BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Reformasi 1998 adalah peristiwa penting yang menandai terbukanya iklim demokratisasi di Indonesia. Orde Baru, dibawah rezim Soeharto, selalu menggunakan kekuasaan dan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang berseberangan. Perbedaan dianggap sebagai lawan. Sehingga terjadilah politik penyeragaman. Maka ketika rezim Soeharto tumbang dan digantikan oleh Orde Reformasi, rakyat Indonesia menyambutnya dengan gegap gempita. Masyarakat percaya bahwa reformasi menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi Orde Reformasi ternyata tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Reformasi membawa ranjau-ranjau demokrasi yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa. Salah satu dampak dari reformasi adalah meningkatnya isu identitas di masyarakat. Isu identitas hadir karena dianggap bagian dari proses demokrasi yang menghargai ruang-ruang perbedaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, meningkatnya isu identitas ternyata rawan terhadap konflik. Penyebabnya perbedaan identitas sering dianggap masalah atau bahkan musuh. Mereka yang berbeda identitas dengan dirinya, maka dianggap mempunyai banyak pertentangan. Banyak kasus yang terjadi pasca reformasi yang terkait isu identitas. Meliputi identitas suku, agama, etnis, dan golongan. Bukan sekedar konflik kecil,
melainkan konflik yang berubah menjadi perang saudara antar sesama. Beberapa bulan pasca reformasi, tepatnya awal tahun 1999, muncul konflik komunal dengan isu agama di Indonesia. Konflik dipicu oleh persoalan ringan berupa ongkos angkot. Kejadian terjadi pada saat Hari Raya Idul Fitri (19 Januari 1999). Awalnya konflik hanya terjadi pada kawasan kecil di Kota Ambon. Tetapi dalam sekejap langsung merambat ke daerah lain yang lebih besar. Bahkan dalam hitungan hari telah melebar ke pulau-pulau lain di Maluku (Hadi et al., 2007: 149). Konflik tersebut baru berhenti setelah berlangsung selama 4 tahun (15 September 2003). Berdasarkan laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dan Mediasi di Maluku (KPMM), sejak Januari 1999 hingga Oktober 2008 sebanyak 1.011 jiwa meninggal, 2.478 jiwa terluka, 148.450 jiwa menjadi pengungsi. Sementara konflik di Maluku Utara sejak 19 Agustus 1999 hingga 12 Maret 2000, sebanyak 2.069 meninggal dunia, 1.726 terluka, dan 132.915 menjadi pengungsi (Hadi et al., 2007: 149-150). Konflik Maluku adalah salah satu peristiwa paling memilukan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Jumlah korban kekerasan di Maluku hanya dapat dikalahkan oleh peristiwa kekerasan dan pembantaian terhadap anggota PKI pada zaman Orde Baru. Dalam konflik di Maluku, masing-masing pihak menggunakan identitas agama (Islam dan Kristen) saat bertikai. Bangunan peribadatan pun tidak luput dari aksi penghancuran. Peristiwa pembakaran tempat ibadah (masjid dan gereja) makin mempercepat aksi solidaritas kelompok untuk bertarung. Maka tidak heran konflik Maluku menjalar dengan cepat. Dalam sekejap, wilayah konflik tidak
hanya terpusat pada Batu Merah, melainkan juga ke Dobo, Tanimbar, Silale. Waihong, Kudamati, Batu Gantung, dan wilayah lainnya (Hadi et al., 2007: 152). Lingkaran Survey Indonesia (LSI), bersama Yayasan Denny JA, pernah merilis hasil survey tentang keberagaman. Menurut hasil survey tersebut, sejak 1998 telah terjadi 2.398 kasus kekerasan. Dari jumlah tersebut, 65% adalah kekerasan karena perbedaan agama atau paham agama. Sementara 20% menyangkut isu etnis, dan 15% terkait gender. Menurut LSI, ada perbedaan antara kekerasan di zaman Orde Baru dengan zaman reformasi. Pada periode Soeharto, kekerasan yang terjadi bersifat ideologis dengan sasaran utama komunisme. Sementara era reformasi, kekerasannya bersifat primordial. Khususnya terkait isu agama dan etnis. Beberapa kasus menyangkut identitas etnis lainya adalah konflik Suku Dayak melawan Suku Madura pendatang di Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999. Berselang dua tahun kemudian, terjadi konflik antara Suku Dayak melawan Suku Madura pendatang di Kalimantan Tengah pada 2001. Konflik dengan identitas agama pun terjadi ketika penganut Kristen Timor-timur melawan suku dari BBM (Buton, Bugis, Makassar). Suku tersebut merupakan pendatang di kotakota Kupang dan Soe (Bagian Barat Timor Timur) pada tahun 1999. Konflik lain adalah kekerasan etnis di Maluku Utara tahun 2000 yang berujung pada konflik antaragama, juga konflik beragam etnis di Poso Sulawesi Tengah pada 2001 (Marzali, 2003: 15). Setara Institute mencatat beberapa daerah yang dianggap berbahaya bagi keberlangsungan kebebasan beragama. Diantaranya adalah Jawa Barat yang
disebut memiliki intoleransi akut, Aceh yang dianggap memiliki konstitusi yang dapat mengancam keutuhan, Jakarta yang memberikan tempat bagi grup intoleran, NTB yang memiliki kelengahan bagi kebebasan, Sulawesi Selatan yang memiliki pemerintahan yang lemah, Sumatera Barat yang makin memperkuat radikalisasi kepercayaan, dan Sumatera Utara dengan pemerintahan yang memiliki keengganan menyelesaikan kasus rumah ibadah (Halili & Naipospos, 2015: 81115). Makna yang dapat ditangkap dari beragam peristiwa ini adalah kemajemukan identitas bisa menjurus kepada konflik antar identitas. Beragam konflik di atas makin menguatkan persoalan identitas di masyarakat. Merebaknya usaha untuk menunjukkan identitas primordial (seperti agama, etnis, suku, dsb) berpotensi menimbulkan konflik antar penganut identitas yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, persaingan antar identitas tidak selalu berwujud dalam konflik dan kekerasan fisik. Banyak saluran yang bisa dijadikan medium untuk menunjukkan identitas yang berbeda sekaligus ketidaksukaan terhadap identitas pihak lain. Contohnya terjadi persaingan mengimplementasikan aturan berdasarkan sumber ajaran agama di beberapa wilayah Indonesia. Bagi daerah yang merasa memiliki identitas sebagai muslim (misalnya diukur dari jumlah penduduk), maka mereka menganggap peraturan berdasarkan agama islam adalah yang paling cocok untuk diimplementasikan. Dengan diimplementasikannya model peraturan tersebut, maka mereka merasa identitas kelompoknya telah diterima oleh negara. Sebaliknya, pada daerah yang mengasosiasikan diri sebagai wilayah dengan identitas Kristen (seperti Papua), maka peraturan daerah yang berdasarkan ajaran
Kristen menjadi hal yang lumrah. Persoalan di atas akan semakin rumit ketika penganut ajaran dan kepercayaan lain pun menuntut hak yang sama oleh negara. Akibatnya hubungan harmonis antar penduduk akan menghadapi tantangan ketika politik identitas berdasarkan agama makin merebak di Indonesia. Politik identitas semakin marak pasca Orde Baru. Penyebabnya setiap kelompok merasa berhak untuk menunjukkan identitasnya. Bagi mereka, demokrasi memberi kebebasan bagi siapapun untuk mengekspresikan diri sekaligus membuktikan eksistensinya. Politik identitas kemudian menjadi komoditas di Indonesia. Ada beberapa kasus yang dapat disebutkan. Khususnya terkait penggunaan politik identitas dalam perebutan kekuasaan. Misalnya konflik di Sampang yang mengakibatkan kekerasan terhadap komunitas Syiah. Jika ditelusuri, kasus ini ternyata berkaitan erat dengan pemilihan kepala daerah. Isu tentang identitas sunni dan syiah digunakan untuk dapat meraup suara. Begitu juga kasus yang terjadi di Jakarta. Politik identitas digunakan untuk mendeskreditkan pihak lain agar dapat menguntungkan kelompoknya. Dalam konteks demokrasi, identitas akhirnya menjadi isu yang penting dan riskan. Ketika terjadi politik penyeragaman identitas, maka efeknya adalah usaha untuk menghilangkan kemajemukan identitas di masyarakat. Hal ini berseberangan dengan inti dari demokrasi yang menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di lingkungan masyarakat. Di sisi lain, ketika keberagaman identitas diberi ruang untuk berekspresi, potensial untuk menimbulkan gesekan
dan konflik antar identitas. Maka sangat penting merumuskan bagaimana menempatkan identitas secara proporsional agar sesuai dengan prinsip demokrasi. Penelitian ini mengkaji konstruksi politik identitas yang dilakukan oleh salah satu media massa berbasis Islam yaitu Tabloid Suara Islam selama Pemilu Presiden tahun 2014. Pemilu Presiden ini diwarnai dengan maraknya penggunaan isu identitas sebagai alat mobilisasi. Pada tingkat tertentu bahkan terjadi polarisasi di mana kelompok-kelompok kanan bergabung untuk mendukung salah satu dari dua kandidat presiden. salah satu dari dua pasangan kandidat. Tabloid Suara Islam dipilih karena menjadi salah satu media aspirasi golongan mayoritas agama di Indonesia. Selain itu, tabloid ini memberi contoh kuatnya penggunaan isu identitas untuk kepentingan mobilissi elektoral. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstruksi narasi politik identitas dalam wacana tabloid Suara Islam. Dalam peta gerakan Islam di Indonesia, Tabloid Suara Islam dapat dikategorikan sebagai sumber informasi yang diproduksi oleh kelompok Islam yang puritan. Salah satu tokoh sentral dalam tabloid ini adalah Habieb Rizieq yang merupakan tokoh dari FPI (Front Pembela Islam). Agenda yang diperjuangkan oleh kelompok ini adalah penegakkan syariat Islam di Indonesia dalam berbagai bentuknya. Seperti pengimplementasikan hukum islam, memberantas prostitusi, perjudian, dan sebagainya. Dalam melakukan aksinya, mereka cenderung keras terhadap pihak lain. Strategi dakwah kelompok puritas ini dapat digolongkan sangat keras. Berbeda dengan gerakan dakwah kelompok moderat lain seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, dan sebagainya. Meskipun sama-sama memperjuangkan
syariat Islam, tetapi strategi yang digunakan berbeda. Gerakan ini juga berbeda dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), yang lebih menggunakan wacana penegakkan syariat Islam dibandingkan dengan aksi praksis di lapangan. Kajian tentang konstruksi politik identitas sangat penting untuk melihat bagaimana isu identitas digunakan untuk menilai dan menghakimi pihak lain. Penelitian ini akan menjelaskan karakter politik identitas dalam wacana Suara Islam. Tujuannya memberikan dasar argumenasi dilema perdebatan tentang batas toleransi terhadap politik identitas dalam kancah demokrasi. Pemahaman tentang variasi wacana dalam politik identitas sangat dibutuhkan agar penilaian tentang dampak politik identitas dalam demokrasi tidak dipukul rata. Dalam hubungan antar agama, konstruksi identitas oleh suatu kelompok bermanfaat untuk melihat relasi antara kaum mayoritas dan kaum minoritas.
1. 2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mengkaji dan menemukan jawaban atas pertanyaan berikut: 1. Bagaimana konstruksi wacana politik identitas terkait isu pemilu digunakan oleh Tabloid Suara Islam? 2. Bagaimana karakteristik dari politik identitas agama dalam wacana Suara Islam?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi wacana politik identitas dalam Tabloid Suara Islam. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui karakter dari politik identitas berdasarkan agama. Demokrasi mendapat tantangan hebat dalam masyarakat majemuk. Demokrasi harus mengakui keragaman masyarakat, tetapi disisi lain dituntut untuk bertindak tegas dalam mengelola kemajemukan. Demokrasi tidak boleh tunduk terhadap keinginan mayoritas yang mengancam, tetapi demokrasi pun perlu membuka tangan yang lebar terhadap fakta dan realitas masyarakat di sekitar. Penelitian ini berkontribusi dalam pengelolaan keragaman identitas (kemajemukan) di masyarakat. Sehingga dapat digunakan sebagai referensi oleh pengambil kebijakan. Dalam lingkup akademik, penelitian ini merupakan upaya untuk menjelaskan fenomena politik identitas mutakhir yang terjadi di Indonesia dan dapat menjadi bahan bagi penelitian selanjutnya.
1.4 Kajian Pustaka Maraknya politik idenittas setelah era Orde Baru diikuti dengan banyak kajian tentang politik identitas di Indonesia. Kajian-kajian yang ada banyak memberikan perhatian pada dua hal. Pertama tentang gambaran praktik penggunaan politik identitas dalam Pilkada. Kedua,kajian tentang sejauh mana politik identitas efektif dalam memenangkan kandidat dalam pemilu. Kajian mendalam tentang konstruksi dan karakter wacana belum banyak diperhatikan. Padahal pemahaman tentang variasi wacana dalam politik identitas sangat
dibutuhkan agar penilaian tentang dampak politik identitas dalam demokrasi tidak dipukul rata. Wahyudi (2009: 321-323), misalnya menulis tentang “Politik Identitas dan Identitas KarSa dalam Interaksi Pilgub Jatim”. Dalam kajiannya dia menjelaskan tentang praktik identitas yang dilabelkan kepada salah satu pasangan calon gubernur di Jawa Timur, yaitu Soekarwo dan Saifullah. Identitas ini merupakan proses pencarian dan untuk menjadi apa. Salah satu konstruksi identitas yang dihasilkan adalah sebutan pakde yang memberi arti sebagai orang yang arif, berwibawa dan mudah diajak berkomunikasi. Maka konstruksi identitas yang digunakan berhubungan dengan budaya keseharian masyarakat di Jawa Timur. Penelitian ini membantu memberi contoh bagaimana identitas status sosial digunakan dalam persaingan memperebutkan kekuasaan di level lokal. Gazalirrahman (2009: 336-340) meneliti tentang “Pemanfaatan Identitas Gabungan pada Pilkada di Kabupaten Barito Timur”. Menurutnya isu tentang agama, etnis, dan daerah asal menjadi tren dalam pilkada. Sementara ketokohan, visi misi, dan program pasangan tidak terlalu diperhatikan. Ada dua calon yang kuat dari pilkada ini: Haji Zain Alkim dan Ampera Y. Mebas. Calon pertama beragama islam sementara calon kedua beragama Kristen. Zain sering berkunjung ke Masjid dan juga Gereja untuk mendapatkan dukungan. Sementara Ampera kurang sering masuk ke dalam Gereja. Selain itu, calon kedua ini pun tidak bisa masuk ke dalam islam. Penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa isu etnis juga mewarnai dalam persaingan menuju kekuasaan. Zain berasal dari Dayak Manyan yang
bercampur dengan Dayak Bakumpai. Sehingga dianggap dia tidak beretnis Dayak Manyan. Sehingga calon ini berusaha mendapatkan status sebagai Dayak Manyan. Hal ini dijadikan isu oleh Ampera untuk menunjukkan bahwa selama ini Dayak Manyan selalu dipimpin oleh etnis lain dan menjadi budak di wilayahnya. Penelitian ini menggambarkan bagaimana identitas agama dan juga etnis kemudian bergabung dan dijadikan modal untuk memperebutkan kekuasaan. Sudjito (2009: 129-135) mengkaji tentang “Konstruksi Politik Identitas Keagamaan: Catatan Gejala Munculnya Perda Syariah di Tiga Daerah di Indonesia”. Menurutnya struktur kekuasaan politik di ranah lokal semakin meningkatkan ketegangan. Semenjak otonomi daerah dan desentralisasi regulasi melalui UU No. 22 tahun 1999, ada justifikasi bagi elite lokal untuk memperkuat sentimen politik yang direpresentasikan di tingkat daerah. Menurut Sudjito, perda syariah dijadikan sebagai Sentimen
agenda
di daerah
untuk
menyambut
pilkada.
masyarakat dimanfaatkan oleh elite politik lokal dengan cara
memproduksi perda syariah. Sulistiyo (2001: 291-310) menulis tentang "Greens in the Rainbow: Ethnoreligious
Issues
and
the
Indonesian
Armed
Forces".
Kajiannya
menunjukkan terdapat isu agama dan etnisitas yang terjadi dalam tubuh TNI (Tentara Republik Indonesia). Penelitian ini berharga karena menunjukkan bagaimana isu identitas juga dimainkan oleh aparat negara yang seharusnya netral. Pasalnya kecenderungan terhadap identitas tertentu akan mengakibatkan penggunaan kekuasaan yang tidak pada tempatnya.
Haboddin (2012: 109) menulis tentang “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”. Dia menyatakan bahwa menguatnya politik identitas di level lokal bersamaan dengan politik desentralisasi. Politik identitas yang terjadi di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Irian Jawa menunjukkan secara tegas bahwa isu ini digunakan aktor politik dalam melakukan negosiasi untuk mencapai kekuasaan. Nawawi, dkk (2011) meneliti tentang “Dinamika Etnisitas dan Konflik Politik pada Pemilukada”. Objek yang diteliti adalah masyarakat pada konstelasi politik di Poso. Menurut mereka, isu agama dan identitas sudah tidak mempengaruhi masyarakat dalam memilih. Penduduk di sana lebih tertarik pada janji mengenai keamanan dan keteraturan. Para kandidat pun melakukan pembagian kekuasaan yang mengadopsi beragam kepentingan. Seperti kombinasi pasangan Islam dan Kristen. Kajian ini menunjukkan bahwa meskipun di beberapa tempat isu identitas begitu berpengaruh, tetapi di daerah yang lain isu tersebut sudah tidak relevan. Bahkan keberagaman identitas dapat disatukan. Macdonal (2013) meneliti tentang “Election Rules and Identity Politics: Understanding the Success of Multiethnic Parties in Indonesia”. Menurutnya Indonesia memiliki dua pemimpin yang sangat kuat yaitu Soekarno dan Soeharto. Kedua presiden ini yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Dalam sistem pemilu di Indonesia, partai yang ada dipaksa untuk menominasikan kandidat lokal yang populer. Sehingga mampu mewakili masyarakat yang beragam. Penelitian ini menunjukkan bahwa isu identitas dapat digunakan untuk memperkuat proses demokratisasi di Indonesia. Isu identitas tidak sepenuhnya
salah. Bahkan bisa bermanfaat. Dengan menggunakan isu identitas dan pengakuan atas proses demokratisasi di level bawah, maka akan hadir calon pemimpin yang benar-benar mewakili daerahnya. Jennifer L. Epley (2010) menulis disertasi tentang “Religion and Politics in Contemporary Indonesia”. Dalam salah satu bagian dia membahas tentang “Electoral Behavior”. Menurutnya, identitas individu muslim di Indonesia bersifat multidimensi. Artinya agamanya dapat tumpang tindih, berseberangan, atau pun digantikan oleh faktor lainnya seperti status sosial ekonomi, pendidikan, gender, etnisitas, dan usia. Artinya agama sudah tidak terlalu dominan. Penelitian ini menjelaskan bahwa isu identitas agama di Indonesia sudah tidak berpengaruh signifikan bagi sistem politik. Dari berbagai penelitian terdahulu, sudah banyak penelitian yang membahas tentang praktek-praktek penggunaan politik identitas di beberapa daerah. Baik identitas agama, suku, etnis, dan sebagainya. Beberapa penelitian di atas juga membahas tentang tingkat efektivitas dari penggunaan politik identitas. Hal lain yang belum banyak dieksplorasi adalah mengenai karakter dari politik identitas. Maka penelitian ini ingin memberi jawaban mengenai konstruksi wacana politik identitas sekaligus karakter dari politik identitas tersebut.
1.5 Kerangka Teori Ada dua konsep kunci yang digunakan sebagai perspektif dalam tesis ini yakni politik identitas dan konstruksi narasi.
1.5.1. Politik Identitas Sebagian ilmuan politik pada dasarnya berargumen bahwa inti dari politik adalah tentang identitas. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa aktifitas berpolitik bentuk upaya untuk mendefinisian diri, membela diri atau memperjuangkan apa yang dianggap baik oleh diri seseorang atau kelompok (Parker, 53). Argumen ini tentu ada benarnya.Tetapi istilah politik identitas juga bisa digunakan untuk merujuk pada bentuk atau ekspresi politik yang unik. Dalam penelitian ini, istilah politik identitas merujuk pada penjelasan Gutmaan tentang identitas dalam demokrasi. Menurutnya identitas dalam demokrasi atau politik adalah “organizing politically on the basis of group identity. Karakter politik model ini, menurut Gutmann, ditandai oleh upaya menempatkan kelompok identitas dalam konteks oposisi dengan kelompok identitas lain (Gutmann, 3). Tidak semua politik identitas menurut Gutmann adalah buruk. Mobilisasi politik berdasarkan kelompok identitas untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan adalah contoh politik identitas yang oleh Gutmaan disebut „good.‟ Politik identitas juga bisa menjadi sebagai gerakan yang sangat berbahaya. Dalam istilah Gutman disebut dengan „bad’. Gerakan ini contohnya termanifestasi dalam gerakangerakan ekstrim seperti Klu Klux Klan di Amerika. Merujuk pada Gutmann, Ahnaf memberikan karakter yang lebih jelas terhadap tiga jenis politik identitas sebagai berikut: Politik identitas bisa dianggap good atau mempunyai peran positif dalam demokrasi karena bisa menyediakan nilai solidaritas, membangun kesadaran publik tentang kewargaan (civic), melawan ketidakadilan terhadap kelompok tetapi tidak mempromosikan supremasi kelompok sendiri dan kebencian terhadap kelompok lain. Sebaliknya, politik identitas bisa berbahaya (ugly) jika
mempromosikan nilai yang mengutamakan supremasi kelompok sendiri, menekankan cara pandang antagonistis terhadap kelompok identitas lain dan melegitimasi kekerasan. Diantara keduanya ada bentuk politik identitas yang oleh Gutmann disebut bad. Istilah bad digunakan bukan dalam pengertian bahwa politik identitas ini buruk. Politik identitas dalam kategori ini meskipun tidak secara aktif mempromosikan kesadaran publik yang positif, tetapi minimal tidak mengancam demokrasi dengan mempromosikan wacana permusuhan dan melegitimasi kekerasan antarkelompok identitas (Ahnaf, et all. 2015: 11) . 1.5.2. Narasi Halverson, Goodall & Corman (2011) menjelaskan bahwa narasi adalah: coherent system of interrelated and sequentially organized stories that share a common rhetorical desire to resolve a conflict by establishing audience expectations according to the known trajectories of its literary and rhetorical form. Narasi yang dibentuk mengandung penjelasan tentang situasi yang tidak diinginkan. Selain itu, juga mengarahkan audiens bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut. Narasi yang ekstrem ditandai dengan pembedaan yang tegas dengan pihak lain, antagonisme antara kawan dan juga lawan, serta identifikasi pihak musuh-musuhnya. Narasi ekstrem juga menganggap pihak yang berseberangan dengan nilai-nilai negatif sekaligus memberikan nilai-nilai kebaikan terhadap pihak sendiri. Tujuan dari narasi adalah mendorong penggunaan standar pemahaman yang dapat dapat mengaitkan situasi agar terpisah. Narasi juga bertujuan membawa kemenangan bagi pembawa pesan (Hasan & Ahnaf, 2013: 23).
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka teori analisis wacana untuk mengkaji Tabloid Suara Islam. Sobur (2002: 11) menjelaskan bahwa wacana adalah “rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”. Analisis wacana mempunyai tujuan mengeksplisitkan norma-norma bahasa yang implisit dan menemukan unit-unit hierarkis yang membentuk struktur diskursif. Pendekatan analisis
wacana berusaha mengungkapkan apa
yang
tersembunyi dan samar dari sebuah teks. Jadi teks tidak hanya diterima apa adanya sebagai sebuah tulisan, tetapi juga ditelusuri mengapa dapat tercipta teks yang seperti itu. Wacana/berita diselidiki dengan cara yang komprehensif. Meliputi kalimat, teks, sudut pandang penulis, dan juga latar belakang peristiwa Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif. Analisis pendekatan kualitatif adalah mengamati dinamika hubungan antar kejadian yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 2007: 5). Denzin dan Lincoln (2000:3) menjelaskan bahwa penelitian ini melihat suatu entitas seperti apa adanya. Setelah itu, peneliti kemudian melakukan interpretasi agar dapat memahami fenomena yang dikaji dengan lebih baik. Penelitian ini merupakan studi pustaka. Penelitian tersebut digunakan untuk melihat diskusi tentang politik identitas yang selama ini telah terjadi di Indonesia. Analisis data dilakukan setelah seluruh data terkumpul. Moelong
(2002: 190) menjelaskan analisis data adalah proses pengorganisasian data ke dalam pola, kategori, dan satu uraian dasar. Hal ini dilakukan agar dapat merumuskan hipotesis kerja. Reduksi data diperlukan untuk menyingkirkan informasi yang kurang relevan. Data yang dianggap penting kemudian dieksplorasi lebih lanjut untuk mendapatkan informasi yang lebih tajam. Dari kumpulan data ini kemudian dilakukan proses interpretasi yang disesuaikan dengan teori yang digunakan.
1.6.1 Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data berupa Tabloid Suara Islam. Penentuan Suara Islam sebagai objek kajian dikarenakan beberapa hal: Pertama, Suara Islam adalah salah satu media cetak Islam yang dikeluarkan kelompok islam puritan dan tetap eksis hingga sekarang. Pada saat semakin banyaknya media cetak islam yang gulung tikar, Suara Islam masih hadir dengan format cetak. Ini menunjukkan tentang konsistensi dan persistensi Suara Islam untuk menyuarakan aspirasi kelompoknya. Hal yang lebih penting adalah tabloid ini bisa menggambarkan bagaimana pandangan kelompok islam terhadap kelompok minoritas non islam. Kedua, Berdasarkan penelusuran, ada juga media cetak islam sejenis yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia yang bernama Media Ummat. Akan tetapi Media Ummat memiliki versi cetak yang sama dengan versi online. Bahkan Media Ummat dapat diunduh secara gratis dari websitenya. Sementara Suara Islam memiliki perbedaan dalam versi cetak dan online. Pengunjung pun tidak
bisa mengunduh versi cetak dari websitenya. Hal yang bisa ditangkap dari perbedaan ini adalah Suara Islam masih menganggap penting para pembaca konvensionalnya (versi cetak). Kedua jenis pembaca ini dilayani oleh Suara Islam. Artinya Suara Islam menginginkan agar ideologinya dapat semakin luas tersebar di masyarakat. Tidak hanya bagi kalangan yang memiliki akses teknologi informasi, tetapi juga bagi kalangan biasa. Suara Islam (SI) diterbitkan oleh Yayasan Media Suara Islam. Tagline yang mereka gunakan adalah “Memperjuangkan Aspirasi dan Hak-hak Umat”. Media ini dirintis oleh KH. Yusuf Hasyim, KH. Hussein Umar, Ahmad Sumargono, dan HM. Cholil Badawi. Suara Islam merupakan salah satu tabloid yang paling keras memperjuangkan islam. SI terbit dua kali dalam sebulan. Oplah mereka sebanyak 15.000 dalam setiap kali penerbitan. Jika dilacak kebelakang, tabloid ini mulai terbit pada tahun 2006. SI cukup sukses mempertahankan eksistensinya. Hal yang menarik, SI memposisikan dirinya sebagai milik umat islam. Mereka membuka diri terhadap donasi, infaq, dan sedekah untuk membantu pengelolaan dan penerbitannya. Tidak mirip dengan lembaga penerbitan lain yang profesional dengan mengandalkan pemasukan dari iklan. SI memiliki banyak tokoh islam terkenal yang berposisi sebagai redakturnya. Di jajaran dewan redaksinya tercatat banyak nama. Misalnya tokoh “garis keras” seperti Habib Rizieq Shihab (Front Fembela Islam), Abu Bakar Baasyir (Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharu Tauhid). Keduanya adalah tokoh yang memperjuangkan syariat islam diberlakukan di Indonesia. Ada
juga tokoh yang cukup moderat seperti Yunahar Ilyas (Muhammadiyah), Arifin Ilham (Majelis Dzikir), KH. Didin Hafidhuddin (akademisi dan tokoh filantropi). Ada juga tokoh kristolog yaitu Irena Handono. Secara umum dapat disimpulkan Tabloid Suara Islam membawa aspirasi kalangan yang menginginkan kemurnian agama. Akan tetapi, agenda kelompok yang mendominasi adalah mereka yang menginginkan penerapan syariat islam secara cepat dan tegas. SI memiliki beberapa kolom yang memuat isu yang berbeda. Antara lain “Iftitah”1,
“Muhasabah”2,
“Wawancara”6,
“NKRI
“Suara
Utama”3“Galeri
Bersyariah”7,
“Silaturahim”10, “Opini”11, “Sirah
“Laporan
Opini”4,
Khusus”8,
“Nasional”5, “Nostalgia”9,
Nabaiyah”12, “Internasional”13, “Konsultasi
Ulama”14, “Kristologi”15, “Album”16, dan “Khatimah”17. Penelitian ini akhirnya memutuskan bahwa berita yang akan dianalisis adalah rubrik “Suara Utama”. Suara Utama dapat dianggap sebagai berita utama dari SI. Mallaranggeng (2010: 32) mengatakan bahwa berita utama adalah 1
Iftitah merupakan istilah arab yang bermakna pembukaan. Pada bagian ini merupakan pengantar dari redaksi tentang isu yang sedang diangkat. Termasuk didalamnya “Suara Redaksi” atau tajuk. 2 Muhasabah dapat diartikan sebagai refleksi diri. Baik diri sebagai individu atau pun sebagai bangsa. Sehingga isinya pun sering bermuatan politik. 3 Bagian utama keseluruhan SI. Rubrik ini yang paling banyak menghabiskan halaman. 4 Rubrik yang memuat pendapat tokoh-tokoh islam terkait isu yang sedang diperbincangkan. 5 Bagian yang memberitakan polemik dalam lingkup Indonesia. 6 Wawancara terhadap tokoh muslim. Perbedaanya dengan “Galeri Opini”, pembahasannya yang lebih mendalam. 7 Membahas tentang isu syariah di Indonesia. 8 Memberitakan isu yang sedang berkembang. 9 Memberitakan tentang sosok ulama terdahulu. 10 Membahas tentang kegiatan yang berhubungan dengan komunitas dan organisasi islam. 11 Artikel tentang suatu isu yang sedang menarik di masyarakat. 12 Menjelaskan tentang sejarah Nabi Muhammad dan kaitannya dengan situasi kontemporer. 13 Memuat isu internasional yang sedang terjadi. 14 Tanya jawab antara masyarakat/pembaca dengan ulama mengenai persoalan tertentu. 15 Membahas khusus tentang kritik atas ajaran Kristen dan juga kristenisasi yang terjadi. 16 Merupakan galeri foto kegiatan. 17 Khatimah dapat dimaknai dengan penutup. Merupakan kesimpulan dari isu yang sedang diberitakan.
informasi yang dianggap paling penting dari seluruh informasi yang disajikan oleh suatu koran. Ada beberapa pertimbangan mengapa rubrik ini yang diambil. Diantaranya rubrik ini merupakan pembahasan tentang isu yang besar, terpenting, dan terutama dari setiap penerbitan tabloid Suara Islam. Sehingga gambaran konstruksi politik identitas agama dalam tabloid ini bisa didapatkan secara utuh. Penelitian ini menggunakan Suara Islam dalam kurun waktu April 2015 hingga Oktober 2015. Pemilihan jangka waktu tersebut karena merupakan masa kampanye pemilihan presiden 2015. Penambahan edisi setelah kampanye dikarenakan isu yang diangkap masih relevan terkait politik identitas. Setelah melalui penyaringan awal, maka dipilih 8 edisi yang akan dikaji. Konteks pemilu 2014 sangat penting untuk melihat bagaimana perbedaan identitas digunakan untuk mendapatkan suara (kekuasaan). Peristiwa ini pun dapat menjelaskan permainan identitas yang dilakukan kelompok tertentu. Apalagi pemilu merupakan agenda nasioanl sehingga melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Hal utama lainnya adalah pemilu 2014 hanya menyisakan 2 kandidat calon presiden. Sehingga dapat menjelaskan polarisasi berdasarkan konstruksi identitasnya. Berikut adalah edisi yang dipilih: 1. Edisi 179 (25 April – 9 Mei 2014): Rhoma Irama Layak Jadi Presiden 2. Edisi 180 (9 – 23 Mei 2014): Pertarungan Merebut RI-1 3. Edisi 181 (23 Mei – 6 Juni 2014): Mengapa Umat Islam Harus Pilih Prabowo 4. Edisi 182 (6 – 20 Juni 2014): Prabowo Sahabat Islam 5. Edisi 183 (20 Juni – 4 Juli 2014): Hatta Rajasa: Kerja Nyata Untuk Bangsa
6. Edisi 184 (4 Juli – 8 Agustus 2014) : Insyaallah Prabowo Presiden 2014 7. Edisi 186 (29 Agustus – 12 September 2014): Islam Ideologis Mau Dihabisi 8. Edisi 188 (29 September – 10 Oktober 2014): Kristen-Katolik di Belakang Jokowi
1.6.2 Teknik Pengolahan Data Teun A. van Dijk memperkenalkan model analisis wacana “kognisi sosial”. Maksud pendekatan ini adalah penelitian atas wacana tidak hanya berdasarkan pada teks. Pasalnya teks adalah kerja produksi yang harus diamati (Eriyanto, 2001: 221). Van Dijk membagi struktur teks dalam tiga tingkatan (Eriyanto, 2012: 227). 1. Struktur Makro: Makna global dari suatu teks yang diamati dalam sebuah teks 2. Superstruktur: Kerangka teks. Melihat bagaimana struktur dan elemen wacana tersebut disusun secara utuh. Dalam hal ini bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. 3. Struktur Mikro: Makna lokal teks yang dapat diamati. Terdiri dari pilihan kata, kalimat, dan gaya dari sebuah teks Van Dijk kemudian memecah struktur dan elemen teks sebagai berikut (Eriyanto, 2012: 228): Struktur Wacana Struktur Makro
Hal yang diamati Tematik Tema/topik yang ditonjolkan dalam
Elemen Topik
Superstruktur
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro Struktur Mikro
wacana. Skematik Bagaimana bagian dan urutan berita dalam keseluruhan teks Semantik Makna yang ditekankan dalam teks berita. Misalnya porsi terhadap suatu hal: nominalisasi. Sintaksis Penggunaan bentuk dan susunan kalimat dari wacana: Stilistik Pilihan kata dalam teks Retoris Bagaimana penekanan suatu hal dilakukan. Termasuk cara untuk menekankan hal tersebut.
Skema atau alur
Latar, detail, maksud, praanggapan,
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Leksikon Grafis, Metafora
Berikut adalah penjelasan tentang elemen wacana tersebut: 1. Tematik: Adalah gambaran umum dari teks. Tematik merupakan gagasan inti, ringkasan, atau informasi yang utama dari teks. Topik merupakan konsep yang penting, dominan, dan juga sentral dari berita. Menurut van Dijk, wacana biasanya dibentuk dalam tata aturan yang umum. Setiap teks akan merujuk pada suatu titik gagasan utama dan setiap bagian akan mendukungnya hingga tercipta topik tersebut (Eriyanto, 2012: 229-230). 2. Skematik: Merupakan skema atau alur yang khusus sejak awal tulisan hingga akhir tulisan. Alur menjelaskan bagaimana bagian teks disusun dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti. Contohnya dalam percakapan seharihari, skema yang terjadi adalah salam perkenalan, isi pembicaraan, dan salam penutup/perpisahan (Eriyanto, 2012: 232).
Menurut Van Dijk, berita umumnya mempunyai dua kategori. Kategori pertama adalah summary yang terdiri dari judul dan lead. Judul dan lead menunjukkan tema yang ingin ditampilkan dari isi berita. Kategori kedua adalah story atau isi berita secara keseluruhan. Isi berita juga memiliki dua subkategori: situasi/proses terjadinya peristiwa dan komentar dalam teks (Eriyanto, 2012: 232). 3. Latar: Bagian berita yang akan mempengaruhi semantik (arti) suatu teks. Latar ini akan menentukan hendak dibawa kemana suatu berita. Contohnya tentang gerakan mahasiswa. Bagi yang setuju dengan gerakan mahasiswa maka akan
ditampilkan
keberhasilan
mahasiswa.
Sebaliknya
jika
latarnya
ketidaksetujuan, maka berita yang ditampilkan adalah tentang kerusuhan saat demonstrasi mahasiswa (Eriyanto, 2012: 235). 4. Detail: Merupakan kontrol informasi. Komunikator akan menampilkan lebih banyak informasi yang menguntungkan pihaknya atau citra yang baik. Komunikator juga akan meminimalisasi informasi yang merugikan (bahkan akan menghilangkan informasi tersebut). Informasi ini akan disampaikan melalui detail yang lengkap (Eriyanto, 2012: 238). 5. Maksud: Memiliki tujuan yang sama dengan detail. Pada elemen maksud akan ditampilkan informasi yang menguntungkan secara explisit/jelas. Sedangkan informasi yang merugikan akan disamarkan/tersembunyi (Eriyanto, 241: 2012). 6. Koherensi: Merupakan pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang berbeda fakta dapat dihubungkan dengan kata
hingga membentuk arti yang koheren. Jadi fakta yang sebenarnya tidak berhubungan dapat menjadi satu kesatuan (Eriyanto, 2014: 242). 7. Koherensi kondisional: Ditandai dengan hadirnya anak kalimat sebagai penjelas. Jika ada dua kalimat, maka kalimat kedua merupakan kalimat penjelas dari kalimat proposisi pertama. Biasanya dihubungakan dengan konjungsi (kata hubung) “yang” atau “di mana”. Kedudukan anak kalimat sebagai penjelas sebenarnya tidak mempengaruhi arti utama dari kalimat pertama. Maka dapat disimpulkan anak kalimat yang digunakan merupakan cermin kepentingan komunikator karena akan memberi keterangan baik atau buruk atas sebuah pernyataan. Koherensi kondisional juga menjadi penjelas yang bagus tentang maksud tersembunyi yang ingin ditonjolkan dalam kalimat (Eriyanto, 2012: 244245). 8. Koherensi Pembeda: Menjelaskan bagaimana dua peristiwa atau fakta akan dibedakan. Dua peristiwa bisa dibangun agar seolah-olah berseberangan. Efek dari koherensi ini beragam. Tetapi yang jelas adalah bagaimana pemaknaan yang diterima oleh masyarakat menjadi berbeda (Eriyanto, 247-248). 9.
Pengingkaran:
Menggambarkan
bagaimana
pembuat
wacana
menyembunyikan apa yang ingin diekspresikannya secara implisit. Ada proses penyamaran informasi. Pengingkaran seolah-oleh menunjukan pembuat wacana setuju dengan suatu hal tapi sebenarnya tidak setuju”. (Eriyanto, 2012: 249). 10. Bentuk kalimat: Berhubungan dengan cara berpikir logis yaitu prinsip kausalitas. Apakah peristiwa pertama yang menjelaskan peristiwa kedua, atau sebaliknya. Dengan bahasa sederhana, logika kausalitas dapat terdiri dari sususun
subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan) (Eriyanto, 2012: 251). 11. Kata Ganti: Berfungsi untuk memanipulasi bahasa dan menciptakan komunitas imajinatif. Kata ganti menjadi alat untuk menunjukkan posisi seseorang dalam wacana. Misalnya kata ganti “saya” atau “kami” bermakna sikap resmi komunikator. Tetapi ketika menggunakan kata “kita” bermakna sikap yang menjadi representasi kebersamaan suatu komunitas. Kata “kita”
akan
menumbuhkan sikap solidaritas, aliansi, perhatian publik, dan mengurangi kritik hanya kepada diri sendiri (Eriyanto, 2012: 254). 12. Leksikon: Merupakan kosa kata atau perbendaharaan kata. Wacana dapat dibentuk dengan pemilihan kata-kata yang berbeda meskipun memiliki makna yang serupa. Misalnya kata hancur, musnah, rusak, punah, dan kata yang memiliki makna hampir sama. Tetapi ketika diterapkan menjadi sangat berbeda. Kalimat “Gempa bumi merusak rumah warga” berbeda dengan kalimat “Gempa bumi memusnahkan rumah warga”. Efek dari kalimat kedua bermakna lebih kuat dibanding kalimat pertama. 13. Praanggapan (presupposition): Pernyataan yang dipakai untuk mendukung teks. Praanggapan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir sebagai pernyataan yang terpecaya sehingga tidak perlu diragukan lagi (Eriyanto, 2012: 256). 14. Grafis: Merupakan usaha pembuat wacana untuk menekankan atau menonjolkan sesuatu. Tanda-tanda dari grafis antara lain pemakaian huruf tebal, huruf miring, garis bawah, ukuran huruf yang lebih besar, caption, raster, grafik,
gambar, dan tabel. Semuannya digunakan untuk menekannya pesan (Eriyanto, 2012: 256-257). 15. Metafora: Kiasan dan ungkapan untuk ornament dari wacana. Metafora tertentu bisa digunakan untuk landasan berpikir dan alasan pembenar gagasan atau pendapat. Pembuat wacana dapat menggunakan kepercayaan masyarakat. Ungkapan sehari-hari, pribahasa, kata-kata kuno, dan ayat suci untuk memperkuat pesan utama (Eriyanto, 2012: 259).
1.6.3 Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi menjadi 5 bab. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori, jenis penelitian, pengolahan data, dan sistematika penulisan. Bagian kedua menjelaskan tentang politik identitas dan fenomena meningkatnya ketegangan identitas berbasis agama. Bagian ketiga memaparkan bangunan wacana dari agama di media yang dikaji. Dari bagian ini akan didapatkan gambaran konstruksi identitas agama. Bab tiga juga menjelaskan bagaimana karakter dari politik identitas. Bagian keempat menganalis sekaligus mengkritisi konstruksi identitas agama tersebut. Bagian kelima merupakan catatan penutup.