyelesaian dengan kekerasan. Untuk lebih jelasnya, bentuk-bentuk penyelesaian tersebut di atas dapat divisualisasikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
11
Galang Asmara, “Kedudukan dan Peranan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Masa Kini dan Masa yang Akan Datang” (Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996), hal. 49-50.
- 18 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Bentuk-Bentuk Penyelesaian Konflik
Sumber: Galang Asmara, 1996.
B. Pengertian Alternative Dispute Resolution Hingga saat ini masih belum ada keseragaman mengenai apa yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Pendefinisian ADR bukanlah hal yang mudah, sebagaimana yang dikatakan oleh Jaksa Agung dari negara bagian Victoria, Australia, bahwa “ADR means different things to different people”. Namun demikian, sebagai pegangan, dapatlah digunakan salah satu definisi seperti yang dikemukakan oleh Jacqueline M. Nolan-Haley, bahwa “ADR is an umbrella term which refers generally to alternative to court adjudication of disputes such as negotiation, mediation, arbitration, mini-trial and summary jury trial”.
- 19 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Perbedaan di dalam mendefinisikan ADR ini juga meliputi bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dimasukkan ke dalam ADR. Menurut pandangan para sarjana pada umumnya, ADR mencakup berbagai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa selain proses peradilan. Bentuk-bentuk ADR, sebagaimana yang sering menjadi pokok bahasan dalam kepustakaan asing khususnya di Amerika Serikat, ialah: negosiasi, mediasi, pencari fakta (fact-finding) dialog kebijaksanaan, dan arbitrase. 12 Namun, ada pula sarjana yang menganggap hanya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensus yang termasuk ke dalam kategori ADR. Dengan demikian, arbitrase tidak termasuk ke dalam kategori ADR menurut pandangan mereka. 13 C. Alternative Dispute Resolution dan Etika Bisnis ADR bukanlah peradilan resmi (ordinary court) yang memiliki kewenangan memaksa. Kedudukan ADR hanyalah sebagai lembaga extra judicial. Hal penting yang harus diperhatikan, bahwa ADR sebagai lembaga penyelesaian sengketa dapat berkembang dan memiliki kedudukan serta reputasi yang dihormati di berbagai negara ialah karena tingkat kesadaran dan penghayatan etika bisnis masyarakat di negara itu sudah tinggi. Oleh karena itu, jika masyarakat bisnis Indonesia ingin memperoleh penyelesaian yang cepat atas sengketa yang mereka hadapi melalui ADR, maka pertama-tama yang harus dikembangkan ialah etika bisnis. Pelaku bisnis Indonesia harus menyadari bahwa etika bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan hukum bisnis dan praktik bisnis. Di berbagai negara, etika bisnis tidak terpisahkan dari perkembangan disiplin hukum bisnis. Di negara-negara yang telah maju, etika bisnis menjadi bagian yang diajarkan dan dikaji dalam pendidikan hukum bisnis (business 12
Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini” (makalah pada Lokakarya Pelatihan Keterampilan ADR di Fakultas Hukum, Cisarua, 14-17 Juli 1997), hal. 1. 13 Lihat pendapat Gail Bingham sebagaimana dikutip dalam ibid.
- 20 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
law). Terkait dengan hal itu, untuk di Indonesia, masih ada 2 (dua) hal lagi yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi dan dikembangkan, yaitu: pertama, perlunya memperluas pengajaran dan penyebaran wawasan pengetahuan mengenai hukum bisnis yang terkait dengan etika bisnis, dan ke dua, perlunya sosialisasi mengenai nilai-nilai dan kesadaran etika bisnis ke segala lapisan pelaku bisnis Indonesia. Landasan etika bisnis telah ada sejak masa Yunani Kuno (ancient Greek). Landasan dasar etika bisnis, seperti pengusaha yang kedapatan bersalah melakukan praktik bisnis yang amoral, harus dihukum berat, telah dikenal pada masa itu. 14 Dari segi hukum dan praktik bisnis, ada 2 (dua) pokok tanggung jawab dalam etika bisnis, yaitu: Pertama, tanggung jawab hukum (legal responsibility). Tanggung jawab hukum terdiri dari: tanggung jawab perdata (civil liability) dalam bentuk perbuatan melawan hukum dengan menimpakan pembayaran ganti kerugian kepada pelakunya, dan tanggung jawab pidana (crime liability) dengan menjatuhkan hukuman penjara atau denda kepada pelanggar karena melakukan penipuan atau penyesatan (misleading), atau persaingan curang (unfair competition). Ke dua, tanggung jawab sosial. Tanggung jawab ini benar-benar sebagai standar etika bisnis yang harus ditegakkan di atas landasan prinsip praktik hati-hati (care activities). Walaupun tidak ada peraturan hukum atau undang-undang yang melarang suatu aktivitas tertentu, tetapi tetap harus ditegakkan kejujuran budi yang luhur (common honesty) sebagai standar etika bisnis. Dengan demikian, tanggung jawab sosial harus dianggap lebih tinggi daripada tanggung jawab hukum. Menurut Thomas W. Dunfee, ada beberapa etika bisnis yang perlu diperhatikan, yaitu: 15 1. Menjaga kerahasiaan (honor confidentiality). 2. Menghindari timbulnya konflik kepentingan (avoid even the appearance of a conflict interest). 14
Philip J. Scaleta Jr., et al, Foundations of Business Law (Boston: Howard BRI-IRWIN, 1990), hlm. 909. 15 Thomas W. Dunfee, Modern Business Law and The Regulatory Environment (New York: Mc Graw-Hill, Inc., 1996), hal. 148-149.
- 21 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
3. 4. 5. 6.
Kemauan mematuhi hukum (willingly comply with the law). Melakukan kehati-hatian (exercise due care). Bertindak dengan itikad baik (act in good faith). Menghormati kebebasan dan hak-hak pihak lain (respect the liberty and rights of others). 7. Menghormati kesejahteraan manusia (respect human wellbeing). Selain etika bisnis yang bersifat umum tersebut, ada beberapa patokan etika bisnis yang khusus berkaitan dengan sengketa, yaitu: 16 1. Jangan menuntut kemenangan yang sebesar-besarnya dan menghempaskan pihak lain dalam kekalahan yang separahparahnya. 2. Membiasakan menyelesaikan sengketa dengan cepat. 3. Membina saling interdependensi dalam bisnis, dan apabila terjadi sengketa, lakukan langkah-langkah pendekatan untuk mencari kompromi (compromise). Untuk itu, jauhkan sikap dan penggunaan ungkapan “this is my way and that is your way”, karena sikap demikian akan menghadapkan penyelesaian kepada “there is no way” atau jalan buntu. Dari uraian patokan etika bisnis yang dikemukakan di atas, hampir semuanya mengajak masyarakat bisnis untuk mencari penyelesaian sengketa secara kompromi, perdamaian atau kesepakatan bersama. Hal seperti itu tentunya dapat dicapai melalui lembaga ADR, dan bukannya melalui litigasi. D. Alternative Dispute Resolution di dalam Sistem Peradilan Bentuk-bentuk ADR dapat dilakukan, baik di luar maupun di dalam sistem peradilan. Namun, dalam konteks penyelesaian sengketa bisnis internasional, yang lebih banyak digunakan ialah penyelesaian sengketa di luar sistem peradilan. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang berada atau dikaitkan di dalam sistem peradilan tersebut berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain. Namun, secara umum negara-negara yang 16
M. Yahya Harahap, loc.cit., hal. 173-175.
- 22 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
mengaitkan ADR dengan sistem peradilan, mempunyai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang hampir sama. Pada penjelasan berikut di bawah ini, penulis akan menguraikan bentuk-bentuk yang umum dan bentuk-bentuk yang hanya dikenal di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, Australia, dan Cina. 1. Court-Annexed Arbitration Bentuk penyelesaian sengketa ini telah dikenal di seluruh negara yang mengaitkan ADR dengan sistem peradilannya. Court-annexed arbitration adalah penyerahan kasus oleh pengadilan untuk penyelesaian sengketa melalui seorang arbiter daripada melalui ajudikasi. 17 Sistem ini berbeda dengan arbitrase yang bersifat konsensual yang diatur dalam perundang-undangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional, dikaitkan dengan pengadilan (courtdirected). Di Amerika Serikat, court-annexed arbitration telah secara luas diterima sejak diperkenalkannya pada tahun 1952, dan telah diterapkan melalui perundang-undangan negara bagian (state), perundangundangan federal, serta melalui ketentuan-ketentuan peradilan. Sampai saat ini, sistem ini telah diterima oleh lebih kurang 20 (dua puluh) peradilan negara bagian dan 12 (dua belas) peradilan federal. 18 Sebagai contoh, Court-Annexed Arbitration Act 1979 (yang merupakan undangundang federal) telah memberikan kewenangan pada peradilanperadilan distrik di Amerika Serikat untuk membuat ketentuanketentuan peradilan bagi penggunaan arbitrase di dalam berbagai macam tipe sengketa atau kasus dan proses. Selain Amerika Serikat, negara lain yang telah mengembangkan sistem ini ialah Australia. Court-annexed arbitration telah digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata yang terbatas pada jumlah tuntutan ganti kerugian tertentu, tergantung pada yurisdiksi 17
Hilary Astor and Christine M. Chinkin, Dispute Resolution in Australia (Sydney: Butterworths, 1992), hal. 151. 18 Stephen B. Goldberg, Frank E.A. Sanders, and Nancy H. Rogers, Dispute Resolution Negotiation and Other Process (Toronto: Little Brown and Company, 1992), hal. 250.
- 23 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pengadilan masing-masing. Di New South Wales, Australia, misalnya berdasarkan Arbitration (Civil Actions) Amendment Act 1987, untuk jumlah tuntutan ganti kerugian sebesar $ 10.000 wajib diselesaikan melalui arbitrase. 19 Sedangkan di Victoria, jumlah tuntutan ganti kerugian yang bernilai sampai dengan $ 5.000 wajib diserahkan kepada arbitrase. 20 Proses penyelesaian sengketa melalui court-annexed arbitration ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap. Pertama, hakim dari pengadilan yang memeriksa kasus yang diajukan memerintahkan untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, putusan dalam arbitrase tersebut bersifat final dan terakhir/mengikat (final and binding), serta diserahkan kepada pengadilan untuk dilaksanakan seperti halnya putusan pengadilan. Ke dua, jika para pihak tidak menerima putusan yang dijatuhkan dalam proses arbitrase, maka pihak yang tidak puas dapat mengajukan sengketa itu kepada pengadilan yang menyerahkan sengketa tersebut kepada arbiter. Berbeda dengan arbitrase yang bersifat konsensual, courtannexed arbitration ini bersifat wajib, putusannya tidak mengikat. 21 Karena sifatnya yang wajib tersebut, sering proses arbitrase ini gagal karena pihak-pihak yang bersengketa tidak secara sukarela mematuhi putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter. Sistem ini hanya menguntungkan jika para pihak mempunyai itikad baik untuk mematuhi putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter. Jika tidak, sengketa itu harus diajukan kembali kepada pengadilan. Dengan demikian, tujuan dari penyelesaian sengketa secara cepat, dengan biaya lebih ringan dan memuaskan tidak akan tercapai. 2. Mediation in the Court (Mediation-Connected Court) Sistem ini hampir sama dengan court-annexed arbitration. Metode ini berkembang cukup pesat di Amerika Serikat dan Australia, serta biasa disebut pula dengan mediasi atau konsiliasi. 19
Hilary Astor and Christine M. Chinkin, op.cit., hal. 152. Ibid., hal. 154. 21 Stephen B. Goldberg, Frank E.A. Sanders, and Nancy H. Rogers, op.cit. 20
- 24 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Mediation in the court prosesnya berlangsung dalam 2 (dua) tahap. Pertama, pengadilan yang menerima kasus menunjuk mediator untuk menyelesaikan sengketa. Jika dalam tahap ini para pihak dapat membuat suatu kesepakatan penyelesaian, mediator akan membuat kesepakatan tersebut dalam persetujuan tertulis. Selanjutnya persetujuan itu diserahkan kepada pengadilan, yang menyerahkan kasus tersebut ke mediator, untuk dibuatkan perintah pelaksanaan oleh pengadilan. Tahap ke dua, jika kesepakatan gagal dicapai dalam tahap mediasi, perkara akan diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan. Di beberapa pengadilan di Amerika Serikat, mediasi telah menjadi bagian dari proses yudisial. Beberapa pengadilan menunjuk pengacara sebagai mediator, kadang-kadang mediator juga berasal dari pengacara-pengacara yang dipekerjakan pengadilan (pengacara prodeo). Biasanya, mediator-mediator yang ditunjuk oleh pengadilan ialah pengacara, kecuali dalam kasus-kasus perwalian anak. 22 Di Australia, pengadilan-pengadilan negara bagian dapat menunjuk kasus-kasus yang diajukan kepadanya untuk diselesaikan melalui mediasi. Pengadilan-pengadilan di New South Wales, misalnya, menyerahkan kasus kepada The Community Justice Centres. Mediator yang digunakan biasanya berasal dari The Community Justice Centres, tetapi juga bisa berasal dari staf pengadilan, seperti hakim-hakim dan panitera-panitera. 23 Di Victoria, mediasi bahkan digunakan oleh The County Court, baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan para pihak. Di Queensland, Mahkamah Agung Queensland memiliki mediasi wajib untuk perkara-perkara komersial. 24 Di negara bagian ini, perkaraperkara yang berhubungan dengan perkara personal injury dapat diserahkan kepada mediasi melalui suatu jasa yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan Pusat Penyelesaian Sengketa Komersial Australia (Australian Commercial Dispute Centre) yang bekerja sama dengan The Queensland Bar and Law Society. 22
Leonard L. Riskin and James E. Westbrook, Dispute Resolution and Lawyers (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1987), hal. 238. 23 Hilary Astor and Christine M. Chinkin, op.cit., hal. 161. 24 Ibid., hal. 162.
- 25 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Karena masih belum adanya keseragaman mengenai ketentuan proses mediation in the court ini, pada bulan Agustus 1990, The Law Council of Australian membuat suatu usulan kepada Jaksa Agung Persemakmuran (Commonwealth Attorney General) mengenai ketentuan-ketentuan sistem mediasi yang seragam di seluruh pengadilan federal dan negara bagian. 25 3. Summary Jury Trial Metode penyelesaian sengketa ini berkembang di Amerika Serikat. Bentuk penyelesaian sengketa ini sebenarnya dapat dikatakan mirip dan hampir sama dengan minitrial, atau merupakan adaptasi dari minitrial. 26 Summary jury trial berlangsung di pengadilan dengan dipimpin oleh seorang hakim dan juri penasehat. Juri-juri itu biasanya tidak diberi tahu bahwa peranan mereka adalah bersifat sebagai penasehat, sampai mereka menyerahkan putusan mereka. Jadi, mereka didorong untuk menjalankan tanggung jawab sama seriusnya jika mereka sebagai juri yang sesungguhnya. Proses penyelesaian sengketa melalui summary jury trial meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a. Para pihak yang bersangkutan menunjuk dan mengumpulkan beberapa orang dalam 1 (satu) grup yang akan bertindak sebagai juri. b. Pengacara yang mewakili kedua belah pihak menyampaikan kasus sengketanya, biasanya didasarkan atas materi-materi yang akan diajukan ke pengadilan. c. Setelah itu, juri mempertimbangkan, kemudian menyerahkan suatu putusan, dan selanjutnya menjawab pertanyaanpertanyaan pengacara kedua belah pihak mengenai putusan mereka dan tanggapan mereka atas bukti-bukti serta argumenargumen tertentu.
25 26
Ibid., hal. 165. Stephen B. Goldberg, Frank E.A. Sanders, and Nancy H. Rogers, op.cit.,
hal. 235.
- 26 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
d. Setelah penyerahan putusan dan pertanyaan juri, pengacarapengacara serta prinsipal mereka (yang wajib hadir) mendiskusikan penyelesaian yang akan diambil. ***
- 27 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
A. Tinjauan Umum dan Sejarah Mediasi Mediasi mempunyai sejarah yang panjang sebagai suatu cara penyelesaian sengketa. Banyak sarjana, khususnya dari Barat, mengutip dari Bibel untuk melacak awal mula lembaga mediasi. Di dalam Bibel ada dikatakan “for there is one god, and one mediator between god and man, the man Christ Jesus”. 27 Pernyataan itulah yang kemudian dapat dianggap menjadi salah satu tonggak awal adanya lembaga mediasi. Namun demikian, mungkin juga mediasi sebenarnya telah lama digunakan sebelum sejarah tertulis, terutama dalam konteks yang luas di mana seorang pihak ke tiga yang netral melakukan (memiliki) beberapa fungsi. 28 Perkembangan berikutnya menunjukkan gereja-gereja dan pendeta-pendeta telah sering menjadi mediator di antara para jemaatnya atau pihak-pihak yang bersengketa. Pendeta-pendeta bahkan juga telah menengahi sengketa-sengketa kriminal, dan sengketa-sengketa diplomatik antara kaum bangsawan. Hingga masa renaissance, gereja Katolik di Eropa Barat berperan sebagai pusat mediasi dan organisasi manajemen konflik di masyarakat Barat. Dengan munculnya negara-negara bangsa, mediator juga mendapatkan peran baru sebagai perantara diplomatic formal. Diplomat yang bertindak sebagai mediator ini mengangkat serta memperjelas isuisu atau masalah-masalah sosial, mengurangi konflik kepentingan, dan menyampaikan informasi yang penting kepada para pihak. Praktik mediasi ternyata tidak terbatas hanya pada kebudayaan Barat. Kenyataannya, mediasi telah dilakukan secara lebih luas di Cina dan Jepang, di kedua negara itu agama dan falsafah telah meletakkan 27
Christopher W. Moore, The Mediation Process Strategies for Resolving Conflict (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1986), hal. 19. Lihat pula Kimberlee Kovach, Mediation Principle and Practice (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1994), hal. 18. 28 Kimberlee Kovach, Ibid.
- 28 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pemahaman yang kuat pada konsensus sosial, kepercayaan moral, dan keseimbangan atau harmoni di dalam hubungan-hubungan antara manusia. Dewasa ini, mediasi secara luas dilakukan di Cina melalui People’s Mediation Committee. 29 Mediasi juga berkembang di Amerika Latin dan negara-negara yang berbahasa Spanyol lainnya. Nader menulis tentang penyelesaian sengketa di desa-desa orang Mexico-Ralu’a. Di daerah itu, hakim membantu para pihak di dalam membuat keputusan-keputusan secara konsensual. 30 Lederach juga mengemukakan model mediasi lain di negara-negara yang berbahasa Spanyol, seperti Tribunal de las Aguas (Peradilan Air) di Spanyol. 31 Mediasi digunakan pula di Afrika. Peradilan semu dalam bentuk mediasi ialah suatu hal yang umum bagi warga untuk menyelesaikan sengketa-sengketa. Begitupun di Timur Tengah, penyelesaian mediasi juga telah dilakukan di beberapa desa Arab di Jordan. 32 Di Indonesia, mediasi telah lama pula dikenal dan diakui eksistensinya. Hal yang demikian dapat ditemukan di Minangkabau (hasil penelitian Nancy Tanner, pada tahun 1975), Batak (hasil penelitian J.C. Vergouwen, pada tahun 1986, dan H. Slaats serta K. Portier, pada tahun 1992), dan di Maluku Tengah (hasil penelitian Valerine J.L. Kriekhoff). 33 B. Pengertian Mediasi Pengertian mediasi di antara para sarjana tidaklah seragam, masing-masing telah memberikan pengertian sesuai dengan sudut
29
Ministry of Justice People’s Republic of China, People’s Mediation in China (China: Department of Grass-Roots Work, Ministry of Justice People’s Republic of China), hal. 83. 30 Penjelasan L. Nader sebagaimana dikutip dalam Christopher W. Moore, The Mediation Process (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1986), hal. 20. 31 Ibid. 32 Ibid. 33 Valerine J.L. Kriekhoff, “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”, dalam T.O. Ihromi, ed., Antropologi.
- 29 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pandangnya. Istilah “menengahi” (“mediate”) berasal dari bahasa latin “mediare”, yang artinya berada di tengah-tengah. 34 Christopher Moore merumuskan mediasi sebagai berikut: “Mediation is the intervention into a dispute or negotiation by an acceptable, impartial, and neutral third party who has no a authoritative decision-making power to assist disputing parties in voluntary reaching their own mutually acceptable settlement of issues in dispute”. 35 Pihak ke tiga yang dapat diterima (acceptability) diartikan bahwa para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ke tiga itu untuk terlibat di dalam sengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Akseptabilitas tersebut tidak berarti bahwa para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan oleh pihak ke tiga. Stephen B. Goldberg memberikan pengertian mediasi sebagai berikut: “Mediation is negotiation carried out with the assistance of a third party”.36 Kemudian, Kovach merumuskan mediasi sebagai: “facilitated negotiations. It is a process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution”. 37 Adapun Nolan-Haley mendefinisikan mediasi sebagai: “A short-term, structured third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement”. 38
34
Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 16. Untuk definisi dari pakar bisnis dan pakar litigasi lainnya lihat, antara lain, Mark E. Rozkowski, Business Law Principles Cases and Policy (Grenview: Scott Foresman and Company, 1989), hal. 31, John O’Here and Robert N. Hill, Civil Litigation (London: F.T. Law and Tax, 1996), hal. 122, dan Roger S. Haydock, David F. Herr, and Jeffrey W. Stempel, Fundamentals of Pretrial Litigation (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1992), hal. 26. 35 Christhoper W. Moore, op.cit., hal. 13. 36 Stephen B. Goldberg, Frank E.A. Sanders, and Nancy H. Rogers, op.cit., hal. 103. 37 Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 16. 38 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nut Shell (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co.), hal. 56.
- 30 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Dari beberapa pengertian mediasi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa mediasi tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Sebuah proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan perundingan. 2. Adanya pihak ke tiga yang netral, yang disebut mediator, yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan tersebut. 3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah yang menjadi pokok sengketa. 4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusankeputusan selama proses perundingan berlangsung. 5. Tujuan mediasi ialah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. C. Peran dan Fungsi Mediator Melalui definisi yang telah diuraikan sebelumnya dapat diketahui bahwa keterlibatan seorang mediator dalam proses negosiasi atau perundingan ialah untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam proses perundingan agar sengketa dapat diselesaikan. Sebagian sarjana atau praktisi menggunakan istilah “peran” (“role”), namun ada sebagian lainnya yang menggunakan istilah “fungsi” (“functions”) untuk mendeskripsikan kerja, tugas, dan kedudukan dari mediator di dalam proses mediasi. Dalam buku ini, kedua istilah tersebut tidak dibedakan, keduanya digunakan untuk saling melengkapi sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai mediator. Raiffa melihat peran mediator sebagai sebuah kontinum atau garis tentang, yaitu dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. 39 Sisi peran terlemah ialah apabila mediator hanya melaksanakan peran-peran sebagai berikut: 39
Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation (Cambridge: Harvard University Press, 1982), hal. 218-219.
- 31 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
1. Penyelenggara pertemuan. 2. Pemimpin diskusi yang netral. 3. Pemeliharaan atau penjaga aturan-aturan perundingan agar perdebatan dalam proses perundingan berlangsung secara beradab. 4. Pengendali emosi para pihak. 5. Pendorong pihak atau peserta perundingan yang kurang atau segan untuk mengungkapkan pandangannya. Sisi peran yang kuat yang dapat dilakukan oleh mediator, yaitu apabila mediator bertindak atau mengerjakan hal-hal sebagai berikut dalam proses perundingan: 1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan. 2. Merumuskan atau mengartikulasikan titik temu atau kesepakatan para pihak. 3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan. 4. Menyusun dan mengusulkan alternatif-alternatif pemecahan masalah. 5. Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut. Kovach menyebutkan peran mediator mencakup hal-hal berikut: 40 1. Mengarahkan komunikasi di antara para pihak. 2. Memfasilitasi atau memimpin proses perundingan. 3. Mengevaluasi kemajuan proses perundingan. 4. Membantu para pihak untuk mempelajari dan memahami pokok masalah dan berlangsungnya proses perundingan secara baik. 5. Mengajukan usul atau gagasan tentang proses dan penyelesaian sengketa. 6. Mendorong para pihak ke arah penyelesaian.
40
Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 28-29.
- 32 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
7. Mendorong kemampuan dari dan pemberdayaan para pihak untuk melaksanakan proses perundingan. 8. Mengendalikan jalannya proses perundingan. Riskin dan Westbrook menyebutkan peran mediator sebagai berikut: 41 1. Mendesak para juru runding agar setuju atau berkeinginan untuk berbicara. 2. Membantu para peserta perundingan untuk memahami proses mediasi. 3. Membawa pesan para pihak. 4. Membantu para juru runding untuk menyepakati agenda perundingan. 5. Menyusun agenda. 6. Menyediakan suasana yang menyenangkan bagi berlangsungnya proses perundingan. 7. Memelihara ketertiban perundingan. 8. Membantu para juru runding untuk memahami masalah. 9. Melarutkan harapan-harapan yang tidak realistis. 10. Membantu juru runding untuk mengembangkan usulan-usulan mereka. 11. Membantu juru runding untuk melaksanakan perundingan. 12. Membujuk juru runding agar menerima sebuah penyelesaian tertentu. Fuller menyebutkan ada 7 (tujuh) fungsi dari mediator, yaitu sebagai: catalyst, educator, translator, resource person, bearer of bad news, agent of reality, dan scapegoat. 42
41 42
Leonard L. Riskin and James E. Westbrook, op.cit., hal. 92. Ibid., hal. 210-211.
- 33 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Peter Lovenheim mengemukakan bahwa peranan dari mediator ialah untuk membantu para pihak dalam: 43 1. Menemukan persoalan-persoalan yang terdapat pada sengketa mereka. 2. Memahami perbedaan antara apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan. 3. Memahami keinginan dan kebutuhan pihak lain. 4. Dan, secara realistis mempertimbangkan pilihan-pilihan yang memungkinkan. Adapun Gifford mengidentifikasikan fungsi-fungsi mediator di dalam sebuah proses perundingan, yaitu untuk: 44 1. Memperbaiki komunikasi di antara para pihak. 2. Memperbaiki sikap para pihak terhadap satu sama lainnya. 3. Memberikan wawasan kepada para pihak atau kuasa hukumnya tentang proses perundingan. 4. Menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi atau kedudukannya tidak menguntungkan dirinya. 5. Mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasikan oleh para pihak. Gifford selanjutnya menjelaskan bahwa upaya untuk memperbaiki komunikasi di antara para pihak dan upaya untuk memperbaiki sikap para pihak, sesungguhnya merupakan 2 (dua) hal yang saling terkait. Keinginan para pihak untuk saling berkomunikasi, saling berbagi informasi, dan untuk menempuh perundingan yang kooperatif atau bersifat memecahkan masalah sering dihambat justru oleh perasaan para juru runding bahwa posisinya akan lemah jika pihak lain tidak mengambil sikap yang sama, yaitu bersifat kooperatif juga. Oleh sebab itu, kehadiran mediator berusaha untuk menciptakan suasana kondusif bagi terselenggaranya proses perundingan yang kooperatif atau yang dapat memecahkan masalah, dan bukan bersifat kompetitif. 43
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate (New York: Mc Graw Hill Publishing Company, 1989), hal. 36. 44 Donald G. Gifford, Legal Negotiation Theory and Applications (St. Paul, Minnesota: West Publishing, Co., 1989), hal. 204-206.
- 34 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Mediator dapat membantu proses berbagi informasi secara sepihak. Namun, mediator juga berkewajiban untuk merahasiakan informasi yang diberikan kepadanya dalam sebuah kaukus, dalam pertemuan mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, atau dalam hal mediator memang diminta oleh pihak pemberi informasi untuk merahasiakan informasi itu. Fungsi mediator untuk “mendidik” atau memberi wawasan kepada para pihak tentang proses perundingan ialah untuk mencegah sikap kompetitif dari salah satu atau para pihak. Proses perundingan yang sangat kompetitif mengandung risiko, yaitu bahwa proses perundingan dapat berakhir pada jalan buntu. Kehadiran mediator sebagai “pendidik” sangat diperlukan dalam proses perundingan. Hal itu dapat dilakukan oleh mediator dengan menyerahkan kepada para pihak untuk mengkaji kepentingan para pihak secara bersama-sama dan mengemukakan beberapa alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi perbedaan kepentingan yang timbul. Mediator dapat juga mengemukakan saran tentang substansi pemecahan masalah selain tentang proses perundingan itu sendiri. Setelah secara aktif mendengarkan pernyataan dari para pihak, mediator mungkin pula jadi dapat memahami kepentingan para pihak, dan kemudian mengemukakan usulan-usulan pemecahan masalah yang belum diidentifikasikan oleh para pihak itu sendiri. Lazimnya, seorang mediator tidak cepat-cepat mengemukakan usulan-usulan tentang substansi, dia lebih menyukai agar para pihak sendiri yang berusaha mengidentifikasikan berbagai alternatif pemecahan masalah. Usulan dari mediator biasanya disampaikan setelah para pihak tidak lagi mempunyai gagasan tentang pemecahan masalah. Akan tetapi, bagaimanapun seorang mediator harus menyadari bahwa peran yang terlalu aktif dalam hal substansi mengandung risiko, yaitu bahwa hasil akhir atau hasil kesepakatan dapat dipandang oleh para pihak atau salah satu pihak bukan sebagai hasil pemikiran mereka sendiri, tetapi sebagai buah pemikiran si mediator, sehingga para pihak atau salah satu pihak tidak sepenuh hati menerima hasil akhir atau hasil kesepakatan.
- 35 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
D. Tahapan Proses Mediasi Mengenai tahapan proses mediasi, belum terdapat keseragaman dan pedoman yang baku di antara para sarjana atau praktisi mediasi. Pada umumnya, para sarjana atau praktisi mediasi memberikan penjelasan mengenai tahapan mediasi berdasarkan pada pengalaman mereka masing-masing saat menjadi mediator. Riskin dan Westbrook membagi proses mediasi ke dalam 5 (lima) tahap, yaitu: 45 1. Kesepakatan untuk menempuh proses mediasi. 2. Memahami masalah. 3. Mengemukakan pilihan pemecahan masalah. 4. Mencapai kesepakatan. 5. Melaksanakan kesepakatan. Kovach membagi proses mediasi dalam 9 (sembilan) tahap, 46 yaitu: 1. Penataan atau pengaturan awal. 2. Pengantar atau pembukaan oleh mediator. 3. Pernyataan pembukaan oleh para pihak. 4. Pengumpulan informasi. 5. Identifikasi masalah, penyusunan agenda, dan kaukus. 6. Mengemukakan pilihan pemecahan masalah. 7. Melakukan tawar-menawar. 8. Kesepakatan. 9. Penutupan. Moore mengemukakan 12 (dua belas) tahap dari proses mediasi, 47 yaitu: 1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa. 2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi. 3. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa. 4. Menyusun rencana mediasi. 5. Membangun kepercayaan dan kerja sama di antara para pihak. 45
Leonard L. Riskin and James E. Westbrook, op.cit., hal. 214. Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 24-26. 47 Christopher W. Moore, op.cit., hal. 25. 46
- 36 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
6. Memulai sidang-sidang mediasi. 7. Merumuskan masalah dan menyusun agenda. 8. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak. 9. Mengemukakan pilihan penyelesaian sengketa. 10. Menganalisis pilihan penyelesaian sengketa. 11. Proses tawar-menawar akhir. 12. Mencapai penyelesaian formal. Berikut di bawah ini akan dijelaskan keduabelas tahap mediasi seperti yang telah diungkapkan oleh Moore. 1. Mediator Menjalin Hubungan Awal dengan Pihak-pihak yang Bersengketa Di dalam praktik mediasi, mediator dapat terlibat ke dalam sengketa dan proses perundingan melalui cara-cara berikut: a. Berdasarkan inisiatif langsung para pihak. b. Saran dari pihak lain, tetapi diterima oleh para pihak. c. Inisiatif atau tawaran langsung dari mediator kepada para pihak dan diterima. d. Penunjukan oleh badan atau pejabat yang berwenang. Setelah mediator terlibat atau melibatkan diri ke dalam proses penyelesaian sengketa, upaya terpenting yang harus dilakukan setiap mediator ialah membangun kepercayaan di dalam diri para pihak. 2. Memilih Strategi untuk Membimbing Proses Mediasi Mediator membantu para pihak dalam menganalisis pendekatan sebagai sarana untuk mengelola konflik. Pendekatan yang dapat dipilih oleh para pihak dengan bantuan mediator ialah apakah proses mediasi perlu berlangsung secara formal atau informal, dan bersifat terbuka untuk umum atau bersifat tertutup (private). Proses mediasi berlangsung formal jika diselenggarakan dengan aturan perundingan yang ketat. Sebaliknya, proses mediasi dikatakan bersifat informal jika tidak didasarkan pada aturan yang ketat. Mediator perlu menjelaskan kelebihan dan kelemahan dari tiap-tiap pendekatan itu.
- 37 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Mediator juga perlu memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat berlangsung berdasarkan pendekatan yang kooperatif, kompromistis, akomodatif, atau kolaboratif. Pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. 3. Mengumpulkan dan Menganalisis Informasi Latar Belakang Sengketa Pengumpulan data dan analisis terhadap konflik memungkinkan mediator untuk mengidentifikasi pihak-pihak utama yang terlibat konflik, menentukan pokok masalahnya, serta mengetahui kepentingankepentingan para pihak tersebut. Dari data yang diperoleh, mediator dapat memahami asal-usul dan dinamika sebuah sengketa. Melalui pengumpulan data dan analisis terhadap konflik, mediator selanjutnya dapat menyusun rencana atau strategi mediasi. Pengumpulan data dapat dilakukan oleh mediator melalui teknik pengamatan langsung, kunjungan lapangan, dan wawancara terhadap para pihak, atau menggunakan sumber-sumber sekunder. 4. Menyusun Rencana Mediasi Dalam mempersiapkan rencana mediasi, mediator harus mampu menjawab persoalan-persoalan berikut: a. Siapa sajakah yang boleh terlibat dalam proses perundingan? b. Di manakah proses perundingan mediasi sebaiknya diselenggarakan? c. Bagaimanakah sebaiknya penataan atau pengaturan susunan tempat duduk para peserta perundingan dilakukan? d. Prosedur apa yang perlu digunakan? e. Masalah, kepentingan apa, dan kemungkinan penyelesaian apa yang perlu bagi para pihak? f. Bagaimana aturan-aturan perundingan dibuat atau ditetapkan? g. Apakah rencana umum untuk pertemuan perundingan yang pertama? h. Bagaimanakah kondisi psikologis para pihak? i. Bagaimanakah cara mengerahkan atau memberi wawasan kepada para pihak tentang proses mediasi? - 38 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
j. Apakah ada kemungkinan menghadapi jalan buntu dan bagaimana cara mengatasi jalan buntu itu kalau memang terjadi? 5. Membangun Kepercayaan dan Kerja Sama di antara Para Pihak Ada 5 (lima) masalah yang dapat menciptakan dinamika psikologi negatif dalam sebuah proses perundingan. Kelima masalah itu ialah: a. Emosi yang kuat atau tidak terkendali. b. Adanya persepsi keliru (stereotype) yang dimiliki oleh salah satu pihak atau para pihak tentang diri lawan mereka atau tentang masalah-masalah tertentu. c. Masalah legitimasi. d. Kekurangpercayaan. e. Komunikasi yang buruk. Dengan demikian, agar dapat membantu para pihak menghasilkan kesepakatan penyelesaian, maka mediator pertama-tama harus berusaha mengatasi atau memecahkan kelima masalah yang dapat menghambat jalannya proses mediasi, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dari kelima masalah tersebut, yang paling mendapatkan perhatian ialah masalah legitimasi dan masalah komunikasi. Masalah legitimasi berkaitan dengan pengakuan dari satu pihak terhadap kepentingan pihak lainnya. Tanpa adanya pengakuan itu, proses perundingan tidak mungkin berlangsung, karena orang baru bersedia memasuki proses perundingan jika mereka mengakui atau menerima keabsahan dan validitas dari masalah, serta kepentingan yang dikemukakan pihak lawannya. Oleh karena itu, mediator diharapkan dapat melakukan upaya persuasif agar para pihak dapat saling mengakui legitimasi masing-masing. Untuk membangun kepercayaan para pihak satu sama lainnya, mediator dianjurkan untuk mendorong para juru runding agar menyampaikan ucapan-ucapan yang jelas dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, serta mengadakan perundingan di tempat dan pada waktu yang dapat diterima semua pihak.
- 39 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Komunikasi ialah unsur utama dalam sebuah proses perundingan. Perlu juga diingat bahwa meskipun para pihak bersedia berbicara satu sama lain, tidak berarti dengan sendirinya perbedaanperbedaan dapat diselesaikan. Hal yang penting ialah bagaimana pembicaraan atau komunikasi itu dapat terarah dan produktif. Oleh sebab itu, mediator diharapkan dapat membantu para pihak dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pertama, mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah atau pertemuan kaukus, sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan guna mengetahui informasi apa saja yang boleh dan tidak boleh diungkapkan dalam pertemuan lengkap. Ke dua, mediator dapat mempengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya dengan cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak. Ke tiga, mediator dapat membatasi atau menginterupsi pembicaraan satu pihak jika yang dibicarakannya menyangkut hal sensitif bagi pihak lainnya. 6. Memulai Sidang Mediasi Untuk memulai atau membuka sidang mediasi, mediator harus lebih dulu mampu menciptakan suasana positif dan optimistis yang dapat menimbulkan rasa saling percaya dan kepedulian di antara para pihak agar mereka dapat menyelesaikan sengketa. Pernyataan pembukaan mediator lazimnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Perkenalan diri mediator, dan jika suasana memungkinkan juga para pihak. b. Penekanan adanya kemampuan para pihak untuk menyelesaikan masalah melalui proses perundingan. c. Pengertian tentang mediasi dan peranan mediator. d. Penjelasan prosedur mediasi. e. Penjelasan pengertian kaukus. f. Penjelasan tentang parameter kerahasiaan. g. Uraian tentang tempat serta jadwal, dan lamanya proses perundingan. - 40 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
h. Saran-saran tentang pedoman atau aturan perilaku dalam proses perundingan, dan kemudian memberikan kesempatan kepada para pihak untuk bertanya, serta pertanyaan akan dijawab oleh mediator tersebut. 7. Merumuskan Masalah dan Menyusun Agenda 3 (tiga) tugas penting bagi mediator dan para perunding sebelum mereka membahas masalah-masalah substantif secara lebih intensif ialah: a. Terlebih dahulu mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan yang menjadi kepedulian para pihak. b. Menyepakati subtopik permasalahan yang akan dibahas dalam perundingan. c. Menentukan urutan subtopik yang akan dibahas dalam proses perundingan. Penyusunan agenda perundingan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pertama, satu pihak mengusulkan kepada pihak lainnya untuk membahas masalah tertentu dan pihak lain ternyata menyetujuinya. Setelah masalah tersebut selesai, kemudian diikuti dengan pembahasan yang lainnya. Ke dua, dengan cara memberikan urutan dari segi pentingnya tiap-tiap masalah. Berdasarkan urutan nilai pentingnya masalah itu, para pihak kemudian membahas tiap-tiap masalah. Ke tiga, dengan cara membahas sebuah masalah yang dianggap masalah pokok, sehingga jika para pihak dapat mencapai kesepakatan tentang hal tersebut, maka dengan sendirinya masalah kecil (yang menjadi masalah turunannya) akan dapat diselesaikan pula. 8. Mengungkapkan Kepentingan Tersembunyi Para Pihak Para pihak dalam sebuah sengketa tidak jarang mengalami kesulitan untuk merumuskan kepentingan mereka secara jelas dan lugas. Ketidakjelasan ini dapat terjadi, antara lain, karena mereka tidak menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya atau mereka secara sengaja menyembunyikan kepentingan mereka, dengan harapan mereka akan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Keadaan seperti itu tentunya dapat menghambat tercapainya kemajuan dalam sebuah proses - 41 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
perundingan. Oleh karena itu, mediator juga perlu mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. Upaya ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: dengan cara langsung, dan cara tidak langsung. Cara langsung ialah dengan mengemukakan pertanyaan langsung kepada pihak yang bersangkutan. Cara tidak langsung ialah dengan mendengarkan dan merumuskan kembali pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan para pihak, serta melakukan pengujian-pengujian. 9. Membangkitkan Pilihan Penyelesaian Sengketa Ketika memasuki proses perundingan, pihak-pihak yang bersengketa sering telah memiliki keyakinan bahwa masing-masing mereka telah menemukan penyelesaian masalah. Oleh sebab itu, para pihak cenderung bertahan pada bentuk penyelesaian masalah yang telah melekat pada alam pikiran mereka, padahal penyelesaian itu secara objektif belum tentu dapat menyelesaikan sengketa dan memuaskan pihak lainnya. Sikap yang bersifat posisional ini dapat sekaligus menutup adanya kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dengan jalan yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka tugas mediator ialah harus juga dapat mendorong para pihak untuk tidak bertahan pada pola pikiran yang demikian (bertahan pada apa yang ada di pikiran mereka masing-masing), tetapi harus berusaha terbuka dan secara bersama-sama mencari berbagai alternatif pemecahan masalah. 10. Menganalisis Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam tahap ini, para pihak dengan bantuan mediator menganalisis sejumlah pilihan pemecahan masalah yang diharapkan dapat mengakhiri sengketa. Para pihak menganalisis sejauh mana suatu pemecahan masalah atau kombinasi pemecahan masalah dapat memuaskan atau memenuhi kepentingan mereka. Tugas mediator dalam hal ini ialah membantu para pihak dalam mengevaluasi pilihan-pilihan yang tersedia dan membantu mereka dalam menentukan untung ruginya bagi penerimaan atau penolakan terhadap suatu pemecahan masalah.
- 42 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Mediator juga dapat mengingatkan para pihak agar bersikap realistis, yaitu saat mereka memiliki harapan atau target yang terlalu tinggi, sehingga mereka mengemukakan tuntutan atau tawaran yang tidak masuk akal. Upaya mengingatkan ini sebaiknya dilakukan dalam pertemuan kaukus. 11. Proses Tawar-Menawar Dalam tahap ini, para pihak telah melihat adanya peluangpeluang titik temu bagi kepentingan mereka, namun masih tetap ada perbedaan-perbedaan. Mereka masih harus lebih memperjelas atau merinci letak kesamaan-kesamaan pandangan dan perbedaan-perbedaan pandangan di antara mereka. Dalam tahap ini pula, para pihak telah bersedia memberikan konsesi satu sama lainnya tentang suatu masalah atau persoalan untuk mengimbangi kerugian atau keuntungan yang diperoleh dalam masalah lainnya. Dalam situasi seperti itu, mediator seharusnya membantu para pihak dalam mengembangkan tawaran tentatif (sementara) yang bisa digunakan untuk menguji dapat atau tidaknya tercapainya penyelesaian bagi masalah-masalah tertentu. Tawaran-tawaran tentatif dapat dibahas oleh para pihak dalam pertemuan yang lengkap, atau disampaikan dalam pertemuan kaukus oleh mediator kepada para pihak, tanpa mengharuskan para pihak terikat pada suatu bentuk pemecahan masalah. Para pihak lazimnya pertamatama berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam hal pokok (agreement in principles). Berdasarkan formula umum atau hal pokok itulah kemudian para pihak berusaha untuk menyelesaikan beberapa submasalah yang ada. 12. Mencapai Penyelesaian Formal Tahap akhir dari proses mediasi mengharuskan para pihak untuk memformalisasikan kesepakatan dan menyusun prosedur atau rencana pelaksanaan dan pemantauan kesepakatan. Rencana pelaksanaan kesepakatan mengacu pada langkahlangkah yang akan ditempuh para pihak untuk merealisasikan bunyi kesepakatan dan mengakhiri sengketa. Keberhasilan kesepakatan secara substantif sangat tergantung pada rencana pelaksanaan kesepakatan. - 43 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Buruknya rencana kesepakatan tentu akan berpengaruh pada pelaksanaan kesepakatan, yang pada akhirnya tidak akan mampu mengakhiri sengketa, bahkan hal ini dapat menimbulkan masalah baru. Sebuah kesepakatan mengandung janji-janji atau komitmen para pihak. Sebagian dari janji-janji atau komitmen itu dapat bersifat self executing dan sebagian lainnya dapat bersifat non-self executing. Untuk kesepakatan yang bersifat self executing, pelaksanaannya dapat dengan mudah diketahui. Misalnya, kesepakatan tentang pembayaran ganti kerugian, kesepakatan itu dikatakan telah terealisasi apabila pihak yang berjanji telah membayar sejumlah uang yang disepakati. Pelaksanaan dari pembayaran ganti kerugian itu, antara lain, dapat dibuktikan dengan penyerahan langsung biaya ganti kerugian kepada pihak yang berhak di hadapan mediator atau pejabat berwenang, dengan disertai bukti pembayaran. Berbeda dengan pelaksanaan kesepakatan yang self executing, pelaksanaan kesepakatan non-self executing tidak dengan mudah dapat diketahui. Misalnya, kesepakatan yang mewajibkan sebuah pabrik untuk mengolah limbah dengan aman, maka untuk mengetahui apakah kesepakatan itu telah dilaksanakan diperlukan sebuah rencana pemantauan pelaksanaan kesepakatan. Rencana itu disusun bersama oleh para pihak untuk mengetahui bahwa kesepakatan tadi memang benar-benar telah dilaksanakan. Dari uraian di atas, terlihat betapa pentingnya peranan seorang mediator di dalam proses mediasi. Oleh karena itu, seorang mediator haruslah orang yang mempunyai pengetahuan, penguasaan materi sengketa, kemampuan teknik dan keterampilan, serta kemampuan psikologis dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, seorang mediator harus pula memiliki kemampuan untuk mendengar, bertanya, mengamati, mewawancarai, konseling, dan negosiasi. Sehubungan dengan keterampilan seorang mediator, The Society of Professional Industry Dispute Resolution (SPIDR) telah membentuk suatu komisi untuk mempelajari kualifikasi mediator dan arbiter.
- 44 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Komisi itu telah mengidentifikasi beberapa keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang mediator, yaitu: 48 a. Kemampuan untuk mengerti proses negosiasi dan peranan advokasi. b. Kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dan mempertahankan akseptabilitasnya. c. Kemampuan untuk mengubah posisi-posisi para pihak menjadi kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. d. Kemampuan untuk menyaring masalah-masalah yang tidak dapat dimediasi. e. Kemampuan untuk membantu para pihak menemukan pilihanpilihan kreatif. f. Kemampuan untuk membantu para pihak mengidentifikasi prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria yang akan menuntun pembuatan keputusan mereka. g. Kemampuan untuk membantu para pihak menilai alternatifalternatif mereka yang tidak dapat diselesaikan. h. Kemampuan untuk membantu para pihak membuat pilihanpilihan mereka sendiri. i. Kemampuan untuk membantu para pihak menilai apakah persetujuan mereka dapat dilaksanakan. ***
48
Jacqueline M. Nolan-Haley, op.cit., hal. 77.
- 45 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
BAB III MASALAH HUKUM DALAM MEDIASI
A. Kerahasiaan Salah satu hal positif yang penting dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi ialah adanya diskusi yang terbuka antara para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Hal-hal yang sulit dan tidak mungkin terungkap dalam negosiasi antara para pihak sendiri, dengan bantuan dan keahlian mediator, dapat diungkapkan dalam proses mediasi. Keterbukaan ini terjadi karena para pihak yakin dan percaya akan netralitas dari mediator sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mengemukakan informasi-informasi yang penting, yang kepada penasehat hukumnya pun informasi tadi belum tentu akan diungkapkan. Sehubungan dengan keterbukaan informasi dalam proses mediasi, dapat timbul masalah mengenai kerahasiaan informasi yang diberikan, yaitu apakah ada jaminan bahwa informasi yang diberikan selama proses mediasi mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak diungkapkan dalam proses penyelesaian sengketa lain atau kepada pihak ke tiga. Pada umumnya, informasi yang diberikan selama berlangsungnya proses mediasi mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dikemukakan pada proses yang lain atau pada pihak ke tiga. Perlindungan seperti itu biasanya diberikan oleh ketentuan-ketentuan hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, kontrak, hak-hak istimewa, maupun undang-undang yang khusus. Di Amerika Serikat misalnya, dalam peraturan-peraturan mengenai alat bukti, termasuk ketentuan 408 Hukum Acara Perdata Federal dan ketentuan-ketentuan yang sama pada separuh negara bagian yang lain, telah melarang dikemukakannya bukti-bukti dan pernyataan yang dibuat selama dalam mediasi. Dalam hal hak-hak istimewa, pengadilan di Amerika Serikat dapat mengakui suatu hak istimewa pada mediasi berdasarkan pertimbangan ketertiban umum (public policy). Hal ini dapat dilihat
- 46 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pada kasus perburuhan NLRB v. Joseph Macaluso, Inc. (1980).49 Pengadilan di Amerika Serikat juga menghormati persetujuan kerahasiaan dalam mediasi. Hal ini telah ditunjukkan dalam beberapa kasus. Salah satu contoh kasus yang sering dikemukakan oleh para sarjana ialah kasus Simrin v. Simrin (1965). Dalam kasus tersebut, hakim menolak permohonan sang istri untuk meminta kesaksian mediator dalam gugatan perwalian. 50 Selain berdasarkan peraturan-peraturan yang bersifat publik, perlindungan kerahasiaan tersebut juga diatur dalam ketentuanketentuan prosedur mediasi yang disediakan oleh penyedia jasa mediasi. American Arbitration Association (AAA), misalnya, dalam Commercial Mediation Rules-nya mengatur bahwa kerahasiaan informasi yang dikemukakan pada seorang mediator oleh para pihak atau oleh saksisaksi dalam proses mediasi tidak dapat dibocorkan oleh mediator. Semua catatan, laporan, atau dokumen lain yang diterima oleh mediator harus bersifat rahasia. Mediator tidak dapat dipaksa untuk membuka catatan-catatan tersebut atau memberikan kesaksian yang berkenaan dengan mediasi pada setiap proses adversarial atau forum judisial. 51 B. Kekuatan Eksekusi Ada 2 (dua) masalah yang berhubungan dengan kekuatan eksekusi mediasi, yaitu: 1. Apakah suatu persetujuan mediasi (mediation agreement) dapat dilaksanakan (enforceable)? 2. Apakah persetujuan yang dicapai dalam mediasi dapat dilaksanakan? 1. Persetujuan Mediasi (Mediation Clause) Persetujuan mediasi dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara. Pertama, memasukkannya langsung ke dalam klausul kontrak (mediation clause agreement). Ke dua, setelah terjadi sengketa para
49
Ibid., hal. 93. Ibid., hal. 100. 51 Ibid., hal. 99. 50
- 47 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
pihak sepakat untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada mediasi (mediation submission). Persetujuan mediasi biasanya dirumuskan dengan kata-kata yang menyatakan bahwa sengketa yang terjadi di kemudian hari akan diselesaikan melalui mediasi, ada proses penunjukkan mediator, dan biaya proses mediasi. Dalam praktik hukum, perjanjian mediasi mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan. Salah satu contohnya dapat dikemukakan, yaitu dalam kasus AMF, Inc. v. Brunswick, Corp. (1985). 52 Hal yang sama juga terjadi di Australia pada kasus Public Authorities Superannuation Board v. Southern International Development dan Allco Steel (Queensland) Pty Ltd. v. Torres Strait.53 Pada kasus-kasus tersebut, pengadilan menghormati pilihan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, dan memerintahkan para pihak untuk bermediasi sebelum perkaranya diperiksa di pengadilan. Pengakuan pengadilan itu terjadi karena para pihak dengan tegas mencantumkan klausul mediasi dalam kontraknya. 2. Persetujuan yang Dicapai dalam Mediasi Pada umumnya, dalam praktik hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, persetujuan yang dicapai dalam mediasi dianggap sebagai suatu kontrak dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum kontrak. Misalnya, harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak, ada waktu pelaksanaan kontrak, ada bentuknya, dan ada kekuatan mengikatnya. Persetujuan yang dicapai dalam mediasi dapat meliputi seluruh masalah yang menjadi sengketa, maupun untuk sebagian masalah. Dalam proses mediasi, peran mediator sangat penting dalam mengarahkan para pihak untuk mencapai penyelesaian, agar para pihak dapat mencapai persetujuan untuk seluruh masalah. Persetujuan penyelesaian mediasi harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Untuk memberikan kepastian kepada para pihak, sebaiknya persetujuan yang dicapai dalam mediasi dirumuskan dalam bentuk 52 53
Ibid., hlm. 101. Hilary Astor and Christine M. Chinkin, op.cit., hal. 205-206.
- 48 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
tertulis. Persetujuan itu juga harus jelas isinya, dan bagaimana kekuatan berlakunya, apakah bersifat mengikat (binding) atau tidak. Walaupun pada umumnya persetujuan hasil mediasi tidak mengikat, para pihak dapat menentukan lain. Dengan kata lain, persetujuan mediasi dapat mengikat, apabila para pihak memang memperjanjikannya. ***
- 49 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
BAB IV PERKEMBANGAN MEDIASI DI BEBERAPA NEGARA
A. Amerika Serikat Mediasi sudah dikenal dalam budaya penduduk asli Amerika selama beratus-ratus tahun. 54 Pendekatan menengahi (mediate) terhadap sengketa telah dikenal oleh penduduk asli Amerika, Indian, dan para pendatang pada masa dahulu. 55 Di dalam budaya Indian, menjaga perdamaian ialah metode pemecahan masalah yang utama. Budaya Indian mengutamakan konsensus sebagai dasar untuk penggunaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hakim Tom Tso, seorang pakar hukum kebiasaan penduduk asli Amerika, bahwa metode-metode peradilan orang Indian sebagian besar berdasarkan pada hubungan-hubungan keseimbangan dan penggunaan konsensus untuk memutuskan sengketa-sengketa. 56 Pada awal abad ke-20, mediasi telah dilembagakan secara formal dan dikembangkan menjadi suatu profesi yang diakui. Di Amerika Serikat, mediasi pertama kali dilembagakan secara formal dalam bidang hubungan buruh dan pimpinan perusahaan. 57 Pada tahun 1913, Kongres Amerika Serikat membentuk Departemen Tenaga Kerja dan menetapkan bahwa Sekretaris Departemen bertindak sebagai mediator. Mediasi digunakan agar sengketa dapat diselesaikan dengan cepat, dan untuk menghindari pemogokan. Karena perkembangan bidang hubungan perburuhan yang semakin pesat, Kongres Amerika Serikat pada tahun 1947 membentuk 54
Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution Journal (March 1994): 39. 55 Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 19. Lihat pula Christoper W. Moore, op.cit., hal. 20. 56 Tom Tso, “Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National Code of Judical Conduct”, Judicaturel 15 (June-July 1992). 57 Lihat Kimberlee Kovach, op.cit., hal. 20. Lihat pula Christopher W. Moore, op.cit., hal. 21.
- 50 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Pelayanan Mediasi dan Konsiliasi Federal (The Federal Mediation and Conciliation Service). The Federal Mediation and Conciliation Service adalah suatu badan federal yang independen, yang mempunyai yurisdiksi atas sengketa-sengketa di dalam industri-industri yang berkaitan dengan perdagangan antarnegara bagian, fasilitas-fasilitas nonprofit privat, dan badan-badan pemerintahan federal. 58 Badan ini masih aktif sampai sekarang, dan memfokuskan perannya pada mediasi dalam sengketasengketa perburuhan. Penggunaan mediasi oleh pemerintah federal dalam sengketasengketa perburuhan telah menjadi suatu model bagi banyak negara bagian. Sejumlah negara bagian telah mengesahkan undang-undang, membuat peraturan-peraturan, dan melatih para calon mediator untuk menangani konflik perburuhan. Mediasi yang disponsori oleh pihak pemerintah kemudian tidak hanya terbatas pada soal-soal hubungan perburuhan saja, tetapi juga mencakup soal-soal hak-hak sipil warga. Pada tahun 1964, Kongres Amerika Serikat mengesahkan Undang-undang Hak-Hak Sipil Tahun 1964 (The Civil Rights Act of 1964) dan membentuk Pelayanan Hubungan-Hubungan Kemasyarakatan (The Community Relations Service) yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman. Badan ini diberi wewenang untuk membantu kelompok atau perorangan pada penyelesaian sengketa, ketidaksetujuan, atau kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan praktik-praktik diskriminasi berdasarkan pada ras, warna kulit, atau asal kebangsaan. Badan ini membantu masyarakat dalam penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi daripada membiarkan mereka menggunakan kekerasan atau sistem yudisial. Sejak pertengahan tahun 1960-an, mediasi telah tumbuh secara signifikan sebagai suatu pendekatan formal dan secara luas dipraktikkan untuk penyelesaian sengketa. Dalam sektor masyarakat (community sector), pemerintah federal membiayai Pusat Peradilan Lingkungan (Neighborhood Justice Centers) yang menyediakan pelayanan mediasi
58
Ibid.
- 51 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
secara cuma-cuma atau biaya murah kepada umum untuk menyelesaikan sengketa secara efektif, tidak mahal, dan informal. Pada tahun 1970, suatu usaha inovasi untuk mengurangi beban sistem peradilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Lembaga Kehakiman Nasional dengan mengadakan suatu percobaan di 3 (tiga) kota di Amerika Serikat, yaitu Atlanta, Kansas City, dan Los Angeles. Tujuan dari percobaan itu ialah untuk menjawab pertanyaan: dapatkah sengketa yang melibatkan penduduk biasa berhasil diselesaikan melalui mediasi sebagai suatu alternatif dari litigasi tradisional? Percobaan yang melibatkan pusat-pusat mediasi lokal tersebut ternyata berhasil dengan baik. 59 Dalam perkembangan selanjutnya, banyak Pusat Peradilan Lingkungan ini berkembang, dan tidak hanya menangani perkaraperkara ringan. Pusat-pusat itu kemudian berkembang menjadi PusatPusat Penyelesaian Sengketa (Dispute Resolution Centers). Setidaktidaknya di 1 (satu) negara bagian mempunyai 1 (satu) pusat penyelesaian sengketa. 60 Pada tahun 1980, Kongres Amerika Serikat mengusulkan The Dispute Resolution Act untuk membantu lebih banyak lagi masyarakat lokal mendirikan pusat-pusat mediasi. Undang-undang ini kemudian ditandatangani oleh Presiden Jimmy Canter pada tanggal 12 Februari 1980. 61 Dalam perkembangan selanjutnya, dengan dukungan dari peradilan dan asosiasi pengacara lokal (local bar association), pusatpusat tersebut mengembangkan proses mediasi di dalam sistem peradilan. Hal inilah yang dikenal dengan mediation in court. Di samping digunakan dalam Pusat-pusat Penyelesaian Sengketa, mediasi juga dilakukan di sekolah-sekolah dan lembagalembaga pendidikan tinggi. Di sini mediasi digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara pengelola, guru/dosen, dan murid/mahasiswa.
59
Peter Lovenheim, op.cit., hal. 5-6. Ibid., hal. 22. 61 Ibid., hal. 7. 60
- 52 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Perkembangan yang paling cepat terjadi pada penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berhubungan dengan masalah keluarga. Sistem peradilan dan praktisi-praktisi privat menyediakan mediasi kepada keluarga-keluarga dalam hal perwalian anak dan proses perceraian, sengketa antara orang tua dan anak-anak serta pengakhiran hak-hak orang tua, dan juga untuk sengketa-sengketa suami istri. Di Amerika Serikat, mediasi juga dilakukan terhadap bermacammacam sengketa yang lebih besar, seperti sengketa lingkungan dan persoalan kebijakan publik (public policy). Selain itu, mediasi diterapkan pula dalam konflik-konflik antara pemilik tanah dan penyewa, kasus-kasus kecelakaan, dan sengketa-sengketa konsumen. Mediasi semakin berkembang di Amerika Serikat sebagai salah satu bentuk ADR setelah disahkannya The Civil Justice Reform Act 1990. Undang-undang ini mensyaratkan semua peradilan distrik federal untuk membentuk komisi-komisi penasehat untuk memikirkan cara-cara pengurangan biaya dan penundaan litigasi-litigasi perdata (civil litigation). The Civil Justice Reform Act 1990 secara khusus memerintahkan setiap komisi untuk memikirkan penggunaan ADR untuk mengurangi biaya dan penundaan proses litigasi. Selain bidang-bidang sengketa yang telah disebutkan di atas, sengketa khusus yang banyak dibawa ke mediasi ialah sengketa bisnis. 62 Dari waktu ke waktu, masyarakat bisnis cenderung mencari penyelesaian sengketa melalui sistem ADR. Dan mediasi dianggap sebagai salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk ADR yang ada. Jenis sengketa bisnis yang sudah umum diselesaikan melalui mediasi di Amerika Serikat, ialah: 63 1. Sengketa kontrak (contract dispute). 2. Pengaduan konsumen (consumer complaints). 3. Pengaduan menderita luka (personal injury complaints).
62
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 192. 63 Peter Lovenheim, op.cit., hal. 176.
- 53 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
4. Tuntutan pertanggungjawaban produk (product liability complaints). 5. Sengketa konstruksi (construction disputes). 6. Sengketa yang timbul dari merjer dan akuisisi. 7. Sengketa antara majikan dan karyawan. 8. Sengketa antara pekerja (disputes between employees). 9. Sengketa antara mitra usaha. 10. Sengketa antara anggota keluarga di dalam bisnis keluarga. Banyak sengketa bisnis sebagaimana disebut di atas berhasil diselesaikan melalui mediasi. Menurut Linda R. Singer, untuk menggambarkan mediasi sebagai salah satu alternatif terbaik dalam penyelesaian sengketa bisnis, pada tahun 1985 sebuah buku panduan bagi eksekutif-eksekutif perusahaan mengenai sengketa-sengketa hukum menyebut mediasi itu sebagai “The Steeping Giant”. Kini, penggunaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaanperusahaan telah meningkat jumlahnya. Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi juga dikembangkan oleh pelaku-pelaku bisnis. Suatu kelompok perusahaan waralaba (franchise) telah membentuk Program Mediasi Waralaba Nasional (National Franchise Mediation Program), yaitu suatu program yang diperuntukkan bagi menyelesaikan sengketa antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchise). Pada masa sebelumnya, kebanyakan perjanjian waralaba hanya berisi klausul arbitrase. Para anggota pendiri dari National Franchise Mediation Program ini, antara lain, ialah Burger King, Holiday Inn Worlwide, Juffy Lube, Kentucky Fried Chinke, Mc Donald’s, Pizza Hut, Southland, Taco Bell, dan Wendy’s. Di samping berkembang untuk digunakan dalam bidang bisnis waralaba tersebut, mediasi juga berkembang dalam industri makanan, asuransi, dan industri konstruksi. Keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam bidang konstruksi dengan cepat dan biaya yang lebih murah, secara tidak langsung berhasil mengurangi jumlah penyelesaian sengketa konstruksi melalui arbitrase. Keluhan bahwa arbitrase adalah mahal, tidak dapat diprediksikan, dan dimuati dengan berbagai ketentuan, - 54 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah orang untuk berubah haluan dari penyelesaian sengketa arbitrase kepada mediasi. Berdasarkan sebuah artikel di Wall Street Journal, The American Arbitration Association telah kehilangan sejumlah besar penyelesaian sengketa dari perusahaan jasa yang menawarkan arbitrase. Sebagai contoh, jumlah sengketa konstruksi yang ditangani oleh American Arbitration Association turun dari 5.189 kasus pada tahun 1991 menjadi 4.387 pada tahun 1992, sementara itu pada tahun tersebut sengketa konstruksi yang ditangani oleh perusahaan mediasi profit meningkat antara 15%-20% (lima belas persen sampai dua puluh persen). Menyikapi peralihan kecenderungan dari arbitrase ke mediasi itu, American Arbitration Association memperbesar departemen mediasinya, dan mendorong kliennya untuk mencoba mediasi sebelum mereka menyerahkan kepada arbitrase. Hasil survey yang dipresentasikan oleh Dekan Fakultas Hubungan Industrial dan Perburuhan Cornell University pada pertemuan puncak ADR, The ADR Superconference, yang diadakan pada tanggal 28-29 April 1997 di Washington D.C., juga memperlihatkan bahwa terdapat 88% (delapan puluh delapan persen) dari responden yang telah menggunakan mediasi selama 3 (tiga) tahun terakhir ini, sementara hanya 79% (tujuh puluh sembilan persen) yang telah menggunakan arbitrase. Studi tersebut, sampai sekarang masih merupakan survey yang paling komprehensif terhadap penggunaan ADR pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Lebih lanjut, studi tersebut memperlihatkan pula bahwa 84% (delapan puluh empat persen) responden lebih menginginkan menggunakan mediasi di masa yang akan datang, sedangkan kecenderungan untuk menggunakan arbitrase di masa yang akan datang hanya 69% (enam puluh sembilan persen). 64 Masih menurut studi, sebanyak 81% (delapan puluh satu persen) dari responden menyatakan bahwa perusahaan mereka menggunakan mediasi karena mediasi menyediakan proses yang lebih memuaskan daripada litigasi, dan 66% 64
“Extensive Study Reveal Big Corporations Often Use ADR”, dalam Dispute Resolution Journal, The American Arbitration Association, Vol. 52, No. 3 (Summer 1997): 7.
- 55 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
(enam puluh enam persen) responden juga menyatakan bahwa mediasi menyediakan penyelesaian sengketa yang lebih memuaskan. 65 Studi lain yang memperlihatkan keberhasilan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa ialah studi yang dilakukan oleh Nortwestern University. Studi ini menguji 449 (empat ratus empat puluh sembilan) kasus yang didaftarkan di 5 (lima) negara bagian melalui penyediapenyedia jasa penyelesaian sengketa, termasuk The American Arbitration Association. Kasus-kasus tersebut meliputi kasus kontrak, konstruksi, kecelakaan (personal injury), kerusakan properti (property damage), dan sengketa lingkungan. Studi tersebut memberikan mediasi nilai yang tinggi dalam hal tingkat penyelesaian sengketanya, keseluruhan proses dengan biaya rendah, dan kepuasan pihak-pihak yang terlibat. Studi itu juga memperlihatkan adanya alasan yang kuat pada diri para pihak untuk menggunakan mediasi, yaitu karena alasan-alasan: biaya yang dikeluarkan dalam mediasi jelas lebih kecil dibandingkan dengan arbitrase, mediasi juga lebih cepat daripada arbitrase, dan para pihak lebih merasa puas dengan proses, hasilnya, serta pelaksanaan hasilnya. 66 Studi tersebut di atas menemukan pula bahwa jika prosedur ADR disebutkan di dalam kontrak, maka 18% (delapan belas persen) kasus yang terjadi akan ke mediasi, dan 72% (tujuh puluh dua persen) ke arbitrase. Jika para pihak dapat memilih sendiri prosedur ADR, 83% (delapan puluh tiga persen) responden memilih mediasi. Kemudian, apabila suatu pengadilan meminta atau apabila seorang hakim menganjurkan ADR, 92% (sembilan puluh dua persen) responden akan memilih untuk mengakhiri sengketanya di mediasi. 67 Di Amerika Serikat, mediator juga telah muncul sebagai profesi baru yang sejajar dengan profesi pengacara, akuntan, dan dokter. Dewasa ini semakin banyak pengacara dan penasehat hukum yang merangkap menjadi mediator. Namun, untuk memberikan hasil yang
65
Ibid. “Mediation Get High Marks”, Dispute Resolution Journal, The American Arbitration Association, Vol. 52, No. 1 (January 1997): 7. 67 Ibid. 66
- 56 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
memuaskan, seorang yang akan menjadi mediator harus ditunjang dengan program-program pelatihan dan sertifikasi. Untuk mengakomodasi keberadaan mediator-mediator yang profesional di Amerika Serikat, telah lahir pula asosiasi mediator profesional, yaitu Society of Professional in Dispute Resolution (SPIDR). B. Australia Meskipun ADR belum lama dikenal sebagai metode penyelesaian sengketa di Australia, namun perkembangan ADR di sana sangat pesat. Mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa, secara formal baru dikenal pada tahun 1975 bersamaan dengan berdirinya Family Court of Australia. Sejak saat itu, peradilan tersebut telah menekankan penyelesaian sengketa melalui cara-cara selain litigasi. Peradilan ini didesain sebagai suatu peradilan pembantu (helping court) yang memberikan fasilitas konseling sebelum atau sesudah perceraian, membantu rekonsiliasi, dan untuk mengurangi penderitaan serta kesulitan dari masalah-masalah yang terjadi setelah perceraian. 68 Family Court of Australia lebih menekankan pada konseling dan konsiliasi. Penekanan ini kemudian diwujudkan dalam Family Law Act 1975, yang tetap mempertahankan bahkan memperluas ketentuanketentuan konseling dan konsiliasi. Peradilan tersebut selalu bekerja dengan persetujuan organisasi konseling perkawinan. Organisasiorganisasi itu kemudian membangun perhatian pada cara mediasi. Semangat untuk mediasi ini diwujudkan dalam The Family Court dengan membentuk proyek-proyek mediasi yang berhubungan dengan peradilan, dan juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan keterampilan mediasi bagi staf hukum dan staf konseling. Terpengaruh oleh berkembangnya Pusat-Pusat Peradilan Lingkungan (Neighborhood Justice Centers) di Amerika Serikat, Pemerintah New South Wales memutuskan untuk menguji konsep itu di Australia. Pada tahun 1980 dibuat suatu proyek percontohan (pilot project), dengan mendirikan 3 (tiga) Pusat Peradilan Masyarakat 68
Lihat Hilary Astor and Christine M. Chinkin, op.cit., hal. 7.
- 57 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
(Community Justice Centers) di Bankstown, Surry Hills, dan Wollongong. Kemudian, berdasarkan penilaian yang independen, disimpulkan bahwa proyek tersebut berjalan dengan baik secara keseluruhan. Perkembangan yang sama juga terjadi di negara bagian lain. Di Victoria, atas dukungan suatu komisi yang terdiri dari organisasiorganisasi dan badan-badan yang menaruh minat pada mediasi, telah didirikan 4 (empat) pusat mediasi di Heidelberg Preston, Outer Easten Suburbs, Geelong, dan Bendigo. Pusat-pusat mediasi percontohan itu dibiayai oleh pemerintah negara bagian. Pusat mediasi lalu berkembang menjadi 7 (tujuh) pusat mediasi. Ketujuh pusat mediasi tersebut kemudian didanai oleh Kejaksaan Agung Negara Bagian Victoria, dan sekarang pusat itu disebut Pusat Penyelesaian Sengketa Masyarakat (Community Dispute Settlement Centers). 69 Kini di seluruh ibu kota negara bagian di Australia telah mempunyai sebuah pelayanan penyelesaian konflik (Conflict Resolution Service). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa mediasi tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata antara warga, tetapi juga dalam bidang administrasi negara. Pada tahun 1984 disahkan Undang-undang Peradilan Banding Administrasi 1984 (The Administrative Appeals Tribunal Act 1984). Tujuan dari undang-undang ini ialah untuk mendirikan suatu peradilan yang independen untuk meninjau keputusan-keputusan administrasi dalam suatu cara yang informal dan cepat, serta mengizinkan secara leluasa bagi orang-orang yang kepentingannya terpengaruh oleh suatu keputusan untuk berpartisipasi dalam proses tersebut. 70 Sehubungan dengan undangundang itu, Laporan Kelompok Kerja Kejaksaan Agung Negara Bagian Victoria lalu menyimpulkan perlunya pemberian kewenangan Administrative Appeals Tribunal untuk menyerahkan persoalanpersoalan ke mediasi. 71
69
Ibid., hal. 9. M. Allars, Introduction to Australian Administrative Law (Australia: Butterworths, 1990). Lihat juga ibid., hal. 6. 71 Ibid., hal. 7. 70
- 58 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Di Australia, mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa bisnis, baik yang bersifat domestik maupun internasional, mulai diperkenalkan bersamaan dengan didirikannya The Australian Commercial Dispute Center pada bulan Januari 1986 di Sydney. Padahal sebelumnya telah didirikan pula The Institute of Arbitrator Australia pada tahun 1975, dan Australian Center for International Commercial Arbitration. Namun demikian, terjadi perubahan kecenderungan dalam memilih cara penyelesaian sengketa. Meningkatnya keinginan untuk suatu pilihan baru bagi penyelesaian-penyelesaian sengketa disebabkan karena adanya persepsi bahwa arbitrase telah berubah menjadi sesuatu yang mahal dan kompleks. Peranan The Australian Commercial Dispute Center ialah untuk menyediakan penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan seluruh jenis sengketa komersial, baik dalam lingkup domestik maupun internasional. 72 The Australian Commercial Dispute Center ialah badan yang pertama dan satu-satunya yang menyediakan seluruh penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Meskipun hampir semua metode ADR dipromosikan, namun keutamaan pusat ini adalah penyelesaian sengketa melalui mediasi. 73 Seiring dengan berkembangnya mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa, berkembang pula profesi mediator di Australia. Oleh karena itu, untuk mengakomodasi profesi mediator ini, pada tahun 1987 dibentuk The Australian Dispute Resolution Association Inc. 74 Di Australia dewasa ini, di samping mediasi yang diselenggarakan oleh pusat penyelesaian sengketa atau perusahaan jasa mediasi, juga terdapat mediasi di dalam pengadilan (court annexed mediation). Mediasi di dalam sistem peradilan ini pada umumnya bersifat memaksa kedua belah pihak, namun agar resolusi (keputusan yang dihasilkan) memiliki potensi memaksa, maka harus lebih dahulu 72
D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 8, No. 2 (1997): 85. 73 Ibid. 74 Loise Rosemann, “The Birth of ADRA: Past and Future Visions”, Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 8, No. 2 (1997): 85.
- 59 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
dimintakan persetujuan kepada para pihak, dan jika mereka setuju, resolusi itu mengikat dan tidak ada upaya apapun yang dapat mengurangi daya kekuatannya. Di Australia, mediasi telah berkembang sebagai cara penyelesaian sengketa pada hampir semua bidang bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi mencakup bidang-bidang: 1. Sengketa di bidang kontrak (contract). 2. Perbuatan melawan hukum dalam bidang perdagangan (commercial tort). 3. Bidang keuangan (financial). 4. Sengketa di bidang media. 5. Sengketa penistaan (defamation). 6. Sengketa konstruksi (construction). 7. Antidiskriminasi. 8. Tanggung jawab produk (product liability). 9. Sengketa dalam kegiatan perdagangan (trade practice). Di Negara Bagian Victoria, dewasa ini kecenderungan untuk menyerahkan sengketa-sengketa dagang dan konstruksi ke mediasi semakin meningkat. Hal ini terjadi sejak kasus bangunan Mahkamah Agung (Supreme Court) Victoria mulai diserahkan kepada mediasi pada tahun 1992. 75 Sejak saat itu peningkatan jumlah sengketa komersial dan perbankan yang diserahkan ke mediasi semakin signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkan mediasi dapat berkembang dengan pesat sebagai penyelesaian sengketa bisnis di Australia ialah karena adanya dorongan dan dukungan yang kuat dari para lawyer. Para lawyer pendukung mediasi itu bergabung ke dalam satu organisasi yang disebut dengan Lawyer Engange in Alternative Dispute Resolution (LEADR). Organisasi ini ialah organisasi nonprofit yang didirikan di New South Wales, Australia, dan mempunyai beberapa cabang di negara bagian lainnya, serta di New Zealand. 76 Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga ini ialah mengadakan pelatihan-pelatihan mediasi di seluruh Australia dan New Zealand. 75
Ibid. Arthur Thompkins, “Cross-Border Dispute Resolution in International Commercial Transaction”, The New Zealand Law Journal (July 1993): 260. 76
- 60 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
C. Cina Mediasi telah menjadi cara penyelesaian sengketa selama berabad-abad di Cina. Di Cina, mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang telah diterima umum secara tradisional dan sosial, sedangkan litigasi ialah alternatif dan sungguh-sungguh merupakan suatu pengecualian. Berbeda dengan di Cina, di negaranegara Barat, litigasi ialah metode penyelesaian sengketa yang telah diterima umum secara tradisional dan sosial, sedangkan mediasi ialah alternatif yang kadang-kadang digunakan. 77 Sebelum berdirinya Republik Rakyat Cina, sebenarnya seluruh sengketa di masyarakat telah diselesaikan secara informal di dalam kelompok-kelompok setempat, yaitu keluarga, marga, desa, dan serikat pekerja, melalui suatu prosedur konsesi yang fleksibel serta terpadu, yang di dalamnya terdapat kompromi-kompromi. 78 Prosedur semacam itu, dewasa ini disebut dengan mediasi, dan hal itu dilakukan oleh kepala keluarga di dalam keluarga-keluarga, golongan yang lebih tua di dalam marga, lurah di desa-desa, serta pemimpin serikat pekerja di dalam organisasi-organisasi pekerja. Pola mediasi informal tetap berlanjut setelah kemenangan Partai Komunis pada tahun 1949. Pada bulan Maret 1954, sebagai bagian dari suatu gerakan pembaharuan hukum secara besar-besaran yang dilakukan oleh Partai Komunis, mediasi mendapat pengesahan secara resmi dan ada dasar hukumnya dengan penerbitan peraturan untuk organisasi People’s Mediation Committee. Pada saat itulah untuk pertama kalinya sistem mediasi rakyat (people’s mediation) dibangun dan disatukan di seluruh Cina. 79
77
Penjelasan Andrup dan J.G. Hall, sebagaimana dikutip dalam Bobette Wolski, “Culture, Society and Mediation in China and the West”, Commercial Dispute Resolution Journal, Vol. 3, No. 2 (1997): 97. 78 Penjelasan J.A. Cohen, sebagaimana dikutip dalam Ibid. 79 Ministry of Justice People’s Republic of China, op.cit., hal. 88.
- 61 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Menurut peraturan perundang-undangan di Cina, mediasi mempunyai 3 (tiga) bentuk, yaitu: people’s mediation, administrative mediation, dan court’s mediation. 80 People’s mediation, yang dikenal dengan mediasi oleh The People’s Mediation Committee, adalah suatu metode yang berdaulat serta mandiri yang dilaksanakan oleh The People’s Mediation Committee dengan berdasarkan kesukarelaan serta persetujuan para pihak, dan dilakukan menurut peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan negara untuk menyelesaikan sengketa melalui pendidikan serta persuasi. Dalam penyelesaian sengketa ini para pihak mendapatkan anjuran untuk bersepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui konsultasi yang bersahabat. Administrative mediation adalah suatu mediasi yang dipimpin oleh organ-organ administrasi yang mempunyai fungsi menengahi sengketa-sengketa. Sedangkan court’s mediation adalah suatu litigasi yang dipimpin oleh Peradilan Rakyat (People’s Court), dalam mana suatu persetujuan untuk penyelesaian sengketa-sengketa dicapai melalui saling pengertian dari para pihak yang bersangkutan. 81 Dari ketiga bentuk mediasi tersebut, people’s mediation mempunyai peranan yang paling penting dalam penyelesaian sengketa rakyat. Peranan ini semakin nyata dengan diaturnya people’s mediation di dalam Konstitusi Cina yang diumumkan pada tahun 1982. Pasal 111 Konstitusi Cina, antara lain, menetapkan agar komisi-komisi penduduk kota dan orang-orang desa membentuk subkomisi people’s mediation untuk menengahi sengketa-sengketa perdata. 82 Pada akhir tahun 1988, telah didirikan lebih dari 1.000.000 (satu juta) subkomisi people’s mediation di seluruh Cina, dengan lebih dari 6.000.000 (enam juta) mediator. Pada tahun 1989 kemudian disahkan regulasi organik tentang people’s mediation committee. Regulasi baru itu telah meningkatkan dan mengembangkan sistem mediasi rakyat, dan memperkuat pembangunan organ subkomisi mediasi tersebut.
80
Ibid., hal. 83. Ibid. 82 Ibid., hal. 88. 81
- 62 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Subkomisi mediasi dibentuk melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, melalui proses nominasi oleh komisi tingkat desa, serikat pekerja atau perwakilan-perwakilan asosiasi pekerja pertambangan atau industri. Subkomisi terdiri dari 3 (tiga) sampai dengan 9 (sembilan) orang anggota ditambah dengan satu direktur dan satu wakil direktur jika diperlukan. 83 Subkomisi mediasi melaksanakan tugasnya di bawah pengarahan pemerintah daerah dan pengadilan di wilayah tersebut. Biro hukum dari pemerintah daerah bertanggung jawab mengorganisasikan subkomisi, membuat peraturan, dan menyelenggarakan pelatihan bagi anggota subkomisi. Bimbingan profesinya kemudian dilakukan oleh Pengadilan Lokal (People’s Court). Di Cina, sengketa yang menjadi bidang tugas subkomisi mediasi rakyat adalah perkara-perkara perdata (civil disputes), seperti sengketa antara suami dan istri, sengketa antara anggota keluarga, tetangga, rekan kerja, penduduk, warisan, alimentasi, pinjam-meminjam, perumahan, tanah, mesin-mesin, dan alat-alat pertanian. 84 Sengketa-sengketa antara lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan negara, antara negara, antara badan-badan sosial, dan antara badan-badan tersebut dengan warga, adalah di luar dari yurisdiksi subkomisi mediasi rakyat. 85 Penyelesaian sengketa melalui subkomisi mediasi rakyat bersifat sukarela atau pilihan. Namun, People’s Court selalu mendorong para pihak yang bersengketa untuk tetap menyelesaikan sengketanya melalui subkomisi mediasi rakyat. Begitu kuatnya pengaruh mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa perdata di Cina, sehingga walaupun dalam konteks sengketa dagang internasional telah menggunakan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketanya, namun pola-pola mediasi atau konsiliasi tetap bertahan. 86
83
Ibid., hal. 95. Ibid., hal. 102. 85 Ibid. 86 Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 5, No. 1 (1994): 76. 84
- 63 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Perkembangan yang menarik ialah adanya kerja sama formal antara Pusat Konsiliasi Beijing dan Pusat Konsiliasi Hamburg di Jerman, pada tahun 1986. Berdasarkan kerja sama tersebut, kedua badan bertindak bersama untuk menyediakan pelayanan konsiliasi berdasarkan apa yang disebut dengan Peking Hamburg Rules yang diterbitkan pada tahun 1987. Perkembangan itu juga diikuti dengan penetapan konsiliasi bersama yang ditandatangani oleh badan-badan arbitrase utama di Cina di 17 (tujuh belas) provinsi dengan 2 (dua) badan dari Amerika Serikat, yaitu The National Council of United States-China Trade (NCUSCT) dan The American Arbitration Association. 87 D. Korea Selatan Di Korea Selatan, mediasi telah lama dikenal sebagai metode penyelesaian sengketa dagang jauh lebih dahulu dibandingkan dengan arbitrase komersial. Kebanyakan sengketa yang diserahkan ke The Korean Commercial Arbitration Board diselesaikan melalui proses mediasi daripada diselesaikan dengan proses arbitrase. 88 Di Korea Selatan, mediasi sering digunakan dengan sistem koneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase (connected mediation, conciliation and arbitration system). Hal itu diatur dengan jelas dalam Pasal 53 dari ketentuan The Korean Commercial Arbitration Board. Dengan sistem koneksitas seperti itu, penyelesaian sengketa dilakukan secara bertahap, yaitu: 1. Tahap pertama, diupayakan lebih dahulu penyelesaian melalui proses mediasi sebagai berikut: a. Panel arbiter yang ditunjuk bertindak sebagai mediator. b. Apabila dapat disepakati suatu penyelesaian, solusi yang disetujui para pihak dijadikan kompromi (compromise), dan kompromi yang efektif menjadi putusan arbitrase (arbitration award) yang bersifat final and binding, apabila para pihak menghendakinya.
87
Ibid. Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, Commercial Dispute Resolution Journal, Vol. 1, No. 1 (August 1994): 258. 88
- 64 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
2. Tahap ke dua, apabila proses mediasi gagal, maka ditempuh konsiliasi, yaitu: a. Apabila mediasi gagal menyelesaikan sengketa, atas kesepakatan bersama, mediator semula bertindak sebagai konsiliator. Konsiliator mengusahakan solusi yang dapat diterima. b. Apabila berhasil dicapai kesepakatan atas solusi yang dibuat konsiliator, maka kedudukannya berubah menjadi arbiter. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan meningkat menjadi putusan yang bersifat final and binding bagi para pihak, dan mempunyai daya eksekutorial seperti layaknya putusan arbitrase. 3. Tahap ke tiga, apabila konsiliasi gagal menyelesaikan sengketa, proses dilanjutkan dengan arbitrase, yaitu: a. Apabila konsiliator tidak berhasil mewujudkan penyelesaian dalam bentuk resolusi, proses konsiliasi dihentikan. b. Selanjutnya, penyelesaian dilanjutkan dengan proses pemeriksaan arbitrase. Dengan demikian, penyelesaian sengketa menjadi putusan arbitrase yang bersifat final and binding bagi para pihak. ***
- 65 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna. “Serba-Serbi tentang Arbitrase di Indonesia”. Makalah pada Seminar Nasional Hukum dan Ekonomi tentang Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, diselenggarakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Kadunda Tk. I Jawa Timur, Surabaya, 1995. Allars, M. Introduction to Australian Administrative Law. Australia: Butterworths, 1990. Asmara, Galang. “Kedudukan dan Peranan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Masa Kini dan Masa yang Akan Datang. Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996. Astor, Hilary and Christine M. Chinkin. Dispute Resolution in Australia. Sydney: Butterworths, 1992. Dunfee, Thomas W. Modern Business Law and The Regulatory Environment. New York: Mc Graw-Hill, Inc., 1996. Garret, Robert D. “Mediation in Native American”. Dispute Resolution Journal (March 1994). Gifford, Donald G. Legal Negotiation Theory and Applications. St. Paul, Minnesota: West Publishing, Co., 1989. Goldberg, Stephen B., Frank E.A. Sanders, and Nancy H. Rogers. Dispute Resolution Negotiation and Other Process. Toronto: Little Brown and Company, 1992. Goodpaster, Gary. “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”. Dalam Toar, Agnes M., et al. Seri Dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995. Harahap, M. Yahya. “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Varia Peradilan, Nomor 21 (1995).
- 66 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
-----------. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Kaplan, Neil. “Mediation in Hong Kong”. Commercial Dispute Resolution Journal, Vol. 1, No. 1 (August 1994). Kovach, Kimberlee. Mediation Principle and Practice. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1994. Kriekhoff, Valerine J.L. “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”. Dalam Ihromi, T.O., ed., Antropologi. Lovenheim, Peter. Mediate Don’t Litigate. New York: Mc Graw Hill Publishing Company, 1989. Margono, Suyud. ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000. Ministry of Justice People’s Republic of China. People’s Mediation in China. China: Department of Grass-Roots Work, Ministry of Justice People’s Republic of China. Moore, Christopher W. The Mediation Process Strategies for Resolving Conflict. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1986. Newton, D. “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”. Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 8, No. 2 (1997). Nolan-Haley, Jacqueline M. Alternative Dispute Resolution in a Nut Shell. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co. O’Here, John and Robert N. Hill. Civil Litigation. London: F.T. Law and Tax, 1996. Haydock, Roger S., David F. Herr, and Jeffrey W. Stempel. Fundamentals of Pretrial Litigation. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1992.
- 67 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Rahmadi, Takdir. “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”. Makalah pada Lokakarya Pelatihan Keterampilan ADR di Fakultas Hukum, Cisarua, 14-17 Juli 1997. Raiffa, Howard. The Art and Science of Negotiation. Cambridge: Harvard University Press, 1982. Riskin, Leonard L. and James E. Westbrook. Dispute Resolution and Lawyers. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1987. Rosemann, Loise. “The Birth of ADRA: Past and Future Visions”. Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 8, No. 2 (1997). Rozkowski, Mark E. Business Law Principles Cases and Policy. Grenview: Scott Foresman and Company, 1989. Santosa, Mas Ahmad dan Anton L.P. Hutapea. Mendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan (MAPS) di Indonesia. Jakarta: USAID dan WALHI, 1992. Scaleta Jr., Philip J., et al. Foundations of Business Law. Boston: Howard BRI-IRWIN, 1990. Soemitro, Ronny Hanitijo Soemitro. Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik. Semarang: CV. Agung, 1990. Thompkins, Arthur. “Cross-Border Dispute Resolution in International Commercial Transaction”. The New Zealand Law Journal (July 1993). Tso, Tom. “Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National Code of Judical Conduct”. Judicaturel 15 (June-July 1992). Umar, M. Husseyn. “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR”. Makalah pada Lokakarya Nasional Menyongsong Pembangunan Hukum Tahun 2000, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan BAPENAS, Bandung, 2-3 Desember 1996.
- 68 -
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI MEDIASI
Vickery, Greg. “International Commercial Arbitration in China”. Australian Dispute Resolution Journal, Vol. 5, No. 1 (1994). Wolski, Bobette. “Culture, Society and Mediation in China and the West”. Commercial Dispute Resolution Journal, Vol. 3, No. 2 (1997). ***
- 69 -