PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Proses demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde baru ditandai oleh beragam disain kelembagaan untuk mempercepatnya. Para aktor yang terlibat di dalamnya, barangkali diilhami oleh para penganut pendekatan kelembagaan baru (new institutonalism) yang berpandangan bahwa pilihan disain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara itu memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki.1 Sebagai gambaran pada masa Orde Baru, mantan Presiden Soeharto (alm) mengelola birokrasi dalam institusi pemerintahan dan organ-organ sosial dan politik yang potensial dan krusial kedudukannya, secara sentralistik dengan membangun patronklien yang mengakar untuk mengukuhkan kekuasaan diri dan keluarganya. Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family (Jackson, 1981: 13-14). Setelah itu, bapak harus siap menyebar luaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak politis. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan
Dikutip dari Kacung Maridjan, Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal. Hal 1.
1
1
umum dan bantuan kepada patron (Scott, 1993: 7-8 dan Jarry, 1991: 458). Hubungan patron-klien itu sendiri telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Pada babak awal pasca kejatuhan Orde Baru, disain kelembagaan yang ditempuh untuk menumbuhkan demokrasi adalah melalui pembukaan kran sistem multi partai, dan adanya pemilu yang bebas dan adil. Disain lainnya adalah pemberian kekuasaan dan otoritas yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR/D). Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi checks and balance antara eksekutif dan legislatif. Faktanya, disain semacam ini belum cukup kuat menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih substansial., khususnya berkaitan dengan adanya responsibilitas, akuntabilitas, dan transparansi para pejabat politik, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Dalam berbagai kesempatan kita mendengar, kekuasaan yang besar kepada lembaga perwakilan, kerap disalahgunakan oleh para wakil rakyat. Dengan adanya perubahan disain kelembagaan baru tersebut, dinamika politik di Indonesia berkembang menjadi lebih pluralis. Negara terpecah menjadi Pusat dan Lokal sekaligus bukan lagi menjadi satu-satunya entitas yang memiliki sumberdaya ekonomi dan politik dan aktor politik menjadi semakin heterogen. Hal ini berarti persebaraan kekuasaan dengan model desentarlisasi, yang di Indonesia dibungkus dalam disain otonomi daerah, juga menjadi sebuah konsekuensi logis, atau justru menjadi syarat mutlak dari proses demokratisasi itu sendiri. Seiring berjalannya proses demokratisasi di Indonesia, partai politik muncul sebagai sebuah kekuatan politik penting dalam berbagai dinamika sosial yang ada. 2
Partai politik bukan lagi sekedar entitas subordinasi yang menjadi penghias kebijakan yang didominasi oleh birokrasi. Sebaliknya, kenyataan bahwa partai politik mencoba masuk ke berbagai pori-pori sosial yang sebelumnya hanya bisa dijangkau oleh birokrasi. Partai politik kemudian menjadi entitas politik yang pelan-pelan berhasil menguasai serta menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi dan politik di ranah publik. Corak party-based government yang mulai dikembangkan mendorong partai politik sebagai salah satu aktor penentu jalannya proses negosiasi, ketegangan, dan konsensus dalam proses politik yang ada. Ketika partai politik turut menentukan nasib sumberdaya publik maka partai kemudian menjelma menjadi patron baru. Dengan penguasaan terhadap akses sumberdaya publik tersebut, partai politik kemudian berusaha mendapatkan dukungan suara dan loyalitas pemilih atau konstituennya melalui politik kebudimanan. Mereka menjadi free rider dari melemahnya kapasitas negara dalam memenuhi kebutuhankebutuhan dan layanan dasar warga akibat krisis ekonomi dan politik yang menimpanya. Partai politik menjadi sang budiman baru dan menjadi tempat bergantung masyarakat ketika perubahan politik yang ada memang tidak bisa menstruktur ulang habitus politik kebudimanan dalam wajah politik Indonesia dan hanya mendorong perubahan aktor penguasa sumberdaya public. Menguatnya
peran
partai
politik
dalam
proses
demokratisasi
dan
desentralisasi berdampak pada perkembangan studi mengenai patronklien yang mengalami perubahan cukup signifikan. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya 3
obyek dari studi gejala semacam ini, yang awalnya studi antarperson yang terbatas sifatnya
menjadi
studi
tentang
berbagai
hubungan
social
dan
hubungan
antarorganisasi.2 Kondisi sosial politik yang diharapkan dengan berlakunya desentralisasi ternyata tidak berjalan sesuai harapan terhadap pemahaman yang berkembang pada masyarakat mengenai otonomi daerah, proses demokratisasi, dan penguatan masyarakat sipil.3 Namun, kenyataannya ketiga hal di atas (otonomi daerah, proses demoktatisasi, dan penguatan masyarakat sipil) merupakan proses yang berlainan. Pergeseran dari pemerintahan yang sentralisasi kepemerintahan yang desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis., juga tidak secara otomatis mengisyaratkan pergeseran dari negara yang kuat ke Negara masyarakat sipil yang kuat. Melemahnya Negara pusat tidak secara otomatis membuahkan demokrasi local yang lebih kuat. Sebaliknya, desentralisasi di bawah kondisi-kondisi tertentu bisa dibarengi dengan bentuk-bentuk pemerintahan otoriter.4 Hal ini seperti yang diungkapakan oleh Luis Fernando Medina and Susan Stokes pada tulisannya di Clientilism as Political Monopoly, yang menerangkan bahwa patron-klien adalah sebuah rezim dimana seorang penguasa politik memonopoli sumber daya yang penting untuk para pemilihnya. Lebih lanjut 2
Dikutip berdasarkan penyataan Eisendstadt dan roniger dalam tulisan di buku Patron-client relations as a model of Structuring Social Exchange (1980) yang tertulis dalam buku Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural karya Heddy Shri Ahimsa-Putra (Kepel Press:1997) hal 3. 3 Dikutip dari Nordholt, Henk Sculte dan Gerry van Klinken (ed). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Pendahuluan sub bab Merevisi Batas-Batas oleh Henk Sculte Nordholt dan Gerry van Klinken. Hal 2. 4 Ibid.
4
diterangkan monopoli politik yang dilakukan oleh penguasa sebuah rezim secara tidak langsung telah menekan (bukan menghilangkan) persaingan dalam pemilu, dan memberikan penguasa saat itu untuk membangun distribusi politik dan ekonomi dengan mapan. Pada akhirnya, patron-klien dilihat sebagai konsep monopoli politik telah meletakkannya di antara otoritarianisme dan demokrasi. Selanjutnya yang terjadi adalah ledakan bos lokal di daerah yang mengarah pada penguasaan segala sumber daya yang ada di daerah, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perubahan daerah yang menjadi arena kontestasi antar elit lokal. Para elit lokal megubah daerah menjadi ajang eksistensi yang ditunjukan dengan semakin krusialnya peran elit daerah dalam membangun piramida kekuasaan berdasarkan kekuatan modal.5 Memang harus diakui bahwa, elit-elit di Indonesia dikonstruksi untuk membangun kekuasaannya melalui kekuatan modal yang dimiliki. Ini berjalan sejak zaman penjajahan, yang oleh Belanda memang sengaja diciptakan karakter seperti ini. Dan ini terus berlanjut sampai sekarang.6 Arena kontestasi para bos lokal yang dahulu sangat terbatas, karena sistem sentralistik di era kekuasaan Soeharto, kini telah terbuka seiring dengan diberlakukannya sistem desentralistik. Dimana, daerah diizinkan untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Selain itu, sistem kepartaian dan pemilu juga turut
5
Ibid. Dikutip dari Nordholt, Henk Sculte dan Gerry van Klinken (ed). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Pendahuluan sub bab Merevisi Batas-Batas oleh Henk Sculte Nordholt dan Gerry van Klinken. Hal 4. 6
5
mendukung seiring perubahan di atas. Partai politik adalah entitas yang paling kuat untuk mendukung perubahan sistem di atas. Sehingga jalur kepartaian adalah jalan yang di tempuh oleh para bos lokal untuk memperkuat kedudukannya di daerah. Jelas dengan munculnya bos lokal tersebut mengganggu demokrasi, menjadikan demokrasi tidak berjalan secara subtantif. Meskipun secara prosedur memang ada Pilkada, tetapi itu dimainkan sedemikian rupa untuk mengokohkan keberadaan bos lokal tadi. Sehingga, pada penelitian ini akan difokuskan terhadap proses terjadinya politik patronklien dalalm lingkungan partai politik. Fokus yang menjadi obyek penelitian adalah bekerjanya sistem patronklien dalam lingkaran partai yang di dalamnya terjadi kontestasi antar elit partai. Jadi, penelitian ini diarahkan untuk melihat terjadinya proses politik patronklien di dalam partai politik. Dimana obyak dalam penelitian ini mengarah pada partai politik yang telah lama berkecimpung di dalam kekuasaan di masa Orde Baru, dan mengalami pergeseran ke arah yang lebih luas di era reformasi saat ini, yaitu Partai Golongan Karya. Lebih tepatnya, Partai Golkar Kabupaten Tuban. Tentu saja terdapat batasan waktu mengenai periode penelitian terhadap partai ini. Penulis menentukan obyek penelitian antara periode sejak bergabungnya H. Ali Hasan (alm) ke dalam Partai Golkar sebagai awal kemunculan patron, dan periode kehadiran Haeny di dalam Partai Golkar hingga Pemilukada Kabupaten Tuban tahun 2011 dimana proses relasi patron-klien berjalan. Secara teoritis, penelitian ini menggunakan teori patronklien dan partai politik. Dimana pada akhirnya, kedua teori ini bermuara pada teori mengenai patron-klien 6
dalam partai politik. Hal ini merujuk pada langkah-langkah politis yang ditempuh para elit lokal dalam mengakumulasi dan mengelola kekuasaannya dengan kekuatan modal yang dimiliki.
B. Rumusan Masalah Setelah menguraikan sedikit gambaran di atas, mengenai politik patronklien anta relit local di daerah dalam pusaran politik dan bisnis, maka penelitian ini memiliki pertanyaan penelitian: Bagaimana proses kemunculan, pola relasi, dan berakhirnya politik paton-klien di dalam Partai Golongan Karya (Golkar) di Kabupaten Tuban dalam kurun waktu 1992-2011?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini berdasarkan pada rumusan masalah adalah: 1. Melacak kemunculan patron di dalam partai politik, sekaligus melacak sumber daya yang dimiliki. 2. Melacak munculnya klien-klien yang berafiliasi pada patron di dalam partai dan sumber daya yang dimiliki.
7
3. Mengetahui pola relasi yang terbangun antara patron dan klien dalam bentuk penguasaan, pertukaran, dan distribusi sumber daya dalam proses patron-klien di partai politik. 4. Mengetahui cara patron berkontestasi, pengakumulasian, pengelolaan, dan mempertahankan kekuasaan dari persaingan dengan elit lokal lainnya. 5. Melacak bentuk-bentuk perlawanan klien terhadap parton dan cara-cara yang digunakan patron untuk mengatasi perlawanan dari klien. 6. Mengetahui proses berakhirnya patron-klien di dalam partai.
D. Landasan Teori D.1. Patro-klien Pengertian Patron-klien Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’. Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya (Scott, 1983 & dan Jarry, 1991).
8
Tidak sedikit ilmu sosial yang berusaha untuk menjelaskan ikatan patronklien yang terjadi di tengah masyarakat. Dari hasil-hasil tersebut, dapat diketahui bahwa secara garis besar terdapat dua alasan yang melatarbelakangai mengapa hubungan patron-klien itu terjadi. Pertama, relasi patron klien terjadi sebagai salah satu upaya manusia untuk dapat bertahan hidup dalam suatu keadaan tertentu. Dalam hal ini para ahli umumnya menitikberatkan analisisnya pada sudutt pandang pihak klien, termasuk di dalamnya situasi lingkungan yang dihadapi klien. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti perspektif patron hanya dapat diabaikan begitu saja. Kedua, relasi patron-klien terjadi akibat adanya kondisi-kondisi tertentu dalam suatu masyarakat Patron-klien secara tradisional diungkapkan oleh Scott yang menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan intrumental, dimana seseorang dengan status ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron. Menurut Scott, gejala patron-klien dipengaruhi oleh tiga kondisi, pertama terdapatnya perbedaan (inequality) yang menyolok dalam kepemilikan kekayaan, status, dan kekuasaan. Tradisi yang berlaku, seorang patron lebih mendasarkan dan pada kekuatan serta jalur untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan, dan bukannya pada pewarisan kedudukan. Kedua, tidak adanya pranata-pranata yang menjamin 9
keamanan individu, baik yang menyangkut status maupun kekayaan. Ketika keamanan seseorang terancam dan kontrol sosial tidak dapat lagi dijadikan sebagai acuan maka hubungan patronase dipilih sebagai mekanisme atau sarana untuk memperoleh keamanan pribadi. Ketidakamanan akan muncul dalam lingkungan yang ditandai oleh kelangkaan sumber-sumber daya, dan usaha mendapatkan kekayaan serta kekuasaan yang dipandang sebagai persaingan yang bersifat zero-sum, yaitu keuntungan yang didapat satu pihak diartikan sebagai suatu kehilangan bagi pihak lain. Dengan demikian, ikatan-ikatan pribadi secara langsung telah mengganti peranan hukum, nilai-nilai bersama serta pranata-pranata yang kuat (Scoot, 1972:102). Ketiga, yang juga merupakan implikasi definisi hubungan patronase adalah ketika ikatan-ikatan kekeluargaan tidak lagi dapat diandalkan untuk mendapatkan perlindungan serta memajukan diri. Agar hubungan patron-klien ini dapar berjalan dengan mulus, maka diperlukan adanya unsur-unsur tertentu (Scott, 1972). Unsur pertama yaitu bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang maupun jasa (pekerjaan), dan bisa dalam berbagai macam bentuk pemberian. Unsur kedua yaitu adanya hubungan timbal balik, dimana pihak yang menerima bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut. Ditambahkan Scott, bahwa dengan adanya unsur timbal balik maka hubungan paton-klien ini dapat dibedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion) atau hubungan dengan adanya wewenang formal (formal authority). Unsur ketiga, 10
hubungan patron-klien
ini perlu didukung norma-norma masyarakat yang
memberikan peluang kepada klien untuk melakukan penawaran, artinya apabila salah satu pihak merasa dirugikan, maka dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa dikenai sanksi apapun. Sebagaimana uraian Jamess Scott aktivitas patron-klien akan hadir dan menguat disebabkan oleh beberapa sebab berikut ini: (1) Sumberdaya penting dikelola dan dikontrol oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat. Bentuk sumberdaya tersebut biasanya berbentuk alokasi ekonomi seperti tanah atau pekerjaan, keuntungan atau ketidakpastian yang dihasilkan melalui manipulasi kekuasaan organisasional. (2) Sang patron secara sangat kuat meminta atau mensyaratkan adanya “layanan” balik yang bisa disediakan oleh klien. (3) Kelompok-kelompok klien secara keseluruhan akan dicegah untuk bisa memperoleh akses terhadap sumberdaya yang dikontrol oleh kelompok patron. Kondisi ini juga berlangsung sebagai akibat dari kegagalan kelompok klien merumuskan kepentingan umum mereka dan kegagalan untuk mengorganisir diri mereka sendiri dalam mencapai kepentingan umum mereka.
(4) Tiadanya sebuah etika alokasi publik yang
diimplementasikan secara efektif. Yang dimaksud dengan etika publik ini adalah sebuah mekanisme atau sistem yang di dalamnya sumberdaya publik dialokasikan dan dipertukarkan berdasarkan kriteria-kriteria universal dibandingkan kriteriakriteria personal atau privat. Pada akhirnya, definisi patron-klien “baru” adalah gambaran distribusi manfaat secara selektif kepada individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu 11
sebagai imbalan atas dukungan politik. Berdasarkan definisi tersebut kita lebih menyoroti tiga elemen kunci yang kita anggap sebagai pusat hubungan patron-klien. Pertama, elemen pertukaran berulang – ulang. Selama ini terbuka bagi pertanyaan tepatnya berapa lama hubungan ini bertahan, kita akan berpendapat bahwa pertukaran tunggal tidak merupakan patron-klien. Pertukaran berulang – ulang adalah penting karena hanya pertukaran berulang memungkinkan untuk memeriksa loyalitas client dan dukungan yang kuat bagi patron. Kedua, perbedaan status. Menurut definisi, patron tentu saja memiliki status sosial, ekonomi, atau politik yang lebih tinggi daripada client. Meskipun posisi tawar – menawar client telah meningkat secara nyata dengan datangnya demokratisasi, pemungutan suara yang bersifat rahasia dan hak warga negara yang meluas (Piattoni 2001: 7), patron masih mengontrol akses sumber daya yang mereka distribusikan. Dan ketiga, timbal balik. Patron-klien hanya dapat bertahan jika patron dan client saling menguntungkan, meskipun tingkat keuntungan patron biasanya jauh lebih besar daripada client. Kegagalan terjadinya situasi saling menguntungkan, sangat mungkin disebabkan client meninggalkan atau keputusan patron untuk mengakhiri penawaran barang pada client.
Ciri – Ciri Patroklien Menurut Scott (1972:93), hubungan patronase mempunya karakteristik yang membedakannya dengan hubungan sosial yang lain. Pertama, terdapat ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran. Kedua, adanya sifat tatap muka (face-to-face character). Ketiga, sifatnya yang luwes dan meluas (difusse flexibility). 12
Menguraikan ciri yang pertama, Scott mengungkapkan bahwa terdapat ktidakseimbangan dalam pertukaran antara dua pasangan, yang mencerminkan perbedaan dalam kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan. Dalam pengertian ini seorang klien adalah orang yang masuk dalam hubungan pertukaran yang tidak seimbang (unequal), di mana dia tidak mampu membalas sepenuhnya. Suatu hutang kewajiban membuatnya tetap terikat pada patron. Ciri yang kedua, sifat tatap muka relasi patronase menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya. Hubungan timbal balik yang berjalan secara terus menerus dengan lancar, lambat laun akan menimbulkan rasa simpati (affection) di antara kedua belah pihak, yang pada akhirnya akan membangkitkan rasa saling percaya dan kedekatan satu dengan yang lain. Rasa saling percaya dan kedekatan hubungan ini menjadikan seorang klien dapat mengharapkan bahwa si patron akan membantunya jika dia mengalami kesulitan, seperti dukungan finansial, dukungan moral, dan sebagainya. Di pihak lain, patron juga dapat mengharapkan dukungan dari klien ketika dia memerlukannya. Dengan demikian, walalupun hubungan ini bersifat instrumental, kedua belah pihak akan saling mengperhitungkan untung rugi dari hubungan yang mereka bangun tersebut. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa relasi tersebut bersifat netral, karena unsur rasa masih terlibat di dalamnya. Sementara itu, relasi patronase yang bersifat tatap muka serta adanya keterbatasan pada sumber daya yang dimiliki oleh patron membuat jumlah hubungan yang dapat digiatkannya tersebut menjadi lebih terbatas. 13
Ciri khas terakhir hubungan patron-klien adalah sifat relasinya yang luwes dan meluas. Seorang patron misalnya, tidak saja dikaitkan oleh hubungan sewa menyewa tanah dengan kliennya, tetapi juga karena hubungan sebagai sesama tetangga, atau mungkin teman sekolah di masa lalu, dan sebagainya. Bantuan yang diminta dari klien dapat bermacam-macam bentuknya, mulai dari membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, samapai kampanye politik. Di lain pihak, klien dibantu buka saja ketika mengalami musibah, melainkan juga ketika mengalami kesulitan dalam mengurus sesuatu. Singkatnya, hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak dan sekaligus sebagai jaminan sosial bagi mereka. Karena itu, relasi ini mengutamakan pemberian rasa nyaman kepada para pelakunya. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha untuk merumuskan kembali hubungan tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam struktur interaksi itu sehingga sebenarnya kaum elitlah/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut 14
dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar posisi dikeduanya.7 Hal senada diungkapkan Hopkins, patron-klien merupakan bentuk pertukaran dyadic dan personal yang biasanya ditandai dengan perasaan berkewajiban, dan sering juga oleh keseimbangan kekuasaan yang tidak setara antar mereka yang terlibat (Hopkins, 2006). Lebih lanjut Kitschelt (2000), patron-klien didefinisikan dengan ‘timbal balik, kesukarelawanan, eksploitasi, dominasi, dan asimetri’. Selain itu, beliau menekankan bahwa meskipun eksploitasi karakter, hubungan patron-klien adalah menguntungkan satu sama lain bagi patron dan client (Kitschelt 2000: 849). Definisi ini sebagai deskriptor hubungan hierarkis patron-klien dalam masyarakat pedesaan tradisional. Hubungan ini melibatkan patron yang menyediakan kepada klien akses dan sarana dasar subsisten dan klien sebagai imbalannya memberikan kombinasi barang dan jasa ekonomi dan tindakan sosial hormat dan loyalitas. Dengan kata lain, patron-klien adalah cara untuk mengambarkan pola pertukaran yang tidak seimbang dan hierarkis yang merupakan karakteristik masyarakat feodal, di mana patron dan klien terikat dalam hubungan yang tahan lama dengan kesadaran yang kuat akan kewajiban dan tugas. Menurut Hilgers, dalam tulisan Dirk Tomsa dan Andreas Ufen , hubungan patonklien dicirikan ‘umur panjang, menyebar, kontak tatap muka, dan perbedaan status.
7
Dikutip dari rangkuman teori patronase oleh Adi Prasetijo dalam buku James Scoot yang berjudul Moral Petani, Perlawanan Kaum Petani dalam buku Patron Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra terbitan KEPEL PRESS Yogyakarta 2007.
15
Tujuan Patroklien Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca pertukaran itu.Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Timor Sharan (2009) menyatakan proses mempertahakan kekuasaan sebuah rezim atau pemimpin suatu wilayah dilakukan dengan cara mengakomodasikan kekuasaannya melalui kebijakan yang mengakomodasi cara tawar menawar yang terjalin dalam jaringan elit yang berbeda. Dimana jaringan elit tersebut telah terkooptasi ke dalam lingkungan rezim. Pada akhirnya, pemimpin rezim membentuk sebuah sistem patron klien, yang menghubungkan para pemimpin dan sub pemimpin dari berbagai kelompok atau golongan8.
Berakhirnya Patonase
8
Sharan, Timor. 2009. The Dynamics of Elite Networks and Patron-Client Relations in Post-Bonn Statebuilding Afghanistan. United Kingdom : University of Exeter. Hal 4
16
Namun hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif/kelompok dan lain-lain. Sedangkan dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar/minimun yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup utk memberi makan, memberi bantuan utk org sakit dll. Hubungan ketergantungan yang memasok jaminan-jaminan minimal ini akan mempertahankan legitimasi hubungan antara patron-kliennya. Jika para patron tidak sanggup memenuhi dua dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif. Untuk menjaga agar sikap klien tetap konsisten terhadap patronnya maka patron selalu mengembangkan sistem yang sifatnya mengawasi keberadaan kliennya. Namun demikian ada keterbatasan kemampuan patron untuk mengawasi kliennya karena
kemampuan relatif dari struktur kerabat dan desa sebagai pengganti bagi beberapa fungsi patron
tersedianya lahan yang tidak berpenghuni
17
kelemahan negara pusat yang tidak mempunyai ketangguhan untuk mendukung kekuasaan elit lokal/lokalisasi kekuasaan
ada sumber daya yang menjadi daya tawar-menawar bagi klien kepada patron. Rasa ketidakseimbangan yang menimbulkan rasa wajib membalas ini juga
tidak hanya timbul pada diri klien, tetapi juga pada diri patron. Karena tanpa ini hubungan timbal balik diantara mereka akan macet. Pihak patron merasa perlu member pada kliennya mengingat dia telah mendapatkan sesuatu yang dipandangnya berharga. Selain itu, patron juga bisa menginginkan terputusnya hubungan dengan klien jika dia merasa terlalu banyak member tanpa mendapat sesuatu sebagai gantinya dari pihak klien. Sehingga, suatu hubungan timbale balik bisa berhenti tidak hanya karena tercapainya keseimbangan tukar menukar, seperti kata Foster9, namun juga bisa karena terlalu timpang pertukaran yang terjadi, yang berakibat salah satu pihak merasa terlalu dirugikan. Pada dasarnya sifat ikatan patron-klien juga bervariasi, namun lebuh kuat tertanam dalam sistem stratifikasi kerajaan, dimana pembagian peran otoritas lokal/daerah kadang didasarkan atas hubungan patronase tersebut. Peran otoritas pada tingkat lokal diambil alih/terletak pada tokoh-tokoh yang mampu untuk menggerakan pengikutnya sehingga lalu diakui sebagai agen pemimpin di daerah. Ketika seiring melemahnya sistem kerajaan tradisional dan menguatnya sistem pemerintahan modern maka yang terjadi adalah jaringan patron-kliern yang terstruktur tidak teratur
99
Dirangkum dari buku Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional Struktural karya Heddy Shri Ahimsa Putra. Yogyakarta: Kepel Press. 2007: 6-12.
18
dilokasi sekitar jalur-jalur perdagangan, pemajakan. Atau secara kultural dan geografis dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari pusat – pada tempat dan kebudayaan pinggir dan pada dasar dari hirarki sosial- ikatan patron klien kurang terlembaga dan karenanya sifatnya menjadi fleksibel.
Konsep Ketidaksamaan dan Ketidakseimbangan10 Konsep ketidaksamaan dan konsem ketidak seimbangan perlu dibedakan. Hubungan pertukaran yang tidak sama antara patron dan klien, bisa saja seimbang menurut pandangan mereka yang terlibat dalam proses pertukaran tersebut. Jadi, tidak ada ketimpangan, walaupun ada perbedaan. Gouldner menguraikan dalam norma timbale balik, keseimbangan atau kesepadanan dalam istilah Scott sebenarnya mengadung dua macamarti yang masing-masing terwujud dalam hubungan timbal balik yang berbeda. Keseimbangan (equivalence) menurut telaah Gouldner berarti apa yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam factor, seperti misalnya kebutuhan si penerima pada saat pemberian dilakukan. Semakin tingg nilai pemberian ini baginya, maka besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangn dalam pengertian seperti ini terdapat dalam hubungan timbale balik yang heteromorfis (heteromorfis reciprocity). Arti keseimbangan kedua, bahwa peretukaran tersebut harus secara konkrit sama atau identik, baik itu menyangkut barang yang dipertukarkan ataupun saat
10
Dirangkum dari buku Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional Struktural karya Heddy Shri Ahimsa Putra. Yogyakarta: Kepel Press. 2007: 6-12.
19
terjadinya pertukaran. Hubungan timbal balik semacam ini dinamakan homeomorfis (homeomorphic reciprocity). Dengan kata lain, keseimbangan pertama ditentukan ukurannya oleh para pelaku, sedangakn keseimbangan yang kedua ditentukan oleh si peneliti. Foster (1963) juga menyebutkan bahwa baik dalam hubungan patron klien maupun dalam relasi timbal balik antar orang yang relatif sama statusnya , kesadaran atau kewajiban untuk membalas suatu pemberian mendasari keduanya. Dari penelitian yang dilakukannya, menunjukkan bahwa meskipun barang serta jasa yang dipertukrkan tidak sama, dan terdsapat ketidakseimbangan dalam pertukaran, ternyata hal ini mereka sengaja. Sebab, dengan tercapainya keseimbangan bisa berarti berhentinya kontrak atau hubungan timbal balik tersebut.
D.2. Patron-klien dalam Partai Politik Patron-klien “lama” bertahan sampai era demokrasi modern, sehingga ikut mewarnai dinamika politik elektoral. Dalam konteks patron-klien, patron, atau agen mereka, maju dalam pemilihan dan klien mereka memilih mereka, kadang-kadang karena perasaaan berkewajiban dan kedekatan, kadang-kadang sebagai bagian dari pertukaran spesifik dengan layanan yang diberikan atau dijanjikan. Pemilih menggunakan suara mereka semata-mata untuk mempertahankan patron mereka, sehingga mendapat perlindungan dan bantuan patron. Menurut Scott (1972: 109), patron-klien tradisional sangat diubah oleh pengenalan pemilu. Partai politik yang terorganisir, dengan struktur yang relatif 20
birokratis, menggantikan tuan tanah dan tokoh lokal sebagai patron (Hopkins, 2006). Klien, yang menikmati standar hidup yang lebih tinggi dan secara naluriah menjadi kurang hormat, menuntut keuntungan material yang lebih langsung sebagai tukar suara mereka. Dalam klientilisme “partai massa” baru ini, pelanggan harus “membeli” suara dengan membagi-bagikan manfaat konret dan perlakuan khusus kepada pemilih individu atau kelompok pemilih. Lebih lanjut Hopkins (2006) mengungkapkan dalam patron-klien, pola hubungan kedua entitas yang ada lebih berwatak dualistik dibandingkan dualisme dan lebih mencerminkan sebuah pertukaran politik timbal-balik asimetris. Sebuah hubungan yang ditandai oleh pemberian sumberdaya ekonomi dan politik dari sang patron yang biasanya memiliki kekuasaan yang bersifat personal dan adanya pamrih loyalitas dan dukungan politik dari sang penerima “derma”. Pola pertukaran politik inilah yang dikenal sebagai bentuk patron-klien dalam ranah politik. Patron-klien politik, dalam pengertian yang paling sederhana, digambarkan sebagai distribusi keuntungan-keuntungan yang terseleksi kepada individu atau kelompok yang teridentifikasi secara jelas yang akan ditukar dengan dukungan politik dari penerimanya (Hopkin, 2006). Patroklien diciptakan dan dikembangkan hanya untuk menciptakan lapangan kerja pada para kolabolatornya, dalam hal ini hanya untuk mendistribusikan sumber daya kepada pendukungnya secara selektif yang dianggap memiliki kesetiaan di atas rata-rata. Penyimpangan patroklien juga telah merembet pada wilayah administrasi dan hukum. Patroklien mampu memanipulasi keduanya, untuk mempermudah 21
jalannya penguasaan. Robert Michels, Mosca (1939), dan Pereto (1935) mengungkapkan bahwa perilaku dan perubahan perilaku elit, memiliki efek signifikan dalam bentuk dan fungsi politik pada sebuah kekuasaan rezim atau penguasa.11 Pada akhinya, yang menjadi pertimbangan utama dalam patroklien adalah kesetiaan politik klien kepada patron. Praktik patron klien di dalam partai politik, menurut Dirk Tomsa dan Andreas Ufen12, adalah akibat dari ketidakmampuan partai untuk menangkap dinamika perubahan kepentingan publik, serta kurangnya sistem program dan integratif untuk mempromosikan sosialisasi politik yang lebih nyata. Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi semakin masifnya sistem patronklien bekerja di dalam partaipartai poltik di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yaitu13 (1) modernisasi sistem kepartaian itu sendiri, (2) diferensiasi dalam mengkonsolidasikan ideologi politik dan budaya, dimana (3) jalur dinamika yang secara historis berakar dan dibudidayakan , memperkuat selama bertahun-tahun, dan (4) faktor-faktor kelembagaan seperti pemilu dan partai hukum , checks and balances antara eksekutif dan legislatif , dan desentralisasi terus kekuatan untuk bos lokal.
11
Dalam Sharan, Timor. 2009. The Dynamics of Elite Networks and Patron-Client Relations in PostBonn Statebuilding Afghanistan. United Kingdom : University of Exeter. 12
Dikutip dari tulisan Dirk Tomsa dan Andreas Ufen pada Party Politics in Southeast Asia: Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and the Philippines. Dirk Tomsa and Andreas Ufen. Routledge. October 2012. Hal 2. 13
Ibid hal 3
22
Hopkins (2006), lebih lanjut , mengutarakan persamaan mendasar antara ciri patron-klien lama dan baru, hubungan masih bersifat instrumental, dan manfaat yang diberikan kepada klien sebagian besar masih bersifat pribadi dan bisa dikecualikan. Selanjutnya, Hopkins (2006) juga menunjukkan perbedaan ciri bentuk patronklien lama dan baru: pertama, hubungan kurang hirarkis dan lebih “demokratis”. Masih ada ketidakseimbangan kekuasaan, karena patron masih memiliki kontrol atas sumber daya yang diperlukan klien, tapi rasa hormat dan ketergantungan klien sudah berkurang; klien merasa semakin bebas untuk menggunakan suaranya sebagai komoditas untuk ditukar dengan apapun yang memaksimalkan utilitisnya. Kedua, sebagai akibat dari ini, konteks yang kurang hirarkis dan personal, klientilisme baru lebih kondusif bagi fluiditas (ketidakstabilan) dan perubahan perilaku pemilu, yang membuka kemungkinan persaingan dan pergantian elite yang lebih besar. Sedangkan bentuk pertukaran antara paton-klien lama dan baru, masih menurut Hopkins (2006), patron-klien lama adalah bentuk pertukaran sosial dan politik, dalam arti melibatkan prinsip bahwa satu orang memberikan perlakuan khusus kepada orang orang lain, dan meskipun ada harapan umum akan imbalan di masa depan, kepastiannya tidak ditetapkan di muka. Sebaliknya, patron-klien baru menyerupai pertukaran “ekonomi” atau ‘pasar”, di mana klien berusaha untuk memaksimalkan utilitas terlepas dari rasa kewajiban terhadap atau identifikasi dengan aktor lain. Dalam patron-klien baru, partai politik sebagai organisasi cenderung lebih mengemuka sebagai patron dibandingkan individu-individu yang ada di dalamnya. 23
Para pimpinan partai politik tidaklah seotonom para patron individual dalam polapola patron-klien lama. Mereka justru kini mulai tergantung pada partai politiknya. Implikasinya, berbagai aktivitas patron-klien, dalam pola patron-klien baru, didistribusikan oleh anggota partai politik, yang mendapatkan otorisasi untuk melakukan hal tersebut dari lapis yang lebih tinggi dalam hirarki partai politik. Klientelisme baru ini kemudian menjadi cenderung lebih terbirokratisasi dan tidak lagi terlalu terpersonalisasi meskipun kontak personal antara wakil partai politik dengan pemilih-pemilih individual masih tetap terjaga untuk memelihara hubungan. Bentuk patron-klien baru ini selaras dengan kohesi sosial dan formalisasi rantai komando dalam partai politik sehingga seringkali justru dianggap sebagai salah satu jalan yang mengindikasikan adanya institusionalisasi partai politik (ibid:408-409). Jika satu-satunya alasan untuk mendukung partai adalah pertukaran ekonomi secara langsung yang tidak termasuk perasaan loyalitas atau afinitas ideologis, tidak banyak peluang untuk menjangkarkan klien ke partai jika manfaatnya tidak segera datang. Hal ini membuka kemungkinan ketidakstabilan dan pergolakan politik, bukan kesinambungan atau bahkan stagnasi yang lebih sering diasosiasikan dengan sistem politik klientilistik. Ketika peran negara makin berkembang, yang melibatkan peraturan rinci kegiatan ekonomi dan penyediaan berbagai keuntungan finansial dan pelayanan publik, partai yang memerintah negara memiliki kemampuan lebih besar untuk memanipulasi dan menyalurkan sumber daya ini untuk ditukar dengan dukungan politik. 24
Pada demokrasi muda, partai sering digambarkan sebagai jaringan patronklien dengan kepentingan menuju independen yang lebih luas dari konflik bermasyarakat yang lebih luas. Tapi ada juga beberapa jenis ikatan. Kitschelt (2000) membedakan antara kharismatik, patron-klien, hubungan pemrograman, dan partai. Partai yang berkharisma didominasi oleh kepribadian tunggal, dimana politisi dalam partai
patronclient
‘…
membuat
ikatan
dengan
kepemimpinan
yang
berkesinambungan, pribadi, dan pembayaran yang khas’ (Kitschelt 2000: 849). Dalam teori kepemimpinan Max Weber (1920), mengungkapkan tentang “kharismatic leadership”, konsep kepemimpinan tunggal yang mengakui seseorang memiliki kemampuan, daya pengaruh, ideologi serta kekuatan untuk mampu mengikat dan memastikan kelompok yang dipimpinnya selalu menjadikan dirinya sebagai rujukan dan pengambil keputusan terakhir dan tertinggi. Keberadaan charismatic leader ini membuat partai politik bukan lagi sebagai tempat yang terbuka dan menjadi kesempatan untuk siapapun dapat mengekspresikan pemikirannya dan mendapatkan
kesempatan
yang
sama
untuk
memimpin.
Melainkan
telah
bertransformasi menjadi sebuah ruang aktualisasi patron-klien yang sangat nyata. Tokoh atau charismatic leader ini adalah sang patron, dan lingkar-lingkar terdekat adalah kliennya, dan para klien inti ini berperan sebagai patron untuk lingkar selanjutnya, dan begitu terus berkembang hingga hirarki di partai politik menjadi sangat berlapis (Jackson, 1981; Scott, 1993; Jarry, 1991 ) dan menjadi sangat sulit untuk ditembus oleh mereka yang tidak punya kedekatan kekeluargaan atau
25
emosional dengan sang patron. Itu mengapa jangan heran bila saat ini kita dapat lihat di berbagai partai politik, anak-anak sang patron yang cenderung masih muda dan mentah dalam berpolitik telah ditempatkan di posisi strategis di partai politik. Merekalah para klientes utama yang akan menjadi patron selanjutnya. Para klientes utama ini berusaha untuk terus memastikan posisinya kepada sang patron dan terus berusaha untuk memikat hati para klien-klien yang lain. Para klien lain tentu sadar bahwa masa depan mereka sangat ditentukan oleh sang Klientes utama. Mereka dijamin tidak akan mendapatkan posisi atau kekuasaan lain bila tidak terus “mendekat” dan “memikat” sang klientes utama. Machiavelli (1513) dalam bukunya Il Principe menuliskan dengan sangat gamblang tentang relasi patron-klien ini sebagai sebuah upaya dari sang penguasa untuk melestarikan kekuasaannya. “…seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan apa yang ia sendiri kuasanya dan bukan berdasarkan apa yang orang lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci, seperti yang telah dicatat…..”. Teori Machiavelli ini sangat dikenal seantero dunia dan telah menjadi rujukan dari banyak penguasa dunia untuk memastikan diri dan keluarganya dapat berkuasa untuk jangka panjang. Beberapa contoh nyata di dunia modern saat ini adalah Monarki Saudi Arabia, Keluarga Kim Jong Il di Korea Utara dan Klan Qaddafi di Libya. Lebih lanjut Machiavelli juga menjelaskan bagaimana ulah para klien untuk
26
memastikan mereka tetap dalam ikatan sang penguasa atau sang patron atau sang charismatic leader. “…Sudahlah hal yang lumrah bagi mereka yang ingin memenangkan hati seorang Pangeran harus menawarkan kepadanya hadiah-hadiah yang merupakan harta mereka yang paling berharga, harta yang mereka ketahui akan disukai sang Pangeran…” Bentuk baru dari patronisme dalam sebuah partai politik akibat adanya pengkultusan terhadap tokoh tertentu di sebuah partai. Hal ini seringkali memaksa partai menempatkan tokoh tersebut pada posisi tertinggi dan anggota keluarga partai tersebut pada posisi terhormat. Tokoh yang di kultuskan ini merupakan sosok yang sangat dihormati dan hampir semua perkataan beliau haruslah di ikuti. Ada semacam kepercayaan lebih kepada mereka. Akan tetapi biasanya partai yang mengandalkan ketokohan di internal partai terpusat pada satu tokoh, partai tersebut tidak akan bertahan lama. Faktor – faktor institusional dapat sangat memengaruhi prospek clientelism untuk mengakar dalam suatu sistem partai. Secara umum, personalisasi hak suara (melalui pemilihan langsung, hak suara mayoritas atau umum, pluralitas, distrik – distrik pemilihan yang kecil, memilih sesuai keinginan) memperbesar peluang patronklien, sedangkan sistem interpersonal dengan daftar calon – terhadap cenderung memperkuat alat – alat partai dan, sebagai implikasinya, program – program yang terkait dengannya. Tulisan Shin (dalam Dirk Tomsa) menggambarkan dengan jelas bagaimana penetapan suatu sistem pemilihan dapat mengubah sifat partai dan sistem 27
partai. Kekuasaan eksekutif presidensial dan legislatif yang kuat juga mendorong tertempanya ikatan – ikatan patron-klien, ketika sistem parlemen diyakini secara luas memfasilitasi
program
-
program
terkait.
Presidensialisme
mempunyai
kecenderungan memengaruhi partai – partai politik presidensialisasi, yaitu, fokus pada personalitas dan sentralisasi pengambilan – keputusan di dalam partai pemerintah atau di dalam kondisi pemerintah. Kurangnya demokrasi dalam partai berarti berkurang juga debat tentang isu – isu kebijakan dan fokus pemimpin – pemimpin yang kuat. Undang – undang partai dapat memperkuat struktur semacam itu ketika undang – undang tersebut gagal menetapkan peraturan - peraturan yang memfasilitasi demokrasi intra – partai. Lebih jauh, undang – undang tersebut dapat mendorong clientelism apabila tidak secara efektif menghambat pembelian –suara dan patronage atau ketika aturan – aturan bagi pembiayaan partai menguntungkan kandidat – kandidat yang kaya dan gagal memberikan insentif bagi pembangunan partai yang sungguh – sungguh.14 Persebaran kekuasaan di dalam administrasi negara juga berdampak pada clientelism. Desentralisasi di Indonesia dengan pemilihan – pemilihan lokal langsung bersama – sama dengan bangkitnya para pengambil suara dan konsultan agaknya menyebabkan komersialisasi politik dan, sehingga, menjadi bentuk baru patron-klien. Seringkali hanya yang lebih kuat, lebih kaya dan terkoneksi – baik secara lokal yang mampu membiayai kampanye dan menukarkan uang untuk dukungan oleh para 14
Dikutip dari Dirk Tomsa dan Andreas Ufen pada Party Politics in Southeast Asia: Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and the Philippines. Dirk Tomsa and Andreas Ufen. Routledge. October 2012. Hal 11
28
eksekutif partai (yang didorong melalui nominasi kandidat), para pelaku bisnis, para pemilih, para pengambil suara, dan lain – lain.15
D.3 Partai Politik Secara umum, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir dan anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya.16 Hal serupa diungkapkan oleh R.H. Soltau,17 bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang bertujuan menguasai pemerintahan dan dan melaksanakan kebijakan umum mereka. Lain halnya dengan Robert Michels18, yang mengamati partai politik sebagai bentuk persekutuan politik yang mengkombinasikan perspektif struktural dan psikologis. Hasilnya adalah pengamatan terhadap partai politik lebih diarahkan pada pergulatan antar elit dan massa pada umumnya, khususnya di antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai atau di antara pemimpin dengan kalangan yang dipimpin. Oleh karena itu, watak partai ditentukan oleh peranan pemimpin di dalam organisasi di satu pihak, dan kecenderungan yang dialami organisasi itu sendiri. Semua itu 15
Ibid. Hal 11 Dikutip dari Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo. 2001. Jakarta: Gramedia.hal 160-162. 17 Ibid hal 161 18 Dikutip dari Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Robert Michels. 1984. Jakarta: Rajalawali Press. Hal xii. 16
29
merujuk pada partai politik yang dikaji dari sisi kepemimpinan. Dua tema pokok di dalam pembahasan tentang kepemimpinan partai politik adalah, pertama, kebutuhan akan pemimpin di dalam kehidupan berkelompok dan kedua, sifat superioritas dari pemimpin atau elit partai. Berbagai keunggulan elit partai dan harapan-harapan massa itulah yang secara bersama-sama membangun situasi bagi tumbuhnya pola tingkah laku olgarkis di dalam partai politik. Hal ini diperkuat dengan beberapa indikator, yaitu ideologi, pengutamaan kepentingan, dan tujuan dari pemimpin. Jika pemimpin lebih memperhatikan sifat konserfatif dari idologi, elit partai lebih mementingkan kepentingan kelompok kecil mereka sendiri, dan pemimpin bertujuan untuk memelihara stabilitas di dalam partai. Dengan kata lain kecenderungan oligarkis partai terjadi manakala organisasi sepenuhnya dikendalikan oleh pemimpin. E. Definisi Koseptual E.1 Patroklien Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh
30
patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak
E.2. Patronklien dalam Partai Politik Patronage dimengerti secara lebih sempit sebagai penggunaan sumber daya yang disadap secara langsung dari negara, sering, meskipun tidak selalu, dengan tujuan mendapatkan dukungan pemilihan dari pemilih. Dengan kata lain, istilah patronage digunakan hanya jika patron menawarkan pekerjaan administrasi atau sumber daya negara pada client mereka. Patronage didefinisikan dengan ‘timbal balik, kesukarelawanan, eksploitasi, dominasi, dan asimetri’. Selain itu, menekankan bahwa meskipun eksploitasi karakter, hubungan patronage adalah menguntungkan satu sama lain bagi patron dan client.
E.3. Partai Politik Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir dan anggotaanggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Partai politik sebagai bentuk persekutuan politik antar elit dan massa pada umumnya, khususnya di antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai atau di antara pemimpin dengan kalangan yang dipimpin.
31
F. Metode Penelitian
F.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus (case study). Adapun alasan mengapa menggunakan penelitian jenis ini adalah keberadaan studi kasus dapat membantu kehandalan dan kejelasan atas pokok masalah yang diteliti (Monney, 1988). Jadi, studi kasus bukan lagi sekedar kajian sederhana, namun merupakan kajian yang lengkap, memiliki cakupan yang luas dan mendasar. Masalah yang dikaji tidak lagi terpusat pada kasus individual tetapi dapat pula memberikan pijakan bagi dilakukannya generalisasi yang lebih luas. Terkait dengan teori yang digunakan, lebih mengikat pada arahan untuk melakukan metode peneltian jenis ini. Konsep-konsep yang ada pada teori tersebut bersifat flesibel hanya bersifat mengarahkan (Sarantakos, 1993:15). Selain itu penelitian ini mengekplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci dalam bentuk teori, dan diharapkan memiliki kemampuan yang dalam dalam proses pengambilan data. Kasus yang diteliti adalah berupa peristiwa, kelompok, dan individu. Dalam penelitian ini lebih mengarah pada bentuk deskripsi analisis kasus dengan keberadaan pertanyaan “bagaimana”. Keberadaan tujaan penelitian yang lebih mengarahkan pada konsekuensi turun ke lapangan. Yakni mengetahui sumber-sumber daya patron dan klien, pembentukan relasi diantara keduanya, pola pertukaran sumber daya diantara patron dan klien, dan runtuhnya hubungan antara patron dengan klien. 32
Karena setting dan obyeknya dalam suatu kesatuan, yaitu manusia dalam konteks situasi di mana mereka berada. Sehingga penelitian ini bersifat induktif, yakni mendasarkan pada prosedur logika yang berawal dari proporsi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-konsep, pengertian-pengertian, dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang ditemui dilapangan (Taylor dan Bogdan, 1984; Marshall dan Rossman, 1989; Silverman, 1993). Selain itu, penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Adapun kelemahan metode studi kasus ini adalah masalah validitas, reliabilitas, dan generlisasi temuan19. Isu validitas berkaitan dengan keabsahan obyek studi dalam mewakili kelompok kasus-kasus lain. Obyek pada studi umumnya sedikit jumlahnya, bahkan jarang sekali tunggal. Akibatnya, tingkat validitas hasil penelitiannya seringkali diragukan. Isu realibilitas berkenaan dengan tingkat kesihihan hasil yang diperoleh apabila studi yang sama diulang atau direplikasi pada kasus lain di tempat dan waktu yang lain. Sedangkan isu generalisasi bersinggungan dengan tingkat kemampuan teorisasi temuan dan penerapannya pada populasi yang serupa di tempat lain. Harus diakui bahwa hasil generalisasi dari studi kasus, jika tidak dilakukan dengan penuh kehati-hatian, akan sulit untuk diterima secara umum. Semua kelemahan itu dapat diatasi jika peneliti mampu mendeskripsikan data-data dan faktafakta yang diperoleh dengan teliti, rijit, dan sistematis.
19
Lihat Agus Salim Teori dan Paradigma Penelitian Sosial hal 105-109 yang menjelaskan mengenai validitas dan realibilitas. Serta hal. 125 mengenai kelemahan studi kasus.
33
Namun, harus diakui bahwa ketika menggunakan metode studi kasus maka peneliti mampu belajar tentang pengetahuan proporsional dan pengetahuan eksperimental. Pengetahuan proporsional berkaitan dengan cara mendeskripsikan temuan yang diasimilasikan dalam bentuk pemaparan tektual yang unik, kaya, spesifik,
dan
kadang-kadang
bernada
emosional.
Sedangkan
pengetahuan
eksperimental lebih mengacu pada fakta-fakta, data, dan informasi aktual yang dikumpulkan dalam bentuk narasi yang menggambarkan kasus. Kelebihan-kelebihan ini hanya akan menjadi hal yang sia-sia ketika data yang diperoleh tidak terfokus pada tema yang diteliti.
F.2. Unit Analisis Data F.2.1 Populasi Populasi merupakan keseluruahan unit yang akan diteliti. Dalam penelitian tentang patronklien dalam partai politik, studi kasus Partai Golkar Tuban ini adalah seluruh orang yang terlibat, baik di dalam secara struktural maupun yang berada di luar Partai Golkar Kabupaten Tuban. Adapun alasannya adalah fenomena patronklien dalam Partai Golkar di Kabupaten Tuban sangat kental dan telah mengakar sampai hari ini. Sehingga harapannya data yang diperoleh dapat melacak lebih lanjut relasi yang terbentuk antara patron dan klien yang selama ini berkolaborasi dalam mendistribusikan dan mempertukakan sumber daya melalui media partai politik.
F.2.2. Sampel 34
Sampel merupakan proporsi yang lebih kecil dari populasi, dan menjadi subyek penelitian. Adapun sampel yang diambil adalah: 1. Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golongan Karya (Golkar) Kabupaten Tuban 2. Anggota DPRD yang berasal dari Partai Golongan Karya di Kabupaten Tuban 3. Perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), dan/atau CV yang disinyalir memiliki hubungan dengan petinggi Partai Golongan Karya (Golkar) di Kabupaten Tuban. 4. Birokrat yang memiliki kedekatan politik dengan pemimpin partai Golkar. Dalam hal ini, nomor 1 dan 3 ditempatkan sebagai patron, sedangkan nomor 2 dan 4 ditempatkan sebagai klien. Hal ini dikarenakan berdasarkan teori yang digunakan mengenai gambaran kuantitas patron dan klien.
F.3. Teknik Pengumpulan Data F.3.1. Sumber Data Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber informasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari sumber informasi, bisa dalam bentuk literatur, media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen, atau data-data lain yang dapat mendukung data primer. Dalam penelitian ini, data primer yang dibutuhkan adalah data yang mempu menggambarkan dan menunjukkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh patron 35
dan kliennya, serta mampu menggambarkan relasi yang terbentuk di antara patron dan klien, sekaligus memberikan pandangan cara dalam usaha melakukan pertukaran sumber daya tersebut. Data sekunder dapat berupa dokumen, curiculum vitae, atau berita-berita yang berasal dari media cetak dan elektronik. Semua itu dimaksudkan untuk mengenal patron dan kliennya.
F.3.2. Cara Mengumpulkan Data Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Pertama, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan terbuka kepada sampel-sampel yang telah dipilih. Hasil wawancara dalam bentuk rekaman dan point-point pembicaraan. Dalam hal menjaga perasaan bagi sumber informasi yang tidak suka dengan rekaman maka peneliti mengantisipasi dengan menulis wawancara dengan cepat dan substansial, sesuai dengan data yang diinginkan. Kedua, data diperoleh dengan jalan melakukan obeservasi langsung. Data yang diperoleh melalui obeservasi langsung terdiri dari rincian tentang kegiatan, perilaku,
tindakan
orang-orang,
serta
keseluruhan
kemungkinan
interaksi
interpersonal, dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman sumber informasi.
36
Ketiga, data diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis, dalam bentuk data sekunder, yang mampu memperkuat data primer dari wawancara dan observasi. Kebanyakan data dokumen ini adalah dalam bentuk berita dari media cetak.
F.4. Teknik Analisis Data Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan cara: pertama, menbuat list wawancara dengan narasumber. Kedua,
mengklasifiksikan atau mengkatagorikan
data berdasarkan beberapa tema sesuai dengan fokus penelitiannya. Ketiga menggabungkan semua hasil wawancara, observasi, dan studi literatur yang setema. Data yang digunakan adalah data yang berhubungan langsung dengan tema pembahasan peneltian. Kesimpulan didapat setelah menemukan pola relasi antara patron dan klien dalam rangka melakukan pertukaran sumber daya yang dimiliki masing-masing. Serta mampu mendeskrisikan sumber daya apa saja yang dimiliki oleh patron dan klien yang kemudian dilanjutkan pada tahap pengelolaan sumber daya oleh patron dalam melakukan penguasaan terhadap klien.
G. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitin dibagi dalam lima bab. Bab pertama memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Selain itu juga memaparkan konsep-konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Yang kemudian 37
dilanjutkan dengan metode penelitian yang digunakan. Bab kedua menjelaskan secara umum profil Partai Golkar Kabupaten Tuban dan kiprah politiknya dalam pesta demokrasi di Indonesia, terutama pada proses pemilihan umum (pemilu). Bab ketiga berisi tentang proses munculnya aktor-aktor dalam hubungan relasi patron-klien di Partai Golkar Kabupaten Tuban dan deskripsi sumber daya patron yang dikelola untuk dipertukarkan dengan klien, atau sebaliknya, dalam rangka mengakumulasi, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam hubungan patronklien melalui pengorganisasi partai
politik dan pemilihan kepala daerah. Bab keempat
menggambarkan bentuk-bentuk perlawanan dan cara untuk meredam perlawanan yang dilakukan baik oleh patron maupun klien hingga berakhirnya hubungan patronklien tersebut.. Bab kelima kesimpulan penelitian dan posisi hasil penelitian ini dalam politik patron-klien dalam partai politik, yaitu Partai Golkar di Kabupaten Tuban.
38
39