BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Good Governance
(Tata Pemerintahan Yang Baik) merupakan istilah
yang popular sejak berakhirnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan Reformasi. Konsep Good Governance ini muncul karena kurang efektifnya kinerja pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non partisipatif serta tidak menumbuhkan rasa percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman dalam (Wibowo, 2004:5) hal ini seperti merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah serta era anti institusi. Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. Lahirnya konsep Good Governance dianggap sebagai suatu paradigma baru landasan nilai penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat Negara sering mengutip kata-kata di atas. Singkatnya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat. (Hadi, 2001:67) Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu
16
Universitas Sumatera Utara
Negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyaratprasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan Good Governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustainabilitas demokrasi itu sendiri. Ringkasnya, dapat dikatakan
bahwa governance merupakah seluruh
rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individuindividu dalam struktur formal tadi. Good Governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, penegakan hukum, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) wawasan kedepan, dan daya tanggap. Apabila diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses perencanaan pembangunan dan
17
Universitas Sumatera Utara
pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. (http://www.depdagri.go.id). Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan Implikasi Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Terhadap Efektivitas Perencanaan Pembangunan. Pemahaman umum tentang Good Governance mulai mengemuka di Indonesia sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “Good Governance” dalam berbagai program bantuannya. Kepemeritahan yang baik banyak diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World Bank, Asian Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya yang berasal dari Negara-Negara maju. Good Governance dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah. (Arifiyadi, http://www.depkominfo.go.id) Setelah era Reformasi diawali dengan pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Habibie, selanjutnya berturut-turut kepada Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri sampai Susilo Bambang Yudhoyono pemerintah mulai memiliki komitmen menjadikan Good Governance sebagai landasan nilai pemerintahan (Salam, 2004:220) Pada era Reformasi ini, pemerintah (Legislatif dan Eksekutif) telah menghasilkan tiga produk perundang-undangan yang mengubah wajah sistem pemerintahan di Indonesia. Produk pertama adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dengan fokus utama pada pemberian wewenang yang lebih besar kepada daerah Kabupaten dan Kota dalam mengelola
18
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan dan pembangunan. Implikasi dari Undang-Undang ini terhadap pembangunan daerah adalah terjadinya pergeseran kewenangan dalam kebijakan perencanaan dan pembangunan daerah. Melalui desentralisasi kebijakan, daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat dalam pelaksanaan pembangunan hanya meliputi kebijakan tentang perencanaan pembangunan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro. Kedua, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, mengatur tentang pelaksanakan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan fokus utama pada pengalokasian dana dan wewenang untuk mengelolanya yang lebih besar kepada daerah Kabupaten/ Kota. Ketiga, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, mengatur tentang Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, dengan fokus pada pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, baik di daerah maupun di pusat. Dengan ketiga undang–undang ini menjadi landasan digunakannya konsep Good Governance sebagai landasan nilai penyelenggaran pemerintahan, yang berorientasi pada pengembalian harga diri rakyat demi membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil. Sedangkan menurut Suryanto (dalam Salam, 2004:220), ada tiga hal yang melatarbelakangi munculnya Good Governance, yaitu: 1. Munculnya fenomena “gelombang demokratisasi berskala global”. Gelombang ini pada mulanya muncul di Korea Selatan dan di beberapa Negara Amerika Latin yang menenggelamkan politik birokratik otoriter pada dasawarsa tahun 80-an dan berikutnya menyapu bersih sosialisme di
19
Universitas Sumatera Utara
Eropa pada awal dasawarsa tahun 90-an. 2. Terjadinya kehancuran secara sistematik berbagai dasar institusional bagi proses pengelolaan distribusi sumber-sumber ekonomi pada sebagian besar masyarakat dunia ketiga. Institusi bisnis dan politik yang seharusnya memiliki prinsip pengelolaan berbeda telah berubah menjadi sekutu dan melipatgandakan tumbuhnya kronisme. Transparansi, akuntabilitas publik dan lokasi berbagai sumber ekonomi gagal berkembang dalam dunia bisnis. 3. Terakumulasinya kegagalan Struktural Adjustment Program yang diparakarsai oleh IMF dan Bank Dunia. Program ini memiliki dan menganut asumsi dasar bahwa Negara merupakan satu-satunya lembaga penghambat bagi proses terjadinya globalisasi ekonomi. Good Governance yang merupakan landasan nilai penyelenggaraan pemerintahan saat ini pada prinsipnya menekankan tentang pentingnya kolaborasi dalam kesetaraan dan kesimbangan antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat. Good governmance ini mengisyaratkan adanya pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang disebut dengan tata kepemerintahan yang baik (Good Governance). Paradigma Good Governance menekankan arti penting
kesetaraan
antara
institusi
Negara,
swasta
dan
masyarakat
(http://www.law.ui.ac.id) Oleh karena itu konsep Good Governance ini
ditujukan untuk
meningkatkan peranan dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan pada
umumnya,
yang
dimulai
dari
tahap
perencanaan
pembangunan,
implementasi dan evaluasi. Sebab masyarakatlah yang paling tahu apa yang
20
Universitas Sumatera Utara
menjadi kebutuhannya, maka idealnya masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembangunan dan diadopsinya konsep Good Governance ini bisa dianggap sebagai suatu gerakan kembali ke karakter pemerintahan yang hakiki sebab Good Governance akan menghasilkan birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif,
serta
memberikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat.
(http://www.republika.co.id) Good
Governance
yang
merupakan
prinsip
penyelenggaraan
pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya menjalankan prinsip-prinsip Good Governance perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Apalagi dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999. Namun, ditengah maraknya isu Good Governance sebagai landasan nilai penyelenggaraan pemerintahan yang efektif saat ini, muncul suatu ironi berupa masalah-masalah dalam pembangunan di Kota Binjai, yakni berdasarkan data yang diperoleh melalui BINJAI (SINDO, 8/12-07) – menurut Ketua DPD PDIP Kota Binjai, Nursin, banyak sekali penyimpangan- penyimpangan yang terjadi pada APBD Kota Binjai. Misalnya saja masalah pengadaan beras miskin (raskin), Askeskin dan infrastruktur Kota Binjai. Nursin mengatakan, masalah raskin dan Askeskin selama ini diketahui banyak yang tidak tepat sasaran. Belum lagi bangunan infrastruktur yang tidak sesuai dengan bestek. Banyak orang mengaku
21
Universitas Sumatera Utara
miskin saat sakit, sementara masih banyak orang miskin yang tidak memiliki kartu Askeskin. Banyak bangunan infrastruktur seperti jalan, parit, sekolah tidak sesuai dengan bestek. Ada proyek bangunan yang anggarannya mencapai Rp200 juta, tapi saat dikerjakan tidak sampai mencapai Rp200 juta. (http://www.seputarindonesia.com) Selain itu masalah dalam perencanaan pembangunan Kota Binjai yang tercermin dalam APBD 2007 dan 2008 seperti yang diungkapkan oleh Armayani dari FPKS DPRD Kota Binjai yaitu anggaran publik diBinjai masih rendah dan dinilai belum memenuhi kesejahteraan masyarakat. (http://smsplus.blogspot.com) Dalam kaitannya dengan anggaran pemerintahan daerah (APBD), di banyak Negara berlaku bahwa sesuai dengan misi suci demokrasi, pengeluaran untuk publik (anggaran pembangunan) atau public spending harus lebih besar (sekitar 70%) dari pada pengeluaran untuk aparatur pemerintahan (30%). Biaya pelayanan publik ini penting untuk mensejahterakan masyarakat. Namun, di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya apparatus spending justru lebih besar daripada public spending (http://id.wikipedia.org) Hal ini juga terjadi pada APBD Kota Binjai 2007 dan 2008, yaitu adanya ketimpangan alokasi anggaran untuk belanja rutin dan belanja investasi. Dimana belanja investasi mendapat jatah yang sangat kecil. Jelas terlihat aspek ketidakadilan dalam hal ini. Seharusnya alokasi dana APBD untuk belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani. Sebab indikator APBD yang baik harus memenuhi paling tidak dua hal, yaitu peningkatan pelayanan publik dan peningkatan kapasitas ekonomi daerah secara keseluruhan, sebab alokasi yang lebih besar kepada kebutuhan pembangunan lebih menjanjikan peningkatan nilai tambah bagi berbagai sektor
22
Universitas Sumatera Utara
perekonomian/ pertumbuhan ekonomi akan lebih baik. Pada APBD Kota Binjai tahun 2006, total pendapatan Kota Binjai berjumlah
Rp.
313.319.740.303,00.
Belanja
aparatur
daerah
Rp.
230.909.995.908,00. Belanja investasi / pembangunan untuk pelayanan publik Rp. 86.008.568.943,00. (Laporan hasil pemeriksaan perwakilan BPK-RI atas laporan keuangan pemerintah Kota Binjai untuk tahun anggaran 2006, No: 216 A/S/XIV.I/8/2007). Artinya, biaya yang dialokasikan untuk pelayanan publik hanya 27,1 persen sedangkan anggaran aparat 72,9 persen. Munculnya
masalah-masalah
tersebut
mencerminkan
perencanaan
pembangunan yang tidak efektif. Program-program pembangunan tidak begitu fokus pada paradigma pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Tetapi lebih kepada kepentingan para elit. Hal ini terjadi disebabkan oleh minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang forumnya adalah musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan). Faktanya terlihat jelas pada saat dilaksanakannya musrenbang Kota Binjai pada tanggal 6 maret yang hanya diikuti dan didominasi oleh unsur pemerintah saja yaitu para asisten, kepala badan, kepala dinas, kepala kantor, kepala bagian, camat dan lurah se-Kota Binjai. Hadir pula Ketua DPRD, ketua MUI Binjai. (http://www.binjai.go.id). Mengingat akan masalah-masalah tersebut sangat diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, masyarakat dan swasta untuk menerapkan prinsipprinsip Good Governance dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu partisipasi, akuntabilitas, responsiveness, efektif dan efisien, transparan, penegakan hukum, wawasan kedepan dan daya tangap. Khususnya kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Binjai yang merupakan salah satu unsur
23
Universitas Sumatera Utara
dalam Good Governance yakni domain “Government” yang
memiliki tugas
pokok dan fungsi yang vital dalam perencanaan pembangunan yaitu: Menyiapkan rancangan RPJP Daerah,
menyelenggarakan Musrenbang RPJPD, menyusun
rancangan akhir RPJP Daerah, menyiapkan Rancangan Awal RPJM Daerah (Strategi Pembangunan Daerah, Kebijakan Umum, Prioritas dan Arah Kebijakan Keuangan), menyusun Rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan Renstra SKPD, menyelenggarakan Musrenbang RPJM Daerah (2 bulan setelah Ka Daerah dilantik), menyusun Rancangan Akhir RPJM Daerah (3 bulan setelah Ka Daerah dilantik), menyiapkan Rancangan Awal RKPD, Mengkoordinasikan penyusunan
Rancangan
menyelenggarakan
RKPD
Musrenbang
dengan penyusunan
menggunakan RKPD
Renja
(Maret),
SKPD,
menyusun
Rancangan Akhir RKPD (dengan Peraturan Kepala Daerah), menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masingmasing SKPD, menyusun evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD, membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah. Mengingat akan peran penting Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Binjai sebagai unsur pelaksana pemerintah Kota Binjai dalam bidang perencanaan pembangunan, maka penulis lebih memfokuskan subjek penelitian yang akan diteliti dibatasi hanya pada unsur government saja, yakni aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Binjai untuk lebih memfokuskan permasalahan penelitian agar tidak terlalu meluas. Dan mengingat cakupan prinsip-prinsip Good Governance yang begitu luas, maka penulis dalam penelitian ini membatasi Good Governance hanya terkait pada aspek partisipasi dan
24
Universitas Sumatera Utara
transparansi saja. Sebab dalam Good Governance, partisipasi dan transparansi merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah
(Arifiyadi,
http://www.depkominfo.go.id).
Partisipasi,
dan
transparansi misalnya, sangat terkait dengan kesetaraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai unsur dalam Good Governance. Oleh karena itu dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan seharusnya melibatkan partisipasi ketiga unsur tersebut dan saling melakukan mekanisme check and balance. Sebab dengan partisipasi diharapkan menghasilkan kebijakan publik yang lebih baik, kepercayan yang lebih besar kepada pemerintah dan demokrasi yang lebih kuat. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan juga harus ada sebab masyarakat adalah pemilik kedaulatan, masyarakat adalah pembayar pajak dan masyarakat adalah subjek dalam pembangunan. (Prasojo, 2007) Selanjutnya bagaimana Implikasi Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Terhadap Efektivitas Perencanaan Pembangunan perlu diketahui dan diteliti. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkanya dalam bentuk skripsi dengan judul “ Implikasi Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Terhadap Efektivitas Perencanan Pembangunan (Studi Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Binjai)” 1.2 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik/Good Governance (Transparansi, Partisipasi) Pada Badan
25
Universitas Sumatera Utara
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Binjai? 2. Bagaimana
Implikasi
Tata
Pemerintahan
Governance) Terhadap Efektivitas
Yang
Baik
(Good
Perencanaan Pembangunan Pada
Kota Binjai? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Bagaimanakah Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik/Good Governance (Transparansi, Partisipasi) Pada Badan Perencanan Pembangunan Daerah Kota Binjai? 2. Untuk mengetahui Bagaimana Implikasi Tata Pemerintahan Yang Baik/Good
Governance
Terhadap
Efektivitas
Perencanaan
Pembangunan Pada Kota Binjai. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi FISIP USU : Hasil penelitian ini dapat disumbangkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Ilmu Administrasi Negara. 2. Bagi penulis
: Penulis dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang
didapat di bangku kuliah di lapangan 3. Bagi pemerintah : Dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Binjai mengenai bagaimanakah implikasi Good Governance terhadap efektivitas perencanaan pembangunan. 1.5 KERANGKA TEORI 1.5.1 GOOD GOVERNANCE 1.5.1.1 PENGERTIAN GOOD GOVERNANCE
26
Universitas Sumatera Utara
Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa yang lalu, konsep Good Governance ini lebih dekat dipergunakan dalam Reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004: 61). Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 62): 1. Hubungan antara pemerintah dengan pasar. 2. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. 3. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi voluntary dan sektor privat. 4. Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabatpejabat yang diangkat (pejabat birokrat). 5. Hubungan antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perKotaan dan pedesaan. 6. Hubungan antara Legislatif dan Eksekutif. 7. Hubungan pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional. Untuk membahas lebih lanjut mengenai Good Governance perlu diketahui
27
Universitas Sumatera Utara
terlebih dahulu pengertian dari Good Governance. Di dalam bahasa Indonesia Good Governance diterjemahkan secara berbeda-beda. Ada yang menerjemahkan Good Governance sebagai Tata Pemerintahan Yang Baik. Ada juga yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Akan tetapi ada pula yang menerjemahkan Good Governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika Good Governance diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka Good Governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan Menurut Saifuddin, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan
substansi
dan
implementasi
yang
diarahkan
untuk
mencapai
pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, Good Governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur Negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh
satupun
di
antara
mereka
yang
memiliki
kontrol
absolut.
Programme
(UNDP)
(http://www.goodgovernance-bappenas.go.id) Sedangkan
United
Nations
Development
merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalahmasalah sosialnya (UNDP dalam Thoha, 2004:62) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk
28
Universitas Sumatera Utara
pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnyapelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengatur urusan Negara pada semua tingkatan. Dengan demikian jelas sekali, kemampuan suatu Negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society. Sedangkan World Bank mendefenisikan Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi
tumbuhnya
aktivitas
usaha.
(Eko
dalam
situs
http://ekopadang.wordpress.com/2007/06/29) Berdasarkan pengertian-pengertian Good Governance yang telah di paparkan di atas, secara umum dapat dikatakan Good Governance menunjuk pada proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu Negara dan pendayagunaan sumber daya alam, keuangan dan manusia menurut kepentingan semua pihak dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. 1.5.1.2 SEJARAH KEMUNCULAN KONSEP GOOD GOVERNANCE Membicarakan Good Governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila diteliti, penyebutan Good Governance dalam diskursus soal
29
Universitas Sumatera Utara
pembangunan belum lebih dari dua dekade. Diduga, Good Governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi dari The Council of the European Community yang membahas Human Rights, Democracy and Development. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk
dapat
mewujudkan
sustainable
development,
yaitu
mendorong
penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan Good Governance. Sejak saat itu, Good Governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral. Bahkan, PBB melalui The Committee Development Planning pada tahun 1992 telah mengeluarkan laporan yang mengidentifikasi problem dan tantangan dalam mewujudkan Good Governance. Dalam laporan tersebut dinyatakan, Good Governance tidak bisa diwujudkan antara lain disebabkan adanya sistem kekuasaan yang tersentralisir, autokratik dengan birokrasi yang tidak efisien; disub-ordinasikannya institusi hukum, birokrasi, dan lembaga pelayan publik oleh kepentingan elite dan penguasa tertentu, sehingga mendorong munculnya praktik korupsi dan lemahnya akuntabilitas publik; kompetensi pengetahuan dan keterampilan para pejabat di berbagai jabatan publik dan politik amat rendah; serta tidak adanya partisipasi dan organisasi masyarakat sipil yang cukup kuat dalam proses pembangunan. Bahkan World Bank pada dekade tahun 1990-an, di dalam salah satu
30
Universitas Sumatera Utara
review-nya atas berbagai kegagalan proses pembangunan di sebagian besar Negara Afrika menyatakan, salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pembangunan disebabkan crisis of governance. Itu sebabnya, mulai diajukan berbagai gagasan untuk mempromosikan dan mewujudkan Good Governance. Bahkan Good Governance juga mulai diduga sebagai salah satu instrumen kondisionalitas dalam pemberian bantuan pembangunan oleh lembaga multilateral dan bilateral. Secara umum, gagasan untuk mewujudkan Good Governance kini berkembang begitu luas, bukan sekadar pada peningkatan kapasitas manajemen pemerintahan dari kekuasaan Eksekutif semata. Good Governance juga menjelajah pada proses yang ditujukan untuk mendemokratiskan sistem dan struktur kekuasaan, hingga Good Governance disinyalir menjadi bagian lain dari proses politik dari suatu bantuan pembangunan. 1.5.1.3 PILAR-PILAR GOOD GOVERNANCE Institusi dari Good Governance meliputi tiga pilar (Sedarmayanti, 2003:5), yaitu state (Negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya mesing-masing. Menurut Salam (2004:236) State (Negara/ pemerintah) berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif serta berperan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaran pelayanan publik, penyelenggaran kekuasaan untuk memerintah, dan membangunan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional maupun internasional dan global. Private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan. Peranan sektor swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan
31
Universitas Sumatera Utara
dan pembangunan, karena perannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan produktivitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, invstasi publik, pengembangan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Dalam situs http://www.ireyogya.org dijlaskan bahwa Good Governance hanya bermakna bila keberadaanya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut: 1. Negara, a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil; b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; c. Menyediakan public service dan accountable; d. Menegakkan HAM; e. Melindungi lingkungan hidup; f. Mengurus standar kesehatan dan keselamatan publik. 2. Sektor swasta, a. Menjalankan industri; b. Menciptakan lapangan kerja; c. Menyediakan insentif bagi karyawan; d. Meningkatkan standar hidup masyarakat; e. Memelihara lingkungan hidup; f. Menaati peraturan; g. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat; h. Menyediakan kredit bagi pengembngan UKM. 3. Masyarakat madani a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; b. Mempengaruhi kebijakan publik; c. Sebagai sarana check and balances pemerintah; d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; e. Mengembangkan SDM;
32
Universitas Sumatera Utara
f. Sarana berkomunikasi antar anggota msyarakat. Negara, sebagai suatu unsur governance, di dalamnya termasuk lembagalembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta meliputi perusahaan swasta yang bergerak di berbagai sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat, namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kewajiban sosial, politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan itu sendiri. Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat , organisasi profesi dan lain-lain. 1.5.1.4. PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE Kunci utama memahami Good Governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip Good Governance.
Menyadari
pentingnya
masalah
ini,
prinsip-prinsip
Good
Governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini: Dalam situs http://www.goodgovernance-or.id UNDP mengemukakan 10 buah prinsip Good Governance, yaitu: 1. Partisipasi Partisipasi merupakan aspek yang penting dalam mewujudkan Good Governance sebab Good Governance tidak dimaksudkan memberikan
33
Universitas Sumatera Utara
kewenangan hanya kepada pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, tetapi lebih dari itu harus memperkuat peran dan kedudukan warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kesetaraan politik
antara
warga
dengan
pemerintah
ini
penting
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, karena setiap orang sejatinya memiliki hak yang sama dalam hukum dan politik. Artinya, setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk mempengaruhi setiap kebijakan berdasarkan kepada preferensinya dan juga kepentinganya, menurut rambu-rambu yang telah
disepakati
dalam
berbagai
peraturan
perUndang-Undangan.
Masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah, daftar pemecahan yang
mungkin
diambil,
pemilihan
satu
kemungkinan
tindakan,
mengorganisasikan pelaksanaan, evaluasi dalam tahap pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau organisasi lebih lanjut (Goulet dalam Prasojo, 2007:3). Prinsip partisipasi mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan
34
Universitas Sumatera Utara
penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral. Partisipasi warga
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga wilayah pengambilan keputusan yaitu dalam praktek operasional, keputusan anggaran dan pembuatan kebijakan (Burns, Hambleton, dan Hogget, dalam Prasojo 2007:5). Tiga wilayah keputusan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan yang erat mengingat tujuan strategis tertentu yang harus diambil pada tingkatan pembuatan kebijakan membutuhkan keputusan pada tingkatan anggaran dalam membiayai praktek operasional. Jadi kekuasaan warga pada praktek operasional membutuhkan kekuasaan dalam menentukan anggaran. Kekuasaan warga dalam seluruh wilayah pengambilan keputusan ini sangat menentukan bagi derajat partisipasi yang terjadi di suatu pemerintahan. Berdasarkan ketiga wilayah pengambilan keputusan ini maka partisipasi warga dapat dibagi kedalam beberapa level/tingkatan mulai dari sekedar memberikan infomasi, konsultasi, kemitraan, sampai pada level kendali warga. Menurut Yeremias (2007) partisipasi sangat diperlukan dalam rangka demokrasi. Untuk Indonesia yang sudah menerima ideologi demokrasi, maka partisipasi harus diterima dan dipraktekkan dalam sistem politik, administrasi pemerintahan dan dalam proses pengambilan
35
Universitas Sumatera Utara
keputusan publik. Partisipasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kepemerintahan. Secara teoritis, partisipasi memberi pengaruh positif terhadap kinerja/ pencapaian hasil dan kepuasan. Artinya semakin menggunakan atau mempraktekkan partisipasi, maka semakin meningkat kinerja atau pencapaian hasil serta kepuasan. Partisipasi juga penting dalam rangka membangun public trust (Wang & Wart dalam Yeremias, 2007). Kalau masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi maka mereka merasa bahwa pemerintah tidak menipu mereka, pemerintah dekat dengan mereka, pemerintah dapat dipercaya. Sementara itu, kepentingan mereka mendapatkan perhatian dalam kesempatan itu karena mereka diberi keleluasaan untuk menyampaikan berbagai pendapat, keluhan, dsb. Partisipasi juga diperlukan untuk kepentingan masyarakat sendiri agar masyarakat dapat belajar sesuatu yang baru (learning process) dan juga bisa mendapatkan keterampilan (gain skills), dan juga untuk pemerintah partisipasi diperlukan untuk dapat meyakinkan masyarakat, membangun trus,
mengurangi
kegelisahan,
membangun
strategic
alliances,
memperoleh legitimasi (gain legitimacy). Tapi permasalah terkait konsep partisipasi adalah konsep partisipasi itu sendiri juga masih menjadi masalah, karena memiliki arti yang
variatif,
(Yeremias:2007):
sebagaimana mulai
dari
disampaikan
oleh
manipulation,
Arnstein
therapy,
dalam
informing,
consultation, placation, partnership, delegated dan citizen control. Dalam kenyataannya, banyak yang melakukan bentuk manipulatif tapi telah
36
Universitas Sumatera Utara
mengklaim sebagai partisipasi. Menurut Arnstein dalam (Suhirman, 2007), salah satu cara untuk memahami partisipasi adalah dengan menggunakan “tangga partisipasi”. Tangga partisipasi memperlihatkan relasi antara warga dengan pemerintah dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan publik. 1. Manipulasi, pemerintah memberikan informasi, dalam banyak hal berupa informasi dan kepercayaan yang keliru kepada warga. Dalam beberapa hal pemerintah melakukan mobilisasi warga yang mendukung/dibuat mendukung keputusannya untuk menunjukkan bahwa kebijakannya populer (memperoleh dukungan). 2. Penentraman, pemerintah memberikan informasi dengan tujuan agar warga tidak memberikan perlawanan atas kepatuhan yang telah ditetapkan. Pemberian informasi sering kali didukung oleh pengerahan kekuatan (baik hukum maupun psikologis). 3. Sosialisasi, pemerintah memberikan informasi mengenai keputusan yang telah dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut. 4. Konsultasi, pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputuasan ditetapkan. 5. Kemitraan, masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah. 6. Pendelegasian kekuasaan, pemerintah mendelegasikan keputusan untuk ditetapkan oleh warga. 7. Pengawasan oleh warga, warga memiliki kekuasaan mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang tekah ditetapkan. Dalam tangga partisipasi, para praktisi umumnya menerima konsep bahwa manipulasi pada dasarnya bukanlah partisipasi. Penentraman, informasi dan konsultasi pada dasarnya adalah bentuk lain dari tokensime yaitu kebijakan sekedarnya berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Sedangkan kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan oleh warga diterima sebagai wujud dari kekuasaan dan partisipasi warga.
37
Universitas Sumatera Utara
2. Penegakan Hukum (Rule of Law) Penegakan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan konsisten tanpa memandang subjek dari hukum itu. Prinsip penegakan hukum mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 3. Transparansi Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 4. Kesetaraan Kesetaraan adalah perlakuan yang sama kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang menempel pada subyek tersebut. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 5. Daya Tanggap Daya tanggap (responsiveness) merupakan kemampuan untuk memberikan reaksi yang cepat dan tepat dalam situasi khusus. Prinsip ini meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal
38
Universitas Sumatera Utara
penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, pemerintah daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat. 6. Wawasan ke Depan Wawasan merupakan cara pandang yang jauh melebihi jangka waktu sekarang. Dalam kaitan dengan prinsip Good Governance wawasan yang dimaksud adalah wawasan ke depan dari pemerintahan Indonesia. Inti prinsip ini adalah membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga
warga
merasa
memiliki
dan
ikut
bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. 7. Akuntabilitas Akuntabilitas
adalah
perwujudan
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara perodik. (Sedarmayanti, 2003:3) 8. Efisiensi dan Efektivitas Terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain : pelayanan mudah, cepat, tepat dan murah ( Dwiyanto, 2005:82) 9. Berorientasi konsensus (Concencus Orientation)
39
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang
terbaik
bagi
kepentingan
masing-masing
pihak,
dan
jika
dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. 10. Saling ketergantungan (Interrelated) Bahwa keseluruhan ciri Good Governance adalah saling memperkuat dan saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan dalam praktek penyelenggaraan pemerintaan di Indonesia pasca gerakan Reformasi nasional, prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik tercermin dalam Ketetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang memuat asas-asas umum pemerintahan yang mencakup: 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan lanasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara; 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara. 3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4. Asas keterbukan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara. 5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara. 6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
40
Universitas Sumatera Utara
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; 7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. 1.5.2 EFEKTIVITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN 1.5.2.1 PENGERTIAN EFEKTIVITAS Menurut Nurmandi (1999:193) bila di lihat dari aspek keberhasilan pencapaian tujuan maka efektivitas adalah yang memfokuskan pada tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi publik. Tingkat pelayanan dan derajat kepuasan masyarakat merupakan salah satu ukuran efektivitas. Selanjutnya di tinjau dari aspek ketepatan waktu maka menurut Siagian (2002:171) efektivitas adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah di tentukan sebelumnya tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah di alokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan. Sedangkan bila di tinjau dari aspek manfaat dan kemampuan melaksanakan tugas, maka menurut Arouf (dalam Sedarmayanti, 2002:183) efektivitas adalah berkaitan dengan pencapaian tujuan kerja yang maksimal dengan pencapaian kualitas, kuantitas dan waktu. Selanjutnya pendapat Sarwito (1987:45) menyatakan efektivitas sebagai sesuatu yang berhasil guna, yaitu pelayanan bercorak maupun mutu dan kegunaannya benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan unsur-unsur efektivitas, yaitu: 1. Pencapaian tujuan, yaitu suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat
41
Universitas Sumatera Utara
mencapai tujuan/ sasaran yang telah di tentukan sebelumnya. 2. Ketepatan waktu, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapai tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan. 3. Manfaat, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat sesuai dengan kebutuhannya. 4. Hasil, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil. 1.5.2.2 PERENCANAAN PEMBANGUNAN 1.5.2.2.1 DEFENISI PERENCANAAN Salah
satu
aspek
yang
sangat
penting
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan terutama pengelolaan pembangunan adalah perencanaan. Dengan suatu perencanaan yang baik kita dapat lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber dana pembangunan lainnya. Melalui perencanaan akan dirumuskan skala prioritas dan kebijaksanaan pembangunan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang sudah dirumuskan terutama peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman
selama
ini
menunjukan
bahwa
pembangunan
yang
mengutamakan pemanfataan instrumen ekonomi tanpa diiringi instrumen sosial politik, ternyata kurang efektif untuk mencapai tujuan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih merata. Justru yang terjadi adalah ketidak berdayaan ekonomi, ketidakadilan, kesenjangan dan pemusatan kekuasaan
42
Universitas Sumatera Utara
pemerintah di atas kekuasaan rakyat. Oleh karena itu diperlukan reposisioning perencanaan dan pembangunan melalui Reformasi politik, sosial dan ekonomi yang dapat mengarahkan kembali tujuan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berkemampuan dan sejahtera. Dalam hal pencapaian kesejahteraan hendaknya dapat diukur melalui suatu kriteria yang menggambarkan kondisi kesejahteraan masyuarakat itu, yang antara lain dapat digunakan indikator indeks pembangunan manusia. Adapun menurut Davidoff dan Rainer (dalam Hadi, 2001:18) perencanaan adalah sebagai suatu proses untuk menentukan masa depan melalui suatu urutan pilihan. Sedangkan menurut Ardani dan Iswara (dalam Soekartawi, 1990: 21) defenisi perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain: 1. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif; 2. Perencanan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumber daya yang tersedia; 3. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran; dan 4. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan. Defenisi perencanaan lainnya dikemukakan oleh Mooy (dalam KOMPAS, 2005) yaitu suatu proses untuk menentukan tindakan tepat yang diperlukansetelah melihat pelbagai opsi yang ada berdasarkan sumber daya yang tersediauntuk mencapai suatu tujuan. Tujuan yang ingin dicapai bisa segera atau bisa di
43
Universitas Sumatera Utara
kemudian hari, yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan perencanaan adalah sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke waktu yang melibatkan kebijaksanan dari pembuat keputusan berdasarkan sumber daya yang tersedia dan di susun secara sistematis. Suatu perencanaan di buat berdasarkan tujuan yang jelas karena perencanaan tersebut dipergunakan sebagai arah atau pedoman pelaksanaan pembangunan. 1.5.2.2.2 DEFENISI PEMBANGUNAN Untuk mencari pengertian pembangunan banyak ilmuwan yang sudah memberikan batasan-batasan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Dengan kata lain kata tersebut sudah merupakan kata kunci bagi segala hal yang berhubungan dengan proses meningkatkan taraf hidup. Arief Budiman menyatakan secara umum pembangunan diartikan sebagai upaya untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali kemajuan
yang
dimaksud
terutama
adalah
kemajuan
material.
Maka,
pembangunan sering diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat dibidang ekonomi (Budiman, 1996:1) Sedangkan menurut Hadi pembangunan memiliki makna ganda. Tipe pembangunan pertama lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dimana fokusnya adalah masalah kuantitatif dari produksi dan penggunaan sumber daya. Tipe kedua, pembangunan yang lebih memperhatikan pada perubahan dan pendistribusian barang-barang dan peningkatan hubungan sosial (Hadi, 2001: 21).
44
Universitas Sumatera Utara
Tjokromindjojo (1994: 57) juga memberikan arti bahwa pembangunan adalah sebagai upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan berNegara. Sedangkan pembangunan yang dilakukan Negara-Negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan. Jadi, pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat
atau
penyesuaian
sistem
sosial
secara
keseluruhan,
tanpa
mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kalompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik serba baik secara material maupun spiritual. 1.5.2.2.3 DEFENISI PERENCANAAN PEMBANGUNAN Perencanan pembangunan dapat didefenisikan sebagai suatu pengarahan penggunaan sumber-sumber pembangunan termasuk sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya untuk mencapai tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara efisien dan efektif (Tjokromidjojo, 1994:57). Perencanaan
pembangunan
yang
efektif
mengandung
arti
suatu
perencanan yang bisa membedakan apa yang seyogianya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin yang benar-benar dapat dicapai dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para
45
Universitas Sumatera Utara
perencananya dengan objek perencanaannya. Adapun landasan yuridis perencanaan pembangunan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam UU tersebut dijelaskan ruang lingkup perencanaan pembangunan nasional yaitu, perencanan pembangunan nasional mencakup perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian / Lembaga dan perencanaan pembangunan
oleh
pemerintah
daerah
sesuai
dengan
kewenangannya.
Perencanaan pembangunan nasional yang dimaksud menghasilkan : a. RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. b. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian / lembaga dan lintas kewilayahan serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. c. RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal serta program Kementerian/ Lembaga, lintas Kementerian/ Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. d. RPJP Daerah memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. e. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional,memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan program satuan kerja perangkat daerah dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja adalam kerangka regulasi dan kerangka
46
Universitas Sumatera Utara
pendanaan yang bersifat indikatif. f. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Perencanaan
pembangunan
merupakan
arena
partisipasi,
yang
sesungguhnya memegang peranan penting dalam memperlihatkan apa yang akan dilakukan di masa depan terhadap sumber daya yang terbatas. Melibatkan masyarakat dalam pembangunan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan sebagai salah satu upaya kemandirian daerah dengan memberikan peran lebih besar pada inisiatif lokal dan memastikan ikut sertanya dalam penyusunan konsep, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah hendaknya berupaya menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui program Perencanaan Pembangunan Partisipatif (PPP), dengan membuka lebih banyak ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam proses pembangunan. Contoh forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah adalah Musrenbang. Musrenbang merupakan forum partisipasi masyarakat yang berjenjang untuk menyelaraskan antara proses perencanaan ”dari bawah” (bottom up) dan ”dari atas”
(top
down). Di
merekonsiliasikan,
dan
forum
ini,
berbagai
mengharmonisasikan
pihak
berbagai
menegosiasikan, kepentingan
serta
kebutuhan dalam pembangunan, yang hasilnya adalah berupa kesepakatan bersama tentang prioritas program, kegiatan, dan anggaran pembangunan daerah. (Abe, 2005: 67)
47
Universitas Sumatera Utara
Musrenbang merupakan suatu instrumen penting untuk menghasilkan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dan APBD yang responsif terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat. Musrenbang yang memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan perencanaan dan penganggaran sangat diperlukan untuk menghasilkan RKPD dan APBD yang memenuhi harapan masyarakat. Perencanaan dan penganggaran partisipatif, dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat, merupakan salah satu upaya menegakkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan daerah. 1.5.2.2.4 DIMENSI PERENCANAAN DALAM PEMBANGUNAN Paradigma baru pembangunan akan menggeser peran pemerintah dari mesin penggerak pembangunan menjadi fasilitator pembangunan. Dengan demikian kemandirian dan peningkatan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan ke depan. Sehubungan dengan itu maka perencanaan pembangunan
harus
diarahkan
kepada
pemberdayaan
dan
kemandirian
masyarakat, baik dalam aspek ekonomi maupun sosial budaya dan politik. Dalam pembangunan, keberdayaan dan kemandirian masyarakat akan dipengaruhi beberapa hal antara lain yaitu: a. Kesamaan visi diantara semua komponen pelaku tentang permasalahan yang dihadapi dan perspektif masa depan yang ingin diwujudkan. b. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. c. Kemampuan birokrasi dan manajemen memberikan pelayanan kepada masyarakat.
pembangunan
dalam
d. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. e. Adanya transparansi dalam pengelolaan sumber daya pembangunan.
48
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal-hal diatas, dalam proses perencanaan pembangunan harus dikaitkan dengan orientasi untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Perencanaan pembangunan yang ideal dilaksanakan memenuhi beberapa dimensi, yaitu: a. Dimensi substansi, artinya rencana pembangunan yang disusun dari sisi materi nya harus sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang di masyarakat. b. Dimensi proses, artinya proses penyusunan rencanan pembangunan yang dilaksanakan memenuhi kriteria scientific (memenuhi kaidah keilmuan atau rational) dan demokrasi dalam pengambilan keputusan. c. Dimensi konteks, artinya rencana pembangunan yang telah disusun benar-benar didasari oleh niat untuk mensejahterakan rakyat dan bukan didasari oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat mekanisme perencanaan perlu memberikan ruang gerak bagi inisiatif dan partisispasi masyarakat dalam merumuskan perencanaan pembangunan. Dalam hal ini perubahan mekanisme perencanaan pembangunan diarahkan kepada: a. Mengembangkan nilai-nilai keterbukaan, demokratisasi dan partisipasi dalam setiap tahap penentuan kebijakan pembangunan. b. Pengembangan forum kelembagaan yang partisipatif menciptakan interaksi antar pelaku secara dialogis.
yang mampu
c. Peningkatan kapasitas birokrasi (aparatur) unuk mampu mengakomodasikan model pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tuntutanperubahan. 1.5.3 HUBUNGAN GOOD GOVERNANCE TERHADAP EFEKTIVITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN Peran Negara yang terlalu dominan dalam perencanaan pembangunan, dimana Negara tidak menghargai partisipasi mesyarakat telah menghasilkan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada kepentingan elit politik ketimbang aspirasi masyarakat. Akibatnya, lemahnya kontrol masyarakat terhadap
49
Universitas Sumatera Utara
proses pembangunan yang mendorong para elit melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi, kolusi dan nepotisme. (Abe:2005: 69) Di Indonesia, kasus ketegangan antara pusat dan daerah atau kasus “pemberontakan” daerah terus menerus muncul karena pemerintah memaksakan master plan (yang dirumuskan secara sentralistik) kepada daerah, atau hanya menempatkan daerah sebagai obyek perencanaan belaka. Di tempat lain sejarah juga
mencatat
bahwa
begitu
banyak
proyek
pembangunan
(industri,
pertambangan, jalan, waduk, energi listrik, sampah dan lain-lain) sering bermasalah, menimbulkan ketegangan yang serius antara pemerintah dan rakyat, antara lain karena perencanaan hanya dipahami sebagai mater plan yang disusun tanpa mendengar aspirasi rakyat banyak. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan masalah tersebut terhadap pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik, sebab pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu tuntutan itu adalah sesuatu yang wajar yang harus di respon oleh pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance). Seiring dengan tuntutan tersebut mengharuskan pemerintah mengubah paradigma pemerintahannya, dari konsep government yang menekankan pada otoritas dan kekuasaan menjadi Good Governance, yang kebih menekankan kerja sama dan saling ketergantungan. Perubahan paradigma di satu sisi harus diikuti juga oleh perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam berpartisipasi, sebab tanpa adanya perubahan baik dari sisi pemerintah, sektor swasta maupun civil society maka mustahil Good
50
Universitas Sumatera Utara
Governance dapat terwujud. Seiring
dengan
perubahan
paradigma
tersebut,
paradigma
Good
Governance membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. Untuk itu perlunya perencanaan partisipatif untuk membuat perencanaan betul-betul relevan dan legitimate di mata rakyat, serta mengurangi resiko benturan antara pemerintah dan rakyat. Sehingga perencanaan tidak perlu dijadikan medan tempur, melainkan harus di perlakukan sebagai arena mempertemukan antara visi-misi besar pemerintah dengan aspirasi dan prakarsa masyarakat. Perencanaan bukan lagi sebagai sebuah keputusan politik dari pihak yang memerintah untuk diterapkan kepada yang diperintah, melainkan sebagai arena bersama untuk membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Perencanaan pembangunan yang bermakna tentu harus menggabungkan antara kebijakan pemerintah dan parakarsa masyarakat itu. Menurut Abe (2005:77) partisipasi merupakan jembatan antara kebijakan pemerintah dan kepentingan masyarakat, sehingga perencanaan daerah harus dilakukan dengan model dari bawah
(bottom-up
planning)
atau
sering
disebut
dengan
perencanaan
pembangunan partisipatif. Perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung). Tujuan dan cara harus dipandang sebagai sebuah kesatuan. Tujuan untuk kepentingan rakyat, yang bila dirumuskan dengan tanpa melibatkan rakyat , maka akan sulit dipastikan bahwa rumusannya akan berpihak kepada rakyat. Namun demikian keterlibatan rakyat itu akan mempunyai makna apabila ada prakondisi yang memperkuat rakyat, yakni rakyat yang memperoleh pendidikan politik dan terlatih secara baik. Bagaimanapun,
51
Universitas Sumatera Utara
perencanaan partisipatif yang melibatkan rakyat itu akan mempunyai tiga dampak penting: (1) terhindar dari peluang terjadinya manipulasi; (2) memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan, dan (3) meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik rakyat. Dengan demikian partisipasi masyarakat di harapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan yang efektif, dimana suatu perencanaan yang efektif dalam dimensi ini adalah, perencanaan yang mampu secara tepat menetapkan pilihan, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Data atau informasi akan menjadi penentu dalam proses ini. Semakin akurat data yang ada, akan semakin baik perencanaan bisa disusun. Maka, perencanaan pembangunan harus mengacu pada beberapa variabel kebijakan terkait meliputi: kebutuhan rakyat melalui analisis kebutuhan, kapasitas pemerintahan daerah, kondisi sosial / konteks sosial dan eksternalitas (dampak) kebijakan. Analisis kebutuhan rakyat secara sistemik dapat dibangun melalui pelibatan rakyat berdasarkan disain Peraturan Daerah mengenai partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Eksternalitas kebijakan merupakan salah satu konsekuensi yang harus disadari oleh para perencana. Ateng Syafruddin dalam (Abe, 2005:82) mengatakan bahwa para pengambil keputusan dapat mengontrol situasi dan perkembangan kebijakan secara memadai melalui instrumen perencanaan. 1.6 DEFENISI KONSEP Menurut Singarimbun (1989: 33), defenisi konsep merupakan unsur penelitian yang penting untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak di teliti. Adapun defenisi konsep yang penulis kemukakan dalam penelitian ini
52
Universitas Sumatera Utara
adalah: 1. Good Governance adalah proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu Negara dan pendayagunaan sumber daya alam, keuangan dan manusia menurut kepentingan semua pihak dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip partisipasi dan transparansi. 2. Efektivitas Perencanaan Pembangunan adalah suatu perencanaan yang bisa membedakan apa yang seyogianya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin yang benar-benar dapat dicapai dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencananya dengan objek perencanaannya. 1.7 DEFENISI OPERASIONAL Defenisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja sebagai pendukung untuk dianalisis dari variabel-variabel tersebut. (Singarimbun, 1989:46) Dalam hal ini penulis mengoperasionalkan variabel penelitian dalam bentuk indikator-indikator. Adapun indikator dalam penelitian ini adalah: Variabel Bebas (X) 1. Good Governance dapat dilihat dari : 1. Partisipasi Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur partisipasi yaitu:
53
Universitas Sumatera Utara
Adanya forum untuk menampung aspirasi masyarakat yang representatif, jelas arahnya, dapat dikontrol dan bersifat terbuka, fokus pemerintah adalah
memberikan
arah
dan
mengundang
masyarakat
untuk
berpartisipasi, kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam proses pelayanan publik, serta adanya akses masyarakat untuk menyampaikan pendapat. 2. Transparansi Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi, yaitu: Penyediaan informasi yang jelas tentang prosedur-prosedur, biaya-biaya dan tanggung jawab, menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar, meningkatkan arus informasi melalui kerja sama dengan media massa atau lembaga non pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perUndang-Undangan, adanya akses informasi sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakan pemerintah dan berlakunya prinsip check and balance antar lembaga Eksekutif dan Legislatif, Variabel Terikat (Y) 2. Efektivitas Perencanaan Pembangunan dapat di lihat dari 1. Adanya keterlibatan masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung (terutama aspirasinya ) dalam setiap pengambilan kebijakan atau formulasi rencana yang di buat pemerintah. 2. Kesesuaian Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang akan
54
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan kebutuhan masyarakat. 3. Terakomodirnya aspirasi masyarakat dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). 4. Tercapainya suatu tujuan perencanaan pembangunan yang berbasis kerakyatan. 5. Tercapainya tujuan perencanaan pembangunan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.
55
Universitas Sumatera Utara
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan. BAB II METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi dan misi, serta struktur organisasi. BAB IV PENYAJIAN DATA Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis. BAB V ANALISA DATA Bab ini memuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya. BAB VI PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan dan saran hasil penelitian yang dilakukan.
56
Universitas Sumatera Utara