BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1998, pasca runtuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki era reformasi yang membuka peluang demokratisasi oleh negara. Implikasinya adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi masyarakat
sipil,
termasuk
media,
untuk
berpartisipasi
dalam
proses
pembangunan negara. Ruang publik yang sebelumnya dibatasi oleh sikap dan perilaku otoriter pemerintah, sejak tahun 1998 hingga saat ini terbuka bagi seluruh entitas negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. CSO sebagai bagian dari entitas negara saat ini memiliki ruang untuk melakukan kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Civil society menurut Alexis de Tocqueville dalam Rahmat (2003:15) dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang negara. Civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengontrol intervensi negara karena peranannya sebagai sumber input dalam proses politik bernegara dengan sistem demokrasi. Sementara itu, civil society memiliki dimensi kultural sehingga membuatnya juga dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan,
keswasembadaan,
keswadayaan,
dan
kemandirian
ketika
berhadapan dengan negara. Artinya, keberadaan civil society penting dalam proses demokratisasi di Indonesia karena peranannya sebagai penghubung antara warga negara dengan pemerintah, fungsinya sebagai mitra ktitis pemerintah, sekaligus dimensi kultural yang dimilikinya membuat keberadaannya dalam hubungan
22
politik dengan negara tetap berorientasi pada kepentingan publik. CSO yang berkembang di Indonesia sejak era reformasi dapat dilihat dalam bentuk organisasi, perkumpulan, paguyuban, LSM, ormas Islam, dan kelompok kepentingan lainnya yang aktif dalam mengadvokasi dan mengawal isu-isu kenegaraan dengan memiliki ciri-ciri berhadapan dengan negara, swadaya (menghimpun kekuatan sendiri), swasembada (mencukupi kebutuhan sendiri) (Otho, H, 2010:118). Fenomena menguatnya peran CSO dalam pembangunan dapat dimaknai dari dua sisi. Sisi pertama secara positif menguntungkan bagi kelompokkelompok minoritas dan rentan yang sebelumnya terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses pelayanan publik di pemerintahan menjadi lebih diperhatikan dan diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat sipil yang memiliki prinsip memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM). Sisi lain secara negatif dimaknai sebagai peluang tumbuhnya gerakan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan tertentu untuk ‘menghancurkan’ sistem demokrasi itu sendiri. Kelompokkelompok ini disebut sebagai kelompok intoleran atau Sidney Jones (2015:6) mengatakan sebagai masyarakat madani intoleran. Kelompok intoleran ini memanfaatkan peluang demokrasi justru untuk melemahkan nilai-nilai demokrasi dan menggunakan kekerasan dan intimidasi sebagai taktik advokasi (Jones, 2015:6). Contohnya adalah organisasi keagamaan fundamentalis-radikal yang berusaha untuk mempertahankan identitas kolektif atau keyakinan mereka dengan cara apapun. Keberadaan kelompok ini memang harus diakui sebagai bagian dari proses demokratisasi itu sendiri dan keberadaannya tidak bisa dihalang-halangi.
23
Jika keberadaan mereka dibatasi, artinya terjadi pembatasan hak asasi mereka sebagai warga negara. Fenomena
menguatnya
organisasi
masyarakat
keagamaan
yang
fundamentalis-radikal pasca reformasi sebagai produk hasil reformasi yang tidak bisa dianggap remeh. Fenomena tersebut menurut Najib Azca (2013:17) dalam tulisannya berjudul “Yang Muda, Yang Radikal” terjadi karena (1) dinamika sosial politik di fase awal transisi ditandai dengan tingginya derajat gejolak dan ketidakpastian dan (2) transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki genealogi pada periode awal kemerdekaan (memiliki akar histori pada Masyumi dan Darul Islam). Najib Azca (2013:18) juga mengemukakan terdapat tiga varian gerakan keagamaan Islam yang berkembang pesat pasca reformasi, yaitu (1) aktivisme Islam jihadi, (2) saleh/salafi, dan (3) politik. Gerakan jihadi memiliki karakteristik menjustifikasi penggunaan kekerasan dan terorisme untuk mencapai tujuan politiknya, yaitu mendirikan struktur pemerintahan Islam (Azca, 2013:18). Contoh gerakan ini adalah Jamaah Islamiyah, NII, dan sebagainya. Gerakan saleh/salafi memiliki karakteristik memfokuskan diri pada dimensi akhlak, kemurnian iman, dan identitas keislaman, serta tidak begitu tertarik untuk mencapai kekuasaan politik (Azca, 2013:18). Varian gerakan terakhir ialah gerakan Islam poltik yang memiliki karakteristik terlibat dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta bekerja di dalam kerangka konstitusi kenegaraan (Azca, 2013:18). Menurut varian gerakan kelompok ini berpartisipasi dalam proses politik di bawah sistem demokrasi adalah absah dan
24
perlu, termasuk dalam rangka memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam (Azca, 2013:18). Fenomena menguatnya gerakan Islam fundamentalis-radikal pasca reformasi menuntut keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk merespon
fenomena
tersebut.
Pasalnya,
gerakan
tersebut
tidak
jarang
menimbulkan gesekan-gesekan dan problem dalam masyarakat. Tidak jarang juga hak-hak asasi warga negara terenggut karena gerakan tersebut melakukan aksi main hakim sendiri dalam menentukan hal yang benar dan salah. Pemerintah perlu bersikap dan berperilaku selayaknya sesuai tugas, wewenang, dan fungsi pemerintah yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 berlandaskan ideologi Pancasila. Pada hakikatnya, sistem demokrasi menuntut keterlibatan aktif masingmasing entitas negara. Oleh karena itu, keberadaan pemerintah harus kuat dalam melindungi masing-masing entitas negara tetap pada jalur yang benar sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku, dan juga peran CSO toleran dan berdaya memperjuangkan dan mengadvokasi isu penegakan dan perlindungan HAM bagi warga negara. Pemerintah yang kuat dapat memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat (Ruhana, 2010:7). Di sisi lain, CSO yang toleran dan berdaya akan mendinamisasi perubahan untuk berjalannya tugas dan fungsi pemerintahan yang baik, melalui peran kritisnya sebagai mitra kritis pembangunan dan balancing power bagi pemerintah (Ruhana, 2010:7).
25
Fenomena Pelanggaran HAM di DIY oleh Sekelompok Ormas Islam Fundamentalis-Radikal: Kasus Penyerangan Diskusi Irshad Manji di LKiS Tahun 2012 Tanggal 9 Mei 2012 menjadi momen penting dalam proses pendewasaan sistem demokrasi yang terjadi di Indonesia, khususnya DIY. Pasalnya telah terjadi aksi intoleran yang dilakukan oleh sekelompok ormas Islam fundamentalis-radikal yang mengatasnamakan masyarakat sekitar di Yayasan LKiS, Bantul. Aksi yang dilakukan adalah pembubaran paksa sekaligus penyerangan terhadap kegiatan diskusi rutin LKiS reboan yang menghadirkan sosok yang dianggap oleh kelompok tersebut kontroversial (Irshad Manji) dan hal ini pun memunculkan sejumlah isu di masyarakat luas. Penyerangan tersebut mengakibatkan tujuh orang terluka, lima orang di antaranya perempuan dan dua orang laki-laki. Peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi aparat kepolisian dan konteks masyarakat Yogyakarta yang terkenal toleran terhadap pluralisme, menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai akademik. Diskusi Irshad Manji yang bertempat di LKiS merupakan hasil kerjasama antara Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dengan anggota jaringannya, yaitu LKiS. JPY mengadakan diskusi tersebut lantaran dahulu pada tahun 2008, JPY pernah bertemu dengan Irshad Manji dalam tur buku pertamanya berjudul “The Trouble with Islam Today”. Atas dasar tersebut, ketika mengetahui bahwa Irshad Manji datang ke Indonesia melalui tur buku keduanya berjudul “Allah, Liberty, and Love”, JPY berinisiatif untuk mengontak Irshad Manji yang kebetulan juga akan mengunjungi Yogyakarta karena ada jadwal diskusi dan launching buku di 26
CRCS UGM. Diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan reaksi spontan JPY ketika mengetahui kedatangan Irshad Manji dan kebetulan di LKiS terdapat diskusi rutin bernama “reboan”. Oleh karena itu, JPY mengundang Irshad Manji dalam diskusi rutin tersebut untuk sharing dan temu kangen. Konsep acara diskusi di LKiS sendiri merupakan diskusi rutin yang didatangi oleh teman-teman LSM, baik akademisi, mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sekitar. Peserta yang hadir pada waktu itu sekitar 15-20 jaringan (PUSHAM UII, 2013:80). LKiS ketika mendapat ancaman dan teror dari ormas Islam, yakni Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengaku kaget karena diskusi ini merupakan diskusi rutin dan tidak mengandung unsur-unsur penyebaran paham tertentu atau brainwash peserta yang hadir. Semua orang boleh datang ke diskusi tersebut, tanpa harus setuju ataupun tidak setuju. Ketika MMI memaksa LKiS membatalkan diskusi tersebut, LKiS menganjurkan bahwa lebih baik MMI bersama teman-teman datang dan menolak ide dan gagasan Irshad Manji secara langsung. Akan tetapi, MMI tidak mau dan mengancam jika diskusi tidak dibatalkan, maka pihaknya akan melakukan aksi kekerasan. Mengetahui hal tersebut,
pihak
LKiS
dan
JPY
bersikeras
bahwa
pihaknya
harus
menyelenggarakan diskusi tersebut karena kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, jika pihaknya menggagalkan berarti pihaknya juga telah melanggar hak orang lain untuk mendengar dan beraspirasi terhadap pemikiran Irshad Manji. Pada saat diskusi berlangsung, MMI bersama ormas lslam lain melakukan pembubaran paksa, penyerangan terhadap peserta, dan pengrusakan gedung LKiS. 27
Kedatangan mereka langsung diwarnai aksi penyerangan, tanpa mengajak dialog terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara. Mereka memaksa masuk dengan membuka paksa gerbang LKiS dan mencari sosok Irshad Manji. Selain itu, mereka juga menyakiti peserta diskusi dengan alat-alat keras, dan melakukan pengrusakan aset, seperti kaca gedung, monitor komputer, piring, dan buku-buku. Aksi intoleran tersebut dilakukan secara leluasa oleh ratusan orang dari ormas Islam tanpa adanya penjagaan dari pihak kepolisian maupun pihak keamanan setempat. Ketidakhadiran aparat kepolisian untuk melindungi dan mengamankan peserta terjadi lantaran LKiS tidak memperoleh izin untuk penyelenggaraan diskusi oleh pihak kepolisian setempat. Menurut salah satu pihak penyelenggara sekaligus aktivis LSM DIY, Tri Wahyu, mengatakan bahwa sebenarnya pihak penyelenggara telah melakukan pemberitahuan informal kepada Kapolda DIY, tetapi Kepala Satuan Intel Polres Bantul, Sutikno mengaku polisi tidak mengetahui terkait penyelenggaraan diskusi di LKiS 1. Pernyataan Tri Wahyu pun disepakati oleh Direktur LKiS, Farid Wajidi yang sempat menelepon aparat kepolisian setempat terkait penyelenggaraan diskusi tersebut. Namun, pihak kepolisian yang dihubungi oleh Farid Wajidi mengatakan lebih baik tidak mengadakan, dan apabila tetap dilaksanakan dan terjadi demonstrasi, pihak kepolisian tidak bisa menjamin keamanannya 2.
1
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402825/Buntut-Diskusi-Irshad-Manji-MajelisMujahidin-Serang-LKiS, dipublikasikan pada Rabu, 9 Mei 2012 pukul 21:44 WIB 2 Diolah dari program TV Indonesia Lawyers Club, bertajuk ‘Lady Gaga Vs. FPI’ dipublikasikan di youtube.com pada tanggal 16 Mei 2012
28
Pelanggaran HAM: Ancaman Terhadap Kebebasan Berpikir dan Berpendapat Kasus pembubaran paksa dan penyerangan terhadap peserta dalam diskusi Irshad Manji di LKiS lalu menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia untuk berpikir dan berpendapat. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR menilai terlepas dari sosok Irshad Manji yang kontroversial, Irshad Manji adalah tamu sah negara dan masuk secara legal, sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindunginya 3. Sosok Irshad Manji sebagai lesbian sehingga ormas Islam menganggap bahwa Irshad Manji tidak pantas diberi ruang untuk berbicara, apalagi pandangannya terkait agama yang dianutnya, tentunya tidak bisa dijadikan alat untuk lantas menggagalkan, sekaligus menyerang diskusi tersebut. Apakah karena sosok Irshad Manji berbeda, lesbian, lantas dirinya tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dan berpendapat nampaknya akan selalu menuai perdebatan di masyarakat asli Jawa yang masih tabu dalam memandang homoseksual, apalagi dirinya juga merupakan Muslim di mana homoseksual tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Akan tetapi, terlepas dari substansi permasalahan tersebut, telah terjadi tindak pidana dalam kasus tersebut, terdapat tujuh korban luka-luka. Penolakan terhadap penyelenggaran diskusi sah-sah saja dilakukan, tetapi tindakan anarkis terhadap peserta diskusi yang hadir, dan tidak semua peserta tersebut juga setuju dengan gaya pemikiran Irshad Manji, tentu tidak dapat dibenarkan.
3
http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-irshad-manji-kapolri-harus-bertanggung-jawab.html , dipublikasikan pada Senin, 7 Mei 2012, pukul 10:26 WIB
29
Selain itu, pengabaran berita melalui media memainkan peran penting dalam konstruksi wacana publik mengenai kelompok minoritas dan rentan, seperti Irshad Manji (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Idealnya, media seharusnya mengambil posisi untuk menyediakan keseimbangan gagasan, atau setidaknya menyediakan ruang wacana bagi kemungkinan (atau ketidakmungkinan) hidup bersama (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Akan tetapi, dalam banyak kasus LGBT, media sebagai elemen penting dalam demokrasi, cenderung memilih untuk bungkam (Nugroho, Nugraha et al., 2012:66). Dalam hal ini, media lebih banyak memposisikan sosok Irshad Manji yang lesbian, sehingga pantas untuk ditolak, daripada
sebagai
individu yang menjadi korban
penyerangan.
Penggambaran dan pembingkaian berita yang keliru oleh media, serta kehadiran kelompok-kelompok Islam radikal diduga sebagai penyebab yang mendorong meningkatnya homofobia di lingkungan masyarakat (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Implikasinya, hal itu dapat memperburuk situasi ketidakadilan terhadap kelompok LGBT. Berangkat dari hal tersebut, terdapat indikasi bahwa kurangnya dukungan media terhadap isu HAM, khususnya kasus Irshad Manji ini dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan atau keputusan publik yang nantinya bias atau mendiskriminasikan kelompok tertentu. Peraturan hukum yang berlaku di Indonesia mengacu pada UUD 1945 hasil amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 1945 telah mengatur tiga ketentuan yang secara khusus dan eksplisit dalam memberikan jaminan perlindungan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pertama, pasal 28 mengatakan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
30
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kedua, pasal 28 E ayat 3 mengatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketiga, pasal 28 F mengatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal ini berarti kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang tidak dapat diganggu gugat. Artinya, peserta yang hadir dalam diskusi pun memiliki hak untuk memperoleh, mendengarkan, dan mengolah gagasan yang dikatakan Irshad Manji dan menyampaikan kesetujuan maupun ketidaksetujuaanya kepada Irshad Manji, tanpa harus dihalang-halangi oleh orang lain. Hal ini juga berlaku bagi kelompok minoritas dan rentan, seperti kelompok LGBT. Demokrasi menuntut adanya peran serta publik, publik yang dimaknai tidak hanya mayoritas, tetapi juga minoritas dan rentan, termasuk LGBT. Oleh karena itu, tindakan anarkis yang dilakukan oleh ormas Islam terhadap peserta yang menjadi korban tidak dibenarkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan pidana yang perlu diselesaikan melalui proses hukum. Upaya Advokasi LKiS dalam Menegakkan dan Memenuhi HAM Warga Negara Advokasi ialah serangkaian aktivitas yang diselenggarakan dalam rangka mempengaruhi para penganbil kebijakan dalam merumuskan suatu kebijakan 31
publik. Serangkaian aktivitas advokasi ini menjadi penting dalam upaya menegakkan dan memenuhi hak asasi warga negara, sehingga keputusan atau kebijakan publik yang diambil oleh para pemangku kepentingan, tidak mendiskriminasikan suatu kelompok atau golongan tertentu. Adanya kasus penyerangan tersebut tidak hanya membuat resah warga sekitar yayasan LKiS, tetapi juga hak-hak korban yang terenggut. Kasus ini pun juga menyita perhatian publik secara luas karena isu-isu yang banyak bermunculan pada kasus ini melalui pemberitaan media yang cenderung tidak berimbang. DIY dengan keistimewaannya sebagai daerah berbudaya, toleran terhadap keberagaman, dan sekaligus daerah yang menjunjung tinggi iklim akademik menjadi terciderai dengan adanya kasus tersebut. LKiS merupakan salah satu CSO di DIY yang bernuansa Islam liberal dari kalangan tradisional NU yang muncul pasca reformasi. Sebagai CSO di DIY, LKiS bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat dan juga pencerdasan masyarakat, pengkajian, dan penyikapan isu-isu strategis. Oleh karena itu, menyikapi kasus pembubaran diskusi Irshad Manji, LKiS terus mengadvokasikan pengusutan kasus ini secara tuntas kepada pemerintah dan aparat kepolisian, pengembalian citra DIY yang toleran terhadap keberagaman kepada masyarakat sekitar, dan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh kelompok minoritas dan rentan, termasuk korban penyerangan. Upaya advokasi LKiS dalam memperjuangkan penegakan dan perlindungan HAM bagi masyarakat tidak dilakukan secara sendirian. LKiS memiliki jaringan dan koalisi untuk mencapai tujuan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LKiS, 32
meliputi advokasi kepada masyarakat melalui edukasi, advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah DIY dan Polda DIY, dan advokasi kasus melalui pengorganisasian masyarakat dan jaringan seperti LBH, Komnas HAM, dan Ombudsman DIY. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin memaparkan pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS kepada masyarakat dan pemerintah dalam menegakkan dan melindungi HAM melalui kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012 lalu. Selain itu, peneliti juga ingin memaparkan respon pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan media dalam menaggapi kasus tersebut. Hal itu dirasa penting karena dalam studi administrasi negara, perwujudan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, memerlukan partisipasi dari ketiga pilar yaitu pemerintah, bisnis, dan civil society, termasuk media. Sehingga, dengan adanya penggambaran respon pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan media terkait kasus ini dapat menggambarkan apakah pemerintah daerah dan aparat kepolisian memiliki komitmen dan keseriusan yang tinggi dalam mengusut kasus, melindungi dan menegakkan HAM bagi masyarakat DIY, dan apakah relasi di antara civil society dan pemerintah daerah telah terbangun cukup baik dalam melindungi dan menegakkan HAM bagi masyarakat DIY, serta sejauh mana keberpihakan media terhadap kelompok minoritas dan rentan (LGBT).
33
1.2. Rumusan Masalah Kasus penyerangan terhadap diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan preseden buruk bagi konteks masyarakat DIY yang dulunya terkenal toleran terhadap keberagaman dan kebebasan yang dijunjung tinggi. Tiga tahun setelah terjadinya kasus tersebut, LKiS telah melakukan upaya advokasi baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah untuk menuntut pengusutan kasus tersebut secara tuntas, sebagai bentuk komitmen LKiS sebagai CSO yang bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah yaitu, “Bagaimana pengalaman LKiS dalam melakukan advokasi terhadap isu penegakan dan perlindungan HAM dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012 kepada masyarakat dan pemerintah daerah, termasuk aparat kepolisian?” Dalam upaya menjawab pertanyaan besar tersebut, penelitian ini akan turut menjelaskan: 1. Bagaimana respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian dalam menanggapi kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS? 2. Bagaimana relasi antara LKiS sebagai CSO dengan pemerintah daerah dalam menegakkan dan melindungi HAM bagi masyarakat DIY? 3. Bagaimana respon media melalui surat kabar online nasional dan Islam radikal dalam mengabarkan dan merespon kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS?
34
1.3. Tujuan dan Siginifikansi Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan advokasi yang dilakukan oleh CSO, yakni LKiS, dalam mengawal isu penegakan dan perlindungan HAM melalui kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS. CSO merupakan salah satu pilar dari demokrasi sehingga kontribusinya diperlukan dalam melindungi dan memperjuangkan HAM bagi warga negara. Selain itu, penelitian ini juga ingin menggambarkan bagaimana respon pemerintah daerah, termasuk aparat kepolisian dalam kasus tersebut, sehingga nantinya dapat dilihat sejauh mana komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam menegakkan dan melindungi hak asasi masyarakat, dan relasi antara CSO (LKIS) dengan pemerintah daerah dalam mengawal isu HAM, serta apakah media cukup netral dalam mengabarkan isu kelompok minoritas dan rentan (LGBT), seperti Irshad Manji. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan kontribusi bagi ilmu administrasi negara, seperti teori kepublikan yang memandang publik secara luas, tidak hanya publik yang didefinisikan sebagai ruang pemerintah, tetapi juga aktor bisnis dan masyarakat sipil; teori ilmu sosial dasar yang membahas tentang civil society; dan teori advokasi kebijakan yang membahas tentang
serangkaian
aktivitas
yang
dilakukan
untuk
membela
dan
memperjuangkan kelompok minoritas dan rentan yang tereksklusi secara sosial dan politik, dan juga mempengaruhi pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang non-diskriminatif.
35
Adapun signifikansi dari penelitian ini terhadap jurusan Administrasi Negara (Manajemen dan Kebijakan publik) adalah studi CSO sebagai salah satu pilar dalam good governance yang sama penting kedudukannya dengan pemerintah dan sektor bisnis dalam memberikan pelayanan publik, dalam hal ini melalui advokasi pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi masyarakat. 1.4. Kerangka Berpikir Dwiyanto (2004:17) menyebutkan fenomena munculnya aktor nonpemerintah dalam aktivitas pembangunan negara atau biasa disebut dengan fenomena governance bodies mulai berkembang di Indonesia semenjak era orde baru berakhir. Era reformasi sebagai momentum arah pembangunan negara Indonesia yang lebih demokratis membuka peluang bagi masuknya CSO dalam memajukan pembangunan nasional. Hal tersebut membuat pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam aktivitas pembangunan negara, melainkan terdapat dan terbangun relasi antara pemerintah dan non-pemerintah dalam mewujudkan public purposes. Keterlibatan aktor non-pemerintah dalam aktivitas pembangunan negara merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan good governance. LAN (2000) dalam Nugroho D. (2003:221) mendefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini artinya, masyarakat atau warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya (Nugroho 36
D, 2003:221). Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Nugroho D, 2003:220). Selain itu, prinsip good governace juga mensyaratkan adanya rule of law, artinya kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia (Nugroho D, 2003:220). Peran CSO menjadi penting dalam pembangunan negara karena pemerintah perlu aktor lain dalam mengawal isu yang terjadi di masyarakat, khususnya isu HAM. Meskipun setiap manusia memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi masih terdapat individu-individu yang haknya belum terpenuhi, meski kewajibannya telah terpenuhi. Pengawalan isu ini dilakukan oleh CSO melalui upaya advokasi, baik ke masyarakat maupun ke pemerintah. Serangkaian kegiatan advokasi diperlukan untuk menghindari praktik-praktik pemerintah dalam membuat keputusan publik yang diskriminatif. Media juga berperan penting dalam sistem demokrasi. Fungsi media idealnya adalah sebagai sumber informasi dan fakta, serta pencerdasan bagi masyarakat. Media dalam era demokrasi dapat digunakan sebagai alat pengawas atau kontrol bagi para pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan atau keputusan publik. Media yang baik dapat berguna bagi pendukung proses pengambilan keputusan atau kebijakan agar tidak diskriminatif. Melihat kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012 lalu, LKiS telah melakukan advokasi baik kepada masyarakat dan juga kepada pemerintah untuk menghindari terjadinya perumusan kebijakan
37
atau keputusan publik yang bersifat diskriminatif dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012. LKiS menginginkan pemerintah, baik itu pemerintah daerah maupun aparat kepolisian, untuk bertindak selayaknya pemerintah, tidak memihak dan melakukan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara benar, sehingga pengusutan kasus bisa dilaksanakan sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Tanpa melihat sosok Irshad Manji yang kontroversial, pemerintah tetap harus mengusut kasus tersebut hingga tuntas karena telah terjadi tindak pidana yang harus diselesaikan melalui proses hukum sebagai upaya dari penegakan dan perlindungan HAM sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, terdapat indikasi bahwa advokasi yang dilakukan LKiS sebagai CSO tidak akan cukup kuat untuk menekan pemerintah, jika tidak ada dukungan media dalam mengawal kasus ini. Oleh karena itu, dalam menuntut pengusutan kasus ini oleh LKiS diperlukan hubungan sinergi yang dibangun dengan media karena selama ini banyak kasus mendapat perhatian pemerintah karena dukungan media yang kuat. Advokasi yang dilakukan oleh LKiS adalah advokasi kebijakan yang artinya dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat, negosiasi, dan desakan massa (demonstrasi) untuk memperjuangkan pengusutan tuntas kasus dan hak-hak peserta diskusi yang menjadi korban dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS. Berikut merupakan skema dalam menggambarkan pengalaman LKiS dalam mengadvokasi isu HAM kepada masyarakat dan pemerintah daerah dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu:
38
Gambar 1.Skema Kerangka Berpikir Penelitian* Pemerintah Daerah dan Polda DIY
Keputusan publik nondiskriminatif
LKiS
Masyarakat
Media
*) diolah oleh peneliti Dalam hal ini, penulis ingin menggambarkan upaya LKiS mengadvokasi tentang pentingnya isu penegakan dan perlindungan HAM dengan mengambil contoh kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS kepada dua aktor, antara lain masyarakat umum dan pemerintah daerah (termasuk aparat kepolisian). Bentuk advokasi kepada masyarakat dilakukan melalui edukasi masyarakat yang menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang tidak bisa dibatasi oleh siapapun, termasuk pemerintah. Dalam melakukan advokasi kepada masyarakat, secara tidak langsung terjadi proses negosiasi antara LKiS dengan warga masyarakat terkait pentingnya kebebasan atas hak berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Berkaca pada kasus penyerangan Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012, LKiS ingin merundingkan dan mengajak masyarakat untuk menekan pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk melindungi dan menegakkan HAM melalui pengusutan tuntas kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, keberadaan media juga diharapkan
39
dapat mengabarkan fakta dan memberikan pencerdasan kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tergerak untuk mengawal kasus ini. Demand yang dimaksud pada skema di atas adalah perlindungan HAM dan penegakan hukum dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, support yang dimaksud dalam skema di atas adalah pemerintah daerah dan aparat kepolisian memiliki sensitivitas dan pemahaman bahwa kasus ini penting untuk diusut tuntas yang dilihat dari respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian. Di sisi lain, LKiS juga melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk segera menuntaskan kasus tersebut karena tindak pidana merupakan pelanggaran HAM dan aparat kepolisian harus mengusut tuntas kasus tanpa memihak kelompok atau golongan tertentu, sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Output yang dihasilkan dari advokasi yang dilakukan LKiS dan dukungan media yang kuat adalah action dari pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk membuat kebijakan maupun keputusan publik yang tidak diskriminatif. 1.5. Konsep Penelitian 1.5.1. Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Governance Ilmu administrasi publik sebagai ilmu governance melihat bahwa peran pemerintah dalam tata kelola negara menjadi tidak begitu dominan. Konsep publik dalam administrasi publik tidak lagi diartikan secara kelembagaan, tetapi lebih pada orientasi dan nilai-nilai publicness (Dwiyanto, 2004:9). Birokrasi pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam proses kebijakan. Perkembangan ilmu administrasi publik tersebut semakin menguatkan terwujudnya democratic 40
governance di Indonesia, di mana lembaga non-pemerintah seperti, asosiasi sukarela dan civil society atau masyarakat sipil sama-sama memiliki misi yang sama dengan lembaga pemerintah untuk mewujudkan publicness. Dwiyanto (2004:9) menyebutkan di Indonesia terjadi fenomena di mana banyak lembaga non-pemerintahan yang juga menjalankan misi dan fungsi yang dulunya secara tradisional dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, justru banyak birokrasi publik yang memproduksi barang dan jasa privat. Munculnya fenomena governance bodies (lembaga non-pemerintah diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan) tersebut menunjukkan bahwa proses kebijakan, baik formulasi maupun implementasinya, yang berkembang sekarang ini tidak selalu terjadi di lembaga pemerintah, tetapi juga di lembaga non-pemerintah (Dwiyanto, 2004). Fenomena governance bodies ini salah satunya dapat dilihat dari keterlibatan civil society dalam kegiatan pembangunan. Gambar 2. Skema Hubungan CSO dengan Pemda DIY Pemda DIY (Sultan HB X) CSO Pluralis
CSO Anti Pluralis
Masyarakat Awam
Sumber: diolah oleh peneliti
41
Pada gambar 1.5.1 menunjukkan pola hubungan antara elemen civil society, baik yang pluralis maupun anti pluralis dengan pemerintah daerah yang melakukan take and give. Civil society sebagai salah satu pilar pengokoh demokrasi perannya sangat penting sebagai penyeimbang negara. Tocquivele dalam Ruhana (2010:200) menegaskan pentingnya peran civil society dalam kehidupan bernegara dan meyakini civil society cukup otonom dan subordinan, serta mempunyai kapasitas politik cukup tinggi untuk mengimbangi kekuatan negara. Dwiyanto (2004:17) menyebutkan proses perumusan kebijakan publik di era demokrasi juga perlu melibatkan peran aktor non-negara seperti civil society karena mereka memiliki informasi, pengalaman, dan tacit knowledge yang lebih baik daripada pemerintah sebagai pemegang otoritas yang sah. Sehingga, semakin banyak governance bodies dalam kegiatan bernegara dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan public affairs dan public interest yang lebih baik. Keberadaan CSO pluralis dengan anti pluralis kenyataannya sering tidak akur dalam kegiatan bernegara. CSO pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti LKiS yang memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan islam inklusif yang bergerak bersama dengan jaringan-jaringan yang dihimpunnya. Sedangkan, CSO anti pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti ormas Islam fundamentalisradikal yang memperjuangkan identitas kolektifnya dengan cara apapun, contohnya MMI. Kepentingan kelompok di antara kedua CSO ini jelas-jelas bertentangan dan keduanya pun saling menekan pemerintah daerah untuk mendapatkan kepentingannya. CSO pluralis melakukan advokasi dan menekan Sultan HB X untuk menciptakan masyarakat Yogyakarta yang toleran dan anti
42
kekerasan dalam hal apapun, sedangkan CSO anti pluralis juga menekan Sultan HB X untuk menerapkan syariat Islam atau nilai-nilai Islam murni dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sultan sebagai Pemda DIY harus mampu menempatkan dirinya sebagai kepala pemerintahan DIY secara bijak dan adil, sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta yang terkenal toleran dan pluralis. Hal ini karena jika hal ini tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kegamangan yang berpotensi pada perpecahan masyarakat awam Yogyakarta dan berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa dan toleran. Good Governance Praktik keterlibatan tiga aktor dalam kehidupan bernegara tersebut merupakan prasyarat dalam mewujudkan good governance di Indonesia. Good governance memiliki makna sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, bukan kepemerintahan yang baik (Nugroho D., 2003:208). Namun dalam praktiknya, di Indonesia, government yang memahami dirinya sebagai pemerintah mempunyai kecenderungan untuk bertindak sebagai penguasa daripada pelayan (Nugroho D., 2003:208). Hal ini bisa dilihat dari buruknya public services dari birokrasi. Padahal good governance, mensyaratkan pemerintah memiliki semangat sebagai abdi masyarakat, bukan abdi kekuasaan (Nugroho D., 2003:208). World bank dalam Nugroho D. (2003:218), mendefinisikan karakteristik good governance, yaitu “an efficient public service, an independent judicial
43
system and legal framework to enforce contracts; the accountable administration of public funds; an independent public auditor, responsible to a representative legislature; respect for law and human rights at all levels of government; a pluralistic institutional structure; and free press”. Hal ini artinya untuk mewujudkan good governance¸ terdapat aspek-aspek yang harus dipenuhi seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk lebih memahami karakteristik good governance, berikut sembilan karakteristik yang harus dipenuhi (Nugroho D., 2003:219): 1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses-proses,
lembaga-lembaga,
dan
informasi
secara
langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. 4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. 5.
Consensus
orientation.
Good
governance
menjadi
perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi 44
kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. 7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. 9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai persepektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Terkait dengan isu penegakan dan perlindungan HAM, tampak jelas bahwa good governance mendukung adanya praktik itu. Pertama, karakteristik participation, berarti masyarakat melalui CSO memiliki hak secara legal untuk berpartisipasi
dalam
proses
pembangunan,
mencerdaskan
masyarakat,
berpartisipasi aktif dalam memberikan pemikiran konstruktif bagi pemerintah 45
dalam menjalankan tugas dan fungsinya melalui serangkaian aktivitas advokasi kepada masyarakat umum dan juga advokasi kebijakan kepada pemerintah. Kedua, adanya rule of law, penulis memahami bahwa praktik hukum yang berlaku di Indonesia harus berlaku secara adil dan tidak memihak sesuai dengan kontitusi yang berlaku. Pelanggaran terhadap praktik pemenuhan HAM bagi setiap warga negara tidak dapat dibenarkan, apalagi terjadi tindak pidana. Ketiga, responsiveness. Pemerintah sebagai garda terdepan harus responsif dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah publik. Pemerintah harus bertindak selayaknya pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang. Seringkali, pemerintah tidak bertindak responsif karena terlalu banyak menghitung untung-rugi dalam menyelesaikan permasalahan publik, sehingga justru mengorbankan kepentingan dan hak-hak masyarakat. Keempat, equity. Hal ini berarti, semua warga negara, tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses pelayanan publik dan pemenuhan apa yang menjadi haknya sebagai warga negara, tanpa ada usaha dihalang-halangi, diimbangi dengan pemenuhan kewajiban sebagai warga negara, dan pemerintah wajib menjamin itu. Kelima, effectiveness dan efficiency, karakteristik ini melihat bahwa pemerintah harus menghasilkan suatu keputusan dan kebijakan publik yang memang telah diamanatkan oleh konstitusi dengan menggunakan segala sumber terbaik yang ada. Keenam, accountability. Hal ini penting karena pemerintah
dalam
menjalankan
tugas
dan
fungsinya
harus
dapat
dipertanggungjawabkan di mata publik. Ketujuh, terkait strategic vision, pemerintah harus memiliki visi strategis ke depan karena seiring berkembangnya
46
zaman, tuntutan publik akan semakin meluas, sehingga memerlukan visi dan misi pemerintah yang tajam ke depan. Kedelapan, transparency, dibutuhkan dalam setiap penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang harus transparan dan publik dapat mengakses informasi akan hal tersebut sebagai bentuk kontrol. Kesembilan,
yakni consensus orientation, artinya adanya pengutamaan
konsensus ini pilihan-pilihan yang akan diambil negara akan mempertimbangkan kelompok-kelompok yang ada, sehingga keputusan yang bersifat diskriminatif dapat dihindari. Untuk memenuhi, menegakkan, dan melindungi praktik HAM diperlukan karakteristik good governance dalam praktik pemerintahan di era demokrasi sekarang ini, antara lain kesembilan prinsip-prinsip good governance yang sudah dijelaskan di atas. 1.5.2. Dinamika Perkembangan Konsep Civil Society di Eropa Pemahaman konsep civil society selalu berkembang dari waktu ke waktu. Istilah civil society atau masyarakat sipil pertama kali muncul pada zaman renaissance atau pada masa kebangkitan Eropa. Thomas Hobbes (1588-1679) dalam teori kontrak sosial melihat kemunculan konsep civil society yang bermula pada sekumpulan manusia pada kondisi alamiahnya memiliki hasrat untuk menguasai manusia lain, sehingga manusia membuat kondisi di mana manusia mempercayakan hak yang mereka miliki pada lembaga yang diberikan kedaulatan penuh untuk menjaga kesepakatan (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Pemegang kedaulatan ini berhak memerintah demi keselamatan masyarakat sendiri dan mereka tidak dapat diganggu gugat. Hal inilah yang dinamakan kontrak sosial,
47
artinya bukan kontrak yang terjadi antara penguasa dan yang dikuasai, melainkan kontrak antara masyarakat sendiri (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831) dalam bukunya yang berjudul Philosopy and Right, menempatkan negara (dalam hal ini dilihat sebagai pemerintah) dan civil society dalam kerangka dialektika, yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis, dan negara sebagai sintesis (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja. Negara dalam hal ini berperan sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat sipil yang melaksanakan fungsinya melalui hukum untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan tiap individu (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Hal ini membuat Karl Marx (1818-1883) melihat civil society tidak lebih dari masyarakat borjuis. Marx menganggap
negara
semata-mata
alat
bagi
masyarakat
borjuis
untuk
melanggengkan kekuasaan atas kaum buruh (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Pandangan ini berbeda dengan pandangan Adam Ferguson (1723-1816), Thomas Paine (737-1809), dan Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang melihat civil society sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan pluralisme (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Konsep civil society menurut Alexis de Tocquile tersebut banyak digunakan sebagai acuan di Indonesia melihat Indonesia yang sedang berproses menuju masa demokrasi yang dewasa.
48
Tabel 1Perkembangan Makna Civil Society di Eropa Menurut Para Ahli* Thomas Hobbes (1588-1679) Kondisi di mana manusia menguasai manusia lain, sehingga perlu adanya kontrak sosial untuk mengatur hal tersebut.
George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831) Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja.
Karl Marx (1818-1883) Civil society = masyarakat borjuis
Alexis de Tocquile (1805-1859) Civil society sebagai prasyarat mewujudkan masyarakat demokratis.
*) diolah oleh peneliti Berdasarkan, pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society yang berkembang di Eropa, Konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville yang paling pas menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia pasca reformasi. Civil society di Indonesia banyak berkembang setelah rezim orde baru berakhir. Pada saat itu, era reformasi berlangsung, di mana masyarakat tidak lagi terkungkung oleh rezim pemerintah yang otoriter. Masyarakat memiliki ruang
49
untuk bebas berpendapat dan turut serta dalam dalam kemajuan pembangunan sesuai asas-asas demokrasi. 1.5.3. Konsep Civil society di Indonesia Pekembangan konsep civil society juga terjadi di Indonesia. Nurcholis Madjid memiliki pemikiran bahwa civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani. Pemikiran ini dicetuskannya melihat pengalaman masyarakat madinah di masa Nabi Muhammad SAW. Civil society dilihat sebagai suatu masyarakat yang dipenuhi nilai-nilai keadaban dengan ciri-ciri egalitarianisme, penghargaan kepada orang yang berprestasi, keterbukaan dan partisipasi warga secara aktif, kepatuhan terhadap norma dan hukum, toleransi, pluralisme, musyawarah dan penegakan hukum serta keadilan (Rahmat, 2003:18) 4. Paulus Wirotomo (2001) dalam Rahmat (2003:18) mengembangkan konsep civil society menjadi masyarakat adab yang yang tidak hanya memberikan posisi warga negara yang lebih mandiri terhadap negara, tidak hanya budaya demokrasi yang menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi juga menekankan pembenahan moral pada hubungannya dengan antar warga negara itu sendiri dan nilai-nilai kerukunan yang menghasilkan sikap kepedulian di antara warga negara 5. Civil society menurut Sumarto (2003:5) dalam Rahmat (2003:18) dapat diartikan sebagai kumpulan institusi atau organisasi di luar pemerintah dan sektor
4
Nucholis Madjid (1996) dalam Tesis Rahmat, Abdi.2003.Peran LSM dalam penguatan civil society di Indonesia studi kasus Walhi.Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Indonesia. hal. 18 5 Ibid. hal. 18
50
swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak 6. Komponen-komponen civil society antara lain, LSM, organisasi nonpemerintah, institusi masyarakat di akar rumput, media, institusi pendidikan, asosiasi profesi, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Keberadaan civil society yang kuat dan aktif dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah dan privat, sehingga kebijakan yang akan dirumuskan nantinya dapat mengakomodasi pandangan masing-masing pihak. Proses kebijakan yang terjadi pun menjadi lebih partisipatoris, transparan, dan akuntabel (Rahmat, 2003:18). Berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society yang berkembang di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa civil society merupakan sekumpulan masyarakat beradab yang memiliki ciri-ciri terbuka, berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan bernegara, mandiri dari campur tangan pemerintah, memperjuangkan
hak-hak
individu,
dan
turut
serta
dalam memajukan
pembangunan. Civil society di sini dapat disebut sebagai mitra kritis pemerintah, sekaligus balancing power dalam menentukan arah kebijakan pembangunan ke depan.
Keberadaannya
pun
bersifat
penting
karena
posisinya
sebagai
penyeimbang hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan aktor bisnis. Civil society yang dapat berupa LSM, organisasi non-pemerintah, organisasi masyakarakat akar rumput, dan asosiasi lainnya dapat dimanfaatkan sebagai modal sosial dalam menentukan arah kebijakan bersama pemerintah dalam mekanisme kerja sama yang fleksibel. 6
Ibid.
51
1.5.4. Definisi Civil Society Melihat fenomena menguatnya civil society di Indonesia pasca reformasi, konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville dilihat penulis sebagai konsep yang menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia. Civil society menurut Alexis de Tocqueville diartikan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang negara. Hal ini karena civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengontrol intervensi negara. Civil society tidak bisa dipisahkan dengan hubungan poltik karena pada dasarnya civil society merupakan sumber input dalam proses-proses politik bernegara dengan sistem demokrasi. Civil society dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian dalam berhadapan dengan negara (Rahmat, 2003:19). Tocqueville juga menekankan adanya dimensi kultural dalam civil society, sehingga civil society dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang, yaitu keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap norma dan nilai hukum yang yang dipatuhi oleh warganya (Rahmat, 2003:19). Adanya dimensi kultural dalam civil society membuat keberadaannya dalam hubungan politik tetap berorientasi pada kepentingan publik. Konsep civil society menurut Tocqueville tersebut mendukung definisi civil society menurut Alison Van Rooy (1998) dalam Feulner (2001:44) memberikan terdapat enam poin penting definisi civil society, meliputi (1) civil society as values and norms, (2) civil society as collective nouns, (3) civil society as a space of action, (4) civil society as historical moment, (5) civil society as
52
anti-hegemony, dan (6) civil society as anti-state7. Pada enam poin definisi yang dikemukan oleh Alison van rooy, munculnya istilah civil society dapat dilihat sebagai momen kebangkitan di mana society merupakan sebuah nilai dan norma baru tentang aksi kolektif yang merupakan bentuk perlawanan terhadap negara dan pasar. Adanya civil society dicita-citakan sebagai kondisi untuk mewujudkan bentuk negara yang optimal. Berdasarkan ulasan pendapat ahli di atas, merujuk pada situasi dan kondisi politik di Indonesia, civil society dapat didefinisikan sebagai suatu kekuatan kolektif, norma dan nilai baru dalam masyarakat sebagai bentuk kebangkitannya melawan rezim otoriter. Civil society mengedepankan prinsip bebas dari campur tangan politik negara dan mandiri dalam bertindak. Pemerintah dilihat tidak lagi memiliki dominasi kekuatan dalam kegiatan bernegara, meskipun pemerintah memiliki otoritas yang sah secara hukum. Kondisi sosial dan politik di Indonesia semenjak bangkitnya era reformasi dengan sistem demokrasi memerlukan keberadaan civil society yang kuat sebagai penyeimbang hubungan antar negara dengan warga negara. Civil society memperjuangkan kebebasan individu dalam berekspresi dan bernegara, tetapi juga perlu disertai dengan rasa tanggung jawab antar diri setiap individu. Civil society menolak intervensi negara, tetapi tetap membutuhkan negara dalam mewujudkan cita-cita politis demi kepentingan publik bersama dan sebagai penengah konflik dalam konteks internal dan eksternalnya(Rahmat, 2003:19). Civil society juga
7
Working paper UNSFIR: Consolidating Democracy in Indonesia: Contributions of Civil society and State, Part One: Civil society. Penulis:Frank Feulner (2001) Hal. 44
53
menolak intervensi pasar yang berlebihan (Rahmat, 2003:19). Peran civil society di sini turut menjadi agen kontrol kegiatan pasar yang justru kadang dapat merugikan warga masyarakat. Demi mewujudkan keharmonisan hubungan dalam bernegara antara pemerintah, bisnis, dan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam diperlukan civil society yang kuat, bebas dari segala macam bentuk kepentingan, baik politik maupun ekonomi. 1.5.5. Fungsi-fungsi civil society di Indonesia Menurut Feulner (2001:9) dalam papernya berjudul “Consolidating Democracy
in
Indonesia:
Contributions of
Civil
society
and
State”,
mengemukakan terdapat lima fungsi dasar keberadaan civil society di Indonesia, antara lain: 1. Civil society merupakan platform independen untuk melakukan diskusi dalam rangka merumuskan ide-ide alternatif bagi pemerintah, bisnis, dan masyarakat. Kedudukan organisasi civil society penting karena merupakan sarana untuk memobilisasi dan mengumpulkan kepentingan, keprihatinan, dan kebutuhan masing-masing dari kelompok masyarakat, bisnis, dan pemerintah dan selanjutnya dibawa untuk dikomunikasikan kepada pemegang kekuasaan atau perwakilan politik yang ada. 2. Civil society melakukan monitoring dan sebagai agen watchdog. Organisasi-organisasi civil society diperlukan untuk membantu dalam mengawasi dan mengontrol institusi-institusi negara dan juga praktik
54
regulasi dan hukum. Dalam hal ini, organisasi-organisasi seperti media dan kelompok pengawas HAM harus berada di garda terdepan dalam menjalankan fungsi ini. 3. Civil society sebagai advokasi dan penasihat legal. Civil society harus aktif dalam menjalankan fungsi ini yaitu melakukan advokasi dan memberikan nasihat legal terhadap isu-isu terkait HAM dan hukum terhadap warga negara. Target utama dalam hal ini adalah pekerja dan komunitas kurang mampu. Bagaimanapun, organisasi civil society yang aktif dalam bidang ini harus juga ikut serta dalam menjamin terpenuhinya hak-hak standar bagi setiap warga negara indonesia dan memelihara nilainilai kewarganegaraan. 4. Civil society berkontribusi pada bidang penelitian, pendidikan, dan resolusi konflik. Organisasi civil society dapat memfasilitasi mediasi dalam persoalan konflik sosial, agama, dan kepentingan budaya. Aktivitas rekonsiliasi, penelitian, dan pendidikan dapat membantu mengurangi terjadinya konflik dan mencari jalan resolusi konflik terbaik. Mekanisme komunitas dan memainkan peran utama dalam hal stabilisasi dan mediasi konflik. 5. Fungsi civil society dalam peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kesehatan. Civil society harus menjalankan fungsi yang kuat dalam
bidang
kemanusiaan
dan
sosial,
termasuk
peningkatan
kesejahteraan, pelayanan kesehatan, pelayanan bagi pensiunan, dan bagi
55
kalangan kurang mampu. Fungsi ini sangat dibutuhkan khususnya bagi negara yang sedang mengalami transisi atas sistem pemerintahan dan keterlibatan civil society sangat dibutuhkan sampai pemerintah dapat menyediakan strategi-strategi yang efisien dalam menyelesaikan isu-isu sosial. Kelima fungsi ini perlu diterapkan oleh organisasi-organisasi civil society di Indonesia melihat kedudukannya sebagai penengah atau mediator hubungan antara negara dengan masyarakat dalam sistem demokrasi. 1.5.6. Karakteristik Civil Society Konsep civil society dalam sistem demokrasi lebih dilihat sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa civil society yang bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi, perkumpulan, organisasi keagamaan, LSM, paguyuban, dan kelompok kepentingan lainnya ini dapat dilihat sebagai suatu entitas yang mampu memajukan diri sendiri, dapat membatasi intervensi pemerintah dan negara dalam realitas yang diciptakannya, dan senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik (Otho H., 2010:118). Karakteristik dari civil society menurut Otho H. (2010:118) pun dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu aspek otonomi politik yang berhadapan dengan negara, aspek keswadayaan (menghimpun kekuatan sendiri), dan aspek keswasembadaan (mencukupi kebutuhan sendiri). Civil society meskipun memiliki karakteristik mandiri, swadaya, swasembada, bebas campur tangan dari pemerintah, melakukan pemberdayaan
56
dan memihak kepada kepentingan masyarakat tanpa mengharapkan dukungan politik, tidak lantas membuat civil society yang ada di Indonesia benar-benar bersifat independen. Berdasarkan sejarahnya, di Indonesia, civil society dalam bentuk LSM ada yang merupakan bentukan pemerintah dan ada yang tidak. LSM bentukan pemerintah cenderung dibentuk untuk menggalang kepentingan politik tertentu. Selain itu, terdapat juga LSM yang berkerja sama dengan lembaga donor atau mitra funding. Hal ini karena permasalahan utama yang ditemui LSM pada umumnya adalah terkait dana. Sehingga, dalam melakukan gerakan, LSM ini membutuhkan mitra yang fokus pada hal yang sama. Oleh karena itu, di Indonesia, tidak semua LSM benar-benar independen dan bebas dari afiliasi kepentingan manapun. Dalam hal ini, LKiS sebagai LSM termasuk dalam kategori LSM yang hidup dari lembaga donor dan bebas campur tangan politik pemerintah. LKiS memiliki jaringan dengan mitra funding dalam melakukan program pemberdayaan masyarakatnya yang bekerja sama dengan The Asia Foundation dan lembaga donor lainnya. LKiS juga sering dalam mengkritik pemerintah melalui kritik yang membangun dan mengawal perumusan kebijakan di level pemerintah daerah sebagai bentuk kontrol CSO kepada pemerintah. 1.5.7. Advokasi Kebijakan Definisi Advokasi menurut Margaret Schuler (1995) adalah sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi juga berisi aktifitas-aktifitas legal dan politik yang dapat mempengaruhi bentuk dan 57
praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi8. Sementara itu, menurut Socorro Reyes (1997) advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat 9. Dapat disimpulkan dari kedua pendapat ahli di atas, advokasi adalah sejumlah aktifitas strategis yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat akan isu tertentu dan mempengaruhi pemangku kepentingan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat luas, tidak diskriminatif, melalui upaya pengorganisian masyarakat atau mobilisasi. Advokasi dalam kebijakan publik menyangkut tentang bagaimana menyuarakan, membela, memajukan kepentingan dan mencari dukungan berkenaan dengan suatu kebijakan publik tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dari advokasi kebijakan ialah persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakan yang ada. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang dilakukan adalah memperkuat posisi tawar menawar atau bargaining position melalui penyadaran kelompok atau komunitas, pemberdayaan, pemberian bantuan hukum
8
Margaret Schuler. Human Rights Manual. 1995 dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum 9 Soccorro Reyes, 1997,Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum
58
yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan masyarakat yang akan dibela, lobby, serta negosiasi 10. Advokasi kebijakan tidak hanya berguna bagi pihak yang diperjuangkan, tetapi juga bagi pemangku kepentingan atau pembuat kebijakan karena mereka membutuhkan (1) informasi yang berkaitan dengan isu-isu yang ada dalam masyarakat, (2) opini publik dan konstituen, dan (3) bahan masukan yang membantu proses pembuatan peraturan 11. Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:344), terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan CSO dalam melakukan advokasi kebijakan, antara lain: 1. Strategi Edukasi. Strategi ini adalah di mana CSO mencoba untuk memberi pemerintah banyak informasi, analisis, dan alternatif kebijakan. CSO juga mendidik pemerintah dengan menciptakan dan menguji pendekatan pembangunan yang inovatif yang dapat ditiru oleh negara. Pendidikan
dilakukan
melalui
lokakarya,
konferensi,
kunjungan-
kunjungan fisik dan prakarsa proyek-proyek percontohan. Strategi ini dapat pula menargetkan kelompok-kelompok lain, selain pemerintah misalnya masyarakat umum, media, dan CSO lain atau anggota komunitas. 2. Strategi persuasi. Penggunaan strategi ini, CSO bertindak seperti sebuah kelompok penekan untuk mendesak perubahan-perubahan kebijakan dan 10
Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum 11 Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum
59
menunjukkan dukungan publik. Idenya di sini ialah bahwa meyakinkan pemerintah bahwa CSO mendukung kebijakan atau perubahan kebijakan, perlu diakui dan ditegakkan menjadi undang-undang. Persuasi dilakukan melalui berbagai cara yang mencakup rapat-rapat, lokakarya, konferensi, undangan ke tempat, melobi, demo, dan pemogokan. Tujuan utamanya adalah menyajikan informasi kepada pemerintah yang dapat mengubah sikap pemerintah atau arah kebijakan. Upaya advokasi tidak akan berhasil dengan efektif, jika pelaku advokasi tidak secara matang mengidentifikasi aktor, baik itu sebagai pelaku advokasi dengan membangun koalisi atau jaringan, maupun target sasaran advokasi. Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:83), terdapat beberapa kategori stakeholders dalam konsep advokasi, yaitu target advokasi, target oposisi, organisasi dan konstituen mereka, dan sekutu-sekutu. Target advokasi adalah orang-orang yang ingin dipengaruhi oleh suatu kelompok agar mereka mau mendukung tujuan-tujuan kebijakan kelompok itu. Dalam hal ini, target advokasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu primer (mereka yang memiliki kekuasaan langsung untuk memberi apa yang dikehendaki kelompok) dan sekunder (mereka yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan atau primer) (Ritu R. Sharma, 2004:67). Target oposisi adalah orang yang oleh CSO diketahui sebagai lawan mereka dalam isu tertentu atau juga bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan ingin menghentikan kelompok dalam mencapai tujuan advokasi mereka (Miller dan Covey, 2005:84). Organisasi dan konstituen adalah orang-orang yang berperan dalam menganalisis kekuatan, kelemahan, dan
60
kekuasaan mereka sendiri dan konstituen mereka atau bisa dikatakan mereka yang melakukan strategi advokasi (Miller dan Covey, 2005:85). Terakhir, sekutu adalah orang dan kelompok yang memiliki cukup banyak kepentingan pada isu CSO hingga bergabung dengannya dalam aliansi atau koalisi. Aliansi yang kuat dan bertanggung jawab biasanya merupakan alat paling efektif untuk mendapat kemenangan kebijakan sebab aliansi tersebut dapat menghimpun kekuasaan dan pengaruh yang perlu bagi perubahan (Miller dan Covey, 2005:86). 1.5.8. Negosiasi Rangkaian kegiatan advokasi kebijakan juga tidak lepas dari negosiasi. Negosiasi yang dimaksud adalah upaya mendialogkan kepada pihak-pihak yang bertentangan terkait sebuah isu atau masalah publik tertentu, sehingga nantinya dapat ditentukan bagaimana arah perumusan kebijakan dan bagaimana kebijakan akan diimplementasikan. Negosiasi juga dapat diartikan sebagai sebuah langkah yang harus ditempuh untuk memadukan kepentingan para aktor yang berbeda hingga mereka mencapai suatu tujuan yang sama demi terwujudnya kebutuhan publik 12. Negosiasi dalam advokasi kebijakan juga dapat dipahami sebagai merundingkan atau membicarakan kemungkinan atas suatu kondisi untuk disepakati dengan orang lain. Negosiasi di dalam advokasi kebijakan keberadaannya cukup penting agar masing-masing aktor memiliki kesamaan
12
Pengertian ini diolah dari definisi Henry Kissinger (1969) yang mendefinisikan negosiasi sebagai “a process of combining conflicting positions into a common position, under a decision rule of unanimity” dalam Alfredson, Tanya dan Cungu, Azeta.2008.Negotiation Theory and Practice.Food and Arigulture Organization of The United Nation. Hal 12
61
persepsi dalam memandang suatu isu dan masalah publik, sehingga masingmasing aktor dapat bersinergi satu sama lain dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Negosiasi
sebagai
upaya
mendialogkan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dan mencapai kesepakatan dapat dilihat sebagai negosiasi dengan teknik win-win atau menang-menang. Negosiasi dengan teknik menang-menang dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu: (1) membina kepercayaan, (2) mencapai rasa terikat atau komitmen, (3) mengatur perlawanan (Herb Cohen, 1986:173). Secara lebih jauh akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Membina kepercayaan. Dalam suatu hubungan yang berkesinambungan, semakin banyak kepercayaan yang didapatkan dari orang lain, maka semakin banyak juga orang lain membenarkan keyakinan yang ada pada diri seseorang (Cohen, 1986:173). Melalui hubungan saling percaya, masing-masing pihak menaruh kepercayaan yang kuat. Hubungan saling percaya ini merupakan sumber utama dalam negosiasi menang-menang. Sehingga, peluang untuk mencapai suatu kesepakatan semakin tinggi. 2. Mencapai rasa terikat (komitmen). Maksudnya antara pihak yang bernegosiasi harus mencapai rasa terikat karena kedua belah pihak saling bergantung dan membutuhkan. Hal ini terjadi karena adanya persamaan persepsi dan pola pikir dalam memandang suatu isu atau masalah publik. Selain itu, pada tahap ini, masing-masing pihak memiliki tujuan yang
62
sama akan sesuatu. Tahap ini dapat dicapai, ketika masing-masing pihak telah membangun hubungan saling percaya (Cohen, 1986:189) 3. Mengatur perlawanan atau oposisi. Dalam rangka memperoleh tujuan yang diinginkan, CSO harus melawan oposisi. Hal ini bisa diartikan sebagai sebuah kendala atau rintangan untuk mencapai suatu kesepakatan. Oposisi atau lawan ada dalam dua bentuk, yaitu berupa pikiran dan peraasaan. Pada dasarnya perbedaan antara seseorang dengan orang lain adalah berdasar pada kedua hal tersebut (Cohen, 1986:196) Dalam praktik advokasi kebijakan, negosiasi dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan dalam menanggapi suatu isu publik. Adanya negosiasi diperlukan agar pihak-pihak yang bernegosiasi memiliki kesamaan cara berpikir dan perspektif dalam memandang sebuah isu, sehingga ada kemungkinan masingmasing pihak yang bernegosiasi bergerak bersama untuk mengadvokasi atau mengawal isu dan masalah publik yang butuh untuk dibela dan diperjuangkan demi kepentingan masyarakat luas. 1.5.9. Relasi Antara CSO Dengan Pemerintah Menurut Affan Gafar (2006:208) mengungkapkan relasi antara CSO (civil society organization) dengan pemerintah tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan sejarahnya hubungannya mengalami dinamika, dari yang awalnya cooperative hingga conflictual. James V. Ryker dalam Gafar (2006) mengemukakan pola
63
hubungan antara CSO (seperti LSM) dengan pemerintah dapat terjadi pada lima kondisi, yaitu 13: 1. autonomous begin neglect Pada kondisi ini pemerintah tidak menganggap posisi CSO (seperti LSM) sebagai ancaman dan tidak melakukan intervensi terhadap CSO, serta CSO dapat bekerja secara mandiri dan independen; 2. facilitation/promotion Pada kondisi ini, pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang keberadaannya bersifat komplementer. Tugas pemerintah menyediakan kondisi yang kondusif bagi beroperasinya CSO; 3. collaboration/cooperation Pada kondisi ini, pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah; 4. cooptation/absobtion Pada kondisi ini, pemerintah melakukan kontrol terhadap CSO, baik dalam konteks programatik maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya suplai finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO, dan sebagainya;
13
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 208
64
5. containment/sabotage/dissolution Pada kondisi ini, pemerintah melihat CSO sebagai tantangan dan sekaligus ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja CSO dan bahkan sampai menindak. Berdasarkan hal tersebut, relasi yang terbangun antara LKiS dengan pemerintah daerah DIY adalah lebih kepada pola relasi autonomous begin neglect dan collaboration. Hal ini karena pemda DIY memberikan ruang yang terbuka bagi CSO-CSO yang ada di DIY untuk melakukan aktivitasnya dan justru membantu pemerintah dalam mengawal suatu isu atau masalah publik yang terjadi di DIY. Philip Elderige dalam Afan Gafar (2006:209) melihat konsep relasi LSM dengan pemerintah yang dapat dilihat melalui tiga model pendekatan, yaitu: 1. high level partnership: grassroots partnership LSM yang termasuk dalam kategori ini pada prinsipnya sangat partisipatif dan kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan daripada advokasi. Kegiatan LSM pada kategori ini sama sekali tidak bersinggungan dengan proses politik. Namun, LSM tersebut memiliki perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan cara memberikan dorongan dan motivasi kepada pemerintah. LSM jenis ini umumnya tidak begitu besar dan banyak bersifat lokal;
65
2. high level politics: grassroots mobilization LSM dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat, baik dalam upaya perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu kebijakan yang menjadi wilayah perhatiannya; 3. empowerment at the grassroots LSM yang termasuk dalam kategori ini pusat perhatiannya terletak pada usaha meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput akan hak-haknya. Dalam hal ini, LSM tidak berminat untuk mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah dan percaya bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah 14. Ketiga pendekatan ini akan menggambarkan pola hubungan yang dibangun antara LSM dengan pemerintah ke depannya. LSM yang menganut pendekatan high level partnership, relasinya dengan pemerintah akan berupa dorongan dan motivasi kepada pemerintah karena LSM ini fokus pada kegiatan pembangunan daripada advokasi. Hal tersebut berbeda dengan LSM yang menganut pendekatan high level politics. LSM tersebut cukup kuat dalam membangun relasi politik dengan pemerintah karena orientasi LSM ini menempatkan dirinya sebagai pembela rakyat dengan memanfaatkan akses politik yang dimilikinya.
14
Ibid. hal. 209
66
Peran yang dilakukan LSM sebagai aktor lembaga non-pemerintah dilakukan sebagai reaksi atas ketidakmampuan pemerintah dalam mencapai public purposes. Pemerintah sebagai aktor internal dalam pemerintahan seharusnya mampu menciptakan nilai-nilai publicness dalam kehidupan bermasyarakat. Kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah, diatasi oleh kehadiran civil society yang bisa berbentuk LSM, jaringan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya untuk menyelesaikan masalah bersama. Hal ini tampak nyata dengan yang dilakukan oleh LKiS. LKiS sebagai CSO melakukan program-program yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi kelompok minoritas dan rentan yang selama ini tereksklusi baik secara sosial dan politik. Kelompok-kelompok yang selama ini belum terjangkau oleh pemerintah, berusaha dirangkul oleh LKiS melalui advokasi yang dilakukannya baik di lingkup masyarakat, maupun di level pemerintah agar pemerintah daerah tidak membuat keputusan atau kebijakan yang diskriminatif bagi kelompok-kelompok tersebut. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian ini, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2014:14) adalah metode penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah dan peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Tujuan dari penelitian menggunakan metode kualitatif adalah untuk mengeksplor lebih 67
mendalam terkait fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga data yang diperoleh dapat menjadi jawaban atas permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Alasan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengeksplor dan memahami secara lebih mendalam terkait pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS sebagai CSO dalam isu penegakan dan perlindungan HAM, khususnya advokasi yang dilakukan dalam mengawal kasus penyerangan diskusi buku Irshad Manji “Allah, Liberty, and Love” di Yayasan LKiS, Bantul pada tanggal 9 Mei 2012 1.6.2. Pendekatan Penelitian Penelitian
ini menggunakan
metode penelitian
kualitatif
dengan
pendekatan fenomenologi pada studi kasus. Alasan penelitian ini menggunakan fenomenologi pada kasus yang dikaji untuk melihat cara berpikir aktor, apa yang dilakukan, strategi dan metode apa yang dilakukan, serta bagaimana respon masing-masing aktor dalam menanggapi kasus tersebut. 1.6.3. Prosedur pengumpulan data Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah depth interview. Depth interview dilakukan dengan orang-orang kunci atau key person yang terlibat dalam kasus penyerangan diskusi bedah buku Irshad Manji di LKiS pada tanggal 9 Mei 2012. 1.6.4. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lokasi
68
penelitian melalui depth interview. Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian terkait yang dilakukan sebelumnya, buku, dan media. Perlunya data sekunder ini berfungsi untuk mendukung data primer yang bisa diperoleh saat melakukan depth interview. 1.6.5. Kebutuhan data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini melihat penelitian ini adalah fenomenologi, sehingga diperoleh data terkait pengalaman dan respon masingmasing aktor yang terlibat dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di Yayasan LKiS, yaitu LKiS, JPY, Peserta Diskusi, Ketua RT 9 Kampung Sorowajan, Anggota HTI, MMI, Pemda DIY, Kemenag DIY, dan Polda DIY. Selain itu, untuk mendapatkan informasi pendukung, peneliti juga melakukan wawancara dengan asisten dari Ombudsman RI Perwakilan DIY dan Polisi Polda Metro Jaya. Berikut secara lebih jauh merupakan key person dan informan pendukung yang menjadi sumber penelitian ini, yaitu: Tabel 2. Informan (Key Person)* No. 1.
Informan
Data yang diperoleh
LSM: LKiS dan Data yang diperoleh adalah 1. JPY
terkait respon sebagai
pengalaman
Sumber data Primer:
dan interview
dengan
LKiS dan JPY Azzah (anggota LKiS) penyelenggara pada 26 Februari 2015,
diskusi bedah buku Irshad Hafizen Manji.
depth
Dalam
(anggota
melihat LKiS) pada 26 April
69
pengalaman
dan
respon 2015,
Habibah
LSM tersebut, peneliti ingin (anggota LKiS), dan memaparkan berpikir,
sikap,
metode
cara Ika Ayu (anggota JPY) yang pada 6 Maret 2015.
ditempuh, strategi dalam 2. Sekunder: melakukan advokasi baik -Penelitian ke
masyarakat
pemerintah. diperoleh
maupun Perlindungan
Data
Polisi
ini terhadap
Kaum
melalui Minoritas
dan
wawancara kepada Azzah Pelayanan (anggota LKiS), Hafizen Wilayah
Publik Polda
di DIY
(anggota LKiS), Siti Jazila (PUSHAM UII,2013) Habibah (anggota LKiS), -Buku dan Ika Ayu (anggota JPY)
Reorientasi
Pembaruan
Islam,
Sekularisme, Liberalisme,
dan
Pluralisme Paradigma Baru
Islam
Indonesia
di (Budhy
Munawar-Rachman, 2011) -
media
nasional:
online tempo.co,
70
news.viva.co.id, dll 2.
Peserta Diskusi:
Data yang diperoleh adalah Sekunder:
informasi
Dian Paramita
gambaran tentang kronologi terkait
kronologi
peristiwa pembubaran dan kejadian diperoleh dari penyerangan diskusi yang informasi
yang
dilakukan
Dian
oleh
Islam.
Laskar diberikan
Paramita melalui media sosial twitter karena keterbatasan peneliti.
3.
Anggota HTI:
Data yang diperoleh adalah Primer: depth interview
Siska
tentang cara berpikir aktor: dengan Siska anggota mengapa menolak diskusi HTI aktif periode 2012 dan tanggapannya tentang hingga sekarang pada 4 sosok Irshad Manji.
4.
MMI:
Data yang diperoleh adalah Sekunder:
Pimpinan yakni
Maret 2015. pernyataan
MMI tentang tanggapan pimpinan Irfan S. Awwas dalam
Irfan
Awwas
S. MMI kejadian di LKiS acara tahun 2012 lalu.
TV
Indonesia
Lawyers Club bertajuk ‘Lady Gaga Vs. FPI’ yang dipublikasikan di youtube.com
tanggal
16 Mei 2012. 5.
Ketua
RT
9 Data yang diperoleh adalah Primer: depth interview
71
Kampung Sorowajan: Arif
cara
berpikir
Pak tanggapan
aktor
aktor
dan dengan Pak Arif yang
tentang merupakan Ketua RT 9
keberadaan LKiS sebagai aktif pada periode 2012 CSO pada
yang
berkontribusi hingga sekarang pada
pemenuhan
perlindungan
dan 21 Mei 2015.
HAM,
apa
yang dilakukan pada saat terjadi penolakan diskusi dari Laskar Islam 6.
Pemerintah daerah Data yang diperoleh adalah 1. Primer: respon dan Provinsi DIY:
respon
dan
Sultan HB X
Sultan
HB
tanggapan tanggapan Sultan HB X
selaku X diperoleh
melalui
Gubernur DIY terkait kasus wawancara dengan Ika tersebut, yaitu apa yang Ayu
yang
sempat
dilakukan, upaya resolusi beberapa konflik
apa
kali
yang melakukan
audiensi
ditawarkan, dan strategi apa dengan Sultan HB X yang DIY.
dilakukan
Pemda 2.
Sekuder:
karena
kendala yang dialami peneliti, melalui sekunder
dilakukan olah
data melalui
media online nasional
72
yaitu
tempo.co,
news.viva.co.id, dll 7.
Kemenag DIY: Kepala
Kanwil yang
Kemenag Pak
Nizar
Kepala
Peneliti mencari tahu apa 1.Primer: dilakukan
DIY, Kemenag
DIY
oleh didapatkan
dari
dalam sosialisasi
yang
dan membina ormas Islam yang disampaikan oleh Pak Divisi radikal.
Nizar dan sesi tanya
Hukum dan KUB
jawab
Kemenag
kebijakan
Pak Fauzi.
informasi
DIY,
sosialisasi dengan
media yang dilakukan Kemenag
DIY pada
tanggal 15 April 2015 2.Sekunder:
power
point
presentasi
kebijakan
Kemenag
DIY dalam mengelola kerukunan antar umat beragama diberikan
yang oleh
Pak
Fauzi, Kepala Divisi Hukum
dan
KUB
Kemenag DIY. 8.
Polda DIY:
Data yang diperoleh adalah 1.Primer:
depth
73
Kompol
Hasan terkait bagaimana respon interview
Rusyadi,
S.
Ag Polda DIY dalam kasus Kompol
dengan Hasan
(Kanit C Subdit 3 penyerangan diskusi Irshad Kompol
dan
Suyatno
Ditintelkam Polda Manji Di DIY.
Subdit 3 Ditintelkam
DIY)
Polda DIY pada 14
dan
Pak
Suyatno (Kanit A
April 2015.
Subdit
2. Sekunder:
3
Ditintelkam Polda
Penelitian
DIY)
Perlindungan
Polisi
terhadap
Kaum
Minoritas Pelayanan Wilayah
dan Publik Polda
di DIY
(PUSHAM UII,2013) *)diolah oleh peneliti Untuk mendapat data yang lebih mendalam, peneliti mewawancarai informan pendukung, yakni: Tabel 3. Informan Pendukung* No. 1.
Informan Ombudsman Perwakilan
Data yang diperoleh
Sumber data
RI Data yang diperoleh adalah Primer:
depth
DIY: terkait bagaimana kinerja interview dengan Pak
Pak Jaka, asisten Polda DIY dalam kasus ini Jaka
yang
menjadi
74
dalam pengurusan yang kasus ini.
ditemukan
oleh asisten
dalam
Ombudsman dan bagaimana mengawal kasus ini di melihat
kasus
ini
perspektif hukum.
dari Ombudsman
RI
Perwakilan DIY pada 1 Mei 2015.
2.
Polisi Polda Metro
Data yang diperoleh adalah Primer:
Jaya: Armyanto
tentang
Nur Setiawan
penyelenggaraan
tata
menurut kepolisian
wawancara
cara dengan Armyanto Nur diskusi Setiawan
pada
14
Maret 2015.
*)diolah oleh peneliti 1.6.6. Penentuan Subjek Penelitian Penelitian ini dalam menentukan subjek penelitian atau informan akan menggunakan teknik sampling snowball. Teknik sampling snowball mengandung pengertian bahwa dengan menggunakan teknik ini, peneliti akan mendapatkan informasi tentang informan-informan lain dari informan yang menjadi key person utama dalam penelitian ini, dan begitu seterusnya. 1.6.7. Hambatan Penelitian Hambatan yang dirasakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah pertama, salah satu dari informan kunci yang berasal dari LKiS sudah berdomisili di luar negeri, yaitu Siti Jazila Habibah (anggota LKiS), sehingga wawancara dilakukan melalui media sosial facebook. Kedua, peserta diskusi Dian Paramita juga sulit ditemui karena keterbatasan peneliti, sehingga peneliti hanya
75
bisa menghubungi melalui akun media sosial, twitter miliknya. Namun, untuk menjamin validitas informasi yang diberikan oleh peserta diskusi, Dian Paramita, peneliti mengkonfirmasi kembali informasi yang diperoleh dengan pihak panitia penyelenggara diskusi, yaitu Azzah (anggota LKiS). Ketiga, kesulitan peneliti untuk dapat mewawancarai dari pihak Pemda DIY, khususnya respon Sultan Hamengku Buwono X, peneliti menggunakan analisis dari media online berita nasional yaitu tempo.co dan news.viva.co.id melalui pertimbangan peneliti dan rekomendasi sejumlah informan dari LKiS yang melihat kedua media cukup utuh dalam mengabarkan berita terkait kasus tersebut. Keempat, karena faktor belum tuntasnya proses hukum dalam kasus ini, izin penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Polda DIY hanya bisa tembus pada bagian Intelkam Polda DIY. Padahal untuk dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam terkait perkembangan kasus, peneliti perlu mewawancarai pihak reskrim Polda DIY. Namun demikian, untuk menutupi kekurangan atau hambatan tersebut peneliti menggunakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan oleh PUSHAM UII (2013) tentang sikap dan perilaku Polda DIY dalam melakukan pengusutan kasus ini. Kelima, pada saat mencari informasi di Kemenag DIY, peneliti hanya bisa mengikuti sosialisasi kebijakan Kemenag DIY dengan media dan menggali informasi melalui sesi tanya jawab yang diberikan. Peneliti sebenarnya ingin mewawancari Kepala Divisi Hukum dan KUB Kemenag DIY, tetapi pihak yang bersangkutan sulit ditemui dan hanya bisa memperoleh data sekunder dari pihak divisi Hukum dan KUB. Keenam, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari informan dari MMI Yogyakarta di Kotagede yang benar-benar terlibat pada saat
76
kejadian penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu, sehingga peneliti hanya bisa menggali pendapat dari anggota MMI yang ada di tempat, namun tidak bisa menggali secara mendalam karena pihaknya tidak bersedia dimintai pendapatnya lebih jauh terkait kejadian tahun 2012 tersebut. Sehingga, peneliti hanya menggunakan pendapat dari MMI melalui pernyataan Irfan S. Awwas dalam publikasi acara ‘Indonesia Lawyers Club’ di Youtube. 1.6.8. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan nantinya akan dianalisis secara deskriptif. Teknik analisis deskriptif yang dimaksud adalah teknik yang mendeskripsikan pengalaman advokasi yang dilakukan LKiS dalam isu penegakan dan perlindungan HAM, khususnya dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS dan respon para aktor yang terlibat dalam kasus tersebut. Berikut merupakan tahapan yang akan dilakukan peneliti dalam melakukan studi fenomenologi mengacu pada Creswell (1998:54) dan Moustakas (1994:235) dalam Hasbiansyah (2008:171-172) 15: 1. Peneliti mengumpulkan data dari para aktor yang terlibat dalam kasus ini. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data ini diperoleh melalui depth interview. 2. Data yang telah terkumpul akan dianalisis oleh peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Pada tahap awal, peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Seluruh rekaman hasil wawancara 15
Hasbiansyah, O.2008.Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Ilmu Sosial dan Komunikasi. Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 1, Juni 2008. Hal 171-172
77
ditranskripkan ke dalam bahasa tulisan. Pada tahap kedua disebut tahap horizonalitazation,
maksudnya
dari
hasil
transkrip
wawancara,
peneliti
menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik penelitian. Dalam hal ini, subyektivitas peneliti harus dikesampingkan dari data penelitian yang telah diperoleh. Pada tahap selanjutnya disebut cluster of meaning, maksudnya, peneliti mengklasifikasikan pernyataan-pernyataan hasil penelitian tadi ke dalam tema atau unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang tumpang tindih. Pada tahap ini peneliti melakukan (a) textural description, yaitu peneliti menuliskan deskripsi tentang apa yang dialami informan, (b) structural description, yaitu peneliti menuliskan bagaimana fenomena tersebut dialami oleh para informan. Peneliti juga bisa mencari segala makna yang mungkin berdasarkan refleksi peneliti sendiri, berupa opini, penilaian, perasaan, dan harapan subyek penelitian tentang fenomena yang dialaminya. Tahap terakhir yaitu deskripsi esensi yaitu peneliti membangun dekripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman para subjek.
78