BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasca reformasi di Indonesia tahun 1999, proses legislasi mengalami perubahan. Terjadi perubahan sistim politik di Indonesia yang dimulai dengan perubahan sistem kepartaian hingga terjaminnya hak politik bagi kelompok masyarakat yang ada di luar Pemerintah dan DPR untuk mempengaruhi dan menentukan proses legislasi di Indonesia. Berbagai kelompok kepentingan di Indonesia seperti organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, media massa, cendekiawan, maupun lembaga kajian dan peneliti berpartisipasi secara aktif dalam menentukan dan mempengaruhi proses legislasi1. Dalam suasana seperti ini tidaklah mengherankan terdapat studi politik di Indonesia yang berpendapat bahwa seiring dengan proses demokratisasi di Indonesia, terdapat partisipasi kelompok sipil (civil society) dalam proses legislasi di Indonesia, termasuk dalam upaya berpartisipasi dalam anggaran, dan perencanaan yang melibatkan eksekutif, kelompok kepentingan dan gerakan sosial. Studi ini mengklaim bahwa partisipasi adalah jalan yang paling mungkin dalam menstabilkan demokrasi2. Pandangan seperti ini ditolak oleh studi lain yang menyatakan bahwa sesungguhnya proses legislasi di Indonesia pasca 1999 tidak ditentukan oleh kepentingan masyarakat, namun lebih ditentukan oleh kepentingan elit politik. Hal ini disebabkan karena pembuat kebijakan pasca 1999, sesungguhnya masih mewakili kepentingan elit yang lama (kepentingan Orde Baru) dan mewakili kepentingan para pemodal (bankir, maupun korporasi asing). Hal ini disebabkan karena orang-orang dengan modal ekonomi (uang) mendominasi politik dan memenangi pemilu dan menguasai parlemen baik di tingkat nasional maupun pada tingkat lokal3 dan dengan demikian wakil rakyat terpilih maupun partai politik sesungguhnya disetir dan didominasi oleh kekuatan oligarki4. Adanya 2 (dua) pemahaman yang berbeda tentang proses legislasi di Indonesia ini menunjukkan sejumlah kelemahan. Pemahaman pertama yang memahami proses legislasi 1
Marijan, Kacung. (2010). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, hal. 1-4. 2 Pratikno and Cornelis Lay. (2013). “From Populism to Democratic Polity, Problems and Challenges in Solo, Indonesia” dalam Democratisation in the Global South: The Importance of Transformative Politics., hal 254–276. 3 Robison, Richard and Vedi Hadiz. (2004). Reorganizing Power in Indonesia. The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London: Routledge Curzon, hal. 223-252. 4 Winters, A. Jeffrey. (2011). Oligarchy, Cambridge University Press., hal. 265-286.
dituntut untuk melibatkan kepentingan masyarakat, mengabaikan adanya hubungan antara wakil rakyat maupun pemerintah dengan kelompok pemilik modal (oligark) sehingga yang disuarakan oleh wakil rakyat ataupun pemerintah bukanlah kepentingan rakyat namun kepentingan elit atau oligark pemilik modal. Hal yang sama juga dapat dilihat pada pandangan kedua yang memahami bahwa proses legislasi ditentukan dan dipengaruhi oleh elit yang memiliki jaringan modal. Pandangan ini mengabaikan koneksitas/keterkaitan yang dapat terbangun antara masyarakat dalam negeri dengan masyarakat internasional melalui ide-ide yang diadopsi dari mereka. Dengan demikian dalam upaya memahami proses legislasi di Indonesia pasca 1999 studi politik
kontemporer
di
Indonesia
mengabaikan
bekerjanya
kepentingan
lembaga
internasional. Padahal terdapat banyak bukti yang menunjukkan proses legislasi pembentukan Undang-undang tertentu merupakan kepentingan dari lembaga internasional. Proses pembentukan undang-undang di Indonesia pasca 1999 yang melibatkan kepentingan lembaga internasional, tentu saja melahirkan pertanyaan bagaimana „kepentingan‟ lembaga internasional ini beroperasi dalam proses legislasi di Indonesia. Adanya realitas kepentingan lembaga internasional beroperasi dalam proses legislasi di Indonesia dan ditengarai masih terus berjalan hingga hari ini tentu saja menimbulkan pertanyaan lanjutan tentang mengapa kepentingan yang dilakukan lembaga internasional dalam proses legislasi ini tidak dapat dideteksi oleh aktor formal pembentuk undang-undang? Mengapa pembentuk kebijakan maupun masyarakat Indonesia yang terlibat dalam proses pembentukan undang-undang mau-maunya diperdaya oleh lembaga internasional? Apakah sebegitu lemahnya pembentuk kebijakan di negeri ini? Untuk menelaah secara seksama akan permasalahan yang ada studi ini membatasi diri pada
telaah
serangkaian
kasus
pembentukan
undang-undang
yang
menunjukkan
penyembunyian kepentingan lembaga internasional dibalik kelancaran proses legislasi di Indonesia.
B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah penelitian dalam disertasi ini adalah: “Bagaimana kepentingan bekerja dalam menentukan kelancaran proses legislasi. Secara lebih rinci pertanyaan operasional dari penelitian ini antara lain:
Dalam hal apa kepentingan menjadi penentu kelancaran proses legislasi?
Seberapa penting ide menentukan kelancaran dalam proses legislasi?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah maka tujuan penelitian dari studi ini adalah untuk memahami dinamika proses pembentukan kebijakan di Indonesia pasca 1999. Studi ini berusaha mengetahui bagaimana lembaga internasional menyembunyikan kepentingan melalui ide yang kemudian disebarkan kepada para aktor pembentuk Undangundang dan bagaimana aktor formal pembentuk Undang-undang menyikapi ide yang ada dan apa yang terjadi dalam pembahasan sebuah Rancangan Undang-undang ketika membahas sebuah ide. Studi ini juga akan menunjukkan pola penyamaran kepentingan yang dilakukan dan bagaimana dalam era demokrasi proses pembentukan Undang-undang di Indonesia pada hakikatnya tidak dibajak oleh elit politik, tidak ditentukan oleh masyarakat sebagaimana yang dibayangkan banyak pengamat namun telah dibajak oleh lembaga internasional.
D. Arti Penting Studi Studi ini juga menunjukkan satu pandangan baru dalam memahami proses legislasi di Indonesia pasca tahun 1999. Selama ini terdapat 2 (dua) pandangan utama yang lazim digunakan dalam memahami proses legislasi di Indonesia pasca tahun 1999. Pandangan pertama, memahami proses legislasi di Indonesia pasca tahun 1999 didominasi oleh elit politik. Pandangan ini misalnya dikemukakan oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz5 yang menyatakan berbagai kelompok yang menikmati rente ekonomi dan kuasa atas sumberdaya ekonomi pada masa Orde baru dengan cepat mengkonsolidasikan diri, melakukan adaptasi dan “membajak” posisi penting di pemerintahan dan memproduksi kebijakan yang merupakan hasil tukar guling kepentingan (corrupt exchanges) antarpolitisi dan kelompok kepentingan. Pemahaman ini senada dengan pandangan yang dikeluarkan oleh Olle Tornquist6
yang menyatakan
bahwa
dalam
proses
legislasi
sesungguhnya
yang
mempengaruhi dan menentukan adalah elit politik dan bukan kekuatan kelompok masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang pasca tahun 1999 di Indonesia. Adapun pandangan yang kedua, adalah pandangan yang memahami bahwa seiring dengan proses demokratisasi di Indonesia, maka dalam proses legislasi di Indonesia pasca 1999 terdapat partisipasi kelompok kepentingan dalam proses legislasi di Indonesia7. 5
Richard Robison and Vedi R. Hadiz. (2004). Op.Cit., hal. 187-222. Tornquist, Olle. (2007). Has democracy stalled in Indonesia., hal. 27-32. 7 Pratikno and Cornelis Lay. (2013). Op.Cit., hal 254–276. 6
Studi ini tidak berada dalam posisi 2 (dua) pandangan yang telah lebih dulu ada tersebut, namun studi ini menyatakan bahwa yang berpengaruh dan menentukan dalam proses legislasi di Indonesia pasca tahun 1999 adalah lembaga internasional yang bekerja melalui penyembunyian/penyamaran kepentingan melalui ide -yang berbentuk masalah dan solusiyang disebarkan dan dikembangkan kepada berbagai aktor yang berpartisipasi dalam proses legislasi sehingga ide tersebut diterima dan mempengaruhi melancarkan legislasi di Indonesia pasca 1999.
E. Kerangka Teori Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, sub bab ini akan menguraikan kerangka kajian yang akan menjawab pertanyaan bagaimana kepentingan bekerja dalam menentukan kelancaran proses legislasi di Indonesia. Kerangka kajian akan dimulai dengan menunjukkan bagaimana demokrasi yang terjadi di Indonesi pasca 1999 telah membua ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses legislasi sekaligus menyatakan bahwa dalam arena yang terbuka ini proses legislasi rentan untuk dibajak siapa saja. Selanjutnya kerangka kajian akan menunjukkan bagaimana dalam arena yang terbuka proses legislasi dapat dibajak dengan mengedepankan ide/gagasan yang dilakukan oleh lembaga internasional. Selengkapnya kerangka kajian yang mengkerangkai penelitian dalam studi ini diuraikan sebagai berikut:
1. Demokrasi: Membuka Arena Politik Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1999 telah membawa Indonesia memasuki era demokratisasi. Dalam era ini terdapat kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat, berorganisasi/serikat dan melaksanakan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, yang memungkinkan bagi masyarakat Indonesia untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan. Dalam era ini, media massa juga lebih kritis dan bebas untuk mempublikasikan atau menyampaikan pesan apa saja yang terkait dengan proses pemerintahan8. Terdapat beberapa studi yang menyoroti mengenai era demokratisasi pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1999 ini. Beberapa studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia menjadi lebih stabil daripada di masa awal reformasi9. Studi yang lain
8
Pratikno, Nang Indra Kurniawan. (2010). Struggle to Gain Representation: Mixed Politics in Democratising Indonesia, PCD Journal Vo. II, No. 1., hal. 119-120. 9 Douglas, Webber. (2006). „A consolidated patrimonial democracy? Democratizationinpost-Suharto Indonesia‟, Democratization, Vol. 13, Issue 3, June., hal. 18-21.
menunjukkan pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1999 telah memberikan ruang bagi kelompok masyarakat untuk berkembang. Kelompok masyarakat menjadi lebih aktif dan dinamik dalam menyampaikan aspirasi mereka antara lain dalam membongkar skandal korupsi, meneliti anggaran pemerintah dan mengadvokasi kebijakan yang dibutuhkan masyarakat10. Meskipun studi terhadap kelompok masyarakat marak dilakukan pasca jatuhnya Soeharto pasca 1999, studi dalam memahami peranan dan dinamika Negara juga telah berkembang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Negara telah berubah dari semula merupakan aktor yang tertutup, telah menjadi aktor yang lebih terbuka dalam arena politik, dimana setiap aktor dapat bersaing untuk mendapatkan kendali atas hal ini. Sebagai konsekuensinya terjadi pengaburan batas antara negara, kelompok masyarakat, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Adanya beragam studi dalam memahami bagaimana proses demokratisasi terjadi di Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menunjukkan beragamnya perspektif yang dapat digunakan dalam memaknai era demokratisasi di Indonesia. Setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang dapat dicermati dari era demokratisasi di Indonesia, pertama, demokrasi membuka arena bagi kontestasi dan kedua, demokrasi membuka ruang bagi terjadinya pembajakan demokrasi.
a. Demokrasi membuka Arena bagi Kontestasi Pada masa rezim Orde Baru, studi politik tentang Indonesia lebih didominasi oleh pandangan kuatnya pemerintahan pusat. Salah satu julukan paling populer bagi rezim Orde Baru adalah bureaucratic polity yang dikembangkan oleh Karl Jackson11 yang memahami terdapat sekelompok grup terbatas dari pejabat birokrasi senior, teknokrat dan pejabat militer yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang otoritatif, sehingga sebuah kebijakan lebih merupakan refleksi kepentingan dan nilai dari grup ini. Julukan lainnya diberikan oleh Mochtar Mas‟oed12, yang memahami pembuatan kebijakan lebih didominasi oleh birokrasi dan teknokrat untuk menghindari proses tawar menawar yang lama diantara kelompok kepentingan. Pemahaman yang dikembangkan Karl Jackson maupun Mochtar Mas‟oed
10
Aspinal, Edward and Marcus Mietzner (eds.). (2010). Problems of Democratization in Indonesia: Ellections, Institutions and Society, Singapore: ISEAS., hal. 1-20. 11 Jackson, Karl D. (1978).„Bureaucratic Polity. A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia, ini Karl D. Jackson and Lucian Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, University of California Press. 12 Masoed, Mohtar. (1989). Ekonomi dan struktur politik Orde Baru 1966 – 1971, Jakarta, LP3ES.
sesungguhnya menyediakan gambar tentang bagaimana ilmuwan politik menekankan peranan negara di dalam Politik Indonesia. Namun tidak semua pandangan menekankan peranana Negara dalam politik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena menguatnya gerakan sosial pada pertengahan tahun 1990-an yang mempengaruhi pandangan ilmuwan politik Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan oleh A.S.Hikam13 maupun Arief Budiman14. Puncak perhatian pada masyarakat, khususnya masyarakat politik dan masyarakat sipil, terjadi pada tahapan awal demokratisasi setelah 1999. Jatuhnya Soeharto menyebabkan masyarakat politik dan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih signifikan di politik. Negara dapat diakses –atau diperebutkan- oleh beragam aktor. Dan sebagai dampaknya, perhatian dalam studi politik Indonesia pasca 1999 lebih diarahkan kepada masyarakat. Demokratisasi yang terjadi di Indonesia pasca 1999 telah membuka ruang bagi kelompok masyarakat yang ada di luar Negara untuk mempengaruhi dan menentukan proses legislasi di Indonesia. Proses legislasi dengan demikian dipahami dipengaruhi oleh kalangan di luar elit pemerintahan dan tidak hanya dipengaruhi oleh kepentingan pejabat tinggi pemerintah15. Dalam proses legislasi, pendefinisian masalah dan penetapan agenda kebijakan pada dasarnya adalah hasil dari proses kompetisi antarkelompok yang berbeda. Kekuatan untuk mempengaruhi pasang surutnya suatu isu atau keluar-masuknya isu pada agenda kebijakan dianggap lebih tersebar ketimbang terkonsentrasi. Dengan demikian pembuatan kebijakan merupakan sesuatu yang terbuka bagi kebebasan berbicara dan debat publik. Di dalam suatu masyarakat bebas (free society), dapat dikatakan bahwa semua pihak bisa memengaruhi agenda kebijakan16. Pendekatan ini yakin bahwa dalam proses legislasi banyak kalangan yang memiliki pengaruh atas kebijakan. Mereka terdiri dari media massa, cendekiawan, produsen dan konsumen, pejabat daerah dan anggota lembaga legislatif secara perorangan. Dalam bentuk klasik, pluralis berpendapat bahwa kekuasaan tersebar di seluruh masyarakat. Tidak ada satu kelompok yang memegang kekuasaan mutlak dan negara memutuskan diantara kepentingankepentingan yang bersaing dalam perkembangan kebijakan. Peranan pemerintah menurut model pluralis ialah sebagai arena persaingan dan kompromi di antara berbagai organisasi dan kelompok kepentingan, sebagai pihak yang merumuskan dan mengawasi aturan 13
Hikam, Muhammad AS. (1996). Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta. Budiman, Arief, (ed.). (1990). State and Civil Society in Indonesia, Melbourne: Monash University. 15 Pratikno, Nanang Indra Kurniawan. (2010). Op. Cit. Hal 121-123. 16 Wayne Parsons (2008). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, halaman 127-128. 14
permainan agar persaingan tidak merusak kesatuan masyarakat, dan sebagai pihak yang mengesahkan hasil kompromi berbagai kelompok yang bersaing menjadi keputusan politik17. Diantara berbagai kelompok dan kekuatan sosial, terdapat suatu kesadaran akan pentingnya persaingan yang sehat dan kompromi sehingga kepentingan mereka akan tetap terjamin. Di samping itu, mereka juga sepakat pemerintah perlu memiliki kewenangan yang cukup, tidak hanya untuk mengatur dan menegakkan aturan permainan bagi persaingan dan kompromi. Hal lain yang perlu dikemukakan, keseimbangan kekuatan tidak hanya terwujud di antara berbagai kelompok dan kekuatan sosial dalam masyarakat, tetapi juga di antara lembaga-lembaga pemerintahan, seperti badan-badan perwakilan rakyat, eksekutif dan birokrasi dan badan peradilan18.
b. Demokrasi: Terbukanya ruang bagi para Pembajak. Demokrasi di Indonesia pasca 1999 yang ditandai oleh liberalisasi politik selain membuka arena bagi kontestasi kepentingan masyarakat, dalam proses legislasi, sampai pada keadaan tertentu, menciptakan masalah mengenai akses dalam pengambilan kebijakan. Alihalih menciptakan proses kebijakan yang lebih demokratik, demokrasi malahan menyediakan sebuah arena/ruang bagi dibajaknya demokrasi dalam proses legislasi. Terdapat setidaknya 2 (dua) cara dibajaknya demokrasi yang telah diidentifikasi oleh ilmuwan politik, yakni yang pertama adalah demokrasi dibajak oleh elit politik dan kedua demokrasi dibajak oleh aktor informal.
b.1. Demokrasi dibajak oleh Elit Politik Liberalisasi politik yang terjadi di Indonesia pasca 1999, dalam keadaan tertentu telah menciptakan masalah bagi demokrasi Indonesia. Selain menciptakan proses politik yang lebih representatif, liberalisasi politik juga telah memberikan kesempatan bagi elit lama dan elit baru untuk menangkap prosedural dan intitusi baru. Hal ini kemudian memungkinkan mereka untuk mengelola kekuasaan mereka dan memberikan pengaruh besar dalam bidang ekonomi dan politik. Di tingkat nasional ataupun lokal, elit lama dan oligarks memasuki
17 18
Ibid., hal. 127-128. Ibid., hal 127-128.
seluruh jalan yang memungkinkan dalam mengelola keterlibatan mereka dalam proses politik19. Hal ini disebabkan karena jatuhnya penguasa Orde Baru tidak serta merta diiringi oleh kehancuran basis politik pemerintahan Soeharto. Malahan sejumlah sekutu lama Soeharto berhasil mengamankan berbagai posisi strategis dalam pemerintahan baru, sementara rekanan-rekanan bisnis Soeharto masih menjadi faktor menentukan dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia20. Mereka kemudian berhasil melakukan reorganisasi kekuasaan yang oligarkis sehingga dalam level nasional, proses politik didominasi oleh elit lama dan baru. Setelah menjadi pilar dari pemerintahan yang baru, birokrasi, pegawai militer dan politician telah diorganisir kembali politik mereka dan kekuasaan ekonomi mereka dalam sistem yang baru21. Studi teranyar, telah menunjukkan bahwa walaupun demokrasi telah menyediakan prosedur baru dan mekanisme baru untuk mendapatkan kekuasaan, grup yang terpinggirkan (marginal group) tidak mungkin untuk mengakses negara baru yang lebih terbuka. Sebuah negara demokrasi yang masih didominasi oleh elit yang oligarchy, yang mencegah potensi dari aktor politik lain untuk mengembangkan representasi politik mereka22. Teori lain yang senada dalam melihat proses kebijakan di Indonesia datang dari pemahaman yang dikemukakan oleh Olle Tornquist23. Olle berargumen berdasarkan survei yang dilakukannya sejak tahun 2003 hingga tahun 2004 dan sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi prosedural di Indonesia telah dibajak oleh para elit lama dan baru yang terutama memiliki akses pada modal ekonomi (uang), kekuasaan dan koneksi. Lebih lanjut Olle menyatakan bahwa partai-partai diparlemen disetir dan didominasi oleh kekuatan oligarkhi dan pemimpin dengan banyak modal simbolik dan koneksi khusus.
b.2. Demokrasi dibajak oleh aktor informal Pemahaman yang berbeda akan demokrasi lahir dari teori Shadow State yang memahami bahwa dalam proses legislasi akan lebih didominasi oleh bekerjanya aktor informal yang keterlibatannya mungkin kasat mata sehingga negara tidak sepenuhnya otonom dalam 19
Robison, Richard and Vedi Hadiz. (2004). Op.Cit., hal. 223 -252. Hariej, Eric. (2005). Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru, IRE, Yogyakarta. 21 Samadhi, Willy Purna and Nicolaas Warouw (eds.). (2009) Building democracy on the sand: advances and setbacks in Indonesia, Jakarta and Yogyakarta: Demos and PCD Press. 22 Pratikno. (2009). “Political parties in pilkada. Some problems for democratic consolidation, „In Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia. Direct Elections for Local Leader (Pilkada), Singapore: ISEAS, hal. 53-73. 23 Tornquist, Olle. (2007). Op.Cit., hal. 27-32. 20
mengelola berbagai kebijakannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh William Reno24 dan Barbara Harriss White25 dalam teori mereka yang mereka sebut teori shadow state dan informal economy. “Negara bayangan” (shadow state), atau lebih konkretnya “pemerintah bayangan” menurut Reno, biasanya akan hadir, tumbuh, dan berkembang tatkala terjadi pelapukan pada institusi pemerintah formal. Pelapukan ini terjadi karena elit penyelenggara pemerintah formal tidak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Akibatnya pemerintah formal lebih banyak dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintahan itu sendiri. Otoritas informal dapat mengendalikan pemerintah formal karena adanya “investasi politik” yang diberikan kepada pemerintah formal26. Penjelasan yang sama juga berlaku bagi praktik “ekonomi informal” (informal economy) yang oleh Barbara Harris White didefinisikan sebagai bentuk transaksi ekonomi di luar institusi formal. Barbara Harris White menyatakan manipulasi kebijakan publik dapat dilakukan untuk kepentingan pengusaha melalui transaksi “bawah tangan” antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah dan pemaksaan swastanisasi aset-aset negara. Hal ini dapat dilakukan karena pengusaha juga telah menjadi donatur bagi si pejabat pemerintah formal dalam mendapatkan kursi kekuasaannya dan arena bagi pemerintah formal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek (seeking short term economic benefit)27.
2. Mekanisme Berkontestasi Dalam Demokrasi. Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat berkontestasi dalam arena yang terbuka karena demokrasi. Tidak hanya itu, akan ditunjukkan juga bagaimana ide dapat digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan dalam proses legislasi di Indonesia pasca 1999.
a. Demokrasi membuka ruang bagi Kepentingan. Di dunia demokrasi, proses legislasi dipahami dilakukan oleh wakil rakyat yang terpilih dalam pemilihan umum. Ini berarti demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi secara efektif dan melakukan kontrol terhadap agenda Pemerintah. Terbuka 24
Reno, William.(1998). Warlord Politics and African State, Lynne Rienner Publishers, United Kingdon. White, Barbara Harris. (2003). India Working: Essays on Society and Economy, Cambridge University Press. 26 Reno, William.(1998). Op.Cit., hal. 217-228. 27 White, Barbara Harris. (2003). Op.Cit., hal. 4. 25
ruang bagi kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat dapat secara aktif mengidentifikasi masalah sendiri, menentukan agenda yang mereka inginkan dan mengawasi jalannya agenda tersebut28. Dari pemahaman ini, maka keberadaan lembaga perwakilan (legislatif) merupakan komponen yang sangat penting dalam dunia demokrasi. Namun disamping itu elemen demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan yakni kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, civitas akademika, pers maupun partai politik yang dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak kalah pentingnya. Kekuatan-kekuatan politik ini merupakan kekuatan infra struktur politik yang sangat diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi partisipatoris29. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam dunia demokrasi terbuka ruang bagi kepentingan untuk disuarakan kelompok masyarakat melalui lembaga legislatif yang anggotanya merupakan wakil masyarakat yang dipilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Kepentingan ini disuarakan secara independen oleh kelompok masyarakat, mereka ikut mengawal, ikut menentukan agenda dan ikut mengawasi jalannya agenda mereka. Dalam proses ini, kegagalan bagi wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat akan berakibat tidak terpilihnya wakil rakyat sebagai anggota legislatif sebagai hukuman dari masyarakat karena tidak tersalurkannya apa yang menjadi kepentingan masyarakat.
b. Ide sebagai mekanisme memperjuangkan Kepentingan. Setelah memahami bahwa dalam demokrasi terbuka ruang bagi perjuangan kepentingan, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai bagaimana perjuangan kepentingan itu dilakukan. Dalam pemahaman penulis, perjuangan kepentingan dapat dilakukan melalui ide. Apa itu Ide? Beberapa ahli telah menghabiskan waktu dan tenaga dalam upaya mendefinisikan dan mengkategorisasikan ide bersama dengan dimensi yang beragam. Para ahli menunjukkan bahwa ide secara empirik dapat diklaim sebagai asumsi normatif; ide dapat menjadi yang terdepan dalam perdebatan atau sesuatu di belakang pikiran; ide dapat di encompassing (seperti ideologi) atau sangat sepesifik (seperti posisi kebijakan).
28
Dahl, Robert A. (2001). terjemah A Rahman Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 157. 29 Craig, Gary, and Marjorie Mayo, (ed.). (1995). Community Empowerment A Reader in Participation and Development, London & New Jersy: Zed Books Ltd.
Tetapi apa arti ide? Menurut Emmerij, Beland dan Cox, Ide merupakan “causal kepercayaan yang dilakukan individu atau diadopsi oleh institusi yang mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka30. Sementara menurut Adler Ide berperan penting sebab “ia menunjukkan kepada pelaku (di arena publik)…tujuan mereka yang semestinya, mengapa tujuan ini lebih penting ketimbang tujuan lainnya, bagaimana ia dicapai, serta siapa yang menjadi kawan dan lawan dalam proses pencapaiannya”31. Sebuah pendekatan yang lebih potensial untuk mendefinisikan ide disediakan oleh Mehta yang menggunakan konsepsi Kingdon dengan menyatakan bahwa ide dapat mengambil bentuk definisi masalah dan solusi kebijakan32. Ide menjadi definisi masalah karena sebagian besar dari argumentasi politik dalam proses legislasi adalah pertukaran pemahaman definisi masalah. “Cara masalah dibingkai (framed) memiliki implikasi yang signifikan bagi jenis solusi kebijakan diambil…” Sekali definisi masalah tertentu mendominasi, masalah ini mengeluarkan solusi kebijakan yang konsisten dengan masalah tersebut. Sementara Ide mengambil bentuk solusi kebijakan ketika merupakan proposisi dari kompleksitas yang diajukan oleh institusi grup dan individu yang berbeda. Solusi kebijakan ini disediakan oleh grup atau institusi tertentu dengan perhatian terbatas pada detail masalah kebijakan dan mendapatkan dukungan politik dan tersedia secara administratif. Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Ide sebagai pengidentifikasian Masalah Bersama. Kecepatan proses legislasi sangat ditentukan oleh seberapa cepat pengidentifikasian masalah/materi muatan dalam rancangan undang-undang diakui sebagai masalah bersama oleh aktor pembentuk undang-undang atau seberapa cepat terciptanya kesesuaian cara pandang aktor pembentuk kebijakan terhadap sebuah masalah/isu/materi muatan sebuah rancangan undang-undang. Proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang tentu saja harus dipahami sebagai sebuah proses legislasi dimana terdapat sebuah keinginan untuk menguraikan masalah yang ada dalam masyarakat dengan pembentukan sebuah undang-undang. Yang harus dipahami adalah terdapat sejumlah masalah yang berbeda-beda yang berujung ada sekian banyak rumusan masalah yang tidak selalu kongruen satu sama lain diantara aktor kebijakan. 30
Emmerij, Louis, Richard Jolly, and Thomas G. Weiss. (2005). “Economic and Social Thinking at the UN in Historical perspective. “Development and Change vol 36., hal. 211-235. 31 Mehta, Jal. (2011). “The Varied Role of Ideas in Politics: From „Whether to How.” In Ideas and Politics in Social Science Research, by Daniel Beland and Robert Henry Cox, New York: Oxford University Press, USA., hal 23-46. 32 Mehta, Jal. (2011). Ibid., hal 23-46.
Ujungnya, pendefinisian masalah yang muncul dalam pembahasan sebuah rancangan undangundang, bisa jadi menguntungkan bagi satu pihak, tetapi menjadi ancaman bagi pihak lain33. Tentu saja tidak mudah bagi satu pihak untuk mengakui dan menerima bahwa satu “masalah” merupakan “masalah” dalam sebuah rancangan undang-undang yang diajukan. Seringkali terjadi sebuah rancangan undang-undang tidak dimengerti isinya oleh para pembuat kebijakan karena definisi masalah yang kabur dan secara konstan terus berubah dan karena masing-masing aktor pembuat kebijakan membawa sendiri “definisi masalah” pada sebuah isu tertentu yang dimuat dalam sebuah rancangan undang-undang. Oleh karena itu proses “diakuinya sebuah masalah sebagai masalah” merupakan proses untuk membuat sebuah masalah menjadi jelas bagi para pembuat kebijakan karena adanya definisi masalah pada isu tertentu diantara masing-masing aktor pembentuk kebijakan34. Dalam tahap inilah pihak yang berkepentingan baik itu kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, kaum profesional, pers, civitas akademika maupun lembaga internasional dapat menyamarkan kepentingan mereka dengan cara sedari awal mengarahkan masalah apa yang sedang terjadi. Dengan cara mengarahkan masalah ini maka akan mempercepat proses legislasi ketika masalah tersebut diakui oleh aktor formal pembentuk undang-undang (DPR RI dan Pemerintah). Masalah dapat diakui sebagai "masalah" oleh pemerintah ataupun DPR RI menurut John W. Kingdon35: “Mengapa beberapa masalah menyita perhatian para pejabat pemerintah lebih dari masalah yang lain? Jawabannya terletak baik pada alat yang digunakan para pejabat ini untuk mempelajari kondisi dan cara dimana kondisi-kondisi menjadi didefinisikan sebagai masalah. Sebagai alat, membahas ukuran, fokusperhatian dan umpan balik (feed back). Kemudian orang-orang di dalam dan sekitar pemerintah mengartikan kondisi sebagai masalah melalui beberapa cara.
Yang dimaksud alat yang digunakan untuk mempelajari masalah dijelaskan oleh Kingdon, meliputi, pertama ukuran digunakan untuk menilai pentingnya kondisi itu (misal kejadian penyakit atau biaya suatu program), dan melihat perubahan pada suatu kondisi. Kedua, peristiwa yang memfokus (seperti bencana, krisis, pengalaman pribadi atau simbol yang kuat) pada kondisi tertentu, sehingga menarik perhatian lebih dari yang lain. Ketiga, pejabat mengetahui kondisi melalui umpan balik mengenai pelaksanaan program yang ada, entah formal (misalnya monitoring biaya rutin atau studi evaluasi program) atau informal (misalnya keluhan yang mengalir ke kantor Kongres)36. 33
Putra, Fadilah. (2005). Kebijakan Tidak Untuk Publik, Resist Book, Yogyakarta., hal. 57 - 72. Winarno, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Pressindo, hal. 44-46. 35 Kingdon, John W. (1997). Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins Publishers, hal 90-115. 36 Ibid., hal.94. 34
Dengan demikian pihak yang berkepentingan akan mengarahkan masalah untuk diagendakan penyelesaiannya. Jika suatu masalah menjadi sorotan publik dan mencapai titik kritis, maka pemerintah akan memperioritaskannya untuk menyusun agendanya. Dalam hal ini semakin cepat pengidentifikasian masalah berhasil dilakukan dalam sebuah pembahasan rancangan undang-undang oleh aktor formal pembentuk undang-undang (DPR RI dan Pemerintah) atau seberapa cepat terciptanya kesesuaian cara pandang aktor formal pembentuk Undang-undang terhadap sebuah masalah yang ada dalam materi muatan sebuah Rancangan Undang-undang akan menentukan kelancaran Proses Legislasi.
b. Ide sebagai atas Solusi atas masalah yang ada. Kecepatan penyelesaian legislasi baik RUU yang diinisiasi oleh Pemerintah maupun RUU yang diinisiasi oleh DPR RI sangat tergantung pada seberapa cepat para aktor yang berpartisipasi dalam proses pembentukan Undang-undang -Pemerintah, Fraksi-fraksi yang ada di DPR RI maupun kelompok kepentingan- mencapai konsensus (kesepakatan bersama) atas solusi yang ditawarkan dalam Rancangan Undang-undang yang diajukan. Apabila tidak tercapai konsensus terhadap solusi yang ditawarkan melalui sebuah Rancangan Undangundang, maka terjadi kelambatan legislasi. Kelambatan legislasi ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan diantara para aktor yang berpartisipasi dalam proses pembentukan Undang-undang terhadap solusi yang ditawarkan. Tidak mudah bagi satu pihak untuk mengakui dan menerima sebuah solusi dalam sebuah Rancangan Undang-undang yang diajukan. Karena seringkali solusi yang ada merupakan solusi bagi pihak tertentu namun merupakan ancaman bagi pihak lain. Oleh karena itu pengakuan terhadap solusi bersama merupakan hal yang sangat penting bagi para aktor yang berpartisipasi dalam proses legislasi. Dalam tahap inilah pihak yang berkepentingan baik itu kelompok kepentingan, organisasi massa, kaum profesional, maupun lembaga internasional dapat menyamarkan kepentingan mereka dengan cara sedari awal mengarahkan "alternatif solusi terbaik". Para aktor yang berkepentingan mengarahkan solusi melalui komunitas kebijakan seperti kalangan akademisi, peneliti, konsultan dan analis kebijakan. Hal ini disebabkan karena solusi yang disiapkan oleh komunitas kebijakan akan menjadi mudah diterima karena solusi yang disiapkan memang lahir dari para spesialis pada area kebijakan seperti kesehatan, perlindungan lingkungan, penegakan hukum dan lain-lain. Mereka memiliki perhatian pada satu area dari masalah kebijakan dan memiliki kebiasaan dalam interaksi diantara mereka. Orang-orang dari
komunitas kesehatan misalnya tahu solusi satu sama lain, proposal dan penelitian dan seringkali saling mengenal dengan sangat baik37. Solusi ini yang secara terus menerus dikembangkan oleh pihak yang berkepentingan. Mereka menyusun agenda melalui sebuah tawaran solusi yang dituangkan dalam bentuk usulan untuk mengatasi suatu masalah. Solusi ini diperdebatkan (persuasif) dan jika ada perubahan, solusi tersebut ditulis ulang (evaluasi) dan pada akhirnya diterima untuk diadopsi. Kingdon mengkonseptualisasikan solusi dengan istilah "sup purba" dimana beragam solusi mengambang, saling bertemu dan bergabung. Sup berubah dalam proses seleksi, survival, penghancuran dan rekomendasi. Dalam aliran sup ini beberapa solusi naik ke puncak agenda dan solusi lainnya tenggelam ke dasar38. Adanya kesepakatan terhadap solusi yang diberikan, kemudian membantu aktor formal pembentuk undang-undang (DPR RI dan Pemerintah) untuk menentukan apa yang seharusnya disepakati. Pemberian solusi ini menjadi “blue prints” atau menjadi “road map” dalam proses legislasi. Pada akhirnya, penerimaan solusi ini dapat membentuk aktor formal pembentuk undang-undang tentang apa yang seharusnya, dan solusi apa yang seharusnya diambil dalam sebuah proses legislasi.
3. Bekerjanya Ide Dibalik Kelancaran Legislasi: Penyamaran Kepentingan Melalui Transformasi Ide. Setelah memahami bagaimana ide dapat digunakan oleh kepentingan dalam proses legislasi, dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana ide bekerja dalam menembus kemandegan legislasi di Indonesia. Hal pertama yang perlu dipahami adalah proses Legislasi merupakan proses politik39 dimana terjadi kontestasi kepentingan antara berbagai kelompok kepentingan: organisasi masyarakat, civitas akademika, kaum professional, media massa maupun lembaga internasional yang ikut berpartisipasi dalam proses legislasi dengan aktor formal pembentuk undang-undang (DPR – Pemerintah). Dalam proses legislasi ini, kelompok kepentingan antara lain lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, kaum profesional, pers, civitas akademika maupun lembaga internasional yang berkepentingan terhadap suatu kebijakan tertentu secara aktif berpartisipasi dalam proses legislasi dengan ikut menyodorkan ide -
37
Ibid., hal 116. Ibid.,hal 131. 39 Sabatier, Paul A. (Edited). (2007). Theories of The Policy Process, Westview Press, United States of America. , hal 3 – 10. 38
identifikasi masalah dan alternatif solusi- yang mereka miliki40. Ide ini dituangkan dalam sebuah naskah kajian, naskah akademik maupun draft Rancangan Undang-undang yang menjadi kepentingan mereka. Partisipasi kelompok kepentingan terjadi dalam medan administrasi yang meliputi perencanaan pembentukan Undang-undang (Prolegnas), penyusunan Rancangan Undangundang dan pembahasan Rancangan Undang-undang41. Sejak dalam fase perencanaan pembentukan Undang-undang, naskah kajian, naskah akademik ataupun draft Rancangan undang-undang yang berisi ide -identifikasi masalah dan solusi kebijakan- telah berseliweran. Ini berarti solusi atas sebuah kebijakan yang akan dibuat melalui sebuah Undang-undang telah sedari awal disediakan dan diperjuangkan oleh pihak yang berkepentingan baik itu oleh kelompok kepentingan: lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, kaum profesional, pers, civitas akademika maupun lembaga internasional sejak dalam perencanaan pembentukan undang-undang (Prolegnas)42. Perjuangan kepentingan ini berlangsung secara terus menerus hingga fase penyusunan Rancangan-Undang-undang dan pembahasan Rancangan Undang-undang. Dalam fase ini, perjuangan kepentingan yang dilakukan kelompok kepentingan semakin intensif dengan pola yang sama seperti saat dalam penyusunan RUU yaitu melalui penyebarluasan ide mereka namun dilakukan dengan skala yang lebih besar dan lebih luas43. Hal ini dilakukan agar aktor formal pembentuk undang-undang (DPR RI dan Pemerintah) dapat menyetujui RUU yang menjadi kepentingan mereka. Dengan demikian semenjak dalam tahap perencanaan pembentukan undang-undang (Prolegnas), kepentingan berbagai pihak telah diperjuangkan, yang kemudian semakin menguat dalam tahap penyusunan RUU baik penyusunan RUU di DPR RI maupun penyusunan RUU di Pemerintah dan mencapai puncaknya dalam tahap pembahasan RUU44. 40
Kusumanegara, Solahuddin. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Gava Media, Jakarta, hal. 53-59. 41 Dikerangkai berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi nasional, Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. 42 Dapat dilihat dari serangkaian dokumen Naskah Akademik yang disampaikan kelompok kepentingan kepada Sekretariat Badan Legislasi DPR RI, dalam penyusunan Program Legislasi Nasional 2009-2014, dokumen tidak dipublikasikan, 2009. 43 Lihat dalam berbagai perjuangan kelompok kepentingan yang dilakukan secara formal dengan menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dimasing-masing Komisi DPR RI (Komisi I s.d. Komisi XI) atau Badan Legislasi DPR RI, dan secara informal melalui pembentukan opini di media massa. 44 Sherlock, Stephen. (2005). Proses Legislatif di Parlemen Indonesia (DPR): Isu, Permasalahan dan Rekomendasi, Jakarta.
Hal lain yang perlu segera diketengahkan adalah perjuangan kepentingan melalui ide tidak lagi dibatasi oleh satu wilayah teritorial. Dalam konteks globalisasi dan neoliberal di Indonesia, aktor internasional yang berbentuk organisasi internasional, lembaga donor asing, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional dapat ikut memperjuangkan kepentingan mereka melalui transformasi berbagai ide mereka ke dalam proses legislasi di Indonesia45. Berangkat dari pemahaman bahwa legislasi adalah proses politik (melibatkan relasi), adalah wajar kalau proses legislasi mengalami kemacetan. Dari kacamata politik, kemandegan ini melibatkan benturan kepentingan. Yang menjadi perhatian di sini bukanlah mengapa ada benturan kepentingan, namun bagaimana benturan kepentingan ini diterobos dan di urai sehingga legislasi bisa berjalan lebih lanjut. Secara lebih spesifik perhatian disini adalah bagaimana benturan kepentingan yang melibatkan lembaga internasional dapat diuraikan sehingga terjadi kelancaran legislasi. Dalam proses legislasi terdapat sekian banyak aktor domestik yang ikut berpartisipasi dalam menentukan sebuah kebijakan yang akan diputuskan dari sebuah Rancangan Undangundang yang sedang dibahas46. Dalam Rancangan Undang-undang tersebut terdapat serangkaian masalah yang diperdebatkan dan juga sekaligus terdapat solusi yang dibicarakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu saja dalam proses pembahasan tersebut terjadi kontestasi diantara aktor-aktor domestik yang terlibat dalam proses legislasi tersebut. Masing-masing pihak memiliki agendanya sendiri, memiliki kepentingannya sendiri yang menyebabkan cara pandang mereka terhadap sebuah masalah dan solusi yang ditawarkan dalam sebuah Rancangan Undang-undang berbeda-beda47. Kepentingan salah satu pihak bisa saja tidak menjadi hal yang penting bagi pihak yang lain. Sementara tidak ada ukuran tunggal yang dipakai semua orang untuk menentukan secara absolut bahwa kepentingan tertentu lebih layak dijadikan prioritas daripada kepentingan yang lain48. Dalam situasi seperti ini, identifikasi masalah dan ketersediaan alternatif solusi bagi penyelesaian masalah tersebut menjadi penting, karena pihak yang berkepentingan dapat merumuskan kepentingannya dengan "menyodorkan" identifikasi masalah dan solusi yang 45
Syamsul Hadi dkk. (2012). Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan kepentinga Asing Dalam Ekonomi Indonesia, Indonesia Berdikari., hal. 1 – 12. 46 Madani, Muhlis. (2011). Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan kebijakan Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 44-63. 47 Birkland, A. Thomas. (2007). Agenda setting in Public Policy, dalam Fischer, Frank et.al. (eds), Handbook of Public Policy: Theory, Politics, and Methods, Boca Raton: CRC Press, FL., hal. 63. 48 Stone, Deborah. 1997. Policy Paradox: the Art of Political Decision Making, New Yok: W&W Norton & Company atau dalam Purwo Santoso, Analisis Kebijakan Publik, Research Center for Politics and Government, Universitas Gadjah Mada, 2010, hal.87.
terbaik. Kelancaran dalam proses legislasi kemudian terjadi ketika masing-masing pihak yang berkepentingan memiliki cara pandang yang sama atau bersepakat terhadap identifikasi masalah dan solusi yang ditawarkan dari sebuah pembahasan Rancangan Undang-undang. Ketika ketiga hal ini menyatu yakni kepentingan, identifikasi masalah dan solusi maka kelancaran legislasi akan terjadi49. Namun bagaimana dengan situasi dalam proses legislasi terjadi kontestasi kepentingan sehingga terjadi kebuntuan atau "deadlock" diantara pihak yang berkepentingan? Dimana masing-masing pihak yang berpartisipasi dalam Proses Legislasi memiliki kepentingannya sendiri dan memaksakan kepentingannya untuk diadopsi menjadi kebijakan. Hal ini tentu saja bermasalah karena dalam proses legislasi kepentingan salah satu pihak dapat mengancam keberadaan /eksistensi pihak lain. Dalam situasi seperti ini, dimana terjadi kontestasi kepentingan diantara berbagai pihak yang berpartisipasi dalam proses legislasi maka praktek penyembunyian dan penyamaran kepentingan akan dilakukan dalam Proses Legislasi. Hal ini disebabkan karena tidak dimungkinkannya kepentingan disampaikan secara terang benderang karena akan memicu resistensi dari pihak yang dirugikan sehingga berpotensi terjadinya konflik diantara berbagai pihak yang berpartisipasi dalam proses pembahasan sebuah Rancangan Undang-undang. Praktek penyembunyian dan penyamaran kepentingan dilakukan dengan cara melakukan transformasi kepentingan menjadi ide (mengubah kepentingan menjadi ide) yang dilakukan dengan melakukan mobilisasi wacana terhadap materi berbagai masalah yang menjadi dasar mandegnya pembahasan Rancangan Undang-undang dan sekaligus juga memobilisasi wacana bagi solusi terbaik yang dapat diambil dari berbagai masalah yang menyebabkan mandegnya pembahasan Rancangan Undang-undang. Mobilisasi wacana mengenai masalah dan solusi yang terbaik kemudian disebarkan kepada kelompok kepentingan: organisasi masyarakat, civitas akademika, kaum profesional maupun kepada anggota DPR RI dan pejabat senior di Pemerintahan yang berpartisipasi dalam pembahasan sebuah Rancangan Undang-undang tertentu secara terus menerus melalui berbagai saluran yang ada baik melalui forum ekonomi maupun forum politik formal ataupun melalui media massa. Jadi melalui kesempatan ini pihak yang berkepentingan menghubungkan antara masalah dan solusi kebijakan untuk menjadi proposal agenda. Dalam kondisi semacam ini, kepentingan
yang
punya
kesempatan
untuk
mendorong
alternatif
solusi
dan
memasangkannya dengan masalah. Dan dengan dipasangkannya alternatif solusi dengan
49
Kingdon, John W. 1997. Op.Cit., hal. 184.
masalah ini maka keputusan dapat segera diambil dan pembahasan rancangan undang-undang dapat cepat diselesaikan menjadi undang-undang. Berdasarkan hal ini maka dapatlah dicermati benturan kepentingan yang terjadi diantara berbagai aktor yang berkontestasi dalam pembentukan Undang-undang dapat diuraikan dengan
melakukan
penyembunyian/penyamaran
kepentingan
dengan
cara
mentransformasikan kepentingan menjadi ide melalui identifikasi masalah dan pemberian solusi kepada aktor formal pembentuk undang-undang sehingga berdampak dalam cara pandang para aktor yang terlibat dalam proses legislasi dan mempengaruhi kelancaran proses legislasi.
Gambar 1.1. Proses Penyamaran Kepentingan
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus pembentukan Undang-undang (legislai) dengan metode kualitatif. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis50. Hasil akhir metode ini adalah deskripsi detail dari topik yang diteliti (deskriptif). Dalam metode studi kasus, penelahan berbagai sumber data membutuhkan berbagai macam instrumen (teknik) pengumpulan data mulai dari dokumentasi-dokumentasi, rekaman, 50
Kriyantono. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi, Prenada Media Grup, Jakarta.
bukti-bukti fisik, dan lain-lain. Demikian beragamnya instrumen yang digunakan, membuat studi kasus merupakan satu-satunya metode yang tidak secara tegas memisahkan wilayah Kualitatif dan Kuantitatif dalam proses pencarian informasi. Untuk tujuan deskriptif, eksploratoris maupun eksplanatoris-nya, studi kasus membutuhkan data yang sebanyakbanyaknya. Patokannya adalah kelengkapan dan komprehensivitas. Penelitian ini akan mengikuti beberapa kelaziman umum dalam melaksanakan studinya, antara lain: identifikasi kasus, serta interpretasi dan pemaparan hasil studi. Identifikasi kasus merupakan langkah awal yang perlu dilakukan oleh peneliti kasus untuk mengetahui sasaran, topik, dan rumusan masalah apa yang akan ditekuninya selama mengadakan studi. Berdasarkan kerangka pikir yang telah dilakukan, dan
luasnya lapangan penelitian
dengan beragam kasus pembentukan undang-undang maka penelitian yang dilakukan akan membatasi diri peran aktor internasional. Peneliti akan membuktikan keterlibatan aktor internasional dengan cara mengumpulkan bukti-bukti peran internasional dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia melalui berbagai dokumen yang dikeluarkan Bank Dunia, IMF maupun WTO terhadap berbagai kebijakan tertentu yang menunjukkan hubungan antara aktor internasional dengan pemerintah Indonesia dan kelompok kepentingan di Indonesia. Peneliti memilih 2 (dua) kasus pembentukan undang-undang yang mandeg dalam pembentukannya, namun dapat diuraikan dengan kelancaran yang berbeda yang menunjukkan keterlibatan aktor internasional yakni dalam kasus pembentukan (1) RUU tentang Penanaman Modal; dan (2) RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kasus Pembentukan RUU tentang Penanaman Modal dipilih karena menunjukkan bagaimana kemandegan legislasi dapat diterobos dengan waktu yang singkat, sementara kasus pembentukan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dipilih untuk menunjukkan bagaimana mandegnya legislasi diterobos dalam jangka waktu yang lama. Begitu desain studi kasus telah didapat, maka langkah berikutnya adalah mengumpulkan bahan, dokumen, data dan informasi di lapangan. Pekerjaan mengumpulkan data ini dalam penelitian kualitatif metode studi kasus pada umumnya melalui fieldwork yang dilakukan di sekretariat Komisi VI yang membahas RUU tentang Penanaman Modal dan Sekretariat Pansus RUU Pertambangan Mineral dan batubara di DPR RI dan perpustakaan DPR RI, yaitu suatu pekerjaaan mencatat, mengamati, mendengarkan, merasakan, mengumpulkan, mewawancarai dan menangkap semua fenomena, data dan informasi tentang kasus yang diselidiki.
Data yang diperlukan adalah dokumen yang dikeluarkan lembaga internasional yang terkait dengan kebijakan penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara yang didapatkan dari website resmi bank dunia dan lemba ainternasional lainnya. Data keterkaitan antara dokumen yang direkomendasikan lembaga internasional dengan kebijakan yang diusulkan oleh penyusun RUU tentang penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara, data pembahasan RUU yang mencakup perbicangan antara pemerintah dan DPR RI dan aktivitas kelompok kepentingan dan data mengenai hasil akhir pembahasan RUU yang menunjukkan keterkaitan/hubungan antara ide yang digagas lembaga internasional dengan kebijakan yang disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah. Data dikumpulkan dengan studi dokumentasi dengan cara mengumpulkan dokumen aktor internasional yang terkait dengan kebijakan penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara, naskah akademik, draft awal Rancangan Undang-undang penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara, risalah pembahasan, pengambilan keputusan, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dikeluarkan masing-masing Fraksi di DPR RI, pandangan masing-masing Fraksi di DPR RI, keterangan pengusul RUU (Pemerintah) disamping itu penulis mengumpulkan data dari berbagai jurnal, buku, hasil penelitian terkait dengan aktivitas kelompok kepentingan dalam pembahasan RUU, press release yang dikeluarkan kelompok kepentingan serta berita yang dimuat dalam media massa maupun dalam media online yang membahas RUU tentang Penanaman Modal dan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Penggunaan berbagai metode, bahan, dan sumber informasi untuk memberikan penjelasan, interpretasi dan memberikan dengan persepsi yang sebaik-baiknya tentang objek yang diteliti merupakan suatu proses yang panjang mendetail dan spesifik yang dalam istilah kualitatif disebut dengan triangulation. Metode ini digunakan untuk mengadakan klarifikasi terhadap sejumlah bahan, data dan informasi yang dikumpulkan dan memverifikasi hasil observasi atau interpretasi yang telah dibuat peneliti.
2. Metode Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer dan sekunder. Data primer berasal dari orang pertama dan data sekunder dari data tertulis. Data dikumpulkan dari hasil tinjauan literatur pertama, dari sejumlah buku, jurnal dan karya tulis lainnya mengenai sistem politik dan proses legislasi yang dilakukan selama masa Rezim Orde Baru, kedua, dari sejumlah laporan studi terdahulu, buku, makalah, jurnal, dokumen kebijakan serta sumber tertulis lain seperti internet, yang membahas tentang proses legislasi
di Indonesia secara umum dan laporan studi mengenai cepat lambatnya proses legislasi di Indonesia. Penulis juga mengumpulkan data sumber tertulis dari hasil laporan kegiatan pembahasan 2 (dua) kasus pembahasan Rancangan Undang-undang yakni
RUU tentang Penanaman
Modal dan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang didokumentasikan dalam bentuk risalah rapat, laporan singkat, keterangan pemerintah, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), pandangan Fraksi, laporan ketua Panja, Laporan Ketua Pansus di Paripurna DPR RI dan berita di media massa, buku, jurnal, artikel serta dokumen lainnya. Peneliti juga mengumpulkan data dari dokumen lembaga Internasional dalam hal ini Bank Dunia, IMF dan WTO tentang rekomendasi kebijakan yang mereka buat bagi Indonesia dalam hal Penanaman Modal dan Pertambangan Mineral dan Batubara. Disamping itu peneliti juga mengumpulkan data dari berbagai buku, jurnal, makalah, hasil studi sebelumnya yang membahas mengenai latar belakang pembentukan lembaga internasional, keterlibatan Indonesia dalam lembaga internasional ini, ide yang mereka bawa bagi negara-negara diseluruh dunia. Hasil studi literatur proses legislasi di Indonesi, dokumentasi penyusunan dan pembahasan (1) RUU tentang Penanaman Modal; dan (2) RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta studi keterlibatan dan rekomendasi lembaga internasional dalam kebijakan penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia kemudian difokuskan untuk memahami: pertama, konteks proses legislasi di Indonesia pada masa rezim Orde Baru dan perbedaannya dengan proses legislasi pada masa pasca Rezim Orde Baru, kedua, memahami keterkaitan ide yang dibawah lembaga internasional dengan pengambilan keputusan yang dibuat aktor formal pembentuk Undang-undang yakni Pemerintah dan DPR RI, dan ketiga, menguraikan suasana pembahasan RUU tentang Penanaman Modal dan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bagaimana kesamaan pandangan diantara aktor domestik yang terlibat dalam pembahasan RUU tersebut dan bagaimana hal ini berpengaruh terhadap cepat lambatnya proses pembentukan Undangundang di Indonesia. Menurut Schatzman dan Straus51, historis merupakan bahan penting dalam penelitian kualitatif. Menurut mereka, sebagai bagian dari metode lapangan, dapat menelaah dokumen historis karena kebanyakan situasi yang dikaji mempunyai sejarah dan dokumen-dokumen ini sering menjelaskan sebagian aspek situasi yang hendak diteliti. Dokumen adalah setiap bahan
51
Mulyana, Deddy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karyam Bandung 2002.
tertulis yang berisi informasi yang dibutuhkan untuk dipelajari mengenai gejala-gejala52. Selain itu peneliti menggunakan bahan-bahan dari media massa yang membahas proses pembuatan 2 (dua) undang-undang tersebut, bahan-bahan hasil penelitian dan rekomendasi yang dikeluarkan kelompok kepentingan dan universitas yang mencerminkan proses politik pembentukan undang-undang dan durasi penyelesaiannya.
3. Teknis Analisis Data Tahapan analisis data yang dilakukan untuk menjawab dan menyimpulkan bukti masalah penelitian dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut: Tahap awal adalah
pengumpulan dan penyusunan data yang diperoleh dari sekretariat DPR RI dan perpustakaan DPR RI yang terkait dengan sumber-sumber dokumentasi 2 (dua) kasus pembahasan Rancangan Undang-undang yakni (1) RUU tentang Penanaman Modal; dan (2) RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta berbagai dokumen baik risalah rapat, laporan singkat dan dokumen lainnya yang membahas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Langkah ini didasarkan pada beberapa prinsip seperti validitas, reliabilitas, dan otentitas, sehingga hanya data-data yang relevan saja yang dipakai dan disajikan. Setiap data yang diperoleh dalam tahap ini dibaca, dipahami, diorganisasi berdasarkan kategori, tema atau pola tertentu. Langkah berikut adalah melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang mengamati, mengadvokasi dan terlibat dalam proses pembentukan Undang-undang tentang Penanaman Modal dan Pertambangan Mineral dan Batubara antara lain Salamudin Daeng dari Institut Global Justice (IGJ), Hendrik Siregar (Koordinator Jatam), Dr. Kurtubi (pakar Pertambangan) dan Alvin Lie (anggota DPR/Fraksi PAN). Pertanyaan yang diajukan lebih kepada kepentingan lembaga internasional dibalik pembentukan Undang-undang Penanaman Modal dan Minerba. Melengkapi data yang sudah ada, pengumpulan data juga dilakukan melalui penelitian di internet. Hal ini termasuk analisis regular terhadap media online, media social maupun media cetak yang memuat berita tentang pembahasan RUU tentang Penanaman Modal dan Minerba. Tahap selanjutnya adalah penafsiran data. Menafsirkan berarti pula menganalisis data dengan menggunakan dasar perspektif atau kerangka berpikir yang dibangun dalam penelitian ini, termasuk di dalamnya semua teori yang telah dipilih dan ditentukan
52
Surachmad, Winarno. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, hal. 140
sebelumnya. Teknis analisis hasil akan lebih banyak ditekankan dengan menggunakan ‟content analysis‟ dan ‟cross cheking analysis‟ dengan beberapa pihak yang terlibat dalam pembentukan Undang-undang tentang Penanaman Modal dan Pertambangan Minerba. Data yang diperoleh dicermati isinya dan bila didapati materi yang berhubungan antar berbagai sumber, maka di-cross check atau check and recheck untuk melihat validitasnya. Selain itu dalam melaksanakan penafsiran data tersebut, juga dilakukan pemeriksaan keabsahan data dalam upaya mengecek sekaligus sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh 53. Tahap akhir adalah penarikan kesimpulan. pelaporan akan menyajikan kesimpulan melalui tahaptahap seperti yang telah disebutkan diatas. Keberlakuan dari kebenaran yang diperoleh dari kesimpulan penelitian ini tentunya masih diwarnai oleh subyektifitas dan keterbatasan peneliti. Oleh sebab itu, perlu diuji ulang oleh orang lain untuk mendekati keberlakuan yang konsisten.
G. Sistimatika Penulisan Disertasi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Setelah bab ini, akan ditunjukkan bagaimana setting politik legislasi, bagaimana proses legislasi secara formil dilakukan di Indonesia pasca 1999 dan siapa saja aktor yang berpartisipasi dalam proses legislasi tersebut. Point penting yang segera diketengahkan adalah bagaimana proses legislasi pasca 1999 menjadi lebih terbuka dan memungkinkan kelompok kepentingan domestik maupun lembaga internasional untuk melakukan intervensi. Intervensi kepentingan ini dilakukan dalam medan administrasi proses legislasi di Indonesia yang meliputi fase perencanaan pembentukan Undang-undang, penyusunan Rancangan Undang-undang dan pembahasan Rancangan Undang-undang. Selanjutnya dalam Bab III dan Bab IV membeberkan praktek penyamaran dalam isu-isu spesifik. Dalam Bab III ditunjukkan secara khusus bagaimana penyembunyian/penyamaran kepentingan melalui transformasi kepentingan menjadi ide yang dilakukan oleh lembaga internasional dibalik kelancaran legislasi pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan sebaliknya dalam Bab IV ditunjukkan bagaimana penyembunyian/penyamaran kepentingan melalui transformasi ide yang dilakukan oleh lembaga internasional berjalan dengan lambat sehingga proses pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara melambat. Paparan di bab berikutnya yakni Bab V mencoba memperlihatkan benang merah dari kasus-kasus yang disajikan. Yang hendak ditunjukkan adalah proses transformasi yang
53
Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 178
berlangsung. Berdasarkan kajian atas penyembunyian/penyamaran kepentingan melalui transformasi kepentingan menjadi ide sebagaimana yang ditunjukkan dalam Bab III, dan Bab IV maka dalam bab ini dilakukan rekapitulasi dan pemaknaan atas hasil kajian tersebut. Point terpenting yang dapat diketengahkan adalah ditunjukkannya pola penyamaran kepentingan dibalik kelancaran proses legislasi di Indonesia. Disamping itu dalam Bab ini juga akan ditunjukkan posisi studi ini dalam teori politik yang sudah ada lebih dulu serta kelemahan dan catatan penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang yang dapat dilakukan berdasarkan temuan dari studi ini.