BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban
tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan yang ditinggalkan oleh Orde Baru. Permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang sangat
sentralistik
menjadi
masalah
yang
sangat
krusial
dan
membutuhkan penyelesaian secepatnya, terlebih karena keinginan dan desakan berbagai pihak untuk merasionalisasi pembentukan daerah dan menuntut untuk diberikannya kewenangan yang lebih luas. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang
masing
-
masing
mempunyai
pemerintahan
daerah
untuk
menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan
1
kemudahan untuk memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Selain itu pemekaran juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan layanan pemerintah
sehingga
meningkatkan
efektifitas
penyelenggaraan
pemerintah dan pengelolaan pembangunan.1 Kebijakan
Otonomi
Daerah
memberikan
implikasi
kepada
pemerintah daerah untuk penguatan basis partisipasi politik lokal dalam menunjang tercapainya arah demokratisasi dan pemerataan keadilan sosial
bagi
seluruh
wilayah
di
Indonesia
untuk
mengelola
dan
mengembangkan daerahnya. Setiap daerah berpacu untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui penggalian dan pengembangan sumber daya daerah secara maksimal atas inisiatif dan kekuatan daerah itu sendiri. UU No.5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa dianggap menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Beranjak dari undang-undang tersebut dibuatlah UU No. 22/1999 tentang pemerintah daerah yang diharapkan mampu menjadi jawaban atas permasalahan ketatanegaraan yang sentralistik peninggalan Orde Baru yang kemudian di revisi kembali menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 1
Ermaya Suradinata. (2000), Pelaksanaan Otonomi daerah dalam kerangka untuk meningkatkan integrasi bangsa, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional, Departemen Pertahanan, Hal. 10
2
Ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.2 Pengaturan terhadap pemekaran daerah di Era Otonomi Daerah telah diatur oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP No 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mengganti PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. PP No 78/2007 mengatur tiga persyaratan umum yang harus disiapkan oleh daerah yang menginginkan adanya pemekaran daerah.
Pertama,
persyaratan administrasi. Kedua, persyaratan teknis. Ketiga, persyaratan fisik kewilayahan. Pertama, Syarat Administratif pembentukan kabupaten/kota yang meliputi lima hal: Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan
pembentukan
bupati/walikota kabupaten/kota;
induk
calon
tentang
Keputusan
kabupaten/kota;
persetujuan
DPRD
2
provinsi
Keputusan
pembentukan tentang
calon
persetujuan
http://ibnunurafandi.blogspot.com/2010/05/latar-belakang-otonomi-daerah.html. Diakses 10 maret 2014.
3
pembentukan persetujuan
calon
kabupaten/kota;
pembentukan
calon
Keputusan
gubernur
kabupaten/kota;
dan
tentang terakhir,
Rekomendasi Menteri Kedua, Persyaratan secara teknis seperti dalam hal kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketiga, Persyaratan fisik kewilayahan yang berisi cakupan wilayah, lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan, Serta persyaratan administrasi tentu didasarkan kepada adanya aspirasi sebagian besar masyarakat dalam hal pemekaran daerah dengan terlebih dahulu melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah. Dengan adanya ketiga syarat yang harus dipenuhi dalam PP No. 78 Tahun 2007 dalam proses pemekaran diharapkan mampu menetapkan kriteria-kriteria selektif untuk menjaring daerah yang benar-benar pantas untuk dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Akan tetapi, proses pembentukan daerah bukanlah hal yang mudah untuk direalisasikan, perlu usaha keras dan terarah untuk mencapai harapan ini. Masing-masing pihak harus mendukung visi dan misi pembentukan daerah tersebut. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam proses pembentukan daerah tidak jarang ditemui permasalahan-permasalahan yang begitu kompleks.
4
Semangat otonomi daerah dan fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk daerah otonom baru yang terjadi di seluruh nusantara juga terasa pada masyarakat di kabupaten Luwu. Masyarakat Luwu juga menghendaki daerah Kabupaten Luwu saat ini dimekarkan lagi menjadi satu daerah otonom baru, yakni Kabupaten Luwu Tengah. Tuntutan masyarakat yang sangat kuat di tingkat bawah didorong oleh keinginan memperoleh pelayanan yang lebih baik dari pemerintah daerah. Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan, Palopo meningkat statusnya menjadi kota otonom baru. Meningkatnya status kota Palopo sebagai kota otonom baru telah memunculkan berbagai macam persoalan terhadap kabupaten Luwu. Ttitik awal munculnya aspirasi pembentukan kabupaten Luwu Tengah pada saat Masyarakat Walenrang Lamasi (Walmas)
mulai
mengeluhkan jarak tempuh yang harus dilalui terlampau jauh akibat wilayah daerah yang dipisahkan oleh Kota Palopo. Sehingga secara administratif Kabupaten Luwu memiliki dua wilayah yang dipisahkan oleh kota palopo, yaitu wilayah selatan Kabupaten Luwu yang merupakan tempat Ibukota Kabupaten Luwu (Belopa) dan wilayah Utara kabupaten Luwu yang juga dikenal dengan nama Walenrang Lamasi (Wal-Mas). Untuk mendukung aspirasi pemekaran tersebut, Bupati Luwu saat itu
5
Basmin Mattayang memekarkan Kecamatan di kawasan Utara Luwu dari 2 kecamatan menjadi 6 kecamatan, yakni: Walenrang, Walenrang Barat, Walenrang Utara, Walenrang Timur, Lamasi dan Lamasi Timur. Dengan demikian syarat fisik kewilayahan yakni minilmal lima Kecamatan untuk satu Kabupaten pemekaran sudah terpenuhi.3 Selain faktor wilayah Kabupaten Luwu yang dipisahkan oleh Kota Palopo, aspirasi pembentukan Luwu Tengah juga sering dikaitkan dengan aspirasi pembentukan Provinsi Luwu Raya. Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah ditengarai demi mencukupkan syarat jumlah kabupaten/kota untuk membentuk Provinsi Luwu Raya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah, salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan Provinsi adalah paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota. Dicanangkannya pembentukan Kabupaten Luwu Tengah menjadi suatu tantangan besar bagi semua kalangan di Wal-Mas yang ingin agar wilayah tersebut menjadi satu daerah otonom. Sebagaimana diketahui Proses pembentukan kabupaten/kota bukanlah hal yang mudah dan secara pasti harus memenuhi tiga persyaratan yang tercantum dalam PP No 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
3
http://redaksi.luwuraya.com/read/2013/11/12/perjalanan-panjang-pembentukan-kabupatenluwu-tengah/. Diakses 10 Maret 2014
6
Penggabungan Daerah yaitu syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik kewilayahan. Proses pembentukan Kabupaten Luwu Tengah merupakan suatu perjalan yang cukup panjang jika dibandingkan dengan pembentukan beberapa Kabupaten yang lain. Hal tersebut tidak lain dikarenakan oleh proses yang begitu rumit dalam pemenuhan syarat-syarat yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Sehingga tidak heran, jika banyak issue yang bernuansa politis berkembang luas di kalangan elit dan masyarakat Tana Luwu terkait proses pembentukan Kabupaten Luwu Tengah. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses pembentukan Kabupaten/Kota adalah syarat Administratif. Dimana pemenuhan syarat administratif begitu rumit dan mengharuskan banyak pihak ikut andil didalamnya,
baik
ditingkat
pusat,
daerah
provinsi,
maupun
di
kabupaten/kota. Sedangkan seperti diketahui hubungan antara Pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota terkadang tidak berjalan dengan baik bahkan sering terjadi konflik horizontal maupun vertikal dalam pengambilan keputusannya. Perebutan kekuasaan tidak dapat dipungkiri
seringkali
mengesampingkan
menjadi
aspirasi
hambatan
atau
yang
kesejahteraan
menciderai nilai-nilai demokrasi dalam pemekaran.
7
pada
akhirnya
masyarakat
dan
Dalam kasus pembentukan kabupaten Luwu Tengah pemenuhan syarat administratif inilah yang lebih menonjol dan banyak mengundang perhatian karena prosesnya yang dinilai begitu lama. Salah satu hambatannya
adalah
Keputusan
gubernur
tentang
persetujuan
pembentukan calon kabupaten/kota yang untuk diterbitkannya cukup lama. Terhitung sejak 15 Januari 2008 Pemerintah Kabupaten Luwu telah menyerahkan
proposal
pemekaran
Kabupaten
Luwu
Tengah
ke
Pemerintah Propinsi Sulsel untuk direkomendasikan ke Menteri Dalam Negeri guna dimekarkan menjadi satu daerah otonom baru. Namun telah mengalami beberapa kali penolakan dengan berbagai alasan. Sampai pada tahun 2012 Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan baru dapat diterbitkan dengan Nomor 777/II/Tahun 2012 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah (Luteng). Surat ini kemudian diserahkan ke Menteri Dalam Negeri RI pada 8 Maret 2012.4 Berbagai alasan dalam agenda pemekaran daerah, pada dasarnya tidak hanya berjalan pada tataran administrasi pemerintahan, tetapi juga berlaku pada tataran politik yang bergerak dinamis. Era reformasi yang menghadirkan antara lain nilai kebebasan, menjadi momentum penting bagi terjadinya kesepakatan politik aktor untuk mengajukan aspirasi pemekaran daerah. Pemekaran daerah sangat kuat dengan perspektif politik
desentralisasi
yang
menekankan
pada
usaha
penyebaran
kekuasaan pemerintahan. Artinya, penyerahan kekuasaan dalam hal 4
Ibid
8
tertentu, bukan hanya terjadi pada tataran pusat kepada daerah, tetapi juga antar daerah itu sendiri. Pemekaran daerah merupakan ranah politik yang terbuka dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh para aktor politik. Besarnya peluang untuk mewujudkan cita-cita politik dan banyaknya aktor-aktor yang juga membawa kepentingan masing-masing menjadikan pemekaran sebagai sesuatu yang rentan terjadinya benturan kepentingan, yang pada akhirnya akan menyebabkan terhambatnya proses pembuatan kebijakan yang dalam hal ini adalah Pengadaan persetujuan gubernur sebagai salah satu syarat administratif dalam proses pembentukan Kabupaten Luwu Tengah. Sejatinya keberadaan aktor-aktor politik dalam proses pembentukan Kabupaten
Luwu
Tengah
akan
menjadikan
proses
pembentukan
kabupaten Luwu Tengah sebagai moment penting bagi terwujudnya percepatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi banyaknya kepentingan-kepentingan yang dibawah oleh masing-masing aktor telah menyebabkan
banyaknya
benturan
kepentingan
yang
justru
menyebabkan terhambatnya proses pembentukan Kabupaten Luwu Tengah. Sampai saat ini terealisasinya aspirasi pembentukan kabupaten Luwu Tengah yang dinanti-nantikan oleh masyarakat telah sampai ke pusat.
DPR
RI
telah
mengeluarkan
RUU
tentang
Pembentukan
Kabupaten Luwu Tengah Di Provinsi Sulawesi Selatan bersamaan
9
dengan 21 RUU pembentukan daerah otonom baru lainnya, setelah pada awalnya Luwu Tengah tidak masuk dalam pembahasan 65 RUU pembentukan daerah otonom baru.5 Dari sejumlah permasalahan dalam proses pembentukan Luwu Tengah tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hambatan dalam Proses Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah”. 1.2.
Rumusan Masalah Sesuai dengan permasalahan di atas dan untuk menghindari
pembahasan yang meluas, maka penulis membatasi pembahasan dalam skripsi
ini
adalah
“Bagaimana
Dinamika
Politik
Pada
Aspek
Persetujuan Gubernur Menjadi Faktor Penghambat Dalam Proses Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah Tahun 2008-2012?” 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara umum peneliti
bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika politik pada aspek persetujuan
gubernur
menjadi
faktor
penghambat
dalam
proses
pembentukan Kabupaten Luwu Tengah tahun 2008-2012, dengan memperhatikan aktor-aktor politik yang terlibat dan sikap-sikap politiknya terkait dengan pembentukan Kabupaten Luwu Tengah.
5
www.dpr.go.id/. Diakses 5 juli 2014
10
1.4.
Manfaat Penelitian Ada 2 manfaat yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini yang
dapat membantu penulis maupun unsur yang terkait didalamnya, yakni: 1.4.1. 1.
Manfaat Akademis : Sebagai sumber informasi bagi siapapun yang ingin mengetahui
bagaimana
dinamika
politik
pada
aspek
persetujuan gubernur menjadi faktor penghambat dalam proses pembentukan Kabupaten Luwu Tengah tahun 20082012. 2.
Memberi rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami
realitas
ilmu
politik,
khususnya
mengenai
Pembentukan daerah. 1.4.2. 1.
Manfaat Praktis : Menjadi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Politik.
2.
Sebagai bahan referensi dan evaluasi bagi masyarakat dan aktor politik khususnya di wilayah persiapan Kabupaten Luwu Tengah.
11