Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
MENGGUGAT SEJARAH ORDE BARU YANG HEGEMONIK
IG. Krisnadi∗ Abstract: This article discusses challenges to the New Order’s history version. It deals with three major issues, namely history control, history education crisis, and history democratization. Keywords: gugatan sejarah, pengendalian sejarah, krisis pembelajaran sejarah, demokratisasi sejarah.
1. Pendahuluan Di dalam perjalanan sejarah bangsa, upaya pemanfaatan penulisan sejarah untuk memperoleh, memperkuat dan mempertahankan kekuasaan sudah terjadi sejak zaman Hindu hingga masa Orde Baru. Setiap jatuh bangun dinasti (penguasa) selalu diikuti upaya penulisan sejarah untuk kepentingan melayak-berhakkan dinasti yang sedang memerintah. Kerajaan Singosari dan Majapahit memanfaatkan kitab Pararaton dan Negarakertama sebagai sarana legitimasi. Sedangkan Kerajaan Mataram (Islam) memanfaatkan kitab Babad Tanah Jawi, Babad Mentawis dan kitab-kitab historiografi
tradisional
yang
lainnya
sebagai
sarana
justifikasi
atas
pemerintahannya. 1 Pada masa pergerakan nasional hingga masa pemerintahan Orde Lama, Bung Karno memanfaatkan sejarah untuk menggelorakan semangat patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia guna mengusir penjajahan di bumi Indonesia. Hal ini dapat dicermati melalui berbagai tulisan maupun naskah pidato Bung Karno semasa pergerakan nasional. 2 Selama masa Orde Baru berkuasa (1967-1998), telah terjadi pengendalian sejarah secara sistematis. Hal ini dilakukan untuk kepentingan justifikasi rezim yang
∗
Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember.
1
IG. Krisnadi., “Wilayah” Pujangga dalam Mencipta Historiografi Tradisional (Laporan Penelitian). (Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember, 1994), hlm26. 2 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama (Djakarta: 1964: Di Bawah Bendera Revolusi).
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
83
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
sedang berkuasa. Di era ini, pihak penguasa memanipulasi sejarah, 3 sehingga terjadi pemutarbalikan fakta sejarah; yang fiksi difaktakan dan yang fakta difiksikan. 4 Pada era Orde Baru, melalui buku paket sejarah (Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tigkat Petama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau melalui buku-buku produk sejarahresmi yang lainnya seperti buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis Nugroho Notosusanto dkk., (1998) atau
buku Gerakan 30 September,
Pemberontakan PKI; Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI (1994), para guru sejarah telah mengajarkan kebohongan sejarah kepada anak didiknya. Waktu yang dinanti-nantikanpun akhirnya datang juga, rezim Orde Baru yang tampak begitu kokoh dalam mencengkeramkan kekuasaannya di bumi Indonesia akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998, sejak itu Indonesia memasuki era Reformasi. Di era ini bergulir arus deras demokratisasi di segala sektor kehidupan. Penulisan sejarah yang dulu dimonopoli dan dimanipulasi penguasa sehingga memunculkan penulisan sejarah yang hegemonik dan hanya ada kebenaran tunggal dalam sejarah (versi penguasa), kini mulai bermunculan gugatan terhadap produk sejarah resmi Orde Baru di berbagai media massa. Bukan hanya dari kalangan kiri yang bersuara keras seperti M.R. Siregar dalam buku berjudul Naiknya Para Jenderal (2000), 5 melainkan juga dari para purnawirawan TNI-AD atau TNI-AU, seperti mantan Kodam V Jaya Djakarta Raya, Abdul Latief dalam buku berjudul Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G.30.S (2000) atau dalam buku Aristides Katoppo yang berjudul Menyingkap Kabut Halim 1965 (1999)6 maupun para cendekiawan berupaya “meluruskan sejarah” atau mencoba mengungkap borok-borok rezim Orde Baru seperti yang ditulis Saskia Eleonora Wieringa dalam desertasinya yang berjudul The 3
Asvi Warman Adam, “Manipulasi Sejarah”, dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999), hlm. 55-59. 4 Stanley. “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan, Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka”, (Makalah) disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS yang diselenggarakan MSI dengan topik “Memandang Tragedi Nasional 1965 secara Jernih di Gedung Dewan Riset Nasional, PUSPITEK, Serpong 8 September 1999. 5 M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal, (Medan: Sumatera Human Rights Watch Net-Work, 2000). 6 Abdul Latief. Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G.30.S. (Jakarta: ISAI, 2000), Katoppo,Aristides, 1999. Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Penebar Swadaya.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
84
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
Politization of Gender Relation in Indonesia Womens Movement and Gerwani Until The New Order State 7 atau dalam desertasi Hermawan Sulistyo yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Palu Arit Di Ladang Tebu, 8 maupun dalam tesis I.G. Krisnadi yang kemudian diterbitkan dalam buku yang berjudul Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). 9 Pada era Reformasi, seorang guru sejarah yang masih mengandalkan buku paket yang telah ada (produk resmi pemerintah Orde Baru) akan mengalami kebingungan dalam mengajarkan materi sejarah pada anak-didiknya, karena materi buku paket/buku ajar sejarah yang diajarkannya hanya mengakui kebenaran tunggal, berbeda dengan informasi yang diterima para murid dari berbagai media massa. Berkenaan hal tersebut, tidak jarang diantara para guru sejarah dituduh para peserta anak didik telah membohonginya. Hal ini seperti yang dialami Dewi Hariani seorang Kepala Sekolah SDN 15 Pontianak. 10 Akibatnya, kredibilitas guru sebagai pendidik di mata siswa langsung merosot dan kredibilitas materi buku ajar sejarah menjadi tidak relevan dengan tuntutan zaman. Dalam keadaan yang demikian, sejarah benarbenar telah membingungkan guru dan gurupun telah membingungkan murid. Kondisi yang demikian menjadi berlarut-larut hingga saat ini (2010) di mana telah terjadi krisis pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Sementara itu pihak pemerintah belum juga mengambil langkah nyata ke arah itu. Polemik yang terjadi
antara guru sejarah dengan para muridnya dalam
pembelajaran sejarah di sekolah, dapat menimbulkan krisis dalam pembelajaran sejarah di sekolah menyangkut sejumlah materi pelajaran sejarah Indonesia masa Orde Baru yang meliputi: (1) Tragedi Gerakan 30 September 1965; (2) Kontroversi
7
Eleonora Wieringa, Saskia, The Politization of Gender Relation in Indonesia Womens Movement and Gerwani Until The New Order State, (Desertasi). Terjemahan Hersri Setiawan, Penghancuran Organisasi Perempuan di Indonesia, Jakarta: (Jakarta: Garba Budaya dan Kalyamitra, 1999). 8 Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu, (Jakarta: Gramedia, 2000). 9 IG. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Burun (Jakarta: LP3ES,2001). 10 Kompas, “Ketika Sejarah Membingungkan Guru”, 29 April 2000.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
85
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
seputar Supersemar; (3) Sekitar Serangan Umum 1 Maret 1949. 11 Berbagai materi yang menimbulkan krisis pembelajaran tersebut dicoba dibahas dalam artikel ini dengan menggunakan metode sejarah
12
yang bertopang pada kajian pustaka.
Demikian juga segala persoalan terkait dengan
pengendalian sejarah dan
demokratisasi sejarah juga dibahas dalam artikel ini.
2.
Pengendalian Sejarah
Pengendalian sejarah tergantung pada “dapur” di mana sejarah itu diolah?, siapa sejarawan yang mengolahnya?, dan di lembaga mana sejarawan tersebut bekerja?. Dalam hal ini berlaku prinsip semakin independen sejarawan (penulis/peneliti sejarah) bekerja dalam suatu lembaga, semakin otonom hasil karyanya, dan semakin tidak independen sejarawan bekerja dalam suatu lembaga, maka semakin tidak otonom pula hasil karyanya. 13 Jika yang menjadi “dapur” untuk mengolah sejarah itu partai politik seperti di negeri komunis (RRC, Uni Sovyet), sejarah adalah urusan negara. Kondisi yang demikian ini menempatkan posisi sejarawan tidak independen dalam bekerja sebagai peneliti atau penulis sejarah, sehingga produk sejarah yang dihasilkannya pun juga tidak otonom. Dalam hal ini sejarawan mendapat pengawasan ketat dari pihak negara untuk dimanfaatkan sebagai alat negara dalam menghasilkan produk sejarah untuk kepentingan justifikasi atas pemerintahannya. Berkenaan dengan adanya upaya pengawasan ketat yang dilakukan oleh negara-negara komunis seperti Uni Sovyet maupun RRC terhadap sejarawan, seorang pemimpin Uni Sovyet, Khrouchevtchew beranggapan bahwa sejarawan itu merupakan sekelompok “orangorang yang berbahaya”, sehingga harus diawasi secara ketat, karena sejarawan bisa mempertanyakan legitimasi penguasa. Melalui dokumen primer yang dimilikinya, 11
Asvi Warman Adam, Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto. Disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS yang diselenggarakan MSI dengan topik Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, di Gedung Dewan Riset Nasional, PUSPITEK, Serpong, 8 September 1999, hlm.7-8. 12 Metode sejarah memberikan “rambu-rambu” penelitian sejarah ilmiah berupa tahap-tahap kegiatan penelitian sebagai berikut: (1) heuristic; (2) kritik sumber sejarah; (3) interpretasi; (4) historiografi. Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). 13 Asvi Warman Adam, Manipulasi Sejarah (Kumpulan artikel), dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah; Menguak Fakta Gerakan PKI (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999), hlm. 56.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
86
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial politik yang terjadi di masa lampau tanpa bisa dibantah oleh penguasa yang sedang memerintah. 14 Jika “dapur” yang mengolah sejarah itu dari institusi militer, penulisan sejarah ditekankan pada stabilitas dan keamanan negara. Dalam hal ini sejarawan juga mendapat pengawasan secara ketat dari pihak negara (militer), sehingga posisi sejarawan juga sangat tidak independen dalam bekerja menyusun sejarah, dan produk sejarah yang dihasilkannya pun menjadi tidak otonom dan cenderung bersifat hegemonik, karena sejarah yang disajikan memiliki kebenaran tunggal yakni menurut versi pemerintah (militer). Dengan demikian pihak militer telah mengendalikan sejarah untuk dimanfaatkan sebagai alat justifikasi pemerintahannya. Namun jika yang menjadi “dapur” sebagai tempat pengolah sejarah dari lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian, maka sejarawan dapat bekerja secara independen dan profesional, sehingga produk sejarah yang dihasilkannya pun bersifat otonom dan profesional, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pengendalian sejarah di Indonesia pernah dilakukan sejak periode Hindu hingga rezim Soeharto dengan melalui beberapa cara. Yang pertama, melalui penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Misal penambahan melalui unsur yang berkaitan dengan genealogi (penyusunan silsilah). Pujangga atau sejarawan (Tradisional) secara sengaja menyajikan unsur genealogi penguasa yang sedang memerintah
di
dalam
karya
sejarah
untuk
sarana
justifikasi
terhadap
pemerintahannya. Dalam hal ini pihak pujangga mencoba menyusun silsilah palsu dengan menunjukkan
sang penguasa (raja yang sedang memerintah) memiliki
hubungan darah dengan raja yang pernah jaya di masa lampau, namun diupayakan supaya rakyat menganggap silsilah tersebut seolah-olah asli. Hal ini biasa dilakukan atas perintah sang penguasa atau orang dekat sang penguasa yang ingin menjilat. Dinasti Mataram (dari kalangan wong cilik) berhasil merebut kekuasaan Pajang (1575), kemudian menulis buku sejarah yaitu Babad Tanah Jawi. Di dalam buku 14
Asvi Warman Adam, Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto.Disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS yang diselenggarakan MSI dengan topic Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, di Gedung Dewan Riset Nasional, PUSPITEK, Serpong, 8 September 1999, hlm. 1.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
87
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
tersebut disusun silsilah palsu yang mengambarkan bahwa dinasti ini jika ditarik dari garis kanan masih keturunan orang-orang suci (keturunan pertapa), dan jika ditarik dari garis tengah masih keturunan raja Majapahit, sedangkan jika ditarik dari garis kiri masih keturunan bidadari (Dewi Nawang Wulan). 15 Penyusunan silsilah palsu tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat Jawa pada waktu itu bahwa Dinasti Mataram masih termasuk trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih,
sehingga dinasti ini layak untuk memegang
supremasi di Jawa. 16 Walaupun secara faktual para pendiri Dinasti Mataram seperti Ki Ageng Pemanahan, Juru Mertani maupun Danang Sutawijaya hanyalah sebagai “dinasti usurper” (dinasti perampas/penggusur) kekuasaan dari Sultan Hadiwijaya sebagai penguasa Kesultan Pajang. Selain itu, secara faktual dinasti ini hanyalah berasal dari kalangan mayarakat biasa (wong cilik). 17 Cara kedua, melalui hagiografi. Menurut Sulastin Sutrisno, hagiografi adalah hasil rekaan yang mengisahkan kemukjizatan seorang tokoh (penguasa) yang dengan kesaktiannya dapat menciptakan sesuatu yang luar biasa. 18 Hal ini sebagai upaya memitoskan sang penguasa dengan mengisahkan bahwa pemimpin yang sedang berkuasa adalah seorang pahlawan yang sakti, tanpa menunjukkan kelemahan sedikitpun. Sedangkan orang yag menentangnya dianggap sebagai musuh besar bangsa (Kraman, PKI, Gerakan Pengacau Keamanan, subversif, provokator). Mungkin peran penguasa di masa lalu hanya sedikit, namun aspek yang kecil ini mesti dikisahkan secara besar-besaran. Misal di dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan kesaktian Panembahan Senopati yang membiarkan dirinya ditusuk dari belakang oleh Ki Bocor sebagai bawahannya yang tidak bersedia tunduk, sampai sipenusuk 15
IG. Krisnadi, Mbedhah Isi Babad Tanah Jawi (Artikel), dalam majalah Jaya Baya No. 21/LII, Minggu Kliwon, 25 Januari 1998, hlm. 20-21. 16 Santosa Suwito, BabadTanah Jawi (Jakarta: tanpa badan penerbit, 1970), Sudibyo ZH, Babad Tanah Jawi (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980). 17 Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial, dalam Lembaran Sejarah No.4. Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1969, Hlm. 14-17. IG. Krisnadi, Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa (Artikel). Disajikan dalam Kongres Basa Jawa IV di Semarang, Jawa Tengah, 10-14 September 2006. 18 Sulastin Sutrisno, Sastra dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No. 03 Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1982: hlm. 209.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
88
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
kehabisan tenaga dan jatuh terkulai di atas tanah, yang akhirnya diampuni oleh Panembahan Senopati. 19 Atau kisah kesaktian Juru Mertani yang sedang terbang membawa Sultan Agung yang sedang duduk di singgasana menuju wilayah Kerajaan Banten untuk keperluan mengintip kekuatan pasukan Kerajaan Banten yang menjadi musuh Kerajaan Mataram. 20 Cara ketiga, mengaburkan atau menghilangkan fakta sejarah berkenaan dengan perilaku penguasa yang dianggap menurunkan martabat penguasa. Atau dengan kata lain memanipulasi sejarah dengan cara yang “fakta difiksikan dan yang fiksi difaktakan.” Kasus pemerkosaan seorang akuwu Tumapel, Tunggul Ametung terhadap seorang puteri dusun yang bernama Ken Endok yang sedang mengirim makanan untuk suaminya yang bekerja di sawah namun di tengah jalan (di Tegal Lelalteng) ditemui “Dewa Brahma”, sehingga ia hamil dan akhirnya melahirkan seorang jabang-bayi laki-laki diberi nama Ken Angrok.21 Sedangkan kasus perzinaan antara Kiageng Pemanahan dengan istri sahabatnya yang bernama Giring, dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut: Kiageng Pemanahan sedang berkunjung ke rumah Kiageng Giring, namun ia tidak bertemu dengannya, karena sedang pergi ke kebun untuk keperluan nderes. Di rumah tersebut ia menjumpai “kelapa muda” milik Kiageng Giring yang ditaruh di atas papan, lalu diminumnya. 22 Upaya penghilangan fakta sejarah berkenaan dengan hal-hal yang memalukan di masa lampau, juga pernah dilakukan oleh pemerintah Ghana, Afrika yang “mencekal” beberapa raja dari Dinasti Agni untuk dimasukkan dalam pelajaran sejarah, karena raja-raja tersebut dikalahkan oleh bangsa penakluk dari Eropa atau yang bernasib malang atau sakit berkepanjangan, karena “raja yang sejati” adalah raja yang tidak dapat dikalahkan
19
IG. Krisnadi, Aspek Imajinasi dalam Babad Tanah Jawi, dalam Argapura, Edisi Maret-April, 1992, hlm. 87. 20 Ibid., hlm. 33. 21 Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 397398. 22 Sudibyo Z.H., Op. cit., hlm. 213-217.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
89
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
atau ditangkap musuh, atau raja yang tidak berpihak kepada musuh (penjajah) untuk berkianat terhadap rakyatnya. 23 Lantas bagaimana dengan cara yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru mengontrol sejarah? Selama Rezim Orde Baru berkuasa, sejarah berhasil dikontrol atau dikendalikan oleh militer (TNI-AD) yang sedang berkuasa. Di masa ini, militer berperan sebagai “dapur” pengolah sejarah resmi yang kemudian dijadikan sebagai bahan utama pengajaran sejarah di sekolah tingkat dasar (SD), menengah (SLTP), maupun di tingkat atas (SLTA). Tentara sebagai institusi terkuat di bawah rezim Soeharto, tentu menyadari pentingnya pengendalian sejarah. Orang yang dipercaya Soeharto untuk mengendalikan sejarah adalah seorang sejarawan militer, Nugroho Notosusanto. Ia memegang peran kunci dalam penyusunan sejarah resmi Orde Baru, sehingga di dalam buku pelajaran sejarah di sekolah seakan-akan sejarah Indonesia adalah sejarah peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Namun ironisnya, hampir semua peperangan itu kita kalah. Sayang tidak dicari alasan kekalahan itu pada perbandingan kekuatan persenjataan yang pada gilirannya dapat memunculkan pembahasan tentang bagaimana memacu keunggulan
teknologi di bidang
persenjataan. Dalam hal ini militer sebagai “dapur” pengolah sejarah lebih memilih jawaban sebab-sebab kekalahan tersebut dikarenakan politik divide et impera (pecah belah dan kuasai). Oleh karena itu supaya tidak kalah, wajib dicapai “persatuan dan kesatuan”. Alhasil pihak militer ingin menunjukkan peran kunci dalam sejarah Indonesia sebagai bhayangkara (pengawal) negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pergolakan yang terjadi di daerah-daerah pada tahun 1950-an seperti pemberontakan PRRI (15 Pebruari 1958) dan Permesta (17 Pebruari 1958) digambarkan sebagai upaya untuk melepaskan diri dari negara kesatuan. Mengingat militer berperan sebagai “dapur” pengolah sejarah, sehingga peran yang ditonjolkan adalah keberhasilan pihak militer menumpas gerakan sparatisme tersebut. Namun tidak diuraikan sebab-sebab terjadinya gerakan sparatisme berkaitan erat dengan 23
Asvi Warman Adam, Op. cit., hlm.3.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
90
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
kekesalan di daerah yang dilatarbelakangi oleh pembagian kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang tidak adil. Tragedi 30 September 1965 memberi kesempatan bagi TNI-AD tampil di pentas tunggal panggung politik tanpa ada persaingan. Semasa rezim Soekarno khususnya menjelang tahun 1965, terdapat tiga pilar politik utama yakni kaum Soekarnois, PKI dan kelompok militer. Namun sejak Tragedi 30 September 1965 yang tampil di panggung politik di Indonesia hanya tinggal kelompok tentara di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Langkah
politik
yang
ditempuh
Soeharto
setelah
berkuasa
adalah
menghabiskan dan memusnahkan kekuatan lawan-lawan politiknya baik secara fisik maupun mentalnya dengan melakukan penangkapan, penganiayaan, penahanan, intimidasi, penculikan, pembunuhan maupun pembuangan. Oleh Antonio Gramsci, hal yang demikian ini sebagai upaya pemerolehan hegemoni secara coerscion. Hal ini pernah dialami oleh 9957 tahanan politik (tapol) golongan B dari Jawa yang dibuang oleh rezim Orde Baru ke Kamp Konsentrasi Pulau Buru. 24 Selain itu, secara noncoerscion
dengan penguasaan kesadaran daya kritis masyarakat yang dilakukan
secara cultural (halus-membius), sehingga semuanya bisa dikontrol dalam pembiusan penyeragaman basis-basis keyakinan dan persepsi kebenaran yang ditentukan lewat birokrasi. 25 Penataran P4 yang diselenggarakan untuk para siswa di tingkat sekolah
24
Dom Moraes, The Prisoners of Buru: Held Without Trial or Hope of Trial, 9957 Men Wait on an Island in The Moluccas, dalam The Asia Magazine, March 5, 1972, hlm. 11. 25 Soeharto mengadopsi teori hegemoni dari Antonio Gramsci untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Menurut Antonio Gramsci, hegemoni dapat ditempuh dengan cara kekerasan (coercion) maupun non-coercion dengan melalui penguasaan kesadaran kritis masyarakat yang dilakukan secara cultural (halus-membius), sehingga semuanya bisa dikontrol dalam pembiusan penyeragaman basisbasis keyakinan dan persepsi yang sama mengenai kebenaran yang ditentukan dari birokrat. Salah satu cara sosiologis untuk mengukur apakah sebuah hegemoni sedang berlangsung dengan memunculkan pertanyaan “sedang tidurkah kesadaran kritis masyarakat oleh proses penyeragaman berpikir? Atau melalui pertanyaan “adakah tempat untuk kritik terbuka?” Kritik dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui berlangsung/tidaknya hegemoni, karena kritik berfungsi membedah penyalahgunaan kekuasaan. Jika kritik dibungkam dengan cara kasar atau manipulasi halus cultural—berarti hegemoni sedang berlangsung. Mudji Sutrisno, Hegemoni; dalam MATRA, Edisi Khusus III, Agustus 1992, hlm. 98-99.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
91
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
dasar (SD), menengah (SLTP), atas (SLTA) maupun untuk para mahasiswa adalah sebagai upaya pemerolehan hegemoni secara non-coerscion. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, strategi pengendalian sejarah mencakup dua hal sebagai berikut: yang pertama mereduksi peran Soekarno dan yang kedua membesar-besarkan jasa Jenderal Soeharto. Contoh untuk yang pertama adalah muslihat yang mencoba menghilangkan gambar Soekarno dalam sebuah foto mengenai pengibaran bendera pada saat proklamasi kemerdekaan. Upaya licik tersebut tidak berhasil, karena ada protes dari sejarawan, Abdurrahman Surjomihardo. Upaya lainnya berupa tindakan politik untuk melarang ajaran Soekarno, termasuk dalam hal ini pelarangan pendirian Universitas Bung Karno oleh seorang putrinya bernama Rachmawati Soekano Putri. Tindakan untuk membesarkan peran Soeharto dilakukan melalui buku sejarah dan media lainnya seperti film. Salah satu contoh adalah film Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dibesar-besarkan bahkan dibuatkan monumen untuk mengenang peristiwa itu, yakni Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Monumen Yogya Kembali. Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dikesankan bahwa konseptor serangan itu adalah Soeharto, pada hal konseptor sebenarnya dari Serangan Umum 1 Maret 1949 sesungguhnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jadi di dalam film tersebut peranan Sri Sultan Hamengku Buwana IX sengaja dihilangkan. Berkenaan dengan itu, mantan Komandan Brigif 1 Kodam V/Jaya, Kol. A. Latief menyatakan bahwa di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 ia bersama pasukannya yang terdiri tentara dan para pemuda gerilyawan di sekitar Yogyakarta mengalami kerugian berat. Ketika mengundurkan diri ke pangkalan di Kuncen, A. Latief hanya bisa mengumpulkan kembali sisa-sisa anak buahnya tidak lebih dari 10 orang. Korban-korban di pihaknya 12 orang tentara terluka dan 2 orang gugur, serta 50
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
92
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
orang pemuda gerilyawan gugur. Ketika mereka yang mandi darah itu tiba di Kuncen, mereka mendapati Soeharto lagi duduk santai sambil menyantap soto babat. 26 Film “Janur Kuning” (1979) dan “Serangan Fajar” (1981) sengaja dibuat oleh rezim Orde Baru untuk menggantikan film “6 Jam di Yogya” yang kurang menonjolkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Penonjolan peran Soeharto dalam kedua film tersebut merupakan bagian upaya mengontrol sejarah untuk membangun legitimasi historis rezim Orde Baru. Film Janur Kuning yang biayanya mencapai Rp. 385 juta hampir dua kali lipat biaya rata-rata pembuatan film Indonesia pada saat itu, menggambarkan Soeharto sebagai seorang komandan yang berwibawa, tenang, dan murah senyum. Daya fisiknya luar biasa, hal ini tampak setelah pertempuran panjang, anak buahnya tampak lelah, Soeharto tetap berjalan dengan energik. Seorang anggota pasukannya (dalam film itu) berkata “Berjalan tujuh hari tujuh malam, Pak Harto tak pernah istirahat.” Ia juga menjadi teladan bagi para anak buahnya. Hal ini tampak ketika ia ditawari makanan oleh penduduk yang dilewatinya, Soeharto memastikan terlebih dahulu apakah semua anak buahnya sudah memperoleh makanan tersebut. Di dalam film itu fokus kamera dan percakapan didominasi oleh Soeharto, sedangkan Jenderal Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX hanya disorot sekilas. 27 Upaya rezim Orde Baru mengontrol sejarah juga tampak dalam kasus Tragedi Gerakan 30 September 1965. Sekretariat Negara RI pada tahun 1994 menerbitkan buku yang berjudul Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Momunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Buku tersebut menjelaskan latar belakang, aksi dan Penumpasan gerakan tersebut dari kaca mata pemerintah Indonesia. Buku ini dijadikan sebagai acuan dalam buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Menurut buku tersebut, yang menjadi dalang Gerakan 30 September 1965 adalah PKI dengan memperalat unsur ABRI. Untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa yang bertanggungjawab atas Tragedi 26
M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal (Medan: Sumatera Human Rights Watch Network, 2000), hlm. 143-144. 27 Budi Irawan, Film Ideologi & Militer: Hegemoni Militer, dalam Kompas 1 Januari 2000.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
93
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
30 Septembver 1965 adalah PKI, rezim Orde Baru memunculkan akronim G.30.S/PKI atau Gestapu-PKI. Soeharto dalam upaya memperoleh, memperkuat dan mempertahankan kekuasaan, melakukan kontrol sejarah dengan memanipulasi naskah Supersemar. Naskah hasil manipulasi tersebut oleh rezim Orde Baru disebarkan di masyarakat dengan isinya sebagai berikut: 1.“Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. 2.Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya. 3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas.” 28 Menurut kesaksian Subandrio, isi naskah asli Supersemar selain seperti isi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat, masih ada satu poin yang lebih penting lagi yakni setelah Soeharto selesai melaksanakan tugasnya, kekuasaan semestinya dikembalikan kepada Presiden Soekarno. Lagi pula naskah aslinya berjumlah dua lembar. 29 Disinilah manipulasi sejarah dilakukan oleh pihak yang sengaja menghilangkan poin
penting itu demi memenuhi ambisi politiknya yaitu
merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Bahkan naskah aslinya oleh rezim Orde Baru dinyatakan hilang. Berkenaan dengan hilangnya naskah asli Supersemar, seorang mantan tapol Buru, Pramoedya Ananta Toer menyatakan sebagai berikut:
28
JK. Tumakaka, Peralihan Kekuasaan Soekarno, Soeharto, Habibie (Jakarta: Hasta Mitra, 1988), hlm. 190-191. 29 Detak No. 32, 2-8 Maret 1999.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
94
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
“Gampang saja, suruh keluarkan itu surat. Mereka sembunyikan itu. Omong kosong aja itu hilang. Mereka sendiri mengagungkan Supersemar, malah dikatakan surat sakti. Masak dokumennya hilang. Ini logika orang desa.” 30 Berkenaan dengan pernyataan Pramoedya Ananta Toer tersebut, Soeharto sebenarnya pernah menyatakan bahwa dirinya adalah anak orang desa, sehingga walaupun ia sudah menjadi presiden, logika yang dipakainya pun masih logikanya orang desa. Jadi apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer tersebut cukup mudah untuk dipahami. 3.
Krisis Pembelajaran Sejarah
Keberadaan guru sejarah di era Reformasi mengalami kesulitan untuk mengajarkan mata pelajaran sejarah kepada anak didiknya berkenaan dengan munculnya gugatan terhadap produk sejarah-resmi Orde Baru di berbagai media massa. Selama bertahuntahun sejak Orde Baru berkuasa (1967-1998), murid-murid di sekolah telah diajarkan kebenaran sejarah tunggal (versi Orde Baru). Kini setelah rezim itu tumbang (21 Mei 1998), kebenaran sejarah yang lainpun ditampilkan dalam wacana umum. Muridmurid pun bertanya, manakah yang benar dari berbagai kebenaran sejarah yang kini telah ditampilkan itu? Jika hanya berhenti pada masalah itu, mungkin masalahnya tidak begitu parah, tetapi suasana yang demikian ini menyebabkan dipertanyakan kredibilitas guru dan buku ajar sejarah. Mengapa sejarah yang diajarkan berbeda dengan yang diperbincangkan di berbagai media massa? Akhirnya muncul anggapan “sejarah pun telah membingungkan guru, dan guru pun telah membingungkan murid,” sehingga terjadi krisis pembelajaran sejarah Indonesia masa Orde Baru di sekolah. Keadaan krisis pembelajaran sejarah yang demikian
dialami
para guru
sejarah di SMP se-Kabupaten Jember yang tergabung dalam MGMP-Sejarah (Musyawarah Guru Mata Pelajaran-Sejarah). Bahkan diantara mereka ada yang menemui saya untuk menyampaikan keluhan berkenaan kesulitan mengajar sejarah 30
Ibid.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
95
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
Indonesia masa Orde Baru di era Reformasi. Pada pertemuan itu, mereka menanyakan apa ada buku ajar sejarah yang dapat dijadikan buku pegangan untuk mengajar sejarah Indonesia masa Orde Baru. 31. Keluhan serupa disampaikan para guru bidang studi sejarah di tingkat sekolah menengah maupun atas (SLTP, SLTA) di lingkungan kerja Departemen Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah dalam seminar bertema Sosialisasi Kurukulum Sejarah Terkait Peristiwa G.30.S/PKI 1965 yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro di Aula Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah Jalan. Pemuda No. 134 Semarang pada 7 Desember 2006. Di dalam seminar tersebut, mereka mengeluh berkenaan kesulitan mengajar sejarah Indonesia masa Orde Baru di era Reformasi dan meminta supaya segera disusun buku ajar sejarah Indonesia masa Orde Baru yang dapat dijadikan sebagai buku pegangan mengajar. 32 Berkenaan dengan itu, buku ajar sejarah Indonesia masa Orde Baru untuk SLTP maupun SLTA perlu segera disusun, sehingga dapat dijadikan buku pegangan bagi para guru sejarah di SLTA maupun SLTP. Buku ajar tersebut diharapkan dapat segera mengakhiri masa krisis pembelajaran sejarah masa Orde Baru di Indonesia. Buku ajar yang akan dihasilkan bukan saja isi kebenaran buku itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, melainkan menghasilkan buku ajar yang dapat memberi pencerahan dalam pembelajaran sejarah Indonesia masa Orde Baru baik di tingkat SLTP maupun SLTA. Buku ajar yang akan dihasilkan menolak kebenaran sejarah tunggal yang hegemonik seperti yang pernah terjadi selama rezim Orde Baru berkuasa, melainkan menampilkan berbagai kebenaran sejarah, menurut versinya 31
Keluhan berkenaan krisis pembelajaran sejarah Indonesia masa Orde Baru disampaikan Dwi Sunaryati dkk yang mewakili guru bidang studi sejarah (SLTP) yang tergabung dalam MGMP-Sejarah se-Kabupaten Jember disampaikan kepada IG. Krisnadi (Staf pengajar Jurusan Sejarah) di di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, 17 Maret 2006. 32 IG. Krisnadi, Kontroversi Seputar Peristiwa G.30.S 1965 (Makalah) dalam Seminar Sosialisasi Kurikulum Sejarah Terkait Peristiwa G.30.S/PKI 1965 Pada Guru-guru Sejarah Sekolah Menengah Se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oeh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Tengah pada Kamis 7 Desember 2006 di Aula Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah Jalan Pemuda 134, Semarang.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
96
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
masing-masing 33 dengan mempersilahkan guru sejarah membimbing para siswa untuk mengkritisinya. Para pelaku pembelajaran sejarah di era Reformasi harus meninggalkan kebenaran sejarah Orde Baru yang hegemonik yang hanya menerima kebenaran tunggal menurut versi pemerintah
Orde Baru dan
menerima proses
demokratisasi sejarah yang tidak terelakkan di era Reformasi, sehingga mereka mampu memahami perdebatan (gugatan) sejarah yang sedang terjadi di era ini hanyalah menjadi bagian dari dinamika dalam wacana akademik dan intelektual. Para pelaku pembelajaran sejarah setelah memahami proses demokratisasi di bidang sejarah, sehingga mereka mampu meredam perdebatan sejarah yang terjadi dengan para peserta didiknya di dalam kelas maupun yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Para pelaku pembelajaran sejarah khususnya para guru bidang studi sejarah harus mampu memahami perdebatan sejarah yang semakin mengarah kepada kepentingan politik dan “balas dendam,” melainkan mereka harus mampu mendampingi para peserta didiknya dengan memberikan pemahaman sejarah yang memantulkan “kearifan sejarah” yang dapat memberikan “tanda-tanda lalu lintas” dalam perjalanan sejarah bangsa. Untuk menunjang atau mendukung para pengajar bidang studi sejarah harus dilengkapi buku pegangan mengajar berupa buku ajar sejarah yang berisi materi menolak kebenaran tunggal yang hegemonik dan menerima demokratisasi dalam sejarah. 4.
Demokratisasi Sejarah
Di era Reformasi bergulir demokratisasi di segala sektor kehidupan. Sejarah yang di masa lalu (Masa Rezim Orde Baru) dimonopoli para “pelacur” sejarah yang dibeli oleh penguasa (militer), namun kini di era Reformasi “sejarah”
menjadi ajang
pertarungan antara penguasa dengan masyarakat. Sejarah sebagai gambaran masa lalu dianggap penting dan signifikan, adalah milik masyarakat, bukan milik apa lagi menjadi monopoli penguasa. Sejarawan sebagai pencatat,atau penafsir masa lalu, berperan mempertemukan masa lalu dengan masa kini, sehingga menjadi perebutan antara penguasa dengan masyarakat. Mereka beranggapan, siapa yang menguasai 33
Ibid.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
97
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
kekinian akan menguasai masa lalu, dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan. Ini cukup merangsang bagi pihak manapun untuk mengendalikan sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh, memperkuat, maupun mempertahankan kekuasaan. 34 Demokrasi sejarah bergulir di era Reformasi, gugatan sejarah terhadap gambaran di masa lalu mulai bermunculan. Misal bermunculan buku-buku yang mempertanyakan dalang atau pelaku utama yang bertanggungjawab terhadap Tragedi 30 September 1965. Dari buku-buku yang ada sampai saat ini (2010), muncul berbagai versi tentang pelaku utama yang bertanggungjawab terhadap tragedi tersebut sebagai berikut: (1) Pelaku utama Tragedi 30 September 1965 adalah PKI dan Biro Chusus dengan memperalat unsur ABRI. Buku-buku yang mendukung versi ini adalah buku sejarah resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru seperti: Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dkk., buku paket pelajaran sejarah untuk tingkat sekolah dasar (SD), menengah (SLTP), maupun di tingkat atas (SLTA), Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya (1994) yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI; (2) Menurut versi Cornell Paper, Tragedi 30 September 1965 merupakan puncak konflik intern di tubuh TNI-AD. Buku-buku yang mendukung versi ini seperti: A Preliminary Analysis of The October 1, 1965; Coup in Indonesia (1966) yang ditulis oleh dua ilmuwan dari Cornell University, Amerika Serikat yakni Benedict R. Anderson dan Ruth Mc. Vey. Selain itu ada buku lainnya yang mendukung teori ini yakni berjudul The Army and Politics in Indonesia (1966) yang ditulis oleh Harold Crouch. 35 (3) Pelaku utama dalam Tragedi 30 September 1965 adalah CIA/Pemerintah Amerika Serikat. Buku yang mendukung versi ini seperti The United States and Overthrow of Sukarno (1985) yang ditulis oleh
34
Taufik Abdullah, Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965 (Makalah). Disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS dengan topic Memandang Tragedi Nasional Secara Jernih, diselenggarakan MSI di Gedung Riset Nasional; PUSPITEK, Serpong Jawa Barat, 8 September 1999, hlm. 1. 35
Asvi Warman Adam, Op.c it., hlm. 8.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
98
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
Peter Dale Scott.36 (4) Yang menjadi dalang Tragedi 30 September adalah Soekarno. Versi ini didukung oleh Antonie Dake dalam buku In The Spirit of The Red Banteng.37 (5) Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah konspirasi di mana unsurunsur nekolim ingin menggagalkan jalannya revolusi Indonesia. Hal ini terjadi karena ditunjang oleh pimpinan PKI yang keblinger dan oknum-oknum TNI-AD yang tidak benar. Hal ini terungkap dalam Pelengkap Nawaksara Soekarno. Versi ini didukung oleh JK. Tumakaka dalam buku berjudul Peralihan Kekuasaan Soekarno, Soeharto, Habibie (1998).
38
(6) Yang menjadi dalang Gerakan 30 September 1965 adalah
oknum-oknum PKI yang tergabung di dalam Biro Chusus seperti: Syam Kamaruzaman, Aidit. Versi ini didukung oleh sebuah tim dari Institut Studi Arus Informasi yang menulis buku Bayang-Bayang PKI (1995). 39 Pada masa Reformasi, semakin deras arus informasi dengan melalui berbagai media massa. Pada masa yang demikian, seorang guru sejarah yang masih menggunakan buku paket yang diedarkan pemerintah merasa sulit dalam proses belajar-mengajar. Sementara itu para siswa sering berpijak pada informasi yang ditawarkan melalui media massa. Tidak mengherankan jika jawaban yang disampaikan bertentangan dengan informasi yang diperoleh para siswa, sehingga tidak jarang diantara para guru yang dituduh telah membohongi para muridnya. Akibatnya, kredibilitas guru sebagai pendidik di mata siswa langsung merosot. Dalam keadaan yang demikian ini terjadilah krisis pembelajaran sejarah dan dalam keadaan yang demikian ini sejarah benar-benar telah membinggungkan guru, dan guru pun telah membinggungkan muridnya. Hal ini seperti yang dirasakan Kepala Sekolah SDN 15 Pontianak, Dewi Hariyani (45 tahun) yang dituduh telah membohngi muridnya seperti dalam kutipan di bawah ini: “Terus terang, kami sebetulnya dituduh siswa membohongi mereka. Misal ketika kami mengajarkan tentang materi G.30.S/PKI atau Supersemar.
36
Ibid. MR. Siregar, Op. cit., hlm. 9. 38 JK. Tumakaka, Op. cit., hlm. 34. 39 ISAI. Bayang-Bayang PKI. Jakarta: PT Inter Masa, 1995. 37
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
99
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
Rasanya sakit sekali, tetapi inilah konsekuensi profesi. Lagi pula kami hanya berpatokan pada materi yang ditetapkan pemerintah. 40 Untuk menghindari polemik sejarah yang terjadi antara guru dengan siswa, tampaknya pihak pemerintah sekarang ini (pemerintahan SBY) menangguhkan sejumlah materi pelajaran sejarah (Orde Baru) yang sedang diperdebatkan publik. Beberapa materi/pokok bahasan yang ditunda pembelajarannya adalah (1) Serangan Umum 1 Maret 1949; (2) Peristiwa G.30.S/PKI Tahun 1965; (3) Lahirnya Orde Baru; (4) Proses Timor Timur menjadi propinsi ke-27. 41
5.
Kesimpulan
Pengendalian sejarah terjadi sejak periode Hindu hingga pada masa rezim Orde Baru, dimanfaatkan para penguasa untuk memperoleh, memperkuat maupun untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam kasus di beberapa negeri, peran negara lebih dominan dalam pengendalian sejarah, namun demikian pengendalian sejarah bisa juga berasal dari masyarakat. Sejarah resmi adalah sejarah institusi. Tentara sebagai institusi terkuat pada masa rezim Orde Baru berperan sebagai dapur pengolah sejarah. Sejarawan militer, Nugroho Notosusanto pemegang peran kunci dalam penyusunan sejarah resmi Orde Baru. Selama rezim Orde Baru berkuasa, proses pengendalian sejarah berlangsung secara efektif, dan sejarah Orde Baru telah menghegemoni masyarakat Indonesia. Arus deras informasi pada masa Reformasi mempersulit posisi guru sejarah dalam memberikan materi pelajaran sejarah dalam kegiatan belajar-mengajar. Berbagai gugatan sejarah tentang gambaran masa lalu yang muncul di era Reformasi, berimplikasi terhadap terjadinya polemik sejarah antara guru dengan siswanya. Untuk menghindari hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan menunda materi sejarah yang sedang diperdebatkan publik. 40
Kompas, Sabtu 29 April 2000. Suranto, Pembelajaran Sejarah di Sekolah Pada Era Reformasi. Disajikan dalam peantapan kerja Guru Sejarah se-Karesidenan Besuki di Aula Pemda Tingkat II Jember, 22 Maret 2000, hlm. 7. 41
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
100
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
DAFTAR PUSTAKA Abdul Latief. Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G.30.S. Jakarta: ISAI, 2000. Aristides Katoppo. Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Penebar Swadaya 1999. Asvi Warman Adam, “Manipulasi Sejarah”, (Artikel), dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999. Asvi Warman Adam, Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto. Disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS yang diselenggarakan MSI dengan topik Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih, di Gedung Dewan Riset Nasional, PUSPITEK, Serpong, 8 September 1999. Budi Irawan, Film Ideologi & Militer: Hegemoni Militer, dalam Kompas 1 Januari 2000. Detak No. 32, 2-8 Maret 1999. Dom Moraes , The Prisoners of Buru: Held Without Trial or Hope of Trial, 9957 Men Wait on an Island in The Moluccas, dalam The Asia Magazine, March 5, 1972. Eleonora Wieringa, Saskia, The Politization of Gender Relation in Indonesia Womens Movement and Gerwani Until The New Order State, (Desertasi). Terjemahan Hersri Setiawan, Penghancuran Organisasi Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyamitra, 1999. Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu. Jakarta: Gramedia, 2000. IG. Krisnadi, Aspek Imajinasi dalam Babad Tanah Jawi, dalam Argapura, Edisi Maret-April, 1992. IG. Krisnadi, “Wilayah” Pujangga dalam Mencipta Historiografi Tradisional (Laporan Penelitian). Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember, 1994. IG. Krisnadi, Mbedhah Isi Babad Tanah Jawi (Artikel), dalam majalah Jaya Baya No. 21/LII, Minggu Kliwon, 25 Januari 1998. IG. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru. Jakarta: LP3ES,2001. IG. Krisnadi, Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa (Artikel). Disajikan dalam Kongres Basa Jawa IV di Semarang, Jawa Tengah, 10-14 September 2006. IG. Krisnadi, Kontroversi Seputar Peristiwa G.30.S 1965 (Makalah) dalam Seminar Sosialisasi Kurikulum Sejarah Terkait Peristiwa G.30.S/PKI 1965 Pada Guru-guru Sejarah Sekolah Menengah Se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oeh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Tengah pada Kamis 7 Desember 2006 di Aula Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah Jalan Pemuda 134, Semarang. ISAI. Bayang-Bayang PKI. Jakarta: PT Inter Masa, 1995. Kompas, “Ketika Sejarah Membingungkan Guru”, 29 April 2000.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
101
Historia, Vol. V, No. 1 (Juni 2010): 83-102
Mudji Sutrisno, Hegemoni; dalam MATRA, Edisi Khusus III, Agustus 1992, hlm. 9899. Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Pengaduan masalah krisis pembelajaran sejarah Dwi Sunaryati dkk selaku anggota MGMP-Sejarah se-Kabupaten Jember di rumah kediamannya pada 17 Maret 2006. Santosa Suwito, BabadTanah Jawi. Jakarta: tanpa badan penerbit, 1970). Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial, dalam Lembaran Sejarah No.4. Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1969. Sartono Kartodirdo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Siregar, M.R., Naiknya Para Jenderal. Medan: Sumatera Human Rights Watch NetWork, 2000. Stanley. “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan, Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka”, (Makalah) disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS yang diselenggarakan MSI dengan topik “Memandang Tragedi Nasional 1965 secara Jernih di Gedung Dewan Riset Nasional, PUSPITEK, Serpong 8 September 1999. Sudibyo, Z.H., Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid Pertama. Djakarta: 1964: Di Bawah Bendera Revolusi. Sulastin Sutrisno, Sastra dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No. 03. Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1982. Suranto, Pembelajaran Sejarah di Sekolah Pada Era Reformasi. Disajikan dalam pemantapan kerja Guru Sejarah se-Karesidenan Besuki di Aula Pemda Tingkat II Jember, 22 Maret 2000. Taufik Abdullah, Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965 (Makalah). Disajikan dalam Seminar Pra KIPNAS dengan topic Memandang Tragedi Nasional Secara Jernih, diselenggarakan MSI di Gedung Riset Nasional; PUSPITEK, Serpong Jawa Barat, 8 September 1999, hlm. 1. Tumakaka, JK. Peralihan Kekuasaan Soekarno, Soeharto, Habibie. Jakarta: Hasta Mitra, 1988.
MENGGUGAT SEJARAH IG Krisnadi
102