1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang desentralistik. Kebebasan dan demokrasi dalam arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai dihidupkan kembali. Demokratis dan birokratisasi mendorong semangat pembangunan terasa lebih bergairah diberbagai daerah. Pemerintah yang desentralik menerapkan azas demokrasi diikuti oleh pemberian otonomi daerah oleh Pemerintahan Pusat kepada daerah-daerah. Otonomi daerah dilancarkan sejak 1 Jauari 2001. Daerah-daerah otonom (Kabupaten/Kota) diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Otonomi daerah harus disadari sebagai suatu transformasi paradigma dalam penyelenggaran pembangunan dan pemerintahan di daerah, dimana Pemerintah Daerah memiliki otonomi yang lebih luas untuk mengelola sumber-sumber ekonomi daerah secara mandiri dan bertanggung jawab yang hasilnya diorientasikan untuk meningkatkan 1
2
kesejahteraan masyarakat di daerah. Transformasi paradigma dalam hal ini terletak pada aspek akuntabilitas Pemerintah Daerah dalam rangka mengelola sumber-sumber ekonomi yang semula bersifat akuntabilitas vertikal (kepada Pemerintah) menjadi
akuntabilitas
horizontal
(kepada
masyarakat
di
daerah)
(Mardiasmo, 2002). Tujuan utama penyelenggaran otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini berarti Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial. Meski begitu Pemerintah Pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa dana perimbangan yang di transfer ke Pemerintah Daerah. Dalam praktiknya, transfer dari Pemerintah Pusat merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasional daerah, yang oleh Pemerintah Daerah ”dilaporkan” di perhitungan anggaran. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Maemunah, 2006). Kemandirian keuangan daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi pendapatan (revenue), maupun dari sisi pengeluaran (expenditure) agar Pemerintah Daerah memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk mendesain dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat stimulan
3
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai dengan aspirasi dan karakteristik masyarakatnya masing- masing. Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan Sumber Daya Alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut, Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Kebijakan penggunaan dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah utnuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Menurut Halim (2009) permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari PAD masih belum memberikan konstribusi signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal tersebut dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan
4
harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian lokal. Mandiri diartikan sebagai semangat dan tekad yang kuat untuk membangun
daerahnya sendiri dengan tidak
semata-mata menggantungkan pada fasilitas atau faktor yang berasal dari luar. Meskipun tingkat ketergantungan keuangan otonom terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi, namun diharapkan kepada setiap daerah otonom untuk mengidentifikasi seluruh potensi sumber-sumber PAD yang dimiliki untuk ditingkatkan secara intensif dan ekstensif disamping peningkatan pengelolaan sumber daya alam didaerah sebagai hasil pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 bahwa meningkatnya penerimaan daerah tersebut akan meningkatkan APBD. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%. Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya relatif mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. Menurut Badan Keuangan Fiskal (2011), kondisi Provinsi Gorontalo dan beberapa daerah lainnya seperti Provinsi bengkulu,
5
tasikmalaya, dan balikpapan serta beberapa daerah di Indonesia yang sampai dengan saat ini, ketergantungan sumber pendapatan daerah kepada pemerintah pusat masih sangat tinggi, dimana pendapatan asli daerah hanya memberikan kontribusi kepada total pendapatan daerah hanya 2,8 persen oleh karena itu, untuk mendorong kemandirian keuangan daerah, pemerintah daerah, telah berupaya melakukan terobasan dalam rangka upaya untuk peningkatan pendapatan daerah dengan menerbitkan dan menetapkan regulasi dalam bentuk perda-perda atas jenis-jenis sumber pendapatan asli daerah yang potensial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang no.28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Upaya peningkatan pendapatan asli daerah tersebut belum berjalan optimal sebagaimana harapan pemerintah daerah, mengingat potensi sumber-sumber
pendapatan
asli
daerah
tersebut
belum
dapat
dimaksimalkan dalam pemungutannya. Hal ini berkaitan dengan permasalahan bahwa penyediaan sarana dan prasarana dasar sebagai penunjang untuk mengoptimalkan sumber pendapatan asli daerah tersebut. Seperti retribusi terminal yang potensinya cukup besar, namun pemerintah daerah belum menyediakan fasilitas sarana terminal dan masih banyak jenis pungutan pendapatan asli daerah yang potensial namun belum ditunjang dengan fasilitas yang memadai sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang cukup terhadap peningkatan pendapatan asli daerah.
6
Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah. Daerah yang mempunyai potensi pajak dan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar hanya terbatas pada sejumlah daerah tertentu saja. Menurut undang-undang No.33 Tahun 2004, peranan Dana Perimbangan terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan kebutuhan nyata dari masing-masing daerah. Permasalahan dana perimbangan terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang dana perimbangan. Bagi pusat, dana perimbangan dijadikan instrument horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap . Bagi daerah, dana perimbangan dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Permasalahan timbul ketika daerah meminta dana perimbangan sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi dana perimbangan
berdasarkan kebutuhan daerah belum bisa
dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasarkan pada standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran khususnya APBD
7
belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Menurut Badan Keuanga Fiskal (2011), Proporsi penerimaan Pemerintah Provinsi dari Pemerintah Pusat pada tahun 2006 sampai dengan 2010 adalah sebesar 46%, tertinggi adalah pada tahun 2008 sebesar 50% sedangkan peningkatan tertinggi adalah dari tahun 2006 ke 2007 sebesar 11%. Pada tahun 2008 ke tahun 2009 terjadi penurunan proporsi dana perimbangan terhadap pendapatan daerah Provinsi yaitu sebesar 9% . Rata-rata proporsi belanja terhadap pendapatan dari tahun 2005 sampai 2010 relatif tinggi yaitu 112% nilai tertinggi pada tahun 2008, nilainya 119% ini berarti belanja pemerintah Provinsi diseluruh indonesia melebihi pendapatannya yaitu, pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Nilai terendah pada tahun 2005 sampai 2007 sebesar 109% sedangkan peningkatan tertinggi adalah dari tahun 2007 ke tahun 2008 sebesar 8%. Sumber-sumber
Pendapatan
Daerah
yang
diperoleh
dan
dipergunakan untuk membiayai penyelenggaran urusan Pemerintah Daerah. Warsito, dkk (2008) mengatakan bahwa belanja daerah dirinci menurut urusan Pemerintah Daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintah
yang
menjadi
kewenangan
Provinsi
atau
8
Kabupaten/Kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Belanja penyelenggaran urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Menurut Halim (2009) belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Dalam kurun waktu 5 tahun ini, APBN masih mengalami defisit karena adanya belanja daerah yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara dan hibah. Peningkatan belanja daerah dipengaruhi oleh peningkatan belanja pusat (meliputi: dana subsidi, belanja modal, belanja barang, bantuan sosial dan belanja pegawai) dan transfer ke
9
daerah. Belanja pemerintah pusat terus mengalami peningkatan, pada tahun 2006 belanja pemerintah pusat adalah Rp.440,1 Trilliun atau sebesar 66,1% dari total belanja negara, kemudian tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar Rp. 628,9 Triliiun atau sebesar 67,1% dari total belanja negara. Pada tahun 2011, belanja pemerintah pusat adalah sebesar Rp.836,6 Trilliun atau sebesar 68% dari total belanja negara. Dalam hal ini dibandingkan dengan belanja transfer ke daerah, maka belanja pemerintah pusat selama periode 2005 sampai 2011 relatif masih tinggi dalam total belanja negara. Reformasi
anggaran
dalam
konteks
otonomi
memberikan
paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum, yang dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Lingkungan anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah karena hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah yaitu sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah daerah pun harus mempunyai langkah-langkah yang dapat mendorong peningkatan kemandirian keuangan daerah antara lain, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan negara, menggali potensi unggulan daerah yang dapat dikembangan untuk
10
mendukung perekonomian daerah dan menciptakan iklim investasi yang kondusif, belanja modal diarahkan untuk dapat menjadi sumber pemasukan kembali bagi daerah, mengawasi kebocoran dan sumber pedapatan, serta peningkatan pelayanan publik agar secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dan lainnya. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah
daerah
menjadi
relevan
dan
penting.
Masyarakat
mengharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik dalam era desentralisasi fiskal. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Fenomena utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kontribusi Pendapatan Asli Daerahh dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung. Terkait dengan hal ini, Sihite (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah DBH, DAK, dan PAD mempunyai pengaruh terhadap pengalokasian Belanja Langsung dengan sampel Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara terpisah dan atau bersamasama DBH, DAK, dan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap belanja langsung. Sari dan Yahya (2010) juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah PAD dan DAU mempunyai pengaruh terhadap
11
pengalokasian Belanja Langsung dengan sampel pemerintahan kab/kota di Provinsi Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial, hanya DAU yang berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung sedangkan PAD menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap Belanja Langsung. Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, terdapat ketidakkonsistenan antara hasil penelitian yang satu dengan hasil penelitian yang lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan penggunaan sampel penelitian yang berbeda dimana Sihite (2009) menggunakan sampel 25 kab/kota di Sumatera Utara sedangkan Sari dan Yahya (2010) menggunakan sampel 8 kab/kota yang ada di Provinsi Riau dimana kedua daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan dan karakteristik ekonomi serta geografis yang berbeda antara satu dengan lainnya. Selain itu, periode penelitian yang digunakan juga berbeda dimana Sihite (2009) menggunakan periode 2006 sampai 2007 sedangkan Sari dan Yahya (2010) menggunakan periode 2005 sampai 2008 Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa yang akan dituangkan dengan judul penelitian “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsug di Provinsi seluruh Indonesia pada tahun 20062010”
12
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah yang menjadi pokok bahasan dari peneliti ini adalah :
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung secara parsial di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010. 2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung secara parsial di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010. 3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung secara serentak di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari peneliti ini adalah :
1. Untuk membuktikan secara parsial mengenai pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010. 2. Untuk membuktikan secara parsial mengenai pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010.
13
3. Untuk membuktikan secara serentak mengenai pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung di Provinsi seluruh Indonesia pada periode 2006-2010.
4. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka manfaat yang ingin dicapai adalah :
1. Bagi Penulis Penulis
dapat
memberikan
Pendapatan Asli Daerah
tambahan
pengetahuan
mengenai
dan Dana Perimbangan terhadap Belanja
Langsung 2. Bagi Pembaca Sebagai bahan pemikiran pembaca atau semua pihak yang tertarik unuk meneliti lebih lanjut yang berkaitan dengan pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Langsung 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian berikutnya yang mengambil judul yang sama sebagai penelitian. 4. Bagi Universitas Sebagai bahan dokumentasi yang bermaanfaat, melengkapi penyediaan bahan studi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan membutuhkan.