BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tumbangnya rezim orde baru yang kemudian menandai babak baru era reformasi menjadikan banyak perubahan dalam konteks sosial budaya di Indonesia, termasuk pendidikan. Di zaman orde baru pendidikan merupakan sarana pembentuk jati diri bangsa yang didasarkan pada ideologi Pancasila versi pemerintah. Teks-teks yang terdapat dalam buku teks pelajaran kelas 1 SD saat itu sangat bias jawa. Tokoh, nama, atribut, dan setting tempat dalam buku tersebut mendefinisikan Indonesia sebagai jawa. Salah satu teks yang berbunyi “Ini ibu Budi” sangat akrab di pendengaran murid sekolah dasar pada saat itu. Jawa pada masa itu sangat mendominasi buku teks dalam konteks keindonesiaan. Pada era reformasi, ada peluang untuk keluar dari bayang-bayang identitas keindonesiaan yang beku. Keberagaman dirayakan sehingga banyak kelompok yang
pada
era
orde
baru
dibungkam
memiliki
kesempatan
untuk
mengartikulasikan budayanya. Hal ini beriring dengan kebijakan negara yang juga berusaha mengakomodir kelompok-kelompok minoritas. Bahwa kemajemukan adalah fakta sosial yang harus diterima dalam keindonesiaan. Belum lama ini, negara mengeluarkan kebijakan untuk mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Kurikulum 2013. Tema besar yang dibawa yaitu pengembangan pendidikan karakter. Goenawan Mohammad (budayawan, sastrawan, sekaligus pendiri majalah TEMPO) dalam iklan Kurikulum 2013, menyebut dirinya mendukung Kurikulum 2013 karena
1
dianggap sebagai sistem yang mengajarkan kepada siswa untuk menghargai perbedaan, yang tidak lain merupakan cita-cita pendidikan karakter. Implikasi diterapkannya kurikulum tersebut adalah penyediaan buku teks pelajaran yang baru. Dalam studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000: 65) terungkap bahwa buku pelajaran (text book) merupakan satusatunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan siswa dan guru begitu besar terhadap buku pelajaran. Berdasarkan konsep kurikulum 2013 yang bercirikan tematik integratif, untuk kelas I SD hanya ada satu jenis buku teks yang didalamnya berisikan berbagai kompetensi mata pelajaran. Dalam konteks ini, pelajaran PPKn memiliki tanggung jawab dalam pengembangan kepribadian siswa, penanaman karakter sebagai warga negara yang ideal, di samping pelajaran Agama dan Budi Pekerti. Kurikulum melalui buku teks pelajaran, khususnya kompetensi pada mata pelajaran PPKn bermaksud untuk ambil bagian dalam proyek nation-building Indonesia dengan memilih pola dasar dari ‘Indonesia’ dimana buku teks menjadi representasi warga negara Indonesia dalam dunia pendidikan. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD adalah penggambaran keanekaragaman identitas etnis di Indonesia. Saya ingin menyatakan bahwa pada poin ini, buku teks pelajaran mempunyai kepentingan untuk mengatakan tentang bagaimana dan seperti apa ke-Indonesia-an diimajinasikan, dipelihara, dan dinegosiasikan dengan referensi identitas budaya dan perbedaan dalam bingkai nasional Indonesia dewasa ini.
2
Piaget seperti yang dikutip Sugiharto dkk. (2007: 109-112) menyatakan bahwa anak-anak usia kelas 1 SD memiliki berada dalam usia strategis dalam konstruksi pengetahuan, dalam hal ini konstruksi ideologi yang berbasis pada semangat identitas multikultur. Diskursus ke-Indonesia-an dibangun melalui bahasa dan gambar sebagai media untuk belajar membaca dan menulis anak kelas 1 SD. Dengan demikian, bahasa, baik verbal maupun visual menjadi alat dari konstruksi ideologi itu sendiri. Visualisasi tubuh dan penamaan (naming) sebagai sebuah representasi dimana anak kelas 1 SD belajar tentang orang lain dalam konsep bangsa. Selain itu, pasca reformasi terjadi perubahan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satu yang terlihat dalam buku teks pelajaran tematik kelas 1 SD adalah munculnya apa yang saya sebut sebagai islamic revivalism dengan diakomodasinya atribut kultural dalam artikulasi budaya muslim seperti jilbab. Hal lain adalah proses inklusi sebagai upaya perengkuhan terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas dalam kerangka identitas ke-Indonesia-an. Sejak tahun 2010, negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan pendidikan karakter ke dalam beberapa tahap dan prioritas melalui Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal Informal (PAUDNI). Di bagian akhir, pada tahap III yaitu tahun 2020-2045 diharapkan telah tercapai prioritas peningkatan ketahanan nasional bangsa Indonesia dengan memupuk semangat kesatuan dan persatuan, toleransi antarumat beragama, antarsuku bangsa, antarras, antaradat, dan menjunjung tinggi kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender (Kemdiknas, 2010).
3
Lebih jauh lagi, dalam perbincangan tentang ke-Indonesia-an, berarti berbicara tentang identitas. Bicara soal identitas berarti juga perlu membicarakan perbedaan. Keragaman etnisitas di Indonesia menjadi sebuah masalah tersendiri ketika memperbincangkan ke-Indonesia-an. Di sana terdapat relasi kuasa antara mayoritas dan minoritas dalam konteks penggambaran keanekaragaman identitas etnis. Oleh karena buku teks juga memiliki keterkaitan dengan wacana yang berkembang dalam masyarakat khususnya pada identitas kultural, seputar gender, etnisitas, kelas dan kebangsaan di Indonesia, maka penelitian ini juga menggarisbawahi fakta yang saling mempengaruhi antara buku teks dalam pendidikan dengan konteks sosial-politik saat buku tersebut dimunculkan. Di sisi lain, desentralisasi pendidikan di Indonesia menjadi problematik. Di satu sisi, penguatan semangat primordialisme dalam pendidikan harus berhadapan dengan standar nasional pendidikan. Ukuran keberhasilan pendidikan bias dengan standar Jakarta. Primordialisme dalam pendidikan akhirnya juga nampak dalam teks-teks pendidikan itu sendiri, dalam hal ini buku teks pelajaran. Sebagai bangsa yang terdiri dari beranekaragam etnis dan agama, medefinisikan ke-Indonesia-an dalam kerangka multikulturalisme menghadapi masalah ketika berhadapan dengan primordialisme. Primordialisme semakin menguatkan dan menegaskan perbedaan kultural dari artikulasi kultural dalam buku teks pelajaran. Naming, labeling, stereotyping bagi etnis, agama tampak dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD Kurikulum 2013. Persoalan naming lebih mengacu pada ciri-ciri biologis, yang pada akhirnya melahirkan stereotyping dalam bayang-bayang dominasi etnis tertentu. Persoalan pusat-pinggiran menjadi tampak dalam identitas
4
ke-Indonesia-an. Alih-alih menjadikan kendonesiaan semakin terbuka, malah menjadikan penyempitan pemaknaan identitas berdasarkan ciri fisik, yang semakin terkungkung dalam jebakan identitas yang (di)beku(kan). Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan mengacu pedekatan Cultural Studies, membuka kemungkinan bahwa identitas tidak pernah fixed dan final, tetapi selalu berkembang, berjalin berkelindan dengan konteks sosial. Melalui pendekatan tersebut, juga memungkinkan pembicaraan ke arah intersectionality antara identitas dari gender, etnisitas, dan kebangsaan. Kategori identitas tidak pernah tepisah satu sama lain, akan tetapi cair dan saling melekat, mempunyai hubungan timbal-balik, dan saling dipertentangkan satu sama lain.
1.2 Rumusan Masalah Keberagaman menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan di Indonesia. Berhadapannya keberagaman dengan konstruksi identitas nasional Indonesia menjadi problematis. Setelah gelombang reformasi bergulir 1998, banyak terjadi perubahan sosiokultural maupun politik di Indonesia. Hal tersebut menjadikan perubahan dalam mengartikulasikan ke-Indonesia-an. Jika pada era orde baru keIndonesia-an sangat bias jawa, negara pada waktu itu dengan P4 mengonstruksi masyarakat untuk menjadi “manusia Indonesia seutuhnya”, menjadi subjek “berjati diri” yang diinginkan negara, maka pada era pasca reformasi memberikan peluang untuk mendefinisikan ulang tetang ke-Indonesia-an yang mengakomodasi pandangan multikulturalisme sebagai arah untuk membentuk karakter bangsa. Melalui pendidikan, anak-anak dibentuk menjadi warga negara ideal menurut
5
negara. Bagaimana sebenarnya multikultral dipahami dalam pendidikan? apakah realita multikultur tersebut menjamin hubungan kesetaraan dalam artikulasi keIndonesia-an yang plural? Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha mejawab pertanyaan di bawah ini. 1.2.1
Bagaimana identitas nasional Indonesia ditampilkan dalam buku teks tematik terpadu kelas 1 SD Kurikulum 2013?
1.2.2
Bagaimana interdiskursivitas identitas nasional Indonesia dalam buku teks tematik terpadu kelas 1 SD Kurikulum 2013 dengan wacana yang berkembang pada konteks itu?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1
Menjelaskan dan mengkritisi bagaimana identitas nasional Indonesia ditampilkan dalam buku teks tematik terpadu kelas 1 SD Kurikulum 2013.
1.3.2
Menjelaskan bagaimana interdiskursivitas identitas nasional Indonesia dalam buku teks tematik terpadu kelas 1 SD Kurikulum 2013 dengan wacana yang berkembang pada konteks itu.
1.4 Tinjauan Pustaka Ekspresi budaya dan politik identitas menjadi sebuah bahasan dalam buku Mencari Indonesia karya Riwanto Tirtosudarmo (2007). Ia menyoroti bagaimana
6
konflik sosial yang terjadi memiliki keterkaitan erat dengan persoalan migrasi penduduk yang berimplikasi pada ekspresi budaya dari kelompok-kelompok etnis. Konflik semacam ini tidak sekedar bersifat struktural, tetapi merupakan konflik karena perbedaan identitas yang bersifat kultural. Dalam konflik semacam itu, migran dan penduduk lokal tidak lagi sekedar memperebutkan sumber daya ekonomi yang memang semakin terbatas, tetapi lebih dari itu mereka menginginkan diakuinya supremasi sebagai sebuah kelompok yang memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain. Dalam hal pandangan tentang “semangat ke-Indonesia-an”, Riwanto bersetuju dengan Anderson (1999) yang membedakan antara “nasionalisme lama” yang didasarkan pada warisan masa lampau yang dilandasi oleh “darah” dan “kesukuan” dengan “nasionalisme baru” yang didasari oleh “proyek bersama” bernama Indonesia. Sebagai sebuah kajian demografi-politik, karya di atas dapat dikatakan sebagai peta mutakhir demografi. Namun, tidak ditemukan bagaimana politik identitas itu nampak sebagai artikulasi kultural, dan secara umum kajian yang dilakukan bermuara pada masalah kependudukan. Purbani (2009) dalam disertasi Ideologi Anak Ideal dalam Lima Fiksi Anak Uunggulan Indonesia Akhir Masa Orde Baru (Studi Kasus Tentang Fiksi-fiksi Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Fiksi Anak Depdiknas dan Penerima Penghargaan Buku Bacaan Anak Nasional tahun 1996-2001) menyatakan bahwa lima teks yang diperiksa mengandung ideologi perfersionisme, yakni ideologi yang menempatkan anak-anak sebagai the perfect hero yang ditunjukkan dengan penggambaran anak-anak yang memiliki watak-watak bertakwa, pandai, berbudi
7
pekerti, berjiwa kebangsaan, pemberani, cinta alam dan lingkungan, berjiwa kepemimpinan, dan pada akhirnya dinobatkan menjadi pahlawan. Anak-anak yang diidealkan dalam teks ini juga hidup dalam ideologi-ideologi paternalisme, patriarki dan instanisme yang menempatkan anak-anak dalam perlindungan kaum dewasa, merayakan kebebasan anak laki-laki, meminggirkan anak perempuan dan membiarkan anak-anak tanpa proses menjadi. Anak-anak dikonstruksi untuk memiliki ketergantungan terhadap orang-orang dewasa di sekitar mereka. Kaum dewasa yang hidup bersama anak-anak merupakan kaum dewasa yang baik, selalu siap melindungi, membantu dan memberi inspirasi, sehingga kurang memberi ruang bagi anak-anak untuk berkembang, melakukan eksplorasi dan menemukan jawaban atas kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Dengan tujuan menolong dan melindungi, anak-anak orde baru dijauhkan dari kemandirian. Purbani menyatakan bahwa teks-teks yang diunggulkan oleh bangsa Indonesia pada masa Orde Baru ini berpotensi melumpuhkan anak-anak melalui kuatnya kontrol dan kendali orang dewasa terhadap anak-anak melalui teks. Sama seperti penelitian Purbani, penelitian yang saya lakukan menekankan bagaimana ideologi digunakan negara untuk membentuk subjek yang diinginkan negara. Namun penelitian Purbani tidak melihat aspek identitas nationhood dalam kerangka analisisnya. The Representation of Social Actors in Top Notch 2A and 2B merupakan judul penelitian Zahra Karimaghaeil dan Morad Bagherzadeh Kasmani (2013). Penelitian ini menggunakan metode CDA untuk menyelidiki representasi aktor sosial di Top Notch 2A/2B sebagai buku teks EFL yang digunakan secara luas di lembaga bahasa di Iran. Studi ini meneliti representasi linguistik aktor sosial laki-
8
laki dan perempuan dengan penekanan pada penghapusan, penataan ulang dan substitusi. Hasil analisis menunjukkan bahwa aktor soial yang direpresentasikan memiliki perbedaan dalam beberapa fitur diskursif. Aktor sosial perempuan direpresentasikan sebagai sosok yang kurang berhasil dan intelektual daripada laki-laki. Setelah itu, mereka direpresentasikan sebagai sosok yang memiliki pekerjaan biasa-biasa saja, dan tidak memainkan peran yang lebih sentral dalam masyarakat. Lebih penting lagi, subordinasi perempuan dapat dipahami secara implisit dalam buku teks tersebut. Secara umum penelitian ini menggunakan perspektif gender yang cenderung mainstream, dimana wacana dan konteks feminisme kurang terlihat. Nurit Peled-Elhanan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul The Representation of 'Others' in Israeli Schoolbooks: A Multimodal Analysis mengungkapkan bagaimana marjinalisasi terjadi dalam buku teks pelajaran di Israel. Studi ini menggunakan metode semiotik sosial dalam kerangka multimodal untuk menganalisis teks-teks buku teks Israel di sekolah, yaitu Sejarah, Geografi, dan PKn. Argumen dari penelitian ini adalah ‘minoritas’ non-Yahudi dan ‘etnis’ Yahudi direpresentasikan secara rasis baik secara verbal maupun visual sebagai stereotype, bukan sebagai individu. Warga negara Palestina di wilayah Palestina yang telah diduduki direpresentasikan sebagai orang yang keji, primitif, dan berbahaya. ‘etnis’ Yahudi, terutama Arab-Yahudi dan Yahudi Ethiopia direpresentasikan secara antropologi sebagai under-developed 'sector'. Kedua kelompok sosial dan budaya yang terpinggirkan dalam buku pelajaran tersebut merupakan cerminan masyarakat
terpinggirkan dalam masyarakat Israel.
9
Meskipun berkaitan dengan bagaimana marjinalisasi terjadi dalam buku sekolah, penelitian ini tidak memperhitungkan aspek gender yang juga menjadi objek marjinalisasi. Dalam sebuah artikel yang berjudul The Discursive Construction of National Identities, De Cillia, Reisigl dan Wodak (1999) menyatakan bahwa konsep bangsa sebagai sebuah komunitas yang dibayangkan menjadi argument penting dalam berbagai literatur pada dekade terakhir. Mereka menyoroti tentang pertanyaan mengenai bagaimana kita membangun identitas nasional dalam wacana. Topik yang menjadi strategi diskursif yang melibatkan bahasa yang digunakan untuk membangun kesamaan/kesatuan nasional dan keunikan di satu sisi, dan perbedaan kolektif nasional di sisi yang lain. Pertanyaan tersebut dijawab dalam penelitian mengenai bangsa Austria dan identitasnya. Mengambil beberapa pendekatan sosial ilmiah sebagai titik berangkat, mereka mengembangkan metode deskripsi dan analisis fenomena yang dapat diaplikasikan di luar produksi diskursif identitas nasional Austria yang menjadi contoh spesifik. Dengan berfokus terutama pada konstruksi diskursif dari kesamaan nasional penelitian ini telah melahirkan perspektif baru dalam analisis wacana-sejarah, yang hingga saat ini terutama prihatin dengan analisis konstruksi diskursif tentang perbedaan. Hogan (1999) dalam The Construction of Gendered National Identities in The Television Advertisements of Japan and Australia, berbicara tentang identitas individu dan nasional menjadi semakin terfragmentasi dalam kondisi globalisasi. Hogan berpendapat di sini bahwa di tengah meningkatnya fragmentasi ini, atau mungkin sebagai reaksi terhadap hal itu, narasi tertentu bekerja sebagai jangkar
10
identitas nasional yang terkepung dalam apa yang dianggap tradisi. Artikel ini membahas hubungan antara globalisasi dan pembangunan identitas nasional dalam iklan televisi dari Jepang dan Australia. Hogan berpendapat bahwa identitas nasional sangat bergender, dan menegaskan bahwa gendering ini berfungsi untuk jangkar identitas nasional dalam nostalgia dan tradisionalisme dalam menanggapi tekanan globalisasi atau, lebih khusus, dengan tekanan dari program internasionalisasi Jepang dan program multikulturalisme Australia. Dengan melakukan telaah terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka manfaat bagi penelitian ini adalah untuk memetakan posisi penelitian diantara penelitian sejenis. Dengan demikian orisinalitas penelitian dapat terjaga dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Ideological State Apparatuses dan Pembentukan Subjek Institusi pendidikan merupakan tempat dimana negara dapat membentuk subjek yang diinginkan. Dalam hal ini, anak-anak kelas 1 SD merupakan sasaran penanaman ideologi oleh negara. Teori ideologi Althusser (2006: 84-87) menggarisbawahi konsep subjek dan ideologi. Ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi merupakan suatu alat untuk menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan alat intervensi bagi perjuangan kelas. Ideologi menyediakan posisi-posisi subjek dan merekrut individu untuk menempati posisiposisi subjek tertentu. Namun, di sisi lain, ideologi juga menempatkan hubungan
11
antara individu dengan relasi sosialnya. Artinya, ideologi merupakan seperangkat gagasan dan keyakinan yang terbentuk di alam bawah sadar, dan berrelasi dengan kekuatan sosial di luar individu. Menurut Althusser, yang direpresentasikan dalam ideologi terutama bukanlah kondisi keberadaan riil manusia atau relasi-relasi riil di mana manusia hidup, melainkan relasi imajiner individu dengan relasi-relasi riil di mana mereka hidup (the real world). Distorsi terhadap relasi-relasi riil itu dapat terjadi karena adanya relasi imajiner kita dengan relasi-relasi riil tersebut. Relasi imajiner yang dimaksud Althusser ini terbentuk akibat konstruksi individu sebagai subyek. Sebagai subyek, kita merasa sebagai ‘individu bebas’, berperilaku dan bertindak sesuai apa yang kita pikirkan, sehingga tindakan dan perilaku kita tampak sebagai efek dari gagasan kita. Akibatnya, kita juga melihat secara imajiner bahwa kondisi riil kita adalah efek dari diri kita. Padahal, menurut Althusser, ISA telah menentukan ritual-ritual yang mengatur gagasan sebagai efek dari tindakan kita. Cara ideologi mengkonstruksi subyek disebut Althusser sebagai ‘interpelasi’ atau ‘pemanggilan’ (hailing) (Althusser, 2006: 86). Prosesnya sama seperti ketika kita dipanggil oleh orang lain, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri kita, sifat sebagai subjek yang unik dan berbeda dari yang lain. Interpelasi menjadikan idividu konkret sebagai subjek ideologi. Dalam hal ini, negara sebagai bentuk kekuasaan dapat menciptakan, membentuk dan menentukan konstruksi sosial tentang apa yang disebut sebagai subjek ideal melalui institusi sekolah lewat buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD sebagai penerjemahan dari
12
kurikulum 2013. Menurut Althusser, interpelasi subjek tidak pernah gagal, individu tidak mempunyai agensi untuk menolak atau melawan interpelasi. Namun, hal yang harus digarisbawahi juga adalah bahwa subjek juga dapat melakukan resistensi. Lewat berbagai cara, usaha reproduksi produksi dilakukan. Reproduksi sumber daya manusia dewasa ini menjadi sangat penting. Pendidikan yang dilembagakan dalam bentuk sekolah sebagai tempat untuk menghasilkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan reproduksi produksi. Sekolah dalam pandangan Althusser mengajarkan ‘know how’, tetapi dalam bentuk yang memastikan kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa atau kepiawaian dalam praksis (Takwin, 2008: xxiii). Althusser menulis tentang ideologi dan apparatus ideologi negara dalam tegangan ekonomi dan politik. Dalam esai tersebut, diskursus tentang ideologi diletakkan dalam konteks reproduksi syarat-syarat produksi atau konteks ekonomi. ISA menggiring individu menjadi subjek yang dengan kerelaan bekerja melanggengkan proses reproduksi tanpa perlu diawasi. Setiap individu juga berperan sebagai agen ideologi yang ikut serta menyebarkan ideologi. Selain ISA, ada juga RSA. ISA bekerja secara halus, sedangkan RSA bekerja dengan pemaksaan. Pendidikan yang merupakan salah satu dari Ideological State Apparatus (ISA) bekerja secara persuasif. Setiap individu sudah dipersiapkan sebagai subjek yang akan diletakkan dalam struktur-struktur dari struktur terkecil dalam keluarga hingga negara. Bagi Althusser, fungsi penting ideologi adalah menjalankan subjektivasi atau proses transformasi individu
13
menjadi subyek atau agensi sosial tertentu. Melalui aparatus ideologis pendidikan, kita diajar untuk menjadi orang yang patuh pada aturan masyarakat sekaligus diisi dengan ilmu yang berguna bagi peran dalam masyarakat. Tujuan pendidikan memastikan agar fungsi sebagai subyek dalam masyarakat terpenuhi, misalnya agar dapat bekerja mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam sistem pembagian kerja yang ada. Oleh karena itu, menjadi subjek bukan berarti menjadi otonom. Akibatnya, pandangan subjek tentang dunia adalah pandangan sistem yang memproduksinya. Ada keterkaitan antara teori subjektivasi yang dirumuskan Althusser dengan psikoanalisa Jacques Lacan. Althusser secara eksplisit mensejajarkan operasi ideologi dengan fase cermin dalam psikoanalisa. Lacan berpendapat bahwa identitas selalu ditandai oleh keterbelahan. Ia berangkat dari situasi ketika seorang bayi belum dapat mengenali perbedaan antara diri dan dunia objek-objek. Pengertian pertama sang bayi akan identitasnya diperoleh dari persepsinya atas cermin atau segala yang memantulkan citra dirinya. Pada titik itulah sang bayi memperoleh pengertian tentang dirinya. Namun karena identifikasi ini terjadi berdasarkan sesuatu yang lain dari dirinya, maka identitas dirinya selalu terbelah antara diri dan yang bukan diri. Oleh karena itu, identitas diperoleh bersamaan dengan alienasi. Hal ini menyebabkan dalam setiap identitas selalu termuat yang lain. Atas dasar inilah Lacan berbicara tentang aturan masyarakat secara umum yang membentuk subjek dan mengarahkan hasratnya (Mansfield, 2000: 41-44). Konteks psikoanalisa inilah yang menjelaskan mengapa Althusser menyebut proses subjektivasi sebagai sesuatu yang bermuara pada subjek. Proses
14
subjektivasi melalui aparatus ideologis adalah proses pencerminan atas subjek yang diidealkan dan patuh. Konstruksi tentang bangsa, sangat dipengaruhi oleh konstruksi tentang nasionalisme. Negara sebagai pengejawantahan (embodied) dari bangsa, dalam dirinya menanggung beban untuk selalu menunjukkan adanya sebuah identitas yang bersifat nasional. Karena jika tidak, hilanglah legitimasi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang bisa mengatasnamakan bangsa. Maka, di situlah ISA bekerja dalam institusi pendidikan salah satunya lewat buku teks.
1.5.2 Identitas Individu dan Konstruksi Identitas Nasional Projek bersama bernama Indonesia merupakan sebuah proses untuk menjadi (becoming). Identitas dalam pandangan Stuart Hall tidak mengacu pada pandangan esensialis yang terberi, tetapi selalu dalam proses menjadi. Identitas tidak pernah tunggal, terfragmentasi, saling beririsan dan diwacanakan. Identitas dibentuk di dalam, bukan di luar representasi (Hall, 1996: 4). Menurut Antony Giddens, identitas diri dipahami dengan keahlian menarasikan tentang diri, dengan demikian menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Cerita identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukannya? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksi cerita identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (Giddens, 1991:75). Oleh karena itu, identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu.
15
Identitas diri adalah diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seseorang dalam biografi dia (Giddens, 1991: 53). Identitas berdasarkan pemahaman Bikhu Parekh (2008: 8) dalam buku A New Politic of Identity: Political Principles for an Interdependent World, tidak cukup dipahami dari perbedaan-perbedaan, namun memerlukan pemahaman lebih mendalam sebagai cara identitas itu didefinisikan dalam fitur-fitur konstitutif. Indentitas individu dipandang sebagai cara dalam membentuk seseorang menjadi diri yang sekarang, bagaimana ia memahami dan melihat diri dan dunia di sekelilingnya, dan apa yang menjadikan dirinya yang sekarang bukan sebagai orang lain. Terdapat perbedaan mengenai identitas sosial antara masyarakat tradisional dan modern. Masyarakat tradisional mendefinisikan bahwa identitas sosial bersifat tetap, kaku, dan diturunkan. Tetapi, dalam masyarakat modern identitas dapat bergerak kemana saja, setiap individu dapat diarahkan dan didorong dalam mendefinisikan identitas sosialnya (Parekh, 2008: 17). Setiap identitas individu mempunyai tiga dimensi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu identitas personal, identitas sosial, dan identitas menyeluruh. Identitas personal adalah keunikan individu, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut seseorang, bentuk tubuh yang berbeda-beda, data biografi yang berbeda dan identifikasinya bersifat subjektif. Identitas sosial adalah identitas yang melekat secara sosial, merupakan anggota dari etnis tertentu, agama, budaya, pekerjaan, kebangsaan atau kelompok lainnya, dan berrelasi satu sama lain, dengan cara formal maupun informal. Anggota kelompok-kelompok tersebut
16
saling mendefinisikan dan membedakan diri mereka sendiri dengan kelompok lain. Identitas menyeluruh adalah mendefinisikan dirinya dan menentukan mereka akan hidup dan bertingkah laku sebagai manusia (Parekh, 2008: 9). Politik Identitas kolektif diartikulasikan dalam dua idiom yang berkaitan. Secara nagatif melalui pemakaian konsep “liberasi” atau pembebasan. Hal ini menyatakan secara tidak langsung menyatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut dibebaskan dari kekuatan kelompok lain, untuk mendefinisikan identitas mereka sebagai konsekuensi psikologis dan beban moral yang mereka tanggung sebagai akibat norma-norma opresif atau tirani yang mereka alami. Sedangkan secara positif melalui pemakaian konsep “pride”. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan artikulasi sebagai pembebasan diri dari kekuatan kelompok dominan, namun juga sebagai usaha memproklamirkan kebanggaan terhadap identitas mereka tersebut. Kebanggaan tersebut muncul dengan dua alasan. Pertama, untuk meolak perasaan inferioritas dan rasa malu terhadap identitas mereka, dan untuk menegaskan legitimasi kesetaraan dengan kelompok dominan. Kedua, sebagai cara mengidentifikasi dan menunjukkan identitas kepada orang lain, dan melihat masa lalu dan perjuangan masa kini dan penghargaan sebagai orang-orang yang merasa bagian dari identitas yang diperjuangkan (Parekh, 2008: 32). Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus negara-bangsa. Bangsa, dalam pandangan Benedict Anderson (2001: 8) adalah sesuatu yang terbayang (imagined communities) karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak mungkin tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka dan tidak pernah
17
mendengar tentang mereka. Namun, di benak setiap orang yang menjadi anggota hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Pengertian tentang bangsa sebagai salah satu struktur utama ambivalensi ideologis dalam representasi budaya 'modernitas'. Dalam pengertian ini, ambivalensi perspektif antagonis bangsa sebagai narasi akan menetapkan batas-batas budaya bangsa sehingga mereka yang dikatakan bermakna tersebut harus diperiksa, dihilangkan, dan diterjemahkan dalam proses produksi budaya.1 Bangsa dipahami sebagai kesetiakawanan yang mendalam. Bangsa bukan hanya sekedar formasi politis melainkan sistem representasi kultural dimana identitas nasional terus-menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif. Identitas nasional adalah cara untuk menyatukan kemajemukan kultural. Hall (dalam Barker, 2011: 208) menyatakan bahwa kebudayaan nasional cenderung dipikirkan sebagai perangkat diskursif yang menampilkan perbedaan sebagai kesatuan atau sebagai identitas. Kebudayaan nasional bersinggungan dengan pembagian dan perbedaan internal dan hanya ‘disatukan’ melalui penggunaan bentuk kekuasaan kultural yang berbeda. Identitas nasional atau keanggotaan dari suatu komunitas politik adalah sebuah kepentingan dan sering dinilai sebagai bagian dari identitas individu. Keanggotaan tersebut menyediakan sebuah rumah, tempat yang mereka sebut sebagai tanah air. Mereka tumbuh dan dididik di dalamnya, sehingga membentuk nilai-nilai dan etos suatu bangsa. Di sisi lain, jangkauan penguasa bersifat dangkal dan terbatas. Karena dia tidak dapat mengontrol budaya masyarakatnya, maka 1
Homi K. Bhabha (ed). Nation and Narration. London and New York: Routledge, 1990,
hlm. 4.
18
institusi pendidikan akan berusaha untuk membentuk subjek dalam cara tertentu. Hal yang dituntut adalah bahwa setiap warga negara harus membayar pajak dan mematuhi hukum. Sebagian besar dari mereka mendefinisikan identitas dalam hal agama dan etnis, yang pengaruhnya pada kehidupan dan klaim mereka atas kesetiaan lebih besar kepada penguasa. Namun, identitas nasional merupakan subjek untuk menghadapi tekanan globalisasi, integrasi regional dan resistensi internal, oleh karena itu terdapat celah-celah yang senantiasa dikontestasikan (Parekh, 2008: 56-59). Anggota komunitas politik berusaha untuk memahami dirinya dan sejarahnya dari konsepsi umum masyarakat tersebut, kemudian bermuara pada self-understanding. Seperti identitas individu, tetapi meskipun demikian, identitas nasional memiliki kompleksitas yang tinggi, berlapis-lapis, terdiri dari perbedaanperbedaan
yang
kadang-kadang
menimbulkan
konflik
pemikiran,
pola
kepribadian, nilai-nilai ideal yang terakumulasi selama berabad-abad. Beberapa segi dari identitas nasional mengabaikan liyan yang terpinggirkan, oleh karena itu selalu parsial, karena setiap self-understanding didasarkan pada sudut pandang tertentu, juga memihak kelompok tertentu pula (Parekh, 2008: 60). Setiap konsepsi identitas nasional mempunya sisi gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Hal ini dikarenakan wacana identitas nasional dibentuk oleh kekuasaan yang sangat menentukan identitas apa yang dianggap included dan excluded. Identitas digunakan oleh sebagian besar pendukung gerakan-gerakan ini untuk merujuk pada mereka yang terpilih atau mewarisi sifat-sifat yang
19
mendefinisikan mereka sebagai jenis individu atau kelompok tertentu dan membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Lebih jauh lagi, keanekaragaman identitas bersinggungan dengan politik pengakuan, yaitu
multikulturalisme
dalam
mengartikulasi
kulturalnya.
Namun,
multikulturalisme tidak melulu mengenai perbedaan dan identitas itu sendiri; yakni satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta
mengorganisasikan
kehidupan
individual
dan
kolektif
mereka.
Multikulturalisme, dengan demikian, mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkkan secara kultural (Parekh, 2008: 13-15).
1.5.3 Etnisitas dan Stereotype Sebuah kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari beragam etnis. Dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD yang mengusung semangat pendidikan karakter, berusaha merengkuh berbagai etnis dalam representasi pada buku teks tersebut. Etnisitas sendiri adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Suku bangsa tidak didasarkan pada ikatan primordial atau karakteristik kultural universal yang dimiliki oleh kelompok tertentu melainkan sesuatu yang terbentuk melalui praktik diskursif. Etnisitas dibentuk oleh cara kita berbicara tentang identitas kelompok dan mengidentifikasi diri dengan tanda dan simbol yang membentuk etnisitas (Barker 2011: 205).
20
Etnisitas terbentuk melalui relasi kuasa antar berbagai kelompok. Ia menandai relasi marginalitas, pusat dan pinggiran, dalam konteks perubahan bentuk dan situasi sejarah. Diskursus tentang sentralitas dan marginalitas etnis umumnya diartikulasikan dengan kebangsaan. Etnisitas terkait erat dengan nasionalisme yang memahami ‘bangsa’ sebagai suatu kebudayaan yang dimiliki bersama yang mensyaratkan agar sekat-sekat etnis tidak bersinggungan dengan sekat-sekat politis (Ibid, 2011: 207). Persoalan pusat dan pinggiran dapat dipahami dalam kerangka politik representasi. Brah (1996: 226) dalam Lefaan (2012: 17) menyatakan bahwa hal tersebut perlu menjadi aksiomatis sehingga apa yang direpresentasikan sebagai “pinggir” tidak marginal sama sekali, melainkan merupakan suatu efek konstitutif dari representasi itu sendiri. “pusat” tidak lagi menjadi pusat ketimbang “pinggir”. Identitas diri dan perilaku individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang digunakan untuk menggambarkan atau mengklasifikasikan mereka. Hal ini terkait dengan konsep stereotype. Kelompok sosial melakukan deviasi, kelompok ini membuat aturan yang kemudian berlaku untuk menciptakan label bagi orang-orang ‘outsider’. Sebuah nama berhubungan deskripsi yang melingkupinya. Dalam buku A System of Logic John Stuart Mill menyatakan bahwa, suatu nama hanya punya denotasi,
bukan
makna
konotasi,
contohnya
kata
Dartmouth,
untuk
menggambarkan suatu daerah di Inggris, dikatakan seperti itu karena memang ia terletak di mulut (bentuk menyerupai mulut) dari sungai Dart. akan tetapi karena aarah aliran sungainya berubah bentuk, ia tidak serupa bentuk mulut Dart lagi,
21
kita tetap menamakannya Dartmouth. Kesimpulan yang bisa diambil atas perubahan terminologi dari Mill mungkin adalah kata dari Dartmouth kemudian punya makna konotasi yang merujuk pada terhadap suatu tempat yang terletak di mulut sungai Dart, namun kemudian ia tidak bermakna demikian. Makna tersebut tidak lagi melekat dengan kata Dartmouth (Kripke, 1980: 26). Nampaknya, proses penamaan seperti ini dapat pula untuk melihat bagaimana penamaan terhadap individu. Bahwa proses penamaan lekat dengan tujuan, kebutuhan, kepercayaan, dan juga referensi. Kripke menyatakan bahwa sesuatu merujuk suatu objek melalui penggunaan nama yang tepat, bukan berdasarkan koneksi nama untuk deskripsi yang pasti, melainkan berdasarkan dari hubungan sebab-akibat antara penggunaan sebuah nama dan sebuah objek yang telah dijuluki atau ‘dibaptis’ dengan nama itu. Dalam pandangan ini, referensi nama terjadi secara langsung melalui relasi sebabakibat, mengikuti David Kaplan, hal ini disebut ‘direct theory of reference’. Ketika orang berbicara satu sama lain tentang hal-hal yang mereka amati, hindari, cari, pikirkan, atau menggambarkannya dalam beberapa cara, kata ganti seperti 'kamu' dan 'aku' mengacu pada objek individu, kau dan aku, hadir dalam wacana. Sedangkan predikat menggambarkan atribut sifat atau kualitas untuk benda dengan nama-nama tersebut (Nelson, 1992: 2-3). Apa yang dikaitkan dengan etnis seringkali bukan disebabkan oleh variabel asing terkait dengan latar belakang etnis (Cortese, 2008: 115). Ketika normanorma antar etnis berubah atau goyah, image tidak secara langsung mencerminkan perubahan yang mendadak tersebut. Sebaliknya, produsen budaya mungkin
22
menggunakan stereotype secara halus atau lebih terbatas. Hal ini dilakukan untuk menghindari banyak masalah dengan membatasi ilustrasi kontak antaretnis, menghasilkan gap sosial yang lebih besar antara mayoritas dan minoritas (ibid, 2008: 93). Penggunaan bahasa atau dialek, perayaan acara, dan beberapa jenis pakaian dan gaya rambut terkadang diyakini dapat diterima dalam budaya mainstream dapat ditampilkan dalam etnis tanpa takut adanya penolakan (Woods dalam Cortese, 2008: 115). Representasi etnis dan gender berhubungan erat dengan tatanan sosial dan struktur kekuasaan. Sebuah stigma adalah jenis khusus hubungan antara atribut dan stereotype. Meskipun tidak selalu begitu, tetapi ada atribut penting yang hampir di semua masyarakat melakukan pendiskreditan. Ada tiga jenis stigma, pertama ‘keburukan’ tubuh atau berbagai kelainan fisik. Kedua, karakter individu yang cacat seperti gangguan mental, penjara, kecanduan, alkoholisme, homoseksualitas, pengangguran, upaya bunuh diri, dan perilaku politik radikal. Terakhir adalah stigma suku, ras, bangsa, dan agama, yang merupakan stigma melalui garis keturunan dan menciptakan generalisasi (Goffman, 1963: 14). Dalam masyarakat multikultur, kesetaraan adalah hal yang menjadi perhatian. Kesetaraan diartikulasikan pada sejumlah tingkatan yang saling terkait. Pada tingkat dasar, kesetaraan melibatkan penghargaan dan hak. Pada level selanjutnya, kesetaraan melibatkan kesempatan, kepercayaan diri, harga diri, dan lainnya. Pada level yang lebih tinggi lagi, kesetaraan melibatkan kekuasaan, kesejahteraan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk pengembangan manusia (Parekh 2008: 319). Kesetaraan dalam kehidupan negara, melibatkan
23
pengaturan sebagai kebijakan suatu pemerintahan. Suatu contoh misalnya kebijakan yang terjadi seperti di negara Singapura dan Malaysia dengan pembagian komposisi etnis pada jajaran pemerintahan atau jabatan serta posisi tertentu, bahkan dalam kehidupan sehari-hari perbedaan tersebut juga menjadi ditegas-tegaskan, sehingga membekukan identitas. Jika yang terjadi demikian, maka ini tentu tidak sesuai dengan tujuan multikuturalisme yang menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui,
tetapi
juga
diberikan
ruang
untuk
mengembangkan
diri
dan
mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.
1.5.4 Identitas Nasional (Ter-)Gender(-kan) Perempuan sering dilekatkan dengan konsep tanah air, sehingga akrab dengan istilah ibu pertiwi. Dalam sebuah lagu perjuangan misalnya, ibu pertiwi sebagai simbol tanah air digambarkan sebagai seseorang yang kehilangan harga diri, menderita, susah. Kemudian, lagu tersebut digunakan sebagai pembakar semangat para pejuang, yang dilekatkan pada laki-laki. Dalam pandangan ini, pelekatan-pelekatan tersebut memunculkan implikasi bagi munculnya identitas nasional yang ‘berjenis kelamin’. Demi mempertahankan tanah air maka diperlukan berbagai upaya, termasuk dengan berperang. Sebagai bangsa yang terjajah, perjuangan di masa lalu dikaitkan dengan model kekuasaan maskulinitas. Di sini, terlihat distingsi tanah air sebagai objek yang pasif dengan upaya menjaganya sebagai kegiatan subjek yang aktif. Hal ini sesuai dengan distingsi
24
tradisional gender roles2 yang dikemukakan oleh Patricia Hill, ia membagi ciriciri maskulin dan feminin. Maskulinitas dicirikan sebagai sesuatu yang agresif, pemimpin, rasional, kuat, pintar. Sedangkan feminitas dicirikan sebagai sesuatu yang pasif, mengikuti, emosional, lemah, dekat dengan urusan fisik. Dalam masyarakat patriarki, ketimpangan kuasa terjadi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih dominan dalam menginterpretasikan budaya, memainkan kuasa dan kepentingan sehingga laki-laki lebih dominan menguasai wacana di ruang publik. Ruang publik disini menjadi ajang yang memang secara wacana diperebutkan demi kepentingan sex, budaya, kelas tertentu pula. Perbedaan-perbedaan yang terlihat dalam tradisional gender roles menjadikan perempuan dalam posisi yang terdominasi oleh laki-laki. Dengan dominasi tersebut, terjadi pelekatan-pelakatan stereotype kepada perempuan. Goffman (1979: 8) menyatakan bahwa tampilan gender, secara ikonik mencerminkan hal mendasar dari struktur sosial tertentu. Dalam konteks dominasi dan subordinasi, mendukung apa yang dikatakan Kanter: “It is sufficient to be in a place where others of that category are not usually found, to be the first of one's kind to enter a new group, or to represent a very different culture and set of interactional capacities to members of the numerically dominant category. The term "token" reflects one's status as a symbol of one's kind.”3 Dengan demikian, token adalah kondisi dimana kelompok-kelompok minoritas diberikan konsesi minimum, mereka ditampilkan tetapi tidak banyak memegang kekuasaan. 2
Patricia Hill Collins. Race, Class, and Gender as Categories of Analysis and Connection, diunduh dari http://www.sagepub.com/upm-data/36010_2.pdf pada tanggal 24 November 2012. 3 Rosabeth Moss Kanter. Some Effects of Proportions on Group Life: Skewed Sex Ratios and Responses to Token Women, The American Journal of Sociology, Vol. 82, No. 5. (Mar., 1977), pp. 965-990.
25
Tidak berbeda jauh dari iklan, buku teks sebenarnya merepresentasikan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Menurut Ewen (1976) iklan merupakan ‘captains of conciousness’ yang merefleksikan orintasi patriarkal dari kapitalisme industri. Jika demikian, maka dalam konteks buku teks pelajaran, refleksi oreintasi patriakal itu berasal dari negara. Oleh karena itu, perempuan lebih sering diasosiasikan dalam imajinasi kolektif dengan anak-anak, sehingga perempuan dan anak-anak dianggap satu kelompok, yaitu kaum inferior yang harus dilindungi. Dalam sebuah buku yang berjudul State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia (1988) Julia Suryakusuma mengatakan bahwa praktik hegemonik yang dilakukan oleh rejim otoriter Orde Baru mengkonstruksi sosok perempuan Indonesia yang dianggap baik dan benar. Negara membangun dan menggunakan sosok ibu sebagai alat untuk menjamin kepatuhan masyarakat secara menyeluruh. State Ibuism atau ibuisme negara menempatkan perempuan sebagai ibu dalam pengertian biologis yang mengalami domestifikasi; ditempatkan sebagai pendamping dan taat pada suami, rajin dan terampil mengatur rumah tangga, menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, dan oleh karena itu menjadi penentu baik tidaknya kualitas sebuah bangsa. Praktik ibuisme negara dinormalisasi melalui organisasi-organisasi perempuan bentukan pemerintah semacam PKK dan Dharma Wanita. Organisasi-organisasi ini sengaja dirancang sebagai upaya terselubung negara untuk menguasai masyarakat melalui sosok perempuan. Dengan demikian, pemerintah Orde Baru menggunakan ideologi gender, dan seksualitas sebagai sebuah bentuk kontrol sosial.
26
Gender dan seksualitas adalah diantara diskursus yang paling penting dalam mengkonstruksikan identitas nasional. Gender dan seksualitas digunakan sebagai pembatas tentang apa yang disebut sebagai “kita” dan “mereka”, menghidupkan a stronger sense of community, dan membantu masyarakat mampu membanyangkan apa yang disebut sebagai sebuah “bangsa”. Setelah reformasi yang membawa semangat demokratisasi, pertanyaan yang muncul adalah masih relevankah State Ibuism seperti yang diyatakan oleh Julia? Pada satu sisi, peran dan kontrol negara setelah reformasi tidak lagi bersifat monopoli. Kehidupan publik termasuk tentang konstruksi sosial tentang perempuan tidak lagi didominasi oleh negara sepenuhnya. Berbagai interpretasi terbuka, dan akibatnya seiring dengan ‘islamic revivalism’, islam menjadi salah satu unsur dominan yang menentukan konstruksi sosial soal perempuan. Meskipun islam sendiri tidak tunggal, paling tidak terdapat versi islam dengan ciri konservatif yang meletakkan perempuan dalam posisi subordinat dengan istilah perempuan yang memenuhi syariah. Seperti kostruksi perempuan pada masa orde baru, konstruksi perempuan islam konservatif masih tergantung pada persetujuan negara akibat kebijakan pemerintah yang enggan menentang kelompok-kelompok ‘garis keras’. Hal tersebut memperlihatkan islamisasi hukum yang bisa saja menindas seperti yang terjadi pada era orde baru. Perempuan sering kali menjadi target inklusi dan eksklusi apada sebuah wacana. Pada saat tertentu perempuan dihadirkan pada suatu representasi. Namun, di sisi lain perempuan dihilangkan dari representasi. Perempuan sering
27
ditampilkan berdasarkan standar kepantasan yang dikonstruksi dari pandangan laki-laki. Identitas yang ditampilkan dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD memperlihatkan juga apa yang disebut sebagai identitas nasional berdasarkan ketegorisasi peran gender. Dalam konteks gender tersebut, materi yang ada dalam buku teks sekolah dasar, merangkai peran laki-laki dan perempuan dalam sebuah masyarakat yang dapat memeperkuat stereotype dan bias, atau menawarkan nilai-nilai keadilan gender.
1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis. Pada tataran teks, digunakan model analisis van Leeuwen, sedangkan untuk melihat aspek interdiskursivitas teks dengan wacana makro digunakan model analisis sosisokultural. Menurut Faircalugh analisis wacana kritis memeperlihatkan keterpaduan (a) analisis teks, (b) analisis proses produksi, konsumsi, dan distribusi teks, serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu (Fairclaugh, 1995: 23). Analisis sosiokultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar teks mempengaruhi wacana yang dimunculkan dalam teks. Pandangan van Leeuwen tentang word dan image dalam discourse mengacu pada Barthes yang mengatakan bahwa gambar (image) memiliki beragam peluang interpretasi, oleh karena itu kata (word) dibutuhkan untuk “menetapkan/mem-fixkan” maknanya (van Leeuwen, 2008: 136-137). Visual (gestur, ekspresi muka, gerakan, dan postur) dapat menyertai percakapan yang membantu menentukan
28
maknanya. Visual juga dapat menggantikan percakapan sebagai alternatif yang bisa diterima, misalnya kepala mengangguk untuk menyatakan setuju (Fairclaugh, 1989: 27).
1.6.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dari buku teks (dokumentasi), dan literature review. Buku teks yang menjadi material dalam penelitian ini berjumlah 4 buah. Masing-masing buku memiliki tema tersendiri, yaitu Diriku, Kegemaranku, Kegiatanku, dan Keluargaku. Buku tersebut di peroleh dengan cara mengunduh pada laman http://bse.kemdiknas.go.id/. Dari masing-masing buku tersebut dipilih beberapa bagian yang berkaitan dengan identitas ke-Indonesia-an, baik dari gambar, maupun teks tulisan.
1.6.2 Analisis Data Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat identitas nasional Indonesia yang ditampilkan dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD, maka dapat dilihat dari bagaimana aktor sosial yang ditampilkan di dalam buku tersebut. Menurut van Leeuwen (2008: 137-148), referensi penggambaran atau “bahasa gambar” terhadap orang-orang dalam berbagai medium mengandung kecenderungan sebagai berikut: a. Exclusion Kemungkinan dari eksklusi adalah kemungkinan untuk tidak memasukkan orang-orang khusus, atau jenis orang-orang dalam representasi dari suatu kelompok (institusi, masyarakat, bangsa, dsb.) dimana mereka tinggal dan
29
bekerja, yang mana mereka termasuk di dalamnya. Di sini terlihat social exclusion secara simbolik, kita tidak melihat kehadiran beberapa orang atau jenis orangorang yang hidup dan bekerja diantara kita. b. Roles Orang-orang di dalam gambar mungkin digambarkan sebagai peserta beberapa aksi, dan jika mereka adalah peserta dari suatu aksi, mereka disebut “agent”, yaitu pelaku dari aksi, sedangkan “patient” adalah orang-orang yang menyebabkan suatu aksi dilakukan. Aspek penting di sini adalah apa yang mereka lakukan apa yang dilakukan kepada mereka —dan perkara apa yang tidak terlihat dari mereka yang dalam kenyataannya mereka lakukan atau dilakukan kepada mereka. c. Specific and Generic Dalam kasus bahasa, distingsi tersebut jelas penting untuk mengkaji wacana rasis. Ada perbedaan antara konsentrasi penggambaran untuk memperlihatkan keunikan seseorang dengan konsentrasi penggambaran untuk menunjukkan seseorang ke dalam tipe sosial khusus. Ketika orang-orang difoto sebagai modelmodel kecantikan dengan daya tarik masa kini, individualitasnya nampaknya hilang dibalik apa yang mengkategorikan mereka –dibalik tatanan rambut, makeup, pakaian, aksesoris status. Hal yang tidak perlu orang kategorikan adalah pakaian, gaya rambut, grooming, mungkin juga stereotype karakteristik wajah. Kartun dan komik strip sering memperlihatkan penggambaran stereotype tersebut. Berbeda dengan bahasa, bagaimanapun distingsi antara specific dan generic, bukanlah perbedaan yang mutlak dalam gambar. Specific dan generic sering
30
bercampur dengan semua kemungkinan “menaturalkan” stereotype yang ditawarkan. d. Individuals and Group Orang-orang mungkin digambarkan secara individual atau berkelompok. Penggambaran orang-orang di dalam kelompok maupun individual dapat memiliki efek yang sama, jika kesamaan itu dikuatkan oleh kesamaan proses atau penyamaan tindakan. e. Categorization Kategorisasi visual adalah persoalan utama dari orang-orang yang dikategorikan dalam istilah karakteristik “cultural” atau “biological” atau dalam istilah suatu kombinasi tersebut. Kategorisasi budaya ditandai dengan atribut standar, atribut yang biasa digunakan untuk mengkategorikan kelompokkelompok ini adalah pakaian, model rambut, jilbab dan hijab. Kategorisasi biologi menggunakan standarisasi ciri fisik untuk mengkonotasikan asosiasi positif atau negatif yang menimbulkan representasi kelompok sosiokultural untuk kelompok sosiokultural
dimana
representasi
utama
diproduksi.
Caption
dapat
mengindikasikan tingkat kecenderungan dari keadaan yang umum. Tetapi, ketiadaan sebuah caption orang-orang dapat menjadi representasi secara visual sebagai suatu individu spesifik (kakak saya, atau bibi saya) atau suatu tipe sosial (seorang perempuan imigran). Tipifikasi menyangkut penggunaan stereotype visual yang mungkin
salah satu diantaranya adalah atribut cultural (objek,
pakaian, gaya rambut, dsb.) atau atribut physiognomic. Stereotype ini mengalihkan persona ciri-ciri individualnya (atau ciri-ciri individual dari suatu objek atau
31
sebuah pemandangan), termasuk orang (atau objek, atau pemandangan) direpresentasikan sebagai satu tipe.
Relasi gambar dan pengamat: a. Sosial Distance Di dalam gambar, seperti dalam kehidupan nyata, jarak (distance) mengkomunikasikan
hubungan-hubungan
interpersonal.
Distance
mengindikasikan kedekatan, literal maupun kiasan dari hubungan-hubungan kita, kedekatan yang bersifat temporer, interaksi khusus dalam jangka waktu yang lama, atau lebih permanen, dan makna apa saja yang lebih tepat untuk menunjukkan konteks yang khusus. Di dalam gambar, distance menjadi simbolik. Orang yang diperlihatkan dengan sebuah “long shot”, dari jarak yang jauh, menunjukkan bahwa orang tersebut stranger; orang yang diperlihatkan dengan “close up” menunjukkan bahwa mereka “one of us”. b. Social Relation Variable kedua adalah sudut pandang (angle) dari mana kita melihat orang tersebut. Angle tersebut mencakup angle vertical yang mana kita melihat orang tersebut dari atas, sejajar dengan mata, atau dari bawah. Angle horizontal, yang mana kita melihat seseorang dari depan atau dari samping atau mungkin dari tempat tertentu di ruang antara. Angle tersebut mengekspresikan dua aspek dalam representasi social relation antara pengamat dan orang-orang dalam gambar: power (kuasa) dan keterlibatan/keterkaitan. Vertical angle diinterpretasikan dalam satu arah atau yang lain, berhubungan dengan perbedaan power (kuasa).
32
Seseorang yang melihat ke bawah berarti menggunakan simbolik power imajiner yang lebih tinggi dari orang yang dilihat. Horizontal angel menunjukkan keterlibatan atau keterpisahan simbolik. Dalam kehidupan nyata hal ini menjelaskan posisi “face to face” dengan orang-orang. c. Social Interaction Gaze (tatapan) antara orang-orang di dalam gambar dengan pengamat, pengamat melihatnya dalam posisi “mengintip”. Jika mereka melihat kepada kita secara langsung (direct address), maka gambar tersebut mengartikulasikan permintaan simbolik. Orang-orang di dalam gambar menginginkan sesuatu dari kita, yang wujudnya ditandai dengan elemen-elemen lain dari gambar; dari ekspresi muka, gesture, dan juga melalui angle. Jika mereka tidak melihat secara langsung, maka orang di dalam gambar tersebut tidak melihat pengamat. Data diinterpretasikan dengan mendeskripsikannya sesuai dengan kerangka teori. Analisis teks kemudian dihubungkan dengan analisis sosiokultural. Hal ini dilakukan untuk menghubungkan aspek mikro dan makro dari sebuah wacana politik identitas nasional Indonesia dalam buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD.
1.6.3 Sistematika Penulisan Bab I
: Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
33
Bab II
: Dalam bab ini dijelaskan mengenai buku teks pelajaran tematik terpadu kelas 1 SD, hubungannya dengan pelajaran PPKn dan kurikulum 2013.
Bab III : Bab ini membahas identitas nasional dalam buku teks tematik terpadu kelas 1 SD ditampilkan, membicarakan persoalan etnis, agama, ras, wacana gender dalam identitas nasional, serta wacana liyan di dalamnya. Bab IV : Membahas aspek interdiskursivitas identitas nasional Indonesia dengan pendidikan karakter dan pendidikan multikultural. Bab V
: Merupakan bab yang menyimpulkan dan menyajikan secara ringkas temuan hasil penelitian yang telah dilakukan. Bab ini juga berisi saran/rekomendasi peluang penelitian lebih lanjut berkaitan dengan topik penelitian yang dapat dilakukan.
34