KEPEMIMPINAN PARTAI GOLKAR PASCA ORDE BARU (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar)
Skripsi Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh: Nurcholifah NIM: 107033201647
PRODI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
KEPEMIMPINAN PARTAI GOLKAR PASCA ORDE BARU (Studi PerbandinganPola KepemimpinanAkbar Tandjung dan MuhammadJusuf Kalla [Periode2004[Periode1999-2004] 20091dalam Partai Golkar) Skripsi DiajukanKepadaFakultasIlmu SosialdanIlmu Politik Memperoleh Untuk MemenuhiPersyaratan GelarSarjanaSosial(S.Sos)
Oleh: Nurcholifah NIM: 107033201647
DosenPembimbing:
A. Bakir Ihsan" M. Si NIP: 19724122t0312 | 002
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAI{ ILMU POLITIK U]\IVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433HJ20ltN4
PENGESAHAN PANITIA UJIAN skripsi berjudul 'SKEPEMTMPTNAN PARTAT GOLKAR PASCA ORDE BARU (STUDI PERBANDINGAN AIGAR TANJUNG [PERIODE 19992OO4IDAN MUHAMMAD JUSUF KALLA [PERIODE 2OO4.2OA9I DALAM PARTAT GOLKAR), telah diujikan dalam sidangmunaqosyahFakultasIlmu SosialdanIlmu Politik UniversitasIslamNegeriSyarifHidayatullahpadatanggal 24 November 2011. Skripsi ini telah ditetapkansebagai salah satu syarat memperoleh gelarSarjanaSosial(S. sos) padaprogramStudiIlmu politik. J akarta, 24 Novemb er 2AI 1
SidangMunaqosyah Ketua Merangkap Anggota
SekretarisMerangkapAnggota
19651212199203I 004
NIP. 19730927 200501I 008 Pembimbing
I
w_"_=
A. Bakir lhsan.M.Si NIP. I 972A4n 2003121 002
Anggota Penguji I
NIP: 19651212 r992A3I0A4
730927200501I 008
LEMBAR PER}I-YATAAN Dengan ini sayamenyatakanbahwa : l.
Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-I di tlIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudianhari terbuktibahwakaryaini bukanhasil karyaasli saya atau merupakanhasil jiplakan dari karya orang lain maka sayabersedia menerimasanksiyangberlakudi UIN SyarifHidayatullahJakarta.
ul
x
ABSTRAK Nurcholifah, “KEPEMIMPINAN PARTAI GOLKAR PASCA ORDE BARU (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 19992004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar) Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pembahasan pada kepemimpinan mantan ketua Partai Golkar Akbar Tandjung yang menjadi ketua umum Partai Golkar periode 1999-2004 dan Muhammad Jusuf Kalla yang menjadi ketua umum Partai Golkar periode 2004-2009. Hal ini penulis lakukan agar pembahasan menjadi fokus dan tidak melebar ke periode yang lebih lama lagi karena keterbatasan penulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan hasil wawancara sebagai sumber primer. Adapun sumber sekunder penulis peroleh dari berbagai literatur, baik dari buku, majalah, maupun artikel yang ada di internet. Wawancara dilakukan dengan kedua tokoh tersebut, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dengan menggunakan interview guide (pedoman wawancara). Hal ini penulis lakukan agar wawancara tidak melebar ke hal-hal di luar pembahasan dan menjadi fokus pada inti permasalahan yang ingin dianalisa dalam skripsi ini. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Akbar Tandjung lebih bersifat paternalistik. Hal ini terlihat dari bagaimana Akbar Tandjung mengambil keputusan mengenai kebijakan Partai Golkar yang mengutamakan keselarasan antar sesama pengurus dengan banyak melibatkan para senior untuk mendapatkan pengarahan. Sedangkan gaya kepemimpinan Jusuf Kalla bersifat demokratis. Menilik latar belakang Jusuf Kalla sebagai pengusaha, tidak mengherankan jika kebijakankebijakan yang diambil oleh Jusuf Kalla bersifat efisien, lugas, dan terus terang
iii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru: Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar”. Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak di antaranya: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan kontribusi dalam segala hal. 4. Bapak A. Bakir Ihsan, M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di antara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini. 5. Bapak Idris Thaha, M. Si. dan Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Dewan Pertimbangan Skripsi (DPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
6. Kepada seluruh Staf TU FISIP, terima kasih atas bantuan administrasi surat menyuratnya. 7. Bapak Dr. Ir Akbar Tandjung dan Muhammad Jusuf Kalla selaku mantan Ketua Umum Partai Golkar yang sudah meluangkan waktunya untuk wawancara dan pemberian buku terkait Partai Golkar, semoga bermanfaat bagi penulis. 8. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Akbar Institute, Kalla Grup, Freedom Institute dan The Indonesia Institute, terima kasih telah meminjamkan dan memberikan buku semoga menambah wawasan dan bermanfaat serta berguna dalam penyelesaian Skripsi ini. 9. Ayahanda dan ibunda tercinta, yang selalu memberikan kasih sayang baik lahir maupun bathin, dukungan, doa yang tak henti-hentinya kalian curahkan, sehingga penulis dalam menjalani perkuliahan mampu menyelesaikan skripsi ini. 10. Kakakku tersayang, Nurjoko SH dan Marwan Kusuma Wijaya terima kasih sudah memberikan semangat untuk adeknya dalam menyelesaikan penulisan karya ini. 11. Imam Baihaqi (Ibeq) terima kasih yang selalu setia dan tidak pernah letih memberikan semangat dan dukungan serta perhatian yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kehadiranmu bagaikan buku yang tak pernah selesai penulis baca. Thanks for everything. 12. Teman-teman Kost ku “Gayo Building dan Maus Village” yaitu Neneng terima kasih atas kebersamaannya, yang selalu bersama-sama dalam suka maupun duka, Ida, Teh Dahlia, Teh Ina, Fia, Nani dan Teh Ika, Hana, vi
Lina, Evi, dan Marni yang selalu memberikan semangat dan kritikan yang membangun. 13. Teman-temann UIN Yogyakarta terima kasih atas kesetiaan dalam berjuang, diskusi, dukungan kepada penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini yaitu Mas Anaiza Utama Al-Ishaqi, Mas Rozali, Mas Irfan, Mas Djul, Mas Ully dan teman-teman lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya. 14. Kawan-kawan 2005, 2006 dan 2007 yaitu Siti, Abas, Siha, Lupih, Deni, Irvan in the gank, Ipul, Iwan, Muklas, Ones, Fikri, Beni, Ipank, Nadya, Putri kalian semua adalah teman-teman yang memberi nuansa hidup selama di kelas. Ka Rifat, Ka Rahmat, Ka Dedy, Ka Rina, Ka Hadi, Ka Rio, Ka Amin yang selalu memberikan input dan output selama kuliah. Eko Indrayadi, Lina Sumaya, Mutia, Jula dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu dukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Jakarta, 8 Desember 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .........................................................i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................ii LEMBAR PERNYATAAN .....................................................................................iii ABSTRAK ..............................................................................................................iv KATA PENGANTAR ..............................................................................................v DAFTAR ISI .............................................................................................................viii DAFTAR ISTILAH .................................................................................................xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................6 C. Tujuan dan Manfaat Masalah .........................................................7 D. Metodologi Penelitian .....................................................................8 E. Sistematika Penelitian .....................................................................9
BAB II
TEORI KEPEMIMPINAN A. Pengertian Kepemimpinan ..............................................................13 B. Teori dan Gaya Kepemimpinan ......................................................17
BAB III
SEJARAH TANDJUNG
PARTAI DAN
GOLKAR JUSUF
GOLKAR
viii
DAN
KALLA
PROFIL DALAM
AKBAR PARTAI
A. Sejarah Partai Golkar ......................................................................30 1. Partai Golkar sebelum Reformasi .............................................30 2. Partai Golkar setelah Reformasi ...............................................33 B. Profil Akbar Tandjung ....................................................................36 1. Masa Kecil dan Remaja Akbar Tandjung .................................36 2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Akbar Tandjung ........................................................................37 3. Karir Politik Akbar Tandjung di Partai Golkar ........................38 C. Profil Jusuf Kalla ............................................................................39 1. Masa Kecil dan Remaja Jusuf Kalla ........................................39 2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Jusuf Kalla ..........................................................................................40 3. Karir Politik Jusuf Kalla di Partai Golkar .................................42
BAB IV
ANALISIS TANDJUNG
KOMPARATIF DAN
JUSUF
KEPEMIMPINAN
AKBAR
KALLA
PARTAI
DALAM
GOLKAR A. Kepemimpinan Politik Akbar Tandjung .........................................44 1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Paternalistik .................44 2. Akbar Tandjung sang Penyelamat Partai Golkar .....................48 3. Kiat-Kiat Akbar Tandjung dalam Memimpin Partai Golkar ....50 B. Kepemimpinan Politik Jusuf Kalla ................................................53 1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Egaliter .......................53
ix
2. Jusuf Kalla Sosok Progresif ......................................................59 3. Kiat-kiat Jusuf Kalla dalam Memimpin Partai Golkar .............61 C. Pengaruh Kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla ...........62 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................................64 B. Saran dan Kritik ..............................................................................66
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................67
x
DAFTAR ISTILAH
Birokrasi
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang kepada hirarki dan jenjang jabatan.
Demokratis
Bersifat
demokratis:
gagasan
atau
pandangan
hidup
yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Eksekutif
Kekuasaan yang menjalankan Undang-undang.
Interpretasi
Pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu.
Kharismatik Keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya. Konstelasi
keadaan, tatanan.
Konstitusi
Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan sebagainya).
Konvensi
Konferensi tokoh masyarakat atau partai politik dengan tujuan khusus (memilih calon untuk pemilihan anggota DPR, dan sebagainya).
Legislatif
Kekuasaan yang membuat Undang-undang.
Moderat
Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Orde Baru
Sistem
(pemerintahan
dan
sebagainya)
yang
dimulai
sejak
diangkatnya Soeharto menjadi Presiden RI pada tahun 1965 sampai dengan lengsernya Soeharto pada tahun 1998.
xi
Organisasi
Kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) di perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu.
Orientasi
Peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar
Otoritas
Kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga di masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya.
Reformasi
Perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.
Responsif
Bersifat merespon, menanggapi.
Statis
tetap; diam atau tidak berubah keadaan.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa kali pentas pemilihan umum secara demokratis sejak 1999, Partai Golkar menjadi salah satu partai yang sangat diperhitungkan. Hal ini, khususnya bisa dilihat dari fakta bahwa Partai Golkar selalu masuk tiga besar pada setiap proses pemilihan umum. Prestasi tersebut dicapai melalui perjuangan dan strategi-strategi para elit partai untuk tetap menjadikan sebagai partai besar sekaligus partai yang dominan. Banyak pengamat memandang bahwa, kesuksesan Partai Golkar dalam mempertahankan posisinya sebagai partai yang dominan, tidak hanya ditopang oleh kecanggihan strategi-taktik, tapi juga ditopang oleh kepemimpinan partai yang efektif, efisien dan kuat. Setidaknya jika dilihat dari segi lainnya, partai ini dalam menguasai pemerintahan. Banyaknya elit Partai Golkar yang menempati posisi penting yang berada di pemerintahan, menjadi bukti nyata pernyataan tersebut. Kekuatan organisasi Golkar dan kecanggihan elit partai penguasa dibuktikan dengan fakta bahwa Partai Golkar telah dan pernah menjadi the rulling party. Skripsi ini bermaksud menjelaskan tentang taktik dan strategi Partai Golkar dalam upaya mempertahankan dirinya dalam pemilu pasca 1998. Yang menjadi fokus kajian strategi politik di sini adalah pola kepemimpinan
1
2
partai. Dengan memfokuskan diri pada profil kepemimpinan partai pada periode Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Pasca lengsernya Orde Baru yang di bawah rezim Soeharto pada tahun 1998, Golkar menghadapi tekanan-tekanan politik yang sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat. Bahkan, ketika roda reformasi bergulir, isu dan tekanan terhadap pembubaran Partai Golkar begitu kuat karena kaum reformis memasukkan Partai Golkar dalam satu pilar dengan Soeharto dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).1 Banyak elemen masyarakat dan mahasiswa yang menuntut Partai Golkar dibubarkan. Partai Golkar dianggap bertanggung jawab terhadap carut-marutnya kondisi bangsa Indonesia, terutama kondisi ekonomi. Selain itu, Partai Golkar juga menjadi mesin politik Orde Baru, sehingga hampir di semua sektor pemerintahan dikuasai oleh para petinggi Golkar. Tuntutan agar Partai Golkar dibubarkan ditandai dengan maraknya aksi dan pembakaran gedung-gedung Golkar, menjadikan Partai Golkar berada di ujung tanduk. Di tengah situasi banyaknya elemen masyarakat dan mahasiswa yang menuntut Partai Golkar dibubarkan, Partai Golkar dituntut bekerja ekstra keras dari kader-kadernya,2 terlebih lagi para tokoh sentralnya, agar Golkar tetap bertahan dan jangan sampai dibubarkan, serta tetap menjadi partai besar serta memiliki kader yang solid.3 Di titik yang paling kritis antara dibubarkan atau tidak, muncullah tokoh Golkar, yaitu Akbar Tandjung dengan membawa 1
Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur: Esai Kearifan Pemimpin, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 65-66. 2 Denny J.A, Jalan Panjang Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 226. 3 Aulia A. Rahman, Citra Khalayak Tentang Golkar, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006), h. xxiv.
3
jargon “Golkar Baru”. Sehingga Partai Golkar bisa diselamatkan oleh Akbar Tandjung.4 Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dengan idiom “Golkar Baru“ akhirnya Partai Golkar bisa dibawa keluar dari kemelut.
Sebagai
langkah politik awal, Akbar Tandjung menjadikan Partai Golkar lebih demokratis dan terbuka dengan dibuktikan pada penjaringan capres-wapres di internal Partai Golkar pada pemilu 2004. Partai Golkar membuat konvensi internal partai. Akbar Tandjung mampu mencitrakan Partai Golkar sebagai partai baru yang tidak mempunyai relasi politik dengan Orde Baru. Selain tetap bertahan di panggung politik Indonesia, Partai Golkar juga bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini, membuka kran demokratisasi di internal Partai Golkar. Akbar Tandjung selaku ketua umum, berupaya keras untuk menanamkan motivasi kepada para pengurus dan kader-kader partai agar tidak patah semangat dalam menghadapi berbagai tekanan politik.5 Bahkan Akbar Tandjung sering berkunjung ke daerah-daerah dalam rangka konsolidasi Partai Golkar. Banyak pengamat politik yang memprediksi di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung, Partai Golkar tidak akan mampu bertahan hidup (survive).6 Hal ini berkaitan dengan anggapan masyarakat, bahwa Partai Golkar merupakan kekuatan politik pendukung utama rezim Orde Baru. Meskipun kalah pada pemilu 1999, dengan kepiawaian Akbar Tandjung, Partai Golkar
4
Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur, h. 66. Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur, h. 121. 6 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 9. 5
4
mampu dengan cepat berintrospeksi dan berkonsolidasi yang akhirnya memenangkan kembali pemilihan umum 2004. Pasca kepemimpinan Akbar Tandjung di Partai Golkar selama satu periode 1999-2004, nahkoda Partai Golkar digantikan oleh Jusuf Kalla pada Munas VII melalui kongres Golkar di Bali 28-30 Nopember 2004.7 Gaya kepemimpinan Jusuf Kalla tentu sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan Akbar Tandjung. Akbar adalah seorang politisi tulen, sedangkan Jusuf Kalla adalah pengusaha. Keluarganya adalah pengusaha yang tumbuh dari bawah dan hidup dengan penuh kesulitan. Darah dan adat Bugis sangat kuat melekat dalam diri Jusuf Kalla. Dalam pergaulan dikenal hangat, berbicara terbuka dan tidak jarang sebagaimana kebiasaan orang Sulawesi Selatan, eksplosif. Dalam kepemimpinan, Jusuf Kalla lebih mengutamakan hal-hal yang sifatnya teknis, karena latar belakang yang dimilikinya adalah pengusaha. Namun, sebagai salah satu syarat untuk menjadi pemimpin, kemampuan yang lebih dibutuhkan adalah kemampuan untuk mensinergikan kekekuatankekuatan di bawah kepemimpinannya itu supaya dapat melangkah seirama dan sejalan. Setiap kali beliau ditanya mengenai sesuatu, beliau dengan jelas menjawab dan mengatakan tentang penyelesaiannya yang begitu gamblang, sampai masuk ke dalam level teknis. Gaya kepemimpinan Jusuf Kalla yang cenderung pragmatis bukan berarti tanpa resiko. Bahkan pendahulunya Akbar Tandjung sempat mengkritik gaya kepemimpinan Jusuf Kalla di Partai Golkar yang 7
Slamet Hariyanto, “ Pemerintah Dicurigai Intervensi Kongres Parpol,” artikel diakses pada tanggal 18 Mei 2011.
5
disampaikan, ketika menjawab ujian doktoral di Program Pasca Sarjana Universitas
Gajah
Mada.8
Kritik
Akbar
Tandjung
terhadap
gaya
kepemimpinan Jusuf Kalla adalah sebagai berikut: “Kepemimpinan Jusuf Kalla yang hanya berorientasi pada kekuasaan jangka pendek tanpa memperhatikan tiga hal penting dalam memimpin partai yaitu memperkuat kelembagaan partai, intensitas konsolidasi partai dan rekrutmen untuk mencari kader-kader terbaik. “Itulah bedanya kepemimpinan partai di bawah saudagar dengan kepemimpinan partai oleh politisi pejuang. Saya ini politisi pejuang yang tentunya mempunyai cita-cita untuk membesarkan partai,” kata Akbar Tandjung sambil menambahkan saudagar yang memimpin partai juga cenderung berpikir singkat menganggap implikasi dari langkah yang diambil belakangan”.9 Seorang pemimpin mempunyai gaya kepemimpinannya masingmasing. Begitu pula dengan gaya Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla, gaya kepemimpinan melekat pada diri seseorang yang dibentuk dari proses panjang berdasarkan lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan, latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan teman, lingkungan kerja, nilai-nilai yang diemban, serta pengaruh-pengaruh lainnya.10 Pemimpin merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah organisasi. Pemimpin atau kepemimpinan merupakan kekuatan penggerak organisasi.11 Arah dan tujuan organisasi, amat sangat dipengaruhi oleh gaya
8
Dalam sidang terbuka yang dihadiri tiga Menteri Kabinet, yaitu Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Perekonomian Boediono, Menteri Hukum dan Ham Andi Matalatta. Selain dihadiri oleh Menteri, juga dihadiri oleh Ketua Umum yakni Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Sekjen PDIP Pramono Anung. 9 “Kecam Kepemimpinan Jusuf Kalla,” Sinar harapan 1 September 2007, h. 2. 10 Mar’ie Muhammad, “Gaya Kepemimpinan SBY-JK” Majalah Bisnis Indonesia, 11 Oktober 2004, h. 17. 11 Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. v.
6
kepemimpinan. Pemimpin memegang kendali yang cukup signifikan dalam setiap kebijakan yang hendak dikeluarkan tentang suatu permasalahan. Dari latar belakang di atas, penulis mempunyai ketertarikan untuk melakukan penelitian dan pengkajian terhadap gaya kepemimpinan dua tokoh tersebut dalam membawa Partai Golkar, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Karena pada saat itu, di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla Partai Golkar merupakan partai yang sangat berpengaruh dalam dinamika politik nasional.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, agar skripsi ini lebih terarah, maka penulis dalam pembahasannya akan membatasi pada seputar kepemimpinan Partai Golkar pasca Orde Baru dalam kepemimpinan Akbar Tandjung (19992004) dan Jusuf Kalla (2004-2009). Adapun pertanyaan yang dapat dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan pada skripsi ini adalah: 1. Apa perbedaan dan persamaan pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam memimpin Partai Golkar pasca Orde Baru? 2. Bagaimana pengaruh pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla bagi perkembangan Partai Golkar?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana layaknya penulisan karya tulis, tentu saja skripsi ini juga memiliki tujuan-tujuan yang nyata dalam upaya dan proses penulisannya. Adapun yang dituju dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru. 2. Untuk mengetahui pola kepemimpinan partai yang cocok dalam konteks kepartaian dalam masa demokratisasi di Indonesia. 3. Untuk
memenuhi
persyaratan
akademik
bagi
penulis
dalam
menyelesaikan studi tingkat Sarjana Program Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Politik dengan gelar Sarjana Sosial (S. Sos). Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang politik, khususnya mengenai partai politik dalam hal ini kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru. 2. Sebagai tambahan wacana politik untuk turut serta membangun perpolitikan nasional sebagai warga negara yang memiliki kesadaran politik. 3. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan diterapkan untuk menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
8
D. Metodologi Penelitian 1.
Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif,12 yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu penulis menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta mengkaji dan menelaah lebih jauh tentang pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru.
2. Teknik pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data penelitian ini adalah pertama, dokumentasi yang meliputi bahan kajian dalam bentuk karya tulis baik dalam bentuk buku, artikel, jurnal, makalah seminar, buku, dokumendokumen Partai Golkar maupun data yang berasal dari media masa. Kedua, wawancara yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung,13 di mana dua atau lebih bertatap muka, menggali secara langsung informasi atau keterangan dari beberapa narasumber yang memahami pola-pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru. 3. Teknik analisis data Sedangkan tekhnik analisis merupakan salah satu tekhnik dalam penelitian dengan melakukan analisa-analisa dari data-data yang didapat. Analisa ini bertujuan untuk menjelaskan sedetail mungkin dengan hal-hal 12
Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 30. 13 Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani, Observasi & Wawancara, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 63.
9
yang berkaitan tentang pola kepemimpinan Partai Golkar pasca Orde Baru.14 Maka analisis yang akan digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, menggali data dan informasi mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola,15 dengan tujuan mencari gambaran yang sistematis, faktual, aktual mengenai fakta-fakta dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru. 4. Teknik penulisan Adapun pedoman penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Anssurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan Dalam rangka untuk mempermudah penulisan laporan penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-bab sebagaimana berikut: Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, mengapa penulis memutuskan untuk membahas tentang gaya kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Agar pembahasan tidak meluas, penulis perlu melakukan batasan masalah terhadap tema 14
Lisa Horrison, Metodologi Penelitian Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 86. Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 35. 15
10
penelitian yang dilanjutkan dengan perumusan masalah. Lalu diikuti oleh tujuan dan manfaat kegunaan. Kemudian dibahas tentang metodologi yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini. Sedangkan yang terakhir adalah sistematika penulisan. Bab II membahas tentang Teori Kepemimpinan. Pada bab ini penulis menguraikan tentang pengertian kepemimpinan, teori-teori yang terkait dengan kepemimpinan, serta gaya-gaya yang ada dalam teori kepemimpinan. Bab III adalah Sejarah Partai Gokar dan Profil Akbar Tandjung dan Yusuf Kalla. Dalam bab ini diuraikan tentang sejarah Partai Golkar, Partai Golkar sebelum reformasi, Partai Golkar setelah reformasi. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai profil Akbar Tandjung, yang didalamnya dibahas tentang masa kecil dan remaja, latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, serta karir politik di Partai Golkar. Pembahasan berikutnya berkenaan dengan profil Jusuf Kalla, yang membahas tentang masa kecil dan remaja, latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, serta karir politik di Partai Golkar. Bab IV merupakan analisis hasil penelitian. Dalam bab ini penulis membahas tentang kepemimpinan politik Akbar Tandjung, yang di dalamnya diuraikan tentang gaya kepemimpinan demokratis dan paternalistik, Akbar Tandjung sang penyelemat Partai Golkar, dan kiat-kiat Akbar Tandjung dalam memimpin Partai Golkar. Dilanjutkan dengan pembahasnya mengenai kepemimpinan politik Jusuf Kalla. Dalam sub bab ini, akan dianalisis tentang gaya kepemimpinan yang demokratis dan egaliter, Jusuf Kalla sosok progresif, kiat-kiat Jusuf Kalla dalam memimpin Partai Golkar. Berikutnya adalah Pengaruh kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.
11
Bab V merupakan Penutup. Dalam bab ini akan dibuat kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisis temuan penelitian disertai dengan saran dan kritik dari penulis.
BAB II LANDASAN TEORI
Kepemimpinan memiliki peran penting dalam membawa eksistensi sebuah organisasi, sehingga boleh dikatakan bahwa 50% kesuksesan organisasi ditentukan oleh pemimpin. Oleh sebab itu, studi terhadap kepemimpinan menjadi fokus tersendiri pula. Pemimpin pada awalnya lahir secara alami, yaitu melalui seleksi alam (the survival of the fittest). Siapa yang lolos dan mampu bertahan dalam seleksi tersebut, maka ia akan bertahan hidup dan menjadi pilihan-pilihan untuk menjadi pemimpin. Namun, pada saat ini pemimpin sudah banyak dilahirkan melalui latihan. Terlepas dari itu semua, konsep-konsep maupun paradigma kepemimpinan terus berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman.1
Seorang pemimpin haruslah memiliki visi dan misi yang jelas sebagai sebuah pijakan dalam melangkah. Untuk itu, gagasan dan visi seorang pemimpin menentukan arah bagi perjalanan organisasi yang dipimpinnya. Dengan visi, maka tujuan, orientasi dan pengembangan organisasi dapat ditetapkan. Sehingga menjadi terpola dan sistematis.
Herman Musakabe memberikan beberapa substansi pokok yang perlu ada dalam sebuah visi sebagai berikut: pertama, visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Kedua, visi 1
Pahmi Sy, Politik Pencitraan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h. 190.
12
13
adalah pandangan ke masa depan yang mampu memberi inspirasi kepada para pemimpin dan memberi motivasi kepada orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan yang ditentukan oleh pemimpin. Ketiga, visi harus realistis, yakni mampu menjembatani masa kini dengan masa depan lebih baik yang dapat dicapai sesuai dengan kondisi sosial (ekonomi, politik, dan budaya) masyarakat yang berlaku. Keempat, visi mengandung harapan-harapan bagi orang-orang yang dipimpin. Visi adalah impian seorang pemimpin yang harus diubah menjadi kenyataan.2
Kepemimpinan masa depan harus mampu melakukan otokritik dan merespon berbagai persoalan masyarakat. Untuk itu, kekritisan seorang pemimpin haruslah menjadi bagian penting dalam menjalankan roda kepemimpinan. Kepemimpinan kritis akan melihat segala sesuatu itu secara obyektif terhadap organisasinya sendiri maupun terhadap persoalan sosial kemasyarakatan. Selain itu, kepemimpinan kritis menempatkan keadilan dalam membuat kebijakan.
Dibawah ini, penulis hendak mengelaborasi sedikit tentang beberapa teori kepemimpinan sebagai alat analisa dalam pembahasan penelitian untuk tugas akhir. A. Pengertian kepemimpinan Kepemimpinan merupakan tema yang selalu menarik. Ia selalu memiliki corak dan warna tersendiri sesuai dengan tuntutan kebutuhan situasi dan kondisi masanya. Kepemimpinan merupakan fenomena kemasyarakatan 2
Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati di Tengah Krisis dan Reformasi, (Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 37-41.
14
dan kebangsaan, yang berpengaruh terhadap perkembangan proses kenegaraan. Hal ini dikarenakan, kepemimpinan menjadi salah satu fungsi yang dapat mendorong terwujudnya cita-cita, tujuan, dan aspirasi nasional.3 Terminologi kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial, begitu tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kepemimpinan merupakan gejala sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Model
Kepemimpinan
selalu
melahirkan
berbagai
varian.
Terbukti
kepemimpinan bangsa ini selalu berbeda antara satu dengan masa yang lain.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan diartikan sebagai perihal pemimpin; cara memimpin. Sedangkan memimpin itu sendiri memiliki makna: 1. Mengetuai atau mengepalai (rapat, perkumpulan, dan sebagainya); 2. Memenangkan paling banyak; 3. Memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan, dan sebagainya; 4. Memandu; membimbing; 5. Melatih (mendidik, mengajari, dan sebagainya) supaya dapat mengerjakan sendiri.5 Kepemimpinan yang berkualitas merupakan kunci utama keberhasilan. Kualitas kepemimpinan yang diharapkan tidak hanya meliputi kualitas fisik, intelektual semata, melainkan juga kualitas ekonomi. Berbagai pengalaman hidup dan perubahan memungkinkan wacana kepemimpinan selalu hadir dalam
3
Muladi dan Adi Sujatno, Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, (Jakarta: RM Books, 2008), h. ix. 4 Muladi dan Sujatno, Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, h. x. 5 Pusat Bahasa, Kamus Besar, Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ketiga, h. 874.
15
bentuknya yang sangat beragam. Mulai dari model kepemimpinan kharismatik, tradisional, paternalistik, hingga model kepemimpinan birokrasi. Pengertian tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para ahli, namun pada umumnya hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang memandang kepemimpinan sebagai “ilmu” dan kepemimpinan sebagai “seni”.
1. Kepemimpinan sebagai Ilmu Kepemimpinan sebagai ilmu, yang menitikberatkan kepemimpinan pada proses belajar dan latihan. Kepemimpinan ini akan berlangsung efektif, bilamana berada di tangan orang-orang berpengalaman atau terlatih dalam memimpin. Dengan belajar dari pengalaman, seseorang akan menjadi terampil dalam melaksanakan kepemimpinan.6 Kepemimpinan adalah suatu ilmu terencana yang dinamis melalui
)
suatu periode waktu dalam situasi yang di dalamnya pemimpin menggunakan perilaku atau gaya kepemimpinan yang khusus dan sarana serta prasarana kepemimpinan untuk memimpin dengan menggerakkan atau mempengaruhi bawahan, guna melaksanakan tugas pekerjaan ke arah (dalam upaya pencapaian) tujuan yang menguntungkan bagi pemimpin dan bawahan, serta lingkungan sosial di mana mereka ada atau hidup.7 2. Kepemimpinan sebagai Seni
)
Kepemimpinan sebagai seni sangat tergantung dan dipengaruhi oleh faktor bakat. Tidak semua orang mempunyai bakat kepemimpinan yang 6
Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi, (Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 8. 7 J. Robert Clinton, The Making of A Leader dan dimodifikasi oleh Y. Tomatala, dalam bukunya, Kepemimpinan yang Dinamis. (Yogyakarta: UGM Press, 1987), h. 30-32.
16
sama, setiap orang mempunyai bakat kepemimpinan yang berbeda secara kuantitas dan kualitas.8 Orang yang melaksanakan kepemimpinan secara efektif, berarti orang tersebut memiliki bakat kepemimpinan yang kualitasnya baik. Kepemimpinan ialah seni mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk bekerja secara terkoordinasi, sehingga setiap orang tergerak mengerjakan pekerjaannya serta menyelesaikan tugasnya dengan baik berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara menyeluruh. Kepemimpinan ialah seni merangkum dan menyampaikan perintah, yang olehnya orang yang dipimpin tergerak dan bergerak melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Kepemimpinan ialah seni membuat peta keinginan tentang masa depan organisasi, dan kemampuan menerjemahkan peta tersebut menjadi suatu kerangka keinginan yang nyata, serta kekuatan atau kuasa menggunakan segala sumber untuk melaksanakan peta tersebut menjadi produk yang berdaya-guna. Kepemimpinan ialah seni mendaya-gunakan sumber-sumber daya: manusia, alam, teknologi, infrastruktur, dan sebagainya dalam upaya mempertahankan optimalisasi kerja yang tinggi sehingga menciptakan hasil yang bernilai lebih yang semakin besar yang membawa sukses kerja dalam organisasi.9
8
H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), h. 40. 9 Ibid., h. 47-49.
17
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah cara atau jalan untuk mengarahkan individu atau kelompok ke arah yang lebih baik, sesuai dengan kesepakatan dan tujuan yang diinginkan.
B. Teori dan Gaya Kepemimpinan 1. Teori Kepemimpinan Salah
satu
prestasi
yang
cukup
menonjol
dari
sosiologi
kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota masyarakat menempati status posisi tertentu. Demikian juga dengan individu, diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti, bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya. Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia super lebih daripada yang lain, kuat, dan gigih. Para pemimpin juga merupakan manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Karena seorang pemimpin harus mempunyai visi yang berawal dari mimpi, untuk kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan. 10
10
Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati, h. 41.
18
Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.11 Dalam sejarah peradaban manusia, gerak hidup dan dinamika organisasi tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan, dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, dan ahli organisasi. Sekelompok orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karena itu, kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Dalam skripsi ini, penulis memberikan sedikit gambaran tentang teori-teori kepemimpinan, diantaranya: 1. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat (Trait Theory) Studi mengenai sifat atau ciri untuk mengidentifikasi karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan kemampuan orang yang dipercaya sebagai pemimpin alami. Studi tentang sifat atau ciri telah dilakukan, namun sifat atau ciri tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang. Penelitian mengenai sifat atau ciri tidak memperhatikan pertanyaan tentang bagaimana sifat atau ciri itu berinteraksi sebagai suatu integrator dari kepribadian dan perilaku atau bagaimana situasi menentukan relevansi dari berbagai sifat atau ciri dan kemampuan bagi keberhasilan seorang pemimpin. 12
11
Maryono Abdul Ghofur, Dasar-dasar Manajemen Organisasi, (Surabaya: Sinar Emas, 2007), h. 12-17. 12 Subanto Zaini, Leadership in Action, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), h. 59.
19
2. Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku (Behavioral Theory) Selama tiga dekade, tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada aspek perilaku. Studi mengenai perilaku kepemimpinan, menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat, bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan, untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, penemuan dari teori perilaku ini, bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai banyak bawahan yang puas. 13 3. Teori Kontingensi (Contigensy Theory) Teori kontingensi berasumsi bahwa, berbagai pola perilaku pemimpin atau ciri dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Pada umumnya, pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya, hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius, akan mendapatkan hasil yang baik. Aspek-aspek situasi seperti sifat tegas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut
13
Zaini, Leadership in Action, 63-65.
20
menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut. 14 2. Gaya Kepemimpinan Gaya
kepemimpinan
mengandung
pengertian
sebagai
suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya
dalam
memimpin.
Perwujudan
tersebut
biasanya,
membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.15 Dan gaya kepemimpinan merupakan hasil interaksi antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya di dalam kondisi yang mempengaruhinya.16 Gaya kepemimpinan adalah pendekatan yang dipakai pemimpin untuk memimpin, dalam arti mempengaruhi dan menggerakkan yang dipimpin untuk bekerja secara aktif guna mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan apa pun yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi. Yang menentukan, seberapa besar pengaruh pemimpin terhadap pengikutnya.17 Adapun gaya-gaya kepemimpinan, diantaranya:18 1. Gaya Otoriter Kepemimpinan tipe ini, menempatkan kekuasaan pada seseorang atau sekelompok kecil orang, yang bertindak sebagai penguasa.19 Bahwa,
14
Subanto Zaini, Leadership in Action, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), h. 66-
15
Davis dan Newstrom, Leadership And Manajemen, (Havard Univesity press, 1995), h.
68. 61-19. 16
H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), h. 139. 17 Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis Kepercayaan, (Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 10. 18 Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 190. 19 H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, … h. 161.
21
gaya otoriter mengandung hal negatif. Gaya otoriter itu menindas, mempengaruhi pengikut dengan cara memaksa, dan memaksa semua orang bekerja tanpa kompromi. Biasanya pemimpin otoriter selalu mengabaikan bawahannya dalam proses pengambilan keputusan.20 Pemimpin yang otoriter selalu mengatakan; “kantor saya” atau “pegawai saya”, ungkapan itu menyatakan seluruh organisasi adalah milik pemimpin. Anggota organisasi menjadi manusia penurut atau pengekor. Sehingga, organisasi menjadi statis, karena pemimpin tidak menyukai perubahan. 2. Gaya Demokratis Kepemimpinan tipe ini, menempatkan faktor manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam sebuah organisasi. Bahwa kepemimpinan yang ideal yang demokratis, karena mengandung unsur positif. Dalam kepemimpinan ini, setiap individu sebagai manusia yang diakui dan dihargai eksistensinya dalam mengembangkan organisasi. Kepemimpinan demokratis selalu bersifat aktif, dinamis dan terarah. Aktif dalam menggerakkan dan memotivasi. Dinamis dalam mengembangkan dan memajukan organisasi. Terarah pada tujuan bersama yang jelas, melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang relevan secara efektif.21
20
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),
h. 25. 21
H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), h. 170.
22
Menurut Siagian, sebagaimana yang dikutip oleh Alfan Alfian, gaya demokratis ini beberapa ciri, yaitu: a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan oleh manusia dalam organisasi demi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. b. Dalam organisasi hendaknya tidak mentolelir semua kegiatan dilakukan
sendiri
oleh
pemimpin
dan
hendaknya
mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasional. c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan. d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai makhluk politik, ekonomi, sosial dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas yang mempunyai kebutuhan yang kompleks. e. Usaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian memimpin organisasi dengan efektif.22
22
Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik: Perbicangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2009), h. 205-26.
23
3. Gaya Paternalistik Paternalistik
(paternalism)
adalah
suatu
paham
yang
mengagungkan hierarki keluarga. Sehingga, orangtua harus dihormati dan ditaati oleh anaknya dan orangtua memberikan tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Paternalisme sangat lekat dalam penggunaan bahasa, seperti bahasa Jawa, di mana harus disesuaikan dengan usia, dan pangkat seseorang.23 4. Gaya Egaliter Egaliter berarti sederajat. Pemimpin egaliter tidak terlalu “jaim” dan pemimpin ini tidak takut bahwa popularitasnya akan turun. Karena pemimpin sepeti ini, selalu merakyat dan bisa berkomunikasi dengan rakyat secara apa adanya. Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini: 1. Teori Genetis (Keturunan) - Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and not made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini, bahwa seorang pemimpin akan menjadi
pemimpin,
kepemimpinan.
karena
Dalam
ia
keadaan
telah yang
dilahirkan
dengan
bagaimanapun
bakat
seseorang
ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin.24 Dalam ranah demokrasi, teori ini kurang mendapatkan apresiasi. Hal ini karena dengan mengandalkan keturunan, seseorang yang bukan dari 23
Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, h. 207. Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi, (Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 2. 24
24
keturunan pemimpin atau tokoh politik misalnya, akan sangat sulit untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Namun kenyataannya, di Indonesia masih terdapat sebagian masyarakat yang mempercayai tentang genetika (keturunan) yang bisa diperoleh seseorang dari orang tuanya. Sehingga hal ini memunculkan apa yang disebut dengan politik dinasti, yaitu kepemimpinan dalam partai politik atau organisasi politik yang terus-menerus dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga) saja. 2. Teori Sosial - Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati. Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini berpendapat, bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan, pengalaman dan memiliki kesempatan yang cukup untuk membuktikan kemampuannya.25 3. Teori Ekologis - Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran. Maka, muncullah aliran teori ketiga. Teori ekologis ini, bahwa seseorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik, apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran.
Dari ketiga aliran teori tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Evolusi teori aliran kepemimpinan tentu saja sangat bergantung kepada individu yang bersangkutan. Menurut hemat penulis, 25
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 19-23.
25
meskipun seseorang memiliki bakat dan ditunjang dengan lingkungan yang memadai, tanpa ada komitmen yang kuat yang berasal dari individu yang bersangkutan, maka sangat sulit mengharapkan lahirnya seorang pemimpin. 3. Tipologi Kepemimpinan Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan. Sarlito memberikan uraian yang cukup jelas mengenai tipologi kepemimpinan yang berkembang dari ketiga gaya kepemimpinan di atas. Tipologi tersebut di antaranya adalah sebagian berikut:26 a. Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya;
dalam tindakan penggerakkannya
sering
mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum. b. Tipe Militeristis. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang
pemimpin
yang
memiliki
sifat-sifat
berikut:
dalam
menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; menuntut 26
h. 9-10.
S. G. Hunneryager & I. L. Heckman, Kepemimpinan, (Semarang: Dahara Prize, 1992),
26
disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; sukar menerima kritikan dari bawahannya; menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. c. Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya
untuk
mengambil
keputusan;
jarang
memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu. d. Tipe Kharismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Pada umumnya, pemimpin ini mempunyai daya tarik dan pengikut yang jumlahnya besar. Meskipun, para pengikutnya tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Hal ini disebabkan, kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang kharismatik. Maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian, diberkahi dengan kekuatan ghaib (supra natural powers). Salah satu tokoh sosiologi politik yang membicarakan tentang kepemimpinan kharismatik adalah Max Weber. Istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian
27
seseorang, yang karenanya dia terpisah dari orang biasa. Mutu seperti itu, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengikut yang setia kepada pemimpin yang memiliki kharisma dan komitmen terhadap aturanaturan yang ada atau moral yang dianutnya.27 Menurut Max Weber kepemimpinan yang diadopsi dari pengembangan otoritas dalam masyarakat, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:28 1) Pemimpin dengan otoritas kharismatik memiliki kesadaran misi dan panggilan yang terwujud dalam ide dan memanggil orang untuk ikut serta dalam misinya. 2) Otoritas kharismatik dijalankan bersama pengikut setia. Mereka dipilih karena kualitas kharismatik pribadi. 3) Kharisma itu bersifat “ekstra-legal”, mengabaikan struktur
dan
aturan formal pemimpin kharismatik hanya mengenal inner determination dan inner restraint. 4) Relasi dalam komunitas bersfiat personal. Karena pemimpin muncul dalam situasi krisis, otoritas ini tidak stabil. Ia bisa berakhir dan mengalami trans formasi ke arah otoritas tradisional/legal. 5) Kharisma pada dasarnya bersifat anti ekonomi, walaupun komunitas kharismatik memerlukan uang.
27
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Jilid 1, h. 229. 28 Ayup Rano, “Kepemimpinan Kharismatik: Tinjauan Etis-Teologis atas Kepemimpinan Soekarno”, artikel diakses dari http://books.google.co.id/books?id=xkAxs7KPNwC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=kepemimpinan+max+weber&source=bl&ots=rNi9x HvKVz&sig=Wyxul9lRKQpK0hEPf3LlHBZOnwU&hl=id&ei=V3alTuWcGMLTrQfovmHAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&ved=0CCUQ6AEwAg#v=onepage&q=k epemimpinan%20max%20weber&f=false, pada tanggal 22 Oktober 2011.
28
Sehingga Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dikatakan sebagai kriteria untuk menjadi pemimpin kharisma. Pemimpin kharisma didasarkan pada watak atau sifat pribadinya yang memberikan contoh atau yang bersifat pahlawan.29 e. Tipe
Demokratis.
Pengetahuan
tentang
kepemimpinan,
telah
membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratis yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini dikarenakan, tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut: dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha
mengembangkan
kapasitas
diri
pribadinya
sebagai
pemimpin.30 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin tidak hanya dilahirkan, melainkan bisa juga diciptakan melalui berbagai pelatihan, 29
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Jilid 1, h. 230.
29
pengalaman hidup, serta cara-cara lain yang dimungkinkan untuk menciptakan pemimpin-pemimpin andal. Selain itu, dalam kepemimpinan, baik dalam lingkup organisasi, partai politik maupun perkumpulan-perkumpulan lainnya, diperlukan kriteria-kriteria yang hendaknya dimiliki oleh seorang pemimpin. Meskipun dalam ranah demokrasi setiap orang berhak untuk memimpin dan dipimpin, namun dalam praktiknya, ada prasyarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang menginginkan posisi tersebut.
BAB III SEJARAH PARTAI GOLKAR DAN PROFIL AKBAR TANDJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI GOKAR
Dalam bab ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang sejarah Partai Golkar, disertai dengan profil 2 (dua) mantan ketua umum Partai Golkar, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Sejarah Partai Golkar penting untuk dibahas, meskipun sekilas, karena menurut penulis hal ini untuk mendapatkan benang merah (link match) antara Partai Golkar itu sendiri dengan beberapa pemimpinnya, yang dalam pembahasan ini difokuskan pada dua orang, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Selain itu, karakter atau gaya kepemimpinan dua mantan ketua umum Partai Golkar tersebut dapat dikatakan memberikan warna tersendiri bagi Partai Golkar. Pengalaman masing-masing mantan ketua umum Partai Golkar tersebut, sedikit banyak memberikan pengaruh dalam menahkodai Partai Politik yang cukup diperthitungkan di tanah air.
A. Sejarah Partai Golkar 1. Partai Golkar sebelum Reformasi Sejarah Golongan Karya (Golkar) sama tuanya dengan sejarah Orde baru. Soeharto menjadi tokoh sentral di Golkar dalam membesarkan dan menstabilkan dinamika politik di tubuh Golkar. Golkar menjadi salah satu jembatan yang menghubungkan Soeharto dengan kekuasaannya, dan
30
31
menjadi kendaraan politik Soeharto selama menjadi presiden. Bahkan, Golkar menjadi partai nomor satu dan selalu unggul diantara partai-partai lain. Selama kepemimpinan Soeharto nyaris tidak terdengar riak dalam tubuh orsospol (organisasi sosial politik) berlambang beringin tersebut. Selama Orde Baru, Partai Golkar berhasil membangun rezim politik yang kuat. Golkar berawal dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang dideklarasikan pada tanggal 20 Oktober 1964.1 Dalam perkembangannya, Sekber Golkar berubah menjadi Golongan Karya yang merupakan organisasi peserta pemilu, memang patut diacungkan jempol. Hal ini dikarenakan, banyaknya organisasi yang bergabung dalam tubuh Golkar, namun dinamika politik yang terjadi berjalan lancar tanpa ada masalah. dan organisasi-organisasi itu dikelompokkan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: Sentral Organisasi Sosialis Karyawan Indonesia (Soksi), Kelompok Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Kino Profesi, Kino Ormas Hankam, GAKARI, dan Kino Gerakan Pembangunan. Memasuki era Orde Baru seluruh sistem berubah, semua kekuasaan berada dalam genggaman Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai presiden. Selama berkuasa Soeharto menggunakan tiga pilar kekuatan, yaitu ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) militer yang 1
Harmoko, Quo Vadis Golkar: Mencari Presiden Pilihan Rakyat, (Jakarta: Kintamani Publishing, 2009), h. 6-7.
32
sekarang menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), birokrasi dan Golkar, ketiga hal itu, menjadi penyangga kekuasaannya.2 Di era Orde Baru, Soeharto telah berhasil membangun kekuasaannya melalui peran Golkar yang memiliki dukungan massa fanatik sangat besar, hingga partai ini mampu meraih banyak dukungan pada setiap pemilu. Ada beberapa interpretasi, menyangkut kemenangan Golkar dalam setiap Pemilu. sebagian orang setuju, bahwa peranan ABRI dan birokrasi sangat instrumental dalam kemenangan Golkar. Bahkan Ali Moertopo dalam bukunya mengakui hal ini: “Beberapa kalangan berpandangan bahwa kemenangan Golkar terjadi karena beberapa faktor tersebut: tersedianya dana, dukungan pejabat, terutama dari ABRI, pembentukan Korpri di dalam berbagai kementrian, lembaga-lembaga dan perusahaanperusahaan, dan juga karena berbagai macam intimidasi. Semua ini tentu saja memberikan sumbangan pada kemenangan Golkar…”3 Di Era Orde Baru, Golkar menjadi ujung tombak dalam membangun visi Indonesia, dengan tahapan-tahapan yang jelas dan terarah, baik melalui tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun), maupun PJP (Pembangunan Jangka Panjang).4 Sebenarnya, Golkar diciptakan selama Orde Baru, karena tidak ada satupun dari partai-partai politik yang ada, bisa mewakili kepentingan
2
Dawam Raharjo, Angkatan Bersenjata Sebagai Kekuatan Politik, (Jakarta: Prisma, ), h.
109-123. 3
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974), h. 82-83. http://www.madina-k.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2562:pakharto-dan-golkar&catid. Diakses hari Rabu, 22 juni 2011. 4
33
militer.5 Dan juga pada era Orde Baru, Golkar benar-benar dalam kontrol Soeharto. 2. Partai Golkar sesudah Reformasi Setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden. merupakan titik awal reformasi yang selama ini disuarakan oleh Mahasiswa dan segenap rakyat Indonesia. Saat itulah, Golkar mengalami berbagai hujatan, karena jatuhnya Soeharto adalah jatuhnya Golkar juga. Dalam sentimen publik, Golkar dianggap sebagai penopang kekuasaan Soeharto. “Terror” terhadap Golkar bukan saja datang dalam bentuk unjuk rasa, namun terror yang bersifat fisik mereka dapatkan, seperti di Brebes Jawa Tengah sekelompok masa bentrok dengan kader Golkar yang sedang melakukan apel, di Tegal pembersihan terhadap simbol-simbol Golkar pun dilakukan. Anggapan bahwa era reformasi merupakan runtuhnya dominasi Golkar ditandai dengan hilangnya dukungan formal dari birokrasi dan ABRI dan hancurnya citra Orde Baru. Sebagaimana dipahami, opini yang berkembang di masyarakat bahwa Golkar sering ditampilkan sebagai partai yang penuh dengan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), alat kekuasaan, pemain utama “yang bertanggung jawab” terhadap terjadinya masalah yang dialami bangsa, sulit lenyap begitu saja.6
5
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 139. 6 Aulia A. Rahman, Citra Khalayak tentang Golkar, (Jakarta: Pusat Stdui Agama dan Peradaban, 2006), h. 2.
34
Pada saat itu, muncullah gerakan reformis yang membuat Golkar menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Di awal reformasi, Partai Golkar mengalami perubahan yang signifikan, perubahan ini lebih kepada pengembangan organisasi, dan manajemen yang disesuaikan oleh perubahan zaman. Meskipun pada akhirnya Golkar berubah menjadi sebuah partai yang resmi pada tahun 1999, yaitu Partai Golongan Karya. Hal ini terbukti, dalam pemilu 1999, Golkar menduduki posisi kedua setelah PDIP, sehingga banyak kadernya yang menduduki kursi pemerintahan di awal era reformasi. Dalam perkembangannya, Golkar menjadi sebuah partai yang mandiri, bergerak dalam sistem yang sudah mapan. Walaupun banyak sekali tantangan yang dihadapi Golkar, tetapi Golkar menjadikan partai politik yang solid, dalam menghadapi konflik, baik internal maupun eksternal. Partai Golkar mampu bangkit dari keterpurukan rezim Orde Baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heriyandi Roni,7 sebagaimana yang dikutip oleh Akbar Tandjung, menyebutkan bahwa perubahan politik 1998 berimplikasi positif terhadap Golkar terutama dalam bidang pengambilan keputusan. Perubahan signifikan dimulai pada Munaslub 1998, di mana pemilihan ketua umum dilakukan secara demokratis. Demikian pula posisi Ketua Dewan Pembina yang di masa lalu memiliki kekuatan yang sangat menentukan telah ditiadakan. 7
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 19.
35
Perubahan ini dilakukan karena Golkar dihadapkan pada tekanan dan tuntutan masyarakat agar Golkar dibubarkan. Salah satu terobosan yang ada di dalam Partai Golkar adalah diadakannya konvensi untuk menjaring calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung dalam pemilihan umum 2004. Prakarsa ini muncul saat Partai Golkar berada di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung. Sekilas menilik terobosan Partai Golkar dengan diadakannya konvensi yang dilaksanakan melalui tiga tahap. Pertama, tahap penjaringan yang terdiri dari pengusulan bakal calon oleh DPD, Provinsi, ormas tingkat pusat, atau perorangan dengan dukungan 500 dukungan surat penyataan. Kedua, sosialisasi bakal calon ke minimal tujuh provinsi. Konvensi tingkat kabupaten/kota dengan memilih 5 nama, dan selanjutnya diajukan ke provinsi. Konvensi tingkat provinsi menetapkan 5 nama. Penapatan bakal calon oleh DPD Provinsi. Ketiga, tahap pemilihan dan penetapan, yang terdiri dari penetapan nominasi di pusat dengan terlebih dahulu melewati proses konvensi di tingkat provinsi.8 Perjuangan Partai Golkar pada masa sesudah era reformasi memang tidak semudah saat masih berada di era Orde Baru. Untuk itu, siapapun pemimpin yang berhasil membawa Partai Golkar melewati masamasa sulit tersebut, tentu bukanlah pemimpin sembarangan. Pemimpin tersebut dapat dikatakan sebagai pemimpin yang memiliki integritas dan
8
Untuk lebih jelasnya, lihat Kholid Novianto, et.al., Memenangkan Hati Rakyat: Akbar Tandjung dan Partai Golkar dalam masa Transisi, (Jakarta: Benda Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 188-189.
36
komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan dan mengangkat nama baik Partai Golkar di kancah perpolitikan Indonesia.
B. Profil Akbar Tandjung 1. Masa Kecil dan Remaja Akbar Tandjung Nama lengkap Akbar Tandjung adalah Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung, yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1945, di Sibolga, Sumatera Utara. Akbar merupakan anak yang berasal dari keluarga besar. Akbar anak yang ke-13 dari 16 bersaudara. Keluarga Akbar memiliki berlatar belakang agama yang kuat. Pada masa kecilnya, Akbar tinggal di Sorkam diasuh oleh tantenya , karena orang tua Akbar membuka usaha di Sibolga.9 Masa kecil Akbar Tandjung menyukai berenang bersama teman sebayanya. Ia suka berenang di dekat desanya. Selain itu, Akbar juga menyukai durian, ketika musim durian tiba, Akbar bersama temantemannya menunggu durian itu jatuh, kemudian ia mengejarnya. Hal itu, dilakukan sampai ia kelas tiga Sekolah Rakyat Muhammadiyah. Pengalaman masa kecil Akbar selalu banyak kenangan manis bersama teman-temannya. Disisi itu, Akbar hoby membaca buku hingga remaja. Ia anak yang cerdas.10
9
Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung; Faktor Penentu Pemilhan Presiden 2009”, Vo. 1, No. 1, Februari 2008, h. 81-82 10 Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung h. 82
37
2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Akbar Tandjung Riwayat pendidikan Akbar Tandjung cukup memiliki warna tersendiri. Setelah melalui masa kecil dan masuk Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah di Sorkam, anak ke-13 dari 16 bersaudara ini pun pindah ke Medan. Di Medan, ia menamatkan pendidika dasarnya di SR Nasrani. Sempat pula setahun duduk di bangku SMP di Ibukota Provinsi Sumatera Utara itu. Pindah ke Jakarta, ia masuk kelas dua SMP Perguruan Cikini, dan kemudian berlanjut ke SMA Kanisius. Selanjutnya, ia memilih kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia jurusan teknik elektro.11 Akbar sudah mulai menyukai dunia politik, ketika kuliah di Universitas Indonesia. Pergulatan politik Akbar, tidak hanya di dalam kampus, tetapi di luar kampus. Ia aktif dalam gerakan mahasiswa yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI-UI) dan Laskar Ampera Arif Rahman Hakim. Selama aktif di kampus, Akbar mempunyai modal politik yang kuat untuk menjadi ketua senat mahasiswa. Akhirnya tahun 1967, ia menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas Teknik. Disisi itu, dia aktif sebagai Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Universitas Indonesia. Selain itu, kegiatan di luar kampus Akbar terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta. Tahun 1972,
11
Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung h. 65-67.
38
Akbar menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Dan aktivitasnya tidak hanya disitu saja, tahun 1973 ia juga ikut mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Sebagai Ketua Umum KNPI, Akbar juga mendirikan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) dan tahun 1978, ia menjadi Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Kemudian, tahun 1983, Akbar menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar. Sehingga, kiprah Akbar dalam aktivitas organisasinya membuat langkahnya semakin maju.
3. Karir Politik Akbar Tandjung di Partai Golkar Karir politik Akbar Tandjung berawal dari bawah. Sehingga tidak heran, jika banyak pengamat yang menyatakan bahwa Akbar Tandjung bukanlah politisi sembarangan. Pengalaman yang dimiliki Akbar Tandjung dalam berorganisasi tidak perlu dipertanyakan lagi. Berdasarkan penelusuran penulis, karir Akbar Tandjung dalam dunia aktivits dimulai dari masa-masa kuliah.12 Pengalamannya cukup kaya, dari aktivitas di kampus hingga pengalaman di pemerintahan. Di Dewan Perwakilan Rakyat, tahun 1977-1988 Akbar menjadi anggota FKP DPR RI mewakili Propinsi Jawa Timur. Dan di perwakilan ia sebagai Wakil Sekretaris FKP DPR RI periode 1982-1983. Kemudian tahun 19871992, Akbar di percaya untuk menduduki Sektretaris MPR RI sekaligus Anggota Badan Pekerja MPR RI. Setelah pemilu tahun 1992, ia kembali
12
Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung h. 67
39
menjadi Sekretaris MPR RI, Anggota Badan Pekerja MPR RI. Kemudian Akbar terpilih menjadi Wakil Ketua FKP MPR RI, Wakil Ketua PAH II Badan Pekerja MPR RI periode 1997-1998. Dan tahun 1998 sampai sekarang, Akbar menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI. Disamping karir politik Akbar di dalam pemerintahan. Pengalaman Akbar dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat, tahun 2002-2003 Akbar dipercaya menjadi President of AIPO (Asean Inter Parliamentary Organization) dan President of PUOICM (Parliamentary Union of OIC Members) periode 2003-2004.
C. Profil Jusuf Kalla 1. Masa Kecil dan Remaja Jusuf Kalla Nama lengkap Jusuf Kalla adalah Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, sering disingkat menjadi JK. Lahir di Wetampone, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Mei 1942. Pada masa kecilnya, Jusuf Kalla dipanggil Ucu. Ia anak ke-2 dari 17 bersaudara.13 Pada masa kecil Jusuf Kalla dapat dikatakan masa yang menyulitkan, karena kondisi waktu itu sedang kacau datangnya DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Akhirnya ia dan
13
Saudara-saudaranya antara lain: Dokter yang kemudian jadi pemborong, tetapi sudah meninggal (Saman Kalla), ada pula insiyur ITB (Achmad Kalla), yang lain adalah Zohrah (Unhas/Ekonomi), Suhaili (Unkris/Apoteker), Farida (Unhas/Ekonomi), Fatimah (Unhas/Apoteker), Halim (Amerika/Mesin), Ramlah (Ikip/Istri Aksa Machmud), dan Nurani. S. Sinansari Ecip dan M.Rusman Madjulekka, Percikan Pemikiran M. Jusuf Kalla: Mari ke Timur, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2000), h. xxi.
40
keluarga pindah beberapa bulan ke Bone, dan akhirnya tahun 1953 ia dan keluarganya pindah ke kota Makassar.14 Ucu dibesarkan dalam sebuah keluarga besar yang taat beragama. Ayah dan ibunya menekankan agama dan memegang teguh etika berdagang. Ibunya, Ny. Athirah mengasuh anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Sedangkan ayahya, Hadji Kalla patuh menjalankan perintah agama dan sangat menghargai persahabatan. Dengan kata lain, Ucu memperoleh pelajaran berharga, “ayah keras, dan ibu penyabar”. Dari kecil Ucu memang sudah diasuh orang tuanya, untuk hidup sesuai ajaran agama Islam yang dianutnya. Prinsip yang ditanamkan orang tua Ucu sebenarnya sangat sederhana, yaitu menjadi orang yang taat beragama, bekerja keras, jujur dan menghormati orang lain. Di masa kecil Ucu, selalu ditanamkan untuk saling menghormati kepada sesama manusia.15 Salah satu dari sikap jujur itu adalah tidak menjadi orang yang melupakan janji.16
2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Jusuf Kalla Jusuf Kalla dalam riwayat pendidikannya sebelum benar-benar terjun all out sebagai pedagang/pengusaha. Selepas Jusuf Kalla menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Makassar,
14
http://berita.kapanlagi.com/pernik/jusuf-kalla-bernostalgia-di-kampung-halaman8dv5bys.html 15 http://nasional.vivanews.com/news/read/69208-di_brebes__jk_terkenang_masa_kecil 16 “M. Jusuf Kalla, Negarawan yang Religius”, Majalah Tokoh Indonesia, Volume 4, h. 29.
41
Jusuf Kalla yang berlatarbelakang keluarga pebisnis ini memilih melanjutkan studinya pada Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar. Lulusan Fakultas Ekonomi tahun 1967 ini menulis skripsi tentang beras. Selama mahasiswa, Jusuf Kalla aktif di kegiatan mahasiswa. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya, dengan mengenyam pendidikan ke strata lebih tinggi yakni dengan berhijrah ke Paris, Perancis. Di Paris inilah Jusuf Kalla kuliah di The European Institute of Business Administration Fountainebleu dan lulus pada tahun 1977. Aktivitas sosialnya kian padat di tengah kesibukan bisnisnya. Ucu muda sangat enerjik, dinamis, dan kreatif. Dia aktif di berbagai kegiatan. Selama 24 tahun, dia jadi pengurus inti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Selatan (1985-1998). Lebih dari separuh waktunya menjabat Ketua Umum Koordinator Kadin se kawasan Timur Indonesia (KTI). Dalam lebih sepuluh tahun terakhir, ia memperjuangkan perbaikan ekonomi yang adil untuk KTI dan seluruh nusantara.17 Jusuf Kalla menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Pusat. Jusuf Kalla masih sempat memimpin Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNHAS mulai dari tahun 1992 sampai dengan sekarang, dan anngota dewan penyantun tiga perguruan tinggi negeri di Makassar, yaitu UNHAS, IKIP, dan IAIN, beserta perguruan tinggi swasta. Sebagia ekonom, dia aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indoneisa (ISEI). Sampai
17
“M. Jusuf Kalla, Negarawan yang Religius”, h. 32
42
sekarang menjadi penasehat ISEI Pusat. Bahkan semenjak kuliah ia beserta teman-temannya sering menyantuni yayasan-yayasan pendidikan. Disisi itu, berawal ia memulai karir organisasinya sebagai Ketua HMI cabang Makasar dan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin tahun 1965. Serta menjadi Ketua Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan tahun 1966.18 Setelah pembentukan Sekber Golkar di Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber periode 1965-1998 dan terpilih menjadi anggota DPRD mewakili Sekber Golkar di Sulawesi Selatan. Kemudian, Jusuf Kalla menjadi anggota MPR-RI periode 1998-2001. Tahun 2004-2009, Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. 3. Karier Politik Jusuf Kalla di Partai Golkar Tulisan mengenai pembahasan karir politik Jusuf Kalla, terutama kiprahnya di Partai Golkar tidaklah banyak. Hal ini mengingat latar belakang Jusuf Kalla sendiri yang merupakan salah seorang pengusaha sukses di Indonesia, yang kemudian memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik. Meskipun ada catatan pengalaman organisasi Jusuf Kalla semasa kuliah, namun karirnya di Partai Golkar belum banyak yang merekamnya. Karir Jusuf Kalla di Partai Golkar, berdasarkan penelusuran penulis dimulai setelah pembentukan Sekber Golkar di Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber periode 1965-1998 dan
18
Jusuf Kalla, Mari Ke Timur, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2000), h. xvii.
43
terpilih menjadi anggota DPRD mewakili Sekber Golkar di Sulawesi Selatan (1965-1968). Kemudian, Jusuf Kalla menjadi anggota MPR-RI periode 1982-1999 sebagai Utusan Daerah Sulsel. Tanpa sengaja, ia sudah terlibat dalam dunia politik sebagai Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Golkar (1999-sekarang).19 Tahun 2004-2009, Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang merupakan puncak karir seseorang di dalam partai politik. Pencapaian ini patut mendapat apresiasi, karena dalam pemilihan ketua umum tersebut, Jusuf Kalla mengalahkan salah satu tokoh politik penting di Indonesia, Akbar Tandjung.
19
64.
“Manuver Politik JK”, dalam Majalah Biografi Politik, Edisi Khusus Pilpres 2009, h.
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KEPEMIMPINAN AKBAR TANJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI GOLKAR
A. Kepemimpinan Politik Akbar Tandjung 1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Paternalistik Saat seseorang terjun ke dunia politik, ia harus siap menanggung segala konsekuensi yang mengikutinya. Tak terkecuali berbagai konflik atau perselisihan, baik di internal partai politik yang diikuti maupun dengan lawan politik yang berlainan interest (kepentingan) yang ingin diwujudkan. Hal ini mengingat partai politik memiliki visi dan misi serta platform yang berbeda. Kalaupun ada kesamaan dalam hal ideologi maupun asas, masing-masing partai tetap ingin mempertahankan cirinya masing-masing. Partai Golkar, salah satu partai yang ada di Indonesia, adalah partai lama yang sudah ada sejak zaman Orde Baru. Eksistensi partai ini cukup mewarnai perpolitikan di Indonesia, bahkan sempat menjadi penguasa di bawah rezim Soeharto. Akbar Tandjung, salah satu tokoh Partai Golkar, menyadari betul keberadaan partainya yang banyak menghadapi rintangan untuk tetap bertahan dalam memperjuangkan visi partai. Saat penulis menanyakan tentang motivasi Akbar Tandjung untuk menjadi ketua umum Partai Golkar, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan pilihan hati nuraninya. Karena latar belakangnya di dunia aktivitis,
44
45
maka menjadi pengurus partai politik adalah salah satu cara yang bisa ditempuh oleh para aktivitis yang ingin memperjuangkan aspirasi rakyat dengan terjun langsung di dalam kehidupan politik. Menjadi anggota dewan maupun pejabat eksekutif adalah bagian dari peran politik yang harus diambil oleh mereka yang peduli terhadap rakyat. Tanpa terlibat langsung, sangat sulit untuk
menyampaikan
keinginan
dan
aspirasi
masyarakat
banyak.
Sebagaimana yang diungkapkan beliau kepada penulis: “Jika ada pertanyaan tentang motivasi saya menjadi ketua umum Partai Golkar, saya bisa menjawab bahwa hal tersebut sudah merupakan insting aktivis atau politisi. Karena dengan berada di tengah-tengah lapangan, baik di legislatif maupun eksekutif, perjuangan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat lebih terbuka, jika dibandingkan dengan berada di luarnya. Kalau dulu ketika mahasiswa saya berusaha memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan turun ke jalan atau demonstrasi, maka sekarang jalurnya adalah melalui sistem itu sendiri. Menjadi ketua partai politik, bisa saya artikan sebagai salah satu cara untuk berjuang.”1 Lebih lanjut Akbar Tandjung memberikan penjelasan tentang perannya sebagai ketua umum Partai Golkar. Pada posisi ini, menurutnya pikiran dan tenaga yang dibutuhkan lebih besar jika dibandingkan saat masih menjadi pengurus harian atau pengurus departemen tertentu dalam partai. Untuk itu dirinya menyatakan bahwa diperlukan startegi-strategi khusus dalam menyelamatkan Partai Golkar dari citra buruk yang terlanjur ada di benak masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara memberikan gagasan baru dalam hidup berdemokrasi. Misalnya dengan adanya konvensi di dalam Partai Golkar. Meskipun cara ini cukup lama dan melelahkan, menurutnya hal 1
Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB
46
tersebut tidak menjadi alasan untuk menaikkan citra Partai Golkar di tengahtengah masyarakat. Seperti yang dituturkan Akbar Tandjung kepada penulis: “Jadi ketua umum itu perlu tenaga dan pikiran yang lebih. Berbeda kalau kita masih menjabat pengurus harian atau departemen tertentu, seperti departemen kaderisasi misalnya. Apalagi menjadi ketua umum Partai Golkar, yang sudah terlanjur mendapat stigma negatif di masyarakat karena dianggap sebagai warisan dari Orde Baru yang otoriter. Di sini saya berusaha untuk memperjuangkan bagaimana bisa menaikkan citra Partai Golkar, agar mendapat tempat lagi di hati masyarakat. Salah satu strategi yang saya tempuh adalah dengan membuat suatu terobosan (breaktrough) dalam hidup berdemokrasi. Konvensi adalah wujud riilnya. Ini memang melelahkan, membutuhan banyak biaya, serta perlu waktu yang tidak sebentar. Tapi konsekuensi tersebut harus diambil, mengingat kondisi yang ada. Slogan “Golkar Baru” harus benar-benar terimplementasikan, bukan hanya sekedar bualan semata. Nanti kalau tidak ada realisasinya, maka anggapan bahwa politisi hanya sekedar berkata tanpa berbuat akan semakin mengakar di benak masyarakat.”2 Meskipun hasil konvensi tersebut tidak memenangkan pemilihan umum tahun 2004, apresiasi terhadap terobosan Partai Golkar patut diberikan. Mengingat kultur partai politik yang belum begitu transparan dalam mekanisme pengkaderan dan pencalonan, maka Partai Golkar memberikan angin segar bagi demokratisasi di Indonesia. Hasil dari konvensi yang dilakukan Partai Golkar tersebut, oleh Harmoko dinilai positif. Setidaknya Partai Golkar mendapatkan porsi publikasi yang cukup banyak. Media massa mau tidak mau harus memberi perhatian terhadap semua tahapan konvensi yang berjalan.3
2
Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB 3 Harmoko, Quo Vadis Golkar: Mencari Presiden Pilihan Rakyat, (Jakarta: Kintamani Publishing, 2009), h. 201.
47
Saat penulis menanyakan tentang strategi atau kiat yang dipakai oleh Akbar Tandjung dalam memimpin sebuah oraganisasi besar seperti Partai Golkar, ia menjelaskan bahwa dengan jelas tentang kiat-kiat tersebut. Salah satunya adalah dengan tetap menjaga keharmonisan dan keutuhan organisasi dengan meminimalisir konflik antar anggota. Untuk lebih lengkapnya, berikut ini jawaban yang diberikan kepada penulis: “Ini yang menarik. Dinamika yang terjadi di tubuh Partai Golkar membutuhkan kemampuan dan kapasitas yang luar biasanya dari pemimpin atau ketua umumnya. Ketika saya menjadi ketua umum Partai Golkar, saya berusaha untuk menjaga keharmonisan antar kader partai dengan mengedepankan persatuan dan keutuhan partai. Saya berusaha meminimalisir konflik di dalam tubuh partai, dengan tetap mempertahankan daya kritis. Selain itu, untuk kasus-kasus tertentu, saya tidak segan-segan untuk meminta masukan atau nasihat dari dewan Pembina partai maupun dari tokoh-tokoh senior partai. Dengan demikian, apa yang menjadi keputusan saya dalam organisasi, saya peroleh tidak saja berasal dari pemikiran saya pribadi, melainkan juga hasil dari sharing atau konsultasi dengan pihak-pihak yang lebih berpengalaman.”4 Lebih lanjut, penulis mencari tahu tentang aktivitas Akbar Tandjung dalam rangka untuk menjaga keharmonisan kader-kader yang ada di daerah. Dari jawaban yang diberikan, Akbar Tandjung mengaku bahwa dirinya berusaha untuk menyempatkan diri melakukan kunjungan ke penguruspengurus di daerah untuk menyerap aspirasi mereka. Selain itu, kunjungan ke daerah dilakukan untuk mengetahui problematika kader-kader yang ada di daerah. Seperti yang diungkapkan kepada penulis: “Untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan partai, saya juga sering melakukan kunjungan-kunjungan ke pengurus-pengurus pronvinsi 4
Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB
48
maupun kabupaten/kota, bahkan sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan, untuk mendapatkan informasi yang akurat. Jadi tidak hanya berdasarkan masukan dari laporan-laporan saja. Dengan mengunjungi kader-kader yang ada di daerah, saya bisa mendengar aspirasi dan permasalahan yang mereka hadapi serta mendapatkan solusi terhadap problematika yang ada.”5 Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bagaimana Akbar Tandjung memimpin Partai Golkar. Dengan tetap menjaga keharmonisan dan keutuhan organisasi, serta meminimalisir konflik yang ada, dan tetap menjaga komunikasi dengan para tokoh yang sudah senior, maka apa yang dilakukan oleh
Akbar
Tandjung
tersebut
dapat
dikategorikan
kepada
gaya
kepemimpinan yang paternalistik. 2. Akbar Tandjung sang Penyelamat Partai Golkar Kaderisasi merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan berorganisasi. Tanpa proses kaderisasi, maka suatu organisasi akan mengalami kepunahan, karena tidak adanya regenerasi. Partai Golkar, sebagai Partai yang memiliki banyak pengalaman, memiliki pola kaderisasi yang sudah terstruktur dan runut. Jarang ditemukan kader di Partai Golkar, yang oleh banyak kalangan disebut kader “karbitan”, karena tiba-tiba saja muncul tanpa diketahui track record-nya. Hampir semua kader Partai Golkar harus beranjak dari bawah, untuk dapat menduduki posisi di atasnya. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Akbar Tandjung berkenaan dengan pertanyaan mengenai pola rekruitmen dan kaderisasi di Partai Golkar:
5
Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB
49
Sewaktu menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar di fase politik yang kritis awal era transisi, Akbar Tandjung berusaha keras untuk menanamkan motivasi kepada para pengurus dan kader-kader partai agar tidak patah semangat atau mengalami demokralisasi, dan tetap percaya diri dalam menghadapi berbagai tekanan politik yang demikian keras.6 Profesionalitas dan komitmen Akbar Tandjung juga ditunjukkan saat dirinya menyatakan tidak bersedia untuk diajukan sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Hal ini dilakukannya agar menghindari perpecahan dalam tubuh Partai Golkar.7 Upaya untuk tetap menjaga keutuhan dan menghindari perpecahan partai, dan demi kepentingan bangsa, juga dilakukan Akbar Tandjung ketika menyatakan mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai wakil presiden di SU (sidang umum) MPR 1999.8 Momen penting yang patut dicatat adalah pada saat Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Golkar pada 9-11 Juli 1998, yang oleh Akbar Tandjung dijadikan sebagai momentum srategis untuk menata sistem 6
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 56. 7 Pernyataan ini dinyatakan oleh Akbar Tandjung dengan interupsi saat SU (Sidang Umum) MPR, yang bunyinya adalah: “Dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagiamana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, di mana tujuan bangsa kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan, maka dengan senantiasa memohon ridha, petunjuk Tuhan yanag Maha Esa, dengan ini saya menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan. Dalam hidup saya, jabatan bukan segala-galanya. Saya mengundurkan diri juga dari pencalonan presiden, demi keutuhan organisasi serta persatuan dan kesatuan diri dan organisasi; sekarang saya juga mengundurkan diri dari pencalonan wakil presiden. Terima kasih, semoga Allah SWT memberkati pengunduran saya.” Dalam Akbar Tandjung, The Golkar Way, h. 265. 8 Akbar Tandjung, The Golkar Way, h. 122-123.
50
organisasi Partai Golkar dengan melahirkan apa yang ia sebut sebagai konsep paradigma baru. Inti dari paradigma baru itu antara lain: mengharapkan Golkar dibangun dengan nilai-nilai baru selaras dengan tuntutan reformasi; menjadikan Golkar sebagai partai yang terbuka, mandiri, demokratis, moderat, solid, mengakar, dan responsif terhadap permasalahan masyarakat, bangsa, dan negara – dengan melaksanakan fungsi-fungsi partai politik secara konsisten.9 3. Kiat-Kiat Akbar Tandjung dalam Memimpin Partai Golkar Sebagai politisi senior Partai Golkar, pengalaman Akbar Tandjung dalam memahami dan menyelami dinamika politik di tanah air tidak diragukan lagi. Seiring perubahan konstelasi politik setelah mundurnya Soeharto, Golkar sempat menuai hujatan bahkan dituntut untuk dibubarkan. Akbar Tandjung menyatakan komitmennya untuk tetap mempertahankan Golkar dengan segenap kemampuan yang ia miliki. Ia menganggap bahwa makin yang dilayangkan oleh masyarakat terhadap dirinya sebagai tantangan untuk membenahi Golkar menjadi partai reformis, dengan menjadikan Golkar partai terbuka. Hal ini terbukti dengan kemampuan Akbar Tandjung menghantarkan Golkar memenangi Pemilu 2004.10 Hal yang menarik menurut penulis adalah pendapat beliau tentang kepemimpinan Jusuf Kalla di Partai Golkar. Mengutip salah satu hasil wawancara yang dilakukan oleh Majalah Biografi Politik yang menanyakan 9
Majalah Biografi Politik, h. 26. Majalah Biografi Politik, h. 26.
10
51
tentang bagaimana Akbar Tandjung melihat posisi Partai Golkar di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla, jawaban yang diberikan cukup mengejutkan. Akbar Tandjung menjawab: “Golkar pada awalnya adalah partai penyeimbang. Tiba-tiba Pak JK (Jusuf Kalla) terpilih jadi wakil presiden, dan Golkar berubah menjadi partai pendukung pemerintah. Musyawarah Nasional (Munas) di Bali mengatakan, Golkar adalah partai penyeimbang. Terlepas siapa yang jadi ketua umum, pengurus partai harus mematuhi keputusan Munas. Tapi, nyatanya tidak. Malah orang Golkar tidak melakukan apa-apa.”11 Dilanjutkan dengan pertanyaan tentang bagaimana pendapat Akbar Tandjung di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla, ia melihat Golkar akan seperti apa? Di jawab: Jusuf Kalla sebagai wapres, tidak memiliki waktu yang cukup untuk memimpin partai. Selain mengurus partai, beliau juga harus menjalankan tugas-tugas negara yang terikat dengan protokoler.”12 “Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Partai Golkar, partai yang selama ini dianggap sebagai kendaraan Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaan, adalah dengan mengadakan konvensi untuk menjaring masyarakat yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden namun tidak terdaftar menjadi anggota atau pengurus partai politik. Dengan kata lain, Golkar menjadi partai pelopor dalam memenuhi keinginan masyarakat yang ingin menyalurkan hasrat politiknya untuk menjadi calon presiden dengan adanya konvensi ini.” Lanjut dalam hasil wawancara di Majalah Biografi Politik, Akbar Tandjung menyatakan bahwa konvensi akan memberikan kesempatan kepada
11
Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung; Faktor Penentu Pemilhan Presiden 2009”, Vo. 1, No. 1, Februari 2008, h. 18-19. 12 Majalah Biografi Politik, h. 23.
52
siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi calon presiden. Namun pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa konvensi itu adalah suatu agenda yang melelahkan, dengan peserta yang beraneka ragam, dengan mengesampingkan latar belakang para calon peserta tersebut. Tentu saja hal ini akan membuka kesempatan bagi siapapun dengan latar belakang apapun untuk mengikuti konvensi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Akbar Tandjung: “Dengan konvensi, akan membuka kesempatan pada siapa saja yang ingin jadi calon presiden. Sekaligus menunjukkan, bahwa Golkar adalah partai terbuka, dan partai pro reformasi. Sebagaimana kita ketahui, Pak Jusuf Kalla mengatakan, konvensi itu melelahkan, dan diikuti berbagai macam orang. Ada pelawak, artis, paranormal, dan pemenang konvensi pun belum tentu menang pada pemilihan presiden.”13 Saat pertanyaan mengenai kepemimpinan yang dibutuhkan oleh Indonesia, Akbar Tandjung memberikan penjelasan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa. Sebagaimana jawaban yang diberikan oleh Akbar Tandjung saat ditanyakan mengenai pandangannya tentang Indonesia dan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Indonesia: “Indonesia adalah negara yang luas dan majemuk. Indonesia harus mempunyai pemimpin yang mampu mengelola negara yang besar ini sehingga memberikan sumbangan positif terhadap kemajuan bangsa. Dalam konstitusi, bahwa tujuan kita bernegara adalah melindungi segenap dan seluruh tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan 13
Majalah Biografi Politik, h. 26
53
kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa. Dalam konteks itu, masyarakat membutuhkan pemimpin yang sanggup mewujudkan tujuan itu. Dari segi kapabilitas, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Kita juga butuh pemimpin yang mampu mendayagunakan potensi alam dalam mengatasi kemiskinan, termasuk mampu mengolah potensi nasional lain sehingga mampu memberi nilai tambah.”14 Dalam memimpin Partai Golkar, Akbar Tandjung menerapkan prinsipprinsip kepemimpinan yang moderat dan senantiasa berupaya untuk menjembatani berbagai perbedaan dan kepentingan yang ada, serta mengedepankan tercapainya konsensus. Berbagai pihak biasanya mengaitkan gaya kepemimpinan Akbar Tandjung dengan gaya kepemimpinan yang didasari oleh budaya politik Jawa.15 Jika dikaitkan dengan landasan teori pada bab sebelumnya, maka tipe gaya kepemimpinan Akbar Tandjung ini lebih cenderung bersifat paternalistik, dengan mengedepankan sopan santun dan norma ala budaya Jawa.
B. Kepemimpinan Politik Jusuf Kalla 1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Egaliter Sosok Jusuf Kalla bisa dikatakan merupakan sosok yang cukup fenomenal di dalam dunia perpolitikan Indonesia. Terlebih saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Permulaan fenomena pasangan ini dimulai saat
14 15
Biografi Politik, h. 30. Akbar Tandjung, The Golkar Way, h. 123.
54
memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertamakalinya di Indonesia. Meskipun tidak diusung oleh partai yang membesarkannya, yaitu Partai Golkar, pada putaran kedua pasangan yang lebih dikenal dengan inisial SBY-JK ini mengungguli pasangan lainnya, yaitu Megawati-Hasyim Muzadi. Saat menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla dikenal dengan statementstatement-nya yang spontan, lugas, berani, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Hal ini ditambah lagi dengan terpilihnya Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar, mengalahkan Akbar Tandjung pada Munas Partai Golkar di Bali. Kehadiran sosok Jusuf Kalla memberikan warna baru dalam pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia. Saat penulis menanyakan tentang latar belakang Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar, ia menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi keinginannya sejak dulu saat memutuskan untuk bergabung dengan Golkar (sebelum menjadi Partai). Keberadaan Jusuf Kalla di Partai Golkar tidak muncul secara mendadak, yang oleh banyak pengamat politik disebut sebagai “kader instan”. Ia merintis karir politiknya mulai dari bawah, saat menjadi pengurus organisasi kepemudaan Golkar di Sulawesi 40 tahun yang lalu. Selain itu, menurutnya, desakan dari para kader di daerah-daerah agar dirinya maju mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar, juga turut memotivasi tercapainya keinginan tersebut. Dengan mendengarkan aspirasi tersebut, Jusuf Kalla merasa bahwa dirinya mencalokan diri bukan dengan
55
modal nekat atau hanya karena mengikuti syahwat politik semata. Ditambah lagi dengan sistem presidensial semi parlementer yang dipakai di Indonesia, kekuasaan eksekutif tidak akan efektif tanpa adanya kekuasaan di legislatif. Sehingga hal ini menjadi salah satu pemicu beberapa anggota legislatif atau eksekutif yang merangkap menjadi ketua partai. Seperti halnya Jusuf Kalla, ia merasa bahwa kebijakan yang akan diambilnya tidak akan bisa berjalan tanpa ada dukungan dari legislatif. Untuk itu, ia merasa perlu menjadi ketua partai Golkar agar dapat mendukung program-program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan kepada penulis: Sebagai kader Partai Golkar dan pengurus dah hamper 40 tahun di Makassar, mulai pemilihan pemuda tahun 64, cita-citanya menjadi ketua partai. Sebagai wapres tahun 2004, daerah-daerah minta saya untuk menjadi ketua dan meminta saya untuk membawa Golkar menjadi partai sekutu pemerintah, agar pemerintah ini berjalan. Karena tanpa ada dukungan dari partai, yang memiliki peran yang signifikan di legislatif, semua kebijakan dan program pemerintah tidak akan jalan.16 Mengenai motivasi Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar, salah satunya juga dipicu oleh kultur partai Golkar itu sendiri yang memiliki kultur pembangunan atau kultur pemerintahan. Sehingga, meskipun partai Golkar bukan pemenang pemilu legislatif maupun eksekutif, partai tersebut selalu mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengna tetap mempertahankan sikap kritis. Mengutip salah satu ceramah Jusuf Kalla di
16
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
56
depan peserta Kursus Reguler Angkatan 37 Lemhanas di Jakarta, 26 Juli 2005, ia mengatakan dengan lugas: Kenapa saya menjadi Ketua Umum Partai Golkar? Pertimbangannya sederhana; tanpa suatu stabilitas politik, sulit sekali kita membuat suatu kebijakan ekonomi yang baik. Tapi, ada satu hal yang sangat penting. Kultur Golkar itu kultur pembangunan atau kultur pemerintahan. Berbeda dengan kultur PDIP. Kultur PDIP itu kultur oposisi. Pada saat Ibu Mega memerintah, orang-orang PDIP merasa tetap (sebagai partai) oposisi. (mereka) tetap saja mengkritik pemerintah, walaupun pemerintahannya orang PDIP. Sebaliknya Golkar, walaupun tidak mempunyai peranan penting dalam pemerintahan, tetap saja bersahabat dengan pemerintah”17 Saat membicarakan Parti Golkar, masyarakat tidak bisa melepaskan peran partai yang dulunya merupakan golongan kekaryaan ini sebelum era reformasi. Golkar pada masa itu merupakan golongan yang sangat dominan dalam pemerintahan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Golkar merupakan kendaraan Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya. Hampir semua birokrasi di Indonesia merupakan anggota Golkar, sehingga sangat sulit menyaingi keberadaan Golkar pada masa itu. Namun keadaan tersebut berubah setelah terjadi reformasi pada tahun 1998 dengan pengunduran diri Soeharto dan digantikan oleh Habibie. Sejak saat itu, Partai Golkar menjadi sorotan banyak pihak. Sebagian kalangan menginginkan agar Golkar dibubarkan, karena sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi, mengingat Golkar adalah warisan dari Orde Baru. Sebagian yang lain menginginkan agar Golkar tidak perkenankan untuk mengikuti pemilihan umum. 17
Tomi Lebang, Berbeka Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika; Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 4
57
Maka, berdasarkan kesepakatan para politisi Golkar, akhirnya Golkar menjadi partai politik, bukan lagi golongan kekaryaan sebagaimana pada era Orde Baru. Di sini Partai Golkar mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa Partai Golkar sudah berubah, bahwa Partai Golkar bukan lagi Golkar seperti pada masa Orde Baru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jusuf Kalla: Politik sangat berubah. Orde baru sangat sentralistik, otoriter, sehingga golkar menjadi partai utama yang mendukung dan didukung oleh partai dalam rangka untuk menjalankan pemerintahan. Sangat dominan sekali. Setelah orde baru, setelah reformasi, demokrasi lebih terbuka, lebih liberal. Dan tiga partai muncul kemudian 48 partai pada tahun 1999. Sehingga terjadilah persaingan yang ketat antar partai-partai sehingga Golkar harus mampu bersaing. Multi partai. Di sini Golkar berubah menjadi partai politik. 18 Saat penulis menanyakan tentang alasan berubahnya Golkar menjadi partai politik, Jusuf Kalla menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi keharusan. Jika Golkar ingin tetap bertahan di tengah-tengah arus reformasi, maka Golkar harus merubah dirinya mengikuti organisasi politik, seperti partai-partai yang lainnya. Jusuf Kalla menjelaskan bahwa ada tiga fungsi partai politik dalam ranah demokrasi, di antaranya yaitu: menjalankan pemerintahan jika berada di eksekutif, menjalankan fungsi legislatif jika menjadi anggota DPR, dan yang ketiga adalah bagaimana sebuah partai politik memberikan andil dan peran dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan Jusuf Kalla kepada penulis: 18
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
58
Tugas partai ada tiga: pertama menjalankan pemerintahan kalau menjadi partai pemerintah, waktu itu golkar selalu punya menteri di pemerintahan. Calon presiden dari golkar. Keduanya, bagaimana peranan partai di DPR agar dapat menjalankan atau misi politik nasional dan juga misi partai. Sebuah partai di DPR, legislatif. Yang ketiga, bagaimana peranan partai di masyarakat.19 Berkenaan dengan anggapan banyak kalangan yang menyatakan bahwa sebagai seorang ketua umum partai yang cukup disegani di Indonesia, Jusuf Kalla terlalu tegas dan blak-blakkan dalam menyikapi suatu permasalahan, hal ini menurutnya adalah suatu keharusan. Karena selama ini beliau
menganggap
kebanyakan
politisi
terlalu
berbelit-belit
dalam
memberikan tanggapan atau sikap terhadap suatu permasalahan. Jusuf Kalla berusaha untuk mengubah citra itu, dengan selalu terus terang dan langsung ke pokok permasalahan. Seperti yang diungkapkan: “Itu sudah menjadi ciri saya. Saya tidak bisa bertele-tele dalam memberikan tanggapan atau keputusan terhadap suatu masalah. Kalau memang bisa langsung diselesaikan, kenapa berlama-lama, mutermuter dulu ke mana-mana. Itu tidak efektif, membuang-buang waktu dan tenaga. Langsung saja ke pokok permasalahan, solusinya apa, lakukan! Jangan diputar-putar dulu.”20 Apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla tersebut di atas, mungkin terpengaruh
oleh
lingkungan
pengusaha,
di
mana
beliau
banyak
menghabiskan waktu. Diperlukan keputusan yang jitu dan cepat dalam menyikapi suatu permasalahan. Sebagaimana idiom yang dikenal dalam dunia usaha Time is Money, maka momen sangat menentukan dan berarti.
19
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB 20 Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
59
Kepemimpinan menurut Jusuf Kalla adalah seni untuk mempengaruhi orang lain mengerjakan sesuatu yang baik dan mempersatukan banyak pendapat. Selain itu, pemimpin menurutnya juga harus mau mengerjakan pekerjaan yang populer dan yang tidak populer. Kalau hanya mau mengerjakan yang disukai saja, maka ia bukan seorang pemimpin melainkan seorang koordinator.21 2. Jusuf Kalla Sosok Progresif Saat menjadi wakil presiden periode 2004-209 sekaligus ketua Partai Golkar, Jusuf Kalla dikenal sebagai seorang pemimpin yang tanggap akan keadaan. Tidak banyak pertimbangan, action first, think later (bertindak dulu, berpikir nanti). Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yang membutuhkan keputusan segera, langsung dieksekusi oleh Jusuf Kalla. Suasana seperti ini seringkali terjadi tanpa sepengetahuan SBY, selaku presiden. Sehingga, di kalangan para pengamat seringkali muncul istilah “matahari kembar”, yang menganalogikan Jusuf Kalla tak ubahnya seorang presiden, sama dengan SBY. Karena begitu banyak kebijakan yang diambil langsung oleh Jusuf Kalla. Mungkin masyarakat saat ini merindukan sosok pemimpin seperti Jusuf Kalla, yang selalu bicara apa adanya, tanpa harus berbelit-belit. Pemimpin yang lugas, cekatan dalam mengambil keputusan, efisien, adalah gambaran mengenai kepemimpinan Jusuf Kalla. Salah satu contoh mengenai 21
Hamzah Farihin, “Pemimpin Harus Mampu Pengaruhi Orang Lain”, dalam Berita UIN, No. 117/Th. VIII/September/2011, h. 1.
60
progresifitas Jusuf Kalla adalah dalam masalah naskah pidato resmi wakil presiden. Menurutnya, naskah-naskah itu isinya hanya sekedar copy dan paste saja dari pidato-pidato sebelumnya. Lebih rinci ia menjelaskan, di setiap naskah pidato, apa pun forum dan pendengarnya, kata krisis multidimensi selalu ada. Juga kata globalisasi.22 Sisi lain dari progresivitas Jusuf Kalla adalah alasan yang dikemukakannya saat menolak pelaksanaan konvensi Partai Golkar. Menurutnya, konvensi hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran, yang hasilnya pun belum tentu memuaskan. Selain itu, dalam pelaksanaan konvensi juga akan mengizinkan masuknya berbagai golongan yang belum terukur kapasitas dan kapabilitasnya.23 Dari beberapa bukti yang telah penulis paparkan di atas, penulis mengambil kesimpulan, bahwa sisi progresif dari Jusuf Kalla terletak pada pemikirannya tentang efektivitas dan efisiensi dalam organisasi, termasuk salah satunya dengan ketidaksetujuannya dengan pelaksanaan konvensi. Meskipun ada indikator-indikator lain yang menyebutkan seseorang progresif atau tidak, karena keterbatasan penulis, hanya beberapa indikator tersebut di atas saja yang dapat penulis kemukakan.
22
Wisnu Nugroho, Pak Kalla dan Presidennya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. Ke-2, h. 12. 23 Wisnu Nugroho, Pak Kalla dan Presidennya, h. 20.
61
3. Kiat-kiat Jusuf Kalla dalam Memimpin Partai Golkar Sebagai seorang pemimpin dari sebuah partai politik yang besar, Jusuf Kalla dituntut untuk terus membawa Partai Golkar ke arah perubahan yang lebih baik. Meskipun stigma dari masyarakat sebagai partai Orde Baru susah untuk dihilangkan, namun eksistensi Partai Golkar dalam mewarnai perpolitikan di Indonesia terus berlanjut. Hal ini tentu tidak terlepas dari proses kaderisasi yang ada di Partai Golkar itu sendiri. Penulis berusaha untuk mencari tahu bagaimana proses kaderisasi di Partai Golkar kepada Jusuf Kalla. Beliau menjelaskan bahwa kaderisasi di Partai Golkar berlangsung dari bawah. Hal ini berarti bahwa kader-kader yang ada di Partai Golkar bukanlah mereka yang sudah menjadi figur atau tokoh kemudian tiba-tiba masuk di Partai Golkar dan mendapatkan kedudukan yang diinginkannya. Setiap kader yang ingin mendapatkan posisi yang diinginkan harus berjuang dari bawah. Dengan kata lain, kaderisasi partai Golkar bukan merupakan “kader jenggot”, atau kader titipan yang berasal dari mereka yang sudah menduduki posisi pemimpin atau pengurus. Seperti yang dijelaskan oleh Jusuf Kalla kepada penulis: Kaderisasi di dalam Golkar itu dari bawah. Pola rekruitmen ada dua, berdasarkan fungsinya, hal ini antara lain berasal dari organsiasi kepemudaan seperti AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar), dari organisasi kewanitaan, mahasiswa, organisasi-organisasi sayap seperti Kosgoro dan lain sebagainya. Pola yang kedua adalah dari wilayah, daerah-daerah maupun anggota DPR. Maksudnya adalah proses kaderisasi ini merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap kader dari bawah, mulai dari pengurus tingkat kelurahan, kecamatan,
62
kabupaten/kota, provinsi, baru kemudian berkiprah di tingkat nasional. Dengan demikian, maka proses kadirisasi akan terus berlanjut dan berjenjang, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing kader. Kalau tidak begitu, maka akan terjadi kecemburuan antar kader dan proses kaderisasi akan berlangsung tidak kontinyu dan amburadul. 24
Sebagai sebuah partai yang tidak baru, proses kaderisasi di dalam Partai Golkar sudah berlangsung cukup lama dan stabil. Berbeda dengan partai-partai baru yang membutuhkan pola rekruitmen dan pengkaderan yang harus terus dipelihara, dalam Partai Golkar proses tersebut sudah mapan.
C. Pengaruh Kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla Berdasarkan kajian yang telah penulis lakukan, baik melalui penelusuran literatur maupun wawancara dengan nara sumber, ada beberapa benang merah yang dapat ditarik dari pembahasan ini. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masingmasing individu memiliki karakter maupun ciri-ciri tersendiri, dalam hal memimpin suatu organisasi atau partai politik, komitmen dan integritas tidak dapat diabaikan begitu saja. Demikian juga dengan gaya kepemimpinan, satu pemimpin dengan pemimpin lainnya sangat mungkin untuk berbeda. Dalam menahdokai Partai Golkar, Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla menurut hemat
penulis,
masing-masing
memberikan
warna
tersendiri.
Pada
masa
kepemimpinan Akbar Tandjung, harus diakui bahwa Partai Golkar berhasil keluar dari krisis politik pada era transisi di masa reformasi. Berbagai strategi dan terobosan 24
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
63
yang ada pada masa kepemimpinannya, membuat Partai Golkar tetap bertahan dan memberikan sumbangsih terhadap Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perubahan yang terjadi di Partai Golkar itu sendiri, di mana sebelumnya Golkar dianggap sebagai alat penguasa dalam melanggengkan kekuasaan, antikritik, eksklusif, menjadi partai yang demokratis, terbuka, dan mendengar kritik yang ada. Hasil kerja keras Akbar Tandjung saat menjadi ketua umum Partai Golkar dapat dilihat dari keberhasilan Golkar dalam memenangkan pemilu legislatif 2004, meskipun jumlah suara yang diperoleh menurun. Ini adalah sebuah prestasi tersendiri, mengingat buruknya citra Golkar di mata masyarakat. Selain itu, masih dipercayanya beberapa kader Golkar untuk mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan, juga bisa dijadikan ukuran bagaimana Partai Golkar tetap bertahan di tengah-tengah kecaman dan desakan dari banyak kalangan untuk bubar. Sedangkan dalam era kepemimpinan Jusuf Kalla, bisa dikatakan Partai Golkar sudah melewati masa-masa kritis menuju masa-masa konsolidasi. Citra Golkar yang buruk sedikit demi sedikit bisa dikikis dengan gaya kepemimpinan Jusuf Kalla yang progresif, jujur, dan blak-blakan. Meskipun merangkap menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla mampu untuk meluangkan waktu menjalankan roda organisasi di Partai Golkar.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa persamaan kepemimpinan antara Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung dalam tubuh Partai Golkar antara lain adalah kedua mantan ketua umum tersebut berjuang mempertahankan nama baik Partai Golkar di tengah-tengah kondisi masyarakat yang memberikan stigma buruk terhadap partai berlambang pohon beringin tersebut. Kondisi Partai Golkar pasca reformasi membutuhkan seorang pemimpin yang luar biasa dalam mengendalikan organisasi. Adapun perbedaan gaya kepemimpinan antara keduanya adalah dalam menjalankan roda organisasi, terletak pada gaya kepemimpinan. Kepemimpinan Akbar Tandjung di dalam Partai Golkar lebih cenderung bersifat paternalistik. Hal ini terlihat dari bagaimana Akbar Tandjung mengambil keputusan mengenai kebijakan Partai Golkar yang mengutamakan keselarasan antar sesama pengurus dengan banyak melibatkan para senior untuk mendapatkan pengarahan. Partai Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung mampu bertahan di tengah-tengah tuntutan reformasi, termasuk tuntutan sebagian kalangan yang menginginkan pembubaran Partai Golkar. Selain itu, di bawah kepemimpinan Akbar
Tandjung,
Partai
Golkar
masih
64
mendapatkan
tempat
dalam
65
memperjuangkan aspirasi rakyat lewat pemerintahan dengan menempatkan beberapa kader Partai Golkar dalam kabinet. Adapun gaya kepemimpinan Jusuf Kalla saat memimpin Partai Golkar cenderung bersifat demokratis.
Menilik latar belakang Jusuf Kalla sebagai
pengusaha, tidak mengherankan jika kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jusuf Kalla bersifat efisien, lugas, dan terus terang. Beberapa hal ini yang menjadikan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla memperoleh simpati dari masyarakat sebagai partai yang demokratis dan membela kepentingan rakyat banyak. Pengaruh kepemimpinan kedua tokoh tersebut di dalam tubuh partai Golkar antara lain sebagai berikut: pada masa kepemimpinan Akbar Tandjung, harus diakui bahwa Partai Golkar berhasil keluar dari krisis politik pada era transisi di masa reformasi. Berbagai strategi dan terobosan yang ada pada masa kepemimpinannya, membuat Partai Golkar tetap bertahan dan memberikan sumbangsih terhadap Indonesia. Sedangkan dalam era kepemimpinan Jusuf Kalla, bisa dikatakan Partai Golkar sudah melewati masa-masa kritis menuju masa-masa konsolidasi. Citra Golkar yang buruk sedikit demi sedikit bisa dikikis dengan gaya kepemimpinan Jusuf Kalla yang progresif, jujur, dan blak-blakan. Serta berani mengambil resiko atas kebijakannya,demi kebaikan rakyatnya. Meskipun merangkap menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla mampu untuk meluangkan waktu menjalankan roda organisasi di Partai Golkar.
66
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan antara lain adalah: 1. Perlunya penelitian lebih lanjut, untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla di Partai Golkar. 2. Perbedaan gaya kepemimpinan antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya, hendaknya tidak menjadikan perpecahan di dalam suatu organisasi. Dengan demikian, tujuan dan cita-cita organisasi yang sudah disepakati bersama dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Alfan, Menjadi Pemimpin Politik: Perbicangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009 A, Denny J., Jalan Panjang Reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006 Davis dan Newstrom, Leadership And Manajemen, Havard Univesity Press, 1995 Ecip, S. Sinansari dan M.Rusman Madjulekka, Percikan Pemikiran M. Jusuf Kalla: Mari ke Timur, Jakarta: Toko Gunung Agung, 2000 Farihah, Ipah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 Ghofur, Maryono Abdul, Dasar-dasar Manajemen Organisasi, Surabaya: Sinar Emas, 2007 Harmoko, Quo Vadis Golkar: Mencari Presiden Pilihan Rakyat, Jakarta: Kintamani Publishing, 2009 Horrison, Lisa, Metodologi Penelitian Penelitian, Jakarta: Kencana, 2007 Hunneryager, S. G. & I. L. Heckman, Kepemimpinan, Semarang: Dahara Prize, 1992 Johnson, Doyle Paul, Teori sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia, 1996, Jilid 1 Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1984 Lebang, Tomi, Berbeka Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika; Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006 Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974 Muladi dan Adi Sujatno, Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, Jakarta: RM Books, 2008 Musakabe, Herman, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi, Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004
67
68
Nawawi, H. Hadari, Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993 Nugroho, Wisnu, Pak Kalla dan Presidennya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, Cet. Ke-2 Kholid Novianto, et.al., Memenangkan Hati Rakyat: Akbar Tandjung dan Partai Golkar dalam masa Transisi, Jakarta: Benda Press, 2003, Cet. Ke-1 Pahmi Sy, Politik Pencitraan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010 Pusat Bahasa, Kamus Besar, Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Cet. Ke-tiga Rahayu, Iin Tri dan Tristiadi Ardi Ardani, Observasi & Wawancara, Malang: Bayumedia Publishing, 2004 Raharjo, Dawam, Angkatan Bersenjata Sebagai Kekuatan Politik, Jakarta: Prisma, 1998 Rahman, Aulia A., Citra Khalayak Tentang Golkar, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006 Rinakit, Sukardi, Tuhan Tidak Tidur: Esai Kearifan Pemimpin, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008 Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin, Metodelogi Penelitian Sosial, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Siagian, Sondang P., Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992 Tandjung, Akbar, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Tomatala, Y., Kepemimpinan yang Dinamis. (Yogyakarta: UGM Press, 1987 Zaini, Subanto, Leadership In Action, Jakarta: Elex Media komputindo, 2011
69
Media Massa: “Kecam Kepemimpinan Jusuf Kalla,” Sinar harapan 1 September 2007 Hamzah Farihin, “Pemimpin Harus Mampu Pengaruhi Orang Lain”, dalam Berita UIN, No. 117/Th. VIII/September/2011 Mar’ie Muhammad, “Gaya Kepemimpinan SBY-JK” Majalah Bisnis Indonesia, 11 Oktober 2004 Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung; Faktor Penentu Pemilihan Presiden 2009”, Vo. 1, No. 1, Februari 2008 “Manuver Politik JK”, dalam Majalah Biografi Politik, Edisi Khusus Pilpres 2009 “M. Jusuf Kalla, Negarawan yang Religius”, Majalah Tokoh Indonesia, Volume 4
Internet: http://www.madinask.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2562:p ak-harto-dan-golkar&catid. Diakses hari Rabu, 22 juni 2011. http://books.google.co.id/books?id=xkAxs7KPNwC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=kepemimpi nan+max+weber&source=bl&ots=rNi9xHvKVz&sig=Wyxul9lRKQpK0hEPf3LlHB ZOnwU&hl=id&ei=V3alTuWcGMLTrQfovmHAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&ved=0CCUQ6AEwAg#v=o nepage&q=kepemimpinan%20max%20weber&f=false,
http://berita.kapanlagi.com/pernik/jusuf-kalla-bernostalgia-di-kampung-halaman-8dv 5bys.html http://nasional.vivanews.com/news/read/69208-di_brebes__jk_terkenang_masa_kecil
Wawancara: Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
HASIL WAWANCARA DENGAN JUSUF KALL BERTEMPAT DI KANTOR KALLA GROUP Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
Assalamu’alaikum Bapak, perkenalkan nama saya Nurkholifah. Saya mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2007. Maksud saya kali ini saya ingin mewawancarai bapak dalam rangka untuk menyelesaikan tugas akhir saya tentang kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru. Untuk membatasi pembahasan ini, saya ingin mengadakan perbandingan kepemimpinan antara Bapak Jusuf Kalla Bapak Akbar Tanjdung. Tujuan dari pembahasan pada kedua mantan ketua ini adalah untuk memfokuskan kajian serta ingin mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keduanya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya ingin merekam wawancara ini. Bapak keberatan tidak? Oh, silahkan. Tidak masalah. Apa yang melatarbelakangi atau memotivasi bapak untuk menjadi ketua umum Partai Golkar di saat Golkar mengalami masa-masa kritis? Sebagai kader golkar dan pengurus dah hamper 40 tahun di Makassar, mulai pemilihan pemuda tahun 64, cita2nya menjadi ketua partai. Sebagai wapres tahun 2004, daerah2
minta saya untuk menjadi ketua dan meminta saya untuk membawa golkar menjadi partai sekutupemerintah, agar pemerintah ini berjalan. Ngalir aja, diminta oleh teman2 pengurus daerah. Apa perbedaan Golkar sebelum Orde Baru dan Pasca Orde Baru? Politik sangat berubah. Orde baru sangat sentralistik, otoriter, sehingga golkar menjadi partai utama yang mendukung dan didukung oleh partai dalam rangka untuk menjalankan pemerintahan. Sangat dominan sekali. Setelah orde baru, setelah reformasi, demokrasi lebih terbuka, lebih liberal. Dan tiga partai muncul kemudian 48 partai pada tahun 1999. Sehingga terjadilah persaingan yang ketat antar partai-partai sehingga golkar harus mampu bersaing. Multi partai. Apa startegi Bapak untuk membangun Partai Golkar? Tugas partai ada tiga: pertama menjalankan pemerintahan kalau menjadi partai pemerintah, waktu itu golkar selalu punya menteri di pemerintahan. Calon presiden dari golkar. Keduanya, bagaimana peranan partai did pr agar dapat menjalankan atau misi politik nasional dan juga misi partai. Sebuah partai did pr, legislative. Yang ketiga, bagaimana peranan partai di masyarakat. Apa kebijakan-kebijakan bapak dalam membangun Partai Golkar? Kebijakan apa dulu, harus sesuai dengan tujuan partai. Meningkatkan pembangunan, kekaryaan, mendukung kebijakan pemerintah. Kalau partai itu dibangun apabila mendapat kepercayaan masyarakat.
Partai
di
mana2
sama
saja,
menyuarakan
pendukungnya,
konstituennya,
memperjuangkan aspirasi pemilihnya, menjalankan pemerintah dengan baik kemudian membina masyarakat, mempersiapkan kader-kader. Bagaimana cara atau pola rekruitmen dan kaderisasi di Partai Golkar? Kaderisasi di dalam Golkar itu dari bawah. Pola rekruitmen ada dua, berdasarkan fungsinya, hal ini antara lain berasal dari organsiasi kepemudaan seperti AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar), dari organisasi kewanitaan, mahasiswa, organisasi2 sayap seperti Kosgoro dan lain sebagainya. Pola yang kedua adalah dari wilayah, daerah-daerah maupun anggota dpr. Maksudnya adalah proses kaderisasi ini merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap kader dari bawah, mulai dari pengurus tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, baru kemudian berkiprah di tingkat nasional. Dengan demikian, maka proses kadirisasi akan terus berlanjut dan berjenjang, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing kader. Kalau tidak begitu, maka akan terjadi kecemburuan antar kader dan proses kaderisasi akan berlangsung tidak kontinyu dan amburadul. Bagaimana perkembangan Golkar setelah di bawah kepemimpinan bapak? Perkembangannya baik, walaupun dalam pemilu suara menurun. Karena banyak faktor kan.
Bagaimana pandangan bapak terhadap gaya kepemimpinan Akbar Tandjung di Partai Golkar pasca Orde Baru? Masing-masing punya style tersendiri. Kau kan mau wawancara, jangan saya yang menilai. Saya tidak bisa menilai. Biasa-biasa saja. Waktu di Munas, Bapak berselisih dengan Bapak Akbar Tandjung ya? Setiap munas memang begitu, mesti ada yang menang dan ada yang kalah. Karena peserta memilih saya, maka saya memang. Yang penting begini, 80% pengurus golkar terdiri dari tiga jabatannya: kalau tidak gubernur, bupati/walikota, atau dpr. Jadi pejabat negara. Itu pasti lebih memilih pejabat negara, karena bagi dia merupakan penghormatan. Selain itu saya juga lama di Golkar. Bagaimana hubungan Bapak dengan Bapak Akbar Tandjung sekarang? Saya biasa saja. Masih teman, sampai sekarang. Dia ketua HMI, saya juga HMI. Biasa saja. masih minat mencalonkan diri jadi presiden Pak? Saya sudah pernah jadi calon. Perkembangannya masih lama, masih 3 tahun lagi. Saya kan sudah pengalaman macam2, umur juga sudah tua. Sekarang saya ingin di sosial, tidak ada keinginan di politik lagi.
HASIL WAWANCARA DENGAN AKBAR TANDJUNG BERTEMPAT DI AKBAR TANDJUNG INSTITUTE Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB
Assalamu’alaikum Bapak, perkenalkan nama saya Nurkholifah. Saya mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2007. Maksud saya kali ini saya ingin mewawancarai bapak dalam rangka untuk menyelesaikan tugas akhir saya tentang kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru. Untuk membatasi pembahasan ini, saya ingin mengadakan perbandingan kepemimpinan antara Bapak Jusuf Kalla Bapak Akbar Tanjdung. Tujuan dari pembahasan pada kedua mantan ketua ini adalah untuk memfokuskan kajian serta ingin mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keduanya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya ingin merekam wawancara ini. Bapak keberatan tidak? Silahkan. Apa yang melatarbelakangi atau memotivasi bapak untuk menjadi ketua umum Partai Golkar di saat Golkar mengalami masa-masa kritis? Jika ada pertanyaan tentang motivasi saya menjadi ketua umum Partai Golkar, saya bisa menjawab bahwa hal tersebut sudah merupakan insting aktivits atau politisi. Karena dengan berada di tengah-tengah lapangan, baik di legislatif maupun eksekutif, perjuangan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat lebih terbuka, jika dibandingkan dengan berada di luarnya. Kalau dulu ketika mahasiswa saya
berusaha memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan turun ke jalan atau demonstrasi, maka sekarang jalurnya adalah melalui sistem itu sendiri. Menjadi ketua partai politik, bisa saya artikan sebagai salah satu cara untuk berjuang. Apa startegi Bapak untuk membangun Partai Golkar? Jadi ketua umum itu perlu tenaga dan pikiran yang lebih. Berbeda kalau kita masih menjabat pengurus harian atau departemen tertentu, seperti departemen kaderisasi misalnya. Apalagi menjadi ketua umum Partai Golkar, yang sudah terlanjur mendapat stigma negatif di masyarakat karena dianggap sebagai warisan dari Orde Baru yang otoriter. Di sini saya berusaha untuk memperjuangkan bagaimana bisa menaikkan citra Partai Golkar, agar mendapat tempat lagi di hati masyarakat. Salah satu strategi yang saya tempuh adalah dengan membuat suatu terobosan (breaktrough) dalam hidup berdemokrasi. Konvensi adalah wujud riilnya. Ini memang melelahkan, membutuhan banyak biaya, serta perlu waktu yang tidak sebentar. Tapi konsekuensi tersebut harus diambil, mengingat kondisi yang ada. Slogan “Golkar Baru” harus benar-benar terimplementasikan, bukan hanya sekedar bualan semata. Nanti kalau tidak ada realisasinya, maka anggapan bahwa politisi hanya sekedar berkata tanpa berbuat akan semakin mengakar di benak masyarakat. Apa kebijakan-kebijakan bapak dalam membangun Partai Golkar? Secara keseluruhan, tidak jauh berbeda dengan ketua-ketua partai pada umumnya. Hanya saja, untuk menjadi ketua umum Partai Golkar memang dibutuhkan usaha yang lebih keras. Hal ini mengingat posisi Partai Golkar yang masih saja mendapatkan stigma buruk di masyarakat, sebagai warisan orde baru atau masih ada hubungannya dengan keluarga Soeharto. Untuk menjadikan Partai Golkar yang
baru, perlu diambil langkah-langkah yang berani. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, konvensi di dalam Partai Golkar adalah sesuatu yang baru. Pengambilan keputusan ini memang termasuk langkah yang berani. Bagaimana cara atau pola rekruitmen dan kaderisasi di Partai Golkar? Kami menerapkan sistem rekruitmen dari bawah. Jadi mereka yang ingin berkarir di Partai Golkar harus mulai dari bawah dulu. Sampai saat ini mungkin belum ada ya, kader Partai Golkar yang tiba-tiba menduduki posisi strategis tanpa melalui tahapan-tahapan sebelumnya. Istilahnya, tidak ada kader instan di sini. Yang ada malah, banyak kader Partai Golkar yang justru berkiprah di partai-partai lain. Karena diakui atau tidak, kader-kader Partai Golkar memiliki integritas dan kapasitas yang mumpuni, sehingga bisa diterima di partai manapun. Bagaimana perkembangan Golkar setelah di bawah kepemimpinan bapak? Menurut saya pribadi, Partai Golkar di bawah kepemimpinan saya sudah mulai membaik. Kondisinya jauh berbeda dengan sebelum reformasi atau saat saya masih menjadi anggota. Perbedaan ini bisa saja dilihat dari posisi Partai Golkar di dalam pemerintahan, maupun partai Golkar secara organisasi. Maksudnya, dulu memang kita banyak didukung oleh pemerintah, tetapi sejak Bapak Soeharto lengser, terjadi perubahan yang drastis, terutama di masyarakat tentang keberadaan Golkar. Ini yang menurut saya membutuhkan perjuangan dan usaha yang tidak ringan. Justru militansi kader diuji saat Golkar berada di dalam kondisi yang sulit tersebut, dan apakah bisa bertahan atau memperbaiki diri. Itulah tantangan yang cukup berat menurut saya.
Adakah strategi-strategi tertentu dalam menjalankan roda organisasi, terutama di Partai Golkar? Ini yang menarik. Dinamika yang terjadi di tubuh Partai Golkar membutuhkan kemampuan dan kapasitas yang luar biasanya dari pemimpin atau ketua umumnya. Ketika saya menjadi ketua umum Partai Golkar, saya berusaha untuk menjaga keharmonisan antar kader partai dengan mengedepankan persatuan dan keutuhan partai. Saya berusaha meminimalisir konflik di dalam tubuh partai, dengan tetap mempertahankan daya kritis. Selain itu, untuk kasus-kasus tertentu, saya tidak segan-segan untuk meminta masukan atau nasihat dari dewan Pembina partai maupun dari tokoh-tokoh senior partai. Dengan demikian, apa yang menjadi keputusan saya dalam organisasi, saya peroleh tidak saja berasal dari pemikiran saya pribadi, melainkan juga hasil dari sharing atau konsultasi dengan pihak-pihak yang lebih berpengalaman. Selain itu apa lagi Pak? Untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan partai, saya juga sering melakukan kunjungan-kunjungan ke pengurus-pengurus pronvinsi maupun kabupaten/kota, bahkan sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan, untuk mendapatkan informasi yang akurat. Jadi tidak hanya berdasarkan masukan dari laporan-laporan saja. Dengan mengunjungi kader-kader yang ada di daerah, saya bisa mendengar aspirasi dan permasalahan yang mereka hadapi serta mendapatkan solusi terhadap problematika yang ada.
Bagaimana pandangan bapak terhadap gaya kepemimpinan Akbar Tandjung atau Jusuf Kalla di Partai Golkar pasca Orde Baru? Setiap orang memiliki karakter yang sifat yang berbeda-beda. Tidak terkecuali jajaran ketua umum atau mantan ketua umum Partai Golkar. Menurut saya Jusuf Kalla adalah salah seorang mantan ketua Partai Golkar yang baik, terus terang, dan memberikan nuansa tersendiri dalam dunia organisasi. Apalagi didukung oleh relasi dan network yang luas, saya kira beliau termasuk ketua umum yang patut mendapat apresiasi.
LAMPIRAN FOTO
Penulisbersama
JUngsesualwawancara
*,#t#
"#' Sosok Akbar Tandjung saatmenjawabpertanyaanyangpenulis ajukan saatwa:wancara
Penulis dan Jusuf Kalla berposeseusaiwawancaradi Kantor Kalla Group
Sepertibiasanya,JusufKalla memberikanjawabanataspertanyaanyangpenulisajukan dengansanti dan to thepoint
PPRESENSIKONSULTASIBIMBINGAN SKIPSIMAHASISWA Nama No. Pokok Fak/Jur JudulSkripsi
Nurcholifah 107033201647 Ilmu SosialIlmu Politik/IlmuPolitik KepemimpinanPartaiGolkar PascaOrde Baru ( Studi Perbanding an Pola KepemimpinanAkbar Tandjung Periode 1999 - 2004 Dan JusufKalla Periode2004 -2009 Dalam PartaiGolkar ) Pembimbi A. Bakir r lhsan. rnsan.vl.5l M.Si Keterangan No. Hari, Tgl. MateriyangDikonsultasi pemb/Td.Te.
t. Jrrm'ai, 16 t4n Eut{aci *nn4 DaptarIei "noi A3ustus dan Lotar Br"lo
2otr
9.
$\asa, t3 Vrenptqhs"^n B"b i dan Bo.b!t' SqternberBoro\ lo\gKoteKsran Ji \tet"dolc Zotl
4\ pt\e\rkictn'
lr
7.
Bab li ,a& Ye\aso" , ,' f.,lernbaha5Bab I dan behtap^ fy horuc c\t 14666'[6^n otftobtr 2atr
4 Jumat,{
bcer rNqn h*s,L trl,terv\e'N, Me.hr\ber Nb\ember!".. penarn(u..han 5ub bab Jd gAb
20u
5. JqrnaT, lt
\)
Menyerohranhq(tL RtvtgtatnSeml"
Bngstrrrgr. NDvember 2ott Jakarta,l4 Juni2011
ultasIlmu SosialdanIlmu Politik
TANDA TERIMA
Telahsayaterimaproposalskripsisebagaiberikut: Nama No. Pokok Fak/Jur Judul Skripsi
Nurcholifah r0703320t647 Ilmu Sosialdan Ilmu Politik/Ilmu Politik KepemimpinanPartaiGolkar PascaOrdeBaru ( StudiPerbanding an Pola KepemimpinanAkbar Tandjung Periode 1999 - 2004 Dan JusufKalla Periode2004 -2009 Dalam PartaiGolkar )
Dengan ini saya menyatakanbersediaI ffi. mahasiswatersebutdi atas.
menjadi pembimbing skripsi be+sedia_
Jakarta,l4Juni2011 HorrnatSava.
A. Bakir Ihsan.M.Si NB:Mahasiswayangbersangkutan mengembalikanlembaranpersetujuanini ke Seketaris Prodi Ilmu Politik Dua Minggu sejakdikeluarkan.
I(EME,NTERIAN
AGAMA
UNIVE,RSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA SYARIF IIIDAYATULLAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Jl. Kedamukti, Fisangan,Ciputat 15419 JakartaSelatan Telp. 021-747 05215, 7 4705969,74702013,F ax. 021-74702013
Nomor Lamp Hal
Website: www.uinjkt.ac.id; E-mail :
[email protected]
: Un.O1/F1 1/OT.0l.6l wu l2g11
Jakarta,8 Agustus2011
: PermohonanWawancaraSkripsi
Kepada Yth, Bapak Dr. Akbar Tanjung Ketua Akbar Tanjung Institute Jl. PancoranIndah Raya Komp.Liga Mas Indah Blok B No. A1 perdatam JakarlaSelatan
Assalamu'alaikumWr. Wb Dengan Hormat, bersama ini kami sampaikan surat pennohonan wawancara untuk penulisan skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakartaatasnama: Nama NIM Semester Judul Skripsi
Nurcholifah 107033201647 IX (Sembilan) KepemimpinanPartai Golkar PascaOrde Baru (Studi pola KepemimpinanAkbar Tandjungperiode 1999-2004dan M. JusufKalla Periode2004-2009dalampartaiGolkar)
Sehubungan hal tersebut di atas, mohon kesediaan Bapak untuk menerima wawancaramahasiswaFISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada waktu yang sesuaidenganjadwal Bapak. Demikian, ataskesediaandan ke{a samaBapak, kami ucapkanterima kasih. Wassalamu'alaikumWr. Wb
lVV iProf. Dr. BahtiarEffendy Nr P.1958 1210199603 I 001
Nama
: Nurcholifah
Jurusan
: Ilmu Politik
UniversitasIslarnNeeeri Jakarta
BASIC OF INTERVIEW 1. Apa yang melatarbelakangi ataumotivasi Bapakuntuk menjadi Ketua Umum PartaiGolkar disaatGolkarmensalarnimasa-lnasa kritis?
2 . Apa perbedaanGollar sebelumOrde Baru dan Pascabide garuf a J.
Dan apa "Golkar Baru" itu menurutBapak?
A
Apa strategiBapakuntuk membangunParlaiGolkar disaatGolkar mengalami krisis kepercayaandimatamasyarakat?
5. Apa strategiBapakuntuk membangunPartaiGolkar? 6. Apa kebijakan- kebijakanBapakdalammembangunPartaiGolkar? 7. Bagaimanacaraataupola rekruitmendan kaderisasidi Par-taiGolkar? 8. Bagaimanaperkembangan Golkar setelahdibawahkepemimpinanBapak? 9. BagaimanapandanganBapakterhadapgayakepemimpinanJusuf Kalla di Partai Golkar selamaperiode2004-2009?
Jakarta, September2011
Dr Ir Akbar Tandjung
Nam! ;
: Nurcholifah
Jurusan
: Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Jakarta
BASIC OF INTERVIEW 1. Apa yang melatarbelakangiBapak untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar? 2._.,Apaperbedaan Golkar sebelumOrde Baru Dan PascaOrde Baru? 3. Apa strategiBapak untuk membangunPartai Golkar? 4. Apa kebijakan - kebijakan Bapak dalam membangun Partai Golkar? 5. Bagaimanacara ataupola rekruitmen dan kaderisasidi Partai Golkar? 6. BagaimanaperkembanganGolkar setelahdibawah kepemimpinanBapak? 7. BagaimanapandanganBapak terhadapgaya kepemimpinanAkbar Tandjung di PartaiGolkar selamaperiode 1999-2004?
Jakarta,Agustus2011
,4&-,Drs. H. MuhammadJusuf Kalla
SURATKETERANGAN No. :01/JK/Vl,ll2O11
Denganini menerangkan bahwamahasiswidibawahini,yaitu: Nama : Mahasiswi :
Nurcholifah lslamNasional FISIPUniversitas
I
adalahbenartelah melakukanwawancaraskripsidi kantorkami, padatanggal10 Agustus dengansebaik-baikhya. DemikianSuratKeteranganinidibuatuntukdipergunakan
Jakarta,10 Agustus2011. Hormatkami,
fu4--.Drs. H.M.Jusuf Kalla