BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah satunya adalah permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Menurut Mardiasmo (2004), tuntutan tersebut dinilai wajar berdasarkan dua alasan. Alasan pertama, merujuk pada praktik pengalaman di masa lalu ketika sistem sentralisasi yang diterapkan di Indonesia menyebabkan intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang terlalu besar. Besarnya intervensi ini menyebabkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Arahan dan persyaratan yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut mengakibatkan inisiatif dan prakarsa daerah menjadi berkurang. Dampaknya, pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Alasan kedua, tuntutan pemberian otonomi tersebut muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa yang akan datang. Respon dari tuntutan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Kedua perundangan tersebut membawa perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan keuangan pusat dan daerah dengan pembagian kewenangan (money follows function). 1
Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang begitu luas bagi daerah, di satu sisi merupakan berkat, namun di sisi lain sekaligus merupakan beban. Haris (2007) menyatakan bahwa sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, berdasarkan perhitungan ekonomi, muncul perubahan besar dalam APBD daerah kabupaten dan kota, yaitu terjadi peningkatan perolehan dana yang luar biasa, terutama bagi daerah yang memiliki sumber daya alam.
Namun, daerah perlu memperhatikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal bukanlah semata-mata dimaksudkan untuk menggeser kemampuan keuangan
yang
sebelumnya
tersentralisasi
di
pusat
menjadi
lebih
terdesentralisasi ke daerah-daerah yang memungkinkan pemerintah daerah menguasai dan mengelola dana dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Pemerintah daerah perlu lebih memahami alasan filosofis di balik penerapan kebijakan desentralisasi fiskal. Tujuan pemberian otonomi daerah tidak lain adalah untuk lebih meningkatkan pengembangan
kesejahteraan kehidupan
dan
pelayanan
berdemokrasi,
kepada
keadilan,
masyarakat,
pemerataan,
dan
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah (Sidik, dkk, 2004). Visi otonomi dari sudut pandang ekonomi mempunyai tujuan akhir untuk membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu (Syaukani, dkk, 2003). Dengan demikian beberapa aspek yang harus dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana, serta organisasi dan manajemennya (Darumurti, dkk. 2003).
2
Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya, sehingga pemberian
otonomi
daerah
diharapkan
dapat
memacu
peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM) dengan 3 (tiga) indikator utama, yaitu: indikator kesehatan, indikator tingkat pendidikan dan indikator ekonomi. Pengukuran ini menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu: lamanya hidup, pengetahuan, dan standar hidup yang layak. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh banyak faktor, terutama pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah. Menurut
perspektif
kepentingan
ekonomi,
salah
satu
alasan
diterapkannya desentralisasi fiskal adalah sebagai upaya menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang dan jasa publik. Argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout sebagaimana dikutip oleh Litvack, et al (1998), menyatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum, dengan alasan: (i) pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (ii) Pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, (iii) Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk melakukan inovasi. 3
Meskipun model Tiebout ini sangat menarik, namun terdapat sejumlah catatan berkenaan dengan permasalahan yang muncul dalam penyediaan barang publik, seperti masalah berkaitan dengan kompetensi antar pemerintah daerah, masalah pendanaan, asumsi tidak adanya eksternalitas/spillover berkaitan dengan penyediaan barang/jasa publik
lokal (Gruber, 2007).
Setidaknya, model Tiebout ini mampu menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka terjadi dorongan yang kuat bagi negara-negara berkembang untuk melakukan kebijakan desentralisasi sebagai upaya melepaskan diri dari ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makroekonomi, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi (Martinez dan McNab, 2005). Kebijakan desentralisasi merupakan suatu refleksi dalam proses reformasi politik, sosial budaya, dan ekonomi, sehingga perubahan politik dan sosial budaya terutama di negara-negara berkembang telah diwarnai oleh kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari pemerintah pusat beralih kepada pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan bernegara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi sesungguhnya memiliki arti perpindahan kekuasaan politik dan administratif dari pemerintah pusat ke unit-unit pemerintah sub-nasional, sehingga kerangka desentralisasi harus menghubungkan pendanaan lokal dan otoritas fiskal dengan tanggung jawab dan fungsi penyediaan layanan dari
4
pemerintah lokal agar para politisi lokal dapat menanggung biaya keputusan mereka dan menyampaikan janji-janji mereka (Defega, 2003). Namun, yang perlu diperhatikan bahwa tuntutan perubahan
yang
fundamental dari desentralisasi fiskal tersebut harus dibarengi dengan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Dengan demikian muncul pertanyaan bahwa apakah kebijakan desentralisasi yang diadopsi oleh berbagai negara termasuk Indonesia memberikan efek yang lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian secara mendalam. Menurut Brueckner (2006), bahwa desentralisasi akan menciptakan insentif untuk berinvestasi dalam modal manusia ketika masih mudah dan melalui saluran ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pandangan Rauscher (2007) bahwa desentralisasi fiskal akan menciptakan kompetisi pajak sehingga menyebabkan frekuensi inovasi kebijakan berkurang yang pada gilirannya melemahkan pertumbuhan ekonomi. Pandangan tersebut, didasarkan pada asumsi bahwa persediaan modal swasta adalah konstan, dan hanya akumulasi modal publik yang menggerakan pertumbuhan. Dengan demikian, terdapat beberapa perbedaan pandangan literatur dan teoritis, sehingga tidak mengherankan kalau secara empiris terjadi ambiguitas. Penelitian Zhang dan Zou (2001), Akai dan Sakata (2002), TieBen (2003) dan Stansel (2005) membuktikan bahwa desentralisasi fiskal memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain Desai et.al (2005) juga menemukan hubungan positif, tetapi tidak linear antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penerimaan pajak.
5
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Thornton (2007) dan Baskaran dan Feld (2009) menemukan bahwa desentralisasi fiskal tidak memiliki hubungan dengan pertumbuhan ekonomi.. Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Zou (2005) yang menemukan bahwa desentralisasi fiskal berhubungan negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara Pose dan Ezcurra (2010) menemukan bahwa desentralisasi fiskal bisa berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Kehadiran desentralisasi fiskal bukannya
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
tetapi
akan
semakin
melemahkan pertumbuhan ekonomi. Argumen tersebut sejalan dengan hasil kajian Freldstad (2004) bahwa desentralisasi berbahaya di negara-negara berkembang yang diakibatkan oleh kecenderungan peningkatan korupsi yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat
Prud’homme
(2001),
bahwa
tak
satupun
manfaat
desentralisasi fiskal dapat dicapai pada negara-negara yang kapasitas kelembagaan pemerintahannya yang buruk, karena desentralisasi justru akan mendorong peningkatan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, mendistorsi ekonomi, dan menyebabkan ketimpangan yang lebih parah antar daerah. Bukan hanya pengaruh desentralisasi fiskal yang tidak jelas terhadap pertumbuhan, akan tetapi pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan juga tidak jelas. Beberapa studi empiris yang terkait dengan hubungan desentralisasi fiskal dan ketimpangan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Desentralisasi fiskal memiliki efek positif terhadap ketimpanan (Kim, el al, 2003 dan Bonet, 2006). Artinya semakin tinggi dimensi desentralisasi fiskal, maka semakin besar ketimpangan. Berbeda hasil temuan Widhyanto (2008) dan Pose 6
and Ezcurra (2009) yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap ketimpangan. Tantangan utama desentralisasi fiskal sekarang ini tidak hanya sekedar melihat bagaimana cara memberikan dana dan berapa besar transfer dari pusat ke daerah otonomi, akan tetapi yang penting adalah bagaimana mencermati dan memastikan daerah-daerah otonom tersebut menggunakan dana transfer sebaikbaiknya, sehingga berdampak bagi pembangunan daerah. Realitas menunjukkan bahwa tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan
tingkat
pendapatan
dan
kebutuhan
tiap
daerah
berbeda
(Simanjuntak, 2001). Untuk itu pemerintah daerah membutuhkan dana dari pusat berupa dana perimbangan karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20% (Kuncoro, 2004). Data empiris dan kenyataan yang ada, menunjukkan adanya kekurangmapanan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal. Kondisi riil di lapangan lebih dari setengan dana alokasi umum (DAU) yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah. Dengan besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai tersebut menyebabkan sektor-sektor lain tidak menerima alokasi anggaran yang cukup, sehingga target pertumbuhan sangat mungkin tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan karena pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) kurang dari 10 persen dari total pendapatan. (Adrison et.al, 2012). Walaupun sebagian daerah di Indonesia mengalami peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sejak berlakunya kebijakan
7
desentralisasi fiskal, namun masih banyak kabupaten/kota yang tergantung pada dana yang disiapkan oleh pemerintah pusat (Smoke dan Sugana, 2012). World Bank (1997) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan mempunyai kemungkinan kondisi berikut: Pertama, desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan, kedua, desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan, ketiga, desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut tergantung kesiapan
kelembagaan
daerah
tersebut
dalam
menjalankan
kebijakan
desentralisasi fiskal. Pada era desentralisasi seperti sekarang ini, kapasitas belanja daerah masih merupakan masalah utama. Hasil kajian Bank Dunia menyebutkan bahwa pemerintah
daerah
masih
kesulitan
dalam
membelanjakan
tambahan
sumberdayanya. Untuk itu, tantangan utama pembangunan di Indonesia bukanlah pada bagaimana mentransfer sumberdaya dalam jumlah signifikan ke daerah-daerah, melainkan bagaimana menjamin sumberdaya yang sudah ada dapat digunakan secara efektif dan efisien. Saat ini sebagian besar pemerintah daerah memiliki sumber keuangan yang memadai untuk mengubah kehidupan masyarakatnya. Namun surplus yang cukup besar tersebut, sering disalurkan pada tempat yang tidak tepat, sehingga Bank Dunia merekomendasikan agar dana desentralisasi yang dikucurkan dari pusat lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur dan belanja layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
8
Karseno (2000) dalam Sultan (2010) melihat bahwa desentralisasi pada bidang keuangan daerah, seluas-luasnya hanya terjadi pada sisi pengeluaran, bukan pada sisi penerimaan daerah. penekanan desentralisasi fiskal pada alokasi belanja daerah merupakan upaya strategis yang dilakukan untuk peningkatan
pelayanan
publik,
sebagai
jembatan
menuju
tercapainya
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. pemerintah daerah dituntut untuk mengalokasikan pengeluarannya kepada belanja daerah yang lebih efisien dan efektif untuk kepentingan masyarakat daerah bersangkutan, khususnya pada sektor-sektor pembangunan daerah yang memiliki nilai strategis dalam menciptakan multiplier yang tinggi. Alokasi belanja daerah, khususnya alokasi belanja modal sebagai investasi sektor publik sangat diperlukan. Investasi sektor publik sebagai wujud capital expenditure, menurut Keynes dalam Pressman (2000), karena di samping memberikan efek langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui implementasi program-program padat karya, juga secara tidak langsung melalui pengembangan aktivitas usaha ekonomi bagi perusahaan. ketersediaan sejumlah infrastruktur di daerah akan mendorong berkembangnya investasi swasta sehingga membuka lapangan pekerjaan yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Mendukung pemikiran-pemikiran tersebut, belanja modal sangat penting sebagai investasi sektor publik karena berperan dalam peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam pelayanan masyarakat. hal ini didukung oleh Halim (2008) yang menyebutkan pengertian belanja modal sebagai capital expenditure yang didefinisikan sebagai belanja/biaya/pengeluaran yang member manfaat lebih dari satu tahun. setiap pengadaan/pembelian yang bermanfaat lebih dari 12 9
bulan dan kemudian asset tersebut digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang bermanfaat secara ekonomis, sosial dan manfaat lainnya yang dapat meningkatkan kemampuan pelayanan publik pemerintah, merupakan belanja modal. Alokasi belanja modal akan mendorong peningkatan investasi, sehingga kapasitas produksi akan meningkat. Peningkatan kapasitas produksi tersebut akan meningkatkan produksi barang dan jasa pada berbagai aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat, kemudian mendorong peningkatan produk domestic bruto (PDRB), sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Pada saat yang sama, peningkatan
kapasitas produksi akan
mendorong terbukanya sejumlah kesempatan kerja, sehingga berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah didorong oleh peningkatan produksi barang dan jasa dari sektorsektor ekonomi yang dijalankan oleh masyarakat akan memberikan pengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya, penyerapan tenaga kerja tersebut sangat tergantung pada aktivitas ekonomi yang dijalankan, apakah bersifat labour intensive atau bersifat capital intensive. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang bermuatan labour intensive
akan memberikan pengaruh positif pada
penyerapan tenaga kerja, sebaliknya, kalau bermuatan capital intensive, akan berdampak pada terjadinya penurunan penyerapan tenaga kerja. Penting
untuk
mencermati
proses
tersebut
di
dalam
kerangka
pembangunan daerah dewasa ini, untuk melihat bagaimana kemampuan alokasi belanja modal daerah dalam memberikan efek multiplier pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Perkembangan rata-rata alokasi belanja modal
10
dan rata-rata total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama periode 2008-2011, dapat dilihat pada gambar berikut ini Gambar 1.1 Rata-Rata Belanja Modal dan Total Belanja Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2008-2011 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: DJPK Depkeu, 2008-2011 (diolah)
Berdasarkan Gambar 1.1 menunjukkan alokasi belanja kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama periode 2008-2011mengalami penurunan. Rata-rata belanja modal menurun dari Rp 158,06 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 133,72 miliar pada tahun 2011. Berbeda dengan rata–rata belanja kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang mengalami peningkatan yakni Rp 515, 55 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 643,07 miliar pada tahun 2011. kondisi tersebut menunjukkan bahwa alokasi belanja modal mengalami penurunan dari total alokasi belanja daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Walaupun demikian proporsi rata-rata belanja yang dialokasikan untuk belanja modal kabupaten/kota secara rata-rata selama empat tahun terakhir 11
sebesar 25 persen dengan nilai tertinggi pada tahun 2008 sebesar 30,66 persen dan alokasi terendah pada tahun 2010 sebesar 20,15 persen (lihat Gambar 1.2). Gambar 1.2 Proporsi Rata-Rata Belanja Modal Terhadap Rata-Rata Total Belanja Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2011 (%) 35.00
30.00
30.66
29.34
25.00 20.15
20.00
20.79
15.00 10.00 5.00
2008
2009
2010
2011
Sumber: DJPK Depkeu 2008-2011 (diolah)
Melalui alokasi belanja modal yang secara optimal bersinergi dengan alokasi belanja lainnya, tujuan makro ekonomi daerah, khususnya yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja diharapkan mampu ditingkatkan. Korelasi ini ditunjukkan oleh Keynes dalam Mankiw (2007) dan Djohanputro (2008), bahwa belanja modal (investasi sektor publik) akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja melalui multiplier effect. Pengeluaran pemerintah untuk overhead sosial dan ekonomi memberikan kesempatan kerja, menaikkan pendapatan, dan selanjutnya meningkatkan kapasitas perekonomian secara keseluruhan. Cziraky dalam Nursini (2006) 12
menegaskan bahwa pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan melauli dua mekanisme: Pertama, melalui peningkatan kuantitas faktor produksi yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan output. Kedua, secara tidak langsung melalui peningkatan tambahan produktivitas faktor-faktor produksi yang disediakan oleh sektor swasta. Jenis pengeluaran pemerintah tersebut, Nampak mendukung teori pertumbuhan endogen yang oleh Barro dan Sala-i-Martin (2004), disebutkan sebagai pengeluaran produktif pemerintah yang memiliki korelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui investasi swasta. Sejalan dengan itu Shah (2006) secara spesifik merekomendasikan dua poin penting untuk diprioritaskan oleh pemerintah daerah di Indonesia dalam mengalokasikan belanjanya, yakni: Pertama, pengalokasian belanja pemerintah daerah pada kegiatan pembangunan yang mempunyai “cost recovery” tertinggi. Kedua, pengalokasian belanja daerah pada kegiatan pembangunan yang mampu merangsang penerimaan daerah, Rekomendasi ini menunjukkan pentingnya memprioritaskan pengelolaan pengeluaran daerah yang efisien dan efektif dalam meningkatkan kapasitas ekonomi daerah, agar mampu menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi daerah dalam jangka panjang, sehingga diharapkan perekonomian daerah bertumbuh dan mendorong terbukanya peluang ekonomi masyarakat. Secara faktual, tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan selama periode 2008- 2011, menunjukkan pertumbuhan yang berfluktuasi namun secara rata-rata mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sebesar 7,78 persen dan pada tahun 2011 sebesar 7,65 persen .
13
Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2011 (Persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 2012
Kinerja pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut diharapkan memberikan dampak positif pada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah bersangkutan, baik secara langsung maupun melalui terbukanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat. baik secara parsial maupun secara simultan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian penyerapan tenaga kerja diharapkan memberikan dampak positif dan
searah
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
di
daerah
bersangkutan. Ekspresi ini sejalan dengan model Todaro and Smith (2003) yang menjelaskan adanya hubungan positif peningkatan pendapatan per kapita dengan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan pemikiran pembangunan tidak lagi semata menempatkan nilai moneter dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti tingkat pendapatan per kapita, tetapi telah berkembang mencakup pengukuranpengukuran non-ekonomi. Van Den Berg (2005) menawarkan pengukuran 14
pencapaian tujuan pembangunan ekonomi pada hal-hal yang lebih abstrak, terkait dengan aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang lebih focus menggambarkan
tingkat
kemajuan
pembangunan
manusia.
(human
development) atau biasa disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu indeks komposit yang mencakup tiga bidang yang dianggap sangat mendasar yaitu: usia/lama hidup, pengetahuan, dan standar hidup layak. Konsep pembangunan manusia ini dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,00 sampai 100,00 dengan kategori sebagai berikut (BPS): tinggi (IPM>80,00); menengah atas (IPM antara 66,00 – 79,99); menengah bawah (IPM antara 50,00 – 65,99); dan rendah (IPM < 50,00). Secara faktual, pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat melalui IPM di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti diilustrasikan melalui Gambar 1.4 berikut.
IPM
Gambar 1.4 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten, Provinsi dan Nasional (2007-2011) 73.50 73.00 72.50 72.00 71.50 71.00 70.50 70.00 69.50 69.00 68.50 68.00
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-Rata Kabupaten
70.29
70.83
71.41
71.92
72.35
Sul-Sel
69.62
70.22
70.94
71.62
72.14
Indonesia
70.59
71.17
71.76
72.27
72.77
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (data diolah) 15
Gambar 1.4 menunjukkan bahwa IPM Provinsi Sulawesi Selatan berada pada kategori menengah atas dan pencapaiannya masih lebih rendah dari pencapaian IPM nasonal. Hal ini mengindikasikan, bahwa dalam hal pencapaian IPM nasionl, Provinsi Sulawesiu Selatan belum berperan kuat sebagai faktor pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat nasional, bahkan cenderung menjadi beban nasional. hal ini merupakan tantangan besar bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengoptimalkan alokasi belanja modalnya untuk mendanai implementasi program-program pembangunan yang berperan kuat dalam mendorong peningkatan pencapaian IPM di daerah bersangkutan. Berdasarkan perspektif tersebut, dibutuhkan studi mendalam dan sistematis terhadap kinerja kebijaksanaan pembangunan daerah melalui implementasi alokasi belanja dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang perlu dikembangkan terhadap perubahan tersebut adalah sejauh manakah kebijakan desentralisasi fiskal dapat meningkatkan kinerja perekonomian antarwilayah daerah otonom secara keseluruhan dan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi. Apakah perubahan kebijakan otonomi daerah selama ini sudah mempunyai dampak sesuai dengan yang diharapkan? Pertanyaan ini diajukan untuk menjawab dasar pemikiran dari pelaksanaan otonomi daerah, dimana dengan desentralisasi fiskal akan dicapai efktifitas dan efisiensi pendanaan pembangunan sehingga pertumbuhan ekonom akan semakin tinggi. 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ini difokuskan pada aspek desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan serta dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan 16
masyarakat. Berdasarkan pokok-pokok pemikiran dan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian dapat disusun sebagai berikut: 1.
Apakah
desentralisasi
fiskal
dalam
bentuk
alokasi
belanja
daerah
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan? 2.
Apakah desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di Sulawesi Selatan?
3.
Apakah desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Selatan?
4.
Apakah desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja daerah, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja berpengaruh terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Sulawesi Selatan?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dalam alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan.
2.
Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dalam alokasi belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan di Sulawesi Selatan.
3.
Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Selatan.
17
4.
Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dalam bentuk alokasi belanja daerah, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan masyarakat di Sulawesi Selatan.
1.4. Manfaat Penelitian Kebijakan desentralisasi fiskal yang diterapkan hingga saat ini bukanlah tujuan
akhir,
tetapi
sebagai
instrumen
untuk
mencapai
tujuan
dalam
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran agar pelaksanaan desentralisasi fiskal tetap searah dengan tujuan tersebut. Manfaat lain peneitian ini adalah mendorong pemerintah dalam menggunakan alokasi anggaran sesuai skala prioritas yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan bagi pengambil kebijakan agar desentralisasi fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan alokasi pengeluaran publik yang efisien. Penelitian ini mendeskripsikan secara empiris implementasi kebijakan desentralisasi fiskal sebagai sebuah studi kasus. Sehingga hasil dari penelitian ini memberikan kontribusi pemikiran dan kebijakan sesuai prinsip dan tujuan desentralisasi fiskal yaitu: (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal
fiscal
imbalance);
(2)
meningkatkan
efisiensi
pemanfaatan
sumberdaya nasional; (3) meningkatkan kualitas pelayanan publik antar daerah; (4) tata kelola, transparan, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, efisien dan adil; (5) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.
18