BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, semangat bangsa Indonesia untuk membangun kembali kehidupan berbangsa dan bernegara telah bergeliat. Runtuhnya rezim orde baru ini, membuka gerbang perpolitikan Indonesia menuju ke era reformasi. Sehingga dengan semangat reformasi ini, bangsa Indonesia sangat mengharapkan, mendambakan dan mencita-citakan sebuah negara yang adil dan menjunjung tinggi supremasi hukum serta bersih dari berbagai noda korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun berjalannya reformasi tersebut menciptakan tantangan berat yang harus dihadapi diberbagai bidang, dimana tidak stabilnya situasi politik pasca rezim orde baru, negara menanggung hutang luar negeri yang sangat banyak serta berdampak pada krisis ekonomi yang akhirnya menjelma menjadi krisis multidimensi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Salah satu hal yang mewarnai perjalanan reformasi Indonesia adalah aksi demonstrasi atau unjuk rasa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia mengartikan demonstrasi atau unjuk rasa adalah pernyataan protes yang dilakukan secara massal. Aksi demonstrasi atau unjuk rasa dilakukan oleh massa, baik dari kalangan mahasiswa, simpatisan partai, organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok masyarakat. Tumbangnya rezim orde baru tidak bisa lepas dari aksi demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat
1
sebagai sosial kontrol dari para politisi dan ilmuwan terhadap pemerintah.1 Sejak saat itulah hingga sekarang aksi-aksi demonstrasi atau unjuk rasa tidak asing lagi untuk dilakukan, bahkan sering berakhir dengan kerusuhan, anarkisme, ataupun bentrok dengan aparat keamanan. Latar belakang dari aksi-aksi tersebut pun dipengaruhi oleh berbagai faktor baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan juga agama.2 Berkembangannya aksi demonstrasi ini, tidak akan bisa dihentikan secara serta merta mengingat gejolak dalam masyarakat akan substansi keadilan yang diharapkan belum terimplementasi secara merata. Sehingga dalam iklim demonstrasi, demonstrasi atau unjuk rasa adalah pilihan yang wajar dan bahkan bisa menjadi media untuk mengungkapkan aspirasi yang tersumbat oleh sistem maupun mentalitas,3 sehingga tidak ada jaminan bahwa demonstrasi atau unjuk rasa akan hilang dengan sendirinya walaupun sistem telah ditata sedemikian rupa. Betapa pun idealnya sistem tersebut selalu akan menimbulkan tarik-menarik kepentingan yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu sisi positif dari aksi demonstrasi atau unjuk rasa yaitu dapat menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan yang berfungsi sebagai alat penyeimbang agar tidak terjadi ketimpangan yang destruktif.4 Akan tetapi bukan berarti aksi demonstrasi atau unjuk rasa merupakan jalan terbaik, terlebih ketika aksi demonstrasi atau unjuk rasa tersebut dipergunakan sebagai alat politik atau alat tunggangan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab demi 1
Zainuddin Ali, 2007, Hukum Pidana Islam. Cetakan Ke 1, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 127 2
Said Aqiel Sirajd, Islam, Demokrasi dan Negara, diakses melalui http://www2.Kompas.com/kompas-cetak/0411/01/opini/1325143.htm, pada tanggal 23 Oktober 2012. 3 Ibid. 4 Ibid.
2
kepentingan induvidu atau kelompok kemudian memprovokasi massa, mendorong tindakan yang anarkis, menebar suatu fitnah, permusuhan, serta merendahkan wibawa pemerintah di mata rakyat dan lain sebagainya. Menyikapi problematika aksi demonstrasi atau unjuk rasa di atas tidak terlepas dari eksistensi dan peran kepolisian yang berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat UU No. 2 Thn. 2012 tentang Polri, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, sehingga eksistensi kepolisian di tingkat daerah terstruktur secara berjenjang mulai dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Mabes Polri, Kepolisian Daerah yang selanjutnya disingkat Polda, Kepolisian Resor yang selanjutnya disingkat Polres dan Kepolisian Sektor yang selanjutnya disingkat Polsek, dengan pendelegasian kewenangan sesuai tanggung jawab secara berjenjang pula. Polda yang dipimpin Kapolda mempunyai tanggung jawab yang melekat terhadap terciptanya kondisi keamanan dan ketertiban daerah. Akan tetapi tidak terlepas juga dari tanggung jawab lembaga atau instansi terkait yang secara
bersama-sama
sesuai
kewenangannya
3
masing-masing
mempunyai
tanggung jawab keamanan dan ketertiban daerah,5 khususnya dalam hal pengamanan dan pengendalian demonstrasi atau unjuk rasa. Sejarah pun mencatat pada awal tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menetapkan Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), bersama-sama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Keputusan ini kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1961. Dengan demikian, pada saat itu kepolisian Negara masih berwatakkan militeristik yang bersama-sama TNI melancarkan darurat perang kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda. Sampai masa darurat tersebut berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer semakin dikukuhkan. Pada masa orde baru pun tidak ada perubahan yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural, maupun instrumental. Bahkan dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 1969 tentang Perubahan Lembaga Kepolisian justru tetap membiarkan atau mengukuhkan kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata. Kedudukan Polri sebagai salah satu komponen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), memiliki konsekuensi bahwa sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari sistem yang berlaku di ABRI yang meliputi sistem pembinaan personil, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem 5
Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Berbagai Pemikiran Tentang Paradigma Polri Menuju Polri yang Bermoral, profesional, Modern dan Mandiri), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 24.
4
operasional dan sistem-sistem lainnya serta kewenangan untuk mengendalikan Polri dimiliki oleh panglima ABRI di bawah payung ABRI. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu banyak tindakan operasional ABRI yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang otomatis melibatkan Polri. Tindakan tersebut akan menjadi sah dengan alasan menjalankan tugas sehingga menjadi mustahil untuk menuntut dan melakukan penyidikan terhadap pelanggaran hukum tersebut. Tindak kekerasan yang dilakukan ABRI sejak awal orde baru berpegang pada doktrin dwifungsi yang menunjukkan bahwa ABRI telah berpolitik dengan menggunakan tekanan senjata. Ketika keahlian militer adalah menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang digunakan saat militer berpolitik. Militer tidak membutuhkan dukungan rakyat saat berpolitik, tetapi menggunakan senjata. Hal inilah yang merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, dimana tekanan senjata dianggap sebagai sebuah kewajaran. Oleh karena itu, pelanggaran hak asasi manusia demikian sangat bertentangan dengan esensial fungsi Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang termasuk di dalamnya aspek perlindungan hak asasi manusia. Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi kehilangan profesionalisme dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias kepentingan melindungi institusi payungnya dalam banyak kasus pada masa orde baru.6 Hal ini mengisyaratkan, bahwa masyarakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang baik, profesional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin dan sistem operasional tanpa tekanan dari pihak manapun. Dengan adanya 6
Ali Subur dkk, 2007, Pergulatan Profesionalisme dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, hlm. 4
5
pemikiran
tersebut,
maka
lahirlah
Tap.
MPR
RI
(Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) Nomor. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta dalam Tap MPR RI No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri yang merupakan landasan dibentuknya Undang-undang Polri yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam pasal 4 undang-undang ini menyatakan, bahwa tujuan dibentuknya Polri untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini mencerminkan struktur dalam kepangkatan Polri tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan militer tetapi sistem kepolisian yang berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak militeristik, namun sampai saat ini hal tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Polri. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih menggunakan sistem militerisme, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan kesewenangwenangan aparat kepolisian dalam mengamankan para demostran atau pengunjuk rasa dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini aparat seringkali melakukan penembakan di dalam menjalankan tugasnya, padahal dalam menggunakan senjata api, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh aparat, dimana senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan
6
yang sangat ekstrim,7 sesuai dengan salah satu prinsip yang tercantum pada Resolusi PBB Nomor 34/168 tentang Prinsip-Prinsip Dasar mengenai Penggunaan Kekerasan Dan Senjata Api Oleh Aparatur Penegak Hukum,8 disebutkan bahwa aparatur penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya apabila sangat perlu dan sejauh dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka. Kemudian dalam prinsip lain disebutkan bahwa dalam penggunaan kekerasan harus seimbang dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan Prinsip-prinsip Dasar dalam Resolusi tersebut, tindakan kekerasan dibenarkan oleh hukum karena dengan pertimbangan untuk keselamatan aparat penegak hukum di lapangan, dan tugas-tugas aparat penegak hukum dalam melindungi hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan perorangan, memelihara keamanan masyarakat dan ketertiban sosial.9 Namun apabila masih dapat dilakukan cara-cara yang manusiawi, aparat kepolisian tidak dibenarkan menggunakan kekerasan dan senjata api. Kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh aparat Polri dalam menggunakan kekerasan dan senjata api dapat di lihat dari beberapa peristiwa dalam dekade ini, yang terjadi sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi Nasional Hak asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim bahwa polisi menggunakan peluru tajam, di samping peluru karet, untuk membubarkan blokade warga di 7 Sem Karoba, 2007, Standar HAM Internasional Untuk Penegakan Hukum, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 30. 8 Prinsip-Prinsip Dasar Tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Oleh Aparatur Penegak Hukum, Disahkan Kedelapan Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan, 27 Agustus sampai 7 September 1990, Havana, Kuba. 9 Ary Wahyono, 2007, Problematika Komunikasi Antara Aparat Polri dan Pengunjuk Rasa dalam Pengendalian Unjuk Rasa yang Mengarah Pada Kerusuhan Massa, Komunika Vol. 10 No. 2, Hlm. 63, diakses melalui http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1s02076172.pdfpada tanggal 10 Oktober 2012
7
Pelabuhan Penyeberangan Feri Sape, Kecamatan Lambu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang berujung pada bentrokan antara warga dan polisi pada hari sabtu, tanggal 21 Desember 2011 yang menyebabkan tiga orang tewas bernama Arif Rahman (19 tahun), Syaiful (17 tahun), dan Arifuddin A Rahman. Arif Rahman tertembak di lengan tembus ke ketiak dan Syaiful tertembak di dada tembus ke belakang. Adapun Arifuddin belum diketahui penyebabnya. Sebanyak 19 warga menderita luka-luka, sebagian di antaranya dalam kondisi kritis serta ada juga yang dikabarkan hilang, namun masih harus perlu diklarifikasi di lapangan.10 Kemudian, kasus lain yaitu pada tanggal 10 November 2011 anggota Polri terlibat di tiga lokasi konflik yakni Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung tempat operasional Perseroan Terbatas Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI) dan kawasan register 45 PT Silva Inhutani yang disinyalir terjadi peritiwa penembakan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan tewasnya 2 warga dan 7 korban luka tembak cacat permanen.11 Beberapa pelanggaran yang dilakukan aparatur adalah penembakan langsung pada warga yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak atas hidup warga negara kemudian melakukan tindakan kekerasan seperti penyiksaan dan tindakan kejam seperti yang dialami masyarakat di Desa Sri Tanjung yang terlibat Konflik dengan PT BSMI.12
10 Tempo edisi Selasa, 27 Desember 2011, diakses melalui http://www.tempo.co/read/fokus/2011/12/27/2211/Rusuh-Bima-Polisi-Hamburkan-Peluru-Tajam pada tanggal 11 Oktober 2012 11 Tempo edisi Selasa 27 Desember 2011, diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2011/12/27/078373950/Polisi-Dipastikan-Terlibat-KonflikMesuji, pada tanggal 11 Oktober 2012. 12 Ibid.
8
Mengacu pada kasus diatas, maka penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat kepolisian harus diteliti secara mendalam guna mengetahui apakah penggunaan kekerasan dan senjata api tersebut telah sesuai atau tidak sesuai dengan prosedur karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan juga melanggar hak asasi manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan. Menyikapi hal demikian, Polri berkeras menyatakan bahwa mereka telah menerapkan standar prosedur penggunaan senjata api sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,13 sehingga dalam hal pertanggung jawabannya menjadi sulit untuk melakukan suatu proses hukum terhadap aparat Polri yang melakukan tindakan sewenag-wenang dalam menggunakan kekerasan dan senjata api. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Khoidin Sadjijono, yang menyatakan bahwa “Segala penyimpangan dan perbuatan nista yang dilakukan oleh segelintir oknum kepolisian terjadi akibat ketidak tegasan dari pimpinan Polri, yang senantiasa berusaha menutupi dan berkelit dengan mencari berbagai alasan atas tindakan bawahannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.”14 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul “Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pengamanan Unjuk Rasa.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penyusun merumuskan permasalahan sebagai berikut : 13
Diakses melalui http://www.indo.media.com/menatap.sosok.polri.sipil pada tanggal 12 Oktober 2012. 14 M. Khoidin Sadjijono, 2007, Mengenal Figur Polisi Kita, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 6.
9
1.
Bagaimanakah implementasi Resolusi PBB Nomor 34/168 mengenai Prinsipprinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum yakni aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pengamanan unjuk rasa?
2.
Bagaimanakah pertanggungjawaban Pidana bagi aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia atas penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dalam pengamanan unjuk rasa?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui bagaimana implementasi Resolusi PBB Nomor 34/168 mengenai Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum yakni aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pengamanan unjuk rasa.
2.
Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban Pidana bagi aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia atas penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dalam pengamanan unjuk rasa.
D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis; Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran ilmiah dan pengkajian ilmu hukum pidana, khususnya dalam hal
10
penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pengamanan unjuk rasa serta mampu menganalisa informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, sehingga dari informasi tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang tepat sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan. 2. Manfaat praktis; a.
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
khasanah
pengetahuan penulis dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan dalam bidang penegakan hukum terkait tugas, kewenangan dan tanggung jawab aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal penggunaan kekerasan dan senjata api untuk mengemban tugasnya sebagai pengaman jalannyaunjuk rasa pada khususnya. b.
Bagi aparat penegak hukum, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan dilingkungan institusi penegak hukum, khususnya kepolisian sebagai subsistem dalam sistem penegakan hukum pidana.
E. Keaslian Penelitian Pada dasarnya setiap penenelitian adalah tidaklah sama baik dari sisi faktor-faktor yang melatarbelakanginya, dari sisi permasalahan yang dibahas serta kesimpulan dari hasil penelitiannya. Penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pengamanan unjuk rasa ini mempunyai keunikan tersendiri, oleh karena itu penulis menegaskan bahwa 11
penelitian yang penulis lakukan ini belum pernah diteliti oleh siapapun, namun demikian untuk menegaskan keaslian penelitian ini perlu bahan perbandingan dari penelitian yang mungkin secara hukum pidana terdapat korelasi yang berkaitan, yakni: 1.
Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Wawan Andiansah dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul “Peranan Polri Dalam Menanggulangi Unjuk Rasa yang Dilakukan Secara Anarkis (Studi di Poltabes Yogyakarta)” pada tahun 2009. Penelitian ini menitikberatkan pada peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai aparat penegak hukum dalam menanggulangi unjuk rasa yang dilakukan secara anarkis dan dalam hal ini penelitian dilakukan di wilayah hokum Kepolisian Kota Besar Yogyakarta (Poltabes) Yogyakata. Penelitian ini memiliki 2 (dua) rumusan permasalahan yaitu: a.
Bagaimana bentuk upaya Polri dalam menanggulangi unjuk rasa yang dilakukan secara anarkis di wilayah Poltabes Yogyakarta?
b.
Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Polri dalam menanggulangi unjuk rasa yang dilakukan secara anarkis di wilayah Poltabes yogyakarta?
Penelitian ini juga menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu peranan polri dalam menanggulangi unjuk rasa yang di lakukan secara anarkis di wilayah hukum Poltabes Yogyakarta yaitu di lakukan dengan bentuk upaya preventif dan represif. Dalam bentuk preventif yaitu di lakukan dengan pengawasan terhadap aksi pengunjuk rasa jika di lakukan dengan pengrusakan, maka akan
12
dilakukan penangkapan langsung pada saat itu jika kondisi memungkinkan pada saat itu. Upaya represif jika aksi unjuk rasa di lakukan dengan tindakan anarki yang merugikan masyarakat luas. Hambatan-hambatan yang di hadapi oleh Polri dalam menanggulangi unjuk rasa yang dilakukan secara anarkis yaitu hambatan dari Polri sendiri adalah terbatasnya jumlah personil Polri bila dibandingkan dengan jumlah pengunjuk rasa, dan dari masyarakat tidak mau mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undangundang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.Berdasarkan permasalahan maupun kesimpulan dari penelitian di atas, menunjukkan bahwa jelas terdapat perbedaan yang signifikan dari penelitian yang penulis lakukan. 2.
Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Deddy Setyawan dari Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang berjudul
“Pertanggungjawaban
Hukum
Pelaku
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan Senjata Api Menurut Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 di wilayah Polres Gresik” pada tahun 2012. Penelitian ini memiliki
1
(satu)
rumusan
permasalahan
yakni
bagaimanakah
pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana penyalahgunaan senjata api menurut Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 di Wilayah Polres Gresik? Secara substansi bahwa kesimpulan hasil dari penelitian ini yaitu prosedur kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan senjata api baik penggunaan prosedur
13
maupun tidak menggunakan prosedur bagi masyarakat sipil makin meningkat akibat adanya senjata api ilegal yang menyebabkan peredaran senjata api yang makin marak di masyarakat sipil yang bisa juga menghilangkan nyawa orang lain.Berdasarkan permasalahan maupun kesimpulan dari penelitian di atas, menunjukkan bahwa jelas terdapat perbedaan yang signifikan dari penelitian yang penulis lakukan.
14